Yusran Ishak, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/yusran-ishak/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 27 Nov 2023 02:11:31 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Yusran Ishak, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/yusran-ishak/ 32 32 135956295 Tradisi Massempe’: Pertarungan Tanpa Menang dan Kalah https://telusuri.id/tradisi-massempe-pertarungan-tanpa-menang-dan-kalah/ https://telusuri.id/tradisi-massempe-pertarungan-tanpa-menang-dan-kalah/#respond Fri, 01 Dec 2023 06:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40154 “Lokkaki mita mappassempe’!” (bahasa Bugis), yang artinya seorang teman mengajak saya pergi menyaksikan tradisi massempe’ —sebuah gelaran tradisi pasca panen masyarakat Bugis sebagai bentuk perayaan atas hasil yang mereka dapatkan.  “Oh, massempe’ tetap diadakan tahun...

The post Tradisi Massempe’: Pertarungan Tanpa Menang dan Kalah appeared first on TelusuRI.

]]>
“Lokkaki mita mappassempe’!” (bahasa Bugis), yang artinya seorang teman mengajak saya pergi menyaksikan tradisi massempe’ —sebuah gelaran tradisi pasca panen masyarakat Bugis sebagai bentuk perayaan atas hasil yang mereka dapatkan. 

“Oh, massempe’ tetap diadakan tahun ini?” ajakan teman saya timpal dengan pertanyaan sedikit terheran. Tahun ini kekeringan melanda, menyebabkan banyak lahan terutama sawah tadah hujan, gagal panen. Saya pun berpikir, apakah harus merayakannya jika hasil panen bermasalah?

Meski sedikit bingung saya tetap beranjak dengannya.

Kami menuju Desa Sanrangeng, Kecamatan Dua Boccoe, Kabupaten Bone. Dua desa setelah kampung kelahiran saya. Sesampainya di sana, mobil dan motor sudah mulai berdesakan penuhi bahu jalan, lorong-lorong dan halaman rumah warga.

Massempe’ sendiri merupakan tradisi tahunan sekaligus ajang silaturahmi masyarakat antardesa yang saling berkumpul di desa tempat tradisi berlangsung. Sebagai penghormatan kepada tamu yang datang, desa tuan rumah bertugas mappanre (memberi makan) dengan memotong hewan peliharaan seperti ayam dan sapi yang dimasak secara gotong royong bersama seluruh warga desa. 

“Sudah mulai kah?” tanya ku pada teman yang berjalan mendahului ke lapangan.

“Belum, orang-orang masih mappere,” jawabnya saat melihat orang berayun di atas ayunan raksasa.

Sebelum massempe’ sebagai acara inti dimulai, mappere (berayun) menjadi pembuka acara. Ayunan tersebut sangat besar, memiliki tinggi sekitar 20 meter, terbuat dari dua batang kayu kapuk ditancapkan ke tanah dengan jarak kedua tiangnya sekitar 10 meter. Di tengahnya terdapat tali sebagai pengikat bantalan ayunan terbuat dari kayu.

Orang yang ingin diayun duduk di bantalan sembari kedua tangannya berpegangan pada tali ayunan. Kemudian terdapat dua orang pemuda yang membentangkan tali pada perut orang di atas bantalan yang menarik sisi kanan dan kiri tali dengan kuat. Ayunan mulai bergerak, dua pemuda itu dengan sigap  mengambil tali kemudian menariknya kembali. Ayunan semakin meninggi, pemuda itu melakukannya berulang kali sampai ayunan mencapai ketinggian 10 meter lebih.

Biasanya mappere diperuntukkan untuk ibu-ibu dan remaja putri meski tidak ada larangan bagi golongan laki-laki untuk mencobanya. Makanya, tak heran jika suara histeris para ibu-ibu terdengar di atas ketinggian. Sontak para penonton tertawa meski mereka juga ikut merasakan ketegangannya.

Mappere menjadi tontonan mengasyikkan dan buat jantung berdebar. Pun, butuh keberanian dan mental kuat untuk mencobanya. Meski begitu, mappere selalu membuat penonton penasaran.

“Saya ingin mencobanya!”

“Tidak usah, nanti kau pingsan di atas ayunan!” jawab teman yang lain sambil mengejek.

Setelah sekitar satu jam terbuai dengan keseruan mappere, orang-orang mulai beralih ke sisi tengah lapangan yang sudah diberi garis pembatas berbentuk lingkaran dari tali rafia. Penonton tidak boleh melewati garis batas tersebut.

Berkumpulnya orang-orang di sekitar arena pertanda tradisi massempe’ segera dimulai.

Secara bahasa, massempe’ berasal dari dua kata yaitu ma dan sempe’ (bahasa Bugis). Ma artinya sedang melakukan dan sempe’ artinya sepak atau menendang. Massempe’ adalah budaya saling menendang antara dua orang laki-laki yang bertarung atau tradisi uji ketangkasan bagi kaum pria suku Bugis. 

Sebelum memulai pertarungan, beberapa pemuda yang akan bertarung berjalan sambil menepuk-nepuk paha mengelilingi arena di tengah-tengah penonton sebagai pihak penantang. Pemuda lain yang duduk di antara penonton berperan sebagai calon lawan sehingga para penantang berjalan sembari menunggu tantangannya diterima.

Cara menerima tantangan dilakukan dengan berdiri sambil menepuk tangan dua kali lalu menyodorkan salah satu tangan ke arah penantang yang diinginkan. Apabila penantang setuju, dia melakukan hal yang sama sebagai simbol kesepakatan antara dua pihak untuk bertarung. Selanjutnya kedua pemuda itu memasuki arena.

Massempe’ dipandu oleh dua orang wasit inti. Wasit bertugas melerai para petarung yang mereka ukur dengan estimasi waktu tertentu. Pertarungan berlangsung hanya sekejap untuk setiap sesi. Meski begitu, massempe’ termasuk pertarungan cukup ekstrim. Terkadang ada petarung yang cedera seperti betisnya bengkak, mulutnya berdarah, bahkan pernah ada kasus sampai patah tulang.

Pertarungan dalam massempe’ cuma terdapat dua aturan, pertama tidak boleh menggunakan tangan dan kedua harus mematuhi wasit. Makanya peran wasit sangat intim untuk memastikan petarung tidak ada yang cedera sebab massempe’ sendiri bukan ajang unjuk diri semata, tetapi lebih kepada bentuk silaturahmi dalam gerak. 

“Bagaimana kawan? Kita massempe’ juga?” Teman saya mengajak masuk arena .

“Kalian pemuda, masuklah!” Seorang sesepuh yang duduk dekat kami mengompori

Saya cengengesan di pinggir arena menolak ajakannya.

Terakhir kali saya ikut massempe’ itu sewaktu SD, memori tersebut sudah cukup untuk mengungkap betapa serunya tradisi ini. Bagi golongan pria Bugis, massempe’ seperti memiliki energi magis menarik kita ke dalam arena. Ikut bertarung seakan memberi kepuasan yang menggembirakan.

Di antara kerumunan penonton, kaki saya mulai gemetaran namun kekhawatiran cedera lebih kuat menahan diri. Belum sempat menenangkan diri, seorang pemuda di samping saya sepakat bertarung. Mereka menuju tengah lapangan menghampiri wasit, mereka melangkah membusungkan dada penuh kehormatan sebagai laki-laki. Sebelum memulai pertarungan, wasit mewajibkan petarung bersalaman. Kemudian mereka mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang-ancang, setelah wasit memberi instruksi, pertarungan mulai. 

“Prakkk! Bumm… Pushh…” Suara saling tendang terdengar.

“Eaaa… Eeeeaaa… Huuuu… Hahahaha…” Gelegar suara penonton menyaksikan model tendangan.

“Hooppp… Stoppp, sudah, sudah..” Suara wasit terdengar lantang merelai.

Uniknya, massempe’ tidak menambah musuh pasca pertarungan tetapi justru menambah pertemanan. Pertarungan dimulai dengan jabat tangan dan berakhir dengan jabat tangan pula, kemudian mereka tidak boleh bertarung kembali dengan lawan yang sama.

Dua pemuda tadi berjabat tangan sambil mengumbar senyum, bahkan salah satunya mengucap maaf ketika berhasil mengenai lawan dengan keras.

Suku Bugis Bone terkenal dengan konsep padaidi (sesama kita). Suatu nilai yang memiliki kekuatan besar untuk mempersatukan setiap kepentingan dalam masyarakat Bugis. Kata-kata itu sering terdengar sewaktu terjadi konflik antarmasyarakat Bugis, sehingga pada tradisi massempe’ semua orang merasa satu walau berasal dari desa berbeda.

Massempe’ berlangsung sejak siang sampai sore, para pemuda bergantian mengadu ketangkasan. Gemuruh teriakan penonton memuncak sejalan dengan sepakan petarung. Suara-suara saling menendang terdengar, meski ngilu namun wajah sumringah tetap terlihat pada petarung. Inilah seni massempe’, saling adu tanpa ada yang menang dan kalah. Semata-mata demi perayaan atas hasil bumi dan momen saling kenal untuk memperkokoh silaturahmi.

Dalam tradisi massempe’ yang mendapatkan luka dan mengalami sakit, bukan berarti ia kalah. Begitu juga yang berhasil menendang mundur lawan, bukan berarti menjadi pemenang.

Pertarungan tanpa ada hadiah selain persahabatan sebagai piala, merupakan pertarungan paling berkesan. Mereka yang pernah saling beradu, kerap menjalin hubungan pertemanan setelah acara, yang awalnya tidak saling kenal kemudian bisa merawat silaturahmi.

Tidakkah pesan yang timbul begitu menggiurkan di era sekarang ini? Kompetisi pertarungan yang tampak ke permukaan masyarakat dominan menuntut adanya pemenang dan menyingkirkan mereka yang kalah. Pun pertarungan yang terlihat memperlebar jarak hubungan manusia sehingga musuh selalu menjadi anak dari setiap arena kompetisi. Menyaksikanmassempe’ memberi saya setitik kesadaran bahwa pertarungan paling indah adalah pertarungan tanpa mengalahkan apapun selain rasa egois untuk menjadi pemenang.

***

Pada mulanya tradisi massempe’ dilakukan sejak Kerajaan Bone, pemuda saling bertarung depan aristokrat kerajaan untuk direkrut menjadi pallapi aro (pelindung raja). Tradisi tetap eksis secara turun temurun meski arahnya dialihkan menjadi bentuk perayaan atas hasil panen masyarakat Bugis, dan hasil panen mereka tidak selalu memuaskan. Apalagi di tengah gempuran El Nino yang meretakkan banyak lahan, seperti saat ini.Akhirnya, massempe’ menjadi ruang bagi petani untuk berterimakasih kepada alam sekaligus doa yang terpanjat tanpa ucap untuk keberkahan siklus tanam selanjutnya. Lewat massempe’, petani memberi sedikit interupsi bahwa perayaan bukan hanya perihal euforia tetapi bentuk kerendahan hati untuk bersyukur.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tradisi Massempe’: Pertarungan Tanpa Menang dan Kalah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tradisi-massempe-pertarungan-tanpa-menang-dan-kalah/feed/ 0 40154
Bersyukur dan Berdendang dalam Mappadendang https://telusuri.id/pesta-syukur-mappadendang/ https://telusuri.id/pesta-syukur-mappadendang/#respond Tue, 21 Mar 2023 04:00:03 +0000 https://telusuri.id/?p=37733 “Mobilnya sudah datang, ayo kita pergi tunggu mereka di Soraja.” sapa Andi melihat mobil rombongan arak-arakan Padendang yang sedari tadi kami tunggu. Mobil itu ‘berdendang’ mengelilingi kampung tanda dimulainya acara pesta panen warga. Dengan busana...

The post Bersyukur dan Berdendang dalam Mappadendang appeared first on TelusuRI.

]]>
“Mobilnya sudah datang, ayo kita pergi tunggu mereka di Soraja.” sapa Andi melihat mobil rombongan arak-arakan Padendang yang sedari tadi kami tunggu. Mobil itu ‘berdendang’ mengelilingi kampung tanda dimulainya acara pesta panen warga. Dengan busana baju bodo—pakaian khas Bugis—penumpang perempuan memukul lesung padi dipadukan dentungan gendang di atas mobil, hingga mengeluarkan irama tradisional.

Sementara sebagian penumpang laki-laki memukul gendang, sebagian lagi berdiri sebagai pengawal. Para pengawal ini merias dirinya dengan spidol di wajah dilukisnya brewok dan kumis memegang tombak agar tampak garang serupa para pengawal kerajaan zaman dulu. Saya dan Andi bergegas ke soraja (rumah adat) tempat Mappadendang—atau dalam bahasa Indonesia berarti ‘berdendang’—akan berlangsung.

Mappadendang
Warga berkerumun depan soraja/Yusran Ishak

Ajang ini berlangsung di Desa Lallatang, Kecamatan Dua Boccoe, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan. Secara umum Mappadendang dikenal dengan pesta panen—perayaan selepas warga melakukan panen raya di kampung. Rangkaian utama acara melekat menjadi nama kegiatan sehingga orang luar mengenal adat Mappadendang sebagai perayaan selepas panen.

Dari arti kata ‘berdendang’, kita sudah membayangkan bahwa perayaan adat satu ini mengisahkan tentang kegembiraan. Acara yang ditunggu warga setempat setiap tahunnya ini selain sebagai pesta merayakan hasil panen, juga menutup lelah sewaktu panen dengan bersenang-senang. Terbukti dengan antusias warga berbondong-bondong mengerami soraja bahkan memotong beberapa hewan ternak seperti sapi, kuda dan unggas untuk menu makan bersama warga kampung. Euforia petani pedesaan terlihat amat jelas lewat acara itu.

“Kamu bawa kamera juga?” tanya Izanal menenteng kameranya menghampiri saya dekat soraja

“Ia nih, nanti kita naik ke soraja untuk ambil gambar. Kau ambil video, saya memotret,” saya dan Iznal berperan sebagai kru dokumentasi hari itu. Disela percakapan kami soal konsep dokumentasi, tiba-tiba mobil rombongan datang. Kami lalu berpencar mengambil posisi berbeda untuk mendapat angle gambar yang beragam.

Setibanya rombongan arak padendang di soraja, acara berlanjut dengan penyambutan para tokoh masyarakat dan aparat pemerintah setempat. Suguhan utamanya yakni tarian dan Angaru’ oleh seorang pemuda mengenakan baju bodo dengan songko’ recca’—tutup kepala khas Bugis—sembari menusuk-nusuk badannya dengan sebila badik—senjata tradisional khas Bugis. Dia memainkan lakonnya dengan meneriakkan pesan luhur pakai bahasa Bugis menyambut orang yang ditokohkan.

Angaru’ sendiri merupakan adat kerajaan Bugis pada zaman dahulu yang dilakukan oleh panglima perang sebagai bentuk pengakuan kesiapan prajuritnya memimpin perang pada sang raja. Tapi semenjak zaman modern dan lewatnya masa perang, adat ini dilestarikan dengan menampilkannya di setiap kegiatan budaya sebagai penyambutan kepada orang yang ditokohkan. Angaru’ masih sering sekali ditampilkan oleh para pemuda di setiap acara bahkan pernah ditampilkan menyambut presiden sewaktu kunjungannya ke Makassar.

“Ayo ikut naik sama rombongan. Kau ke depan dekat padendang—lesung padi yang di pukul, saya dekat pintu masuk.” ajak saya ke Iznal naik ke soraja sewaktu para tokoh selesai disambut.

Di atas sana, para tokoh duduk menikmati permainan para pemain musik dengan memukul lesung padi yang sudah diberi rias rombe-rombe. Sebelumnya para pemain sudah latihan setiap malam selama hampir sebulan sebelum acara digelar. Lesung padi memanjang sekitar 3 meter di pukul oleh 6 pemain. 4 orang pemukul utama diisi oleh perempuan dan 2 (bisa lebih) laki-laki memukul ujung Lesung sambil bergoyang. Dua orang [laki-laki] lagi menjadi pemain tetap yang memainkan gendang. Irama pukulan silih berganti memunculkan musik yang sangat khas. 

Adat Mappadendang sendiri lahir sebelum adanya mesin penggiling padi. Yang mana para warga saat itu mengolah padi menjadi beras dengan cara dipukul dalam lesung. Mereka, saling gotong-royong dan bahu-membahu dalam mannampu (memukul padi dalam lesung) padinya.

Aktivitas ini dilakukan saling bergantian, dari rumah ke rumah yang lain sampai semua padi milik warga selesai diolah untuk persediaan makanan dan selebihnya dijual. Setiap rumah yang padinya di-nampu (diolah menjadi beras) menyediakan banyak makanan untuk menjamu para warga yang datang membantu tanpa digaji. Sebuah pemandangan yang sangat artefaktur untuk dilihat pada era kini.

Aktivitas ini kemudian membentuk kebiasaan dan berubah menjadi adat istiadat yang dilestarikan sampai sekarang oleh warga Desa Lallatang. 

“Minggir, minggir… Kami mau lewat!”

Mappadendang
Tampang para pengawal/Yusran Ishak

Seorang teman yang bertugas dengan candanya menyelak saya yang masih sibuk memotret di dekat pintu masuk. Padendang diisi oleh beberapa tim yang “bermain” silih berganti. Para pengawal, mengawal setiap kedatangan dan kepergian tim dengan raut wajah garang.

Ajang ini berlangsung sekitar 3 jam, dan selama itu pula musik harus terus berbunyi. Olehnya para pemain bergantian agar tidak capek.

Irama para pemain inti dari setiap tim hampir senada. Lain lagi dengan dua orang yang memukul ujung lempung, mereka selalu menciptakan irama yang berbeda. Mereka disebut Pabbenrang—dua orang atau lebih yang memukul ujung lesung—bergoyang dengan kepala ditundukkan memegang tongkat meliukkan badannya. Pemandangan ini memunculkan riak penonton dengan tawa mengelilingi soraja.

Mappadendang bukan hanya disaksikan oleh warga desa setempat, para warga desa lain hingga para pejabat kecamatan hingga kabupaten turut datang menyaksikannya. Tentu saja, Desa Lallatang seketika itu menjadi sangat ramai. Para perantau pun menjadikan Mappadendang sebagai momen untuk pulang kampung. Bahkan antusiasme mereka untuk pulang kampung melebihi antusiasme pulang kampung saat lebaran.

“Dek, Dek.. Tolong fotoin dulu Dek!” Sapa seorang perempuan kepada saya saat acara hampir usai.

Para tamu yang berada di atas soraja mulai meninggalkan tempat, tapi sebelumnya itu, tentu mereka tak mau ketinggalan mengabadikan keberadaannya di ajang ini. Saya dan Iznal seketika sibuk memotret para tamu dengan segala gayanya. Wajar saja, sebab acara adat ini tak saban hari ada.

Mappadendang
Tarian penyambutan tamu/Yusran Ishak

Setelahnya, penyelanggara mengarahkan para penonton yang berada di sekitar soraja menuju tenda jamuan. Beragam boga khas Bugis seperti nasu manu likku (ayam masak lengkuas), sokko (nasi dari beras ketan hitam), bejabu (abon dari kelapa yang gurih), cangkuli (abon kelapa dengan gula merah), onde-onde, tumpi-tumpi (lauk dari sangrai kelapa yang dibentuk segitiga) dan menu lainnya tertata rapi di meja.

Warga setempat mendahulukan tamu dari luar, salah satu adab luhur Bugis dalam menjamu tamu. Bahkan, mereka rela tidak kebagian jamuan asalkan tamu menikmati segala jamuan yang tersaji.

Saat saya menanyakan tentang makna ajang ini, masyarakat setempat menekankan bahwa Mappadendang bertujuan untuk mappasiruntu nennia mappasitemmu deceng (bahasa Bugis) yang artinya “untuk saling bertemu antar sesama dan saling mempertemukan kebaikan.” Selebihnya mereka bercerita dengan wajah sumringah tentang keseruan berperan sebagai pabbenrang, tukang gendang, dan asiknya ikut bergoyang sambil bersorak gembira dengan musik Padendang.

Menariknya, mereka bahkan tidak pernah menceritakan ke saya soal bagaimana hasil panennya. Apakah untung atau rugi, banyak atau sedikit, hingga hasil panennya baik atau rusak, dan cukup atau tidak memenuhi kebutuhannya sampai panen berikutnya.

Dari sana saya berkesimpulan bahwa betapa indahnya konsep syukur para petani desa. Bahwa syukur mereka tidak bergantung pada bagaimana hasil diperoleh melainkan bagaimana menghargai proses usaha dalam mengolah pertanian. Apapun dan bagaimanapun hasil panen, Mappadendang tetap akan terselenggara.Mappadendang menyisakan pesan luhur bagi para generasi kita, tentang bagaimana cara bersyukur. Konsep yang amat penting untuk tidak tergesa-gesa dan tidak terlalu cepat dalam menjalani hidup.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bersyukur dan Berdendang dalam Mappadendang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pesta-syukur-mappadendang/feed/ 0 37733
Bersama Kawan di Bawah Langit Hutan Pinus Bulu Tanah https://telusuri.id/hutan-pinus-bulu-tanah/ https://telusuri.id/hutan-pinus-bulu-tanah/#respond Tue, 07 Mar 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37521 Bertemu teman lama selalu membuat cerita lampau terungkit kembali. Kepulangan mereka ke kampung halaman memunculkan rangkaian peristiwa di masa lalu yang nikmat untuk didongengkan. Mereka ada yang merantau ke Kalimantan Utara dan Sulawesi Tenggara, sebagian...

The post Bersama Kawan di Bawah Langit Hutan Pinus Bulu Tanah appeared first on TelusuRI.

]]>
Bertemu teman lama selalu membuat cerita lampau terungkit kembali. Kepulangan mereka ke kampung halaman memunculkan rangkaian peristiwa di masa lalu yang nikmat untuk didongengkan. Mereka ada yang merantau ke Kalimantan Utara dan Sulawesi Tenggara, sebagian bekerja, sebagian lagi sekolah. Setelah bercerita tentang pengalaman masing-masing di tempat perantauan, kami hiasi percakapan dengan mengungkit kenangan masa lalu. Mungkinkah kisah kami di masa lalu berkontribusi bagi semesta? Pikirku. Sebab peradaban semesta ini tersusun dari sekumpulan kisah penghuninya.

Dari pertemuan itu kami merencanakan sebuah perjalanan. Sebagai anak rantau, kenangan masa lalu merupakan candu yang gemar melahirkan rindu untuk pulang. Kita tidak bisa menciptakan kenangan sama di masa lalu, tapi dengan orang yang sama kita dapat mengukir kenangan baru untuk di kenang di hari esok. Bukankah manusia lebih kuat karena punya banyak kenangan?

Kami sepakat pergi berkemah di Hutan Pinus Bulu Tanah. Lokasinya berada di Kecamatan Lapri Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Masih di kabupaten tempat kelahiran kami. Kami berangkat berdelapan orang dengan mengendarai motor. Dari kampung, butuh waktu tempuh sekitar tiga jam untuk sampai di sana, durasi yang sama ketika kami berangkat dari Makassar.

“Kita beli protein di mini market saja ya, biar saya yang tangkis.” Ucok menyarangkan.

“Ok, biar saya tambah!” Sarmi menimpali saran Ucok. 

Kami membawa bahan makanan cukup lengkap. Pagi sebelum berangkat, kami ke pasar membeli sayuran dan bumbu masak. Hutan pinus yang kami datangi tidak membutuhkan perjalanan kaki yang melelahkan. Meskipun berada di ketinggian, namun motor sampai tepat pinggir lokasi.

Langit mendung mewarnai perjalanan kami, tapi kemarau di awal tahun tak kunjung meruntuhkan hujan ke tanah. Perjalanan dari kampung menembus kampung lain, menampakkan rumah panggung khas Bugis yang berjejeran mengikuti liukan jalan. Di Kabupaten Bone mayoritas masyarakat masih menghuni rumah panggung, utamanya di pedesaan. Meski arus pembangunan rumah beton semakin populer, namun kebanyakan masyarakat Bugis memilih mempertahankan rumah panggung mereka. 

Hutan Pinus Bulu Tanah
Pemandangan Sawah/Yusran Ishak

Menelusuri pedesaan, pemandangan sawah menjadi cinderamata yang selalu ada. Rute perbukitan yang meliuk-liuk, sampingnya sawah membentang luas. Serasa berjalan di atas tangga menapaki setiap larik pematang sawah. Hijau muda menghiasi, petani baru saja menanam padi meski hanya mengandalkan air hujan. Panorama indah itu membuat saya sedikit melontar doa, agar kemarau tidaklah panjang.

Kami tiba sekitar pukul 14.00 siang lalu membayar registrasi Rp15.000/orang yang sudah termasuk biaya parkir. Angin kemarau berhembus di ketinggian, pohon pinus menari melambai menyambut kedatangan kami. Sejuk pun mulai terasa, tajam sinar matahari menyelinap di antara dedaunan pinus tak lagi terasa panas. Sebelum berjalan, kami ibadah kecil-kecilan dengan berjamaah membaca aturan di sana. Sebagai pengunjung, siapapun itu dan ke tempat mana pun itu membaca aturan adalah ibadah wajib yang harus ditunaikan. Agar tidak merusak, agar tau batas, agar tetap lestari.

Area Hutan Pinus Bulu Tanah terbagi menjadi beberapa area. Ada area khusus untuk camping dan juga area piknik dengan menyediakan deretan gazebo dan vila yang sedang dibangun. Di sana sudah ada musala dan WC umum, tidak repot ketika ingin buang hajat, beribadah atau pun mencari sumber air.

Snack mana? Saya lapar.” Andi tidak sarapan sebelum berangkat, jadi dia kelaparan. 

Tas carrier kami bongkar, tenda kami dirikan. Ucok keliling cari kayu bakar untuk api unggun, sementara para perempuan merapikan barang. Andi berdiri menenteng snack-nya sambil menunjuk-nunjuk dan mengoreksi semua apa yang kami kerjakan. Dia sudah ibarat mandor kami, padahal dia tidak melakukan apa-apa. Ah, dia memang kacau. 

“Panaskan air deh, kita ngopi dulu,” Setelah tenda berdiri, saya ajak yang lain ngopi. 

“Nanti aja ngopi-nya, kita masak nasi saja. Saya lapar.” Andi kembali mengajukan protes. Meski dia laki-laki tapi dia paling cerewet di antara kami.

Hutan Pinus Bulu Tanah
Siluet pohon pinus/Yusran Ishak

Kami memasak menuruti kemauan Andi, saya bertugas sebagai chef utama. Pengalaman hidup nge-kost menyisihkan sedikit kemampuan dalam memasak. Kami memasak di samping unggun dekat tenda sambil menyeruput kopi. Biasanya tempat ini selalu dibaluti kabut tebal, tapi kemarau buatnyat menipis berangin sejuk. 

Hari semakin gelap, sore semakin dingin. Sisa kopi sehabis makan kami kembali seruput dekat api unggun. Andi bersama tiga teman lain pergi memantau area sekitar mencari tempat foto yang bagus. Saya, Ucok, Sarmi, dan Meri memilih duduk bercerita samping tenda.  

“Kenapa ya seringkali rencana tidak sesuai dengan apa yang terjadi?” Sarmi tiba-tiba bertanya sambil memandangi api unggung.

“Tak ada yang salah Bro, itu normal. Salah satu kekurangan kita sebagai manusia adalah tidak bisa menentukan hasil. Rencana yang tersusun rapi tidak menjamin hasil sesuai keinginan. Hasil dalam bayangan kita setelah menyusun rencana hanyalah prediksi yang tak mutlak. Sesuatu di luar diri kita tidak bisa dikendalikan, itu mempengaruhi rencana kita bahkan mempengaruhi sifat manusia. Bukankah tak ada kondisi manusia yang permanen? Kita tak tahu akan jadi apa kita 5 menit kemudian.”

“Perihal hasil Bro, saya sering dengar orang. Kalau berusaha sambil berdoa itu hasilnya lebih banyak. Rumus itu saya pakai, tapi terkadang teman saya tak pernah saya lihat beribadah justru hasil kerjanya lebih banyak ketimbang saya.” Ucok menanggapi jawaban saya dengan pertanyaan.

“Bro, yang mana lebih berkah? Hasil sedikit tapi diperoleh karena usaha dan doa atau hasil banyak tapi diperoleh hanya karena usaha?”

Ucok terdiam mengamati pilihan yang saya berikan.

“Keberkahan hasil tidak bergantung dari hasil yang tampak. Hanya doa yang akan terkabul dan hanya usaha yang akan menuai hasil. Mendoakan usaha yang kita kerjakan, sesuatu yang baik akan Tuhan turunkan. Sesuatu itu tidak hanya tentang apa yang tampak, bisa saja melalui sesuatu yang menyenangkan kau dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Lagi pula, buat apa kita jadikan hasil orang sebagai standar hasil yang ingin kita dapatkan? Itu tidak berguna, Bro. Usaha yang berbeda menuai hasil berbeda. Tugas kita Bro hanya berusaha semaksimal mungkin hari ini. Selebihnya mari kita beri kesempatan semesta bekerja.”

Ucok sambil mengorek-ngorek api unggun tersenyum mendengar celoteh ku.

“Saya terkadang stre. Tugas numpuk, panggilan menari sana-sini, mana lagi ngajar anak kecil menari yang butuh kesabaran ekstra. Terkadang kepala saya terasa ingin pecah”. Sarmi kembali menceritakan keresahannya.

“Hal yang kau lakukan itu adalah hal yang kau senangi bukan? Dan itu juga pilihanmu bukan?”

“Ia sih, itu pilihan ku dan hal yang buat ku senang.” Jawabnya kembali.

“Terus kenapa kau merasa stres melakukan hal-hal yang kau senangi? Bukan kah melakukan hal yang kita senangi seharusnya buat kita bahagia. Dan bukankah berjuang di jalur pilihan kita sendiri merupakan sesuatu yang menyenangkan?”

Sarmi ngangguk-ngangguk mendengar pilihan yang saya lontarkan. Meri yang sedari tadi duduk dekat api unggun hanya menyimak. 

Gemuruh suara angin semakin keras terdengar, batang pinus saling bertabrakan dibuatnya. Ranting kering jatuh terhempas, buah pinus sesekali menghantam tenda kami. Panas kopi pun  tak mampu bertahan lama. Di hutan pinus ini selain suara angin, serangga dan batang kayu yang saling berciuman, suara curhatan teman ku juga sangat menyenangkan. Curhatan mereka saya jawab seakan saya paling benar dan paling bijak. Ah kacau, saya cengengesan dibuatnya. 

Saya sering dengar, orang memberi saran ke orang lain namun tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri itu tidaklah bijak. Tidak papa pikir ku. Kebijaksanaan bagiku hanya punya satu arah yakni perkataan dan tindakan mengarah pada sesuatu yang bisa menyejukkan orang-orang sekitar kita. Jawaban ku bukan paling benar, bukan pula paling bijak. Tapi setidaknya dengan jawaban itu bisa membuat saya tertawa dengan teman saya tanpa ada beban.

Bintang mulai kelihatan, artinya siang telah berganti malam. Terang sinarnya ke bumi menampakkan siluet pinus bergoyang menghitam. Andi dan yang lain sudah kembali ke tenda. Isnal tertawa menggema, suaranya paling keras di antara kami. Dia gampang sekali tertawa. Bukan cuma itu, dia hobi teriak-teriak tidak jelas. Tapi itu menyenangkan sebab teriakannya selalu berujung tawa yang memecah keheningan.

Suasana malam Hutan Pinus Bulu Tanah cukup dingin. Angin kencang berkabut tipis memaksa kami memakai pakaian hangat. Kami lalu makan  bersama dengan lahap. Malam kami tuntaskan dengan senda gurau saling hujat. Andi yang terus protes bertengkar dengan Meri. Isnal teriak-teriak dengan Ucok, yang lain sakit perut karena terlalu sering tertawa. Kami puas cerita dan teriak apa saja sebab cuma kami yang sana hari itu. Hutan pinus ini hanya ramai di saat akhir pekan dan ada acara saja.

Tumpukan kayu bakar hampir habis, baranya menghangatkan kami sampai pagi. Semua bangun terbangun cukup pagi, memanaskan air lalu ngopi. Mentari menetas perlahan menyinari, angin masih tak karuan meniup kami. Sembari yang lain sibuk foto-foto sekitaran tenda, saya siapkan sarapan. Andi dekat saya sibuk berkomentar, pakai bumbu ini, pakai bumbu itu. Sih, cerewet kembali bertingkah. 

“Setelah semua kembali ke perantauan, kapan lagi ya kita punya waktu ngumpul begini?” Sarmi mengeluarkan celotehannya. Ia adalah orang yang paling sering mengkhawatirkan kalau momen indah seperti hari ini tak bisa terulang.

“Tenang, lah. Tertawa saja dulu. Kesempatan akan selalu ada. Kita pasti akan ngumpul lagi.”

Memang, usah hari ini, teman-temanku ini akan kembali merantau. Mungkin jarak kami akan jauh, tetapi itu tak mengapa, bukan?

Pohon pinus sekeliling kami tumbuh menjulang karena mematahkan rantingnya, pinus dekat kami kuat dan kokoh karena menjatuhkan buahnya. Kita pun akan seperti itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bersama Kawan di Bawah Langit Hutan Pinus Bulu Tanah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hutan-pinus-bulu-tanah/feed/ 0 37521
Mengucap Kata Rindu di Tepi Danau Tanralili https://telusuri.id/danau-tanralili/ https://telusuri.id/danau-tanralili/#respond Wed, 01 Mar 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37525 Danau Tanralili terkenal sebagai Ranu Kumbolo-nya Sulawesi, berada di atas pegunungan dengan ketinggian 1.454 mdpl di Kabupaten Gowa. Letaknya di kaki gunung Bawakaraeng, menjadi gunung tertinggi kedua di Sulawesi Selatan setelah Latimojong. Dari Makassar ke...

The post Mengucap Kata Rindu di Tepi Danau Tanralili appeared first on TelusuRI.

]]>
Danau Tanralili terkenal sebagai Ranu Kumbolo-nya Sulawesi, berada di atas pegunungan dengan ketinggian 1.454 mdpl di Kabupaten Gowa. Letaknya di kaki gunung Bawakaraeng, menjadi gunung tertinggi kedua di Sulawesi Selatan setelah Latimojong.

Dari Makassar ke Gowa kami—bertigabelas orang—menempuh perjalanan selama 4 jam dengan mengendarai motor.

“Kita ngopi dulu kali ya?” ucap Daniel yang menjadi leader kami, sebab ini kali kedua dia ke sana.

“Saya lapar, makan mi dulu tidak apa-apa kan?” Ballo berkomentar, dia hobi lapar tapi badannya tetap saja kurus.

“Kakak tidak makan?” Adri  menawari saya makan.

“Tidak, saya kopi aja.”

“Saya pesan mi goreng dua bungkus, satu tidak mempan.” Adri menyaut ke ibu penjual, sementara itu kami tertawa mendengarnya.

Danau Tanralili

Kami tiba di sana malam hari, sebab baru sore kami beranjak untuk memulai perjalanan. Harga tiket masuk Danau Tanralili sebesar Rp5.000/orang. Sebelum mendaki ke danau, penjaga pos mengingatkan peraturan yang harus kami taati. Di antaranya, membawa kembali sampah saat pulang, tidak membuat api unggun untuk menghindari pemicu kebakaran, dan tentu saja tidak mandi di danau.

Daniel sebagai leader mengumpulkan kami. Doa bersama menjadi pembuka pendakian. Tak butuh waktu lama untuk kami tiba di muka Pos 1—Lembah Penyesalan. Jalur pendakian selanjutnya tajam penuh dengan bebatuan, jika terpeleset sedikit saja bisa jatuh. Pun, jika kurang hati-hati melangkah, batu yang dipijak bisa tergelinding ke bawah menimpa teman yang ada di belakang.

Sebelum menjajal jalur tersebut, kami putuskan istirahat sejenak karena nafas makin santer terdengar ngos-ngosan. Meski bukan pendaki profesional, kami bisa melewati Lembah Penyesalan tanpa menyesal.

Semakin jauh berjalan, rasanya kami semakin dekat dengan bintang. Walau tetap saja bintang-bintang tersebut sangat jauh, jaraknya jutaan tahun cahaya, tidak bisa begitu saja dipetik untuk dibawah pulang. Mungkin ini tanda bahwa semakin jauh kita berjalan maka semakin banyak hal indah yang kita dapatkan? Entahlah. Tapi saya yakin tawa teman-teman perjalanan saya yang diselingi helaan napas mampu mengukir kilau bintang di ujung kepala kami.

Cahaya dari nyala senter dan ponsel memandu perjalanan malam kami. Dalam pandangan yang serba terbatas kami harus merunduk. Makin tak banyak yang bisa kami lihat di depan. Beberapa saat kemudian, kami memutuskan untuk istirahat di bawah sebuah air terjun yang debit airnya tak besar. Suara gemuruhnya menyenangkan, memecah kesunyian malam itu.

“Wouuu! Airnya segar sekali!” Ballo berulah. Ia meneguk sedikit air dari sana, sambil mendongak ke atas. Seakan-akan ingin berubah jadi serigala seperti yang ada pada sinetron Ganteng-ganteng Serigala. Dan lagi, kami berhasil tertawa dengan ulahnya.

Setelah tiga jam lebih kami berjalan, suara gemuruh air semakin terdengar jelas. Menjadi tanda bahwa Danau Tanralili ada di depan mata. Begitu tiba, kami segera mencari tempat untuk mendirikan tenda lalu duduk-duduk di sana sembari menikmati angin malam. Kami terhanyut bercengkrama dengan bintang, menyelam dalam pelukan angin. Sedangkan saya, memutuskan untuk menyeduh kopi saja.

Beberapa saat kemudian, tas carrier kami bongkar. Tiga buah tenda untuk 13 orang kami keluarkan. Dua tenda ditempati oleh empat perempuan, sisanya diisi sembilan laki-laki. Bisa terbayang, di dalam tenda kami terbaring berhimpitan, muka saling berdempetan. Sewaktu-waktu mengubah posisi tidur dengan arah berlawanan dengan teman di samping kita, maka saat itu pula kami berhasil berciuman. Keadaan yang serba salah. Bahkan untuk sekedar meluruskan kaki saja tak bisa karena akan menyepak kepala teman yang juga berbaring di bawah kaki. Macam ikan teri sedang dijemur saja.

***

Daniel bangun paling cepat, dia teriak-teriak di luar tenda membangunkan para kawan perempuan supaya segera memasak. Pas saya keluar tenda, tampak lembah yang kami pijaki melingkar mengelilingi danau dengan air bening dan bayang langit membiru terapit gunung.  Inilah yang saya nanti beberapa jam sebelumnya, saling menatap dengan Danau Tanralili.

Danau Tanralili

Pagi itu cerah pagi terpantul di permukaan danau, memperlihatkan jejeran tenda di tepi berwarna-warni, pelangi pun hinggap di sini.

Aliran danau saya salami dengan jemari dengan membasuh wajah. Ternyata, airnya sangat dingin. Meski begitu, menyegarkan!

Mentari pagi lalu berlomba dengan angin membelai tubuh ini. Saya pun menyambut mereka dengan bercermin di permukaan danau. 

Desiran angin ku ajak berbicara, “Apakah Danau Tanralili diciptakan Tuhan sewaktu Ia sedang tersenyum?” Namun, tak ada jawaban, yang ada hanya ombak kecil Danau Tanralili mencumbui pandanganku.

Menu makan kami pagi itu ada telur goreng, nugget goreng, sayur kol dan wortel, sosis dan bakso goreng saus kecap. Kami makan bersama dengan lahap setelah semua pasukan bangun. Tak lupa suasana desak-desakan di tenda laki-laki kami keluhkan, hal itu mampu membuat kami menganga tertawa dengan mulut penuh makanan.

usai makan, yang lain sibuk mengekspresikan diri, saya sibuk memanjakan mata dengan menyendiri terduduk di atas batu. Di tepi Danau Tanralili saya mengucap kata rindu. Keindahan Tanralili menghadirkan ingatan orang-orang terdekat. Berharap suatu saat nanti bisa menyaksikan apa yang saya lihat pagi itu, bersama mereka.

Mungkin ini alasannya kenapa ketika mendapati hal-hal menyenangkan, selalu mengingatkan kita pada orang tersayang seperti keluarga, teman, atau pasangan. Saya pun membayangkan bisa duduk bersama orang terdekat menyeruput kopi menyaksikan tarian mungil ombak Tanralili. Lalu bercerita tentang masa depan, kehidupan, dan kematian; atau sekedar bertanya pada pasangan bahwa “Apakah cinta kita mampu dipisahkan oleh kematian?”

***

Sore tiba, meski belum menuntaskan segala hasrat di sini, namun jadwal pulang sudah ditentukan. Tenda kami bongkar, barang juga kami kemas. Kami benar-benar siap untuk kembali. Pemandangan ketika berangkat yang kami lewatkan karena malam, menampakkan dirinya sewaktu jalan pulang. 

“Ternyata kita berjalan di pinggir tebing Bro!” Mereka tertawa mendengar keluhan saya. Mereka tau saya takut pada ketinggian. Berjalan di pinggir tebing curam cukup buat lutut ini gemetaran.

Sore menyembunyikan matahari. Kini, yang tampak hanya sinarnya menembus awan. Memperlihatkan aliran hulu sungai Jeneberang yang menghidupi banyak Kabupaten di Sulawesi Selatan.  Pegunungan meruncing mengelilingi kami berjalan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengucap Kata Rindu di Tepi Danau Tanralili appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/danau-tanralili/feed/ 0 37525
Meneropong Indonesia dari Ritual Mappalili https://telusuri.id/meneropong-indonesia-dari-ritual-mappalili/ https://telusuri.id/meneropong-indonesia-dari-ritual-mappalili/#respond Mon, 06 Feb 2023 04:00:47 +0000 https://telusuri.id/?p=37155 Diskusi mengenai bagaimana melihat Indonesia  dengan utuh bersama Arya malam itu cukup dalam. Sembari menyeruput kopi saset dan menghisap rokok, kami berbicara banyak tentang pertanian, salah satunya mengenai konsep pertanian terbarukan yang menjadi perbincangan hangat....

The post Meneropong Indonesia dari Ritual Mappalili appeared first on TelusuRI.

]]>
Diskusi mengenai bagaimana melihat Indonesia  dengan utuh bersama Arya malam itu cukup dalam. Sembari menyeruput kopi saset dan menghisap rokok, kami berbicara banyak tentang pertanian, salah satunya mengenai konsep pertanian terbarukan yang menjadi perbincangan hangat. Kami juga membicarakan perihal bagaimana petani Indonesia bisa menyerapnya tanpa menghilangkan karakter pertanian lokal. Malam semakin larut dan kami menyudahi pembicaraan kami. Sebelum pulang, Arya mengajak saya untuk besok pergi melihat perayaan adat petani bernama mappalili.

“Ayo besok kita pergi liat mappalili ,“ ajak Arya.

Mappalili itu perayaan adat petani sebelum turun sawah, kan?“ tanyaku pada Arya sebab saya sering mendengar dan membaca mengenai adat tersebut namun belum pernah menyaksikannya secara langsung.

“Iya, besok pagi saya jemput,“ jawab Arya.

Mappalilli sendiri merupakan adat petani sebelum turun sawah di Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan yang setiap tahunnya dilaksanakan di dua kecamatan yaitu Sigeri dan Labbakkang. Secara etimologi, mappalili (Bugis) atau appalili (Makassar) berasal dari kata palili yang berarti berkeliling. 

Sedangkan pemaknaan sesungguhnya dari masyarakat setempat, mappalili adalah perayaan tanda dimulainya menanam padi di sawah dengan harapan dan doa untuk menjaga tanaman mereka dari sesuatu yang akan mengganggu atau menghancurkannya. Ritual ini sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Bugis.

Upacara ini dipimpin oleh bissu, yang juga berperan sebagai pemangku adat. Bissu merupakan manusia suci di kalangan masyarakat Bugis. Bissu dipercaya dapat menghubungkan komunikasi ke Dewata Sewwa’E (Tuhan) sehingga dipercaya sebagai manusia suci. 

Uniknya, bissu memiliki gender dari 4 penggabungan gender yaitu orane (laki-laki), makunrai (perempuan), calalai (perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki), calabai (laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan), dan golongan bissu sebagai gender ke-5. Bissu juga berperan sebagai pemangku adat untuk semua ritual masyarakat Bugis seperti pernikahan, pelantikan raja, pembersihan benda pusaka, aqiqah, dan lain-lain.

“Orang-orang sudah pada ke sawah?“ tanya Arya sewaktu kami tiba di Sigeri.

“Ayo kita susul mereka,“ ajakku pada Arya.

Ritual Mappalili
Bissu berjalan dekat arajang/Yusran Ishak

Saya dan Arya datang terlambat. Acara mulai pukul 08.00 tapi kami tiba pukul 09.00 lewat. Pemangku adat, tokoh masyarakat dan sebagian warga mengarak arajang (benda pusaka) ke sawah sebagai rangkaian pertama ritual mappalili. Arajang inilah yang di bawah rombongan mengelilingi (mappalili) Desa Sigeri. Arajang berupa rakkala (alat pembajak sawah) yang terbuat dari kayu. Alat itu dikeramatkan oleh warga setempat sebagai simbol peninggalan nenek moyang dalam membajak sawahnya dan menyiratkan pesan terima kasih pada alat yang diberikan Tuhan untuk mempermudah warga mengelola sawahnya.

Membawa arajang berkeliling juga merupakan suatu doa yang mengandung harapan semoga padi dan seluruh tanaman yang ditanam pada tahun itu dapat berhasil dan jauh dari serangan hama.

Sewaktu kami menyusul rombongan, warga lain yang tidak ikut, turun ke depan rumah mereka dan bersiap menyambut rombongan lewat. Mereka tidak menunggu dengan tangan kosong. Ember berisi air berjejer di setiap depan rumah warga yang akan dilewati rombongan pembawa arajang. Setiap penghuni rumah memegang gayung bersiap menyiram sewaktu rombongan melewati mereka. 

  • Ritual Mappalili
  • Ritual Mappalili
  • Ritual Mappalili

Bukan Cuma itu, siapapun yang lewat di sana wajib untuk di siram. Saya dan Arya yang hendak menyusul rombongan menjadi sasaran pertama. Meskipun naik motor, tetap saja saya basah disiram warga. Serapi apapun dan sebersih apapun pakaian sewaktu lewat depan mereka, tidak bakalan lolos dari siraman warga dan siapapun yang disiram tidak boleh marah. 

“Saya siram dulu ya nak, jangan marah ini sudah waktunya,“ ungkap ibu-ibu yang mencegat motor saya sambil menyiram. Saya sama Arya hanya bisa tertawa senang dengan itu.

“Kita menepi saja sambil menunggu rombongan lewat baru ikut,“ Arya menepikan motornya ke salah satu rumah kosong.

Acara siram-siraman ini sebagai bentuk syukur warga atas tibanya musim hujan. Makanya, ritual ini selalu dilaksanakan antara bulan November atau Desember. Acara siram-siraman ini juga menjadi bentuk rasa gembira warga atas turunnya hujan sebab seperti yang dikutip dari warisanbudaya.kemendikbud.id, ritual mappalili berasal dari legenda bahwa pada suatu waktu masyarakat ditimpa musim kemarau yang berkepanjangan. Tanaman tidak ada yang berhasil, warga pada saat itu menderita dan sakit. Musim itu dikenal patakbak rinring (musim paceklik). Hal itu juga dialami oleh raja sehingga semua persiapan makanan habis. Oleh karena itu, raja meminta ke semua penduduk agar berdoa pada Dewata (Allah SWT) memohon kebijaksanaannya menurunkan hujan supaya kehidupan mereka kembali makmur.

  • Ritual Mappalili
  • Ritual Mappalili
  • Ritual Mappalili
  • Ritual Mappalili

Tidak lama berselang rombongan pun tiba. Bissu sebagai pemangku adat berjalan di depan, disusul orang yang memikul arajang dan pemusik daerah yang sibuk memukul gendang dan meniup suling di atas mobil bak, kemudian disusul rombongan warga. Mereka berjalan kaki mengelilingi desa. Sambil berteriak, mereka disiram oleh warga. Para pemuda pun turut andil dengan saling siram air. Saya dan Arya ikut rombongan dan merelakan diri untuk di siram.

Rombongan menuju pasar desa, di sana terdapat satu pohon yang dikeramatkan. Mereka membawa arajang ke sana untuk kemudian sama-sama berdoa diringan dendangan gendang dan tiupan nyaring suling khas Suku bugis. Warga menari sambil berteriak seirama musik, yang lain menyiram dan gelak tawa pun pecah menyelimuti desa itu.

“Bro, Jepang boleh bangga dengan teknologi pertaniannya, Belanda boleh bangga dengan riset pertaniannya, Amerika boleh berbangga dengan alat-alat pertaniannya, Australia boleh bangga dengan keberhasilannya mengubah air laut menjadi air tawar untuk dipakai bertani, namun mereka tidak bisa mengalahkan petani kita dari hal bagaimana menghargai tanah, tanaman, dan mensyukuri hasil.”

“Negara itu maju dengan pertanian terbarukan yang mereka miliki namun ada bab yang hilang yaitu tanda terima kasih pada alam. Petani kita unggul di sana, buktinya setiap daerah Indonesia untuk setiap tahunnya kita masih bisa dapati ritual seperti ini. Pesta panen setiap tahunnya masih meriah melingkupi negara kita. Inilah kultur moral petani kita yang menjadi bekal untuk menjadi negara dengan sistem pertanian terbaik dunia di masa depan,“ celetukku pada Arya di atas motor. Arya pun hanya bisa cengengesan mendengar celotehanku tentang budaya petani Indonesia yang selalu ku banggakan.

Rombongan kembali berjalan setelah dari pasar desa, mereka menuju soraja (rumah adat) sebagai titik final acara mappaliliArajang kembali dikemas untuk disimpan kembali. Bissu memanjatkan doa sebagai penutup ritual. Berbagai makanan telah disiapkan, semua warga yang hadir dipersilahkan untuk makan bersama sebagai berkat dari perayaan ini dan acara pun selesai.

Mappalili memang jarang sekali terekspos di media nasional. Namun keberadaannya tetap eksis di kalangan masyarakat perkampungan. Hal itu wajar sebab budaya ini dilakukan oleh petani dan petani Indonesia hampir keseluruhan berada di desa. Mappalili memberikan saya kesadaran bahwa betapa dekatnya interaksi manusia dengan alam. Saling memberi manfaat, tidak boleh menyakiti dengan frasa eksploitasi, saling mengungkap rasa terima kasih dan paling utama adalah bagaimana cara bersyukur kepada Tuhan. 

Petani Indonesia masih jauh dari kata sejahtera, mereka masih banyak tergolong miskin, mereka masih banyak yang menderita namun rasa syukur mereka tak pernah putus, bukankah itu sesuatu hal yang sangat indah?

Manfaat yang diterima petani dari hasil pertaniannya mungkin kecil. Seringkali kita jumpai petani kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun terlepas dari itu, setiap tahunnya mereka berkumpul sebagai bentuk penolakan atas abainya mereka untuk tetap berterima kasih. Inilah bentuk kesederhanaan hidup petani, mereka selalu mengucap terimakasih pada sepetak tanahnya yang memberikan mereka kehidupan, sekecil apapun itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Meneropong Indonesia dari Ritual Mappalili appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/meneropong-indonesia-dari-ritual-mappalili/feed/ 0 37155
Menyantap Tiram Bakar Khas Barru https://telusuri.id/menyantap-tiram-bakar-khas-barru/ https://telusuri.id/menyantap-tiram-bakar-khas-barru/#respond Mon, 28 Nov 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36275 Kabupaten Barru merupakan salah satu daerah pesisir yang berada di Sulawesi Selatan. Selain terkenal sebagai daerah penghasil ikan bandeng, juga terkenal sebagai penghasil tiram atau kerang laut yang menjadi kuliner khas. Kepopuleran makanan ini berhasil...

The post Menyantap Tiram Bakar Khas Barru appeared first on TelusuRI.

]]>
Kabupaten Barru merupakan salah satu daerah pesisir yang berada di Sulawesi Selatan. Selain terkenal sebagai daerah penghasil ikan bandeng, juga terkenal sebagai penghasil tiram atau kerang laut yang menjadi kuliner khas. Kepopuleran makanan ini berhasil mengundang orang-orang dari luar daerah maupun orang setempat datang berkunjung untuk sekadar mencicipinya.

  • Pembersihan tiram
  • Membakar Tiram

Di sini, masyarakat lokal menyebut olahan tiram dengan nama tireng atau tiram yang diolah dengan cara dibakar. Menariknya, untuk mencicipinya, kita tak perlu datang ke restoran atau warung. Pengunjung bisa menemukan para penjaja tireng di bawah rumah panggung mereka. Tak hanya satu atau dua, tapi ada puluhan penjaja tireng sehingga sebagai pengunjung, kita bebas memilih mau makan di mana. Tiram-tiram ini mereka dapatkan di muara Sungai Lajari. Biasanya, ketika laut sedang surut, ibu-ibu menyusuri sungai sampai ke tepi laut untuk mencari kerang.

Lokasinya berada di Desa Lajari, Kecamatan Barru. Berjarak sekitar 1,6 km dari Kota Kabupaten Barru yang bisa ditempuh sekitar 10 menit naik motor dan mobil. Sedangkan dari kota Makassar berjarak 99 km dengan jarak tempuh sekitar dua jam perjalanan. 

Selain dapat dinikmati secara beramai-ramai, tiram bakar ini relatif murah. Harga satu baskom hanya Rp25.000 lengkap dengan sambal jeruk yang berkuah. Pengunjung juga dapat memesan nasi seharga Rp10.000 per satu bakul. Menyantapnya bersama nasi, membuat tireng makin terasa lezat.

Jika membayar Rp10.000 lagi, maka pengunjung akan mendapatkan sambal andalan warga lokal yaitu recca pau atau sambal mangga yang memiliki cita rasa kecut, manis, dan pedas. Rasanya hampir sama dengan acar, bedanya terletak pada mangga yang digunakan sehingga rasa kecutnya alami tanpa cuka. Memesan tiga baskom tiram bakar sudah bisa dinikmati hingga 8-10 orang. 

Proses pembakaran tireng menggunakan daun kelapa kering, di atas tungku, dengan durasi waktu sekitar 10 menit sampai cangkang kerang terlihat gosong.

Pengunjung dapat menikmati tiram bakar di gazebo yang ada di depan rumah panggung mereka. Penyajiannya juga cukup unik yang mana tiram bakar dihambur kemudian para pengunjung mengelilinginya. Namun untuk sampai pada tahap memakannya perlu usaha dan tenaga terlebih dahulu. Namanya juga kerang, pasti memiliki cangkang. Penjual menyediakan batu dan besi sebagai alat pukul untuk membuka kerang sebelum menyantapnya.

Proses ini menjadi keasyikan tersendiri saat menikmati tiram bakar di kampung tersebut, yang mana kita akan mendengar dentingan pengunjung memukul kerang yang akan masuk ke perut.

Jadi ada tahapan memakan tiram bakar. Pertama, pengunjung terlebih dahulu memukul dan mengumpulkan isi kerang dalam piring, saat dirasa sudah cukup barulah disajikan dengan nasi dan sambalnya. Yang paling mahir memukul, maka ialah yang akan menikmati tiram bakar lebih banyak.

Perjuangan untuk menikmati makanan ini cukup melelahkan namun semua terbayar saat merasakan kenikmatannya. Lidah orang Bugis yang gemar makanan pedas juga menjadi satu cita rasa khusus saat menyantap makanan ini. Sensasi asam pedas selalu berhasil membuat liur menetes dan rasa itu menjadi godaan terberat saat proses membuka cangkang kerang. Membutuhkan cukup kesabaran sebelum memakannya dengan puas. 

  • Tiram Bakar
  • Sambal jeruk dan recca pao
  • Hidangan tiram bakar

Saya merekomendasikan kuliner ini untuk para penikmat seafood. Aroma tiram yang khas karena dibakar dengan daun kelapa kering ditambah sambal khas warga lokal sangat memuaskan lidah. Tekstur tiramnya kenyal, meski cangkangnya gosong, namun tidak membuat isinya hangus. Rasa tiramnya hampir sama dengan jenis olahan kerang lainnya namun karena tiram ini dibakar sehingga terdapat aroma tersendiri. Wajar saja setiap harinya tempat itu tidak pernah kosong pengunjung. 

Saat hari libur biasanya sangat ramai sehingga pengunjung sering antri untuk mendapatkan giliran. Agar tidak menunggu terlalu lama, pengunjung bisa memesan tiram bakar sebelum berangkat ke lokasi, supaya saat sampai di sana bisa langsung memakannya. Tempat ini buka mulai pagi sampai sore hari. 

Pengunjung jarang ada yang datang sendiri, kalau bukan bersama keluarga, ya bersama teman. Tireng memang lebih seru jika disantap secara beramai-ramai karena akan melihat berbagai ekspresi saat memukul membuka kerang sehingga gelak tawa kerap kali terdengar.

Kehadiran tireng berhasil menambah penghasilan warga setempat sehingga menjadi UMKM produktif yang bergerak di bidang kuliner. Penghasilan para suami sebagai nelayan terbantu oleh penghasilan para istri yang menjual tiram bakar di rumah mereka sehingga ekonomi keluarga lebih stabil.

Rasanya sayang jika kita berkunjung ke Barru tapi tidak menikmati satu makanan khas ini. Jika kamu tertarik ke sana, bisa datang ke samping Sungai Lajari dekat pantai. Di depan rumah warga, berjajar penjual tiram bakar. Suasana makan makin seru kala menyantapnya sambil menikmati pemandangan tambak yang menghampar luas di depan rumah para penjual.

Waktu senja akan terlihat jelas di tempat itu, sekaligus menjadi ajang mengabadikan momen di penghabisan hari.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyantap Tiram Bakar Khas Barru appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyantap-tiram-bakar-khas-barru/feed/ 0 36275
Sendu Senja di Perbatasan Kota https://telusuri.id/sendu-senja-di-perbatasan-kota/ https://telusuri.id/sendu-senja-di-perbatasan-kota/#respond Wed, 12 Oct 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35309 Sebentar lagi perpisahan terjadi. Pagi, siang beranjak pulang. Dan sore akan menutup perjalanan waktu hari ini. Para manusia pun mulai beranjak meninggalkan rutinitasnya. Jam kantor telah usai dan waktunya kembali pulang. Tak ada mendung, bumi...

The post Sendu Senja di Perbatasan Kota appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebentar lagi perpisahan terjadi. Pagi, siang beranjak pulang. Dan sore akan menutup perjalanan waktu hari ini. Para manusia pun mulai beranjak meninggalkan rutinitasnya. Jam kantor telah usai dan waktunya kembali pulang. Tak ada mendung, bumi mulai gelap. Tersisa penggalan-penggalan cahaya di langit. Matahari hendak pamit, dia menunggu di ufuk timur untuk mengucapkan kata perpisahan kepada manusia lewat sepenggal cahaya. 

Momen itu tak ingin aku lewatkan. Ku ajak seorang teman menemani menyaksikan perpisahan di perbatasan kota. Tempat persinggahan banyak orang yang melewati jalan itu. Perbatasan tersebut membatasi Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Barru. Jalan poros tepatnya di km 83 tujuan Kota Pare-Pare ke Kota Makassar. Sisi timur perbatasan itu adalah laut dan sisi barat terdapat perbukitan. Tempat itu menjadi wisata persinggahan bagi pejalan lintas daerah. Menikmati peristirahatan dengan sepucuk senja tepi laut. Cahayanya yang redup setidaknya mampu menambah semangat melanjutkan perjalanan. Dan memang, hendaknya peristirahatan harus disertai hal-hal yang indah.

“Kau suka senja?” Tanyaku pada teman sewaktu tiba di perbatasan itu.

“Siapa sih orang yang tidak menyukai senja, Bro?!” Jawabnya 

Perbatasan Kabupaten Pangke dengan Kabupaten Barru
Perbatasan Kabupaten Pangkep dengan Kabupaten Barru/Yusran Ishak

Betul juga kata temanku, siapa yang tidak menyukai senja? Tak ada yang ingin menolak keindahan. Manusia justru jadi pemburu keindahan. Dan senja berhasil menafsirkan keindahan tanpa kata-kata. Lewat cahayanya senja mengungkap bahwa keindahan tak perlu diumbar, tak perlu disuarakan. Perburuan itu membuat manusia sukar menerima hal-hal buruk, sebab bertentangan dengan prinsip keindahan. Lagi pula siapa manusia yang ingin ditimpa hal buruk dalam hidupnya?

Beberapa pejalan mulai singgah. Tukang somai sibuk melayani pelanggan. Yang lainnya fokus menatap senja di layar ponselnya. Senja mereka abadikan dengan jempol-jempol dewa. Sedang aku dan temanku duduk di tembok pembatas jalan. Di bawah ku ombak terus melaju menghantam beton. Akibatnya ombak itu pecah berhamburan menjadi buih.

“Kenapa kau suka senja?” Kembali aku bertanya pada temanku.

“Senja itu tenang dan menenangkan. Cahayanya yang redup sangat sederhana, aku damai saat melihatnya. Setidaknya situasi itu sedikit meringankan beban pikiranku, Bro! Senja tak pernah berkhianat, dia selalu ada untukku. Aku tak pernah menunggu senja, tak juga tak merasa kehilangan saat tiada pergi. Sebab aku yakin besok senja akan kembali untukku,” katanya.

Kabupaten Pangkep
Senja/Yusran Ishak

temanku menjawab pertanyaan ku sambil melihat senja. Jawabannya tidak asing bagi ku. Aku gemar bertanya perihal alasan orang menyukai senja. Dan jawaban mereka semua seragam bahwa senja perihal ketenangan. Jawaban itu membuat aku berpikir, mungkin bumi ini terlalu bising sehingga manusia gemar mencari ketenangan. Tapi bagaimana mungkin bumi berisik sedangkan bumi tak bermulut?

Justru aku melihat manusialah yang sangat berisik. Hal penting sampai tidak penting lantang berbunyi dari mulutnya. Beribu pujian sampai sejuta makian terdengar di mana-mana. Hal baik sampai hal terburuk bergema menghakimi. Hal serius sampai lelucon membuat kebahagiaan, kesedihan sampai amarah terdengar keras. Saat mereka lelah saling melempar kebisingan sesama manusia, mereka memaksa bumi berteriak. Mereka membakar bumi hingga hewan berteriak tak karuan. Mencemari bumi sampai laut berteriak menyebabkan tsunami. Mengorek-ngorek tanah sampai gunung berapi muntah bersuara lantang. Manusia memang aneh, pikir ku. Mereka menyukai ketenangan tapi mereka pula lah yang begitu berisik.   

Matahari tinggal setengah, dia tenggelam menyisakan siluet awan di tengah warna jingga keemasan. Berpenderan memancarkan kilauan redup menawan. Di bawahnya aku dan temanku masih termangu memandangnya sambil mencoba memaknai perpaduan warna majemuk itu. Aku pun kembali bertanya pada temanku.

“Bro, kau tahu tidak bagaimana senja itu terbentuk?”

“Tidak!” Setelah dia diam menanti jawaban.

  • Kabupaten Pangkep
  • Kabupaten Pangkep
  • Kabupaten Pangkep
  • Kabupaten Pangkep

Aku terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang tepat supaya momen ini lebih bermakna. Aku tak ingin menjawab secara ilmiah seperti kata Steve Ackerman, seorang Profesor meteorologi Amerika. Yang menjelaskan bahwa senja adalah fenomena alam yang disebut scattering sehingga menyebabkan molekul dan partikel kecil di atmosfer mengubah arah sinar matahari yang membuat cahaya berhamburan. Ragam warna yang terlihat saat senja seperti ungu, biru, jingga, orange sampai merah disebabkan oleh variasi ukuran gelombang cahaya dan ukuran partikel. 

Aku memilih berbicara senja dengan sedikit filosofis. Bahwa senja hadir disebabkan oleh persandingan dua perbedaan, gelap dan cahaya. Aku ibaratkan gelap sebagai keburukan dan cahaya sebagai kebaikan. Kedua sifat tersebut sangat berbeda, kita tak perlu mempertengkarkan mereka perihal siapa lebih kuat atau siapa lebih bermanfaat. Cukup menerimanya, menempatkannya pada posisi masing-masing sehingga hanya keindahan yang akan tampak.

Sewaktu-waktu mungkin aku akan terjebak dalam keburukan, saat itu aku berharap kau tak pergi tapi berada di samping sebagai sosok cahaya. Agar pertemuan kita oleh hati yang lapang melahirkan senyum damai seperti senja. 

Senja itu simbol kebesaran hati. Semua hal di dunia ini berbeda, kita tidak dituntut untuk menyatukan perbedaan itu. Karena menyatukan mereduksi yang beragam menjadi satu dan satu melahirkan warna tunggal yang monoton sehingga keindahan tidak tercipta. Memperluas hati memang tidak mudah, butuh perjuangan untuk itu. Tapi lihatlah, matahari dari barat ke timur juga menjelaskan pada kita arti perjuangan bukan?

Biarlah kita tetap berbeda, sebab perbedaan justru melahirkan keindahan dan keindahan lahir dari pertemuan sesuatu yang berbeda.

Temanku tersenyum mendengar jawaban yang aku berikan. Kami lalu kembali menatap senja dan matahari sudah tenggelam. Yang tersisa hanya cahaya sendu, terpancar memanjakan mata. Adzan Magrib mulai terdengar, orang-orang yang singgah mulai bergegas melanjutkan perjalanan. Aku dan temanku pun meninggalkan perbatasan itu. Dan sejatinya perpisahan itu tidak ada. Sebab senja akan kembali hadir membawa setitik temu di waktu berbeda, di situasi berbeda. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sendu Senja di Perbatasan Kota appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sendu-senja-di-perbatasan-kota/feed/ 0 35309
Merayakan Hari Raya di Lappa Laona The Green Highland https://telusuri.id/merayakan-hari-raya-di-lappa-laona/ https://telusuri.id/merayakan-hari-raya-di-lappa-laona/#respond Tue, 27 Jul 2021 11:04:16 +0000 https://telusuri.id/?p=28752 Sudah menjadi kebiasaan kami merayakan Hari Raya Idul Fitri dengan berwisata. Dan lebaran kali ini, saya berkumpul dengan teman semasa SD. Kami sepakat berlibur ke Lappa Laona, wisata alam yang terletak di Kabupaten Barru. Cukup...

The post Merayakan Hari Raya di Lappa Laona The Green Highland appeared first on TelusuRI.

]]>
Sudah menjadi kebiasaan kami merayakan Hari Raya Idul Fitri dengan berwisata. Dan lebaran kali ini, saya berkumpul dengan teman semasa SD. Kami sepakat berlibur ke Lappa Laona, wisata alam yang terletak di Kabupaten Barru. Cukup jauh dari kampung kami yang letaknya di Kabupaten Bone karena perjalanan ke sana melewati satu kabupaten lain, yakni Soppeng.

Malamnya kami sepakat dan paginya kami berangkat dengan mobil, sebab motor tidak cukup menampung kami yang jumlahnya 12 orang. Kami sewa dua mobil. Untungnya ada beberapa teman saya yang pintar mengemudi sehingga tidak repot lagi sewa sopir saat berangkat. 

“Sarmi, pinjam kameramu dong!” Pintaku pada Sarmi saat mobil mulai menaiki pegunungan. Lokasi yang ingin kita kunjungi adalah pegunungan, tempat wisata berkemah di pinggir tebing dengan pemandangan persawahan di lereng bukit dan laut. Saat melewati lereng gunung sudah terlihat gunung menjulang, mobil terkepung pemandangan sawah menghijau karena petani baru melewati musim tanam, saya fokus mengabadikan momen itu disela-sela perbincangan mereka. 

Pemandangan bukit di puncak Lappa Laona/Yusran Ishak

“Wih keren! Ayo singgah di sini.” Ungkap Lenah saat melihat pohon pinus.

“Nanti saja kalau kita perjalanan pulang,” jawabku karena kedatangan kita bukan untuk bermalam meski yang kita datangi camp site dengan suguhan utama bintang-bintang di langit pada malam hari. Kami tidak bermalam karena teman-teman perempuan tidak dapat izin dari orangtua. Wajar saja sih, pasti orangtua mereka khawatir.

“Masih jauh tidak?” Tanya Sarmi

“Sudah dekat, tuh depan sana. Di atas gunung itu,” jawabku sambil menunjuk, karena posisi saya sekaligus penunjuk jalan.

Selang 15 menit dari pertanyaan Sarmi, kami pun sampai di tujuan. Kami lalu membayar karcis masuk Rp20.000 setiap mobil. Memasuki lokasi yang luas, dataran padang dengan rumput hijau. Sapi ternak warga berkeliaran sibuk memilih rumput untuk dia makan. Kami parkir dekat tebing dan ternyata teman di mobil yang satunya sudah lebih dulu sampai, mereka melambai tangan karena kami parkir di tempat berbeda. 

Kami tiba setelah dzuhur. Setelah turun mobil para teman perempuan sibuk memperbaiki penampilan, mempercantik diri, merias wajah, dan mengenakan aksesoris yang mereka bawa. Dari kejauhan tampak lokasi sudah mulai ramai.

Sambil mereka sibuk mempersiapkan diri, saya berjalan sendiri ke pinggir tebing. Tubuh kurus saya jalan bergoyang diterpa angin dengan kencang. Angin gunung menjamu kedatangan kami dengan sejuk. Matahari sedang cerah, tidak terlalu panas dan tidak juga terlalu dingin. Kalau tidak hati-hati, kencangnya angin bisa buat kita jatuh, tentunya kami harus waspada.

Saya berjalan menenteng kamera. Mengambil potret bunga-bunga yang tumbuh liar di bebatuan pinggir tebing, yang menari bersama angin, yang kembangnya tetap kokoh tak berjatuhan terhempas angin, dan yang menjadi alasan tertentu bagi saya untuk menepi sendiri saat berada di alam terdiam memandanginya.

“Daripada foto sembarangan mending saya kamu foto saja!” Tegur Andi dari belakang menghampiri, kedatangannya memecah lamunan saya. 

“Berdiri di sana!” Saya suruh dia berdiri di bibir tebing supaya dapat background foto pemandangan gunung tinggi meruncing yang di kakinya menempel pada sawah berwarna hijau; ditambah lagi, pemandangan laut dengan awan cerah bergerak berubah bentuk. Dia pun mengambil pose uniknya dengan kedua tangan dilebarkan di bawah dagu seperti cibi-cibi girlband padahal dia cowok.

Belum selesai mengambil foto Andi, rombongan teman-teman perempuan datang. Mereka juga ingin berfoto dengan gaya terbaiknya. Dan tentunya mereka selalu memeriksa hasil foto, menilai segala kekurangan hasilnya dan kameramen menjadi sasaran ketika hasilnya terlihat blur atau kurang bagus. Biasalah namanya juga perempuan! 

Bersama perut keroncongan, kami gabung dengan yang lain sebab bekal kami di mobil mereka. Sebelum sampai, saya mampir di warung kopi dengan Ucok.

Pesan kopi bro, kopi hitam dengan gula setengah sendok. Saya pesan kopi dengan sapaan sok akrab yang berhasil buat penjualnya tersenyum. Ucok juga pesan kopi yang sama sebab kami suka kopi yang tidak terlalu manis. Setelah kopi jadi, saya dan Ucok bergabung ke yang lain yang sibuk mempersiapkan makanan, jalan menenteng kopi di tangan kanan, sebatang rokok terselip di tangan kiri sambil di peluk angin yang agresif.

Ngopi di Lappa Laona/Yusran Ishak

Belum sempat duduk, Andi sudah menyantap makanannya . Oh ternyata dia sangat lapar. Saya kemudian duduk melingkar dengan yang lain, menyantap masakan Hardianti yang katanya disiapkan sepenuh hati. Ada mie goreng, telur dadar, telur rebus yang digoreng bulat-bulat lalu ditumis, dan juga nasi. Orang datang ke tempat ini untuk bermalam, kami malah datang untuk piknik.

Semua makan dengan lahap. Belum sempat selesai makan Inci ngomong “Ayo kita foto bareng.” Yang lain bilang “Tenang..” Sambil bergegas membereskan isi piringnya. Baru kemudian kita cari tempat foto yang bagus, minta bantuan orang lain untuk fotoin kami agar kebersamaan bisa kami abadikan. Setelahnya mereka semua sibuk mengabadikan diri dengan kamera, dua kamera profesional dan kamera ponsel bergantian kami pakai.

Saya sedikit menepi melihat mereka, duduk di batu membiarkan diri terkena terjanganangin. Memandangi mereka berpose dengan penuh gaya, entah berapa album ketika foto mereka dikumpulkan. 

Bagi saya, bunga atau mungkin rumput bagi orang yang tumbuh liar di alam memiliki nilai tersendiri. Mereka tumbuh bebas di alam tanpa bantuan manusia, tak pula terpenjara dalam pot-pot yang penuh makanan. Tapi dia tetap tumbuh dengan indah. Mereka tidak terawat namun tetap tumbuh kuat. Itu membuktikan bahwa sesuatu yang kita jaga dengan pengekangan atas alasan “merawat” tidak membuat sesuatu itu menjadi kuat, justru melemahkannya. 

Sambil duduk dan terus memperhatikan melihat mereka, saya melihat rumah-rumah kecil berderet dibangun sebagai tempat foto. Bangunan ini dikelilingi gunung berjubahkan awan, petakan hijau pesawahan diawasi burung beterbangan di atasnya. Ranting pohon saling mengirim pesan ke pantai berdebur ombak putih yang berkejaran, menarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan dengan keras bermaksud bertukar kehidupan dengan alam, inilah nikmat. 

Melihat gunung/Yusran Ishak

Tak terasa sudah pukul 4 sore, kami bergegas beranjak meninggalkan Lappa Laona The Green Highland. Di perjalanan pulang kami singgah di hutan pinus, momen kembali kami abadikan diantara pepohonan pinus yang mengitari kami. Pinus yang buahnya sering saya pungut untuk gantungan kunci. 

Setelah bergembira, kami bergegas pulang karena beberapa diantara mereka mulai lelah. Kami pulang sekitar jam 5 sore. Saat perjalanan pulang, telinga ini kembali mendengar suara berisik mereka. Teriak tidak jelas, menyanyi bersama, saling mengusik dengan canda, saling bertanya tidak jelas jawaban, tebak-tebakan guyon. Hal itu membuat kami meredam waktu yang lama saat pulang, hingga kembali bergoyang saat memasuki jalan masuk kampung.

Hari itu kami banyak tertawa. Kami telah berteman lama, mulai dari SD saat kami tidak mengerti dunia hingga kedewasaan menghampiri dengan pandangan berbeda-beda terhadap dunia. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Merayakan Hari Raya di Lappa Laona The Green Highland appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merayakan-hari-raya-di-lappa-laona/feed/ 0 28752
Marakka’ Bola, Tradisi Gotong Royong Angkat Rumah Suku Bugis https://telusuri.id/marakka-bola-tradisi-angkat-rumah/ https://telusuri.id/marakka-bola-tradisi-angkat-rumah/#respond Mon, 08 Feb 2021 08:12:00 +0000 https://telusuri.id/?p=26854 “Bangun!” “Woee bangun! Sudah pagi. Pergi bantuin orang angkat rumah!”  Pagi yang berisik. Suara adik perempuanku memekak telinga. Aku yang tertidur di sebuah kamar kecil—kamar yang sering kurindukan saat tidur jauh darinya terbangun karenanya.  Waktu...

The post Marakka’ Bola, Tradisi Gotong Royong Angkat Rumah Suku Bugis appeared first on TelusuRI.

]]>
“Bangun!”

“Woee bangun! Sudah pagi. Pergi bantuin orang angkat rumah!” 

Pagi yang berisik.

Suara adik perempuanku memekak telinga. Aku yang tertidur di sebuah kamar kecil—kamar yang sering kurindukan saat tidur jauh darinya terbangun karenanya. 

Waktu menunjukkan pukul 07.45 WITA, mataku mulai terbuka, menata pikiran dan perasaan dengan sejenak terduduk di pinggir ranjang. Menghirup aroma oksigen yang menyelinap masuk kamar lewat jendela atau ventilasi rumah. Rumah yang selalu menjadi tujuan untuk ku pulang dan tujuan ini, tidak pernah membuat aku tersesat dijalan.

Setelah beberapa bulan jauh dari rumah, kesempatan kembali berpihak padaku melalui momen pergantian tahun—momen yang juga dirayakan oleh banyak orang. Entah itu bersama teman, pasangan, atau.

Kali ini, aku memilih merayakannya bersama mereka—keluarga.

Aku keluar rumah sehabis membasuh muka dengan air, memakai sandal jepit dan berjalan kesalah satu rumah warga. Ku lihat sinar matahari pagi terpantul dari atap rumah yang satu ke rumah lainnya, sebab semua rumah warga disini terbuat dari seng. Semua rumah tampak berkilau dibuatnya.

Langkahku diiringi nyanyian burung gereja. Setelah celingak celinguk mencarinya, ku temukan mereka. Burung-burung gereja itu bersenandung tepat diatas pohon jambu air depan rumah tetangga, lompat dari ranting ke ranting seakan sedang memamerkan suaranya pada ku.

Senyum ku tiba-tiba mencuat melihatnya.

Mungkin ini senyum syukur karena ditakdirkan lahir di desa sehingga setiap pagi terasa damai ketika pulang ke rumah, gumamku.

“Si gondrong sudah datang, pasti akan terasa ringan. Cepat sini ke dekatku!” 

Kakak laki-lakiku berteriak menegur saat dia melihatku sudah di dekat rumah yang akan kami pindahkan. Orang-orang tertawa mendengar tegurannya, sebab mereka tahu kalau aku termasuk orang yang lemah dalam urusan angkat mengangkat. Aku hanya terkekeh sambil berjalan ke arah mereka.

Marakka’ Bola
Susasa persiapan mengangkat rumah dari jauh/Yusran Ishak

Ternyata warga sudah berkumpul sedari tadi, aku saja yang kesiangan. Aku kemudian berdiri tidak jauh dari kakak, mengambil posisi di bawah sebuah rumah panggung. Seluruh tiangnya diselingi bambu—dari kiri ke kanan, dari depan ke belakang, hingga bagian tengah. Tiang-tiang rumah ini sudah dipegang erat oleh orang-orang yang tersebar mengelilinginya. Mereka mengambil posisi dekat bambu yang terikat kuat di tiang, dan bersiap untuk mengangkat rumah dengan bahu masing-masing. 

Budaya mengangkat rumah—Marakka’ Bola merupakan sebuah tradisi dari masyarakat suku Bugis, Sulawesi Selatan. Tradisi ini sudah turun temurun dilakukan, utamanya bagi masyarakat pedesaan di sini. Marakka’ Bola kerap dijadikan sebagai simbol percontohan yang menggambarkan makna gotong royong, nilai budaya yang melekat bagi masyarakat Indonesia.

Jadi, jangan bayangkan rumah-rumah ini diangkat dengan tenaga mesin. Di sini, memindahkan rumah dilakukan dengan cara mengangkatnya menggunakan tenaga manusia. Bersama-sama, oleh warga desa.

Rumah panggung, begitu kami menyebutnya. Terbuat dari kayu dengan tiang-tiang penyangga yang banyak dan cukup tinggi. Tradisi masyarakat Bugis yang sering berpindah-pindah membuat mereka membangun rumah dengan tidak menanam tiangnya dalam tanah, supaya ketika ingin dipindahkan tak perlu membongkar kemudian membangunnya kembali.

Uniknya cara memindahkan rumah tersebut dilakukan secara gotong royong oleh warga sehingga menjadi sebuah “tontonan” seru di zaman serba modern seperti saat ini. Aku sendiri bersyukur karena waktu kepulangku kali ini mendapati momen ini—yang sebenarnya menjadi momen pertama kali bagiku. Sebab tradisi ini sudah sangat jarang dilakukan seiring dengan maraknya pembangunan rumah beton di pedesaan. 

Marakka’ Bola dilakukan setelah mengundang warga di desa sekitar satu atau dua hari sebelum hari pemindahan. Menariknya lagi, undangan disampaikan secara lisan, berbeda dengan undangan perkumpulan warga di kota yang disampaikan melalui surat.

Rumah warga didatangi satu persatu. Empunya bertamu dengan mengenakan pakaian yang sopan, menyampaikan maksud dengan tutur kata santun—tutur yang tidak kalah bagusnya dengan kalimat-kalimat yang sering saya temui di berbagai surat undangan.

Aku bersiap dengan posisi jongkok dengan bahu menempel pada bambu.

  • Marakka’ Bola
  • Marakka’ Bola
  • Marakka’ Bola
  • Marakka’ Bola
  • Marakka’ Bola

“Siap! Satu.. Dua.. Tiga..”

Seorang kakek dengan celana pendek dan sarung melilit di pinggangnya berteriak memberi aba-aba. Setelah hitungan ketiga kami memusatkan tenaga dan bersama-sama mengangkat sambil berteriak.

“Ahhhhhh…”

“Angkattttt…”

“Hiyyaa.. Hiyyaa..”

“Ayooooo…”

“Maju…”

Segala jenis teriakan kami lontarkan, entah dari mulut mana suara itu datang, yang jelas bising menggelegar. Momen ini terasa lucu, aku tertawa sambil ikut berteriak. Ternyata teriakan-teriakan ini memberi kobaran semangat untuk membakar berat beban di pundak, sehingga abunya terasa ringan, dan tentu api tercipta dari kerja sama.

Seikitar 6 meter berjalan, salah seorang dari kami di ujung pojok belakang berteriak “Stooppp!”

Kami pun berhenti. Kakek pemandu didepan menegur.

“Ada apa?”

“Bambunya patah.” Teriak orang-orang dibelakang.

“Cara angkatnya tidak seimbang.” Jawab seorang lainnya.

“Tenaganya tidak seimbang dari sudut ke sudut.” Sahut orang lain dari arah berbeda.

Tiba-tiba seseorang berteriak di tengah, “beraaaaaaaaaat!”

“Hahahahaha..” sontak kami semua tertawa mendengar itu.

Momen tersebut kami pakai untuk istirahat sejenak. Beberapa orang memperbaiki bambu yang rusak, lainnya lagi menukar posisi untuk menyimbangkan tenaga. Pemandu sibuk mengatur arah atau cara mudah untuk mengangkatnya.

Selang beberapa menit teriakan pemandu kembali menggelegar, ujung kata tiga dari mulutnya kembali kami berteriak sambil mengangkat. Ibu-ibu dan anak-anak berada di sudut-sudut pelataran rumah, menonton sambil berteriak atau bertepuk tangan menyemangati kami. 

Alhasil rumah panggung itu berhasil kami pindahkan. Tidak terlalu jauh, sekitar 15 meter dari posisi awalnya, diangkat oleh lebih kurang 50 warga desa. Kami berhasil memposisikan rumah tersebut sesuai keinginan tuan rumah, menghadap utara yang sebelumnya menghadap ke arah barat.

Keringat bercucuran, punggung saya terasa sakit.

“Memang berat rumah ini,” pikirku.

Marakka’ Bola
Mengangkat rumah dimulai/Yusran Ishak

Tapi mungkin ini representasi dari filosofi “sapu lidi” yang sering diajarkan kepada saya waktu SD. Bersama kita kuat, kuat karena bersatu dan bekerja sama. Dengan tradisi ini saya berpikir bahwa sejatinya gotong royong melahirkan persatuan. Gotong royong tercipta dari kesadaran bersama bahwa kita saling membutuhkan satu sama lain. Dari kesadaran tersebut akhirnya mewujudkan harmonisasi dalam bersosial, tentunya diwujudkan melalui persatuan.

Jika kelak tak ada lagi rumah panggung di pedesaan mungkin tradisi ini juga ikut hilang. Simbol gotong royong yang sering digambarkan dalam buku-buku dengan menampilkan gambar dari tradisi ini hanya akan menjadi cerita khayalan bagi generasi selanjutnya. Cerita yang diceritakan para guru kepada muridnya bahwa pernah ada Marakka’ Bola; diceritakan orang tua di desa kepada anaknya sambil melihat foto rumah panggungnya sebelum menjadi rumah beton yang mereka tinggali; atau mungkin kelak anak cucu hanya akan melihatnya replika dalam bentuk miniatur yang tersimpan rapi dalam museum untuk dipamerkan bahwa inilah simbol gotong royong Indonesia yang hilang ditelan pembangunan.

Lalu, akan kah tradisi ini tergantikan? Jika iya, digantikan dengan tradisi apa? Atau mungkinkah ada tradisi di kota yang dapat mencerminkan makna gotong royong seperti Marakka’ Bola? Atau adakah kebiasaan masyarakat kota yang melambangkan persatuan seperti ini?

Mungkin ada, tapi.. Tapi bersatu dengan membawa kelompok dan kepentingan masing-masing. Lantas itukah persatuan yang dilukiskan masyarakat desa? Entahlah. 

Aku percaya bahwa persatuan orang desa itu suci sebab persatuan warga desa-lah yang pernah membebaskan negeri ini dari penjajahan. 

Aku kemudian mengambil tempat untuk rehat, penak di bahu ditambah dengan beberapa pertanyaan dan kekhawatiran di kepala menyerbu. Pemandangan di depanku, orang-orang mengambil posisi nyaman untuk istirahat. Ada yang mengipas-ngipas badannya, ada yang pergi mengambil air minum, ada yang merokok sambil berbincang, dan ada seorang kakek yang yang mengelurkan kantongan dari saku celananya. Kantong itu berisi tembakau berwarna hitam yang sudah diasapi, lengkap dengan kertas rokok dan korek. Aku mendekat ke kakek tersebut untuk ikut melinting.

“Minta sedikit Kek, boleh?” sapaku. 

“Memang kau hisap tembakau juga Nak?” jawabnya.

Aku tersenyum sambil berkata, “iya.”

Wajar saja kakek tersebut berpikir begitu. Mungkin karena sekarang ini jarang pemuda mau menghisap tembakau, entah karena ribet, rasanya yang kurang enak atau karena takut dicap kampungan, pikirku. Tapi aku tidak peduli soal itu. Bagiku melinting adalah seni yang rasanya nikmat.

“Kamu pintar melinting?” Tanya Kakek.

“Jelas dong, Kek!” jawabku yang membuat si Kakek cengingir dengan giginya yang menghitam—mungkin karena kebanyakan ngerokok.

Senang rasanya bisa merokok bersama Kakek tersebut. Nikmat karena tembakau ia racik sendiri secara alami. Kepulan asap tebal hadir diantara kami. Depannya, aku coba memainkan asap yang keluar dari dalam mulut, ku bentuk asap rokok jadi sebuah lingkaran.

Ia pun tertawa melihatku.

Aku pun tertawa balik setelah melihat sebagian giginya ompong, tampak jelas saat ia terbahak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Marakka’ Bola, Tradisi Gotong Royong Angkat Rumah Suku Bugis appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/marakka-bola-tradisi-angkat-rumah/feed/ 0 26854
Pulau Kapoposang dan Tawa di Balik Lautan (2) https://telusuri.id/pulau-kapoposang-dan-tawa-di-balik-lautan-2/ https://telusuri.id/pulau-kapoposang-dan-tawa-di-balik-lautan-2/#respond Thu, 17 Sep 2020 17:18:08 +0000 https://telusuri.id/?p=23900 Kak Syukron mengajak kami jalan-jalan melihat kebun sayur yang ia kembangkan bersama masyarakat lokal. Saat berjalan, aku celingak-celinguk memerhatikan pepohonan sekitar. Kudapati pisang, sukun, kelapa, jeruk nipis, dan pohon-pohon lain yang tidak kuketahui namanya. Pohon...

The post Pulau Kapoposang dan Tawa di Balik Lautan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kak Syukron mengajak kami jalan-jalan melihat kebun sayur yang ia kembangkan bersama masyarakat lokal.

Saat berjalan, aku celingak-celinguk memerhatikan pepohonan sekitar. Kudapati pisang, sukun, kelapa, jeruk nipis, dan pohon-pohon lain yang tidak kuketahui namanya. Pohon pinus yang biasanya kulihat di dataran tinggi juga ada. Ia berdiri tegak di tanah berpasir pinggir laut. Rantingnya seolah-olah melambai-lambai menyambut ombak yang datang silih berganti.

Kebun kecil itu ada dua dan secara organik ditanami kangkung, terong, seledri, serai, dan cabe rawit. Untuk pemupukan, Kak Syukron memanfaatkan sabut kelapa, serbuk kayu yang sudah lapuk, dan kotoran hewan. Tapi, bukan cuma soal pemupukan itu yang bikin kebun itu jadi unik.

“Hasil kebun ini kami tidak jual, tapi kami bagi-bagi ke masyarakat untuk dikonsumsi,” ujar Kak Syukron. Selama ini, masyarakat mesti membeli sayur jauh-jauh ke Pangkep daratan.

Pernyataan Kak Syukron itu mengingatkanku pada arti kemanusiaan, yakni saling berbagi. Hal tersebut jarang kujumpai pada masyarakat perkotaan yang lebih mementingkan keuntungan pribadi. Mendengar itu, rasa kagumku pun mencuat.


Snorkeling dan diving adalah dua hal yang paling dinantikan dari berkunjung ke Kapoposang. Titik-titik penyelaman tersebar sekeliling pulau, dengan terumbu karang elok dan biota laut menarik. Di dekat dermaga juga ada area transplantasi karang.

Saat menyelam, kita ‘kan menjumpai taman. Bukan taman bunga yang sering kita jumpai di tengah kota atau di desa, melainkan taman terumbu karang yang tersusun rapi di dasar laut. Karang-karang itu merekah, melebarkan kelopaknya, tak dihinggapi kupu-kupu, kumbang, atau lebah, melainkan berbagai jenis ikan sangat cantik warna-warni yang terus menari di depan mata.

Hari itu, kapal kecil milik nelayan membawa kami ke sebuah titik penyelaman, melewati laut dangkal dengan dasar pasir putih. Bintang-bintang laut—seperti Patrick Star—menyambut kedatangan kami. Aku pun jadi teringat film kartun yang sering kutonton waktu kecil, yaitu Spongebob Squarepants.

Menyelam di Tiling-tiling/Yusran Ishak

Kapal berhenti. Terumbu karang tampak jelas di bawah sana. Aku dan beberapa kawan bergegas memakai peralatan. Sebagian hanya memakai alat dasar, lainnya melengkapi diri dengan peralatan scuba, termasuk tabung oksigen. Peralatan selam memang sudah disediakan oleh pemuda setempat, baik bagi pemula sepertiku maupun mereka yang sudah mahir.

Menceburkan diri ke laut dengan bantuan alat untuk bernapas baru kali itu kurasakan. Menegangkan namun menyenangkan. Hamparan karang tepat di bawahku, ikan-ikan kecil berenang beriringan seperti pelangi di dekatku. Senyumku kembali tersungging karena selama ini aku lebih sering berenang bersama manusia.

Karang jenis Acropora humilis, Montipora aequituberculata, dan berbagai jenis karang lunak maupun keras masih jamak ditemui di perairan Pulau Kapoposang. Aku melayang-layang melihat ikan badut—seperti dalam Finding Nemo—bermain di sela-sela karang bergoyang. Malu-malu ikan itu menampakkan diri, membuatku tersenyum. Usai menyelam, kawan-kawan yang turun dengan peralatan scuba, menunjukkan foto-foto yang mereka ambil di bawah sana. Mereka menyelam berdampingan dengan penyu, di samping karang warna-warni yang bermekaran, elok dan gemulai.

Tak terasa, sore pun tiba. Surya sedang mengakhiri hari. Kutatap dia lekat-lekat dari ujung kapal, di tengah laut, sambil menitipkan pesan agar memanggil ribuan bintang untuk menghiasi malam. Menjelang matahari terbenam, kembali kuceburkan diri ke dalam laut. Aku berenang di bawah sinar redup merah merona. Dalam perjalanan kembali ke pulau, aku merasa semakin dekat dengan alam; hal yang menjadi tujuan ketika kaki ini membawaku beranjak.

Senja di perairan Kapoposang/Yusran Ishak

Malam itu kami menyantap hasil panen nelayan. Energi dari makanan itu membawa kami bergeser ke pinggir laut, mencari kayu bakar, lalu menyalakan api unggun. Api unggun itu kami lingkari kemudian kami perindah dengan candaan. Kami pun makin akrab. Nama-nama panggilan baru disematkan, guyonan bersahut-sahutan, ditimpali tawa keras yang bergema melenyapkan suara ombak. Di tengah peristiwa itu, aku membaringkan diri di samping api unggun, di bawah pohon pinus, dan menatap langit. Matahari ternyata memenuhi permintaanku; seribu bintang dipanggil olehnya. Sinar gemintang menyelinap menembus ranting, meliuk-liuk melewati daun-daun pinus, membuatku kembali tersenyum.

Tak terasa pagi hampir tiba. Burung gosong kaki merah bernyanyi, bernyanyi, lalu diam. Kami mendekatkan diri ke pinggir laut untuk melihat alam melahirkan hari baru dan sejuta harapan. Tak ada suara tangis bayi dalam persalinan itu, hanya sinar merah yang perlahan-lahan merekah. Kami terdiam melihat semua itu.

Aku merayakan kelahiran itu dengan berteriak sekencang-kencangnya. Menyaksikan itu, kawanku pun tertawa—kami tertawa. Perayaan itu kami lanjutkan dengan mengabadikan momen lewat kamera ponsel. Kami berpose dengan gaya masing-masing untuk dipamerkan di media sosial. Lengkap dengan caption puitis tentunya. Kak Meli menulis begini, “Kepada sunyi, rindu tak perlu pamit.”


Satu minggu bermain di Kapoposang, sepanjang waktu mataku menyaksikan berbagai macam keindahan. Tapi, lebih dari itu, aku menemukan keramahan. Warga menerima kami, menjamu kami dengan sajian yang menerbitkan selera, dengan senyum, dengan obrolan.

Aku belajar bersyukur dari para nelayan, melihat mereka mengambil ikan di laut secukupnya saja agar laut tetap lestari. Setiap tahun, mereka mengekspresikan rasa syukur dan terima kasih kepada laut dengan menggelar mappanretasi (memberi makan laut). Barangkali benar bahwa alam menunjukkan dirinya sesuai perlakuan manusia kepadanya. Keindahan alam yang kunikmati di Kapoposang tentunya berasal dari keindahan perilaku dan kebiasaan masyarakat setempat; segala sesuatu yang dirawat dengan cinta akan menghasilkan sesuatu yang indah.

Di Pulau Kapoposang aku akrab dengan senyum dan tawa. Itu luar biasa, mengingat listrik di sana hanya menyala pada malam hari. Orang-orang kota mesti sudah menggerutu jika lampu mati beberapa jam saja. (Namun, alih-alih jengkel, aku justru merasa nyaman karena bisa jauh dari ponsel yang selalu mengabarkan berita-berita soal ketidakjelasan-ketidakjelasan negeri ini.)

Orang-orang pulau itu kurang sejahtera, katanya. Anggapan itu sering kudengar dari orang-orang kota. Tapi aku jadi bingung. Bagaimana mereka bisa beranggapan seperti itu? Di pulau, nelayan bisa tersenyum, anak-anak kecil berseragam sekolah dengan riang mengendarai sepeda, dan masyarakat tetap santun meskipun hanya mengenakan pakaian sederhana. Di kota, orang-orang yang berpapasan bahkan tak bertegur sapa, orang-orang berpakaian necis susah tersenyum karena sibuk memikirkan cara menambah pundi-pundi materi. Bersyukur adalah urusan kesekian. Jadi, mana sebenarnya yang sejahtera? Dan apa sebenarnya arti “sejahtera”?

Kebingungan itu, dalam sepi, kutanggapi dengan senyum dan tawa.

The post Pulau Kapoposang dan Tawa di Balik Lautan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pulau-kapoposang-dan-tawa-di-balik-lautan-2/feed/ 0 23900