PESONA HUTAN - TelusuRI https://telusuri.id/pesonahutan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 08 Nov 2021 03:35:57 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 PESONA HUTAN - TelusuRI https://telusuri.id/pesonahutan/ 32 32 135956295 Rumah Bekantan di Pulau Bakut https://telusuri.id/rumah-bekantan-di-pulau-bakut/ https://telusuri.id/rumah-bekantan-di-pulau-bakut/#comments Thu, 04 Nov 2021 21:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31253 Kelotok yang kami tumpangi perlahan-lahan mulai membelah sungai. Mesinnya bising, sebising deru gergaji mesin yang menebang pohon-pohon di hutan Kalimantan, cukup untuk membuat penumpang tidak bisa bicara satu sama lain. Lantaran angin yang berhembus cukup...

The post Rumah Bekantan di Pulau Bakut appeared first on TelusuRI.

]]>
Kelotok yang kami tumpangi perlahan-lahan mulai membelah sungai. Mesinnya bising, sebising deru gergaji mesin yang menebang pohon-pohon di hutan Kalimantan, cukup untuk membuat penumpang tidak bisa bicara satu sama lain. Lantaran angin yang berhembus cukup kencang juga, kami berbicara saling berteriak satu sama lain. Kami mengarungi sungai menuju Pulau Bakut.

Kami memutuskan untuk pergi ke Pulau Bakut, sebuah pulau konservasi bekantan yang paling dekat dengan Kota Banjarmasin. Letaknya persis di bawah Jembatan Barito. Sebenarnya pulau ini hanyalah sebuah delta di Sungai Barito, namun pulau ini dijadikan sebagai tempat konservasi bekantan dan Taman Wisata Alam (TWA) yang dikelola BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Kalimantan Selatan.

Nasrun, yang menyewakan dan juga mengemudikan kelotok menyuruh kami menengok ke kiri. Ada beberapa bekantan yang nampak bersantai di pohon-pohon pinggir sungai. Bekantan paling besar nampak termenung menyaksikan kelotok kami melintas, mungkin dia tahu bahwa kehadiran kami bakal mengusik ketenangannya. Gelombang air yang disebabkan lintasan kelotok sampai ke tepian pulau itu. Jarak dari dermaga menuju pulau tidak terlalu jauh, tetapi untuk ukuran sungai, Sungai Barito laksana ular piton raksasa.

“Bekantan hewannya pemalu, mungkin bakal jarang kalian lihat langsung,” ujar Nasrun sebelum kami melompat ke dermaga Pulau Bakut. “Chat saja nanti kalau sudah mau pulang.”

Rumah bagi Bekantan

Begitu kaki menapak di atas dermaga, serombongan mahasiswa menyambut kedatangan kami, sekalian menyebarkan kuesioner, katanya untuk mengamati perilaku masyarakat dengan hewan di sekitarnya. Selepasnya, kami mulai memasuki TWA Pulau Bakut. Menurut papan informasi, luas wilayah pulau ini mencapai 18,70 hektare dan telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan sebagai kawasan pelestarian dengan fungsi taman wisata alam. 

Kami berkeliling pulau ini diatas titian kayu yang dibangun, beserta dua buah menara pandang. Saya mengitari sembari mengamati, apakah bekantan yang tadi kami lihat di pinggir sungai juga ada di dalam sini. Saya amati, hanya kotoran-kotorannya yang berhamburan di atas titian. Tidak ada tanda-tanda kemunculan bekantan. Alhasil saya hanya berhasil memotret kupu-kupu.

“TWA ini didirikan pada 2018, dan mulai difungsikan buat wisata pada 2019,” terang Imam Riyanto yang menjabat sebagai Kepala Resort TWA Pulau Bakut. Pulau ini sedari dulu memang sudah menjadi habitat asli bekantan yang konon berasal dari Pulau Kaget, sebuah delta yang juga terletak di Sungai Barito. Ekosistem yang mendukung dari Pulau Bakut sebagai rumah bekantan adalah pohon rambai, yang digunakan bekantan sebagai rumah, sumber makanan, dan juga tempat bermain. Hasil monitoring populasi bekantan di pulau ini pada bulan Maret 2021 mencapai 116 ekor. 

Beberapa bekantan di pulau ini adalah hasil sitaan ataupun hasil serahan masyarakat. Penjualan. Menurut Imam, jumlahnya pada 2019 lebih dari 10 ekor dan 2020 ada 3 ekor. 

Kebiasaan bekantan pada pagi hari berada di pinggir sungai. Siang menjelang, mereka mulai masuk ke dalam pulau untuk mencari makan. Berdasarkan penelitian Aktivitas Makan dan Jenis Pakan Bekantan di Pulau Baku Kabupaten Barito Kuala oleh Zainuddin dan Rezeki, ada 8 jenis tumbuhan yang sering dijadikan makanan oleh bekantan diantaranya: piai, kokosan monyet, rambai laut, beringin, waru, kirinyuh, bunga telang, putri malu besar, dan buas-buas.

Bekantan di Pulau Bakut
Salah satu karya Imam Riyanto, memotret bekantan an anaknya di Pulau Bakut/Imam Riyanto

Bekantan dan Rantai Makanan

Bekantan tidak sendirian di pulau ini. Secara alami, predator-predator pun mengisi pasok rantai makanan Pulau Bakut, mulai dari elang laut perut putih, elang tikus, elang bondol, dan biawak. Pulau ini menjadi rumah pula bagi sebagian burung seperti burung madu kelapa, pekaka emas, dan lainnya. Kondisi sekitar Pulau Bakut yang aman dari gangguan manusia menciptakan keseimbangan yang bagus. Masyarakat sekitar juga sadar bahwa bekantan adalah hewan yang dilindungi. 

Yang cukup mengganggu, menurut Imam, adalah monyet ekor panjang. Kalau bekantan terlihat pemalu dan cenderung menjauh dari manusia, monyet ekor panjang justru bisa menciptakan konflik baru; entah dengan bekantan sendiri ataupun dengan manusia. “Baru-baru ini bahkan ada 2 ekor, entah datang dari orang yang membuang atau dari Pulau Kembang, kita tidak tahu, nantinya pengen kami tangkap dan pindahkan ke habitatnya,” jelas Imam. 

Bekantan di Pulau Bakut berdasarkan monitoring terpisah dalam 4 kelompok besar dan 1 kelompok kecil. Sumber daya makanan yang melimpah dan daya tampung pulau yang masih luas, nampaknya masih banyak ruang untuk bekantan untuk berkembang biak. Bekantan biasa hidup dalam kelompok yang berjumlah hingga 30 ekor. Ciri khas monyet yang satu ini memang dari hidungnya yang panjang, sebab itu sering dijuluki sebagai “Monyet Belanda”. Keunikannya dan statusnya sebagai hewan endemik ini juga akhirnya menjadikan bekantan maskot fauna Kalimantan Selatan.

Bekantan di Pulau Bakut
Yang membedakan antara bekantan jantan dan betina adalah hidungnya/Imam Riyanto

“Katanya di sekitar sini ada buaya.”

Mendengar penuturan tersebut, saya sedikit bergidik. Buaya adalah pemuncak rantai makanan yang bisa melahap bekantan kapan saja.

“Tapi saya sendiri belum pernah melihatnya.”

Syukurlah, saya rasanya malas bertemu predator tersebut di tempat seperti ini, di tengah-tengah sungai yang dalam dan luas.

Bekantan di sini tidak pernah meminta makanan kepada para pengunjung, selain karena bekantan punya rasa malu yang kuat, para penjaga juga melarang pengunjung untuk memberi makan. Memberi makan dapat menghilangkan insting dasar dari hewan; berburu makanan. 

Delta-delta yang terletak di Sungai Barito sudah menjadi taman wisata alam yang mengakomodasi kebutuhan akan konservasi hewan, terutama bekantan: TWA Pulau Bakut, TWA Pulau Kaget, dan TWA Pulau Kembang. Seandainya populasi bekantan di Pulau Bakut sudah melampaui, pulau lainnya, terutama Pulau Kaget siap menampung bekantan lainnya.

Imam mengingatkan betapa pentingnya pengajaran dan penyuluhan kepada masyarakat yang berinteraksi langsung dengan kehidupan satwa. Jangan sampai mereka menganggap binatang adalah hama yang harus dimusnahkan. 

BKSDA berusaha keras untuk bisa menjembatani konflik yang kerap terjadi. Juga, BKSDA mempekerjakan tenaga lokal sebagai penjaga taman wisata. Tentu hal ini membuat lapangan pekerjaan untuk warga lokal tersedia. 

Memang harusnya keberadaan taman wisata dapat menguntungkan semua pihak, baik dari hewan yang semakin dilindungi atau masyarakat yang juga menikmati keuntungan dari gelaran wisata.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Rumah Bekantan di Pulau Bakut appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rumah-bekantan-di-pulau-bakut/feed/ 1 31253
Memaknai Manfaat Hutan lewat Hari Hutan Indonesia 2021 https://telusuri.id/memaknai-manfaat-hutan-lewat-hari-hutan-indonesia-2021/ https://telusuri.id/memaknai-manfaat-hutan-lewat-hari-hutan-indonesia-2021/#respond Fri, 06 Aug 2021 06:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29750 Pelestarian hutan Indonesia perlu terus digalakan dalam berbagai kesempatan, termasuk di masa pandemi ini. Sebagai pemilik hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia, peringatan Hari Hutan Indonesia menjadi tonggak kesadaran bahwa harga hutan di Indonesia...

The post Memaknai Manfaat Hutan lewat Hari Hutan Indonesia 2021 appeared first on TelusuRI.

]]>
Pelestarian hutan Indonesia perlu terus digalakan dalam berbagai kesempatan, termasuk di masa pandemi ini. Sebagai pemilik hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia, peringatan Hari Hutan Indonesia menjadi tonggak kesadaran bahwa harga hutan di Indonesia tidak bisa dibeli berapapun.

Hari Hutan Indonesia diadakan dan diperingati untuk mengingatkan kita pada keindahan, kekayaan, dan kemegahan hutan Indonesia. Manfaat hutan terus kita rasakan secara langsung semisal air dan udara bersih, kebutuhan sangan, pangan, dan papan, obat-obatan, corak budaya dari berbagai suku bangsa, dan menyerap karbon yang dihasilkan oleh manusia.

Sejak setahun lalu, peringatan Hari Hutan Indonesia (HHI) yang dirayakan setiap tanggal 7 Agustus. Tanggal ini dipilih sebagai momen refleksi disahkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 mengenai Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut. Tahun lalu rangkaian acara bertemakan “Hutan Kita Juara”, tahun ini mengambil tema “Kita Jaga Hutan, Hutan Jaga Kita”.

Menariknya, tahun ini ada 26 organisasi yang bergabung menjadi koalisi perwakilan publik inisiator peringatan HHI, atau yang Konsorsium HHI. Adalah Ayo Ke Taman, Bogor Ngariung, Change.org Indonesia, Coaction Indonesia, Earth Hour Indonesia, Forum Konservasi Leuser, Hutan Itu Indonesia, Indorelawan, Kemitraan, KKI Warsi, Lindungi Hutan, Pantau Gambut, Perkumpulan Bentara Papua, Perkumpulan Kaoem Telapak, Rimba Makmur Utama, Terasmitra, Thirst Project Indonesia/ Watery Nation, WeCare.id, World Cleanup Day Indonesia, World Resources Institute (WRI) Indonesia, Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI), Yayasan HAkA, Yayasan KEHATI, Yayasan Madani Berkelanjutan, Yayasan Rekam Jejak Alam Nusantara, dan Zona Bening.

Sawah dan Hutan Nagari Jorong Simancuang
Sawah dan Hutan Nagari Jorong Simancuang via TEMPO/Tony Hartawan

“Pada dasarnya Hari Hutan Indonesia adalah wadah dan gerakan publik, hari untuk semua orang Indonesia. Siapapun dapat bergabung dan bergerak dalam HHI, termasuk kami ber-26 organisasi yang sepakat untuk berkolaborasi dan bergotong royong membuat kampanye yang lebih besar lagi selain kerja masing-masing di organisasi kami.”

“Harapan besarnya memang semakin banyak masyarakat dan organisasi lainnya dapat berpartisipasi dalam merayakan dengan caranya masing-masing untuk memastikan hutan Indonesia tetap lestari,” tegas Christian Natalie selaku salah satu Steering Committee Konsorsium HHI, perwakilan dari Hutan Itu Indonesia. 

“Sejak hari pertama, isu lingkungan hidup selalu menjadi isu yang ramai di Change.org. Dan hutan selalu menjadi kekhawatiran nomor satu dalam isu tersebut dengan jutaan tanda-tangan. Dua dari tiga petisi terbesar lingkungan, terkait hutan Indonesia. Cukup jelas bahwa masyarakat peduli terhadap hutan Indonesia, dan ingin melihatnya terlindungi. Konteks yang memayungi kekhawatiran ini adalah Krisis Iklim.”

“Dalam sebuah survei yang kami lakukan di 2020, 97% warga muda aktif percaya bahwa dampak krisis iklim bisa sama atau lebih dari dampak pandemi. Hal ini tidak mengejutkan karena anak mudalah yang akan mewarisi masalah-masalah ini di masa depan”, ucap Arief Aziz selaku Country Director Change.org Indonesia. 

Ada lebih dari 60 kolaborator dari berbagai organisasi yang tercatat pada situs harihutan.id. serta lebih dari 660 sukarelawan yang bergabung melalui situs indorelawan.org.

Kemeriahan peringatan Hari Hutan Indonesia ini diisi dengan berbagai kegiatan kampanye seru. Diantaranya yakni penggalangan donasi untuk pelestarian hutan Indonesia, peluncuran pameran virtual berisi ragam aksi menjaga hutan, serta rangkaian acara Festival Hari Hutan Indonesia yang akan berlangsung dari bulan Agustus hingga 31 Oktober mendatang. Akan ada temu wicara “Kita Jaga Hutan, Hutan Jaga Kita”, webinar “The Healing Forest”, webinar RUU Masyarakat Adat, berbagai kompetisi, konser musik hingga peluncuran serial film pendek.

Informasi mengenai keseruan acara Hari Hutan Indonesia bisa didapatkan di kanal media sosial dan situs HHI.

“Kesuksesan peringatan HHI 2021 ini membutuhkan dukungan dan partisipasi dari berbagai pihak untuk bergotong royong mengkampanyekan pelestarian hutan Indonesia. Dari data Madani, luas hutan di tahun 2019 (Hutan Alam dan Hutan Tanaman) sebesar 93,9 juta hektar atau 49,3 % dari total daratan ini terlalu besar untuk hanya dijaga oleh Pemerintah atau segelintir kelompok saja.

Bangsa ini butuh lebih banyak lagi penjaga hutan dengan aksinya masing-masing apapun latar belakang, profesi, daerah tempat tinggalnya, jadi kami membuka ruang kolaborasi semua pihak untuk dapat berinovasi di dalam peringatan ini”, kata Luluk Uliyah perwakilan dari Yayasan Madani Berkelanjutan.

The post Memaknai Manfaat Hutan lewat Hari Hutan Indonesia 2021 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memaknai-manfaat-hutan-lewat-hari-hutan-indonesia-2021/feed/ 0 29750
Menelusuri Ekowisata Mangrove di Indonesia https://telusuri.id/menelusuri-ekowisata-mangrove-di-indonesia/ https://telusuri.id/menelusuri-ekowisata-mangrove-di-indonesia/#respond Sat, 24 Jul 2021 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29030 Banyak tempat wisata yang kini dibangun dengan konsep ekowisata. Ekowisata ini merupakan wisata yang berwawasan lingkungan. Ekowisata juga bisa berarti upaya yang dilakukan untuk memaksimalkan sekaligus melestarikan sumber daya alam dan budaya dari masyarakat setempat....

The post Menelusuri Ekowisata Mangrove di Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
Banyak tempat wisata yang kini dibangun dengan konsep ekowisata. Ekowisata ini merupakan wisata yang berwawasan lingkungan. Ekowisata juga bisa berarti upaya yang dilakukan untuk memaksimalkan sekaligus melestarikan sumber daya alam dan budaya dari masyarakat setempat. Salah satu dari bagian ekowisata tersebut adalah ekowisata mangrove yang berupa objek wisata edukasi yang mengutamakan keindahan alami dari hutan mangrove serta makhluk hidup yang ada di dalamnya. 

Di Indonesia ada banyak sekali ekowisata mangrove yang tersebar di pesisir lautnya. Berikut ini adalah daftar ekowisata mangrove yang paling sering dikunjungi di Indonesia!

Ekowisata Mangrove Wonorejo

Mangrove Wonorejo
Wisatawan di kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo via TEMPO/Fully Syafi

Ekowisata mangrove yang pertama adalah Ekowisata Mangrove Wonorejo yang berada di Jalan Raya Wonorejo, Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Surabaya. Di tempat wisata ini pengunjung bisa menikmati suasana sejuk dari hutan mangrove serta bisa menyewa kapal motor untuk berkeliling di sekitar kawasannya. 

Di antara hutan mangrove, dibuat jembatan yang biasa digunakan untuk berjalan-jalan atau bahkan jogging, lho. Saat air pasang pun pengunjung tidak perlu khawatir karena jembatannya dibangun agak tinggi dari permukaan airnya. Pengunjung juga dapat melihat keindahan di dalam hutannya serta mengamati satwa seperti burung, reptil, dan hewan kecil lainnya. 

Ekowisata Mangrove Cengkrong

mangrove cengkrong
Mangrove Cengkrong/Slamet Riyadi

Tempat selanjutnya berlokasi di Desa Karanggandu, Kecamatan Watulimo, Trenggalek, Jawa Timur. Lokasinya berdekatan dengan Pantai Prigi yang merupakan pantai terkenal di Trenggalek. Uniknya dari Ekowisata Mangrove Cengkrong ini adalah pemandangan belakangnya yang berupa perbukitan yang tampak hijau dan asri. 

Ada banyak satwa yang bisa diamati seperti bangau, burung cerek kenyut (Pluvialis fulva), prenjak rawa (Prinia flaviventris), prenjak padi (Prinia inornata), dan masih banyak lagi. Pengunjung juga bisa melihat satwa lain seperti biawak, ikan, dan ular yang melintas sesekali. 

Ekowisata Mangrove Lembung

Mangrove Lembung
Mangrove Lembung via Flickr/bpdas brantas

Ekowisata satu ini berlokasi di Bangkal, Lembung, Galis, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, namanya adalah Ekowisata Mangrove Lembung. Ekowisata yang memiliki konsep ramah lingkungan, konservasi, sekaligus sarana edukasi bagi masyarakat. Mulai dari cara pembibitan dan penanaman mangrove sampai budidaya berbagai jenis kerang, kepiting, serta lebah. 

Nantinya juga terdapat Taman Baca Mangrove yang dapat digunakan untuk menyimpan berbagai buku terutama yang berhubungan dengan konservasi dan pelestarian lingkungan. Tentunya dengan berwawasan lingkungan dan edukasi ini sangat cocok sebagai tempat liburan bagi keluarga.

Ekowisata Mangrove Superberu Bawean

Mangrove Superberu
Mangrove Superberu via Instagram/ekowisatasuperberu

Berpindah ke Kabupaten Gresik juga terdapat ekowisata yang layak untuk dikunjungi. Tempat tersebut adalah Ekowisata Mangrove Superberu yang juga dibangun untuk melestarikan flora dan fauna di sekitarnya. Di sini lebih banyak terlihat bangau dan biawak karena lingkungannya terdapat banyak sumber makanan yang melimpah. Selain itu juga ada burung-burung kecil lain yang hinggap di ranting pohon mangrovenya. 

Pengelola Ekowisata Mangrove Superberu Bawean juga menyediakan fasilitas tambahan seperti permainan ATV, snorkeling, diving, serta spot untuk memancing. Tak ada salahnya untuk menyempatkan datang ke ekowisata satu ini untuk menambah pengetahuan atau sekedar refreshing menenangkan pikiran. Pengunjung bisa datang ke ekowisata ini pada jam 7 pagi hingga 5 sore. 

Ekowisata Mangrove Tanjung Batu Lombok

Dikenal dengan keindahan alam sekitarnya, Ekowisata Mangrove Tanjung Batu Lombok makin digemari wisatawan. Padahal ekowisata ini baru dibuka pada tanggal 4 Juni 2020 lalu, namun sudah mendapatkan banyak kunjungan dari wisatawan domestik maupun mancanegara. Wisatawan bisa melihat keanekaragaman flora dan fauna yang ada di dalam ekowisata mangrove ini. Bahkan jika beruntung bisa melihat beberapa jenis burung yang sedang bermigrasi.

Ekowisata Mangrove Tanjung Batu Lombok juga menjadi habitat satwa yang bisa dikonsumsi seperti udang, ikan, dan kepiting. Berkat adanya ekowisata ini dapat membantu masyarakat sekitar untuk meningkatkan hasil tangkapan laut dan budidaya mereka. Fasilitas yang disediakan oleh pengelola terbilang cukup lengkap. Mulai dari toilet yang bersih, warung makan, gazebo, hingga persewaan perahu juga ada. Wisatawan bisa datang langsung ke Sekotong Tengah, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. 

Ekowisata Mangrove Pagatan Besar

Mangrove Pagatan Besar
Mangrove Pagatan Besar via Instagram/mangrove_pagatanbesar

Ekowisata ini mulai dikembangkan tahun 2016 dengan penanaman bibit mangrove secara besar-besaran sebagai penahan abrasi laut. Saat kamu datang ke ekowisata sekarang ini sudah menjelma menjadi hutan mangrove yang cukup luas. Tidak hanya sebagai penahan abrasi saja, keberadaan ekowisata ini juga dikembangkan masyarakat sekitar sebagai lahan untuk menangkap berbagai jenis biota laut seperti kerang, kepiting, ikan, biawak, dan udang. 

Jenis mangrove yang lebih banyak ditanam adalah jenis Avicennia alba, Avicennia officialis, dan Avicennia marina yang merupakan jenis perintis untuk membentuk sedimentasi tanah. Diprediksi bahwa kawasan ini akan lebih luas lagi beberapa tahun ke depan dengan semakin banyaknya mangrove yang ditanam. Menurut wisatawan yang sudah pernah datang ke Ekowisata Mangrove Pagatan Besar, pemandangan sunset di tempat ini sangat menawan. Itulah mengapa saat sore hari lebih banyak pengunjung yang datang dibandingkan saat pagi hari.

Ekowisata Hutan Mangrove Pantai Mekar

Di Pantai Mekar, Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat juga terdapat ekowisata mangrove yang bisa dikunjungi. Ekowisata mangrove ini memiliki track untuk jalan kaki yang lumayan panjang. Sebelum tahun 2016, masyarakat sekitar sering menebang pohon mangrove untuk dijadikan sebagai lahan pemukiman atau tambak, namun lambat laun kondisinya sangat memprihatinkan akibat abrasi laut yang berlebihan.

Masyarakat mulai menaruh perhatian lebih untuk menyelesaikan masalah tersebut, apalagi dengan bantuan CSR dari salah satu BUMN mengubah kawasan abrasi ini menjadi ekowisata yang menguntungkan. Setidaknya, masyarakat sekitar kini mulai bisa merasakan manfaatnya. Mulai dari tangkapan laut yang lebih banyak, memproduksi hasil pengolahan mangrove sebagai oleh-oleh, serta membuka warung untuk melayani pengunjung yang datang. Bahkan banyak masyarakat sekitar yang berprofesi sebagai nelayan kecil menyewakan perahu mereka sebagai perahu wisata. 

Ekowisata Mangrove Caplok Barong

mangrove caplok barong
Mangrove Caplok Barong via Instagram/official_mangrovecaplokbarong

Ekowisata Mangrove Caplok Barong merupakan ekowisata yang bisa dibilang sudah naik level dibandingkan dengan ekowisata mangrove di tempat lain. Masyarakat setempat sudah merasakan manfaat besarnya sedangkan dari sisi hutan mangrovenya dapat terjaga dengan baik dan bertambah besar. Ekowisata mangrove ini berada di KH. Moh Yahya, Dusun Manis, Ambulu, Kecamatan Losari, Cirebon yang setiap harinya bisa mendatangkan ratusan hingga ribuan wisatawan. 

Dari pengembangan yang mereka lakukan sebelumnya seperti edukasi penanaman mangrove, menjaga kelestarian satwa, hingga budidaya biota laut sangat digemari oleh wisatawan yang datang. Masyarakat sekarang ini lebih memusatkan ekowisata mangrovenya sebagai sarana wisata yang lebih baik dengan menyediakan perahu karet sampai jetski. Pemiliknya pun juga dari masyarakat setempat sehingga hasilnya secara tidak langsung juga akan mengangkat ekonomi masyarakat sekitarnya. 

Daftar di atas memang hanya sebagian dari seluruh daftar ekowisata mangrove yang ada di Indonesia. Dari berbagai manfaat yang didapatkan dari ekowisata mangrove tersebut tidak hanya dirasakan dalam waktu yang singkat, namun juga bisa mendatangkan potensi yang lebih besar kepada masyarakatnya untuk waktu yang lebih lama. Inilah mengapa kesadaran masyarakat sangat dibutuhkan untuk melestarikan dan menjaga lingkungan. Dampaknya bukan secara lingkungan saja, namun juga berdampak besar pada ekonomi dan taraf hidup masyarakat sekitarnya. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Ekowisata Mangrove di Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-ekowisata-mangrove-di-indonesia/feed/ 0 29030
Melihat Orang Utan Lebih Dekat di Bukit Lawang https://telusuri.id/melihat-orang-utan-lebih-dekat-di-bukit-lawang/ https://telusuri.id/melihat-orang-utan-lebih-dekat-di-bukit-lawang/#comments Tue, 06 Jul 2021 10:46:34 +0000 https://telusuri.id/?p=29028 Sumatra merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia yang didalamnya dihuni oleh berbagai satwa dan flora endemik baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi. Alasan inilah yang membuat kami berempat datang jauh-jauh dari Jakarta untuk melihat...

The post Melihat Orang Utan Lebih Dekat di Bukit Lawang appeared first on TelusuRI.

]]>
Sumatra merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia yang didalamnya dihuni oleh berbagai satwa dan flora endemik baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi. Alasan inilah yang membuat kami berempat datang jauh-jauh dari Jakarta untuk melihat penghuni tersebut secara langsung dari dekat.

Dari semua Taman Nasional atau Kawasan Konservasi yang ada di Sumatra, kami memilih berkunjung ke Bukit Lawang yang lokasinya tidak terlalu jauh dari kota Medan.

Di Bukit Lawang ini pengunjung bisa melihat satwa dilindungi seperti orang utan, owa, atau jenis primata lainnya dengan mudah. Sedangkan menurut informasi yang kami dapatkan, tempat ini juga memiliki lingkungan yang benar-benar masih terjaga. Bahkan, sungai yang mengalir di dekatnya sangat jernih dan bebas sampah.

Untuk tempat menginap, kami memesan salah satu penginapan yang terkenal di dekat situ yaitu Ecolodge Bukit Lawang. 

Jika belum tahu apa itu ecolodge, ecolodge adalah penginapan yang berwawasan lingkungan. Dalam pembangunan dan praktek setiap harinya selalu menerapkan perilaku yang ramah lingkungan. Mulai dari pengolahan sampah secara terpisah, mendaur ulang, serta memanfaatkan sampah organik menjadi pupuk kompos.

Makanan yang mereka buat juga tidak mengandung MSG, pengawet, zat adiktif, minyak kelapa sawit, dan margarin. Jadi untuk bahan makanan benar-benar diambil dari kebun mereka dan dari produksi pertanian warga setempat untuk mengurangi biaya lingkungan dari jarak transportasi yang jauh. 

Begitu juga pada air limbah yang dihasilkan dari kamar mandi, laundry, dan parit yang disaring terlebih dahulu kemudian disalurkan ke kolam penampungan khusus. Nantinya di kolam tersebut akan diisi dengan pasir dan kerikil serta ditanami jenis tanaman yang dapat mendaur ulang limbah tersebut. 

Tak heran jika banyak pengunjung yang datang berasal dari mancanegara. 

Memulai Perjalanan Jakarta – Bukit Lawang

Bukit Lawang
Bukit Lawang/David M

Ketika tanggal sudah disepakati dan tiket pesawat sudah dibeli maka kami berempat berangkat menuju Kota Medan. Kami berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta menuju ke Bandara Kualanamu pada jam 7 pagi, estimasi penerbangan sekitar 2 jam untuk sampai di bandara tujuan. 

Agar lebih mudah sampai di Ecolodge Bukit Lawang, kami janjian dengan pihak sewa mobil untuk mengantarkan dan menjemput sesuai tanggal yang telah kami tentukan. 

Dari Kota Medan ke Bukit Lawang, jaraknya sekitar 3 jam perjalanan jika tidak ada halangan. Pemandangan selama perjalanan hanya didominasi oleh perkebunan sawit, perbukitan, dan sawah hijau yang membentang.

Di dalam hati agak miris juga kalau habitat satwa-satwa ini sudah berganti menjadi area perkebunan sawit. Bayangkan saja jika satwa-satwa ini sampai masuk ke perkebunan, pasti ditembak mati karena dianggap sebagai hama. 

Sesampainya di lokasi, kami langsung check-in lebih awal dan segera membereskan barang bawaan kami. Setidaknya untuk 3 hari 2 malam kami tinggal di Ecolodge Bukit Lawang ini. 

Suasana sekitar yang damai, tenang, serta rindangnya pepohonan membuat hati terasa damai. Bahkan tak perlu waktu lama berberes, saya langsung berkeliling di lokasi ecolodge ini untuk menikmati keindahan lingkungan sekitar. 

Baik pengelola maupun masyarakat setempat sangat asyik dan ramah-ramah. Mungkin karena sudah terbiasa dengan kunjungan wisatawan, jadi mereka pun sangat senang jika banyak orang yang datang. 

Ecolodge Bukit Lawang memiliki pondok-pondok sebagai tempat menginap tamu seperti Siamang Lodge, Hornbill Lodge, Orangutan Lodge, Thomas Leaf Monkey Lodge, dan Butterfly Lodge. Sedangkan yang kami tempati adalah Siamang Lodge dengan biaya sekitar 400 ribuan per malam. 

Sedangkan fasilitas yang tersedia di dalam kamar seperti kipas angin, toiletries, tempat santai, dan shower

Lokasi ecolodge ini memang berada di samping sungai sehingga suara gemericik bisa terdengar hingga ke dalam penginapannya. Rasanya sungguh menenangkan dan membuat pikiran menjadi damai. 

Berbaur dengan Masyarakat Sekitar

Bukit Lawang
Bukit Lawang/Michael Zimmerer

Kegiatan kami pada siang hari menuju sore adalah berkunjung ke desa sekitar menggunakan sepeda. 

Biayanya sekitar 25 Euro bagi turis asing, tapi karena kami memesan beberapa tour di kemudian hari maka bisa mendapatkan harga diskon menjadi Rp100.000,- per orangnya. 

Kami beranjak menyusuri area persawahan kemudian masuk ke gang-gang rumah warga. 

Terlihat ada warga yang berprofesi sebagai pengrajin tempe, ada juga yang membuat gula merah, namun kebanyakan berprofesi sebagai petani. 

Area pertanian sekitar milik warga merupakan permakultur secara organik tanpa menggunakan pestisida atau bahan kimia lain. Ditambah lagi, di beberapa tempat dibangun unit pengolahan sampah organik dan pengolahan biogas dari kotoran ternak untuk keperluan warga.

Jika belum pernah melihat teknologi sederhana seperti ini tentu akan sangat terkagum-kagum seperti kami saat ini. 

Tour sepeda berakhir di sebuah warung kecil yang menyediakan snack dan kelapa muda segar. Sebagai penutupnya, guide memberikan kami souvenir berupa gantungan kunci untuk dibawa pulang. 

Sampai di penginapan, kami mandi dan langsung menuju ke Restoran Kapal Bambu yang memiliki desain modern dengan material utamanya adalah bambu. 

Bambu dipilih sebagai bahan utama karena lebih sustainable karena dapat tumbuh dengan cepat dalam kurun waktu yang singkat. 

Selain itu celah-celah yang ada di sekitar bambu memudahkan angin berhembus hingga ke setiap sudut ruangannya. 

Hawanya sangat sejuk dan dingin walau tidak menggunakan kipas angin atau AC. 

Menu lokal tersaji malam ini untuk mengenyangkan perut kami. Ada sambal goreng, nasi goreng, aneka sayur, dan ikan goreng menemani malam kali yang semakin menyenangkan. 

Tour Bukit Lawang untuk Melihat Primata dari Dekat

Bukit Lawang
Bukit Lawang/Jus Snaps

Pada pagi harinya tepat pukul 8 pagi kami beranjak untuk melanjutkan tour ke dalam hutan Bukit Lawang. Tidak hanya dari rombongan kami saja yang datang, namun juga ada beberapa rombongan lain yang ikut bergabung.

Ternyata dari masing-masing rombongan mendapatkan tour guide dan jalur yang berbeda. Sempat mengira jika tour kali ini beramai-ramai bersama rombongan lain sehingga tidak terlalu seru. 

Sebelum memulai tur, guide menerangkan bahwa kami akan masuk ke area Taman Nasional sehingga tidak diperbolehkan untuk memberi makan atau menyentuh satwa yang ditemui. Ditambah lagi tidak boleh memetik atau mengambil apapun selama tur berlangsung. 

Perjalanan dimulai pukul 9 pagi dengan estimasi sekitar 3 jam perjalanan naik turun bukit. Sesekali kami diminta untuk berhenti untuk diberi informasi seputar fauna dan flora sekitar. 

Begitu menariknya sampai kami pun tidak merasa lelah mengingat sudah berjalan sejauh 2 jam. 

Kami juga baru pertama kali masuk ke dalam hutan lebat dengan pepohonan yang besar dan rindang, sebelumnya hanya di tempat wisata yang punya banyak pepohonan saja. 

Setelah beristirahat dan menyantap snack yang diberikan oleh tour guidenya, kami melanjutkan perjalanan selama 2 jam untuk mengamati lebih dekat habitat asli dari primata di sekitar Bukit Lawang. 

Bukit Lawang
Bukit Lawang/Nick Schwalbe

Nampak dari kejauhan terlihat kera Thomas atau Thomas Monkey Leaf yang bergelantungan menyantap buah-buahan. Sesekali kami juga melihat orang utan yang berada di dahan pohon yang sangat besar. 

Sampai akhirnya kami sampai di sebuah sungai yang tidak terlalu dalam namun sangat bersih. Bermain air sepuasnya seperti kami kembali ke masa kecil.

Andai saja sungai-sungai dengan air yang jernih dan bersih ada di kota besar, tentu warga kota juga bisa merasakan keseruan yang sama setiap hari. 

Setidaknya, kami sudah menghabiskan 6 jam untuk ikut tur kali ini. 

Ketika beristirahat di penginapan, rasa pegal dan capek baru terasa. Walau begitu suasana hati dan pikiran menjadi lebih fresh dengan pengalaman baru seperti ini. 

Kami rasa 3 hari 2 malam di sini masih kurang karena ada banyak tempat yang ingin kami kunjungi. 

Ada banyak aktivitas lain yang sebenarnya juga bisa dilakukan. Mulai dari tube rafting, mengunjungi goa kelelawar, bird-watching, sampai kunjungan lokal ke masyarakatnya juga sangat rekomendasi untuk dicoba. 

Liburan sejenak ini terasa sangat mengesankan dan bisa mengajarkan kami akan pentingnya menjaga lingkungan sekitar.

Menjaga keanekaragaman flora dan fauna di lingkungan sekitar, baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi dan juga mengolah sampah secara bijak. Manfaatnya tentu kembali ke kita lagi. 

Tak terasa di penghujung liburan, kami harus rela melepas saat-saat intim kami di Bukit Lawang. Mungkin tahun depan kami akan kembali lagi ke tempat ini dengan durasi yang lebih lama!

The post Melihat Orang Utan Lebih Dekat di Bukit Lawang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-orang-utan-lebih-dekat-di-bukit-lawang/feed/ 1 29028
Gunung Pancar, Wana Wisata di Pinggiran Ibu Kota https://telusuri.id/wana-wisata-gunung-pancar/ https://telusuri.id/wana-wisata-gunung-pancar/#respond Sun, 27 Jun 2021 11:59:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28836 Seolah tak pernah kehabisan ide, konsep-konsep baru wisata perkotaan selalu bermunculan untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat ibu kota demi mengurangi kepenatan sebagai akibat dari tingginya tingkat aktivitas sehari-hari. Bahkan saya yang merupakan seorang penggemar perjalanan sudah...

The post Gunung Pancar, Wana Wisata di Pinggiran Ibu Kota appeared first on TelusuRI.

]]>
Seolah tak pernah kehabisan ide, konsep-konsep baru wisata perkotaan selalu bermunculan untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat ibu kota demi mengurangi kepenatan sebagai akibat dari tingginya tingkat aktivitas sehari-hari.

Bahkan saya yang merupakan seorang penggemar perjalanan sudah merasa puas dalam  menikmati produk pengembangan wisata Jakarta. Sekian banyak museum dan galeri seni sudah saya kunjungi semenjak era revitalisasi museum-museum. Taman-taman kota nan elok juga sudah saya datangi sebagai tempat melepas lelah di akhir pekan semenjak program perluasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) digalakkan di ibu kota.

Taman-taman tematik seperti Taman Mini Indonesia Indah (TMII) ataupun Taman Impian Jaya Ancol bahkan telah menjadi langganan semenjak saya tinggal di Jakarta. Bahkan karena kehabisan agenda wisata, terkadang saya terlalu iseng berkeliling kota sembari menjajal Mass Rapid Transit (MRT), Light Rail Transit (LRT) atau mengikuti City Tour dengan menaiki double decker bus demi mengisi waktu liburan.

Pohon pinus Wana Wisata Gunung Pancar
Pohon pinus Wana Wisata Gunung Pancar/Donny S

Berbagai tempat kuliner legendaris maupun kuliner musiman juga sudah sering saya kunjungi baik di saat weekend, di masa libur atau bahkan di dalam keseharian mengingat pekerjaan saya yang sangat memungkinkan untuk mampir kemanapun yang saya suka di waktu kerja.

Tetapi tetap saja, terdapat suatu saat dimana saya merasa kehabisan ide untuk mengisi waktu libur karena tidak adanya lagi tempat wisata baru yang bisa saya kunjungi.

Beruntung sekali bagi saya ketika kondisi itu terjadi, saya bisa mengikuti kelas bersama telusuRI dan Hutan Itu Indonesia. Begitu saya mengetahui informasi tersebut dari Instagram maka saya kemudian mendaftar untuk mengikuti kelasnya. 

Mengikuti kelas TelusuRI dan Hutan Itu indonesia selama empat sesi  telah mengenalkan kepada saya satu lagi jenis wisata yang bisa memperpanjang daftar destinasi wisata yang bisa saya kunjungi di masa-masa mendatang. Wisata tersebut adalah wana wisata yang sangat menarik perhatian saya. Konsep wana wisata telah mengenalkan saya terhadap hutan-hutan kota Jakarta secara lebih dekat.

Bahkan rasa ingin tahu yang tinggi telah memperkenalkan saya kepada hutan kota yang lokasinya hanya berjarak tiga kilometer dari rumah. Bahkan hutan kota tersebut belum pernah sekalipun saya kunjungi. Padahal mengunjungi hutan kota adalah kegiatan yang sangat menarik. Ketenangan dan hawa sejuk yang diberikan oleh hutan menjadi sebuah terapi untuk menghilangkan stres. 

Ketika saya sudah larut dalam ketertarikan mengunjungi hutan kota, maka timbullah keinginan untuk mengunjungi hutan yang memiliki area yang lebih luas. Hutan-hutan seperti itu tentu hanya ada di luar kota Jakarta.

Wana Wisata Hutan Gunung Pancar

Beberapa hari lalu, keinginan saya untuk mengunjungi hutan di pinggiran ibu kota itu pun kesampaian. Menggunakan kendaraan pribadi aku menuju ke arah selatan. Menelusuri Jalan Tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi), saya menuju ke daerah Sentul yang berjarak 45 km dari rumah. Hanya membutuhkan waktu satu jam saja hingga akhirnya saya tiba di Wana Wisata Gunung Pancar.

Wana Wisata Gunung Pancar merupakan kompleks wisata kehutanan yang memiliki luas sekitar 447,5 hektar dengan vegetasi utama pohon pinus. Konsep Wana Wisata Gunung Pancar dimudahkan dengan keberadaan akses kendaraan yang membelah hutan dan bisa mengantarkan pengunjung dari satu spot wisata satu ke spot wisata lainnya.

Begitu tiba di pintu gerbang, saya diberhentikan oleh seorang petugas dan diberikan penjelasan mengenai Wana Wisata Gunung Pancar. Setelah memahami penjelasan petugas, saya akhirnya membeli tiket masuk perorangan seharga Rp7.500 dan tiket kendaraan roda empat senilai Rp. 15.000 untuk bisa menikmati kawasan wana wisata.

Sebelum memasuki area wana wisata lebih dalam, saya berhenti sejenak untuk mempelajari alur Wana Wisata Gunung Pancar pada sebuah papan denah yang dipasang di dekat pintu gerbang. Memperhatikan denah dengan seksama, Wana Wisata Gunung Pancar memiliki empat jenis wisata utama, yaitu camping ground, area publik, wisata curug dan pemandian air panas. Tetapi secara keseluruhan, area Wana Wisata Gunung Pancar didominasi oleh camping ground.

Camping Ground

Camping Ground Lembah Pakis
Camping Ground Lembah Pakis/Donny S

Oleh karenanya, tempat pertama yang saya sambangi pertama kali adalah Camping Ground Lembah Pakis. Area ini menjadi camping ground yang terdekat dari pintu gerbang. Sangat unik, di tengah lebatnya hutan pinus, pengelola wana wisata membuat sebuah jalur tanah yang bisa dilalui oleh kendaraan pribadi untuk langsung menuju ke camping ground

Setiba di Camping Ground Lembah Pakis, saya langsung disambut oleh petugas yang dengan sabar menjelaskan tentang prosedur berkemah. Petugas tersebut juga menjelaskan bahwa untuk berkemah selama dua hari satu malam maka para pengunjung membayar sebesar Rp100.000 sebagai sewa tempat. Untuk kebutuhan memasak dan tenda harus disiapkan secara mandiri oleh pengujung.

Selain Camping Ground Lembah Pakis, Wana Wisata Gunung Pancar juga menawarkan camping ground lainnya, yaitu Bukit Batu Hijau, Bukit Batu Gede, Bukit Batu Pandan, Bukit Batu Gajah dan Lembah Hijau.

Area Publik

Area publik
Area publik Wana Wisata Gunung Pancar/Donny S

Setelah puas menjelajah Camping Ground Lembah Pakis, saya bergegas menuju ke area publik. Hanya berjarak 200 meter dari Camping Ground Lembah Pakis, area publik ini memiliki suasana yang lebih ramai. Beberapa cafe sederhana tampak berdiri di area ini dengan desain yang sangat menarik.

Sementara beberapa pemandu wisata yang mayoritas adalah anak muda menawarkan jasa foto dengan spot-spot buatan yang cukup unik. Untuk mendapatkan foto dengan sepuluh spot berbeda hanya diperlukan biaya Rp35.000 per orang.

Pemandian Air Panas.

Selain sebagai tempat wisata pelepas penat, Wana Wisata Gunung Pancar juga menyediakan wisata kesehatan dengan menghadirkan kolam pemandian air panas. Tak sedikit pengunjung yang datang jauh dari luar kota demi melakukan terapi air panas. Banyak testimoni dari para pengunjung bahwa berendam di air panas bisa mengobati diabetes, menyehatkan jantung, menyembuhkan penyakit kulit dan sangat efektif menghilangkan lelah.

Wisata Curug

Wisata lain yang berada di Wana Wisata Gunung Pancar adalah keindahan beberapa curug (air terjun). Berendam di bawah air terjun sembari menikmati nyanyian alam telah menjadi wisata pilihan keluarga karena berendam di bawah air yang sejuk dan jernih menjadi  sesuatu yang sangat langka ditemukan di ibu kota. Salah satu curug yang bisa dinikmati di Wana Wisata Gunung Pancar adalah Curug Putri. 

Labih dari empat jam saya berpuas diri dalam menikmati keindahan Wana Wisata Gunung Pancar sebelum memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, saya memilih jalur berbeda dengan jalur saat berangkat. Sepanjang perjalanan pulang, saya disuguhi pemandangan perkampungan yang diselingi oleh persawahan nan hijau dan dipadu dengan gemericik air sungai yang sangat jernih. 

Keberadaan Wana Wisata Gunung Pancar selain memfasilitasi wisata alternatif bagi warga ibu kota juga mempunyai peran penting dalam pemberdayaan ekonomi warga  sekitar. 

Tentu hal ini harus menjadi perhatian para stakeholder lingkungan, baik pemerintah kota, bisnis jasa pariwisata, organisasi penggiat lingkungan dan berbagai perusahaan yang berdiri di sekitar Wana Wisata Gunung Pancar. 

Sangat diharapkan para stakeholder ini saling bekerjasama dan bersinergi untuk melestarikan dan mengembangkan Wana Wisata Gunung Pancar supaya mampu mendongkrak perekonomian warga sekitar.

The post Gunung Pancar, Wana Wisata di Pinggiran Ibu Kota appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wana-wisata-gunung-pancar/feed/ 0 28836
Pariwisata Penyelamat Hutan? https://telusuri.id/pariwisata-penyelamat-hutan/ https://telusuri.id/pariwisata-penyelamat-hutan/#respond Fri, 18 Jun 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28548 Prolog  Ini kisah tentang pembukaan hutan menjadi tempat wisata. Lokasi hutan yang saya maksud, ada di pegunungan kapur atau karst sekitar Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.  Sekarang, di Gunung Kapur itu ada beberapa titik...

The post Pariwisata Penyelamat Hutan? appeared first on TelusuRI.

]]>
Prolog 

Ini kisah tentang pembukaan hutan menjadi tempat wisata. Lokasi hutan yang saya maksud, ada di pegunungan kapur atau karst sekitar Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. 

Sekarang, di Gunung Kapur itu ada beberapa titik tuju yang biasa didatangi penggemar wisata alam. Dari tenggara bernama Puncak Galau, Puncak Lalana, hingga Puncak Batu roti. 

Saya berkunjung ke salah satu puncak tersebut, setelah sebelumnya tertarik pula merasakan pengalaman seorang kawan. Dia pernah mengunjungi area perbukitan kapur itu sebelum destinasi tadi jadi pariwisata andalan. 

Bukit Panenjoan 

Namanya Rifki Maulana. Pertengahan tahun 2014, lewat blognya Rifki bercerita tentang hidden treasure, harta karun tersembunyi berupa titik pijak menikmati matahari tenggelam. 

Lokasinya sekitar 20 menit perjalanan dari kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Darmaga, tempat Rifki berkuliah ekonomi. Bersama kawan-kawannya, mereka mendaki bukit Karang Panenjoan yang masih ada di dalam wilayah Ciampea. 

Saat bertamasya, ia mendeskripsikan bahwa penduduk setempat ramah. Mereka bahkan menunjukkan arah untuk menikmati pemandangan tadi. Setelah satu jam mendaki, rombongan Rifki pun tiba di tujuan dan berimpresi. 

Walau tidak sehebat pemandangan dari gunung gunung yang lebih tinggi, tapi pemandangan disini bisa dibilang ‘berkah’ dibalik lokasinya yang sebenarnya dekat dengan kota yang ruwet dengan kemacetannya.

Setelah momen itu, Rifki lagi-lagi berkunjung ke tempat yang sama. Yang berbeda, setelahnya ada penarikan tiket. 

Lambat laun, kedatangan wisatawan menyadarkan warga setempat bahwa ada potensi ekonomi. Sumbernya dari pesona pegunungan kapur tadi. 

Potensi Karst Ciampea 

Perbukitan batuan kapur Ciampea mencakup Desa Cibadak, Desa Ciampea, dan Desa Bojong Rangkas. Area ini, memiliki ciri khas keragaman ekosistem yang tinggi, sehingga punya cikal bakal pemanfaatan hayati yang juga besar. 

Sayangnya, ada ancaman eksploitasi batuan kapur yang bisa merusak bentang alam ini. Solusinya, sumber pendapatan warga setempat perlu dialihkan ke aktivitas ekonomi yang lebih berkelanjutan, misalnya pariwisata. 

Jurnal Media Konservasi terbitan 2 Agustus 2020 melaporkan, kawasan karst Cibadak di Ciampea Bogor punya potensi pemanfaatan di sektor pariwisata. 

Hal itu saya buktikan sendiri. Bulan Agustus 2020, saya ke Ciampea untuk datang ke tempat yang pernah diceritakan Rifki tadi. 

Rupanya, karst Ciampea punya banyak puncak. Dan Karang Panenjoan nampaknya belum ditandai di peramban digital. Saya pun mengarahkan tuju ke salah satunya: Puncak Lalana. 

Salah Puncak 

Puncak-puncak wisata Ciampea memang tersedia di GPS, tapi untuk sampai di sana ternyata tak semudah itu. Aplikasi peta digital menggiring saya ke kelokan yang berujung jalan buntu Karst Cibadak, masih di Kecamatan Ciampea. 

Namun, justru pengalaman tersesat itu mempertemukan saya dengan beberapa ekor monyet. Mereka tampak jinak dan terbiasa berbaur dengan penduduk di batas hutan dan permukiman. 

Seperti tertulis di jurnal di atas, monyet jenis Macaca fascicularis bukan satu-satunya fauna penghuni hutan. Walet dan ulat viper juga ada. 

Sementara, flora yang mendampingi mereka juga tak kalah beragam. Pohon rengas, klampis, karet, hingga paku-pakuan juga turut tumbuh. 

Bahkan, organisasi pecinta alam Lawalata IPB pernah melaporkan temuan hewan berbuku (arthropoda) di Goa Sigodawang. Keberadaan spesies hewan ini pun jadi penanda tertentu atau bioindikator kondisi alam di sana. 

Keanekaragaman itu bisa jadi daya tarik pariwisata, selain juga bentang alamnya. Seperti yang kemudian saya alami di Puncak Lalana. 

Puncak Lalana 

Semuanya sudah tertata. Setelah melintasi gerbang, ada penanda lokasi parkir, pendaftaran pendaki, hingga penjualan souvenir. 

Seorang warga yang saya ajak ngobrol, bercerita bahwa area wisata ini sudah ada sejak sekitar 2018. Awalnya, Puncak Galau yang dibuka pertama. Di sana ada helipad milik TNI AD yang jadi daya tarik tersendiri. 

Di Puncak Lalana, dari tempat kedatangan terlihat selembar bendera merah putih raksasa yang menandai perayaan hari kemerdekaan Indonesia. Bulan Agustus itu hujan turun di beberapa malam. Untungnya, sore keesokannya ketika saya datang, lintasan mendaki tetap nyaman dijajal. 

Ada jalur yang menanjak hingga lutut saya menempel ke dada, ada pula jalur vertikal yang bikin pengunjung menempel di tembok batu. Tenang, ada tali pengaman. 

Setelah sekitar setengah jam, tibalah saya di salah satu puncak Gunung Kapur itu. Beberapa orang terlihat sedang berfoto, berlatar hamparan lanskap jalan dan perumahan. 

Di sisi berlawanan, sebuah tebing menjulang. Dia jadi tembok penyekat natural yang membatasi area perkemahan. Di balik batu kapur besar itu, kita memang bisa bermalam dengan atau tanpa tenda yang bisa disewa dari pengelola area ini. 

Warga Jadi Pengelola 

Pengelolaan lokasi wisata oleh warga setempat, jadi kondisi paling ideal. Menurut Rifki—yang kini sudah bekerja sebagai ekonom—pariwisata memang jadi sektor yang memiliki rambatan ekonomi paling luas. 

“Kayak misalnya pariwisata jalan di suatu daerah itu kan pasti bisa menumbuhkan iklim usaha di sana. Tukang makanan, tukang travel, tukang parkir, dan lain-lain,” papar Rifki.

Berdasarkan amatannya, dampak itu bahkan mulai tampak tak lama setelah kunjungan awalnya ke Karang Panenjoan. “Gue udah 8 apa 7 kali ke sana. Nah, beberapa bulan setelah gue dari sana, itu udah mulai banyak tuh (aktivitas ekonomi),” Rifki menambahkan. “Terus beberapa saat lagi ke sana, di kunjungan gue ke-4 apa ke-5 gitu, itu udah ada ticketing. Terus udah banyak warung-warung.”

Berdasarkan indikasi di atas, Rifki mendukung promosi wisata hidden gem di berbagai daerah, khususnya di Bogor. Meski demikian, ia juga memperingatkan bahwa berkah pariwisata bisa jadi buah simalakama. 

“Jangan sampe, ada ticketing yang nggak wajar. Soalnya ada beberapa tempat yang gue tahu, ticketing-nya jadi berlapis gitu. Kok jadi mahal banget gitu ke sana, padahal (pengalaman) yang diberikan segitu aja. Jadi orang males gitu ke sana,” pungkas Rifki.

Epilog 

Pada akhirnya, pemanfaatan alam sebagai aset bersama, perlu dibarengi kesadaran memaksimalkannya untuk kemaslahatan bersama pula. Tentu saja, legalitas pengelolaan kawasan juga jadi hal yang tak kalah penting. 

Pasalnya, pengelola yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Desa Cibadak juga perlu berkolaborasi dengan Perum Perhutani hingga TNI AD. Di tengah upaya itu, ada satu hal yang selalu jadi prioritas utama: pelestarian alam dari kerusakan lingkungan.


1  indomietelorkeju.blogspot.com
2 radarbogor.id
3 journal.ipb.ac.id
4 lawalataipb.or.id

The post Pariwisata Penyelamat Hutan? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pariwisata-penyelamat-hutan/feed/ 0 28548
Ragam “Hasil Hutan Bukan Kayu” dari Kapuas Hulu https://telusuri.id/ragam-hasil-hutan-bukan-kayu-dari-kapuas-hulu/ https://telusuri.id/ragam-hasil-hutan-bukan-kayu-dari-kapuas-hulu/#respond Fri, 11 Jun 2021 08:30:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28450 Negara-negara di Asia terkenal dengan hasil hutan yang beragam. Dari kayu dengan kualitas terbaik, sumber daya mineral yang melimpah, dan rempahnya dari yang berbau harum semerbak sampai pedas menggigit. Hasil hutan berupa rempah seperti pala,...

The post Ragam “Hasil Hutan Bukan Kayu” dari Kapuas Hulu appeared first on TelusuRI.

]]>
Negara-negara di Asia terkenal dengan hasil hutan yang beragam. Dari kayu dengan kualitas terbaik, sumber daya mineral yang melimpah, dan rempahnya dari yang berbau harum semerbak sampai pedas menggigit. Hasil hutan berupa rempah seperti pala, cengkeh, kayu manis, dan lainnya merupakan komoditas yang jaman dahulu nilainya sangat tinggi.

Pencarian sumber rempah itu akhirnya mendorong orang-orang Eropa berlomba melakukan perjalanan dengan dalih eksplorasi, yang akhirnya memicu kolonialisasi di berbagai negara Asia, termasuk Indonesia.

Hasil hutan nusantara selain menjadi rebutan koloni Eropa, juga menjadi pendorong keberagaman masakan Indonesia. Beda daerah, beda pula selera lidah—masakan Jawa Tengah terkenal dengan rasa manisnya, masakan Sumatra Barat terkenal dengan santan yang banyak, Maluku yang melimpah rempah justru menggunakan rempah yang minimal pada masakan.

Beberapa waktu lalu, di salah satu lokakarya Hore Hutan x Sekolah TelusuRI, saya mengetahui bahwa Hutan Itu Indonesia memiliki program yang mendukung produksi hasil hutan bukan kayu (HHBK). Setelah ditelusuri, ternyata beberapa contoh hasil hutan bukan kayu tidak asing di telinga saya. Adalahmadu, sagu, bunga telang, dan kopi. Namun terminologi HHBK ini cenderung baru saya dengar, walaupun produk-produknya sendiri sudah sering saya konsumsi.

Saya berbincang dengan Diyah Deviyanti, seorang Project Coordinator di Hutan Itu Indonesia yang juga seorang pecinta kuliner Indonesia. Semenjak pandemi ini, ia cukup senang bisa bekerja dari kampung halamannya, Kabupaten Kapuas Hulu. Salah satu alasannya adalah karena bisa menikmati makanan endemik Kapuas Hulu setiap harinya. 

Kapuas Hulu masih memiliki banyak hutan, maka tidak heran makanan sehari-hari Diyah berbahan utama HHBK. Saya pun sangat tertarik dengan HHBK di Kapuas Hulu. Berbeda dengan produk-produk HHBK yang saya sebutkan sebelumnya, kali ini Diyah berbicara tentang HHBK yang jarang diketahui orang dan jarang diproses secara industrial. Tentunya HHBK yang akan dibicarakan di sini adalah hasil hutan yang tidak dilindungi dan tidak langka.

Ternyata banyak sekali HHBK di Kapuas Hulu yang menarik dan unik. Berikut ini beberapa yang diceritakan Diyah kepada saya.

Tumbuhan Paku

Tumbuhan paku atau yang sering disebut pakis, banyak tumbuh di daerah hutan maupun rawa karena termasuk tumbuhan liar. Entah mungkin saya yang mainnya kurang jauh, tapi saya belum pernah menemukan makanan yang berbahan dasar tumbuhan paku. 

Saking banyaknya, ragam jenis tumbuhan paku juga bermacam – macam. Ada pakis ikan, pakis midin, dan pakis benua.

Karena masyarakat Kapuas Hulu masih banyak yang memanfaatkannya sebagai bahan pangan, tumbuhan paku ini juga dapat ditemukan dijual di pasar tradisional. Kata Diyah, hal ini dikarenakan sudah jarang masyarakat Kapuas Hulu yang masih ke hutan untuk mencari hasil bumi seperti pakis ini.

Saya pun penasaran, makanan seperti apakah yang biasa dibuat dari tumbuhan paku ini. Ternyata tumbuhan paku ini bisa dengan sederhana diolah seperti ditumis, dan rasanya diakui Diyah juga tidak kalah dengan tumisan lain.

Kulat

Mungkin kalian lebih familiar dengan sebutan jamur. Ya, kulat atau jamur juga menjadi HHBK yang sering dimanfaatkan menjadi masakan. Salah satunya adalah kulat taun.Seperti namanya, kulat taun ini tumbuh sepanjang tahun dan biasa hidup di pohon-pohon yang tumbang dan sudah lapuk di hutan. Walaupun sekilas perawakannya mirip dengan jamur tiram, kulat taun memiliki rasa dan tekstur yang berbeda. 

Tekstur kulat taun lebih kenyal dan memiliki rasanya memiliki sedikit aroma khas batang pohon lapuk. Namun rasanya akan hilang setelah dimasak dan dicampur rempah dan bahan masakan lain.

Buah dan Tumbuhan Lainnya

Hasil hutan rasanya tidak lengkap apabila tidak disertai dengan menyebutkan buah-buahan maupun tumbuhan lainnya. Buah yang pertama adalah buah ngkala. Ngkala berbentuk bulat dengan sisi atas dan bawahnya berbeda ketebalan, berwarna merah muda saat masak. Cara memakannya juga sangat unik. Buah yang matang harus dipanaskan terlebih dahulu dalam air panas. Bisa dikasih garam sebagai tambahan bumbu.

“Rasanya manis, asin, dan creamy seperti durian” ucap Diyah. 

Berbicara durian, durian hutan Kalimantan sudah tersohor banyak jenisnya. “Durian hutan bentuknya lebih kecil, lebih terasa manis dan lebih kuning dagingnya daripada durian biasanya” tambahnya.

Umbut rotan dan umbut kangkang juga merupakan hasil hutan yang populer di masyarakat lokal. Umbut, atau yang biasa kita sebut pucuk, kerap disajikan dalam masakan khas masyarakat Kapuas Hulu.

Buah asam petikala tumbuh di dataran tinggi Kalimantan. Daging buahnya terasa asam dan berwarna hitam. “Biasa dicampur dengan cabe, garam, dan terasi, lebih nikmati dimakan langsung meski bisa menjadi sambal ataupun sebagai pengasam makanan.”

Jenis sawi unik juga ada yang tumbuh di ladang-ladang Kapuas Hulu. Sawi Dayak berbentuk lebih kecil dan berbau menyengat layaknya wasabi. Ada berbagai cara pengolahannya seperti ditumis, diasinkan seperti kimchi, atau ditaburi garam dan dicampur asam kandis.

Hutan Terjaga, Air Sungai Mengalir, Ikan Air Tawar Melimpah

Hutan menjadi salah unsur penting untuk menjaga kualitas air sungai yang baik. Nah, selain HHBK, hutan yang terjaga membuat ikan air tawar melimpah. Sebagai sumber protein hewani yang murah dan mudah didapat, ikan mendapatkan banyak penggemar di Kalimantan, termasuk Kapuas Hulu. Keragaman ekosistem air tawar yang ada di sana berbanding lurus dengan spesies ikan yang juga melimpah.

Semisal gabus. Ada dua varietas gabus yang biasa dijadikan santapan masyarakat disana, runtuk dan toman. Kedua ikan yang masuk kedalam genus channa ini diketahui mengandung protein albumin yang tinggi. 

Meski ketersediaan ikan gabus melimpah, masyarakat lebih memfavoritkan ikan lais, patik, dan biawan. Diyah berujar daging ikan-ikan tersebut terasa lebih lezat dan empuk daripada daging gabus. Selain jenis ikan, masyarakat Kapuas Hulu juga mengkonsumsi kuyung batu, sejenis keong tutut yang biasa hidup di bebatuan sungai.

Diyah, selain tertarik dengan pelestarian, juga menggemari menyantap kuliner lokal sebagai salah satu hobinya. Untuk memperoleh masakan lokal dengan citarasa terbaik, sulit didapatkan di meja-meja restoran. “Interaksi dengan masyarakat lokal lah yang akhirnya bisa membawa kita mencicipi masakan lokal” paparnya. HHBK jarang menjadi komoditi ekspor karena sifatnya yang terbatas.

Kondisi alam yang terus berubah semenjak eksploitasi berlebihan memainkan peran yang signifikan dalam pelestarian hewan maupun tumbuhan endemik. Satu persatu hewan dan tumbuhan memperoleh status diambang kepunahan ataupun punah sama sekali. 

Satu persatu pula makanan lokal yang awalnya mudah ditemukan menjadi tidak terlihat akibat bahan baku yang sulit didapat. Sekali lagi, tanpa hutan, bisakah kita melestarikan makanan lokal kita? 


Artikel ini merupakan kolaborasi TelusuRI dengan Hutan Itu Indonesia.

The post Ragam “Hasil Hutan Bukan Kayu” dari Kapuas Hulu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ragam-hasil-hutan-bukan-kayu-dari-kapuas-hulu/feed/ 0 28450
Merengkuh Keelokan Nan Mistis De Djawatan https://telusuri.id/merengkuh-keelokan-nan-mistis-de-djawatan/ https://telusuri.id/merengkuh-keelokan-nan-mistis-de-djawatan/#respond Fri, 07 May 2021 02:15:26 +0000 https://telusuri.id/?p=27851 Kawasan ujung timur Pulau Jawa selalu dikenal dengan kesan magis nan mistis. Keberadaan hutan belantara dan kehadiran salah satu taman nasional, menjadikan wilayah ini semakin dekat dengan unsur gaib. Belum lagi baru-baru ini, komunitas berisikan...

The post Merengkuh Keelokan Nan Mistis De Djawatan appeared first on TelusuRI.

]]>
Kawasan ujung timur Pulau Jawa selalu dikenal dengan kesan magis nan mistis. Keberadaan hutan belantara dan kehadiran salah satu taman nasional, menjadikan wilayah ini semakin dekat dengan unsur gaib. Belum lagi baru-baru ini, komunitas berisikan para dukun, yang menyebut dirinya sebagai Perdunu (Persatuan Dukun Nusantara) akan mengadakan Festival Santet. 

Ya, Banyuwangi yang dikenal sebagai Sunrise of Java, tidak hanya menyimpan keindahan alam khas pesisir pantai. Namun berbagai kekuatan spiritual dalam aktivitas keseharian masyarakatnya begitu erat kaitannya dengan Banyuwangi. Sehingga timbul keengganan dan kekhawatiran saya untuk mengunjungi sebuah hutan disana. Pikiran buruk terkait hutan, mulai dari angker dan banyak arwah bergentayangan terus menghantui. Hanya keyakinan dan tekad bulat yang pada akhirnya menjadi modal saya untuk memberanikan diri.

Bukan Taman Nasional Baluran atau Alas Purwo yang diduga sebagai latar belakang cerita KKN Desa Penari sebagai tujuan. Tetapi De Djawatan, lebih lengkapnya ialah De Djawatan Benculuk. Dari namanya saja, yang ada di benak saya adalah hutan dengan sentuhan modernitas khas Eropa. Sehingga kecurigaan mulai pupus digantikan oleh rasa penasaran.

Benar saja, ucapan rasa takjub tidak terasa terlontar begitu saja keluar dari mulut. Indah, segar, dan sejuk, tiga kata yang saya patut sandingkan untuk De Djawatan. Hutan ini membuat ingatan saya melalang buana kepada cuplikan Film Lord of The Rings, yaitu seperti Hutan Fangorn. Hutan ini dipenuhi rangkaian pepohonan trembesi yang tersusun rapi.

De Djawatan Benculuk

De Djawatan/Melynda Dwi

De Djawatan Benculuk terletak di Desa Benculuk, sesuai namanya, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi. Ditempuh dengan jarak sekitar 38 km dari Pantai Pulau Merah, salah satu pantai terkenal di Banyuwangi. Serta hanya merogoh uang sebesar Rp5 ribu, saya begitu dimanjakan dengan suasana ijo royo-royo .

Fasilitas yang ditawarkan pun cukup lengkap, mulai dari toilet, musholla hingga kantin. Alhasil ketakutan akan stigma negatif hutan Banyuwangi lenyap sudah. Karena Hutan De Djawatan telah dipermak sedemikian rupa sehingga patut dijadikan salah satu tempat wisata favorit.

De Djawatan Benculuk dinaungi langsung oleh Perhutani KPH Banyuwangi. Walaupun hutan lindung ini nampak tidak terlalu luas, hanya berkisar 3,8 hektar. Namun pesona sekitar 800-an pohon trembesi yang nampak kokoh nan gagah peninggalan zaman Belanda ini sangatlah memanjakan mata.

Bahkan wisatawan akan dibuai dengan beragam alternatif wahana, seperti delman dan mobil ATV. Dibangunnya jembatan dan rumah pohon juga menambah nilai estetika bagi pengunjung yang mengejar spot foto instagramable. Rerumputan yang tersaji di hamparan tanah juga terlihat rapi dan bersih. Sehingga banyak orang yang memanfaatkannya sebagai alas untuk menggelar tikar.

Pohon Trembesi/Melynda Dwi

Sebenarnya atmosfer mistis masih begitu kental di sini akibat tumbuhnya benalu jenis pakis-pakisan yang mengelilingi batang pohon trembesi hingga menjulur ke bawah. Suara kepakan sayap kelelawar semakin menambah suasana horor. Aroma tanah lembab, dedaunan berguguran, dan sarang kelelawar menjadi keunikan tersendiri. Apalagi jika pengunjung tiba saat matahari mulai kembali ke peraduan. Dijamin bulu kuduk mulai berdiri, tapi tenang, hutan ini selalu ramai kunjungan. Sayangnya, hutan ini hanya dibuka sampai pukul 17:00 WIB. Bagi penggemar jenis wisata yang memacu adrenalin, harus menelan kekecewaan karena tidak bisa merasakan suasana malam.

Dibalik keangkeran De Djawatan Benculuk, pohon trembesi menyimpan berbagai manfaat luar biasa. Sebagai tumbuhan yang memiliki masa pertumbuhan relatif cepat, 75 cm – 150 cm per tahun. Trembesi mampu menyerap karbondioksida (CO2) lebih tinggi dari jenis tumbuhan lainnya, yaitu sebesar 28,5 ton CO2/pohon/tahun. Tidak mengherankan apabila udara di De Djawatan sangatlah segar. Padahal di sekitar hutan ini terdapat riuh aktivitas perdagangan di Pasar Benculuk. Pohon Trembesi juga dikenal sebagai tumbuhan yang kuat karena mampu bertahan hidup pada berbagai musim dengan perubahan suhu ekstrim. Tumbuhan dengan nama latin Samanea Saman ini mampu tumbuh mencapai ketinggian 20 meter. Di Sunda, tumbuhan ini dikenal dengan nama Ki Hujan, karena mampu meneteskan air hujan dari tajuk pohonnya.

Jembatan Membelah Pohon Trembesi/Melynda Dwi

Konon katanya, De Djawatan Benculuk didirikan mulai tahun 1950-an, yang dulunya diperuntukkan sebagai tempat untuk menimbun kayu. Juga terdapat sisa rel kereta api di sekitar hutan ini, yang menandakan bahwa Benculuk pernah berjaya karena menjadi salah satu wilayah pusat ekonomi di Banyuwangi. Namun ketenaran De Djawatan sebagai lokasi penghasil kayu berkualitas telah meredup akibat penebangan kayu secara besar-besaran. Hingga pada akhirnya areal Djawatan tidak terurus, tetapi malah menambah nilai keeksotisannya.

Sungguh saya tidak menyesal telah mengunjungi De Djawatan Benculuk. Saat berpergian ke Banyuwangi, sempatkanlah mampir. Dengan biaya yang sangat terjangkau, tentunya tidak akan memberatkan dompet. Jadikan De Djawatan Benculuk sebagai salah satu tempat yang wajib didatangi di Banyuwangi. Karena menikmati pesona hutan tidak hanya sebagai cara untuk menyegarkan pikiran semata. Namun juga sebagai wujud kecintaan kepada alam Indonesia.

The post Merengkuh Keelokan Nan Mistis De Djawatan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merengkuh-keelokan-nan-mistis-de-djawatan/feed/ 0 27851
Bersih Gunung di Makutoromo, Arjuno https://telusuri.id/bersih-gunung-di-makutoromo-arjuno/ https://telusuri.id/bersih-gunung-di-makutoromo-arjuno/#respond Wed, 28 Apr 2021 07:59:18 +0000 https://telusuri.id/?p=27742 Akhir bulan Maret lalu saya dan empat teman lainnya menyempatkan diri untuk mengunjungi Gunung Arjuno via Purwosari yang baru saja dibuka—setelah beberapa bulan sebelumnya sempat tutup. Pendakian kami hanya sampai di Pos Makutoromo hingga area...

The post Bersih Gunung di Makutoromo, Arjuno appeared first on TelusuRI.

]]>
Akhir bulan Maret lalu saya dan empat teman lainnya menyempatkan diri untuk mengunjungi Gunung Arjuno via Purwosari yang baru saja dibuka—setelah beberapa bulan sebelumnya sempat tutup. Pendakian kami hanya sampai di Pos Makutoromo hingga area Sepilar saja, hal ini karena kondisi cuaca saat itu tidak memungkinkan untuk terus mendaki ke Puncak Ogal-Agil. Karena tidak ada rencana akan ngapain aja di sini, kami kemudian berdiskusi dan memutuskan untuk melakukan bersih gunung skala kecil di area Makutoromo hingga Sepilar.

Sebagai gunung tertinggi kedua setelah Semeru di Jawa Timur dan tertinggi keempat di Pulau Jawa, Gunung Arjuna memiliki kawasan hutan yang cukup luas, yaitu kawasan hutan Montane; kawasan hutan Dipterokarp Atas; kawasan hutan Dipterokarp Bukit; dan kawasan hutan Ericaceous atau hutan gunung.

Bersih-bersih skala kecil di kawasan hutan Gunung Arjuna (Sepilar)/Akhmad Idris

Sampah yang Membuat Resah

Di kawasan hutan Gunung Arjuna, kita bisa menemui aneka flora dan fauna. Mulai dari tumbuhan kelompok pohon, kelompok paku-pakuan, kelompok anggrek, hingga kelompok bawah atau tanaman semak. Sementara untuk jenis faunanya, ada elang Jawa di Gunung Kembar, rusa, kijang, anjing hutan, ayam hutan, kelompok burung, tupai, lutung Jawa, hingga macan tutul.

Di pos Makutoromo sendiri, beberapa burung jalak kerap kali turun ke area tanah untuk mencari makanan, seekor tupai tampak berpindah dengan gesit dari satu dahan pohon pinus menuju ke dahan yang lain, hingga seekor ayam hutan yang tampak bersembunyi dengan gesit ketika melihat sosok manusia. Ketika perjalanan dari Putuk Lesung menuju Makutoromo, kami menemui sebuah jejak kaki yang sepertinya adalah jejak anjing hutan di tanah basah bekas siraman hujan.

Jadi inilah hutan, rumah mereka semua—tak bisa kita kotori dengan sampah yang kita bawa.

Sebelum turun, kami berlima dan dibantu seorang pendaki senior—yang katanya sudah sebulan berada di Gunung Arjuna—membersihkan area Makutoromo hingga ke Sepilar. Tiga diantara kami memegang sapu, dua orang menggunakan kayu beserta tangan, sementara satu orang tersisa memegang kresek untuk wadah sampah.

Beberapa rontokan daun pinus yang menggunung seperti tumpukan jerami mulai kami sisihkan ke arah pinggir agar tidak menghalangi tangga bebatuan. Satu hal yang membuat resah sebenarnya bukan tentang tumpukan rontokan daun pinus—sebab seiring perjalanan waktu ia akan terurai dengan sendirinya—tetapi justru sampah plastik yang bertebaran tak beraturan. Sebut saja bungkus permen, bungkus makanan ringan, hingga botol-botol plastik bekas yang tak dibawa turun oleh para pendaki. Ah, pendaki semacam ini lebih baik pensiun saja dari mendaki gunung.

Situs Purbakala Di Dalam Hutan Gunung

Flora dan fauna hutan Gunung Arjuna memang memesona, namun situs purbakalanya pun juga membuat para pendaki terpana. Situs-situs purbakala ini meliputi arca batu, bangunan berundak, dan candi—diperkirakan merupakan peninggalan zaman kerajaan Majapahit pada masa kepemimpinan Prabu Sri Suhita (1429-1447), ia merupakan cucu dari Rajasanagara. Hal ini dibuktikan dengan seni arsitektur yang lebih didominasi oleh unsur lokal.

Beberapa situs purbakala lain di hutan Gunung Arjuna adalah Candi Sepilar, Candi Indrokilo, Candi Lepek, dan Candi Manggung. Sementara yang paling banyak disukai oleh para pendaki yakni jalur dari Makutoromo ke Candi Sepilar.

Dari pos Makutoromo hingga Sepilar, terdapat semacam batu berundak yang cukup panjang dengan deretan arca di kanan dan kirinya. Beberapa orang menyebut istilah ‘Sepilar’ merupakan singkatan dari ‘Sepi ing Nalar’ yang berarti sunyi di dalam pikiran. Bagi mereka yang meyakini kekuatan tak kasat mata, menaiki batu berundak menuju sepilar harus memiliki hati dan pikiran yang bersih, karena area Sepilar merupakan area yang suci. Oleh sebab itu, yang mengunjunginya harus orang yang suci pula. Terlepas dari kepercayaan tersebut, menjaga kelestarian situs purbakala adalah hal yang tidak bisa ditawar. Apalagi, dengan keberadaan situs purbakala di gunung, perjalanan alam maupun perjalanan religi dapat dikaitkan dengan perjalanan sejarah. 

Pada akhirnya, pepatah bijak itu selalu benar, bahwa jika kau tidak menemui orang baik, maka jadilah orang baik. Jika kau tak menemui orang yang peduli dengan keberlangsungan hutan, maka jadilah satu orang yang peduli.

Ketika semua manusia memilih untuk tidak peduli, bukankah keindahan hutan-hutan nusantara beserta flora & fauna endemiknya akan menjadi sekadar dongeng belaka?

Mari membisiki hati untuk peduli, sebab jika bukan kita, siapa lagi?

The post Bersih Gunung di Makutoromo, Arjuno appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bersih-gunung-di-makutoromo-arjuno/feed/ 0 27742
Buah Pala: Dulunya Dibuang, Sekarang Menghasilkan https://telusuri.id/buah-pala-dulunya-dibuang-sekarang-menghasilkan/ https://telusuri.id/buah-pala-dulunya-dibuang-sekarang-menghasilkan/#respond Sun, 25 Apr 2021 13:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=27728 Rusaknya Ekosistem Hutan Sumatera Barat memiliki kearifan lokal tentang pengelolaan hutan yang telah diatur dan diwariskan semenjak zaman dahulu kala. Adanya sistem rimbo larangan, rimbo peramuan, dan rimbo budidaya adalah serangkaian aturan zonasi yang dilakukan...

The post Buah Pala: Dulunya Dibuang, Sekarang Menghasilkan appeared first on TelusuRI.

]]>
Rusaknya Ekosistem Hutan

Sumatera Barat memiliki kearifan lokal tentang pengelolaan hutan yang telah diatur dan diwariskan semenjak zaman dahulu kala. Adanya sistem rimbo larangan, rimbo peramuan, dan rimbo budidaya adalah serangkaian aturan zonasi yang dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Sumatera Barat dalam menjaga hutan. 

Nagari Kapujan Kab. Pesisir Selatan/Tommy Adam

Pembukaan tambang dan perkebunan kelapa sawit skala besar adalah mimpi buruk bagi keberlanjutan hutan di Sumatera Barat. pasalnya pembukaan perkebunan kelapa sawit akan mengorbankan hutan yang ada untuk dibabat. Sedangkan kegiatan pertambangan juga akan merusak hutan karena barang tambang umumnya terdapat dalam hutan, selain itu kegiatan ini menghancurkan sawah-sawah masyarakat, menghilangkan sumber air jernih dari sungai.

Namun kearifan lokal tentang hutan dan pengelolaannya tergerus oleh kemajuan zaman sekarang ini, bahkan juga mungkin akibat sistem kapitalis yang memandang hutan sebagai objek sumber daya alam yang harus dieksploitasi. Hutan tak lagi dipandang sebagai tempat tinggal yang mampu memberikan kehidupan tapi malah dimanfaatkan secara eksploitatif dan masif oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Alih-alih mendapatkan keuntungan tapi kerugian lah yang didapatkan dari bencana ekologis yang ditimbulkan.

Dari data yang dihimpun oleh WALHI Sumatera Barat Tahun 2019, terdapat sebanyak 90 HGU Perkebunan Kelapa sawit seluas 151.000 hektare, serta 72 izin usaha pertambangan (antara lain emas, batubara, besi, dan sirtukil). Pemerintah seharusnya tidak melihat sumber daya alam hutan sebagai objek yang bisa di eksploitasi secara besar-besar sehingga menghilangkan hutan dan menghancurkan kehidupan masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya dengan hutan. Tidak jarang juga kegiatan merusak ini memanen bencana ekologis di kemudian hari. Pemerintah harusnya berkaca dengan kejadian yang ada agar memperbaiki tata kelola hutan yang lebih baik lagi di Sumatera Barat.

Potensi Hutan Sumatera Barat 

Sumatera Barat memiliki hutan yang luas. Data dari Kementerian Kehutanan menyebutkan jumlah hutan di Sumatera Barat seluas 2,3 juta hektare atau sekitar 60% dari luas wilayah di Sumatera Barat. Artinya hutan yang luas ini memiliki potensi besar bila dikelola dengan baik dengan mempertahankan keanekaragaman flora dan fauna yang ada.

Hutan di Sumatera Barat juga memiliki potensi sumber bahan pangan melimpah, kami menyebutnya sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu. Ada beragam tanaman dan buah-buahan yang bisa sebagai sumber pangan hewan yang tinggal di dalam hutan dan juga untuk masyarakat lokal guna memenuhi kebutuhan hidup. Contoh hasil hutan bukan kayu yang bisa digunakan sebagai sumber pangan yakni sereh wangi, madu, pala, bambu, jernang, kopi, pakis, dll.

Nagari Kapujan adalah salah satu Nagari yang ada di Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat. Nagari ini berada di sekitar kawasan hutan lindung dan mempunyai potensi dari hasil hutannya. Salah satu potensi dari hasil hutan bukan kayu di sini yakni buah pala.

Setidaknya, masing-masing Kepala keluarga di Nagari Kapujan mempunyai 1-3 pohon pala sendiri di pekarangan rumah maupun di hutan. Dalam seminggunya masyaraat bisa panen sebanyak 500 kg pala, jika dijual harganya sekitar Rp17 ribu per kg.

Buah pala dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan rempah masakan. Namun yang dimanfaatkan oleh masyarakat hanya bagian inti (biji) buah saja, sementara daging buah pala dibuang dan bahkan menjadi limbah di sungai.

Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kelompok Bayang Bungo Indah

Potensi pala yang besar ini dimanfaatkan oleh WALHI Sumbar dan Y-WRI (Yayasan Women Research Institute) untuk mendorong kemandirian masyarakat khususnya kelompok perempuan untuk dapat memanfaatkan daging buah pala tersebut untuk diolah dan menjadi produk bernilai. Tidak hanya itu, Pada Tahun 2016 WALHI Sumbar dan Y-WRI mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Upaya awal yang dilakukan adalah dengan membentuk kelompok perempuan yaitu Kelompok Bayang Bungo Indah.

Kelompok Bayang Bungo Indah merupakan kelompok tani perempuan yang berasal dari Nagari Kapujan, kelompok ini difokuskan dalam melakukan usaha pengolahan pala. Kebiasaan membuang daging buah pala sekarang sudah mulai ditinggalkan semenjak para anggota kelompok mendapatkan bimbingan melalui program Pengelolaan Hutan Untuk Kesejahteraan Perempuan (PHUKP) yang difasilitasi oleh WALHI dan WRI.

Proses pengolahan buah pala/Tommy Adam

Sejak saat itu, daging buah pala yang tadinya dibuang-buang, kemudian diolah menjadi sirup pala, minuman sari buah pala, dan selai pala. Pendapatan anggota kelompok Bayang Bungo Indah pun meningkat. Tidak hanya itu, limbah yang berasal dari daging buah pala kini sudah tidak ada lagi.

Sirup pala kini menjadi produk unggulan dan juga minuman khas dari Kapujan. Sirup pala juga punya beberapa manfaat untuk kesehatan lho. Diantaranya, meningkatkan kesehatan otak karena buah pala mengandung senyawa myristicin dan macelignan. Senyawa ini dapat mengurangi kerusakan sistem saraf dan fungsi kognitif yang umumnya dimiliki pasien demensia atau penyakit alzheimer. Lalu, mengatasi masalah pencernaan karena serat yang terdapat pada buah pala dapat merangsang proses pencernaan dengan mendorong gerakan peristaltik pada otot polos usus. Dan tentunya dapat menghangatkan badan.

WALHI Sumbar dan Y-WRI juga melakukan pelatihan cara pengemasan dan memasarkan produk pala. Kegiatan ini mendapat respon positif dari pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan. Beberapa kali sirup pala menjadi juara lomba Produk UMKM dan menjadi welcome drink untuk salah satu hotel ternama di Kota Padang yaitu Hotel Bumi Minang. Dari hasil kerjasama ini, setidaknya kelompok mendapatkan keuntungan sebesar Rp2,5 juta tiap bulannya.

Hutan menyediakan hasil hutan bukan kayu yang sangat melimpah. Tentunya, dengan pengelolaan dan pemanfaatan HHBK yang baik dapat membantu meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitar hutan tanpa harus merusak ekologi hutan. Dengan begitu masyarakat mendapat manfaat dari HHBK yang diolah dan mendapatkan manfaat jasa ekosistem dari hutan yang dipertahankan.

The post Buah Pala: Dulunya Dibuang, Sekarang Menghasilkan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/buah-pala-dulunya-dibuang-sekarang-menghasilkan/feed/ 0 27728