Wahyu Noerhadi, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/wahyu-noerhadi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 01 Sep 2021 15:41:02 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Wahyu Noerhadi, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/wahyu-noerhadi/ 32 32 135956295 Menuju Nusa Tenggara Timur Semasa Corona (2) https://telusuri.id/menuju-nusa-tenggara-timur-saat-semasa-corona-2/ https://telusuri.id/menuju-nusa-tenggara-timur-saat-semasa-corona-2/#respond Fri, 03 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30073 Rabu pagi, 16 Juni 2021. Agenda perjalanan pertama kami yaitu dari Kota Kupang ke Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), lalu ke Kabupaten Malaka—dan rencana awal hendak pula menuju Atambua di Kabupaten Belu, yang berbatasan dengan...

The post Menuju Nusa Tenggara Timur Semasa Corona (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Rabu pagi, 16 Juni 2021. Agenda perjalanan pertama kami yaitu dari Kota Kupang ke Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), lalu ke Kabupaten Malaka—dan rencana awal hendak pula menuju Atambua di Kabupaten Belu, yang berbatasan dengan Timor Leste. Ya, siapa sangka andaikan bisa sekalian ke Timor Leste. Sayang sedikit sayang, saat itu waktu dan badan tampaknya belum mengizinkan.

Waktu tempuh dari Kupang ke Kabupaten TTS, dengan mobil, sekitar 3 jam setengah. Berangkat sekitar jam 8 pagi dari Kota Kupang, kami tiba di Desa Oebelo RT 20 RW 09 Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan menjelang waktu Dzuhur.

Di sana, kedatangan kami disambut baik dan hangat oleh warga Kampung Mualaf yang hanya dihuni oleh 16 KK di rumah-rumah adat Lopo. Gerbang kampung warga yang terbuat dari kayu dibuka salah seorang pria. Mobil kami masuk dan barang bantuan diturun-pindahkan dari mobil ke gerobak untuk dibawa ke tempat pertemuan.

Saat disambut oleh warga Desa Oebelo, dengan tradisi Adat Natoni
Saat disambut oleh warga Desa Oebelo dengan tradisi adat natoni/Wahyu Noerhadi

Di tempat pertemuan, kedatangan kami disambut dengan tradisi natoni; dengan mengalungkan syal tenun khas NTT dan penuturan bahasa Dawan, bahasa suku Atoni di Pulau Timor.

Usai penyerahan bantuan kebutuhan pokok seperti sembako dan juga bantuan pembangunan MCK umum, kami berbincang-bincang dengan warga dengan ditemani kudapan yang disajikan yaitu air teh hangat, kopi panas, dan singkong rebus yang dicocol sambal. Di bawah pohon besar nan rimbun, kami berbincang dan duduk bersama di kursi dengan kudapan di atas meja plastik.

Dari perbincangan itu, kudapati kabar bahwa warga setempat hendak membangun mushola pertamanya—yang sejak 1981 atau sudah 40 tahun ini—warga Kampung Mualaf belum memiliki tempat ibadah bersama.

Samsudin Tobeh yang merupakan Penanggung Jawab Pembangunan Mushola mengatakan bahwa masjid terdekat adalah Masjid Al Ikhlas Oehani yang berada di Desa Kiufatu, Kecamatan Kualin. Jaraknya sekitar 11 kilometer dari Kampung Mualaf.

Pernyataan Samsudin Tobeh dibenarkan oleh Milyakim Ton selaku Ketua RT, bahwa yang menjadi kendala bagi jamaah muslim di Kampung Mualaf adalah tempat ibadah. “Tiap hari Jumat warga mesti pergi ibadah ke lain desa. Yang ada uang yang bisa ke masjid [dengan mengendarai ojek]. Yang tidak punya uang, hari Jumat di rumah saja,” jelasnya.

Jamuan Warga Kampung Mualaf Desa Oebelo
Jamuan Warga Kampung Mualaf Desa Oebelo/Wahyu Noerhadi

Milyakim Ton sangat mendukung pembangunan tempat ibadah bagi warganya yang muslim. “Dibukakan oleh jalan Tuhan. Dari tahun 1981 sampai 2021, 40 tahun baru terjawab pembangunan musala. Kita berharap, kita sama-sama menghadap ke Allah, sesuai kehendak Allah,” tuturnya.

Bayangkan, selama 40 tahun warga di sana tidak memiliki tempat ibadah bersama! Sementara masjid terdekat pun jaraknya 11 km, di lain desa dan lain kecamatan. Usai berpamitan dan hendak menuju ke tempat selanjutnya, aku dan kawanku berpikir. Kami berdiskusi di mobil soal bagaimana caranya agar dapat membantu mereka.

Persinggahan di Pantai Kolbano

Pantai Kolbano di Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT
Pantai Kolbano di Kabupaten Timor Tengah Selatan/Wahyu Noerhadi

Di tengah perjalanan dari Kabupaten TTS ke tempat selanjutnya yaitu Kabupaten Malaka, kami singgah untuk rehat dan makan siang. Kami tiba di tempat makan sederhana, persis di depan pantai indah Kolbano; pantai dengan langit dan awan yang bersih. Dan tentu, jernih airnya biru sejati dengan gradasi hijau menuju bibir pantai—mungkin sulit jika dibandingkan dengan kebanyakan lanskap di Jawa misalnya, yang langitnya berpolusi dan airnya yang coklat bahkan hitam dan bercampur sampah manusia.

Uniknya, pantai di Pulau Timor ini tidak berpasir. Di bibir pantai, yang ada hanya hamparan bebatuan atau kerikil warna-warni; warna abu, putih, krem, hitam, hijau, cokelat, jingga, ungu, dan merah jambu. Kira-kira begitu.

Di pantai itu, tampak dua pemuda tengah menambang kerikil; memilih batu sesuai ukuran, bentuk, dan warnanya, untuk memenuhi permintaan orang-orang yang hendak menghias taman atau pinggiran kolam renang atau akuarium wadah ikan cupang.

Dari cerita pemuda Desa Kolbano, batu-batu indah itu nantinya dikirim ke Jawa lewat Surabaya, dengan harga sekarung Rp10 ribu. Sementara di Jawa, satu ember kecil saja, harga batu hias itu bisa dijual Rp30 ribu, katanya. Anehnya, meski terus-menerus ditambang, kerikil-kerikil itu katanya tidak pernah habis. Ribuan kerikil itu tetap saja tampak utuh. Ada terus. Ajaib.

Satu lagi. Selain menambang kerikil, warga Desa Kolbano pun terus menjaga pantainya agar tetap indah dan tidak tercemar sebab ulah manusia. Supaya keindahannya tetap terjaga.

Ambruknya Jembatan Benenain di Malaka dan Kisah Evakuasi Warga

Setelah selesai melewatkan waktu siang di Pantai Kolbano, mobil kembali melaju dan kami tiba Kabupaten Malaka setelah menempuh sekitar empat jam perjalanan. Kami tiba di Desa Wehali, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, kira-kira jam 5 sore.

Kabupaten Malaka merupakan daerah terdampak banjir bandang yang parah, hingga mengakibatkan salah satu jembatan kokoh di sana ambruk. Saat perjalanan ke Desa Wehali, mobil kami pun melewati jembatan alternatif yang dibuat di samping jembatan panjang itu.

“Jembatan kokoh dari beton yang panjangnya sekitar 300 meter, itu ambruk dan sekarang sedang proses perbaikan. Jembatan Benenain itu jembatan terpanjang di Pulau Timor,” ucap Pak Syukur yang mendampingi perjalananku dan kawan selama di sana. Yulianto, salah seorang warga, menceritakan waktu musibah banjir bandang melanda, dirinya berjibaku membantu proses evakuasi warga.

“Waktu banjir bandang, kami berjibaku, menggendong bayi usia sekitar dua minggu, dan juga lansia. Kami sudah tidak bisa sedih lagi saat di lokasi, karena melihat kesedihan yang dalam dari warga yang terkena musibah. Setelah pulang, salat, dan setelah shalat, barulah kami menangis, sedih, dan betapa bersyukurnya kami dalam keadaan yang selamat,” kisah Yulianto, pria asal Jawa itu.

Kembali ke Kupang

Dari Malaka, kami sampai kembali di Kota Kupang sekira pukul 02.00 WITA. Aku dan kawanku tidur untuk esok harinya melanjutkan penyaluran bantuan sembako kepada para nelayan, yang selama hampir dua bulan tidak bisa melaut karena perahunya hancur dihantam badai.

Menurut Pak Syukur, yang memang berdomisili di Kupang, mayoritas masyarakat di situ adalah nelayan yang terdampak bencana dan perahunya hancur. “Mayoritas masyarakat di sini (Kota Kupang) nelayan, dan kapal mereka hancur saat diterjang badai Seroja,” kata Pak Syukur, pada pagi hari saat penyaluran bantuan.

Senja di Pelabuhan Tenau, Kupang
Senja di Pelabuhan Tenau, Kupang/Wahyu Noerhadi

Setelah selesai tugasku dan kawan menyalurkan bantuan, sore harinya Pak Syukur mengajak kami jalan-jalan ke Pelabuhan Tenau di Kota Kupang. Sembari menikmati kopi dan senja ala anak indie, aku berkata dalam hati: “Aku ingin kembali lagi ke sini!”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menuju Nusa Tenggara Timur Semasa Corona (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menuju-nusa-tenggara-timur-saat-semasa-corona-2/feed/ 0 30073
Menuju Nusa Tenggara Timur Semasa Corona (1) https://telusuri.id/menuju-nusa-tenggara-timur-semasa-corona-1/ https://telusuri.id/menuju-nusa-tenggara-timur-semasa-corona-1/#respond Thu, 02 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30064 Selain belum cukup lama, perjalanan (baca: drama) ini pun belum selesai semua dan detail saya ceritakan ke kawan atau orang terdekat, baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan. Jadi, ceritanya, bulan Juni 2021 kemarin, saya...

The post Menuju Nusa Tenggara Timur Semasa Corona (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Selain belum cukup lama, perjalanan (baca: drama) ini pun belum selesai semua dan detail saya ceritakan ke kawan atau orang terdekat, baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan.

Jadi, ceritanya, bulan Juni 2021 kemarin, saya diajak pergi berkunjung oleh kawan ke Nusa Tenggara Timur (NTT). Kami ke sana sebagai relawan, dalam rangka penyaluran bantuan recovery (pemulihan) pascabencana badai siklon tropis Seroja yang melanda NTT pada April 2021 lalu.

Saya dan kawan sudah merencanakan beberapa agenda di NTT, mulai hari pertama hingga hari terakhir di sana. Kami berencana empat hari di sana, di tiga kabupaten/kota yaitu ke Kota Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), dan ke Kabupaten Malaka. Tentu, saya senang bukan alang kepalang. Karena perjalanan ke NTT merupakan perjalanan pertama saya; saya belum pernah menginjakkan kaki dan mengenal daerah dan orang-orang di sana.

Saya hanya punya pengalaman bertemu atau lebih tepatnya memandangi orang Kupang yang merantau, yang bekerja di pabrik-pabrik di tempat kelahiran saya di Kabupaten Bogor. Mereka, tidak banyak, mengontrak tempat tinggal di desa saya, yang dekat dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki menuju pabrik. Mereka, orang-orang Kupang, berangkat ke pabrik pagi dan pulang sore hari. Dan saya beserta kawan-kawan masa kecil hampir saban sore—saat bermain bola di tanah lapang merah belakang pabrik—melihat mereka sepulang bekerja, dengan wajah yang lelah dan berkeringat. Dan postur tubuh mereka, saya lihat memang tinggi-tinggi dan besar. Kami—atau mungkin cuma saya—kerapkali takut memandangnya.

Itu pengalaman masa kecil saya saat berjumpa dengan orang-orang dari Kupang. Kira-kira, saya masih duduk di bangku kelas 5 SD.

Intinya, waktu hendak melakukan perjalanan ke NTT, saya sangat bersemangat. Terlebih, tempat singgah utama kami berada di Kota Kupang. Ya, saya ingin mengenal daerah dan orang-orang di sana, meskipun barang sejenak.

Sebuah “drama” perjalanan terjadi di Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Sebelumnya, perlu saya sampaikan bahwa tiket penerbangan kami dimulai dari Bandara Halim Perdanakusuma, transit di Bandara Juanda Surabaya, lalu dari Surabaya lanjut terbang menuju Kupang, tepatnya ke Bandara El Tari.

“Drama” terjadi pada pagi hari, tanggal 15 Juni. Saya dan kawan tiba di Bandara Halim Perdanakusuma sekitar pukul 04.00 WIB, lalu antre panjang di satu-satunya jalur yang ada untuk validasi surat hasil tes GeNose yang menyatakan bahwa kami sehat dan tidak terpapar COVID-19. Ya, ini perjalanan pertama kami di masa pandemi.

Tiba di depan petugas, surat hasil tes GeNose kami ternyata ditolak. Tidak diterima. Alasannya, surat yang kami bawa, bukan dikeluarkan oleh Layanan GeNose di Bandara Halim Perdanakusuma. Jadi, intinya, kalau tes GeNose mesti di Halim. Itu peraturan dari Angkasa Pura II, kata petugasnya. Dan layanan GeNose di Halim mulai buka jam 6 pagi. Sementara penerbangan kami ke bandara transit di Surabaya, itu pukul 05.15 WIB. ‘Kan lucu.

Waktu makin mepet, kami panik. Dari Halim kami balik ke kantor di Jakarta Pusat untuk mengambil surat keterangan hasil tes Antigen sore hari sebelum keberangkatan. Kami minta ke sopir taksi buat ngebut dan nantinya mencoba balik lagi ke Halim untuk mengejar pesawat. Tidak bisa. Tiba di kantor, waktunya terlalu mepet. Pak sopir juga tidak berani ngebut, “Karena kendaraan pagi kencang-kencang, gerimis, jalanan licin, khawatir kecelakaan,” kata sopir.

Akhirnya kami membeli tiket baru dari Soekarno-Hatta tujuan Bandara Juanda Surabaya untuk mengejar pesawat dari Surabaya ke Kupang, jam 10 kurang. Tentu, tiket Halim-Juanda hangus sudah. Seperti telah saya sampaikan di muka bahwa agenda kami ke NTT adalah untuk menyalurkan bantuan secara langsung dari para donatur kepada para warga terdampak bencana badai Seroja. Jadi, kami harusnya menghemat biaya operasional. Namun, apa mau dikata jika kejadiannya demikian. Kejadian yang sungguh tidak terduga menyebalkannya.

Singkat cerita, kami tiba di Soekarno-Hatta dengan mantap membawa dua surat keterangan hasil tes Antigen dan GeNose yang ditolak di Halim. Di depan petugas di Soekarno-Hatta, aku coba menyerahkan surat keterangan hasil tes GeNose dulu. Dan, surat tersebut diterima. Surat Antigen masih dalam amplop. Kami pun berjalan masuk, sambil misuh.

Halim dan Soekarno-Hatta sama-sama dikelola oleh Angkasa Pura II, tapi kok peraturannya bisa beda? Sungguh, “drama” pagi hari yang menyebalkan.

Mendengarkan cerita warga Mualaf yang selama 40 tahun tidak memiliki tempat ibadah berjamaah
Mendengarkan cerita warga Mualaf yang selama 40 tahun tidak memiliki tempat ibadah berjamaah/Wahyu Noerhadi

Akan tetapi, “drama” itu tampaknya terbayar lunas ketika saya dan kawan tiba di Bandara El Tari, ketika saya menginjakkan kaki di Pulau Timor. Juga ketika melakukan perjalanan dan berjumpa dengan orang-orang di sana, di Kupang, di Kabupaten TTS dan di Kabupaten Malaka.

Masyarakaat Desa Oebelo, TTS, menyambut kedatangan kami dengan tradisi adat natoni, mereka mengalungkan syal tenun khas NTT dan penuturan bahasa Dawan, bahasa suku Atoni; mendengarkan kisah mereka sebagai warga mualaf sejak 1981 sampai sekarang (selama 40 tahun) belum memiliki tempat ibadah bersama, dan masjid terdekat pun jaraknya 11 km yang berada di lain desa dan lain kecamatan. Kemudian, melihat keelokan Pantai Kolbano—di tengah perjalanan dari TTS menuju Malaka—yang jernih airnya biru sejati dengan keajaiban hamparan kerikil (bukan pasir); juga saat di Malaka, mendengarkan langsung aksi heroik warga menyelamatkan diri sekaligus mengevakuasi korban banjir bandang.

Satu lagi. Kisah Bu Ona Baso, seorang Ibu Rumah Tangga di Kota Kupang yang suaminya selama 2 bulan tidak bisa pergi melaut dan mencari ikan karena kapalnya yang hancur diporakporandakan badai Seroja. “Ya, dua bulan tidak melaut saya punya suami. Sekarang sudah ke laut lagi, dan alhamdulillah ini dapat rezeki (bantuan), karena kadang kalau di laut tidak sama sekali. Terima kasih atas bantuannya,” tutur Ona, saat kami berjumpa dan menyalurkan bantuan kebutuhan pokok kepada warga di Kupang, yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menuju Nusa Tenggara Timur Semasa Corona (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menuju-nusa-tenggara-timur-semasa-corona-1/feed/ 0 30064