PERJALANAN LESTARI - TelusuRI https://telusuri.id/perjalananlestari/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 16 May 2025 11:07:10 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 PERJALANAN LESTARI - TelusuRI https://telusuri.id/perjalananlestari/ 32 32 135956295 Melangkah Bersama Mendukung Rinjani Nol Sampah 2025 https://telusuri.id/melangkah-bersama-mendukung-rinjani-nol-sampah-2025/ https://telusuri.id/melangkah-bersama-mendukung-rinjani-nol-sampah-2025/#comments Wed, 26 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46437 Pelbagai kegiatan dilakukan menyongsong program Rinjani Zero Waste. Lintas komunitas berpartisipasi mendukung Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) mengurangi potensi sampah di jalur pendakian. Ada tiga aktivitas bersih gunung sebelum penerapan Rinjani Zero Waste per 1...

The post Melangkah Bersama Mendukung Rinjani Nol Sampah 2025 appeared first on TelusuRI.

]]>
Pelbagai kegiatan dilakukan menyongsong program Rinjani Zero Waste. Lintas komunitas berpartisipasi mendukung Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) mengurangi potensi sampah di jalur pendakian.

Ada tiga aktivitas bersih gunung sebelum penerapan Rinjani Zero Waste per 1 April 2025. Pertama, Tapak Rinjani yang diinisiasi Mahasiswa Pencinta Alam Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Mataram (Mapala FE Unram). Kegiatan tahunan yang dilaksanakan 14–19 Agustus 2024 itu melibatkan mapala se-Indonesia dengan mengangkat spirit: Proud be zero waste trekker.  

Kedua, Rinjani Meriri (20–22 Desember 2024) yang rutin diadakan oleh TNGR jelang penutupan jalur pendakian di setiap akhir tahun. Diikuti 85 peserta dari kalangan relawan, kader konservasi, trekking organizer, pemandu dan porter, serta Forum Wisata Lingkar Rinjani.

Meriri merupakan bahasa Sasak, artinya memperbaiki,” kata petugas penanggung jawab penanganan sampah TNGR, Gusti Ketut Suarta, Rabu (5/3/25).  

Melalui Rinjani Meriri diharapkan pemulihan ekosistem di Gunung Rinjani bisa berlangsung selama aktivitas pendakian dihentikan sementara. “Kita beri kesempatan ekosistem Rinjani secara alamiah memperbaiki dirinya sendiri,” tutur Gusti yang juga seorang Polisi Kehutanan (Polhut).   

Ketiga, Clean Up Rinjani pada 26–28 Februari 2025, memperingati Hari Bakti Rimbawan dan Hari Peduli Sampah. Ada 102 orang dari 24 tim ambil bagian dalam kegiatan ini, meliputi komunitas pecinta alam, Asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), unit SAR Lombok Timur, Pandawara Group, dan Arei Outdoor Gear. 

Kiri: Komunitas pecinta alam, relawan, dan aktivis lingkungan Pandawara Group bergerak menuju Plawangan Sembalun sambil membawa trash bag. Kanan: Kompak mencari sampah hingga ke semak-semak/dokumentasi Arei Outdoor Gear

Semua kegiatan tersebut mampu membawa turun sampah di sepanjang jalur pendakian sebanyak 907,1 kg. Rinjani Meriri mengumpulkan 483 kg, Clean Up Rinjani 237,1 kg dan Tapak Rinjani 187 kg. Titik potensi sampah paling banyak berada di area camp Plawangan Sembalun dan Danau Segara Anak.

Di luar itu, kata Gusti, ada enam mahasiswa aktivis lingkungan yang berkontribusi memunguti sampah di Pos 2 Sembalun, akhir tahun lalu. Awalnya mereka mau menyisir Plawangan, tetapi Gusti menyarankan di camp area Pos 2 saja. “Sepekan mereka mengumpulkan sampah sebanyak 200 kg. Dapat banyak itu,” ujarnya salut.

Kepala Resor Sembalun TNGR Taufikkurahman menambahkan, kepedulian banyak pihak pada kebersihan Gunung Rinjani mampu menghilangkan ceceran sampah yang tampak di depan mata. “Paling menyisakan lima persen, sulit terjangkau di tepi jurang. Kalau yang di permukaan, kami pastikan sudah steril,” ucapnya.

Lelaki yang akrab disapa Opik itu menjelaskan alasan penerapan Rinjani Zero Waste baru dimulai 2025. Sebab, menanti kesiapan sumber daya manusia TNGR yang sebelumnya fokus pada program booking online kunjungan ke kawasan TNGR. “Ini langkah besar bersama. Kami ingin pengunjung nyaman sekaligus menjaga kelestarian lingkungan,” tutur pemilik Rinjani Guest House tersebut.

Bagaimana dengan Human Waste?       

Pendaki mana sih yang enggak mau ke Rinjani? Saya sendiri—yang naik gunung sejak 2001—baru 23 tahun kemudian menginjakkan kaki di Senaru, Sembalun, dan Torean; tiga gerbang masuk menuju puncak 3.726 meter di atas permukaan laut (mdpl). 

Ketiga jalur itu berkesan. Senaru yang medannya galak ke betis, relatif lebih bersih ketimbang Sembalun. Jalurnya teduh, sepi dan hening menembus lebatnya hutan hujan tropis. Jalur ini berujung di Plawangan Senaru, sebelum turun ke Segara Anak. 

Sembalun kebalikannya: berjalan di area terbuka melintasi sabana mahaluas. Panasnya top. Ramainya bukan main. Pendaki domestik, bule, dan Asia tumplek-blek. Potensi sampah di jalur ini paling tinggi. Tersebar di Plawangan 1–4, tempat berkemah pendaki sebelum dini hari menuju puncak.

Pada pendakian 1–4 Juni 2024, saya bermalam di Plawangan 2. Pagi harinya selepas muncak, pemandangan Segara Anak di sebelah barat begitu memesona. Berbanding terbalik saat melihat sisi timur (belakang tenda), sampah berserakan di tanah berkontur miring yang berujung jurang. Didominasi sampah bungkus makanan, botol air mineral, dan sobekan tisu bekas pendaki buang hajat.

Sampah-sampah berserakan di Plawangan Sembalun (kiri) dan Segara Anak saat pendakian Juni 2024/Mochamad Rona Anggie

Sedih menyaksikannya. Sungguh ironi, Rinjani yang kesohor dengan keindahan alamnya, ternyata dipenuhi sampah. Begitu pula saat meneruskan perjalanan ke Segara Anak. Melewati jalur curam berbatu yang membuat ngilu dengkul, ceceran sampah nyata depan mata. Besar kemungkinan itu sampah dari Plawangan yang diterbangkan angin. Tidak sedikit jumlahnya, tapi banyak! Para pendaki kecewa dan prihatin.

“Enggak nyangka Rinjani banyak sampahnya,” komentar mereka.

Cerita sampah berlanjut ke camp area Segara Anak. Sisa makanan pendaki mudah ditemui di pinggir danau, juga di dasar sungai sebelah danau. Limbah mi instan dan nasi yang tak habis, tampak jelas dari permukaan air. Tak nyaman menatapnya. Tambah miris, karena jeroan ikan hasil memancing pendaki, bergeletakan di tanah. Menimbulkan bau amis. Seharusnya bagian ikan yang tidak dikonsumsi itu dikubur.

Ada-ada saja, batin saya. Danaunya indah, ikonis dengan Gunung Barujari di tengahnya, tapi sampahnya di mana-mana. Nah, giliran saya mau buang hajat, lucu lagi. Pengalaman mendaki gunung-gunung di Jawa, rasanya mudah saja mencari pojokan untuk “bongkar muatan”. Namun, di sekitar Segara Anak, lain cerita. 

Melangkah Bersama Mendukung Rinjani Nol Sampah 2025
Peserta menyisir sudut danau Segara Anak untuk mencari sampah/dokumentasi TNGR

Saya bergegas menuju sebuah semak yang jauh dari pantauan orang. Tak disangka, di situ sudah berderet kotoran manusia. Larilah saya ke sudut lain di bawah pohon besar—saya bayangkan bisa leluasa menunaikan hajat. Sampai di sana, astaga! Tampak tumpukan “warisan” pendaki sebelumnya mulai mengering dan dikerubuti lalat. Tak kuasa pindah tempat lagi—karena sudah di ujung tanduk—terpaksa saya melepasnya di antara “penghuni” lama. Sambil tangan mengibas-ngibas agar lalat menjauh.    

Sebenarnya di belakang warung penduduk lokal yang berjualan dekat danau, ada bangunan toilet. Namun, sudah lama tidak terpakai. Rusak dan terbengkalai. Gusti menerangkan pihaknya akan meratakan toilet lawas itu. Sekarang TNGR bersama Arei Outdoor Gear tengah menyiapkan toilet kering dua pintu di sana. Termasuk di camp area Plawangan 1 dekat selter darurat. Tujuannya meminimalisasi pendaki buang air besar dan kecil sembarangan. “Sarana memang masih terbatas, tapi kami upayakan ada,” ucapnya.

Perwakilan Arei Outdoor Gear, Fingki Syaputra menjelaskan, toilet kering yang mereka bangun di camp area Plawangan dan danau Segara Anak diberi nama Sani Cycle. Pihaknya bareng Tyo Survival merancang Sani Cycle dengan konsep ramah lingkungan. Penerangan malam hari memakai solar panel. Siangnya memanfaatkan cahaya matahari. 

Pendaki Wajib Pakai Wadah Guna Ulang

Kepala Balai TNGR Yarman mengungkapkan, program bebas sampah di Gunung Rinjani sudah mendesak diberlakukan. Menurutnya, ini kebutuhan semua pihak: TNGR sebagai pengelola, para pengunjung, dan alam Gunung Rinjani itu sendiri.

Peluncuran Go Rinjani Zero Waste, lanjut dia, sudah melalui proses panjang. Mulai pertemuan dengan pemerintah daerah (Pemkab Lombok Timur dan Pemprov NTB), masyarakat sekitar, pegiat alam terbuka, para porter serta pemandu. “Semua mitra kami ajak duduk bersama, merealisasikan pendakian Rinjani yang indah, bersih, dan nyaman,” katanya kepada penulis, Jumat (7/3/25).

Yarman menyebutkan sosialisasi program Rinjani nol sampah yang bakal diterapkan mulai 1 April 2025, juga sudah dilakukan jauh hari. Akun resmi @btn_gn_rinjani telah mengumumkan pendaki wajib memakai wadah makanan guna ulang (bukan sekali pakai), untuk menyimpan logistik pendakian. Setop membawa kemasan makanan dan minuman berbahan plastik, kaleng, styrofoam, botol kaca, dan tisu basah. “Go Rinjani Zero Waste menekankan penggunaan wadah reuse dan refill,” tegas mantan Kepala Balai Taman Nasional Wasur, Merauke.    

Melangkah Bersama Mendukung Rinjani Nol Sampah 2025
Plawangan Sembalun lebih bersih usai Clean Up Rinjani, Februari 2025/dokumentasi TNGR

Persoalan sampah di Rinjani, sambung Yarman, memang tak bisa diselesaikan lingkup TNGR saja. Termasuk ketika sampah hasil kegiatan bersih gunung berhasil dibawa turun. Perlu penanganan dari Pemkab Lombok Timur untuk diangkut ke pembuangan akhir. Kepedulian semua pihak akan membuat wajah Indonesia terhormat di mata internasional.

“Kita tahu banyak pendaki mancanegara di Rinjani. Kalau gunungnya bersih, citra Indonesia akan positif. Sesuai dengan misi ‘Pendakian Kelas Dunia Berkelanjutan’ yang kami canangkan,” papar Yarman.

Soal penyediaan toilet permanen di camp area Segara Anak yang juga urgen, Yarman tak sungkan menyatakan butuh sokongan dan kepedulian pihak lain. “Jujur saja anggaran kami terbatas. Kami membuka diri kalau memang ada yang mau berpartisipasi,” tandas lelaki asli Sungai Penuh, Jambi, menutup perbincangan. 


Foto sampul: Gotong royong berburu sampah dalam kegiatan Clean Up Rinjani 26-28 Februari 2025/dokumentasi Arei Outdoor Gear


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melangkah Bersama Mendukung Rinjani Nol Sampah 2025 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melangkah-bersama-mendukung-rinjani-nol-sampah-2025/feed/ 1 46437
Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Jalan Layang https://telusuri.id/bandung-dari-kota-kembang-menuju-kota-jalan-layang/ https://telusuri.id/bandung-dari-kota-kembang-menuju-kota-jalan-layang/#respond Sat, 14 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44570 Pucuk daun mahoni itu tampak berkilau tersorot mentari pagi. Pucuk tersebut muncul dari bagian tunas yang tumbuh dari salah satu potongan pohon mahoni dewasa, yang berada di Jalan Garuda, Kota Bandung, Jawa Barat. Sabtu (5/10/2024)...

The post Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Jalan Layang appeared first on TelusuRI.

]]>
Pucuk daun mahoni itu tampak berkilau tersorot mentari pagi. Pucuk tersebut muncul dari bagian tunas yang tumbuh dari salah satu potongan pohon mahoni dewasa, yang berada di Jalan Garuda, Kota Bandung, Jawa Barat.

Sabtu (5/10/2024) pagi itu, saya menyaksikan puluhan pohon mahoni yang telah ditebang di sisi utara Jalan Garuda. Di pagi yang sama, saya menyaksikan pula puluhan pohon bungur juga telah ditebang di bagian barat Jalan Abdurahman Saleh. 

Puluhan pohon itu menjadi tumbal bagi pembangunan jalan layang baru, yakni Jalan Layang Nurtanio. Nantinya akan menghubungkan Jalan Abdurrahman Saleh di utara dan Jalan Garuda di selatan. Pembangunan jalan layang ini tentu saja akan menambah panjang daftar jumlah jalan layang (flyover) yang dimiliki Kota Bandung. Akankah pada akhirnya julukan Kota Kembang bagi Bandung bakal berganti menjadi “Kota Flyover?

Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Flyover
Pengendara melintas di depan konstruksi jalan layang Nurtanio yang masih dalam proses pembangunan/Djoko Nubiarto

Berawal dari Konsep Kota Taman

Selain sempat dijuluki sebagai Paris-nya Jawa (Parijs van Java), Bandung sejak lama dijuluki pula sebagai Kota Kembang. Ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, pemerintah kolonial Belanda sejak awal merancang Bandung dengan konsep kota taman.

Jalan-jalan kecil yang melingkar-lingkar dengan tegakan pohon yang rapat di kanan kiri, dihiasi taman-taman di sudut-sudut jalan yang ditumbuhi aneka kembang, menjadi ciri khas Bandung. Ditunjang dengan hawanya yang adem, plus lanskap pegunungan di sekelilingnya, membuat nuansa Bandung sebagai Kota Kembang semakin kuat.

Akan tetapi, laju urbanisasi yang deras secara perlahan mulai mengubah paras Bandung sebagai Kota Kembang. Betapa tidak? Dari sebuah kota yang dirancang dengan konsep kota taman, dan menjadi salah satu perlambang keindahan alam tanah Pasundan, Bandung kini berkembang menjadi sebuah kota metropolitan yang supersibuk.

Merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, jumlah penduduk Kota Bandung tahun 2023 sebanyak 2.506.603 jiwa. Ini menjadikan Bandung, yang memiliki luas sekitar 167,31 kilometer persegi, sebagai salah satu kota yang memiliki jumlah penduduk paling padat di Indonesia.

Seiring dengan makin sesaknya Bandung, ruang-ruang terbuka hijau turut terkonversi. Ada yang menjadi perkantoran, kompleks perumahan, kawasan perniagaan, dan sejumlah fasilitas publik lainnya.

Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Flyover
Salah satu rumah warga terkena dampak proyek pembangunan jalan layang Nurtanio/Djoko Subinarto

Kemacetan Bandung: bahkan Jalan Layang pun Belum Cukup

Kemacetan lalu lintas boleh dibilang kini menjadi menu sehari-hari warga Bandung. Jalan-jalan disesaki kendaraan, yang sering kali melebihi kapasitas jalan yang ada. Sebagai respons terhadap problem kemacetan Bandung yang dari hari ke hari semakin parah, jalan-jalan di kota Bandung pun kian diperlebar. Namun, langkah ini rupanya masih belum cukup untuk mengatasi kemacetan yang kerap menyergap berbagai titik di Kota Bandung.

Maka, selain langkah memperlebar jalan, membuat jalan di atas jalan alias mendirikan jalan layang pun dilakukan. Harapannya tentu saja dapat menjadi bagian dari solusi kemacetan di Kota Bandung.

Hingga saat ini, Bandung telah memiliki lebih dari setengah lusin jalan layang dan kemungkinannya akan terus ditambah beberapa lagi. Harapannya, pembangunan jalan-jalan layang dapat memperlancar lalu lintas sehingga mengurangi terjadinya kemacetan.

Meski demikian, jalan layang ini nyatanya sama sekali tidak menyelesaikan penyebab utama kemacetan. Justru menimbulkan ketergantungan pada kendaraan pribadi, perencanaan kota yang buruk, dan ketidakmampuan sistem transportasi umum dalam melayani kebutuhan transportasi warga kota. 

Ketika jalan layang dibangun, kemacetan mungkin awalnya berkurang. Namun, seiring terus bertambahnya jumlah pengguna kendaraan pribadi, toh kemacetan tetap saja terjadi. Artinya, pendirian jalan layang sesungguhnya sama sekali bukan solusi cespleng kemacetan.

Selain itu, pembangunan jalan layang memakan ongkos lingkungan yang signifikan. Pembangunan jalan layang memerlukan beton dan baja dalam jumlah besar. Bahan-bahan ini memiliki jejak karbon yang substansial dalam proses pembuatannya.

Dari aspek finansial, pembangunannya juga memerlukan biaya jumbo. Contohnya, Jalan Layang Nurtanio yang saat ini masih dalam proses konstruksi. Total anggarannya mencapai 295 miliar rupiah. Belum lagi nanti ongkos pemeliharaannya.

Di kota-kota dengan lahan terbuka yang kian terbatas, pembangunan jalan layang juga dapat menggusur warga dan mengganggu infrastruktur kota yang sudah ada. Misalnya, infrastruktur hijau berupa pohon-pohon peneduh yang harus ditebang. 

Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Flyover
Tunas mahoni yang tumbuh dari batang pohon yang sudah ditebang sebagai dampak pembangunan jalan layang/Djoko Subinarto

Butuh Sistem Transportasi Publik yang Efisien

Dalam konteks Kota Bandung, daripada mengandalkan jalan layang untuk mengatasi kemacetan, Pemerintah Kota Bandung sebaiknya mengadopsi solusi yang lebih komprehensif agar mampu mengatasi penyebab utama kemacetan di ibu kota Jawa Barat ini. 

Salah satu strategi yang paling efektif adalah berinvestasi dalam sistem transportasi publik yang efisien dan terjangkau. Kota-kota seperti Singapura dan Tokyo, contohnya, telah membuktikan bahwa sistem metro, bus, dan kereta api yang dirancang dengan baik dapat mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi. Secara signifikan juga mampu mengurangi kemacetan. 

Teknologi terkini juga perlu dimanfaatkan lantaran menawarkan solusi yang menjanjikan untuk mengurangi kemacetan. Sistem manajemen lalu lintas cerdas, yang menggunakan data real time untuk mengoptimalkan aliran lalu lintas, contohnya, dapat mengurai kemacetan tanpa perlu membuat proyek infrastruktur yang menyedot dana besar seperti jalan layang. Contoh lain, aplikasi seperti Waze, yang memberikan informasi lalu lintas termutakhir kepada pengemudi, dapat dimanfaatkan untuk membantu mengalihkan arus kendaraan dari area yang macet.

Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Flyover
Jalan layang Pasupati yang sempat diharapkan menjadi solusi kemacetan di kawasan Pasteur/Djoko Subinarto

Prioritaskan Pejalan Kaki dan Pesepeda

Elemen penting lainnya dalam mengurangi kemacetan Bandung adalah meningkatkan desain perkotaan untuk lebih memprioritaskan pejalan kaki dan pesepeda. Upaya menciptakan lingkungan yang ramah bagi pejalan kaki, dengan trotoar yang aman, serta tersedianya jalur sepeda yang memadai, membuat warga Bandung dapat menikmati mobilitas yang lebih mudah dan nyaman. 

Peningkatan infrastruktur pejalan kaki dan jalur sepeda, dan dibarengi dengan pemberian insentif yang menarik, akan mendorong masyarakat untuk memilih berjalan kaki atau bersepeda sebagai moda transportasi utama di dalam kota. Ini tidak hanya mengurangi kemacetan lalu lintas, tetapi juga memberikan pilihan transportasi yang lebih sehat dan ramah lingkungan. Selain itu, desain kota yang memerhatikan kenyamanan pejalan kaki, seperti trotoar yang lebar dan bebas hambatan, akan membuat warga merasa lebih aman dan terlindungi dari potensi terjadinya insiden kecelakaan.

Di samping itu, lingkungan yang lebih ramah akan mendorong lebih banyak warga berjalan kaki dan bersepeda. Polusi udara yang berasal dari kendaraan bermotor bakal berkurang. Pada saatnya, kondisi ini akan berdampak positif terhadap kualitas udara dan kesehatan warga. 

Seperti sama-sama kita ketahui, bersepeda dan berjalan kaki merupakan aktivitas fisik yang mendukung gaya hidup sehat, yang bisa menurunkan angka obesitas dan penyakit terkait gaya hidup. Di saat yang sama, ketergantungan pada bahan bakar fosil juga akan berkurang sehingga turut menurunkan dampak negatif perubahan iklim.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Jalan Layang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bandung-dari-kota-kembang-menuju-kota-jalan-layang/feed/ 0 44570
Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta https://telusuri.id/rekomendasi-barang-bekas-di-pasar-senthir-yogyakarta/ https://telusuri.id/rekomendasi-barang-bekas-di-pasar-senthir-yogyakarta/#respond Mon, 06 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41828 Joko Pinurbo pernah bilang, “Jogja terbuat dari rindu, pulang dan, angkringan.” Ucapan Pak Joko bak sihir yang menarik wisatawan untuk berkunjung (kembali) ke Jogja. Alasannya, karena banyaknya tempat wisata, tak ayal Jogja dijuluki sebagai “kota...

The post Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Joko Pinurbo pernah bilang, “Jogja terbuat dari rindu, pulang dan, angkringan.” Ucapan Pak Joko bak sihir yang menarik wisatawan untuk berkunjung (kembali) ke Jogja. Alasannya, karena banyaknya tempat wisata, tak ayal Jogja dijuluki sebagai “kota wisata”.

Biasanya, Malioboro jadi pilihan utama. Pilihan kedua dan ketiganya, tentu jatuh pada Kraton Jogja dan tugu pal putih alias tugu Jogja. Sebab, tempat-tempat tersebut merepresentasikan sisi romantis, berbudaya dan keberagaman di Yogyakarta. 

Namun, tahukah Anda, masih banyak tempat wisata tersembunyi yang jarang diketahui orang?

Tempat itu adalah Pasar Senthir. Sebuah pasar yang tak biasa. Pasar ini menawarkan aneka barang bekas atau klithikan yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Pasar Senthir berlokasi di dekat Taman Budaya Yogyakarta, hanya sepelemparan batu dari Pasar Beringharjo.

Pasar Senthir biasanya banyak dikunjungi oleh mahasiswa dan warga lokal. Mereka datang malam hari sekitar pukul enam sore—saat pasar mulai buka—dan pulang ketika pukul sepuluh malam ketika pedagang sudah mulai memberesi dagangnya. 

Pasar ini menjual berbagai barang bekas yang masih berfungsi elok. Tak hanya beragam barang bekas, jika beruntung, pengunjung juga bisa menemukan barang bermerek dengan kualitas kelas dunia. Barang-barang unik yang tak terduga pun bisa didapatkan di sana. Berikut daftar barang yang bisa Anda cari di Pasar Senthir.

1. Buku dan Majalah Bekas

Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta
Lapak dagangan yang menjual buku dan majalah bekas/Aldino Jalu Seto

Jika kebanyakan pasar menjual hasil bumi, seperti sayur-mayur, di Senthir Anda tidak akan menemukannya. Anda malah lebih mudah menemukan penjual buku sejauh mata memandang. 

Rata rata penjual di sini menjual buku di lapaknya sendiri. Buku-buku yang mereka jual adalah buku bekas yang masih terbilang bagus. Genrenya pun beragam, seperti sastra, komik, politik, hukum, buku pelajaran sampai sejarah kerajaan dan dunia. Salah satu novel bagus dan masih asli yang pernah saya temui di Pasar Senthir yaitu Sampar karya Albert Camus. Karena bekas, buku tersebut dihargai kurang dari Rp50.000.

2. Kamera Bekas

Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta
Kamera analog yang dijual di Pasar Senthir/Aldino Jalu Seto

Di pasar ini, tidak semua kamera yang dijual sudah rusak atau tak layak pakai. Masih banyak barang, yang walaupun bekas, kualitasnya tetap teruji. 

Kebanyakan kamera di sini bermerek Fujifilm. Kamera tersebut berjenis analog. Pemakaiannya menggunakan rol film yang harus dipasang terlebih dahulu sebelum mengambil gambar. Hasil jepretan dari kamera ini cukup bagus, efeknya mengingatkan dengan suasana foto tempo dulu. Tak terlalu mahal, harga dari kamera analog ini hanya berkisar kurang lebih 50.000–200.000 ribu rupiah.

Selain Fujifilm, kamera berjenis Sony keluaran lama pun banyak ditawarkan. Harga kamera digitalnya sekitar 500 ribu–1 juta rupiah. Saya sarankan, sebelum membelinya Anda bisa mengecek secara keseluruhan fitur dan tools dalam kamera tersebut. Setelah dirasa cocok, jangan ragu untuk menawar harga kepada penjual, Ini juga berlaku untuk membeli barang-barang yang lain.

3. Pakaian Bekas

Hampir segala jenis pakaian dan aksesoris bekas dijajakan di Pasar Senthir. Mulai dari pakaian untuk tubuh bagian atas, seperti baju, jaket, topi, kalung, sampai jam tangan. Kemudian jenis pakaian bagian bawah meliputi celana hingga sepatu.

Di Pasar Senthir, pakaian adalah barang paling dicari oleh para pengunjung. Hal ini dikarenakan pakaian, utamanya  baju, celana, dan sepatu, biasanya berasal dari barang impor bermerek dunia macam Adidas atau Nike. Merek-merek tersebut banyak ditemui di lapak-lapak yang sudah disortir barangnya. Harga yang ditawarkan oleh penjual yang relatif berbeda-beda, tergantung merek, kualitas, serta kondisi barang tersebut. Untuk mendapatkan harga yang murah, kuncinya tetap sama: menawar.

Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta
Salah satu lapak penjual sepatu bekas/Aldino Jalu Seto

Pedagang yang memiliki barang bagus tidak selalu berada pada lapak yang sudah disortir barangnya. Biasanya terdapat pula lapak yang baju dan celananya tanpa ditata, atau kadang pakaian bekas yang belum dicuci. Pembeli harus mencari sendiri pakaian yang ia inginkan dalam tumpukan pakaian sembari berebut dengan pembeli lain. Cara semacam ini dikenal dengan nama awul-awulan.  

Setahu saya, nama awul-awul sendiri berasal dari bahasa Jawa yang artinya berantakan. Kata awul-awul biasa saya dengar ketika baju di lemari yang semula sudah tertata rapi, berubah menjadi berantakan. Hal ini disebabkan karena saat mencari baju yang diinginkan, kita harus mengobrak-abrik semua baju yang ada di lemari. Lantas ibu saya memarahi saya menggunakan kata itu.

Golek klambi siji wae ndadak diawul-awul kabeh (mencari baju satu aja harus dibuat berantakan semua [bajunya],” ujar ibu saya.

Jika di lapak yang sudah disortir harganya masih lumayan tinggi, di lawak awul-awulan ini tentu harganya jauh lebih murah. Kualitas barangnya menggambarkan harganya, tetapi tidak menutup kemungkinan terdapat harta karun dalam gunungan pakaian tersebut.

4. Arsip Foto, Kartu Pos, dan Mainan Anak

  • Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta
  • Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta
  • Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta

Tak lengkap rasanya jika berkunjung ke Pasar Senthir tanpa melihat koleksi foto yang dijual para pedagang. Koleksinya sangat beragam, tak hanya terbatas pada tema tertentu. Para pedagang mendapatkan foto-foto ini dari pedagang foto lain juga. Biasanya mereka mencari foto yang banyak disukai oleh pengunjung.

Di salah satu lapak saya menemukan kartu pos bergambar pesawat. Bagian belakangnya bertuliskan sebuah pesan yang bernada romantis. Kartu pos itu sepertinya milik sepasang kekasih yang sedang menjalani hubungan jarak jauh. Harga kartu pos tersebut Rp5.000.

Koleksi lain yang saya temukan adalah sebuah buku berisi arsip foto penjajahan di masa Jepang. Buku tersebut berisi foto-foto yang menunjukan kekejaman kolonial Jepang saat menduduki Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Terlihat salah satu foto masyarakat Hindia Belanda yang ditembak mati di jalan.

5. Piala Bekas

Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta
Piala bekas yang dijual salah satu pedagang/Aldino Jalu Seto

Umumnya pasar tradisional akan menjual berbagai macam bahan pangan atau sentra industri rumahan yang tentu saja baru. Namun, Pasar Senthir justru menghadirkan hal tak biasa. Sesuatu yang unik karena tak dapat ditemui di pasar pasar pada umumnya,

Contohnya, piala juara buatan tahun 1975 ini. Meski tak diketahui pasti apa fungsinya, tetapi barang tersebut masih layak guna untuk dijual.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rekomendasi-barang-bekas-di-pasar-senthir-yogyakarta/feed/ 0 41828
Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri https://telusuri.id/membangun-masyarakat-desa-hutan-di-lumajang-pengabdian-untuk-negeri/ https://telusuri.id/membangun-masyarakat-desa-hutan-di-lumajang-pengabdian-untuk-negeri/#respond Wed, 31 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41059 Namanya Deddy Hermansjah. Laki-laki yang berusia hampir setengah abad ini merupakan seorang tim pendamping Integrated Area Development (IAD) Lumajang dan juga Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Raja Giri Lumajang. Ia sudah mendampingi masyarakat desa hutan...

The post Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri appeared first on TelusuRI.

]]>
Namanya Deddy Hermansjah. Laki-laki yang berusia hampir setengah abad ini merupakan seorang tim pendamping Integrated Area Development (IAD) Lumajang dan juga Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Raja Giri Lumajang. Ia sudah mendampingi masyarakat desa hutan di beberapa desa di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur sejak 2002.

Beberapa waktu lalu, TelusuRI berbincang dengan beliau tentang aktivitasnya mendampingi IAD Lumajang. Berikut hasil wawancaranya. Simak, ya!

Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
Deddy Hermansjah, Ketua LSM Raja Giri Lumajang

Apa saja program agroforestri atau silvopasture dan industri yang ada di IAD Lumajang?

Program agroforestri yang berkembang baik di Kabupaten Lumajang adalah Kelompok Tani Hutan (KTH) Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wono Lestari yang terletak di Desa Burno, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang.

KTH LMDH Wono Lestari didirikan pada tanggal 29 Juli 2006 dengan Akta Notaris No. 5/2006 dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU 0006625 AH 01.07.2017. Selanjutnya juga mendapatkan Surat Keputusan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan dengan Nomor: SK.5633/MENLHK/PSKL/PKPS/PSL.0/10/2017 dengan kawasan Hutan Pangkuan seluas 940 hektare (ha).

Dalam proses perkembangannya terkait dengan tata kelola kawasan hutan, kelembagaan dan usaha masyarakat (agroforestri/silvopasture) KTH LMDH mendirikan beberapa Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), di antaranya:

  1. KUPS Peternakan Sapi Perah dengan kapasitas produksi 1.900.000 liter/tahun;
  2. KUPS Peternakan Kambing Etawa Senduro, kapasitas produksi susu 336.000/tahun;
  3. KUPS Pisang Mas Kirana dan Pisang Agung Semeru, kapasitas produksi 130 ton/tahun;
  4. KUPS Produksi Olahan Pertanian (keripik, sale), kapasitas produksi 7,2 ton/tahun;
  5. KUPS Kopi dengan kapasitas produksi 27 ton/tahun;
  6. KUPS Ternak Lebah, produksi 600 liter/tahun;
  7. KUPS Kerajinan (batik tulis bahan alam dan kerajinan lainnya), produksi sesuai permintaan;
  8. KUPS Talas dengan kapasitas produksi 84 ton/tahun; dan
  9. KUPS Wanawisata Siti Sundari, dengan rata-rata kunjungan 15.000 pengunjung/tahun
  • Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
  • Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
  • Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri

Bagaimana kondisi awal kawasan dan masyarakat sebelum ada program ini?

Pada awalnya, kondisi umum masyarakat Desa Burno dan beberapa desa lainnya di Kecamatan Senduro memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif rendah, pendapatan per kapita rendah, berpendidikan rendah, sehingga menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang rendah, dan mayoritas hanya bergantung kepada pertanian subsisten.

Pada awal pendampingan pada tahun 2001, kondisi infrastruktur sangat tidak memadai sehingga menyebabkan akses sangat terbatas. Kondisi tersebut membuat masyarakat terisolasi dari dunia luar. Kondisi geografis memaksa mereka menerima beban hidup yang lebih besar dibanding masyarakat desa lainnya. Pendapatan dan pengeluaran penduduk dalam satu keluarga dalam setahun menunjukkan nilai minus.

Sampai pada awal tahun 2000-an masih terasa ketidakadilan dalam distribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terhadap masyarakat desa hutan. Distribusi dana Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang diterima pemerintah daerah memiliki presentasi yang tidak proporsional bagi desa sekitar hutan. Padahal masyarakat desa hutanlah yang menjadi benteng terakhir dalam membendung dampak negatif perusakan hutan.

Sejak diluncurkan pada akhir 2001, Program Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) oleh Perum Perhutani berupaya menjembatani interaksi antara masyarakat desa hutan dan Perhutani. Banyak yang meragukan PHBM akan bernasib sama seperti program-program sebelumnya yang pernah diluncurkan sejak 1970—2001.

Dalam perjalanan saya mendampingi masyarakat desa hutan di Burno dan beberapa desa hutan lainnya di Kecamatan Senduro. Saya melihat implementasi PHBM memiliki tingkat keberhasilan yang beragam. Di daerah lain begitu pesat pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan dengan nilai konversi puluhan juta rupiah per tahun. Sementara di desa lainnya berkembang sangat lambat bahkan pada tingkat yang mengkhawatirkan. 

PHBM bukan hanya mengandalkan LMDH sebagai institusi yang berperan dalam keberhasilan ekonomi masyarakat desa hutan, tetapi dibutuhkan kerja sama antara Perhutani, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan komunitas bisnis. LMDH sebagai salah satu implementator haruslah dapat mengikuti alur perubahan yang terjadi di sekelilingnya. LMDH dituntut untuk terus berada dalam proses pembelajaran, memperbarui diri, serta mengembangkan kreativitas sosial ekonomi. 

Keberhasilan implementasi PHBM di Desa Burno yang dilaksanakan sejak tahun 2006 berhasil memberikan sumbangsih yang sangat berharga bagi percepatan dan pembangunan masyarakat desa hutan. Sumbangsih tersebut berupa munculnya tiga sumber energi, yaitu dana bagi hasil produksi, optimalisasi ruang kelola, dan sinergi kelembagaan lintas sektoral.

Pada tahun 2016, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan program baru untuk membangun Indonesia dari pinggiran. Salah satunya adalah program perhutanan sosial. Pengaturan skema pengelolaan hutan disederhanakan dalam satu peraturan mengenai Perhutanan Sosial yang diatur oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Sebuah program yang bertujuan melakukan pemerataan ekonomi melalui tiga pilar: lahan, kesempatan usaha, dan sumber daya manusia.

Akses legal mengelola kawasan hutan ini kami jadikan sarana untuk meneruskan keberhasilan program PHBM dan pada tahun 2017 KTH LMDH Wono Lestari Kecamatan Senduro menerima Surat Keputusan (SK) dari KLHK Nomor: SK.5633/MENLHK/PSKL/PKPS/PSL.0/10/2017.

Bagaimana awalnya meyakinkan masyarakat agar mau ikut serta dalam program?

Kemiskinan yang awalnya menghantui masyarakat desa hutan nyaris menjadi ketakutan turun temurun yang diturunkan ke generasi selanjutnya. Masyarakat desa hutan sangat bergantung pada aksesibilitas terhadap kawasan hutan, dan oleh sebagian orang dianggap sebagai “ancaman” kelestarian hutan di sekitarnya.

Beberapa hal yang mendorong saya untuk mengajak masyarakat desa hutan bersama-sama mengubah kondisi dan stigma yang dilekatkan kepada mereka. Kami harus berproses dengan berbagai daya upaya yang bisa dilakukan bersama. LMDH diperlakukan sebagai sebuah entitas sosio-ekonomi desa hutan sebagai poin permulaan dalam keberhasilan implementasi PHBM dan dilanjutkan dengan program perhutanan sosial dengan skema pengakuan dan perlindungan kemitraan kehutanan.

Sosio-ekonomi yang dimaksudkan adalah membangun ekonomi desa hutan berdasarkan atas nilai-nilai kearifan sosial yang ada di sana. Dalam upaya mewujudkan hal tersebut saya mendorong komunitas masyarakat desa hutan berperan aktif dalam tiga bentuk aktivitas:

  1. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan;
  2. Pengembangan inovasi ekonomi kreatif melalui penguatan modal dan jejaring pasar; dan
  3. Terus-menerus melakukan propaganda penyadaran upaya pelestarian hutan 
Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
Peta klaster agroforestri dan silvopasture terpadu/KTH LMDH Wono Lestari

Apa saja tantangan yang dihadapi dalam menjalankan program-program ini?

Kecilnya persentase keberhasilan LMDH dalam implementasi PHBM menjadi kritik umum oleh banyak pihak. Kritik yang sering dilontarkan adalah LMDH adalah bentukan dan “Anak Perhutani” untuk menunjukkan kepedulian semua terhadap corporate social responsibility (CSR). Sebagian kasus benar terjadi demikian. Sebagian LMDH dibentuk secara tidak alamiah dan dipaksakan untuk ada.

Akibatnya, LMDH lebih mengejar kuantitas daripada kualitas organisasi. Dampaknya adalah ketidakberdayaan organisasi serta kurangnya pemahaman yang mendalam tentang tugas pokok, peran, serta fungsi.

Dengan proses yang tidak mudah kami berhasil meyakinkan beberapa tokoh masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan hutan. “Pendekatan dengan hati”, itulah yang kami lakukan ketika itu di tengah hiruk piruk penjarahan kayu hutan serta upaya penguasaan lahan kawasan hutan di beberapa desa di Kecamatan Senduro dan beberapa [desa lainnya] di Kabupaten Lumajang.

Pada 2006, beberapa tokoh masyarakat bersepakat mendirikan LMDH dengan biaya sendiri, mulai dari musyawarah, sosialisasi, sampai pembiayaan akta notaris. Terpeliharanya semangat mandiri dari para tokoh Desa Burno inilah yang membedakan dengan beberapa LMDH desa lainnya.

Apakah ada hambatan dalam menjalankan program ini dan bagaimana cara penyelesaiannya?

Hambatan dalam melaksanakan IAD tentu ada dalam proses implementasinya. Pertama, tentu saja tidak mudah dapat menyelaraskan pemahaman terkait konsepsi IAD antarlembaga.

Kedua, memadukan kepentingan banyak pihak merupakan hal yang sulit karena masing-masing lembaga memiliki tata cara birokrasi dan pakem yang berbeda. Ketiga, mensosialisasikan pengembangan IAD kepada masyarakat di tingkat bawah memerlukan waktu dan energi yang besar serta sinergi yang baik dari semua pihak.

Dampak perubahan yang dirasakan masyarakat akan program ini seperti apa?

Ada tiga perubahan yang tampak dalam pelaksanaan IAD program perhutanan sosial di Kabupaten Lumajang: 

  1. Dampak ekonomi yang paling terasa adalah hak pengelolaan lahan yang memberikan nilai tambah bagi aset tanah dan aset tumbuhan (yang memiliki nilai ekonomis) dan kemudian mendorong masyarakat untuk terus memanfaatkan lahan hutan untuk pariwisata dan kemudian akan mampu menyerap tenaga kerja yang banyak;
  2. Fungsi hutan secara sosial adalah sebagai penyedia kebutuhan dasar bagi masyarakat sekitar hutan sebagai sumber pencaharian, obat-obatan, penelitian, dan sebagainya. Sebelumnya sering terjadi konflik antara petugas negara dan masyarakat desa. Setelah penggarap lahan mendapatkan surat keputusan perhutanan sosial, mereka tidak perlu cemas lagi tiap kali memasuki rimba;
  3. Secara ekologi, hutan sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia, hewan, dan tumbuhan, antara lain sebagai penyerap karbondioksida, penghasil oksigen, sumber air, pencegah erosi dan banjir, habitat hewan, dan lainnya. Dalam konteks program ini, masyarakat diarahkan untuk meningkatkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif pengelolaan hutan.
Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
Pemandangan Gunung Semeru di kejauhan saat pagi hari di destinasi wisata B-29, Desa Argosari, Senduro, Lumajang. Sisi kanan adalah kaldera purba Bromo berselimut kabut/Rifqy Faiza Rahman

Apakah ke depannya ada rencana pengembangan program atau pengembangan program pendukung yang baru?

Tentu. Ada beberapa rencana pengembangan IAD di Kabupaten Lumajang yang meliputi pengembangan desa adat dan desa tujuan pendakian Gunung Semeru di Ranupane, pengembangan objek wisata “Negeri di Atas Awan Puncak B-29” di Desa Argosari, pengembangan Bumi Perkemahan Glagaharum di Desa Kandangtepus, dan rencana pengembangan pembangunan kampus Universitas Islam Negeri di Desa Kandangtepus.

Harapan membangun bangsa yang berdikari dimulai dari wilayah yang terkecil. Sebuah desa yang terletak di pinggir hutan seyogianya bisa menjadi agen perubahan, meningkatkan ekonomi masyarakat tanpa merusak habitat yang telah ada sebelumnya.  Sayangnya belum semua desa mampu membangun perekonomian mereka secara mandiri. LSM sebagai penggerak diharapkan mampu memicu masyarakat untuk membuat ekonomi kreatif agar mampu mengurangi jumlah pengangguran dengan membuat usaha mandiri yang berbasis lingkungan.

Foto sampul:
Pemandangan Gunung Semeru dari Desa Ranupane. Desa ini merupakan jalur pendakian utama dan satu-satunya menuju puncak tertinggi Pulau Jawa tersebut/RifqyFaiza Rahman


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/membangun-masyarakat-desa-hutan-di-lumajang-pengabdian-untuk-negeri/feed/ 0 41059
Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung https://telusuri.id/cerita-kehidupan-mangrove-dalam-pengelolaan-hutan-kemasyarakatan-di-belitung/ https://telusuri.id/cerita-kehidupan-mangrove-dalam-pengelolaan-hutan-kemasyarakatan-di-belitung/#respond Tue, 30 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41053 Menarilah dan terus tertawaWalau dunia tak seindah surgaBersyukurlah pada yang kuasaCinta kita di dunia, selamanya Kutipan lagu yang dinyanyikan Nidji sebagai lagu pengantar film Laskar Pelangi berhasil menyihir penikmat musik di Indonesia. Laskar Pelangi tidak...

The post Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung appeared first on TelusuRI.

]]>
Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang kuasa
Cinta kita di dunia, selamanya

Kutipan lagu yang dinyanyikan Nidji sebagai lagu pengantar film Laskar Pelangi berhasil menyihir penikmat musik di Indonesia. Laskar Pelangi tidak hanya menceritakan kisah sekelompok anak yang pantang menyerah dalam mengejar cita-cita, tetapi berhasil mengenalkan Bangka Belitung sebagai tempat yang indah di Indonesia.

Sayangnya, keindahan yang kita kenal ternyata menyimpan borok yang menganga: lubang-lubang bekas galian tambang, hutan mangrove yang telah hilang, dan vegetasi alami yang semakin sedikit.

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sedang mengembangkan program “50 Pesona Perhutanan Sosial Nusantara Integrated Area Development (IAD)” atau Pengembangan Area Terintegrasi. Fungsinya seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm) untuk kesejahteraan ekonomi rakyat dan juga sebagai sarana konservasi. 

Salah satu IAD yang sukses menjalankan misinya terletak di Bangka Belitung. IAD Bangka Belitung terdiri dari beberapa HKm, yaitu HKm Juru Seberang, HKm Bukit Peramun, HKm Desa Terong, HKm Teluk Munsang, dan HKm Batu Bedil.

Kali ini, TelusuRI ajak kamu menelusuri cerita HKm yang ada di sana.

Mengolah Bekas Tambang Menjadi Ekowisata

Lahan sebesar 757 hektare (ha) telah disahkan melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK 79/MenLHK-II/2015 yang diterbitkan pada 10 Maret 2015. Sebagai salah satu kelompok Hutan Kemasyarakatan, HKm Juru Seberang mengelola bekas lahan tambang, hutan mangrove, dan hutan pantai sebagai lahan untuk kesejahteraan masyarakat Desa Juru Seberang.

Sesuai dengan visinya, yaitu menjadi komunitas kehutanan yang profesional melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil, dan berkelanjutan; masyarakat Desa Juru Seberang berupaya memulihkan bekas tambang timah yang menyasar hutan mangrove.

Pemulihan besar-besaran dilakukan untuk mencegah abrasi di daerah pesisir. Penanaman mangrove dapat membuat ekosistem kembali pulih. Belitung Mangrove Park yang masuk dalam kawasan Juru Seberang terdiri dari 52,02 ha berdiri berkat kerja sama HKm dengan Yayasan Terumbu Karang Indonesia. 

Kita bisa menyusuri trek mangrove atau susur sungai menggunakan kapal untuk melihat sekeliling. Bila beruntung kita akan mendapati burung-burung liar yang beterbangan.

Taman Hortikultura, bagian lainnya dari HKm Juru Seberang, menyediakan arena pembelajaran bercocok tanam bagi para pengunjung yang ingin mencoba langsung menanam atau memetik hasil kebun. Ada mangga, lengkeng, sirsak, sukun, menteng, jambu mete, dan sayuran. Selain untuk kegiatan wisata, Taman Holtikultura juga menjadi sumber pendapatan masyarakat.

Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung
Pemandangan hutan mangrove di tepi pantai di bawah pengelolaan HKm Juru Seberang Belitung/KLHK

HKm untuk Semua Kalangan

Apriyanto yang menjabat sebagai ketua HKm Teluk Munsang menjelaskan jenis kegiatan yang bisa dilakukan di Teluk Munsang. “Ada trekking mangrove, diving, snorkeling, pondok wisata, spot foto. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) berupa lebah madu dan jamur.”

Seperti HKm lainnya di Belitung, kita akan mendapati mangrove sebagai ekowisata. Keberadaan mangrove menjadi sebuah tolok ukur rasa syukur. Tidak hanya bagi keindahan, tetapi juga bagi para nelayan.

“Ada tanggung jawab moral bagi kami untuk merestorasi wilayah yang sebagian telah rusak akibat tambang,” jelas Apriyanto.

Kami menanyakan apakah profesi penambang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat sekitar, tetapi Apriyanto menampik, “Tidak dilakukan secara turun temurun. Tambang untuk umum baru dimulai sekitar tahun 2000—2005.”

Pertemuan dengan Perhutani yang menjadi awal mula HKm sempat mendapat pro-kontra di kalangan masyarakat. “Ada yang antusias, ada yang kontra, karena ramainya masyarakat yang masih ingin menambang. Kondisi sekarang 90% masyarakat sudah beralih ke program Perhutani, yang nambang sudah pindah semua dari wilayah itu,” jelasnya.

HHBK yang menjadi primadona Teluk Munsang adalah madu dan jamur. Pengambilan madu masih dilakukan secara tradisional, yaitu menggunakan api dan asap lalu kemudian diiris. Panen madu bisa mencapai tiga kali dalam setahun. Hasilnya cukup memuaskan, bisa mencapai lima liter. Adapun jamur masih mengandalkan proses alamiah untuk tumbuh. Masyarakat cenderung lebih mengandalkan pencaharian sebagai nelayan daripada hanya bergantung kepada HHBK.

Mangrove demi Kehidupan

Bicara daerah pesisir pasti tidak lepas dari peran mangrove. Ibarat sebuah film, mangrove adalah peran utama yang bakal mengundang sorotan karena menjadi pusat cerita. Sama halnya dalam kehidupan, mangrove menjadi peran utama dalam ekosistem pesisir: menyediakan rumah bagi ikan-ikan, melindungi pantai dari empasan ombak secara langsung, hingga mencegah pemanasan global.

Sebelum menjadi HKm, dulunya tempat tersebut hanyalah semak belukar dan jalan setapak. “Awal mula menjadi HKm sebenarnya dari iseng-iseng membersihkan semak, karena banyak yang ikut akhirnya minta pengarahan ke pihak desa dan keluarlah SK,” terang Egi Saputra, Ketua Pemuda Nelayan Pecinta Alam (PNPA) Desa Terong.

Egi menuturkan sudah tidak ada lagi penambang timah di sekitar sini. Sebagian besar menjadi nelayan atau petani. Program-program yang digalakkan, seperti pembibitan dan penanaman mangrove serta wisata pantai melibatkan masyarakat secara aktif. 

Pengunjung bisa ikut menanam mangrove dengan biaya Rp20.000 per orang. Sudah mencakup perlengkapan dan pemandu yang akan mengarahkan cara menanam.

Dampak yang dirasakan tidak main-main. Tersedianya lapangan kerja menghasilkan tambahan pundi-pundi rupiah, meski belum stabil. Masyarakat tetap bergantung kepada kegiatan bertani dan mencari ikan sebagai pendapatan utama. Integrasi dengan Desa Wisata Terong memperkaya paket wisata yang ditawarkan dan merangkul semua potensi yang ada di sini.

Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung
Contoh brosur promosi paket wisata di Desa Terong/HKm Desa Terong

HKm dan Kemandirian Ekonomi Lokal

HKm Batu Bedil memang belum seperti HKm lainnya yang sudah tertata rapi dengan berbagai macam pilihan kegiatan. Meskipun bangunan yang ada masih swadaya, tetapi Rencana Kinerja Tahunan (RKT) untuk pembangunan pembangunan sudah tersusun rapi. Infrastruktur menjadi pilihan utama selain pengajuan pertanian mete, lada, dan, buah-buahan. “Kita mengusulkan sekitar 20 hektare tambahan untuk lahan pertanian. Kami juga sudah mengelola 20 hektare tanah yang ditanami mete,” jelas Suhardi, ketua HKm Batu Bedil.

“Batu Bedil merupakan salah satu geosite yang ada di Belitung,” terang Suhardi. Sebagai informasi, peresmian Batu Bedil sebagai geopark dilakukan pada 2019 dan dicanangkan masuk sebagai UNESCO Global Geopark.

Tidak hanya keindahan alam saja yang ditawarkan, tetapi juga terdapat beberapa peninggalan arkeologis yang masih dapat disaksikan hingga sekarang. Selain ekowisata mangrove, Batu Bedil juga menawarkan snorkeling di konservasi Karang Tima. Selama pandemi berlangsung, hanya turis mancanegara yang berkunjung. Sekolah-sekolah lokal yang biasanya mengadakan kunjungan belum terlihat batang hidungnya. Mandeknya kegiatan pariwisata membuat pengelola beralih ke budidaya kerapu sulu.

Para penambang yang lebih dahulu memakai kawasan Batu Bedil menjadi tersingkirkan setelah kawasan tersebut resmi menjadi hutan lindung. “Kita beri pengertian kepada masyarakat untuk tidak menambang di area HKm Batu Bedil, karena kita sudah diberi amanah oleh negara untuk menjaganya,” jelas Suhardi.

Kesolidan masyarakat Batu Bedil diuji dengan kondisi ekonomi yang belum mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun, syukurnya mereka tetap solid dan semangat mengelola HKm.

“Harapan kita ke depannya pemerintah bisa membantu fasilitas, ya, namanya tempat wisata kan harus ada fasilitas. Dan saya harap juga kawan-kawan di HKm ini bisa semakin membantu ekonomi masyarakat sekitar,” pungkas Suhardi.

HKm Digital, HKm Terdepan

Upaya digitalisasi rupanya tidak hanya menyasar para pelaku ekonomi di negeri ini. Sektor HKm tidak ketinggalan juga ikut menyusul bagian pariwisata lainnya dalam menggalang konten digital.

Adi Darmawan, mobile developer yang berhasil kami wawancarai, membeberkan bahwa HKm Bukit Peramun menawarkan virtual apps untuk paket wisata digital. Konsep yang diusung oleh HKm Bukit Peramun adalah hutan berbasis digital.

“Ada virtual guide, ada pengenalan pohon yang berbentuk hologram yang bisa bicara sendiri, tapi aplikasi hanya bisa dipakai di kawasan Bukit Peramun,” jelasnya.

Ada empat paket wisata yang ditawarkan oleh HKm Bukit Peramun yang semuanya menggabungkan keseruan realitas dan digital. Misalnya, trekking dan spot foto virtual, pengamatan tarsius malam hari, geowisata lintas alam, dan wisata edukasi untuk anak-anak sekolah.

Mayoritas masyarakat yang dulunya adalah penambang perlahan-lahan mengubah diri menjadi pegiat alam. Masyarakat sekitar mulai memahami bahwa ketika alam rusak, tidak akan ada yang bisa berjalan dengan baik. Akhirnya konservasi berhasil, ekonomi berjalan. Sayangnya badai pagebluk Covid-19 mulai menghantam pariwisata. Ekonomi yang awalnya sempat bangkit kembali menjadi terpuruk. Untungnya pengelola sudah menyiapkan mitigasi usaha yang cukup menjanjikan, yaitu produksi tanaman herbal dan kompos.

Adi berharap ke depannya ada stimulus dari pemerintah untuk membantu masyarakat dalam mengelola HKm. Terutama mengenai tata kelola lokasi, promosi, serta pelayanan. Digitalisasi menyeluruh juga diharapkan dapat membantu perkembangan HKm dalam menghadapi era industri 4.0 saat ini.

Foto sampul:
Sisi lain panorama kawasan hutan mangrove di tepi pantai di bawah pengelolaan HKm Juru Seberang Belitung/KLHK


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-kehidupan-mangrove-dalam-pengelolaan-hutan-kemasyarakatan-di-belitung/feed/ 0 41053
Pentingnya Merawat Sungai di Era Pendidihan Global https://telusuri.id/pentingnya-merawat-sungai-di-era-pendidihan-global/ https://telusuri.id/pentingnya-merawat-sungai-di-era-pendidihan-global/#respond Sat, 12 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39588 Kawasan hulu dan daerah aliran sungai menjadi kunci penting dalam menangkal dampak buruk terjadinya pendidihan global (global boiling). Menjaga dan merawat kawasan hulu dan daerah aliran sungai adalah kewajiban kita bersama.  Sekarang ini, kita semua...

The post Pentingnya Merawat Sungai di Era Pendidihan Global appeared first on TelusuRI.

]]>
Kawasan hulu dan daerah aliran sungai menjadi kunci penting dalam menangkal dampak buruk terjadinya pendidihan global (global boiling). Menjaga dan merawat kawasan hulu dan daerah aliran sungai adalah kewajiban kita bersama. 

Sekarang ini, kita semua sudah tidak lagi berada di era pemanasan global. Era ini telah berakhir. Kita kini telah memasuki era pendidihan global. Setidaknya itulah yang dapat kita simpulkan dari pernyataan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, di markas PBB, akhir Juli lalu, setelah para ilmuwan mengonfirmasi bahwa Juli tahun 2023 ini menjadi bulan terpanas dalam sejarah kehidupan di bumi.

Dr. Karsten Haustein, seorang ilmuwan iklim dari Universitas Leipzig, Jerman, dalam sebuah analisisnya, seperti dikutip Louise Boyle, koresponden koran The Independent, menegaskan bahwa Juli 2023 boleh jadi sebagai bulan terpanas dalam 120.000 tahun sejarah bumi. Dimulai dari periode interglasial Eemian, ketika pohon kayu keras tumbuh di Kutub Utara dan kuda nil masih berkeliaran di belahan bumi utara hingga lembah Sungai Rhine dan Sungai Thames.

Para ilmuwan mengingatkan bahwa kian mendidihnya bumi pada saatnya akan termanifestasi dalam bentuk peristiwa cuaca ekstrem di seluruh dunia. Kemarau ekstrem dengan ancaman krisis air bersih maupun kebakaran hutan, serta curah hujan intens yang memicu banjir dahsyat adalah risiko-risiko yang kini mengancam banyak kawasan di bumi. Termasuk di Indonesia.

Pentingnya Merawat Sungai di Era Pendidihan Global
Sungai bukan tempat sampah/Djoko Subinarto

Peran Kawasan Hulu

Menjaga kawasan hulu dan daerah aliran sungai tetap lestari adalah bagian penting dalam meminimalisasi implikasi pendidihan global. Khususnya yang terkait dengan kelangkaan air saat kemarau ekstrem dan banjir dahsyat saat curah hujan intens berlangsung.

Seperti kita ketahui, kawasan hulu adalah daerah tangkapan air. Semua induk sungai berada di kawasan hulu. Hulu adalah sumber mata air bagi sungai, yang sejatinya merupakan kawasan konservasi. Kawasan hulu semestinya steril dari pembangunan apa pun. Biarkan hutan di kawasan hulu tumbuh alami dan lestari. Kerusakan kawasan hulu niscaya akan berpengaruh pada tangkapan air, yang pada gilirannya berdampak pada ketersediaan sumber mata air.

Adapun sungai menjadi salah satu sumber air permukaan untuk berbagai keperluan, mulai dari kebutuhan air minum, pertanian, hingga energi listrik. Terjaganya sumber mata air di kawasan hulu akan menjadi penyelamat saat terjadi kemarau ekstrem. 

Celakanya, alih-alih menjadi kawasan konservasi, tak sedikit area hulu di negeri ini malah menjadi kawasan-kawasan terbangun. Faktanya, alih fungsi lahan di banyak kawasan hulu terus terjadi. Sebagai kawasan konservasi, daerah hulu seharusnya mendapat proteksi seketat mungkin. Bahkan, idealnya tidak boleh ada sedikit pun campur tangan manusia yang dapat mengganggu proses alami di kawasan hulu. 

Pentingnya Merawat Sungai di Era Pendidihan Global
Pengerukan di aliran Sungai Citarum, di daerah Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat/Djoko Subinarto

Solusi Pendangkalan dan Penyempitan Aliran Sungai

Selain menjaga kelestarian kawasan hulu, kita juga perlu menjaga kelestarian daerah aliran sungai. Pendangkalan dan penyempitan di sepanjang aliran sungai adalah hal yang kerap kita saksikan dewasa ini. Tidak hanya mengancam kelangsungan hidup flora maupun fauna yang hidup di sekitar sungai, tetapi juga akan mempermudah terjadinya banjir tatkala curah hujan tinggi. 

Guyuran air hujan yang semestinya bisa membikin suasana menjadi lebih adem, asyik, dan romantis malah akhirnya melahirkan bala petaka memilukan. Banjir dahsyat yang dapat menelan korban harta maupun jiwa. Sudah banyak contoh kasus seperti ini di Indonesia.

Oleh karena itu, upaya-upaya mencegah pendangkalan dan penyempitan daerah aliran sungai perlu terus diupayakan. Pengerukan sungai seyogianya secara rutin dilakukan. Sementara itu perlu pula menanam di sepanjang daerah aliran sungai perlu, terutama dengan tanaman-tanaman keras agar tidak kosong melompong. atau penuh sesak oleh bangunan. Sebagaimana kawasan hulu, daerah aliran sungai harus penuh dengan tutupan (kanopi) tanaman. 

Pentingnya Merawat Sungai di Era Pendidihan Global
Kita harus menjaga kelestarian di sepanjang daerah aliran sungai/Djoko Subinarto

Menurut International Rivers, sebuah organisasi nirlaba asal Oakland, Amerika Serikat, keberadaan tutupan tanaman di daerah aliran sungai berfungsi sebagai penahan hujan sehingga mengurangi kekuatan hujan menghantam tanah. Lembaga yang memiliki misi utama melindungi sungai dan mempertahankan hak masyarakat yang bergantung pada sungai itu menambahkan, tutupan tanaman mampu mengurangi potensi erosi yang dapat membuat sungai keruh dan bertambah dangkal. 

Manfaat lain dari tutupan tanaman adalah mengurangi kecepatan angin. Tanah lebih terlindungi dari kemungkinan sapuan angin yang juga bisa menyebabkan erosi tanah. Akar tumbuhan yang menancap ke tanah juga mampu mengekstraksi air dari permukaan lalu mengalirkan air ke dalam tanah, sehingga membantu terciptanya cadangan air di bawah tanah. Di saat yang sama, tanaman menyerap karbon dan melepaskan oksigen. Ini menjadikan udara di sekitar menjadi lebih bersih dan temperatur lebih dingin.

Upaya menjaga dan merawat kawasan hulu dan daerah aliran sungai tentu saja harus melibatkan semua pihak, baik sektor publik maupun privat. Tak terkecuali melibatkan warga dan komunitas lokal yang tinggal di sekitar sungai.

Jika kawasan hulu dan daerah aliran sungai mampu kita jaga dan rawat dengan sebaik-baiknya serta berkelanjutan, maka tidak hanya akan semakin meningkatkan nilai lingkungan, sosial, budaya maupun ekonomi sungai; tetapi juga bakal menjauhkan kita dari petaka ekologis yang memilukan di era pendidihan global sekarang ini.

Sumber rujukan:

1) International Rivers. Tanpa tahun. River Basin Basics.
2) Louise Boyle. 2023. World Is Entering ‘Era of Global Boiling’UN Warns as July Is the Hottest Month on Record.
3) UN News. 2023. Hottest July Ever Signals ‘Era of Global Boiling Has Arrived’Says UN Chief.


Tulisan ini diikutsertakan dalam kampanye “TelusuRI Sungai dan Mangrove Indonesia” untuk memperingati Hari Mangrove Internasional 26 Juli dan Hari Sungai Nasional 27 Juli


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pentingnya Merawat Sungai di Era Pendidihan Global appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pentingnya-merawat-sungai-di-era-pendidihan-global/feed/ 0 39588
Seutas Makna dari Aliran Sungai Lahar Dingin Merapi https://telusuri.id/seutas-makna-dari-aliran-sungai-lahar-dingin-merapi/ https://telusuri.id/seutas-makna-dari-aliran-sungai-lahar-dingin-merapi/#respond Thu, 10 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39574 Lestari alamkulestari desakudi mana Tuhankumenitipkan aku Mungkin penggalan lirik lagu Lestari Alamku dari Gombloh itu menggambarkan perjalanan saya kali ini. Suatu kebetulan, saya tinggal di salah satu desa yang terletak di lereng timur Gunung Merapi....

The post Seutas Makna dari Aliran Sungai Lahar Dingin Merapi appeared first on TelusuRI.

]]>
Lestari alamku
lestari desaku
di mana Tuhanku
menitipkan aku

Mungkin penggalan lirik lagu Lestari Alamku dari Gombloh itu menggambarkan perjalanan saya kali ini. Suatu kebetulan, saya tinggal di salah satu desa yang terletak di lereng timur Gunung Merapi. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia dan dunia.

Tema perjalanan saya sengaja mencatat tentang relasi kehidupan antara kehidupan warga desa dan ekosistem sungai, yang acap kali terlupakan oleh masyarakat perkotaan. Jika ada yang bilang hidup di desa tidak berkecukupan, itu hanya mitos belaka.

Selama bijak memanfaatkan sumber daya alam, saya yakin kita mampu bertahan hidup. Namun, jangan sampai mengeksploitasi secara berlebihan supaya tidak mengalami kerugian satu sama lain, seperti kerusakan ekosistem dan hilangnya sumber air sebagai kunci kehidupan.

Rumit memang, tetapi begitulah yang saat ini tengah terjadi. Sama-sama memberikan dampak baik dan buruk. Akan tetapi, apabila salah kelola tentu satu pihak atau bahkan keduanya bisa merugi. Seperti apa yang saya saksikan, ketika berjalan menikmati kehidupan dan kehangatan warga desa di lereng Gunung Merapi. Tepatnya di aliran sungai Kali Apu, Dukuh Klakah, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali.

Seutas Makna dari Aliran Sungai Lahar Dingin Merapi
Proses penambangan berjalan secara manual dengan peralatan sederhana/Ibnu Rustamadji

Rezeki dan Bom Waktu Pasir Merapi

Gunung Merapi, dengan segala keindahan dan sumber daya yang dihasilkan, masih ada segelintir warganya yang menggantungkan nasib pada kehidupan di sekitarnya. Mereka rela menjadi penambang pasir di aliran sungai Merapi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tentu berbahaya, tetapi ini jamak terjadi.

Para penambang bekerja dengan alat sederhana dan semampunya. Mereka bekerja di sekitar aliran air yang tidak terlalu deras untuk mempermudah mengumpulkan pasir. Setelah terkumpul cukup banyak, biasanya sang istri atau kaum perempuan memindahkan pasir ke pinggir jalan untuk diambil pengepul.

Selama bekerja, tidak jarang mereka membawa bekal dari rumah dan menikmatinya bersama penambang lain kala istirahat. Momentum saya tepat saat itu. Saya menyambangi ketika mereka tengah mencari pasir di aliran Kali Apu, salah satu sungai aliran lahar dingin aktif, yang berhulu di puncak Merapi. Tempat saya berada berjarak sekitar sembilan kilometer dari puncak Merapi. 

Aliran sungai lahar dingin tentu membawa material pasir yang tumpah ruah di dalamnya. Tak ayal masyarakat memanfaatkannya sebagai sumber mata pencaharian. Rezeki bagi para penambang. Namun, jika pengelolaan tidak tertata, tentu akan menjadi bom waktu bagi keduanya. Kerusakan ekosistem dan perubahan daerah aliran sungai tampak nyata di depan mata. 

Efek jangka panjang dapat memengaruhi perkebunan dan ladang warga desa lain yang ada di sepanjang sungai. Bahkan aliran hulu ke hilir pun bisa sewaktu-waktu berubah apabila tidak ada pengelolaan berkelanjutan. Sangat disayangkan, tetapi fakta bercerita.

Seutas Makna dari Aliran Sungai Lahar Dingin Merapi
Suami menggali pasir dan kerikil, sedangkan sang istri mengangkat dan memecah kerikil hingga menjadi pasir halus/Ibnu Rustamadji

Bertaruh Nyawa demi Menjemput Asa

Selama di aliran Kali Apu, saya cukup tertegun dengan apa yang ada di depan mata. Sepasang suami istri saling membantu merajut asa di tengah gejolak Gunung Merapi. Uang yang mereka dapat pun tidak seberapa daripada nyawa dan peluh keringat saat menambang pasir.

“Sebenarnya juga takut, kalau dari atas ada hujan bisa banjir di sini. Tapi, ya, bismillah saja. Kalau ada apa-apa langsung pergi,” ungkap salah satu perempuan penambang.

Mereka sudah biasa lantaran tinggal di sekitar aliran Kali Apu dan memahami kondisi sekitar gunung. Ketika terjadi erupsi atau hujan lahar dingin di puncak, mereka menghentikan semua aktivitas pertambangan.

Hal yang membuat saya khawatir adalah tebing di sisi kiri dan kanan yang sewaktu-waktu bisa longsor. Tentu bukan ulah mereka saja, tetapi tidak stabilnya tanah pun bisa ikut menjadi pemicu terjadinya bencana. Namun, ia mencoba mengklarifikasi, “Tebing tidak ditambang, Mas. Itu isinya tanah, pasirnya sedikit. Kalau di tengah sungai ini, jelas pasir banyak.”

Tetap saja, bagi siapa pun yang menyaksikan mereka pasti merasakan kekhawatiran seperti saya.  Mereka tetap melanjutkan pekerjaan, meski  terganggu aktivitasnya karena kehadiran saya. Di tengah asyik memotret mereka, tiba-tiba seorang ibu memanggil untuk mengajak saya istirahat sejenak.

Saya sambut ajakannya untuk sekedar melepas penat. Mereka membawa bekal untuk dimakan bersama. Meski hanya jajanan tradisional, tetapi yang terpenting adalah kebersamaan.

“Ambil [jajanan] ini, Mas! Silakan, seadanya. Kalau mau minum teh saya juga ada. Masih panas,” tawarnya.

Karena saya lahir hingga tumbuh dewasa di desa, saya harus mau menerima tawaran mereka sebagai bentuk penghormatan. Sama seperti apa yang kami lakukan d isini, yaitu menghormati dan menerima pemberian alam. Mungkin tidak semua orang akan memahami kalau belum pernah tinggal di perdesaan lereng gunung. Masyarakat lereng gunung memiliki prinsip yang sama, yakni saling menghormati, membantu, dan berbagi. Hanya cara dan wujudnya saja yang berbeda.

Setelah sekitar 30 menit beristirahat, mereka kembali bekerja. Saya memutuskan berpamitan karena sudah hampir dua jam bercengkerama. Tak lupa mereka menawarkan diri supaya suatu saat saya berkunjung ke kediamannya. 

Seutas Makna dari Aliran Sungai Lahar Dingin Merapi
Kawasan hulu aliran sungai lahar dingin Kali Apu yang dekat dengan puncak Merapi/Ibnu Rustamadji

Ancaman di balik Eksotisme Hulu Kali Apu

Puas menyambangi para penambang, rasa penasaran saya terhadap hulu Kali Apu menuntun saya hingga ke Desa Kinahrejo, Sleman, Yogyakarta. Titik nol sungai yang saya datangi berjarak kira-kira satu kilometer dari puncak Merapi. Tempat ini termasuk Kawasan Rawan Bencana (KRB) III yang paling terancam bahaya erupsi. 

Tidak ada maksud melawan kekuatan alam, tetapi saya hanya sekadar menikmati eksotisme Merapi dari sudut lain. Tidak pernah saya duga sebelumnya, alam memberikan restu agar saya menikmati setiap detiknya.

Puncak Merapi tampak cerah tanpa tertutup awan maupun kabut. Tidak mau menyia-nyiakan waktu yang ada, saya segera mengabadikan sang ancala sekaligus jalur sungai lahar panas yang mengalir di sepanjang lereng gunung.

Di sini, makin jelas terlihat bahwa sungai yang masuk areal gunung berapi aktif, sangat rentan rusak dan merusak apa pun di sekitarnya. Termasuk kehidupan warga desa.  Dengan kedalaman di luar perkiraan, bahkan tidak tampak adanya aktivitas pertambangan di bawahnya, tentu sangat berbahaya.

Beberapa warga yang sempat saya temui, mengaku sebenarnya merasa khawatir. Terlebih di kala puncak Merapi terang benderang. Mereka takut apabila terjadi erupsi dan melihatnya secara langsung. 

“Kalau puncak seperti ini [cerah] saya takut kalau terjadi apa-apa [dan] melihat secara langsung. Kalau kabut atau berawan [malah] tidak apa-apa, kita bisa mewanti-wanti,” ujar salah satu warga.

Meski menyimpan ketakutan, tetapi karena harus menafkahi anak dan istri, semua pekerjaan dilakoni. Tak terkecuali sebagai penambang pasir, selain berkebun sebagai mata pencaharian utama. Sekalipun aliran sungai tempat mereka bekerja amat rawan bencana. Dilema memang.  

Kalaupun mereka membanting kemudi kehidupannya ke sektor pariwisata,  tentu dituntut harus memiliki kemampuan lebih. Tidak semua warga memiliki keahlian mumpuni. Mayoritas warga Desa Kinahrejo berprofesi sebagai petani sayur, penambang pasir, peternak, dan hanya sebagian sopir jip wisata.  

Mereka tidak malu sedikit pun, meski banyak orang kota berkunjung, berfoto, dan merasa senang melihat desanya. Tidak sedikit juga yang merasa kurang cocok untuk diabadikan, tetapi selama ini tidak ada masalah. 

Malahan kita yang berkunjung wajib menghargai sesama serta menjaga adat istiadat dan tata krama di mana pun. Apabila kita mampu dan bisa menjalani, tentu warga setempat sangat senang dan menaruh perhatian. Hidup harus selaras, seimbang, dan merasa cukup. Begitu kiranya prinsip warga desa sepanjang aliran Kali Apu.

Seutas Makna dari Aliran Sungai Lahar Dingin Merapi
Aktivitas penambangan pasir di hulu aliran Kali Apu, sekitar satu kilometer dari puncak Merapi/Ibnu Rustamadji

Makna Perjalanan di Kali Apu

Pelajaran berharga dari perjalanan saya ke Kali Apu ternyata sangat banyak. Ada beberapa poin yang mungkin relevan dengan kondisi saat ini. Tidak masalah seseorang bekerja menjadi apa pun, asal halal dan mampu menjadikan kita lebih wawas diri serta mengerti akan kondisi sekitar. 

Menjadi penambang pasir tentu memiliki risiko lebih tinggi daripada nominal pendapatannya dalam sehari. Maka kita patut bersyukur tidak sampai memiliki kehidupan yang seberat itu. Walaupun demikian tetap harus menjaga keseimbangan alam dan jangan mengeksploitasi berlebihan.

Para penambang tentu membutuhkan uang. Namun, alam pun memerlukan ruang untuk menjaga ekosistemnya. Singkatnya, saling menghargai. 

Untuk kalian yang orang tuanya bekerja di pertambangan, tidak perlu malu. Justru harus bangga. Mereka bisa menghidupi kalian dari jerih payahnya, meski nyawa jadi taruhan.

Apabila terjadi erupsi atau banjir lahar dingin dari puncak Merapi, jangan terlampau larut dalam kesedihan. Tentu dengan intensnya komunikasi antara warga desa, dan pemangku kepentingan terkait lainnya. Untuk meminimalisasi kerugian korban jiwa dan harta.

Alam memberikan kita segalanya, termasuk aliran sungai dengan segala isinya. Adakalanya alam meminta kembali sesuatu yang telah ia berikan, karena kerusakan yang kita perbuat. Berani berbuat berani bertanggung jawab.

Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung. Setiap orang sudah sepatutnya menghormati segala hal yang berlaku di tempat ia tinggal, termasuk menjaga ekosistem alam dan hayati yang terkandung di dalamnya.


Tulisan ini diikutsertakan dalam kampanye “TelusuRI Sungai dan Mangrove Indonesia” untuk memperingati Hari Mangrove Internasional 26 Juli dan Hari Sungai Nasional 27 Juli


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Seutas Makna dari Aliran Sungai Lahar Dingin Merapi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/seutas-makna-dari-aliran-sungai-lahar-dingin-merapi/feed/ 0 39574
Semangat Kebersamaan dan Ramah Lingkungan dalam Tradisi Botram https://telusuri.id/semangat-kebersamaan-dan-ramah-lingkungan-dalam-tradisi-botram/ https://telusuri.id/semangat-kebersamaan-dan-ramah-lingkungan-dalam-tradisi-botram/#respond Wed, 07 Jun 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38861 Lebih dari seperempat abad silam, seorang kenalan yang asli Sunda mengundang saya dan beberapa teman lain untuk mengikuti botram. Saya belum paham sepenuhnya mengenai botram. Walaupun demikian, dengan senang hati saya penuhi ajakannya. Saya menyempatkan...

The post Semangat Kebersamaan dan Ramah Lingkungan dalam Tradisi Botram appeared first on TelusuRI.

]]>
Lebih dari seperempat abad silam, seorang kenalan yang asli Sunda mengundang saya dan beberapa teman lain untuk mengikuti botram. Saya belum paham sepenuhnya mengenai botram. Walaupun demikian, dengan senang hati saya penuhi ajakannya. Saya menyempatkan datang ke tempat tinggalnya yang berjarak sekitar 97 kilometer dari Kota Bandung.

Setibanya di rumah kenalan tersebut, kami sejenak beramah-tamah dengan tuan rumah. Si empunya rumah lantas menyiapkan dua helai panjang daun pisang yang ia ambil dari halaman kediamannya. Usai membersihkan, lalu menaruh lembaran daun pisang itu di atas lantai. Sejurus kemudian mereka menuangkan beberapa porsi nasi liwet hangat di atasnya, menyusul lauk pauk, sambal, berikut lalapan. Barulah ketika tuan rumah mempersilakan untuk makan bareng-bareng, saya mulai paham makna botram tersebut.

Itulah momen pertama kali saya mengenal istilah botram. Sebuah tradisi masyarakat Sunda berupa acara makan bersama beralaskan daun pisang.

Di awal mengikuti botram, ada sedikit perasaan aneh dan kikuk karena mesti makan bareng-bareng beralas daun pisang yang sama. Lebih-lebih harus menggunakan tangan—sejak kecil saya terbiasa makan menggunakan sendok. Namun, seiring waktu setelah beberapa kali mengikuti kegiatan serupa lainnya, saya jadi terbiasa dan dapat menikmati botram.

Semangat Kebersamaan dan Ramah Lingkungan dalam Tradisi Botram
Tanaman leunca yang biasa digunakan sebagai lalap dalam menu botram/Djoko Subinarto

Semangat Gotong-Royong dalam Botram

Acara botram bukan hanya menjadi ajang memelihara kebersamaan, tetapi juga untuk memupuk semangat gotong-royong dalam skala kecil. Ketika sedang menyiapkan acara untuk botram, masing-masing partisipan mungkin saja memiliki tugas dan tanggung jawab yang harus ditunaikan. Misalnya, ada yang membuat liwet, menyiapkan sambal dan lalapan, berbelanja bahan masakan atau hanya menyediakan tempat botram.

Tidak ada menu yang benar-benar baku sebagai suguhan untuk botram. Termasuk soal sambal dan lalapan, walau sebenarnya nyaris selalu tersedia dalam setiap botram. Saat pertama kali saya mengikuti botram karena undangan kawan saya, sajian menunya berupa nasi liwet yang dimasak di atas hawu (tungku masak). Kemudian tambahan sambal hejo dengan lalap rebusan daun singkong dan labu siam muda, serta tahu dan tempe goreng. Sebuah paket menu yang cukup sederhana.

Di kesempatan botram berikutnya yang saya ikuti, nasi yang disajikan non-liwet dengan sambal tomat dengan lalapan daun kemangi, daun pohpohan mentah, teri dan udang goreng. Komposisi sedikit berbeda saya temui di botram lainnya, yaitu nasi liwet, sambal terasi dengan lalap rebusan kangkung, petai bakar, jengkol muda mentah, leunca mentah, tempe goreng, ikan asin goreng, ikan bakar, dan kerupuk.

Di kawasan perdesaan Tatar Sunda, botram bisa berlangsung di teras rumah. Menghadap kebun, kolam, atau sawah. Bisa juga menyelenggarakannya di saung tengah kolam atau salah satu sudut kebun. Tanpa harus menunggu komando, setiap peserta sering berinisiatif membawa menu dari rumah masing-masing untuk kemudian saling berbagi pada saat botram. 

Semangat Kebersamaan dan Ramah Lingkungan dalam Tradisi Botram
Contoh tradisi botram ramai-ramai dengan keluarga di tengah kebun/Djoko Subinarto

Pesan Ramah Lingkungan dari Alas Botram

Terlepas dari pilihan menu serta lokasi penyelenggaraan botram, yang menurut saya paling khas dalam acara ini adalah lembaran daun pisang sebagai alas tempat makan bareng. Maka, saban kali mendengar kata botram, yang langsung terlintas di benak saya adalah bentangan daun pisang dengan sejumlah porsi nasi hangat, sambal, lalap, dan lauk-pauk di atasnya.

Meskipun bisa saja lembaran daun pisang tersebut kita ganti dengan media lainnya sebagai alas. Namun, toh nilai estetika dan kesehatannya boleh jadi tak mungkin bisa tergantikan. Berkaitan dengan kesehatan, saya mengetahui belakangan bahwa makan dengan alas daun pisang ternyata lebih menyehatkan.

Sejumlah literatur menyebut daun pisang mengandung antioksidan organik, karena kandungan polifenolnya yang tinggi. Polifenol dalam daun pisang dilepaskan dan ditransmisikan ke dalam makanan, tatkala makanan panas diletakkan di atasnya. Polifenol tersebut diyakini mampu mencegah berbagai gangguan yang berhubungan dengan sejumlah penyakit. Selain itu juga memiliki sifat antibakteri yang dapat membantu pencernaan dan menghilangkan kuman dalam makanan.

Penggunaan daun pisang juga sangat ramah lingkungan. Begitu selesai terpakai sebagai alas makan, daun pisang tidak bakal mencemari lingkungan karena cepat terurai dalam tanah. Alih-alih menjadi pencemar, ia malah menjadi pupuk alami bahkan bisa menjadi pakan hewan ternak. Tentu ini jauh lebih baik ketimbang harus membungkus nasi atau menggunakan alas dari bahan kertas maupun plastik. 

Semangat Kebersamaan dan Ramah Lingkungan dalam Tradisi Botram
Semangat kebersamaan dalam tradisi botram yang menyehatkan dan lebih ramah lingkungan/Djoko Subinarto

Paket Kuliner Botram di Restoran Sunda

Dewasa ini, botram telah menjadi salah satu paket kuliner andalan untuk menarik pelanggan. Sejumlah restoran Sunda telah menerapkannya. 

Paket kuliner tersebut cocok untuk siapa pun. Terutama bagi yang merindukan suasana kebersamaan dalam botram. Atau, mereka yang belum pernah merasakan botram dan ingin mencicipi menu-menu yang tersaji di dalamnya.

Maka para penikmat kuliner tak perlu repot-repot. Hanya mengeluarkan beberapa ratus ribu rupiah, kita dapat memesan paket botram yang tersedia di beberapa restoran khas Sunda. Cukup buat janji dengan teman dekat, datang ke rumah makan, buat pesanan, dan tinggal duduk manis menunggu. Tak lama, paket menu botram pun siap tersaji untuk kita santap dan nikmati bersama.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Semangat Kebersamaan dan Ramah Lingkungan dalam Tradisi Botram appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/semangat-kebersamaan-dan-ramah-lingkungan-dalam-tradisi-botram/feed/ 0 38861
Kenapa Kabut Senja Tak Lagi Jatuh di Sukarame? https://telusuri.id/kenapa-kabut-senja-tak-lagi-jatuh-di-sukarame/ https://telusuri.id/kenapa-kabut-senja-tak-lagi-jatuh-di-sukarame/#respond Thu, 11 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38614 Saya berkendara dari pusat kota Sukanagara, Cianjur, ke arah selatan menuju Sukarame. Jaraknya sekitar delapan kilometer. Sukarame berada di ujung selatan Kecamatan Sukanagara, dengan ketinggian sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut. Desa ini pasti...

The post Kenapa Kabut Senja Tak Lagi Jatuh di Sukarame? appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya berkendara dari pusat kota Sukanagara, Cianjur, ke arah selatan menuju Sukarame. Jaraknya sekitar delapan kilometer. Sukarame berada di ujung selatan Kecamatan Sukanagara, dengan ketinggian sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut. Desa ini pasti dilalui jika kita ingin pergi dari Sukanagara ke Sindang Barang atau Cidaun di pesisir selatan.

Matahari mulai condong ke arah barat. Angin dingin pegunungan berembus perlahan, menusuk pori-pori kulit. Beberapa kendaraan melaju cepat. Seolah berkejaran melintasi punggung-punggung bukit perkebunan teh, yang terhampar di antara Sukakarya dan Sukarame.

Sabtu petang itu (22/4/2023) saya menyengaja bertandang ke Sukarame. Tujuannya hanya satu, yaitu ingin menikmati kabut senja khas pegunungan. Walau pada akhirnya tetap gagal menikmati senja berkabut di desa ini.

Patok kilometer di tepi jalan raya, yang menandakan jarak dari Sukanagara ke Sukarame
Patok kilometer di tepi jalan raya, yang menandakan jarak dari Sukanagara ke Sukarame/Djoko Subinarto

Sukarame Dahulu dan Sekarang

Kedatangan pertama saya ke Sukarame sudah terjadi 30 tahun silam, untuk sebuah keperluan. Persis dua bulan setelah pemilihan umum (pemilu) yang terselenggara secara serentak pada 9 Juni 1992. Kabut tebal menyambut kedatangan saya ke desa yang sunyi kala itu. Saya juga sampai harus menginap beberapa pekan di desa tersebut. 

Saya menginap di sebuah rumah panggung sederhana milik seorang warga. Berdinding bilik dan mempunyai tiga jendela. Sayangnya, seperti sebagian rumah penduduk lainnya, rumah tersebut tidak memiliki fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK). Untuk keperluan mandi, mencuci baju maupun buang hajat, saya terpaksa harus lari ke sungai yang terletak di tengah-tengah kebun teh. Atau, nebeng ke rumah tetangga yang memiliki fasilitas MCK. 

Pada tahun segitu, jaringan listrik sama sekali belum tersedia di Sukarame. Untuk penerangan rumah di malam hari, warga mengandalkan lampu petromaks atau semprong. Maka saat malam hari kondisi di luar rumah benar-benar gelap, kecuali bulan sedang terang purnama. Sehabis isya, Sukarame seperti desa mati. Nyaris tak ada kehidupan.

Beberapa minggu tinggal di Sukarame membuat saya seolah benar-benar terputus dari dunia luar. Terisolasi. Meski demikian, saya menikmati kondisi itu. Lebih-lebih udara sejuk yang saya hirup saban hari, membuat badan serta pikiran lebih rileks. Hampir sepanjang hari kabut tebal turun menyapa. Nuansa pegunungan benar-benar terasa. 

Dari penuturan salah seorang aparatur desa, di awal tahun 1990-an mayoritas warga Sukarame bekerja sebagai petani dan buruh perkebunan. Ada juga yang menjadi pekerja migran di luar negeri. Salah satu problem yang menonjol di Sukarame ketika itu adalah angka putus sekolah yang masih tinggi. Sebagian besar anak di Sukarame tidak melanjutkan sekolah setelah tamat SD. Penyebabnya antara lain faktor biaya dan jarak ke sekolah yang cukup jauh.

Tampak depan SD Negeri Sukarame, Kabupaten Cianjur
Tampak depan SD Negeri Sukarame, Kabupaten Cianjur/Djoko Subinarto

Kini, setelah tiga dasawarsa berlalu, saya kembali menginjakkan kaki di Sukarame. Saya berhenti persis di depan SD Negeri Sukarame.

“Apakah anak-anak sekarang masih banyak yang putus sekolah setelah tamat SD? Mudah-mudahan tidak,” batin saya sembari mengamati plang sekolah yang berdekatan dengan kantor desa Sukarame.

Sementara di sepanjang jalan saya melihat tiang dan kabel listrik dan telepon berderet. Itu artinya jaringan listrik dan telekomunikasi telah masuk ke Sukarame. Desa ini tak lagi terpencil seperti saat saya datang untuk pertama kalinya. Dua menara besar milik operator seluler juga terlihat menjulang di sekitar SD Negeri Sukarame dan kantor desa.

Tak Ada Kabut Lagi di Sukarame

Bangunan-bangunan di sekitar sekolah terlihat banyak yang telah berubah. Selain itu, lalu lintas kendaraan relatif lebih ramai. Sepeda motor, yang dulu langka di desa ini, tampak berseliweran. Sebaliknya, ada satu hal yang tidak terlihat lagi di Sukarame: kabut jatuh tatkala senja. 

“Kabut paling ada pagi hari. Itu juga kadang-kadang. Kalau petang, sekarang ini, tidak pernah ada lagi kabut,” kata seorang bapak yang membuka sebuah warung di teras rumahnya. Lokasinya beberapa ratus meter ke selatan dari SD Negeri Sukarame.

Kondisi jalan raya di Sukarame
Kondisi jalan raya di Sukarame/Djoko Subinarto

Mengutip Rutledge dkk (2022), kabut muncul ketika uap air, atau air dalam bentuk gas mengembun. Selama proses pengembunan, molekul uap air bergabung untuk membuat tetesan air kecil yang cair dan menggantung di udara. Disebutkan pula bahwa kabut terjadi saat cuaca sangat lembap dan harus ada banyak uap air di udara agar kabut terbentuk.

Sementara itu, Haby (2014) menjelaskan bahwa kabut cenderung lebih tebal dan bertahan lebih lama di kawasan perdesaan. Alasannya adalah suhu dan kelembapan. Kelembapan cenderung lebih tinggi di daerah perdesaan. Area dengan konsentrasi kelembapan yang lebih besar akan lebih mungkin mengalami kabut. 

Berdasar informasi tersebut, saya kemudian menarik sebuah kesimpulan. Tidak adanya kabut senja di Sukarame sekarang dapat bermakna bahwa konsentrasi kelembapan di desa itu sepertinya telah berkurang secara signifikan. Rentang 30 tahun memang waktu yang lumayan panjang untuk terjadinya banyak perubahan. Termasuk soal perubahan lingkungan, seperti yang terjadi di Sukarame, yang menjadikan kabut senja menyingkir dari desa ini.

Referensi

Rutledge, K., dkk. (2022). Fog. National Geographic Society. https://education.nationalgeographic.org/resource/fog.

Haby, J. (2014). Why is Fog More Common in Rural Areas?. The Weather Prediction. https://www.theweatherprediction.com/habyhints/192.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kenapa Kabut Senja Tak Lagi Jatuh di Sukarame? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kenapa-kabut-senja-tak-lagi-jatuh-di-sukarame/feed/ 0 38614
Astana Anyar Bandung, Sentra Barang Bekas di Kota Kembang https://telusuri.id/astana-anyar-bandung-sentra-barang-bekas-di-kota-kembang/ https://telusuri.id/astana-anyar-bandung-sentra-barang-bekas-di-kota-kembang/#respond Tue, 25 Apr 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38433 Di sela-sela deru mesin kendaraan bermotor, dengan penuh antusias dan semangat, tampak lelaki tua bertopi hitam berbicara kepada pria lain yang sama sepuhnya, Minggu pagi (16/4/2023), di kawasan Jalan Astana Anyar, Kota Bandung. “Lieur mikiran...

The post Astana Anyar Bandung, Sentra Barang Bekas di Kota Kembang appeared first on TelusuRI.

]]>
Di sela-sela deru mesin kendaraan bermotor, dengan penuh antusias dan semangat, tampak lelaki tua bertopi hitam berbicara kepada pria lain yang sama sepuhnya, Minggu pagi (16/4/2023), di kawasan Jalan Astana Anyar, Kota Bandung.

Lieur mikiran Persib mah. Maen terakhir kalah eleh deui. Geus nyaho back lawan jarangkung, hayoh we maen pepelentungan (Pusing mikirin Persib. Main terakhir malah kalah lagi. Sudah tahu back lawan berpostur tinggi, terus saja main dengan bola-bola lambung),” katanya kesal dan geregetan.

Mereka sedang membahas permainan Persib melawan Persikabo (15/4/2023), yang sekaligus menjadi laga pamungkas Persib di Liga 1 musim ini. Persib kalah telak dengan skor 1-4. Sebagian Bobotoh, suporter pendukung tuan rumah yang hadir di stadion pun marah. Suar meledak. Beberapa di antaranya menyerbu lapangan usai peluit akhir berbunyi.

Kedua orang itu termasuk di antara para pedagang kaki lima (PKL) yang mangkal di Jalan Astana Anyar. Sembari menunggu pembeli mendatangi jongkonya, kekalahan Persib jadi bahan obrolan pengisi waktu mereka.

Suasana Jalan Astana Anyar di Kota Bandung
Suasana Jalan Astana Anyar di Kota Bandung/Djoko Subinarto

Rute ke Astana Anyar Melalui Jalan Inggit Garnasih

Jalan Astana Anyar berada tak jauh dari Monumen Bandung Lautan Api dan Taman Tegallega. Di sepanjang jalan tersebut, kita dapat menjumpai para pedagang kaki lima. Sebagian besar menjual barang-barang bekas.

Salah satu akses untuk menuju Astana Anyar adalah melalui Jalan Inggit Garnasih (dulu bernama Ciateul).  Alasan penggantian tersebut adalah karena di jalan ini berdiri rumah yang jadi tempat tinggal Inggit Garnasih dan Bung Karno, yang ditempati sejak tahun 1926 sampai dengan pertengahan 1934.

Dari arah timur, rumah Inggit Garnasih berada di sisi kiri jalan. Dindingnya bercat putih dengan kusen pintu dan jendela berwarna coklat. Kini pemerintah menetapkan bangunan bersejarah itu sebagai bangunan cagar budaya.

Rumah tersebut dianggap memiliki nilai historis tinggi dan andil sangat besar bagi perjuangan Bung Karno membangun republik. Ketika Bung Karno harus mendekam di penjara Banceuy dan Sukamiskin, dari rumah itulah Inggit Garnasih berjuang sendirian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan suaminya. Ia mengerjakan apa pun, seperti menjahit baju, menjual pakaian perempuan, bedak, rokok, sabun, hingga cangkul.

Rumah Inggit Garnasih
Seorang warga melewati depan rumah Inggit Garnasih/Djoko Subinarto

Tatkala saya melewati rumah Inggit Garnasih, beberapa sepeda motor tengah terparkir di depannya. Persis di halaman rumah, berdiri sebuah tiang bendera lengkap dengan sang dwi warna di pucuknya.

Adapun kata ateul sendiri dalam bahasa Sunda bermakna gatal. Jadi, secara harfiah Ciaetul berarti air yang gatal. Adapun Astana Anyar bermakna pemakaman baru. Konon, penamaan Astana Anyar muncul setelah pemerintah Belanda memutuskan membuat kompleks pemakaman baru untuk kaum pribumi di kawasan ini.

Pusat Penjualan Barang Bekas Buruan Kolektor

Saya berjalan beberapa langkah ke arah barat dari rumah Inggit Garnasih. Di ujung jalan yang memasuki kawasan Astana Anyar, terlihat salah satu pedagang barang-barang bekas menggelar dagangannya di bahu jalan. Tanpa tenda.

Di atas terpal, ia menggeletakkan barang-barang jualannya. Ada kompor gas, sepatu, jok motor, knalpot, rantang stainless, blender, headphone, helm, amplifier, boneka anak, hingga traffic cone.

Album kaset lawas
Album kaset lawas, salah satu buruan utama para kolektor/Djoko Subinarto

Bergerak sedikit ke selatan, saya melihat dua pria sedang memelototi kaset-kaset bekas yang tersimpan di dalam beberapa kotak kayu dan plastik. Para kolektor album kaset lawas memang kerap menjadikan kawasan Astana Anyar—selain Cihapit—sebagai area berburu. Jika sedang beruntung, mereka bisa saja mendapatkan koleksi album kaset langka dari penyanyi atau grup band tertentu, baik domestik maupun mancanegara.

Dahulu, sekitar pertengahan tahun 1990-an, hampir setiap akhir pekan saya menyambangi Astana Anyar hanya untuk membeli sejumlah kaset musik jazz. Saat itu ada salah seorang penjual kaset yang mangkal di pojokan Astana Anyar. Ia menjual khusus kaset-kaset jazz dalam kondisi NOS (new old stock).

Kaset-kaset itu diperoleh dari pemilik toko kaset yang terpaksa gulung tikar setelah kalah main judi. Akibatnya, ia terpaksa melelang semua kaset di tokonya. Dari tangan penjual kaset itulah saya memperoleh rekaman album-album jazz dari sejumlah musisi kenamaan. Sebut saja Miles Davis, Art Blakey, Dizzy Gillespie, Jimmy Smith, Woody Herman, Stan Getz, Max Roach, Thelonious Monk, Sonny Rollins, Paul Desmond sampai dengan John Coltrane.  

Jongko pedagang barang bekas Astana Anyar
Beberapa bentuk jongko atau kios milik pedagang barang bekas di Astana Anyar/Djoko Subinarto

Koleksi Barang Bekas untuk Menghindari Sampah

Hingga sekarang, boleh dibilang Astana Anyar masih menjadi rujukan utama para pencari barang-barang bekas. Tidak hanya album musik lawas. Barang bekas apa pun, seperti onderdil sepeda, motor, dan lain-lain dapat dengan mudah kita dapatkan di sini.

Tidak usah khawatir kalaupun barang yang kita cari masih belum tersedia. Titipkan saja nomor kontak kepada sejumlah penjual. Saat barang yang dicari sudah ada, ia akan segera menghubungi balik.

Bagi mereka yang memiliki banyak barang dan sudah tak terpakai, Astana Anyar bisa menjadi opsi terbaik. Daripada barang yang nganggur itu terbuang percuma, menjadi sampah dan mencemari lingkungan.

Akan lebih baik jika kita menawarkan atau menghibahkan ke pedagang di Astana Anyar. Barang-barang bekas masih tetap bernilai dan mampu bermanfaat bagi orang lain.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Astana Anyar Bandung, Sentra Barang Bekas di Kota Kembang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/astana-anyar-bandung-sentra-barang-bekas-di-kota-kembang/feed/ 0 38433