Vidiadari https://telusuri.id/penulis/vidiadari/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 30 Sep 2020 09:01:25 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Vidiadari https://telusuri.id/penulis/vidiadari/ 32 32 135956295 Angkat Ransel Terakhir sebelum Corona https://telusuri.id/angkat-ransel-terakhir-sebelum-corona/ https://telusuri.id/angkat-ransel-terakhir-sebelum-corona/#respond Mon, 07 Sep 2020 12:57:57 +0000 https://telusuri.id/?p=23812 31 Desember 2019 “Eh, ini ada berita soal wabah virus di China,” ujar abang saat kami menunggu jadwal penerbangan di KLIA 2. Aku mengangguk. Pagi tadi, saat kami menunggu bus rute Melaka Sentral-KLIA 2, aku...

The post Angkat Ransel Terakhir sebelum Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
31 Desember 2019

“Eh, ini ada berita soal wabah virus di China,” ujar abang saat kami menunggu jadwal penerbangan di KLIA 2. Aku mengangguk. Pagi tadi, saat kami menunggu bus rute Melaka Sentral-KLIA 2, aku juga membaca satu-dua berita tentang virus di Wuhan itu. Tidak ada rasa khawatir kala itu. Kupikir virus itu akan lekas teratasi dan hanya akan ada di China.

Ternyata, pikiranku waktu itu keliru.

Sebulan berikutnya, pembahasan tentang wabah masih terdengar. Tapi aku sendiri masih (saja) tidak khawatir. Aku, B, dan D, kawan sekampus, berencana berangkat bersama ke Perth. Kami akan menghadiri konferensi di sana. Saya dan B berangkat ke satu konferensi yang sama, sedangkan D ke konferensi lain. Mendekati hari keberangkatan, D menjawilku saat aku sedang mencari kunci kubikel.

“Vi, aku nggak jadi bareng, nih. Konferensiku dibatalkan,” ujarnya.

Hari itu, Australia mengetatkan peraturan. Kegiatan yang mendatangkan rombongan dari Tiongkok harus dibatalkan. Kebetulan, konferensi D akan dihadiri rombongan partisipan dari negeri itu.


Februari 2020

Sore hari di awal Februari, saya dan B mendarat di Perth. Esoknya kami berjalan kaki ke lokasi konferensi. Di depan Perth Mint Building, ada pengumuman dalam dua bahasa, yakni Inggris dan Mandarin. Dua orang turis berwajah Asia membaca pengumuman berbahasa Mandarin itu dengan cermat. Perth Mint Building rupanya ditutup untuk turis dari Tiongkok. Selesai membaca, mereka berdiskusi sebentar dengan bahasa yang tidak kumengerti. Kulihat mereka sempat membuka peta, lalu pergi. Mungkin mereka punya rencana cadangan.

Saat konferensi, ternyata partisipan dari Hong Kong juga tidak datang. Dia mengirimkan video presentasinya dan terhubung dengan Skype untuk tanya jawab.

Sorenya, saya dan B dijemput seorang kawan untuk ngobrol sebentar di pinggir pantai.

“Perth itu kotanya nggak terlalu ramai. Tapi belakangan ini makin sepi karena isu virus corona. Bahkan di Northern Bridge, semacam Chinatown di sini, juga sepi banget. Padahal itu area yang paling jarang tidur,” jelasnya.

Lord St., Perth/Vidiadari

Sepulang dari pantai, M, kawan saya itu, melewatkan mobilnya ke area Northern Bridge yang tadi ia sebut. Dari jalan raya terlihat lampu biru-putih membentuk tulisan Northern Bridge.

“Tuh, lihat. Biasanya dari sini keliatan orang berjubel lalu-lalang di sana. Sekarang kosong,” ujar M.

Betul juga. Di bawah terang benderangnya lampu Northern Bridge, hanya ada satu-dua orang yang lewat.

Selesai rangkaian acara di Perth, saya dan B pulang ke Indonesia, lagi-lagi transit di Denpasar. Di atas pesawat, kami diberi kartu kedatangan dan kartu kuning yang harus diisi tentang kondisi kesehatan saat itu. Semacam tes kejujuran untuk menaksir kesehatan.

Bandara Ngurah Rai malam itu hiruk pikuk. Lapisan pemeriksaan bertambah satu, yakni pengecekan kartu kuning. Kalau boleh suuzan, semua orang bisa saja bilang bahwa kondisinya sehat sehingga lolos dari pemeriksaan.

Kami tiba di Jogja dengan selamat. Pemeriksaan di penerbangan domestik rupanya tidak serumit di penerbangan internasional kemarin. Saya dan B kadang-kadang masih membahas: kartu kuning kemarin berakhir di mana, ya?


Awal Maret 2020

Berita pagi itu mengabarkan tentang pasien pertama corona di Indonesia. Ini seperti momen pecah telur. Dua minggu lalu aku terlibat diskusi dengan seorang kawan. Dia gelisah karena hingga akhir Februari pembahasan tentang corona seperti tidak ditanggapi serius, seolah-olah semua optimis bahwa warga Indonesia kebal terhadap virus ini.

“Nah, bener, ‘kan?” itu isi pesan WA-nya kepadaku, didampingi berita terbaru.

Hanya butuh 14 hari sejak berita pasien pertama untuk membuat kampus memutuskan menyelenggarakan kuliah daring. Seluruh kegiatan dinas ke luar kota pun dilarang. Akibatnya, saya membatalkan keikutsertaan pelatihan di Semarang.


Agustus 2020

Hari ini, seminggu setelah kuliah perdana via daring, saya memandangi ransel kesayangan yang sudah dua tahun menemani jalan-jalan. Tahun lalu adalah tahun tersibuknya.

Enam bulan terakhir, hanya dua kali saya ajak ransel hijau lumut itu jalan-jalan. Itu pun hanya untuk mengangkut barang belanja bulanan dari supermarket dekat rumah. Selebihnya, dia pasrah tergantung di ruang tengah.

Tidak pernah ia menganggur selama ini.

The post Angkat Ransel Terakhir sebelum Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/angkat-ransel-terakhir-sebelum-corona/feed/ 0 23812
Bermodal Percaya, Mengajar Daring Semasa Corona https://telusuri.id/bermodal-percaya-mengajar-daring-semasa-corona/ https://telusuri.id/bermodal-percaya-mengajar-daring-semasa-corona/#respond Mon, 13 Jul 2020 04:03:25 +0000 https://telusuri.id/?p=23051 Minggu malam itu saya menerima kabar bahwa mulai besok, 16 Maret 2020, universitas resmi menerapkan bekerja dari rumah. Seminggu sebelumnya kegiatan perkuliahan di kampus sudah dibubarkan, berganti kelas daring, tapi dosen masih boleh datang ke...

The post Bermodal Percaya, Mengajar Daring Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
Minggu malam itu saya menerima kabar bahwa mulai besok, 16 Maret 2020, universitas resmi menerapkan bekerja dari rumah. Seminggu sebelumnya kegiatan perkuliahan di kampus sudah dibubarkan, berganti kelas daring, tapi dosen masih boleh datang ke kampus. Tapi mulai Senin esok dosen pun harus kerja dari rumah.

Buat saya yang rumahnya cukup jauh dari kampus (sekitar 29 km jaraknya), pengumuman itu sedikit menyenangkan. Setidaknya saya bisa hemat dua jam setiap hari. Itu waktu yang saya habiskan di jalan untuk berangkat dan pulang kerja.

Saya menulis cerita semasa corona ini di bulan Juli, setelah empat bulan bekerja dari rumah. Ada pengalaman-pengalaman unik yang rasa-rasanya sayang kalau tidak diabadikan, terutama soal kuliah (dan ujian), bimbingan skripsi, dan ujian skripsi yang semuanya bergantung pada listrik dan internet.


Suatu kali, saat ujian akhir semester berlangsung, ada seorang mahasiswa yang mengirim pesan. Ia mengabarkan bahwa ia terlambat mengirim makalah ujian karena di rumahnya listrik mati dan sinyal internet hilang. Ia sudah mencoba pergi ke kampung tetangga dan berupaya mendapatkan sinyal internet, tapi nihil. Dan waktu ujian pun lewat.

Saat itu saya dilanda dilema. Perlu percaya atau tidak? Pesan dari mahasiswa itu tidak langsung saya jawab. Lima menit berlalu, saya menerima pesan lain di grup dosen. Ada seorang dosen senior yang gemar bercerita. Kali ini ia berkisah soal kekhawatirannya belajar daring dan kemungkinan mahasiswa curang saat mengerjakan ujian. Ada kalimat yang saya ingat dan rasanya pas dengan situasi saya: “Dengan daring, ada banyak hal yang tidak bisa kita kontrol, termasuk kejujuran mahasiswa.” Setelahnya, saya mengirimkan alamat surel saya ke mahasiswa yang tadi. Ya, saya hanya bermodal percaya saja.

Kalau soal bimbingan skripsi, saya selalu merasa di masa pandemi ini sebagian besar mahasiswa bimbingan gusar ingin buru-buru lulus. Surel dengan judul “Bimbingan Skripsi” datang tak henti setiap hari. Ah, mungkin karena kebanyakan pulang ke rumah; ada orangtua yang selalu bertanya kapan selesai skripsi. Mungkin itu yang membuat mereka lebih cepat mengerjakan skripsinya. Selalu ada hikmahnya, ya.

Tentang ujian skripsi daring, ini sering bikin deg-degan. Nasihat saya ke mahasiswa bimbingan yang akan diuji daring biasanya lebih panjang ketimbang saat ujian di kampus. Jika waktu ujian luring saya biasanya hanya mengingatkan soal persiapan presentasi saat ujian, masa-masa ujian daring ditambah, “Pastikan kuota internetnya cukup, kamarnya diberesin supaya background ujiannya nggak mengganggu, jangan di tempat rame, daya laptop dicek jangan sampai kehabisan baterai.”

Nasihat-nasihat itu kadang-kadang juga tak kuasa melawan takdir. Lucunya, justru saya yang mengalami hal-hal yang tak diinginkan itu. Saat sedang menguji, misalnya, pernah tiba-tiba listrik di rumah padam. Jaringan internet (Wi-Fi) otomatis mati. Saya hilang dari Zoom. Tersambung sepuluh menit kemudian, ketua penguji sedang bertanya jawab dengan si mahasiswa. Pertanyaan saya pun sudah buyar. Sampai mana tadi, ya?

Buat mahasiswa, ujian skripsi selalu jadi momen sakral. Biasanya kampus meriah kalau ada yang ujian. Teman-teman mahasiswa heboh menyiapkan hadiah—bunga, selempang, camilan. Suasana ujian skripsi daring tentu saja tak sama. Ada mahasiswa yang harus mengungsi ke rumah teman yang ada Wi-Fi-nya, ada yang di kamar kos adiknya, ada yang di rumah dan ujian skripsinya sempat diinterupsi kunjungan tetangga. Selesai ujian skripsi, karena banyak mahasiswa yang sudah pulang kampung, hadiah yang biasanya diberikan langsung pun dikirim via kurir atau ojek. Saya salut mereka tetap bisa bergembira dalam situasi yang serba tidak pasti ini.

Tidak jarang saya iseng memantau media sosial mahasiswa yang baru saja ujian. Ada saja hal lucu yang diunggah. Paling sering adalah tulisan “lulus jalur corona.” Belakangan tren berganti menjadi “sarjana new normal.”


Sehari sebelum saya menulis ini, ada email baru yang dikirim oleh pihak kampus. Perkuliahan daring diperpanjang sampai Desember tahun ini. Kesibukan saya dan para kolega pun mulai bergeser ke persiapan kelas, semisal bikin podcast, video, atau modul materi kuliah. Menyongsong semester besok, yang jaraknya tinggal sebulan dari sekarang, persiapan harus lebih matang ketimbang semester lalu.

The post Bermodal Percaya, Mengajar Daring Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bermodal-percaya-mengajar-daring-semasa-corona/feed/ 0 23051
Semalam di Tli’u https://telusuri.id/semalam-di-tliu/ https://telusuri.id/semalam-di-tliu/#respond Mon, 10 Feb 2020 08:40:56 +0000 https://telusuri.id/?p=19782 Kami akan ke So’e! Tidak pernah ada di bayangan kalau saya akan mengunjungi tempat kelahiran kawan baik saya saat kuliah dulu. Bukan untuk liburan tetapi untuk summer school. Beberapa teman menyarankan saya membeli jeruk So’e...

The post Semalam di Tli’u appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami akan ke So’e!

Tidak pernah ada di bayangan kalau saya akan mengunjungi tempat kelahiran kawan baik saya saat kuliah dulu. Bukan untuk liburan tetapi untuk summer school. Beberapa teman menyarankan saya membeli jeruk So’e saat tiba di sana. Hm… patut dicoba.

Pagi itu, saya dan rombongan memenuhi bus kecil Mitra Kokoh yang warnanya hijau tua mengilap. Sepanjang perjalanan dari Kupang menuju So’e, saya dan teman-teman yang menjejali kursi paling belakang bergantian bernyanyi mengikuti lagu-lagu yang diputar.

Jalan mulai beralih ke jalan aspal yang lebih sempit, keluar dari jalanan kota Kupang. Di tengah perjalanan, bus berhenti di depan jejeran penjual jeruk. Aha! Ini dia jeruk So’e. Saya dan teman-teman berhamburan keluar bus menuju para penjaja jeruk. Ternyata tidak hanya jeruk yang dijual. Bersisian dengan jeruk yang sudah ditumpuk berdasarkan harga, ada juga ubi ungu, keladi, sirih, bubuk kapur, dan buah pinang.

Kios-kios penjual jeruk So’e/Vidiadari

Saya baru saja menerima kembalian setelah membeli jeruk ketika Rachel, teman dari Amerika, memanggil saya. Dia rupanya penasaran bagaimana rupa singkong dan keladi, sebagaimana Vitali, kawan dari Moldova, penasaran dengan bentuk pohon pisang. Alhasil, setiap bertemu pohon pisang, dia minta difoto.

“Tenang, Vi, kamu nanti juga akan kagum kalau lihat salju. Mampirlah ke Moldova,” ujarnya pada saya sambil terkekeh.

Sayangnya, hari itu tidak ada singkong yang dijual. Hanya keladi saja. Rachel berkali-kali menurunkan kacamatanya, memperhatikan bentuk keladi lalu terkagum-kagum. Ah… rupanya standar rasa kagum itu bukan karena kehebatan atau kemewahan, tapi ketika menemukan sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya.

Bus bergerak lagi. Di setengah perjalanan ini saya sudah menghabiskan tiga buah jeruk. Rasanya segar sekali. Pantas jeruk So’e disebut-sebut terus oleh teman-teman saya.

Beberapa kendaraan sedang antre menyeberangi jembatan kayu/Vidiadari

Di bus, ketika berbincang dengan Yohanes, salah seorang panitia, saya baru tahu kalau rombongan kami persisnya akan menuju sebuah desa bernama Tli’u. Nama ini asing di telinga saya. Pengetahuan saya hanya sampai kata So’e saja.

Bus terus melaju di jalan mengular. Saya bosan lalu tertidur. Entah berapa lama saya terlelap sampai badan saya diguncang-guncang, “Turun, Vi! Jembatannya tidak kuat, kita harus turun.”

Ternyata Adam, suami Rachel.

Dengan nyawa yang sepertinya baru setengah, saya turun bus. Kaki saya menjejak balok-balok kayu hitam yang rangkaiannya sudah renggang. Di bawah sana hanya ada batu-batu kali berwarna hitam. Air sungai nyaris kering. Saya berjalan menuju seberang jembatan. Tanahnya berwarna putih dan memantulkan cahaya matahari yang menusuk mata. Putihnya tanah kontras dengan pohon-pohon hijau dan langit biru. Setelah seluruh penumpang tiba di seberang, bus melaju dengan kencang di atas jembatan yang terus bergetar. Ketika bus berhasil sampai di seberang, kami semua bertepuk tangan, merayakan kesuksesan Mitra Kokoh melalui jembatan goyang.

Demam sirih pinang

Kami tiba di Tli’u saat makan siang. Bus berhenti di sebuah SD. Ruang kelas SD itu disulap menjadi tempat istirahat sebelum kami disebar untuk menginap di rumah-rumah penduduk. Halaman SD itu cukup luas, bisa muat untuk bermain sepak bola. Di sebelah kiri ada pohon asam. Di bawah pohon yang rindang itu sudah tersusun beberapa baris kursi plastik serta meja berisi camilan dan tempat air minum. Setelah makan siang, kami memulai acara perkenalan dengan tetua dan pejabat desa setempat.

Irwan, kawan saya yang duduk di samping, bertanya apakah saya pernah mencoba sirih pinang. Saya menggeleng. Dia lalu mengambil kotak kayu berisi sirih pinang, mengambil tiga lembar sirih, menyerahkan satu lembar ke saya dan satu lagi ke Kiki, kawan saya yang lain.

“Saya contohin, ya. Tapi nanti jangan ditelan, ya, apa pun yang terjadi.”

Saya dan Kiki mengangguk. Sirih tadi diberi sedikit bubuk kapur, digulung, lalu dikunyah. Rasanya pedas, tapi berbeda dari rasa pedas cabe. Saya terus mengunyah seperti suruhan Irwan. Lalu ia mengambil buah pinang yang sudah setengah terkupas.

“Kunyah dikit dulu aja,” ujarnya dengan lafal kumur-kumur. Air liur memenuhi mulutnya.

Saya mengikuti instruksinya, menggigit lalu mengunyah. Liur membanjir di dalam mulut. Rasanya bercampur aduk antara pedas dan pahit. Tidak tahan dengan liur yang terus menerus mengisi rongga mulut, saya pun meludah. Air liur saya berwarna jingga. Irwan tertawa melihat ekspresi saya. Saya kosongkan mulut saya dari sirih, pinang, dan liur, lalu saya ambil air mineral dan meneguknya banyak-banyak. Sepertinya, saat inilah ada sirih pinang yang terteguk. Saya tidak menyadarinya.

Diskusi di bawah pohon asam di Tli’u/Vidiadari

Acara perkenalan selesai, kami dipersilakan beristirahat. Angin dingin mulai membelai-belai pipi. Langit sudah jingga. Saya pun antre mandi di toilet sekolah.

Selesai mandi dengan air yang sejuk seperti baru keluar dari kulkas, saya merasakan dingin menguasai perut dan diafragma. Mulai gemetar, pelan-pelan saya berjalan menuju kelas. Di sana ada Aigoul, kawan saya serombongan, tengah tidur menyamping. Saya lalu mengambil jaket dan syal. Syal ini cukup besar dan hangat untuk dijadikan selimut. Saya pun berbaring di sebelah Aigoul yang sudah terlelap. Tak lama, saya tidak mendengar apa-apa lagi.

Saya bangun saat mendengar suara tetabuhan dan riuh rendah dari luar. Malam pentas seni sudah mulai tapi saya tidak bisa mengangkat kepala. Saya demam. Badan saya gemetar di balik syal. Saya berupaya duduk. Entah dari mana, di saat yang bersamaan, Irwan masuk kelas. Wajahnya berubah saat melihat saya.

“Heh, kamu kenapa pucat?” tanyanya panik

“Aku demam,” jawabku singkat. Dengan cepat Irwan menyimpulkan: bisa jadi karena sirih pinang yang tadi siang. Saya mengutuk dalam hati. Ah… seandainya saya ngeyel saja tadi siang!

Beberapa teman satu per satu masuk ke ruang kelas. Kiki dan beberapa teman lain yang tadi mencoba sirih pinang juga terkena efek samping meskipun berbeda dengan saya. Mereka pusing, saya demam. Akhirnya, kami menghabiskan sisa malam dengan pijat berantai, berupaya saling menyembuhkan diri dari mabuk sirih pinang.

Di waktu-waktu setelahnya, tiap kali saya menceritakan cerita demam karena sirih pinang ini, saya sukses ditertawakan lalu dinasihati, “Sudah. Nggak usah dicoba lagi, Nona.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Semalam di Tli’u appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/semalam-di-tliu/feed/ 0 19782
Menuju Oh Aem https://telusuri.id/menuju-oh-aem/ https://telusuri.id/menuju-oh-aem/#respond Sat, 08 Feb 2020 14:44:07 +0000 https://telusuri.id/?p=19752 Pagi itu, setelah mandi dan sarapan, saya terburu-buru mengangkut dua ransel saya menuju dua bus kecil yang terparkir di halaman sebuah sekolah di Oe Ekam. Sudah tiga malam sejak saya menuruni tangga burung besi di...

The post Menuju Oh Aem appeared first on TelusuRI.

]]>
Pagi itu, setelah mandi dan sarapan, saya terburu-buru mengangkut dua ransel saya menuju dua bus kecil yang terparkir di halaman sebuah sekolah di Oe Ekam.

Sudah tiga malam sejak saya menuruni tangga burung besi di Bandara El Tari, Kupang. Saya memang sedang mengikuti sebuah summer school yang mengharuskan saya berpindah tempat dari Jakarta ke Jawa Barat lalu terbang ke Kupang, Pulau Timor, untuk mengunjungi tiga desa: Tli’u, Oe Ekam, dan Oh Aem.

Pagi ini jadwal kami berpindah ke Oh Aem. Bus hijau kecil berlabel Mitra Kokoh itu sejak dari Kupang mengikuti perjalanan kami—hingga besok sore untuk mengantarkan kami kembali ke penginapan di Kupang.

Pemandangan dalam perjalanan ke Oh Aem/Vidiadari

Seorang lelaki kurus sedang menata tas teman-teman saya di atap bus. Saya menyorongkan ransel hitam saya, dia menyambutnya dari atas bus. Setelah beres ditata, ia menggelar terpal lalu mengamankannya dengan tali panjang yang diikat di sana-sini.

Sementara saya terkagum-kagum dengan keterampilan tali temali si lelaki (entah namanya siapa), seorang teman menyodorkan dua lembar masker.

“Pakai dua lapis masker, Vi. Banyak debu,” katanya. Saya mengangguk dan menerima masker pemberiannya. Dalam hati saya membatin, setebal apa debunya sampai-sampai saya harus bermasker dobel? Entahlah. Saya manut saja. Saya letakkan masker di kantong baju sebelah depan, lalu mendekat ke ketua rombongan. Ada pengumuman singkat tentang perjalanan ke desa terakhir itu.

Kata Bang El, ketua rombongan kami, perjalanan ke Oh Aem akan memakan waktu sekitar 4 jam, tidak termasuk waktu istirahat makan siang. Setelah beberapa pengumuman lain—misalnya soal kegiatan yang akan kami lakukan dan kondisi air di Desa Oh Aem—kami pun masuk ke bus.

Rombongan kami dibagi ke dalam dua bus kecil yang masing-masing memuat 20 orang beserta barang perlengkapan. Saya naik ke bus nomor 2, tempat di mana teman-teman “se-genk” saya sudah menguasai tempat duduk paling belakang. Genk saya yang terdiri dari enam orang ini terbentuk tidak sengaja, hanya karena obrolan penuh tawa di rumah makan pada hari pertama. Setelah saling lempar lelucon, kami sukses menjadi enam orang yang sulit terpisahkan selama dua minggu .

Bus berjalan melalui jalan sempit di antara selang-seling aspal dan bebatuan. Kami sempat berhenti di depan sebuah bank di So’e. Beberapa teman butuh menukarkan uang dolar mereka ke rupiah.

Jalan tanah berdebu yang kami lewati menuju Oh Aem/Vidiadari

Sementara menunggu mereka, saya melipir ke depan kantor pemerintahan. Di halaman parkir sepeda motornya terdapat seorang ibu yang berjualan kue dan minuman hangat. Ia sedang bercakap dengan seorang ibu lain yang kalau dilihat dari pakaiannya adalah staf di kantor tersebut. Saya memesan teh sambil mencuri dengar obrolan mereka.

“Mama, sesuk lebe baik bawa serbet sa, sonde usah pakai tisu,” logatnya medok seperti orang Jawa.

Lalu saya bertanya kenapa ia bisa medok begitu.

“Ohh… beta ini dari Malang. Datang ke sini melu beta pung suami,” perpaduan kemedokan dan bahasa setempat terdengar lucu di telinga. Setelah menghabiskan teh dan membayar, saya kembali ke bus. Perjalanan pun berlanjut.

Tidak jauh dari sebuah gereja tempat kami istirahat makan siang, bus berbelok ke sebuah jalan beraspal yang sedikit lebih sempit. Rupanya, di jalan inilah masker diperlukan. Mungkin hanya 2 km saja dari belokan tadi, jalan yang awalnya berwarna hitam aspal berubah menjadi cokelat muda.

Bus depan seperti meniupkan napas debu cokelat ke bus kami. Si roda empat mulai tidak stabil, jalannya seperti terombang-ambing. Ah… mungkin hanya beberapa kilometer saja, pikir saya—ternyata belasan kilometer. Seorang teman mengatakan bahwa jalan ini sedang dalam tahap perbaikan untuk nantinya diaspal dan jadi jalan yang lebih bagus. Semoga!

Di tengah perjalanan, di antara debu yang pekat, saya melihat serombongan anak sekolah. Rupanya ini jam pulang sekolah. Beberapa dari mereka duduk santai di pinggiran penutup bak truk yang melaju di depan. Lebih banyak yang jalan kaki.

Saat bus sudah dekat dengan rombongan anak-anak ini, ada beberapa yang berlari mendekati Artur, teman saya yang duduk di pintu bus. Mereka minta izin menumpang. Setelah diiyakan, mereka meraih tangga belakang bus lalu bergelantungan di sana. Teman saya menyuruh mereka naik ke atap. Mereka menurut. Tiga anak ini bergantian naik dan duduk di atas. Lima menit kemudian, seorang teman dari depan membawa kresek hitam yang ternyata sudah diisi dengan beberapa camilan dan air mineral, menyodorkan kepada Artur, menyuruhnya memberikan kepada anak-anak di atap.

Bayangan anak-anak sekolah yang menumpang bus kami untuk pulang/Vidiadari

Bus sepi, mungkin karena kami lelah, atau karena berdoa supaya bus sampai di Oh Aem dengan selamat. Sesekali saya mendengar suara cekikikan anak-anak di atas bus. Entah menertawakan apa. Sesekali mereka memanggil teman-temannya yang berhasil mereka lampaui dengan naik bus ini.

Pikiran saya lalu terbang ke Jogja, tempat saya bekerja sebagai pengajar. Berganti-gantian pikiran saya membayangkan mahasiswa saya dengan anak-anak di atap. Pernahkah mereka, yang mengawali kuliah dengan motor pelat putih itu merasakan jalan kaki berkilo-kilometer untuk mencapai sekolah, menumpang ke atas bus dan bahagia karena bisa menghemat tenaga? Apakah mereka cukup bersyukur karena bisa mencapai pendidikan di universitas, difasilitasi kendaraan baru di perantauan? Lalu saya sendiri? Ah… memalukan sekali melihat kemudahan yang saya miliki dan perkara yang sering saya keluhkan….

Bayangan-bayangan tentang diri sendiri, mahasiswa, dan anak-anak di atas pecah saat terdengar ketukan dari atap.

Anak-anak itu minta berhenti, rumah mereka sudah dekat. Mungkin satu dari beberapa rumah berpagar kayu di depan bus. Bus berhenti, mereka menuruni tangga besi lalu melompat turun. Bus berjalan pelan, mereka mengejar sambil melambaikan tangan.

“Terima kasih, om!” teriak mereka bersahut-sahutan.

Bus melaju, kabut debu menebal. Saya lihat Artur yang sedari tadi duduk di lantai bus dan menghadap jalan. Rambut hitamnya berubah jadi pirang. Dia tertawa-tawa, saya juga. Oh Aem masih jauh.

Hati terguncang-guncang, sama seperti tubuh dalam bus di perjalanan ini. Rasanya sungguh tidak keruan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menuju Oh Aem appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menuju-oh-aem/feed/ 0 19752
Mengenang Warung Bakmi tanpa Plang Nama https://telusuri.id/mengenang-warung-bakmi-tanpa-plang-nama/ https://telusuri.id/mengenang-warung-bakmi-tanpa-plang-nama/#respond Thu, 06 Feb 2020 12:56:44 +0000 https://telusuri.id/?p=19709 Seingat saya, waktu itu awal tahun 2016. Sore itu mendung tebal menggantung di langit Yogyakarta. Saya yang baru rampung kuliah langsung melompat ke motor Ajo yang sudah siaga menjemput di depan kampus. “Aku belum makan,...

The post Mengenang Warung Bakmi tanpa Plang Nama appeared first on TelusuRI.

]]>
Seingat saya, waktu itu awal tahun 2016. Sore itu mendung tebal menggantung di langit Yogyakarta. Saya yang baru rampung kuliah langsung melompat ke motor Ajo yang sudah siaga menjemput di depan kampus.

“Aku belum makan, nih. Cari makan, yuk?” ujar saya sambil memasang helm.

“Eh, mau coba tempat makan baru, nggak? Di Bantul. Aku dulu pernah lewat, tapi tempat itu mencurigakan.”

Saya iyakan saja ajakannya. Kalau Ajo sudah bilang “mencurigakan,” hanya ada dua kemungkinan: makanannya enak atau tempatnya apik. Motor hitam digeber Ajo membelah jalanan kota menuju Jalan Parangtritis. Kami sempat berhenti untuk memakai mantol plastik seharga sepuluh ribu. Hujan sudah turun dengan deras. Saya pikir tempat makan itu ada di sekitar Sewon atau Bantul kota. Ternyata tidak. Motor terus melaju hingga mendekati Desa Jetis.

Mau ke mana, sih, ini? Perut sudah meronta, kaki hingga paha sudah basah karena tidak tertutup mantol. Ah… celana panjang ini bahkan sudah bisa diperas saking basahnya.

Ajo bilang tujuan kami sudah dekat. Lima puluh meter dari selatan jembatan menuju Gereja Ganjuran, motor kami menyeberang ke arah timur, masuk ke areal parkir sebuah warung bakmi Jawa tanpa plang nama.

Di bagian depan warung, seperti warung bakmi Jawa lazimnya, wilayah kekuasaan sang koki dipamerkan. Mi kuning, bihun, dan aneka sayuran ditempatkan di etalase kaca samping kompor. Nasi di bakul bambu dan ditutup dengan serbet kotak-kotak berada bersisian dengan bihun. Ayam-ayam utuh tergantung di bagian atas.

Kami disambut oleh seorang ibu setengah baya yang mempersilakan kami masuk ke dalam, di mana meja dan kursi pengunjung ditempatkan. Tiang pintunya agak rendah. Saya dan Ajo sampai menunduk saat melewatinya. Bagian dalam warung berlantai kayu. Bangunan semi permanen itu diisi beberapa meja kursi kayu dan diberi lilin minyak sebagai penerangan. Tiang bangunan ditempeli lampu minyak sebagai penerangan tambahan. Belum ada tanda-tanda listrik akan menyentuh warung ini.

Saya memesan bakmi godog, sementara Ajo memesan magelangan. Sambil menunggu pesanan tiba, saya bertanya.

“Kenapa bisa nemu tempat ini?” Saya heran, sebab, selain jauh, tempat ini menyempil di antara persawahan.

Ajo, dengan wajah usilnya, menjawab: “Waktu itu aku lewat jalan ini terus lihat warung ini rame banget. Aku penasaran, tapi belum sempat coba. Baru sekarang ini kesampaian.”

Ah… ternyata sederhana sekali alasannya.

Hujan semakin deras. Angin meniup-niup seng yang menjadi atap warung. Di tengah kekhawatiran itu, dua gelas teh panas disusul bakmi godog dan magelangan datang. Aroma kaldu ayam menguar di udara, menghangatkan perut yang sejak pagi belum diisi.

Cerita kami berlanjut. Ajo memesan lagi satu piring bakmi godog untuk memuaskan… entah lapar atau rasa penasarannya.

Saat hujan berhenti, saya dan Ajo memutuskan kembali pulang. Saat membayar, saya bertanya, “Nama warungnya apa, Pak?”

Seorang bapak yang menguasai tungku sebelah depan menjawab, “Bakmi Pak Geno. Baru sekali ini, ya, ke sini?”

Saya mengangguk.

Ia lalu seperti mencari sesuatu. Rupanya mencari kertas dan bolpoin, lalu menulis sederet angka.

“Ini nomer HP saya. Nanti kalau mau ke sini, bisa pesan dulu biar nggak nunggu lama.”

Saya terima kertas itu lalu saya masukkan ke dompet.

Kehilangan Pak Geno

Saya dan Ajo sempat beberapa kali makan di Warung Pak Geno. Bahkan, kami sempat memamerkan warung itu ke beberapa teman, salah satunya Hanum, teman kuliah saya. Kami berjanji akan mengajaknya mengunjungi Gereja Ganjuran dan mampir ke Warung Pak Geno.

Di hari yang sudah dijanjikan, saya, Ajo, Hanum, dan seorang kawan lagi, Sarca, melaju menuju Ganjuran. Tapi sayang Warung Pak Geno tidak buka. Warungnya sukses menyaru dengan gelapnya malam. Tidak ada ayam bergantungan atau pendar lilin samar-samar dari dalam.

Bukan. Bukan tidak buka.

Di depan warung ada semacam pengumuman yang ditulis di papan putih: “DIJUAL.” Air muka Ajo berubah, begitu juga saya. Kami telah menobatkan warung itu sebagai salah satu tempat makan favorit.

Tapi saya dan Ajo masih bisa bercanda. Kami bilang ke Hanum kalau dia belum beruntung. Akhirnya kami melipir ke Gereja Ganjuran lalu berhenti makan di salah satu warung nasi goreng dekat gereja.

Sepulang dari Ganjuran, saya mencari-cari kertas nomor telepon yang dulu pernah diberikan kepada saya. Tidak ada. Entah hilang di mana.

Sekitar empat tahun berlalu, saya masih sering bertanya-tanya Pak Geno pindah ke mana. Hingga di akhir tahun 2019, saat sudah tinggal dekat Gereja Ganjuran, saya pun masih menyimpan pertanyaan tentang misteri hilangnya Warung Pak Geno, sampai suatu hari, saat berangkat kerja, saya melihat plang besi berwarna biru tua dengan nama warung yang mirip. Mungkinkah itu Pak Geno yang itu?

Tapi sampai saat ini saya belum pernah mampir.

Bentuk warungnya berubah. Bangunannya tidak lagi dari bambu, tapi dari beton, lebih besar dan luas. Tidak hanya itu saja, tidak ada lilin sebagai penerangan, diganti dengan lampu listrik yang membuat warung terang benderang. Kalau pun itu benar warungnya Pak Geno yang dulu berada di pinggir sawah, sepertinya banyak hal yang sudah berubah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengenang Warung Bakmi tanpa Plang Nama appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengenang-warung-bakmi-tanpa-plang-nama/feed/ 0 19709
Jalan-jalan ke Batu Secret Zoo, Inilah 6 Hal yang Bisa Kamu Lakukan selain Melihat Hewan-hewan Lucu https://telusuri.id/jalan-jalan-ke-batu-secret-zoo/ https://telusuri.id/jalan-jalan-ke-batu-secret-zoo/#respond Tue, 23 Oct 2018 09:40:05 +0000 https://telusuri.id/?p=10761 Lagi liburan di Batu? Kenapa nggak jalan-jalan ke Batu Secret Zoo di Jatim Park 2 aja? Di tempat wisata ini ternyata bukan cuma ada kebun binatang. Ada banyak atraksi lain yang bisa kamu nikmati di...

The post Jalan-jalan ke Batu Secret Zoo, Inilah 6 Hal yang Bisa Kamu Lakukan selain Melihat Hewan-hewan Lucu appeared first on TelusuRI.

]]>
Lagi liburan di Batu? Kenapa nggak jalan-jalan ke Batu Secret Zoo di Jatim Park 2 aja? Di tempat wisata ini ternyata bukan cuma ada kebun binatang. Ada banyak atraksi lain yang bisa kamu nikmati di sini. Jadi, kamu bisa melakukan banyak hal pas jalan-jalan ke Batu Secret Zoo. Beberapa aktivitas berikut misalnya:

1. Berfoto dengan hewan

jalan-jalan ke batu secret zoo

Naik kereta kelinci/Vidiadari

Jalan-jalan ke Batu Secret Zoo, kamu bisa berfoto degan hewan pada jam-jam tertentu, misalnya dengan binturong atau beberapa jenis burung.

Buat foto-foto dengan hewan, ada dua tips yang barangkali bisa kamu ikuti. Pertama, cermati jadwal foto bareng hewan itu. Kedua, siap-siap antre sebab selain kamu juga banyak pengunjung yang pengen foto bareng isi kebun binatang.

2. Ngasih makan hewan

jalan-jalan ke batu secret zoo

Memberi makan alpaka/Vidiadari

Serunya jalan-jalan ke Batu Secret Zoo, kamu bisa naik kereta kelinci buat ngasih makan hewan, secara langsung, di kandang khusus.

Makanan yang boleh diberikan pada hewan tersebut juga sudah disediakan oleh pengelola kebun binatang. Jadi, kalau nanti kamu lihat wortel-wortel yang sudah dipotong dan dikemas dalam gelas, jangan dimakan—itu buat hewan.

3. Berenang

jalan-jalan ke batu secret zoo

Seekor ikan badut sedang berenang di sekitar anemone/Vidiadari

Kalau kamu suka renang, pas jalan-jalan ke Batu Secret Zoo jangan lupa bawa baju renang. Nggak kayak kebun binatang kebanyakan yang cuma berisi kandang hewan, di Batu Secret Zoo juga ada wahana air. Bukan buat hewan, tapi manusia.

Setelah beberapa jam keliling kebun binatang ini, pasti bakal seru banget mendinginkan badan di wahana-wahana air itu.

4. Uji nyali di rumah hantu

jalan-jalan ke batu secret zoo

Salah satu koleksi Museum Satwa/Vidiadari

Atraksi lain yang juga bisa kamu nikmati pas jalan-jalan ke Batu Secret Zoo adalah rumah hantu. Kalau suka nonton film horor, kamu pasti suka banget masuk rumah hantu di kebun binatang ini.

Siap-siap buat jejeritan karena kamu bakal sering banget mengalami kejadian mengagetkan. Tapi setan-setannya jangan digebukin, ya. Soalnya aslinya mereka itu manusia.

5. Memacu adrenalin dan menguji perut dengan naik “roller coaster”—atau komidi putar

jalan-jalan ke batu secret zoo

Salah satu wahana di Batu Secret Zoo/Vidiadari

Kamu juga bisa memacu adrenalin dengan naik roller coaster atau komidi putar—tapi nggak bisa bareng hewan.

Pergi rame-rame bareng teman-teman, kamu pasti pulang membawa banyak cerita. Pasti ada aja bakal satu atau dua orang yang mabok atau kapok karena trauma naik roller coaster.

6. Melihat hewan yang telah diawetkan di Museum Satwa

jalan-jalan ke batu secret zoo

Museum Satwa/Vidiadari

Setelah berinteraksi dengan hewan-hewan hidup di Batu Secret Zoo, nggak ada salahnya buat ke Museum Satwa. Di Museum Satwa banyak banget hewan-hewan yang sudah diawetkan, misalnya kupu-kupu.

Kamu nggak bakal kesulitan menemukan lokasi Museum Satwa, soalnya Museum Satwa ini berada tepat di sebelah Batu Secret Zoo.

Jadi, mau ngapain aja pas jalan-jalan ke Batu Secret Zoo?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jalan-jalan ke Batu Secret Zoo, Inilah 6 Hal yang Bisa Kamu Lakukan selain Melihat Hewan-hewan Lucu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jalan-jalan-ke-batu-secret-zoo/feed/ 0 10761
Mau Jalan-jalan ke Batu Secret Zoo? Inilah 5 Hal yang Perlu Kamu Siapkan https://telusuri.id/persiapan-ke-batu-secret-zoo/ https://telusuri.id/persiapan-ke-batu-secret-zoo/#respond Mon, 22 Oct 2018 15:38:42 +0000 https://telusuri.id/?p=10744 Batu adalah salah satu kota di Jawa Timur yang punya banyak atraksi wisata. Ada agrowisata petik apel, The Bagong Adventure (Museum Tubuh), Museum Angkut, sampai Batu Secret Zoo (Jatim Park 2), dll. Nama terakhir ini,...

The post Mau Jalan-jalan ke Batu Secret Zoo? Inilah 5 Hal yang Perlu Kamu Siapkan appeared first on TelusuRI.

]]>
Batu adalah salah satu kota di Jawa Timur yang punya banyak atraksi wisata. Ada agrowisata petik apel, The Bagong Adventure (Museum Tubuh), Museum Angkut, sampai Batu Secret Zoo (Jatim Park 2), dll.

Nama terakhir ini, yakni Batu Secret Zoo, adalah salah satu atraksi wisata yang ramai dikunjungi. Di kebun binatang ini kamu nggak cuma bisa melihat berbagai jenis fauna, memberi makan hewan-hewan tertentu, atau foto bersama hewan saja, namun juga menjajal atraksi tambahan seperti komidi putar dan rumah hantu.

Buat kamu yang mau ke Batu Secret Zoo, ini ada beberapa tips supaya jalan-jalanmu makin menyenangkan:

1. Siapkan waktu yang sangat longgar

batu secret zoo

Salah satu sudut BSZ/Vidiadari

Ada dua alasan kenapa kamu nggak bisa sebentar saja di Batu Secret Zoo. Pertama, terlalu banyak atraksi yang bakal kamu lewatkan, misalnya memberi makan hewan di jam khusus. Alasan kedua adalah karena luas kebun binatang ini mencapai 14 hektare!

Sekurang-kurangnya sediakan waktu tiga jam untuk mengelilinginya. Kalau kamu pengen foto-foto dan menikmati berbagai atraksi yang ada, tentu kamu mesti meluangkan waktu lebih banyak lagi.

2. Pakailah sepatu olahraga—jangan sepatu hak tinggi

batu secret zoo

Flaminggo/Vidiadari

Buat para mbaksis, nih: jangan sekali-sekali berpikiran buat pakai sepatu hak tinggi pas di Batu Secret Zoo. Arealnya luas soalnya. Lagian di Batu Secret Zoo juga nggak banyak tersedia kendaraan macam kereta kelinci yang bisa dipakai buat mengitari seluruh kebun binatang.

Jadi, kayaknya kamu perlu banyak jalan kaki. Daripada pegel karena pakai sepatu hak tinggi, mending pakai sepatu olahraga yang nyaman dan ringan. Pasti nggak mau ‘kan bete di jalan?

3. Bawa air minum dari rumah

batu secret zoo

Salah satu sisi BSZ/Vidiadari

Karena di Batu Secret Zoo nggak ada pemeriksaan tas dan penyitaan makanan dan minuman, kamu bisa bawa bekal seperlunya, misalnya air minum.

‘Kan kamu sudah tahu kalau Batu Secret Zoo itu luas. Keliling kebun binatang ini tanpa minum—apalagi tengah hari—kamu bisa dehidrasi, lho.

4. Siapkan kamera dengan memori besar

batu secret zoo

Naik kereta kelinci/Vidiadari

Di kebun binatang ini banyak sekali spot menarik tempat berfoto. Selain kandang-kandang kebun binatang, ada banyak patung di sudut-sudut Batu Secret Zoo yang juga menarik buat jadi spot foto. Kamu pasti bakal tergoda buat foto di sana.

Makanya kamu mesti menyiapkan kamera dan memori besar. Pasti nggak mau ‘kan pas lagi asyik jeprat-jepret terus memori kamu habis. Jangan lupa buat memastikan kalau baterai kamera kamu sudah penuh diisi.

5. Siapkan uang tambahan untuk jajan di kantin

batu secret zoo

Anak kecil dan seekor poni/Vidiadari

Di areal Batu Secret Zoo ada beberapa kantin dan warung kecil yang menjual makanan dan minuman. Macam-macam yang dijual di sana, dari mulai makanan ringan seperti es krim sampai yang berat-berat seperti nasi rames. Kalau mau ngasih makan hewan, kamu bisa beli satu mangkuk wortel seharga Rp 10 ribu.

Menariknya, di kios-kios itu kamu mesti membayar dengan kartu deposit. Kamu bisa dapatkan kartu deposit itu di loket bagian depan kantin. Abis belanja kamu bisa mengembalikan kartu itu ke loket dan mendapatkan sisa uang dalam kartu deposit itu.

Jadi gimana? Sudah nggak sabar pengen liburan ke Batu Secret Zoo?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mau Jalan-jalan ke Batu Secret Zoo? Inilah 5 Hal yang Perlu Kamu Siapkan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/persiapan-ke-batu-secret-zoo/feed/ 0 10744
5 Sate Khas Lombok yang Menggoda untuk Dicoba https://telusuri.id/5-sate-khas-lombok/ https://telusuri.id/5-sate-khas-lombok/#respond Sat, 14 Jul 2018 08:36:37 +0000 https://telusuri.id/?p=9682 Selain alam yang indah, Lombok juga punya beragam kuliner yang bakal menggoyang lidah. Sate, misalnya. Di Lombok ada beberapa varian sate lezat yang recommended banget buat dicoba. Inilah 5 sate khas Lombok yang harus kamu...

The post 5 Sate Khas Lombok yang Menggoda untuk Dicoba appeared first on TelusuRI.

]]>
Selain alam yang indah, Lombok juga punya beragam kuliner yang bakal menggoyang lidah. Sate, misalnya. Di Lombok ada beberapa varian sate lezat yang recommended banget buat dicoba.

Inilah 5 sate khas Lombok yang harus kamu coba kalau mampir ke pulau itu:

1. Sate bulayak

sate khas lombok

Seporsi sate bulayak/Laely Farida

Kamu bisa pilih antara sate ayam, sapi, atau jeroan. Tapi siap-siap “ditendang,” sebab sate khas Lombok yang satu ini disajikan dengan kuah santan yang kental dan merah karena cabe. Aroma rempahnya juga lumayan kuat.

Sate bulayak biasanya dimakan bersama lontong yang dibungkus dengan daun kelapa. Supaya makin nikmat, kamu bisa menambah sendiri garam sesuai selera, juga potongan cabe hijau yang bakal bikin sate bulayak yang kamu santap makin pedas.

2. Sate rembiga

Sate khas Lombok ini dinamakan sate rembiga karena berasa dari daerah Rembiga. Bahan dasarnya adalah daging sapi. Jadi sebelum ditusukkan ke lidi dan dibakar, daging sate rembiga akan dimarinasi terlebih dahulu.

Makanya rasanya jadi luar biasa. Kamu pasti bakal ketagihan sama campuran rasa pedas-manis-gurihnya. Ditambah lontong, sayur plecing, atau urap, sate rembiga akan membuat lindahmu tak henti bergoyang.

3. Sate ikan tanjung

sate khas lombok

Beberapa tusuk sate ikan tanjung sedang dibakar/Laely Farida

Sate ikan yang berasal dari daerah Tanjung, Lombok Utara, ini serupa sekali dengan sate lilit. Bedanya, kalau sate lilit terbuat dari daging sapi atau kambing, sate tanjung dari ikan laut (misalnya cakalang) yang sudah dihaluskan, diberi bumbu rempah, lalu dibakar.

Rasanya pedas-gurih. Berbeda dari sate yang biasanya disirami kuah, sate ikan yang satu ini sudah nikmat tanpa tambahan apa-apa.

4. Sate Pasar Seni Senggigi

Kalau kamu lagi cari oleh-oleh di areal Pasar Seni Senggigi, jangan lupa mencicipi seporsi sate khas Lombok yang satu ini.

Sate Pasar Seni Senggigi merupakan sate campuran daging dan ikan, dimarinasi dengan bumbu rempah, kemudian disajikan dengan lontong, urap, dan kuah santan kuning. Rasanya adalah perpaduan pedas, manis dan gurih—enak!

5. Sate pusut

sate khas lombok

Setumpuk sate pusut yang sudah matang dipanggang/Laely Farida

Kuliner khas Lombok yang satu ini biasanya hadir di acara-acara besar, misalnya begibung (makan bersama dalam perayaan tertentu seperti pernikahan, sunatan, dll.).

Sate pusut sangat mirip dengan sate lilit. Bahannya adalah daging sapi yang dihaluskan lalu dicampur bumbu rempah. Warnanya cenderung kecoklatan. Makanan ini biasanya jadi teman menu-menu lain, seperti ayam taliwang, plecing, dan urap.

Jadi, mau mencoba sate yang mana dulu?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 5 Sate Khas Lombok yang Menggoda untuk Dicoba appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/5-sate-khas-lombok/feed/ 0 9682
Bernyanyi bersama Biduan Desa Gung Pinto di Kabupaten Karo https://telusuri.id/biduan-desa-gung-pinto/ https://telusuri.id/biduan-desa-gung-pinto/#comments Wed, 13 Jun 2018 09:30:09 +0000 https://telusuri.id/?p=9139 Kenangan di Desa Gung Pinto di Sumatera Utara barangkali adalah salah satu pengalaman tak terlupakan bagi saya. Bulan Oktober tahun lalu, saat penelitian di sekitar Gunung Sinabung, Gung Pinto bukanlah tujuan utama tim riset saya....

The post Bernyanyi bersama Biduan Desa Gung Pinto di Kabupaten Karo appeared first on TelusuRI.

]]>
Kenangan di Desa Gung Pinto di Sumatera Utara barangkali adalah salah satu pengalaman tak terlupakan bagi saya. Bulan Oktober tahun lalu, saat penelitian di sekitar Gunung Sinabung, Gung Pinto bukanlah tujuan utama tim riset saya. Namun, untuk memperkaya data, akhirnya kami berangkat juga ke desa itu.

Kami bertujuh naik mobil dari penginapan di Berastagi. Jalanan menuju Gung Pinto sempit dan berkelok. Tanpa peta, kami berhenti beberapa kali untuk menanyakan letak Desa Gung Pinto. Bahkan kami sempat nyasar di desa mati yang menjadi sepi karena erupsi Sinabung. Rasanya seperti berada dalam film Silent Hill!

gung pinto

Salah satu rumah yang ditinggalkan pengungsi Sinabung/Vidiadari

Akhirnya kami tiba di jalan beraspal yang diapit pohon-pohon jeruk (sebelumnya pemandangan didominasi tanaman sayur). Bang Rei lalu menelepon seseorang. Rupanya ia punya kawan akrab yang tinggal di Gung Pinto.

Kami diminta menunggu di tepi kebun jeruk. Sepuluh menit kemudian kawan Bang Rei itu, Bang Martin, datang dengan sepeda motor. Ia menyuruh kami mengikutinya. Bang Rei bercerita bahwa Bang Martin adalah kawannya saat masih kuliah di Jogja.

Setelah lulus dan jadi sarjana pertanian, ia pulang dan menjadi petani di desanya. Cerita yang jarang saya dengar.

Warung kopi milik biduan

Motor Bang Martin berhenti di depan sebuah warung kopi. Kami turun di sana. Warung itu tak terlalu besar. Bangunannya dari kayu dan hanya diisi oleh tiga meja yang ditemani oleh bangku-bangku panjang.

Ada satu televisi yang menggantung jumawa di sudut ruangan. Di salah satu dinding kayu saya melihat sederet foto yang ditempelkan dengan paku payung. Pemilik warung kopi itu adalah Paten Sembiring alias Sugeng (e nya dibaca taling).

gung pinto

Foto-foto di warung kopi Paten Sembiring/Vidiadari

Panggilan Sugeng didapatnya dari seorang transmigran Jawa yang melihat bahwa mukanya mirip orang Jawa.

Selain membuka warung, Pak Paten ternyata juga seorang pemusik. Ia punya grup musik tradisional gendang kulcapi yang kerap tampil di berbagai tempat, salah satunya di lokasi pengungsian erupsi Sinabung.

“Saya nyanyi biar orang gembira, bang,” ujarnya saat mengajak kami melihat foto-foto yang ditempel di dinding. “Jadi [mereka bisa] lupa dengan kesusahan karena Sinabung erupsi.”

gung pinto

Paten Sembiring sedang membuka buku lirik lagunya/Vidiadari

Beberapa kali Pak Paten dan grup musiknya mengisi acara di radio komunitas setempat. Mereka bahkan membuka kesempatan bagi pendengarnya untuk me-request lagu. “Kalau saya tidak tahu judul lagunya, saya katakan saja, ‘nanti dinyanyikan di lain waktu, sekarang saya belajar dulu.’” Ia pun terkekeh.

Bernyanyi bersama biduan Gung Pinto

Pak Paten lalu mengambil perlengkapan musik yang sedari tadi tergantung di dinding dekat televisi. Ia mengambil sebuah buku tebal berisi daftar lagu dan juga… foto! Di bawah setiap foto ia menuliskan keterangan, mirip dengan caption di instagram—tanpa tagar tentunya.

Bang Martin yang sedari tadi berbincang dengan Bang Rei berkata bahwa kami tak perlu keliling desa untuk mencari data; ia yang mendatangkan warga desa ke warung itu untuk kami wawancarai. Pak Paten tentu saja senang sebab itu artinya kami bisa tetap di sana untuk bernyanyi bersama.

gung pinto

Paten Sembiring sedang memegang kulcapi dan mengajarkan cara memainkan keteng-keteng/Vidiadari

Saya membuka halaman daftar isi, lalu mulai memilih lagu. Kami bernyanyi bermacam genre, mulai dari religi hingga lagu pop Karo. Pak Paten memainkan kulcapi yang bersenar dua. Kawan saya diajarinya keteng-keteng, alat musik tradisional Karo yang terbuat dari bambu.

Kami pun bernyanyi dengan gembira ditemani kopi, jeruk, dan terong belanda hingga pukul 5 sore. Saat pamit untuk kembali ke Berastagi, kami membawa pulang kenangan manis bernyanyi gembira bersama biduan Gung Pinto, Paten Sembiring.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bernyanyi bersama Biduan Desa Gung Pinto di Kabupaten Karo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/biduan-desa-gung-pinto/feed/ 2 9139
Berakit-rakit sepanjang Sungai Amandit Loksado https://telusuri.id/bamboo-rafting-amandit-loksado/ https://telusuri.id/bamboo-rafting-amandit-loksado/#comments Sun, 10 Jun 2018 06:32:30 +0000 https://telusuri.id/?p=9091 Meskipun lahir di Kalimantan Selatan, sampai berusia seperempat abad saya belum pernah sekali pun main ke Loksado, Hulu Sungai Selatan. Namanya hanya saya dengar lewat pelajaran geografi di sekolah. Maka ketika sepupu saya yang paling...

The post Berakit-rakit sepanjang Sungai Amandit Loksado appeared first on TelusuRI.

]]>
Meskipun lahir di Kalimantan Selatan, sampai berusia seperempat abad saya belum pernah sekali pun main ke Loksado, Hulu Sungai Selatan. Namanya hanya saya dengar lewat pelajaran geografi di sekolah.

Maka ketika sepupu saya yang paling bontot mengajak liburan bersama keluarganya ke Loksado, saya senang hati mengiyakannya. Di hari keberangkatan, dengan riang saya menenteng ransel merah kesayangan lalu melompat ke mobil paman.

loksado

Sungai Amandit yang dikelilingi perbukitan Loksado/Endah Wulandari

Perjalanan dari rumah saya di Banjarbaru menuju Loksado memakan waktu sekitar 3 jam. Di Kandangan, Ibu Kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan, kami sempat berhenti untuk makan siang. Menunya ketupat kandangan dengan lauk ikan haruan. Nikmat!

Setelah piring kami bersih, mobil melaju lagi. Semakin lama aspal yang kami lewati semakin menyempit. Jalan pun mulai naik turun. Rumah-rumah mulai berganti dengan hutan dan sungai yang berkelok.

Paman mematikan pendingin mobil dan membuka jendela. Udara segar beraroma tanah dan daun mulai memenuhi hidung. Ah… Aroma liburan!

loksado

Rakit bambu sedang konvoi di Sungai Amandit/Endah Wulandari

Menjelang sore, mobil kami mulai melambat di jalan tanah. Satu-dua, rumah panggung mulai tampak. Setiba di depan bangunan semipermanen bertuliskan “Loksado Outbond” yang terletak tepi sungai, mobil benar-benar berhenti.

“Kita menginap di sini,” ujar paman dengan ceria. Ternyata bangunan agak terbuka itu lantainya hanya dilapisi tikar bambu, sementara angin dingin sudah mulai memeluk tubuh. Sial! Saya tak bawa selimut!

loksado

Dayungnya adalah sebilah bambu panjang/Zeckho Koko

Berakit-rakit di Sungai Amandit Loksado

Keesokan paginya saya dibangunkan oleh aroma nasi goreng buatan paman. Kami sarapan di tepi sungai ditemani debur Sungai Amandit dan kicauan burung. Ujar paman kami akan naik rakit hari ini, karena itu tak perlu mandi dulu. Saya dan dua sepupu manut saja.

Setengah jam kemudian rakit kami datang. Paman memesan dua rakit karena rombongan kami berjumlah lima orang sementara satu rakit hanya bisa dinaiki oleh tiga penumpang dewasa.

Tidak ada pelampung atau peralatan pengaman lainnya. Yang ada hanya ada satu tempat duduk panjang yang juga terbuat dari bambu. Kami duduk berbaris. Sandal kami dilepas dan diikat supaya tidak hanyut. Kami seutuhnya jadi penumpang.

loksado

Saat arus deras, rakit dijaga untuk selalu di tengah/Endah Wulandari

Kami tidak dibekali dayung. Hanya bapak pengemudi rakit kami yang memegang “dayung.” Kata dayung saya beri tanda kutip karena dayung itu hanya sebilah bambu panjang, bukan dayung “modern” seperti untuk arung jeram.

Rakit kami mulai meluncur mengikuti arus Sungai Amandit. Saat arus deras, nakhoda rakit kami memastikan kalau rakit kami tetap di tengah, tentu saja menggunakan bambu itu. Saat arus sedang lambat, dayung bambu itu digunakan untuk mendorong rakit agar terus maju dan tidak tersangkut batu.

loksado

Jeram Sungai Amandit/Endah Wulandari

Sepanjang perjalanan adalah hutan. Batu-batu sungai besar-besar, pohon-pohon menjulang tinggi, dan di atas sana burung-burung sibuk lalu-lalang—sekali saya melihat buaya kecil sedang asyik berjemur.

Ketika makan siang di atas rakit

Di tengah perjalanan, paman meminta agar rakit kami diarahkan ke tepian. Kedua rakit kami pun berhenti dekat sebuah jembatan gantung.

Rupanya sudah hampir tengah hari. Waktunya makan siang. Dengan bekal yang sudah dipersiapkan sebelum naik rakit tadi, kami menyantap makan siang di atas rakit yang mengambang di permukaan Sungai Amandit Loksado.

loksado

Perbukitan hijau yang memagari Sungai Amandit/Zeckho Koko

Tak jauh dari tempat rakit kami berhenti, serombongan anak-anak sedang berenang. Melihat kami sedang makan siang, mereka mendekat. Tapi barangkali bukan makanan yang menarik mereka untuk mendekat—sepertinya mereka takjub dengan kamera DSLR paman.

Paman lalu menantang mereka. Ujarnya, siapa yang berani terjun dari jembatan gantung akan difoto dengan kameranya yang hebat itu. Gayung bersambut. Tantangan paman diterima oleh semua anak.

loksado

Seorang anak meloncat dari jembatan gantung/Zeckho Koko

Mereka bergegas ke tengah jembatan. Mengikuti aba-aba paman, satu per satu dari mereka terjun ke sungai. Saat melihat hasil fotonya, mereka cekikikan, gembira tak karuan melihat aksi mereka terabadikan. Paman pun menghadiahi keberanian mereka dengan setumpuk kue—bekal kami yang kebanyakan. Anak-anak kecil tadi menyambut kue-kue itu dengan gembira.

Ditemani suara binatang hutan Loksado yang sahut-sahutan dengan debur Sungai Amandit, kami pun melanjutkan perjalanan hingga ke garis akhir di Desa Tanuhi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berakit-rakit sepanjang Sungai Amandit Loksado appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bamboo-rafting-amandit-loksado/feed/ 3 9091