Yudha Eka Nugraha https://telusuri.id/author/yudha-eka-nugraha/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sun, 31 May 2020 18:49:37 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Yudha Eka Nugraha https://telusuri.id/author/yudha-eka-nugraha/ 32 32 135956295 Perjalanan Duka di Masa Pandemi https://telusuri.id/perjalanan-duka-di-masa-pandemi/ https://telusuri.id/perjalanan-duka-di-masa-pandemi/#respond Sun, 31 May 2020 18:49:35 +0000 https://telusuri.id/?p=22053 Senin, 2 Maret 2020, Presiden Jokowi mengumumkan secara resmi dua kasus pertama COVID-19 di Indonesia. Tentu berita itu membuat geger hampir seluruh masyarakat Indonesia. Keesokan harinya COVID-19 menjadi topik perbincangan paling hot di kampus. Bahkan,...

The post Perjalanan Duka di Masa Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Senin, 2 Maret 2020, Presiden Jokowi mengumumkan secara resmi dua kasus pertama COVID-19 di Indonesia. Tentu berita itu membuat geger hampir seluruh masyarakat Indonesia.

Keesokan harinya COVID-19 menjadi topik perbincangan paling hot di kampus. Bahkan, beberapa orang mulai mengalami ketakutan berlebihan. Ketika seseorang di kampus batuk, misalnya, ia akan disangka terkena virus corona. Situasi getir terus berlanjut sampai akhirnya tanggal 16 Maret 2020 ketua jurusan tempat saya mengabdi mengumpulkan semua dosen di ruangan untuk mengadakan rapat darurat jurusan.

Rapat itu membahas respons kampus terhadap situasi darurat akibat pandemi corona. Menurut ketua jurusan, direktur kampus kami sudah menandatangani kebijakan untuk memindahkan kegiatan belajar mengajar dari kampus ke tempat tinggal masing-masing. Tujuannya tentu untuk memutus rantai penyebaran virus corona.

Mendengar keputusan itu, saya pribadi merasa bersukacita. Senang sekali akhirnya bisa libur dari kegiatan kampus yang padat. Singkat kata, seluruh dosen menyepakati kegiatan belajar, bekerja, dan berdoa dari rumah. Rapat dilanjutkan dengan pembahasan mengenai mekanisme perkuliahan, absen kehadiran baik dosen maupun mahasiswa, dan arahan hidup sehat dari ketua jurusan.

Seminggu pertama #dirumahaja, saya masih antusias menjalani hidup dari tempat tinggal, dari kos yang saya tempati. Suasana hati jadi riang karena benar-benar bebas. Tidak perlu menghadapi mahasiswa lagi.

Saya bahkan sangat mudah menyesuaikan diri dengan metode-metode pembelajaran baru menggunakan teknologi. Saya berinisiatif membuat grup WhatsApp bersama mahasiswa dan juga menyelenggarakan beberapa kelas memanfaatkan Google Classroom dan CloudX sebagai wadah penyampaian materi.

Tangkapan layar perkuliahan “e-learning”/Yudha Eka Nugraha

Minggu pertama mood masih terjaga dan saya aktif melakukan pembelajaran dengan metode e-learning dari tempat tinggal. Namun, kehidupan tidak selamanya berjalan mulus. Saya mulai mengalami penurunan semangat mengajar via media pembelajaran digital. Lalu, tepat tanggal 25 Maret 2020 pukul 13.00 WIB, saya mendapat kabar bahwa ayah saya meninggal dunia.

Seketika, semua semangat yang memang sudah mulai menurun jatuh semakin dalam karena berita tersebut. Saya langsung menghentikan kegiatan belajar yang saat itu masih berlangsung lewat grup WhatsApp. Saya beri tugas kepada mahasiswa lalu mengakhiri perkuliahan hari itu dengan perasaan kacau. Saya merasa gusar. Urusan hidup dan mati itu memang bukan kuasa kita. Tapi merasakan orang terkasih meninggal pada masa pandemi sedang hebat-hebatnya itu membuat masalah jadi terasa semakin pelik.

Belum banyak yang tahu hari itu ayah saya sudah tiada. Paman saya menelepon dari Solo, memberi tahu saya terlebih dahulu karena saya anak pertama. Sebenarnya saya sudah memiliki firasat, karena ayah saya sudah sakit sejak November 2019. Beliau terkena asam urat menahun yang akhirnya harus dioperasi. Proses operasi itu membutuhkan proses penyembuhan yang lama. Namun ayah saya tidak bisa lagi menahannya. Penyakitnya masih tetap ada dan menggerogoti badannya hingga meninggal tanggal 25 Maret 2020 itu.

Satu hal yang membuat saya semakin kacau adalah saya harus melakukan perjalanan di masa pandemi sedang menjadi isu nasional seperti ini. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya merasa melakukan perjalanan adalah hal yang paling menakutkan. Saya tidak mau tertular, tidak mau sakit, tapi harus pergi untuk mengantar almarhum ayah saya ke peristirahatan terakhirnya. Lagipula, karena sekarang saya adalah kepala keluarga bagi adik-adik, saya harus datang.

Saya memaksa diri untuk berangkat. Segera saja saya pesan tiket perjalanan menggunakan pesawat terbang untuk keesokan harinya, 26 Maret 2020. Setelah mengutarakan izin kepada atasan di kampus, saya bergegas membawa perlengkapan untuk menginap beberapa hari di Semarang. Perlengkapan yang saya bawa pun sekarang berbeda. Saya harus mengurangi bawaan pakaian agar perlengkapan kebersihan—masker, sarung tangan, shower cap, tisu basah, hand sanitizer, vitamin, dll.—bisa dimuat dalam tas. Tujuannya tentu untuk mematuhi protokol kesehatan agar tidak tertular COVID-19 dalam perjalanan duka itu.

Pagi hari 26 Maret 2020 saya menuju Bandara El Tari, Kupang. Saya berpakaian sangat lengkap. Jaket sampai saya lapis dua untuk perlindungan ganda. Sarung tangan, masker, dan topi, semua saya gunakan untuk menghindarkan diri dari corona. Beberapa orang di bandara juga menggunakan pakaian yang sama lengkapnya dengan saya. Tampak bahwa permasalahan pandemi ini serius, sehingga masyarakat mulai mengubah pola berperilaku ketika melakukan perjalanan.

Melakukan perjalanan pada masa pandemi seperti sekarang ini tidak menyenangkan sama sekali. Seperti ada yang membatasi, namun terbentuk atas kesadaran sendiri. Pada setiap check-in counter tersedia cairan pembersih tangan dan calon penumpang disarankan menggunakannya. Tempat duduk di ruang tunggu pun sekarang ditempeli imbauan untuk menjaga jarak, sehingga kursi untuk tiga orang hanya bisa ditempati oleh dua orang dengan kursi tengah sebagai pemisah. Selain itu, poster berisi imbauan-imbauan kesehatan untuk mencuci tangan, menggunakan masker, dan menjaga jarak terlihat memenuhi hampir setiap sudut bandara.

Suasana kabin pesawat dalam penerbangan semasa corona/Yudha Eka Nugraha

Pemandangan berbeda juga terlihat ketika saya masuk pesawat. Seluruh pramugari yang bertugas kini menggunakan masker dan sarung tangan. Kursi penumpang pun saat itu diberi jarak, satu deret hanya diisi maksimal dua penumpang saja. Saya duduk di kursi yang tertera pada tiket, dan pesawat kemudian berangkat, membawa saya ke tempat transit di Surabaya.

Sesampai di Surabaya, seluruh penumpang diminta untuk turun dan membawa semua barang bawaan untuk melanjutkan perjalanan dengan pesawat lain tujuan Semarang. Mendengar arahan tersebut, saya membawa bagasi kabin dan langsung turun menuju ruang tunggu pesawat. Saya kembali harus disterilkan dengan berbagai cara sebelum sampai ke ruang tunggu. Saya bahkan memasuki bilik semprot disinfektan untuk memastikan semua virus yang menempel di tubuh mati. Setiba di ruang tunggu, tak menunggu lama sebelum saya berangkat kembali melanjutkan perjalanan ke Semarang.

Sampai Semarang, saya sudah dinanti oleh saudara saya dan menuju tempat pemakaman mendiang ayah di Juwana, masih dua jam lagi dari Semarang.

Tidak banyak yang bisa saya ceritakan ketika mengalami kedukaan di masa pandemi corona seperti sekarang ini. Sedih itu adalah hal yang pasti dialami, apalagi yang berpulang adalah anggota keluarga yang amat dekat dan disayangi. Pandemi corona membuat kesedihan itu bertambah, karena dalam proses pemandian saja almarhum banyak mengalami penolakan. Saat seperti ini semua orang berjaga-jaga agar tidak tertular corona. Namun nasib baik masih di pihak kami. Pada akhirnya ada orang yang mau memandikan almarhum karena memang sebab meninggalnya bukan virus corona.

Proses pemakaman tidak dilakukan seperti biasanya, lagi-lagi mengacu pada protokol kesehatan untuk mengurangi penyebaran virus—social distancing maupun physical distancing. Pelayat yang datang dibatasi hanya yang berasal dari pihak keluarga saja, itu pun maksimal hanya boleh lima belas orang. Sedikit dan diberi jarak, walaupun keluarga sendiri. Pemakaman akan dilakukan dengan prosesi agama Kristen, sehingga pihak keluarga sudah mengundang pendeta untuk memimpin proses pemakaman. Singkat cerita, terlepas dari prosesi yang tidak biasa, pemakaman berjalan dengan khusyuk dan lancar.

Pandemi membuat prosesi pemakaman terasa berbeda/Yudha Eka Nugraha

Sepulang dari pemakaman, pendeta memberi informasi bahwa pada masa corona seperti ini prosesi pemakaman hanya pemakaman saja, tanpan ibadah penghiburan pascapemakaman. Selain itu, tradisi seperti berbagi berkat juga tidak bisa dilakukan. Akhirnya, pihak keluarga sekadar membagikan kotak-kotak makanan kepada tetangga terdekat dibantu keluarga yang datang.

Segalanya menjadi dibatasi. Kami dari pihak keluarga hanya berusaha menjalani protokol kesehatan yang ada agar kondisi tidak semakin parah. Lagipula, esensi dari semua ini adalah doa agar almarhum ayah saya bisa dimakamkan dengan layak dan beristirahat dengan tenang. Saya yakin dan percaya bahwa di luar sana banyak sekali keluarga yang mengalami kejadian yang sama dengan saya, bahkan lebih parah karena tidak bisa melihat orang yang disayangi terakhir kalinya demi memenuhi anjuran protokol kesehatan.

Namun di sini, kita, sebagai manusia, hanya bisa berusaha dengan melakukan yang terbaik, yaitu berdoa—dan juga mematuhi semua peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Lagi-lagi dengan satu tujuan: untuk memutus rantai penyebaran COVID-19.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Duka di Masa Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-duka-di-masa-pandemi/feed/ 0 22053
10.000 Orang Memeriahkan Festival Sarung dan Musik NTT https://telusuri.id/kemeriahan-festival-sarung-dan-musik-ntt/ https://telusuri.id/kemeriahan-festival-sarung-dan-musik-ntt/#respond Wed, 13 Mar 2019 09:23:50 +0000 https://telusuri.id/?p=12285 Sabtu, 2 Maret 2019 lalu, Festival Sarung dan Musik NTT diadakan bersamaan dengan Car Free Day di Jalan El Tari Kota Kupang. Kegiatan ini diikuti lebih dari 10.000 peserta dari instansi pemerintah, pelajar, pengrajin tenun...

The post 10.000 Orang Memeriahkan Festival Sarung dan Musik NTT appeared first on TelusuRI.

]]>
Sabtu, 2 Maret 2019 lalu, Festival Sarung dan Musik NTT diadakan bersamaan dengan Car Free Day di Jalan El Tari Kota Kupang. Kegiatan ini diikuti lebih dari 10.000 peserta dari instansi pemerintah, pelajar, pengrajin tenun ikat, dan masyarakat umum.

Tidak hanya itu, festival ini juga dihadiri oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat beserta istri, Julie Sutrisno Laiskodat, yang sekaligus merupakan Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) NTT. Festival ini semakin unik sebab peserta yang hadir diwajibkan mengenakan kaos putih dan sarung tenun ikat khas NTT.

festival sarung dan musik ntt
Paduan suara pelajar di teras Kantor Gubernur NTT/Yudha Eka Nugraha

Berbagai kegiatan diselenggarakan untuk memeriahkan Festival Sarung dan Musik NTT Sabtu lalu. Beberapa kegiatan yang menarik antusiasme masyarakat antara lain paduan suara dan marching band pelajar NTT, menari bersama mengenakan berbagai kain tenun ikat khas Flores, Sumba, Timor, dan Alor (Flobamora), pameran aneka makanan tradisional berbahan dasar kelor dari UMKM setempat, pameran instalasi tenun, pameran musik tradisonal, dan olahraga bersarung.

Sedari pagi, masyarakat mulai ramai memenuhi areal Kantor Gubernur NTT di Jalan El Tari Kupang. Jam 06.00 WITA, paduan suara yang terdiri dari 2.000 orang pelajar memenuhi teras Kantor Gubernur NTT. Mereka menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia, dilanjutkan dengan lagu tradisional NTT.

festival sarung dan musik ntt
Stan tenun tradisional/Yudha Eka Nugraha

Paduan suara selesai, pasukan marching band pelajar makin menyemarakkan kegiatan Festival Sarung dan Musik ini. Bunyi gemuruh alat musik yang dimainkan membuat peserta tumpah ruah ke jalan utama El Tari untuk mengabadikan momen. Sementara itu, 1.800 pelajar lainnya ikut meramaikan dengan melakukan tarian massal Flobamora seperti Gawi, Dolo-dolo Jai, dan juga Tebe.

Bukan sekadar festival sarung dan musik

Meskipun kegiatan ini baru kali pertama digelar, terlihat antusiasme masyarakat sangat tinggi. Sarung tenun khas NTT bak seragam yang dipakai untuk menunjukkan kebanggaan terhadap budaya. Warga setempat, terutama para pengrajin tenun, berjejer rapi di tempat-tempat yang sudah disediakan untuk menunjukkan tenun-tenun yang luar biasa kaya dengan motif, terinspirasi dari warisan leluhur yang berasal dari 22 kabupaten.

Di sela-sela kegiatan, Ibu Julie yang juga adalah Bunda Tenun NTT berkata bahwa [merajinkan] tenun ikat bukan hanya [untuk] memamerkan tenun saja, namun, lebih dari itu, masyarakat NTT ingin berusaha menunjukkan kepada dunia bahwa mereka cinta damai, bersatu, baik etnis dan juga agama.

festival sarung dan musik ntt
Salah satu stan makanan di Festival Sarung dan Musik NTT/Yudha Eka Nugraha

Kegiatan yang bertemakan “Sarung Tenun Ikat NTT Identitas Budaya, Pemersatu Bangsa” ini diinisiasi sang Bunda Tenun NTT cum Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekrasnada NTT) bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi NTT. Menariknya lagi, tenun-tenun ikat yang dipamerkan adalah hasil karya perempuan-perempuan dari seluruh pelosok Flobamora.

Ibu Julie menambahkan bahwa dengan mengusung pesan kearifan lokal yang unik, tenun ikat NTT diharapkan dapat mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat, terutama untuk membangkitkan kebanggaan di kalangan generasi muda, termasuk milenial, terhadap kain sarung NTT. Acara ini nantinya akan diselenggarakan setiap tahun untuk meningkatkan kebanggaan warga setempat atas kekayaan budaya yang dimiliki NTT.

festival sarung dan musik ntt
Gubernur NTT berkunjung ke stan makanan/Yudha Eka Nugraha

Agar tenun ikat tak hilang termakan zaman

festival sarung dan musik ntt
“Fashion show” via berbagifun..com

Selain musik, tarian, dan pameran tenun, Festival Sarung dan Musik NTT ini juga menyuguhkan aneka bazar makanan tradisional berbahan dasar daun kelor. (Revolusi Hijau Kelor adalah program terbaru yang diusung Gubernur NTT untuk warga setempat.) Gubernur NTT beserta masyarakat dengan bersemangat mendatangi stan-stan makanan tersebut untuk mencicipi cita rasa khas NTT, misalnya teh kelor, salome kelor, es krim kelor, cokelat kelor, keripik kelor, dsb. Pedagang yang menjual pun berasal dari berbagai etnis.

Sampai jam 10.00 WITA, masih banyak peserta kegiatan yang hilir mudik memadati areal festival. Alunan musik terdengar dari tenda pameran. Sasando dimainkan di tengah-tengah kegiatan.

Selain itu, ternyata juga ada fashion show dalam Festival Sarung dan Musik NTT ini. Diiringi alunan musik tradisional, para model meliuk-liuk memperagakan kain tenun ikat khas NTT. Semakin nyatalah bahwa tenun ikat memang diperuntukkan bagi seluruh kalangan, sebagai identitas sekaligus sebagai karya seni yang harus dilestarikan agar tidak hilang termakan zaman.

Animo yang tinggi dari masyarakat tentunya menjadi kekuatan tersendiri bagi Festival Sarung dan Musik NTT. Lewat kerjasama yang baik dari lembaga pemerintahan, swasta, pelajar, masyarakat, dan satuan keamanan, tentu acara ini akan menjadi ikon NTT.

Semoga festival ini memang berkelanjutan, dijadikan acara tahunan NTT yang dapat menjadi magnet bagi wisatawan nusantara maupun mancanegara.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 10.000 Orang Memeriahkan Festival Sarung dan Musik NTT appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kemeriahan-festival-sarung-dan-musik-ntt/feed/ 0 12285
Lari Sore dan Menikmati Senja di Bukit Cinta Kupang https://telusuri.id/menikmati-senja-di-bukit-cinta-kupang/ https://telusuri.id/menikmati-senja-di-bukit-cinta-kupang/#comments Mon, 11 Mar 2019 13:21:13 +0000 https://telusuri.id/?p=12204 Sore itu, Kota Kupang, tempat saya tinggal sekarang, cerah berawan namun tidak terlalu panas. Waktu menunjukkan pukul 15.30 WITA. Saya pikir, mungkin saya bisa mengisi waktu dengan berolahraga. Karena topografi Kupang seperti perbukitan, saya memilih...

The post Lari Sore dan Menikmati Senja di Bukit Cinta Kupang appeared first on TelusuRI.

]]>
Sore itu, Kota Kupang, tempat saya tinggal sekarang, cerah berawan namun tidak terlalu panas. Waktu menunjukkan pukul 15.30 WITA. Saya pikir, mungkin saya bisa mengisi waktu dengan berolahraga. Karena topografi Kupang seperti perbukitan, saya memilih untuk lari sore jarak dekat saja, yaitu dari pinggir Jalan Claret sampai finish di Bukit Cinta.

Di Kupang, berlari di pinggir jalan masih bisa jadi pilihan karena udara masih bersih dan tersedia pemandangan hijau untuk dinikmati. Namun kita tetap harus hati-hati sebab pengendara motor dan mobil masih banyak yang ugal-ugalan.

bukit cinta kupang
“Signage” Bukit Cinta/Yudha Eka Nugraha

Sekilas mata memandang, akses jalan di Kota Kupang ini berangsur-angsur membaik. Jalanan utamanya sudah diaspal dan memungkinkan pejalan kaki untuk bergerak dengan nyaman. Namun, dari Jalan Claret perjalanan menuju Bukit Cinta lumayan berat. Saya harus berlari dengan lintasan yang menanjak. Jadi lumayan melelahkan.

Saya sebenarnya cukup penasaran dengan Bukit Cinta. Kalau ke sana mengendarai motor, tempat itu hanya akan terlihat seperti perbukitan biasa dengan papan nama “Love Hill” yang sangat tidak menarik di bagian depan. Namun, setiap sore tempat itu pasti selalu ramai. Saya yang tinggal di Jalan Claret dan sering lalu-lalang melewati tempat itu tentu saja penasaran dan ingin mengenal Bukit Cinta Kupang lebih jauh.

Bukit Cinta yang menghampar luas bak permadani hijau

Setelah berlari kurang lebih tiga puluh menit, saya tiba di Bukit Cinta Kupang. Saya terkejut ketika melihat ke belakang. Ternyata Bukit Cinta tidak seperti yang saya kira selama ini. Bukit Cinta yang saya pikir sempit, sekadar bukit bertuliskan “Love Hill,” aslinya sangat luas. Ditambah rumput yang sedang hijau maksimal sebab sekarang sedang musim penghujan, Bukit Cinta tak ubahnya seperti hamparan permadani hijau yang melayang-layang menaungi Kupang.

bukit cinta
Lari sore di Bukit Cinta/Yudha Eka Nugraha

Saya melanjutkan berlari di tengah hamparan padang rumput Bukit Cinta Kupang, melewati para pengunjung yang mayoritas muda-mudi dari penjuru NTT. Beberapa pendatang juga datang silih berganti ke tempat ini untuk berfoto. Jeli mengambil kesempatan, terkadang satu, dua orang membawa kamera datang menghampiri para pelancong untuk menawarkan jasa memotret.

Tapi, bukit ini bukan hanya tempat untuk berfoto. Di tempat ini juga banyak yang olahraga (saya salah satunya). Olahraga yang biasa dilakukan di sini adalah jogging. Walaupun belum ada lintasan khusus, berlari di Bukit Cinta tetap terasa asyik sebab kita bisa berolahraga sembari menikmati pemandangan alam yang menyenangkan.

Saya juga menjumpai beberapa orang yang hanya sekadar duduk untuk menikmati sunset, bercengkerama dan berkumpul bersama orang terkasih. Memang banyak muda-mudi yang datang ke sini untuk berpacaran. Konon, tempat ini dinamai Bukit Cinta karena banyaknya muda-mudi setempat yang memadu kasih di sini.

bukit cinta
Padang rumput yang hijau di musim penghujan/Yudha Eka Nugraha

Kebetulan saya datang berdekatan dengan Hari Valentine. Beberapa muda-mudi yang merayakan Hari Kasih Sayang itu tampak mengungkapkan rasa sayangnya dengan memberikan boneka beruang sebesar galon Aqua kepada kekasihnya. Sebagian lain sekadar mempersembahkan bunga, cokelat, dan mengabadikan momen dengan berfoto bersama di hamparan hijau Bukit Cinta.

Selalu ramai sebab belum ada tiket masuk

Bagi mereka yang sangat menyukai momen tenggelamnya matahari, Bukit Cinta adalah lokasi yang pas untuk melihat fenomena alam tersebut. Selain itu, penikmat sejarah juga pasti akan senang ke Bukit Cinta, sebab di sini ada peninggalan sejarah berupa bunker dan goa Jepang. Konon, kedua peninggalan itu dahulunya adalah lokasi persembunyian tentara pendudukan Jepang ketika perang. Sayang sekali sekarang nasibnya kurang diperhatikan; hanya jadi alas untuk melihat sunset.

bukit cinta
“Bunker” peninggalan Jepang/Yudha Eka Nugraha

Bukit Cinta Kupang berada di perbatasan Kota Kupang dan Kabupaten Kupang, tidak jauh dari Bandara El Tari, hanya terpaut sekitar tiga kilometer saja. Dari bandara, hanya perlu membayar antara Rp 5.000-10.000 naik ojek. Naik angkot jurusan Penfui hanya Rp 2.000. Kedekatan tempat ini dengan bandara membuat saya dan pengunjung lain dapat leluasa melihat pesawat yang berlalu-lalang, baik yang hendak take off maupun landing.

Tempat ini selalu ramai terutama di sore hari, barangkali karena belum ada biaya masuk. Siapa pun bebas menjelajah Bukit Cinta dan melakukan aktivitas yang mereka suka selama tidak menganggu ketertiban umum.

Jika pengujung butuh sesuatu, mereka bisa membelinya di kios-kios dan kafe-kafe di sekitar Bukit Cinta. Pohon-pohon besar juga tumbuh dengan rindang di sekitar puncak, cukup untuk berteduh atau berhenti sejenak sekadar menikmati angin semilir.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lari Sore dan Menikmati Senja di Bukit Cinta Kupang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menikmati-senja-di-bukit-cinta-kupang/feed/ 1 12204