Wahyu Prasetya https://telusuri.id/penulis/wahyu-prasetya/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 25 Feb 2020 13:54:09 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Wahyu Prasetya https://telusuri.id/penulis/wahyu-prasetya/ 32 32 135956295 Menelusuri Pecinan Bogor https://telusuri.id/menelusuri-pecinan-bogor/ https://telusuri.id/menelusuri-pecinan-bogor/#respond Tue, 25 Feb 2020 13:54:07 +0000 https://telusuri.id/?p=19872 Akhirnya, setelah ditunggu-tunggu, 15 Februari 2020 lalu sekolah TelusuRI hadir di Kota Bogor. Masih dalam suasana Cap Go Meh, Sekolah TerusuRI kali mengangkat tema “Menelusuri Pecinan di Bogor.” Jarang sekali di Bogor diadakan acara seperti...

The post Menelusuri Pecinan Bogor appeared first on TelusuRI.

]]>
Akhirnya, setelah ditunggu-tunggu, 15 Februari 2020 lalu sekolah TelusuRI hadir di Kota Bogor. Masih dalam suasana Cap Go Meh, Sekolah TerusuRI kali mengangkat tema “Menelusuri Pecinan di Bogor.” Jarang sekali di Bogor diadakan acara seperti ini.

Diadakan di Gumati Cafe and Resto, Sekolah TelusuRI kali ini dihadiri oleh beberapa pembicara. Salah satunya adalah Kak Abex (@anak_bebek). Siapa sih yang tak mengenal wanita pendaki yang juga travel blogger, influencer, dan brand ambassador Eiger Adventure ini? Cuma, Kak Abex enggan disebut sebagai “salep garam.”

Ada juga Koh Bill (@billydjokosetio), tukang foto keliling profesional dan travelmate-nya Kak Abex. Mungkin ada yang belum tahu kalau Kak Abex dan Koh Bill sudah menikah.

Sesi “sharing” Sekolah TelusuRI Bogor di Gumati Cafe and Resto/Wahyu Prasetya

Selain itu, ada Jovita Ayu (@JovitaAyu). Kalau pernah nonton Jejak Petualang sekitar tahun 2013, pasti kamu familiar dengannya, sebab ia adalah eks-host Jejak petualang yang sekarang juga berkiprah sebagai seorang content creator.

Kak Abex, yang adalah seorang pendaki gunung, membagikan tips-tips kecil yang begitu bermanfaat saat mendaki gunung, mulai dari tips sederhana agar rambut tidak lepek (dengan cara memakai bedak bayi) sampai tips menceritakan perjalanan melalui tulisan. Selain itu, ia juga sempat berbagi soal kegelisahannya tentang betapa mirisnya [nasib] orangutan setelah direhabilitasi. Pasalnya, lahan yang seharusnya menjadi tempat tinggal mereka pascapelepasan perlahan-lahan menghilang.

Sementara itu Koh Bill membagikan tips-tips fotografi. Ia banyak bercerita soal [how to] capture the moment dan create the moment. Ada fakta menarik yang saya catat, bahwa ternyata foto-foto yang diunggah Koh Bill di akun Instagramnya ia buat hanya dengan ponsel pintar. Ia berkata bahwa yang terpenting adalah bagaimana kita melihat momen dan menemukan sudut pandang yang tepat untuk bercerita lewat foto. Intinya, teknik dan kemampuan sangat diperlukan. Semua orang bisa menjadi fotografer, namun tak semua orang bisa membuat sebuah foto bercerita—atau memancing orang lain untuk ikut bercerita.

Tak mau ketinggalan, saya bertanya pada Koh Bill tentang tata krama memotret, khususnya di tengah-tengah komunitas yang jauh dari kota. Koh Bill pun menjawab bahwa setiap daerah [punya standar tata krama] yang berbeda. Di sebagian tempat, orang-orang menawarkan diri untuk dipotret, di tempat-tempat lain ada yang tak mau dipotret, dan ada juga yang akan meminta imbalan jika dipotret. Intinya, ungkap Koh Bill, “Lebih baik kita lakukan pendekatan terlebih dahulu.” Ilmu yang sangat bermanfaat.

Setelah sesi sharing selesai, kami lanjut menyantap makanan ringan. Selepas itu, kami berangkat mengelilingi pecinan untuk menelusuri sejarah bangunan tua di daerah Surya Kencana Bogor.

Lawang Suryakancana Bogor/Wahyu Prasetya

Di tempat pertama, sang pemandu tur menjelaskan tentang Bogor Trade Mall (Mall BTM). Dahulu, sekitar tahun 1920-an, ini bangunan hotel bernama De Bellevue. Lalu kami melanjutkan perjalanan ke Lawang Suryakancana yang dikenal sebagai pecinannya Bogor. Di sekitar sana ada Vihara Dhanagun yang lebih tenar sebagai Vihara Hok Tek Bio. Dipercaya, vihara ini berusia 300 tahun lebih dan menjadi vihara tertua di Bogor. Nuansanya merah dan emas. Aroma hio menguar di sana.

Dari Vihara Dhanagun, penelusuran berlanjut ke Pasar Bogor. Tepat di ujung Pasar Bogor, terdapat bangunan berarsitektur Eropa-Tionghoa yang ternyata salah satu hotel tertua di Bogor. Namanya Hotel Pasar Baroe. Namun sayang, hotel yang menjadi saksi bisu masa kolonial ini kini sudah rapuh dan kumuh. Hotel ini dibangun oleh seorang Tionghoa bernama Tan Kwan Hong sekitar tahun 1873.

Kami lanjut ke Pulo Geulis, pulau kecil di tengah Sungai Ciliwung. Pulau ini dihuni oleh komunitas etnis Sunda dan Tionghoa yang hidup rukun dan damai. Di Pulo Gelis berdiri Vihara Mahabrahma (Phan Kho Yah Bio), salah satu vihara tertua di Bogor.

Menariknya, di vihara ini ada musala. Saat perayaan Imlek, vihara ini digunakan komunitas Tionghoa untuk merayakan tahun baru. Sementara saat Maulid Nabi, komunitas Sunda yang mayoritas memeluk Islam akan menggunakannya untuk pengajian dan bahkan sembahyang. Sebelum menjadi vihara, pada zaman Kerajaan Pajajaran, tempat ini digunakan sebagai tempat peristirahatan Prabu Siliwangi. Di vihara ini juga ada petilasan Raja Surya Kencana, bersebelahan dengan makam Mbah Imam, leluhur penyebar agama Islam zaman Pajajaran. Vihara ini sudah masuk dalam kawasan cagar budaya.

Foto bareng di Vihara Dhanagun/Istimewa

Sejarah ternyata bisa menyatukan kita dalam perbedaan.

Usai menggali sejarah Vihara Mahabrahma, sang pemandu mengajak peserta Sekolah TelusuRI melihat rumah tua bergaya Indis milik keluarga Kapitan Tan yang berada di Jalan Surya Kencana No. 210, Kelurahan Gudang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Keluarga Tan adalah keluarga peranakan yang terkenal kaya raya dan dihormati pada zaman Hindia Belanda. Dia juga dikenal sebagai pendiri Gedung Dalam.

Dan penelusuran bersama Sekolah TelusuRI Bogor pun berakhir di sini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Pecinan Bogor appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-pecinan-bogor/feed/ 0 19872
Dari Bogor ke Dieng Naik Motor https://telusuri.id/dari-bogor-ke-dieng-naik-motor/ https://telusuri.id/dari-bogor-ke-dieng-naik-motor/#comments Fri, 24 Aug 2018 05:30:41 +0000 https://telusuri.id/?p=10361 Libur panjang akan tiba. Berbagai destinasi wisata menghiasi laman Instagram saya. Setelah menimang-nimang destinasi wisata mana yang cocok dengan keuangan dan waktu, pilihan saya jatuh ke Dieng, kawasan wisata yang berada pada ketinggian rata-rata 2.000...

The post Dari Bogor ke Dieng Naik Motor appeared first on TelusuRI.

]]>
Libur panjang akan tiba. Berbagai destinasi wisata menghiasi laman Instagram saya. Setelah menimang-nimang destinasi wisata mana yang cocok dengan keuangan dan waktu, pilihan saya jatuh ke Dieng, kawasan wisata yang berada pada ketinggian rata-rata 2.000 mdpl.

Salah satu tujuan saya adalah menyaksikan golden sunrise dari Bukit Sikunir. Konon Sikunir punya sunrise terindah se-Asia Tenggara. Dan ini adalah kali ketiga saya berangkat dari Bogor ke Dieng naik motor. Entah kenapa saya tidak pernah bosan mengunjungi negeri di atas awan tersebut.

dari bogor ke dieng naik motor

Sebelum berangkat/Wahyu Prasetya

Beberapa hari sebelum perjalanan dari Bogor ke Dieng naik motor dimulai, persiapan pun saya lakukan: servis motor sekalian ganti oli, kampas rem, dan air radiator. Jas hujan, jaket, baju dan celana ganti, sarung tangan, sepatu, hingga peralatan motret seperti kamera, tas tripod, pembersih kamera, power bank, dan charger, juga saya siapkan.

Untung saja dalam perjalanan ini saya tidak sendiri, melainkan ditemani pujaan hati.

Dari Bogor ke Dieng naik motor lewat Jalur Pantura

Hari yang dinanti tiba. Jam 8 malam perjalanan dari Bogor ke Dieng naik motor pun dimulai. Rute yang saya pilih lewat Jalur Pantura.

dari bogor ke dieng naik motor

Tiba di tujuan setelah perjalanan panjang dari Bogor ke Dieng naik motor/Wahyu Prasetya

Namun baru saja sampai daerah Cileungsi, Bogor, kami berdua sudah kena macet imbas dari perbaikan jalan. Di Cikarang, Bekasi, juga macet. Barangkali sudah tak aneh lagi karena itu adalah kawasan Industri. Perlu waktu 3 jam untuk keluar dari kemacetan tersebut.

Biasanya saya berkendara dua jam nonstop dengan waktu istirahat 20 menit. Namun karena kali ini begitu macet—ditambah doi juga mulai mengantuk—dalam perjalanan kali ini saya lebih banyak berhenti.

Tempat yang paling tepat untuk istirahat adalah pom bensin. Para bikers biasa menyebutnya “Hotel Merah Putih.” Favorit para penggila roda dua adalah pom bensin yang areal istirahatnya dilengkapi warung makan, tempat istirahat, musala, dan, tentu saja, toilet. Malam itu yang menjadi pilihan kami berdua untuk istirahat adalah sebuah pom bensin di daerah Pamanukan.

dari bogor ke dieng naik motor

Ronde susu hangat di Dieng/Wahyu Prasetya

Setelah mengistirahatkan badan, jam 3 dini hari perjalanan kembali kami lanjutkan. Kombinasi dari jalanan yang gelap dan bis atau truk yang ugal-ugalan membuat saya jadi ekstra hati-hati dalam berkendara.

Setiba di daerah Kajen, Kabupaten Pekalongan, tepatnya di Linggosari, jalanan berubah dari lurus menjadi berliku dengan tikungan-tikungan tajam melewati perbukitan.

dari bogor ke dieng naik motor

Cakrawala jinggi/Wahyu Prasetya

Jalanan ini sangat sepi. Hanya beberapa kendaraan saja yang melintas. Namun pemandangan yang disuguhkan begitu memesona. Hutan yang rimbun, perkebunan warga, perbukitan yang terlihat dari kejauhan, semuanya benar-benar memanjakan mata.

Pemandangan indah berlanjut hingga Wanayasa, Batur, dan terus sampai Dieng.

Ronde susu yang menghangatkan dinginnya Dataran Tinggi Dieng

Setiba kami di Dieng, hari sudah siang. Kami berdua pun mencari warung makan. Harga makanan di Dieng terbilang murah. Dengan uang Rp 15.000 kamu sudah bisa makan layaknya prasmanan. Tinggal ambil sesuka hati—asal tahu diri.

dari bogor ke dieng naik motor

Wisatawan memadati Sikunir/Wahyu Prasetya

Setelah perut terisi, saya sempat bingung memilih antara menyewa homestay atau berkemah di pinggiran Telaga Cebong. Informasi dari pemilik warung, warga setempat, dan wisatawan membuat saya lebih memilih homestay.

Menurut warga sekitar, saat musim kemarau daerah Dieng sedang dingin-dinginnya. Suhu bahkan bisa mencapai 0 °C. Bahkan bisa terjadi fenomena embun upas (bun upas), yakni embun yang membeku. Seperti salju kalau kata para wisatawan yang ke Dieng mah. Namun embun upas adalah sebuah petaka bagi para petani di Dieng sebab fenomena itu dapat merusak tanaman mereka.

dari bogor ke dieng naik motor

“Golden sunrise” di Puncak Sikunir/Wahyu Prasetya

Harga sewa kamar homestay di sini pun cukup bervariasi, mulai dari Rp 100.000 sampai jutaan, tergantung fasilitas dan lokasinya. Kebetulan saya mendapatkan yang lumayan murah. Setelah negosiasi yang alot, kami sepakat dengan harga Rp 125.000/hari (Hotel Asri I). Meskipun fasilitasnya ala kadar, lumayan sekali kalau hanya untuk istirahat.

Saat malam tiba, sayang sekali rasanya kalau tak berkeliling di Dieng. Nasi goreng jadi menu makan malam kami. Selain itu dua gelas ronde susu hangat juga menemani kami berdua melewatkan malam Dieng yang begitu dingin.

Mengejar “golden sunrise” di Bukit Sikunir

Jam 3 dini hari waktu setempat kami berdua sudah terbangun dan segera bersiap untuk ke Desa Sembungan, Kejajar, Wonosobo. Sambungan, desa tertinggi di Pulau Jawa, adalah di mana Bukit Sikunir berada.

dari bogor ke dieng naik motor

Menikmati pagi yang dingin di Puncak Sikunir/Wahyu Prasetya

Setiba di sana, kami mendapati bahwa Sikunir sudah ramai sekali (tiket masuk Rp 10.000/orang, parkir Rp 5.000). Musim kemarau begini jalur menuju puncak sangat berdebu sehingga kami kesulitan untuk bernapas. Apalagi mesti berbagi jalan dengan ratusan wisatawan yang juga sedang menuju puncak—macet lagi macet lagi….. Normalnya hanya perlu waktu 30 menit untuk ke puncak.

Jam setengah 6 pagi waktu setempat, sang mentari mulai mengeluarkan warna romantisnya. Para wisatawan begitu antusias ingin melihat matahari terbit—yang konon—terindah se-Asia Tenggara. Para pedagang beredar menjajakan dagangan mereka. Ramainya orang di areal puncak membuat saya susah untuk dapat posisi motret yang saya inginkan.

dari bogor ke dieng naik motor

Memandang Gunung Sindoro/Wahyu Prasetya

Untungnya saat mentari mulai meninggi para wisatawan mulai meninggalkan puncak perlahan-lahan. Hanya tersisa beberapa orang saja termasuk kami berdua yang masih betah menikmati suasana Sikunir.

Jam 8 pagi kami pun turun untuk mencari sarapan dan segelas kopi khas daerah Dieng. Adalah sebuah kebiasaan bagi saya untuk mencicipi kopi khas dari tempat-tempat yang saya datangi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Bogor ke Dieng Naik Motor appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-bogor-ke-dieng-naik-motor/feed/ 7 10361