PILIHAN EDITOR Arsip - TelusuRI https://telusuri.id/pilihan-editor/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 15:11:49 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 PILIHAN EDITOR Arsip - TelusuRI https://telusuri.id/pilihan-editor/ 32 32 135956295 Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2) https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-2/ https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-2/#respond Wed, 09 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46586 Sopir truk sabar mengantre, menunggu arahan operator ekskavator yang tengah sibuk mengeruk bukit sampah, menggeser dan memindahkan sampah ke sudut lain. Sopir dump truck maju duluan memuntahkan bawaannya. Disusul truk arm roll dengan muatan jumbo,...

The post Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Sopir truk sabar mengantre, menunggu arahan operator ekskavator yang tengah sibuk mengeruk bukit sampah, menggeser dan memindahkan sampah ke sudut lain. Sopir dump truck maju duluan memuntahkan bawaannya. Disusul truk arm roll dengan muatan jumbo, mencari posisi yang pas untuk memundurkan kontainer, lalu membuka pintu belakang. Sampah pun berhamburan.

Truk model dump truck membuang muatan dengan mengangkat bak terbukanya sampai sampah merosot keluar. Sedangkan truk arm roll yang membawa kontainer sampah, didesain bisa memundurkan gendongan hingga terlepas. Truk jenis ini punya belalai pengait untuk menaikkan kontainer ke punggung kendaraan. Saat melepas sampah, arm roll menurunkan separuh kontainer sampai miring. Sopir memainkan pedal gas, maju sedikit-sedikit, lalu sampah terjun ke tanah.   

Ekskavator mondar-mandir di antara buldoser yang meratakan timbunan sampah. Para pemulung asyik saja menyambut kedatangan sampah yang masih “segar”. Seolah mereka sedang berlomba mencari “harta karun” dengan besi pengait. Saya membayangkan mereka adalah atlet anggar yang tengah memainkan pedangnya menusuk sasaran. Seru pokoknya!

Karena jalanan becek dan berlumpur, truk-truk yang sudah menunaikan hajatnya, kesulitan melaju. Terjebak. Saya sampai sangsi mereka bisa lolos dari jeratan lumpur. Sejurus kemudian, tak terpikirkan oleh “turis” seperti kami, operator dengan sigap menempelkan kepala belalai ekskavator ke bokong truk lalu mendorongnya. Sukses! Truk bebas dari kepungan lumpur, lanjut ngegas ke jalur aman.          

Muhammad, anak ketiga dari lima bersaudara itu terpana. Ini pengalaman pertamanya menyaksikan truk besar pengangkut sampah membuang muatan di “markas besar”. Di sana segala sampah warga kota terkumpul. Kata “menjijikkan” dan “jorok” seketika kehilangan makna. Sirna begitu saja. Berganti pemandangan tentang ketabahan hidup dari para manusia yang mengais rezeki di lautan sampah. Mereka tak pernah sekolah tinggi. Tak kenal apa itu korupsi. 

Dump truck hijau ketiga datang. Menunggu sebentar sebelum menumpahkan bawaan, menanti aba-aba dari “avatar” pengendali beko. Saat arm roll rampung mengosongkan gendongan, sopir muda truk ketiga segera mengarahkan kendaraan ke arena perpisahan. Sampah-sampah dilepaskan ke sebuah penjuru, lalu para pemburu sampah menyerbu.

Dump truck hijau menunggu giliran membuang sampah (kiri) dan ekskavator yang berada di medan berlumpur TPAS Kopi Luhur/Mochamad Rona Anggie

Cerita dari Pemulung

Saya lalu mengajak Muhammad ke seberang, tempat gubuk-gubuk milik pemulung. Kami waspada sebelum melintas. Saya perhatikan pergerakan belalai ekskavator dan dump truck yang sedang maju mundur. Setelah dirasa aman, jauh dari jangkauan keduanya, baru kami menyeberang. Melewati jalur lumpur yang sebelumnya dilindas roda truk.

Di salah satu gubuk beratap terpal rombeng, seorang pria paruh baya duduk dikelilingi tumpukan wadah plastik dan gelas-botol air mineral. “Namanya siapa, Pak?” tanya saya setengah berteriak, di antara bising suara ekskavator dan truk yang “batuk-batuk” berusaha melepaskan cengkeraman lumpur di roda. 

“Abdul Hamid,” katanya terdengar sayup.

“Usia berapa?”

“Kelahiran 1964,” jawabnya.

Warga Kelurahan Argasunya yang satu kawasan dengan TPAS Kopi Luhur itu lantas berbagi cerita. Dia mulai jadi pemulung di sana sejak 1999. Persis setahun setelah TPAS Kopi Luhur resmi beroperasi. “Tadinya saya kerja di Jakarta,” ujarnya.

Abdul Hamid pergi memulung selepas salat Subuh. Dia pulang kembali ke rumah pukul satu siang. Sampah yang diincarnya adalah tempat makan plastik dan bekas kemasan air minum. Pembeli datang sendiri ke gubuknya. Biasanya para pengepul barang bekas yang akan didaur ulang pabrik.

“Sebulan penghasilan berapa, Pak?”

Abdul Hamid sejenak berpikir. “Sekitar empat juta,” sahutnya. Wow, lumayan besar juga, batin saya.

Ayah sepuluh anak itu kini ditemani anak bungsu yang juga pengumpul sampah. Jumlah pemulung yang terdata di sana, kata Abdul Hamid, ada 170 orang. “Tapi di lapangan bisa sampai dua ratus. Bergantian memulung, beda waktu,” terangnya.  

Pemulung lain, lanjut dia, ada yang datang pukul 09.00 atau selepas zuhur hingga Magrib. Malamnya, juga ada yang memulung, tetapi tidak banyak. “Masing-masing sudah ada rezekinya. Kami di sini saling menghargai. Tidak berebutan,” tutur kakek delapan cucu itu.

  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2)
  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2)

Soal jalanan yang becek dan berlumpur, Abdul Hamid menyebutnya hanya di musim hujan saja. “Kalau kemarau, jalanan kering. Truk lancar melintas,” ucapnya. Saat disinggung sering beraktivitas di tempat sampah, apakah tidak takut kena penyakit? Abdul Hamid membandingkan dengan masa pandemi COVID-19. 

“Waktu COVID-19 saja, alhamdulillah pemulung tidak kena,” katanya dengan senyum mengembang. Saya berseloroh, “Virusnya takut datang ke sini, Pak!” Lelaki bersepatu bot itu tergelak.

Ketika sedang serius menghimpun keterangan Abdul Hamid, tiba-tiba saya merasa ada sesuatu membelit kaki. Saya tak berani langsung melihat ke bawah. Menerka-nerka dulu. Binatang melatakah (ular) dari tumpukan sampah merambat naik ke kaki? Berdebar saat memastikannya. Saya mengentak-entakkan kaki kiri, berharap yang menempel segera lepas. Pas dilihat, eh, anak kucing! Si meong menggelendotkan tubuhnya sambil mengusapkan buntut ke kaki saya. Huh, mengagetkan saja!

Pemulung di TPAS Kopi Luhur tidak didominasi kaum lelaki. Wanita juga ada. Salah satunya Keni (46). Ibu enam anak itu sedang memanggul keranjang berisi sampah kemasan air mineral dan menjinjing sekarung “sumber rupiah” lainnya, ketika saya ajak ngobrol. “Saya memulung bareng suami, untuk membantu perekonomian keluarga,” tuturnya. 

Dia mengaku sudah belasan tahun bekerja sebagai pemulung. Selain karena rumahnya di Argasunya dekat TPAS, aktivitas harian di tempat sampah mampu memberinya penghasilan. “Sebulan bisa satu sampai dua juta,” beber nenek tiga cucu itu.   

Kaum perempuan ikut memulung guna menyokong ekonomi keluarga. Seperti yang dilakukan Keni (kiri), nenek tiga cucu/Mochamad Rona Anggie

Usia TPAS Kopi Luhur Dua Tahun Lagi

Sudah 27 tahun beroperasi, TPAS Kopi Luhur kini masuk fase kritis over kapasitas. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cirebon, dr. Yuni Darti Sp.GK., melalui Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) TPAS Kopi Luhur, Jawahir Kusen mengungkapkan, hitungan di atas kertas umur area pembuangan akhir sampah itu tinggal dua tahun.

Solusi jangka panjang, kata dia, memindahkannya ke lokasi baru. “Tapi belum tahu di mana,” ucapnya lirih. Sementara untuk jangka pendek, DLH Kota Cirebon sedang mengupayakan kehadiran teknologi pengolahan sampah Refuse Derived Fuel (RDF), demi menyiasati perpanjangan usia TPAS Kopi Luhur. “Dari provinsi (Jabar) sudah survei. Semoga tak lama lagi terwujud,” ujar Jawahir kepada penulis, Rabu (26/2/2025).

Menurutnya, mesin RDF akan membantu mengurangi timbunan sampah, karena memiliki kemampuan memilah sampah organik dan anorganik. Mempercepat proses daur ulang hingga bisa dijadikan briket. 

Jawahir menjelaskan, saat ini dalam sehari TPAS Kopi Luhur menampung 600 sampai 700 kubik sampah. Luasnya 14,2 hektare, tetapi hanya digunakan delapan hektare sebagai tempat pembuangan sampah. Lahan sisanya terlalu dekat permukiman penduduk. Jika dipaksakan rentan gejolak sosial.  

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2)
Tas kain ramah lingkungan koleksi pribadi/Mochamad Rona Anggie

Peduli Lingkungan dari Kecil

Senang bisa mendampingi buah hati ke TPAS Kopi Luhur. Saya berharap Muhammad mulai memahami, kenapa ibunya selalu membawa kantung berbahan kain setiap belanja ke pasar tradisional atau supermarket. 

Termasuk mengapa kasir di beberapa swalayan kini tegas tak menyediakan kresek, dan menawarkan paper bag (kantung berbahan kertas) untuk membawa belanjaan? Tidak lain—semoga Muhammad mengerti—sebagai upaya global mengurangi sampah plastik.

Seiring waktu, kepekaan Muhammad dan rekan seusianya bakal terasah. Orang tua berperan penting mengedukasi anak-anaknya. Bagaimana turut aktif menjaga bumi dari gempuran sampah plastik. Kita biasakan mereka untuk memakai tas ramah lingkungan berbahan kanvas atau anyaman, ketika membeli kebutuhan sehari-hari. 

Kaki saya dan Muhammad (kiri) sama-sama sempat terbenam lumpur/Mochamad Rona Anggie

Kami pun balik kanan. Melangkah ke parkiran. Eh, drama belum usai. Gantian Muhammad terperosok ke lumpur. Dia meringis. Kedua kakinya “disedot” lumpur. Cepat saya tarik tangannya, biar tidak semakin dalam.

“Angkat (kakimu)!” perintah saya. Ya, berhasil. Namun, sandal sebelah kiri menjadi martir (putus). “Sudah, pulang nyeker saja,” kata saya, dibalas dengan cemberut.    

Begitulah petualangan kami di TPAS Kopi Luhur. Menziarahi persemayaman terakhir kasur jebol, sofa bodol hingga lemari ambrol. Sampah busuk yang berserakan adalah “permata” bagi setiap pemulung. Lalat-lalat hijau mendengung dan camar terbang rendah melepas kepulangan kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-2/feed/ 0 46586
Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1) https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-1/ https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-1/#respond Tue, 08 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46573 Kehidupan manusia selalu menghasilkan sampah. Ketika masih kecil, kita membuang sampah jajanan: plastik es, bungkus chiki, permen, cokelat, susu kotak, sampai kemasan makanan instan. Saat sudah berkeluarga, sampah yang kita keluarkan semakin banyak. Paling dominan...

The post Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kehidupan manusia selalu menghasilkan sampah. Ketika masih kecil, kita membuang sampah jajanan: plastik es, bungkus chiki, permen, cokelat, susu kotak, sampai kemasan makanan instan. Saat sudah berkeluarga, sampah yang kita keluarkan semakin banyak. Paling dominan sampah kresek pembungkus barang yang kita beli. Baik di pasar tradisional maupun supermarket. Sampah semakin bertambah, karena produk yang dibawa ke rumah juga sudah dalam kemasan, yang ujung-ujungnya kita lempar ke tempat sampah.

Saya juga mengamati bekas popok dan pembalut wanita sekali pakai. Sampah bawaan produk semacam ini ternyata mengerikan. Saat membeli barangnya kita diberi kresek, tambah kemasan produk. Selesai digunakan, kresek, plastik kemasan, si produknya sendiri berikut kotoran manusianya, akan menghuni tempat sampah.

Di bak sampah depan rumah, bercampurlah segala sampah. “Rajanya” tetap sampah plastik aneka rupa. Ada kemasan makanan dan minuman, dus-dus, sisa buah dan sayuran busuk, kulit telur, jeroan ikan serta unggas, tulang-belulang berbelatung hingga dedaunan kering hasil menyapu halaman.   

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
Sampah keluarga kami/Mochamad Rona Anggie

Sebelum diangkut tukang sampah kompleks, biasanya sampah rumah tangga disatroni lebih dulu oleh para pemulung. Penampilan mereka khas: membawa karung di punggung, besi pengait, serta menutupi kepala dengan selembar kaus lusuh. Umumnya berjalan kaki keliling perumahan sejak gelap subuh. Ada juga yang naik sepeda, memodifikasinya, memasang dua karung di kanan dan kiri boncengan belakang.

Terkadang para pemulung membuat kesal pemilik rumah. Bagaimana tidak, sampah yang biasanya sudah dibungkus kresek besar dan diikat kuat—guna menghindari bau tak sedap—malah dibongkar memakai besi pengait. Mereka mencari sampah yang punya nilai ekonomis, seperti botol plastik (bekas air mineral) dan botol kaleng (bekas minuman ringan).

Para pemulung itu lantas pergi setelah mendapat apa yang dicari. Mereka tidak peduli sudah memberantakkan isi tempat sampah, sehingga bau sisa sampah makanan dan kotoran di popok menyeruak mengganggu penciuman. Saya pribadi, kalau mendapati pemulung hendak mencerai-beraikan sampah yang sudah terbungkus, segera menegur dengan suara keras, “Jangan diberantakin!”, membuat yang ‘disemprot’ lekas berlalu.

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
Pemulung menggeledah bak sampah kami/Mochamad Rona Anggie

Pak Uri, Tukang Angkut Sampah Kompleks Kami

Dalam dua hari, biasanya tumpukan sampah di bak atau tong milik warga bakal meninggi. Tambah hari akan terlihat menyembul melewati batas tempat sampah. Setelah pemulung beraksi, selanjutnya petugas angkut sampah yang bercengkerama dengan sampah-sampah itu.   

Tukang angkut sampah di kompleks kami, RW 04 Darmamukti, Rajawali Barat, bernama Uri. Badannya gempal. Dia bertugas mengangkut sampah warga seminggu tiga kali. “Tapi kalau lagi enggak fit, saya muternya sepekan sekali,” kata Uri kepada penulis, di sela aktivitas mengambil sampah. 

Lelaki 69 tahun itu menggunakan sepeda motor yang disambung tak permanen dengan gerobak pengangkut sampah. Berkeliling dari satu bak sampah ke tong sampah yang ada di depan rumah warga. Jam kerjanya mulai dini hari sampai pagi. 

  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)

Ketika ditanya mengapa tidak mengangkut sampah dari pagi ke siang? Uri menjelaskan kalau sampah warga beres terangkut ke Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) sejak masih pagi sekali, dirinya tak perlu antre menunggu giliran buang di TPSS. “Sengaja dari jam dua pagi saya keliling ambil sampah. Paginya bisa langsung ke TPSS tanpa harus antre,” papar ayah enam anak itu.

Tujuan Uri dan gerobaknya adalah TPSS Rajawali yang bersisian dengan Sungai Kriyan. Di sana, kata Uri, tukang angkut sampah dari masing-masing perumahan atau RW, wajib memasukkan sendiri sampah yang mereka bawa ke kontainer penampung. Proses ini memakan waktu cukup lama. Tambah siang, akan semakin banyak tukang angkut sampah antre untuk membuang bawaannya ke kotak sampah raksasa.

“Bisa saja buang di sekitar kontainer, di bawah. Lebih mudah itu. Tapi harus bayar lima belas ribu,” sebutnya.   

Tidak terasa, sudah 12 tahun Uri bekerja mengangkut sampah di kompleks kami. Sebelumnya, sejak 1976 ketika masih umur 20 tahun, ia menjadi petugas kebersihan jalan di Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Cirebon. “Saya pegawai honorer, pensiun tahun 2013,” ujar warga Pamengkang, Mundu, Kabupaten Cirebon.   

Tugas keseharian Uri saat aktif berseragam kuning adalah menyapu pinggiran Jalan Rajawali. Hingga akhirnya kenal dekat dengan pengurus RW setempat. Tawaran jadi tukang angkut sampah datang saat dirinya purnatugas. “Biar tetap produktif di usia senja,” ucap kakek 15 cucu itu.

Ketika mengangkut sampah warga, Uri kerap dibantu anak ketiganya, Abdul Kholiq (37). Dia mengaku kalau bekerja sendirian, sering tak kuat membungkuk untuk mengambil sampah dari tempatnya. “Suka sakit pinggang,” keluhnya. Halangan lain yang membuat Uri terkadang hanya mampu sepekan sekali menjalankan tugas adalah masuk angin. “Maklum sudah berumur,” imbuhnya.   

Memakai sepatu bot, slayer penutup setengah wajah, dan topi. Begitu tampilan Uri menyusuri tempat sampah warga. Sesekali dia terlihat mengisap rokok kretek. “Supaya enggak ngantuk sekaligus penetral bau sampah,” katanya memberi alasan akrab dengan asap nikotin.   

Apakah penghasilannya saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? Uri mensyukuri yang ia dapat. Terlebih ketika ingat awal jadi tukang angkut sampah, bergaji hanya Rp150.000 sebulan. “Sekarang sudah satu juta,” beber kepala keluarga dua rumah tangga itu. Ya, Uri tak sungkan mengakui statusnya yang beristri dua. “Istri saya yang muda, bekerja juga. Jadi, bisa meringankan beban saya,” tuturnya.

Motor roda tiga dipakai untuk angkut sampah (kiri) dan kontainer sampah di TPSS Rajawali/Mochamad Rona Anggie

Berikutnya: Urusan Truk Sampah

Saya kemudian mendatangi TPSS Rajawali. Siang itu sebuah dump truck parkir. Dua petugas berjibaku menyerok tumpahan sampah dari gerobak yang sengaja digulingkan.  Petugas lainnya di atas mobil, menyambut operan ember berisi sampah. Terus mereka bekerja demikian, memasukkan sampah ke bak truk, sampai benar-benar tak menyisakan secuil ruang.   

Di balik kemudi kendaraan milik Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cirebon itu, si sopir sedang memejamkan mata. Tapi tak marah begitu saya bangunkan. Namanya Taya (48).

Dia menyebutkan jam kerjanya pukul 07.00 sampai 13.00. Truk yang dibawanya biasa mengirim sampah ke Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Kopi Luhur setelah waktu zuhur, menunggu bak truk penuh maksimum. “Kapasitas (mobil) aslinya satu ton. Tapi kalau sampah dipadatkan bisa dua–tiga ton. Apalagi kalau musim hujan, air membuat muatan tambah berat,” paparnya.

Taya menerangkan ada lima kru yang menyertainya selama pengumpulan sampah di TPSS hingga pembuangan ke TPAS. Mereka tak punya jadwal libur. Kalau mau izin untuk suatu keperluan, mesti mengabari pimpinan sehari sebelumnya. Agar alih tugas kepada sopir lainnya tidak mendadak, demi menjaga layanan angkut sampah terus berjalan. 

Taya bangga mendapat bagian tugas di TPSS Rajawali karena salah satu yang terbesar di Kota Cirebon. Menampung sampah dari sebagian wilayah Kecamatan Harjamukti, Kesambi, dan Lemahwungkuk. Dalam sehari, kata dia, ada hampir 50 gerobak sampah yang merapat. Sebenarnya beban angkut truk Taya hanya untuk 32 gerobak. Sementara satu gerobak bisa dua kali balikan membawa sampah ke TPSS Rajawali. 

  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)

“Kelihatan, kan, berapa banyak kelebihan sampah yang mesti diangkut?” tanyanya coba berbagi kesah jika daya tampung sampah sudah over kapasitas. “Tapi ya, namanya juga tugas, tetap kami angkut ke Kopi Luhur,” imbuh pegawai berstatus ASN yang berdinas sejak 2012.

Tentang tukang sampah kompleks dikenai biaya ekstra jika membuang muatannya tidak langsung ke kontainer, sebagaimana penjelasan Uri, Taya menampiknya. Dia mengungkapkan itu sebatas ke-sukarela-an. Bentuk solidaritas kepada petugas kebersihan TPSS. “Kalau enggak ngasih, tidak masalah. Kami tetap bekerja profesional,” kata ayah tiga anak itu.

Taya menceritakan satu waktu pernah didatangi pengurus RW yang komplain soal biaya tak resmi tersebut. Menurutnya, kadang orang salah persepsi dan menganggapnya sebuah keharusan. “Setelah saya jelaskan, baru mereka paham. Jadi, tidak ada pungutan di sini,” ucapnya seraya menyebutkan selain Rajawali, Kota Cirebon memiliki TPSS Galunggung, Kimia Jaya, Buyut, Kalibaru, Sukalila Utara, Penggung, Evakuasi, Grenjeng, Sunyaragi, Tuparev, dan Krucuk. 

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
Pemulung mencari peruntungan di TPSS Rajawali/Mochamad Rona Anggie

Menyambangi Kopi Luhur

Besok siangnya, sengaja saya ajak Muhammad (10) ke TPAS Kopi Luhur di Kelurahan Argasunya. Jaraknya 10 kilometer dari TPSS Rajawali. Mengarah ke ujung selatan wilayah kota. Melintasi jembatan di atas jalan tol Palikanci yang menuju Jawa Tengah.

Mendekati Kopi Luhur, jalan menanjak dan berkelok. Permukiman penduduk semakin jarang, berganti pepohonan dan belukar. Melewati lapangan tembak milik Korem 063 SGJ, terus naik lantas mulai tercium aroma tidak sedap, dan pemandangan bukit-bukit sampah. Ada gerbang masuk sekadarnya. Saya parkir motor dekat tenda semipermanen milik pemulung yang tengah memilah botol bekas air mineral.

Tak menanti lama, apa yang saya harapkan datang. Sebuah dump truck penuh sampah berpenutup jaring di atasnya menggilas jalan berlumpur yang dilewati. Hitungan menit, menguntit di belakangnya sebuah truk arm roll menggendong kontainer sampah. Lajunya menderu, mengepulkan asap pekat dari knalpot serupa bazoka. Muhammad takjub melihatnya. Pelajar kelas 4 MI itu tak berkedip! 

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
Muhammad (kanan) menyaksikan kedatangan truk arm roll pengangkut sampah di TPAS Kopi Luhur/Mochamad Rona Anggie

“Ayo, ikuti truk-truk itu!” kata saya.

Setengah berlari, kami mengikuti jejak roda besar yang membelah tanah becek berlumpur hitam. Awalnya meniti pinggiran, lalu terhalang sampah botol beling yang sudah pecah setengah—bahaya! Mau tak mau melangkah agak ke tengah, dan akhirnya apa yang dikhawatirkan terjadi: kaki terjerembap dalam lumpur berbau busuk. Show must go on, saya terus berjalan hingga melihat titik finis truk-truk tadi. 

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-1/feed/ 0 46573
Menyepi di Bali Kala Pandemi https://telusuri.id/menyepi-di-bali-kala-pandemi/ https://telusuri.id/menyepi-di-bali-kala-pandemi/#respond Tue, 11 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45920 Memanfaatkan pelonggaran pembatasan sosial saat pandemi COVID-19, Mei 2021, saya pergi ke Bali. Alasan saya memilih pergi karena biaya yang dikeluarkan cukup murah. Tiket pesawat hanya Rp500.000, sedangkan hotel Rp200.000. Padahal, jika situasi normal, hotel...

The post Menyepi di Bali Kala Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Memanfaatkan pelonggaran pembatasan sosial saat pandemi COVID-19, Mei 2021, saya pergi ke Bali. Alasan saya memilih pergi karena biaya yang dikeluarkan cukup murah. Tiket pesawat hanya Rp500.000, sedangkan hotel Rp200.000. Padahal, jika situasi normal, hotel itu berharga Rp1.000.000.

Kira-kira dua jam penerbangan menggunakan pesawat dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai. Sesampainya di bandara, saya sedikit bingung. Hari sudah gelap. Jam di tangan saya menunjukkan pukul 18.00. Saya nyaris tak sadar, Bali masuk wilayah Indonesia bagian tengah, sehingga waktunya lebih cepat satu jam dibandingkan Jakarta. 

Bandara itu tidak terlalu ramai. Saya memilih menggunakan taksi daring untuk menuju hotel di sekitar Jalan Legian. Jaraknya sekitar enam kilometer dari bandara, menghabiskan waktu kira-kira 20 menit. Jalanan yang saya lewati sangat sepi. Padahal, malam belum beranjak jauh.

Menyepi di Bali Kala Pandemi
Suasana Jalan Legian yang sepi, Mei 2021/Fandy Hutari

Malam Sunyi di Bali

Saya melewati titik-titik yang sebelum pandemi ramai wisatawan asing. Sebut saja, Gang Poppies Lane, tak jauh dari Pantai Kuta.

“Di sini dulu sangat ramai,” kata si sopir taksi daring.

Mendengar nama itu, saya ingat lagu Slank, yang dirilis tahun 1998 berjudul “Poppies Lane Memory”. Gang kecil ini terkenal di kalangan wisatawan karena kehidupan malamnya. Di sini, banyak berdiri penginapan murah, toko pernak-pernik, dan bar. Mengutip Kintamani.id,1 Poppies Lane dahulu tak bernama. Warga hanya menyebutkan rurung, yang artinya jalanan sempit. Warga yang tinggal di situ itu menyebutnya Gang Taman Sari. Ada pula warga yang menyebutnya gang memedi karena sempit, sepi, dan lengang.

Nama Poppies berawal dari nama warung milik Sang Ayu Made Cenik Sukeni pada 1970. Wisatawan asing banyak yang datang ke warung itu. Lalu, ada langganan dua orang turis asal Amerika Serikat bernama George dan Bob yang memberikan nama Poppies untuk warung Sang Ayu. Poppies diambil dari nama bunga yang tumbuh di California, Amerika Serikat. Di sekitar Jalan Legian juga, kata sang sopir taksi daring, sebelum pandemi banyak bule asyik berpesta hingga di tengah jalan. Namun, ketika saya lintasi, kosong melompong.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021—periode saat saya berkunjung ke Bali—hanya ada 51 wisatawan asing yang masuk ke Bali. Jumlah ini jauh dibandingkan tahun-tahun sebelum pandemi. Pada 2019, jumlahnya 6.275.210 turis asing datang ke Pulau Dewata. Lalu turun pada 2020 menjadi 1.069.473 orang. Baru setelah kondisi berangsur membaik, pada 2022 ada 2.155.747 wisatawan asing yang berkunjung ke Bali.

  • Menyepi di Bali Kala Pandemi
  • Menyepi di Bali Kala Pandemi

Sehabis menaruh ransel, saya berjalan-jalan di sekitar Legian. Malam itu, saya menyaksikan suasana sangat senyap. Banyak bar, restoran, kelab malam, dan toko-toko yang tutup. Hanya ada beberapa pedagang kaki lima yang tampak. Dari lorong yang gelap, seorang pedagang menawarkan untuk membeli makanan yang dijajakannya. Hari itu, saya menyaksikan Bali yang berbeda. Bali yang porak-poranda karena pandemi. Saya mendengar, mereka yang semula bekerja mengandalkan pariwisata beralih menjadi petani di desanya.

Melansir CNBC Indonesia,2 pada 2020 hingga 2023 hanya terdapat tambahan 817 kamar hotel di Bali. Akan tetapi, terjadi pengurangan sebanyak 1.591 kamar akibat penutupan hotel. Lantas, menurut Ida Ayu Kade Adi Juniari dan Ni Nyoman Ayu Suryandari,3 ada 200-an restoran di Bali tutup karena pandemi. Beberapa tercatat tutup permanen.

Rupanya, kebijakan pemerintah membuka-menutup Bali saat itu tak mampu berbuat banyak. Laporan Kompas,4 11 Mei 2021, Bali paling terpukul di antara provinsi lainnya. Pertumbuhan ekonomi Bali paling rendah. Pada 2020 tercatat minus 9,31 persen. Pada triwulan I tahun 2020, pertumbuhannya minus 1,20 persen. Lalu, terjun bebas hingga minus 12,32 persen pada triwulan III 2020. Pada triwulan awal 2021, status perekonomian Bali ada di minus 9,85 persen.

Saya mengunjungi Tugu Peringatan Bom Bali atau memiliki nama lain Monumen Panca Benua atau Ground Zero Monument, tak jauh dari hotel saya menginap. Suara musik mengentak terdengar lamat-lamat dari sebuah bar yang masih bertahan dari pandemi.

Monumen ini diresmikan pada 2004. Dibangun untuk mengenang tragedi bom Bali pada 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang dari 22 negara. Nama-nama mereka diabadikan di dinding monumen itu. 

Menyepi di Bali Kala Pandemi
Monumen Bom Bali pada Mei 2021/Fandy Hutari

Keliling Bali yang Sepi

Keesokan harinya, saya menyewa sepeda motor untuk berkeliling beberapa hari. Pantai Kuta adalah tujuan pertama. Suasananya sangat sepi. Nyaris tak ada wisatawan. Hanya satu-dua orang turis yang berjalan di pasir putih itu. Ada pula beberapa pedagang minuman, tukang tato, tukang pijat, dan tukang gelang yang berseliweran. Padahal, jika situasi normal, pantai ini sangat sesak turis.

Meninggalkan Pantai Kuta, hari berikutnya saya mengunjungi Museum Bali dan Museum Bajra Sandhi di Denpasar. Di Museum Bali, terdapat koleksi benda-benda etnografi, di antaranya peralatan dan perlengkapan hidup, kesenian, keagamaan, dan lainnya yang menggambarkan kehidupan dan perkembangan kebudayaan Bali masa lampau. Gagasan pendirian Museum Bali berasal dari Th. A. Resink. Usulan itu diterima asisten residen Bali Selatan, W.F.J. Kroon, yang kemudian membangun museum etnografi pada 1910.5

Sementara di Museum Bajra Sandhi atau Museum Monumen Perjuangan Rakyat Bali, saya melihat-lihat 33 diorama, berbagai foto, dan lukisan. Saya pun naik ke atas menara, menapak anak tangga di tengah bangunan. Dari menara, kita bisa melihat pemandangan sekitar.

Pencetus ide pembangunan monumen yang dari kejauhan mirip pagoda ini adalah Gubernur Bali Ida Bagus Mantra pada 1980. Arsitek monumen adalah Ida Bagus Gede Yadnya, yang memenangkan kompetisi arsitektur monumen tersebut pada 1981. Desain arsitekturnya punya arti hari kemerdekaan Indonesia, dengan 17 gerbang pintu masuk, delapan pilar utama, dan ketinggian monumen 45 meter. Monumen mulai dibangun pada 1981, tetapi sempat terhenti dan dilanjutkan pada 1987. Tahun 2003, monumen diresmikan oleh Megawati Soekarnoputri, yang saat itu menjabat presiden.6

Sore menjelang matahari terbenam, saya mengunjungi Pantai Padma. Di sini, kondisinya berbeda dengan Pantai Kuta. Wisatawan, terutama dari dalam negeri, ramai menikmati senja. Anjing-anjing berlari ke sana-ke mari.

Perjalanan terakhir di Bali, saya pergi ke Ubud, kira-kira 20-an kilometer dari Legian. Di sana, saya menginap semalam di sebuah rumah yang di depannya terhampar sawah.

Bali kini kembali lagi menjadi tujuan wisata domestik dan mancanegara. Bali sekarang tak lagi sepi.


  1. Baihaki, Imam. “Poppies Lane Kuta, Gang Kecil Di Bali yang Tak Pernah Sepi dan Mendunia,” dalam Kintamani.id, 2018. (https://www.kintamani.id/poppies-lane-kuta-gang-kecil-bali-tak-pernah-sepi-dan-mendunia/) ↩︎
  2. Sandi, Ferry. “Hotel di Bali Bertumbangan, Tutup Lebih 1.500 Kamar,” dalam CNBC Indonesia, 16 Januari 2024. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20240116185158-4-506387/hotel-di-bali-bertumbangan-tutup-lebih-1500-kamar). ↩︎
  3. Juniari, Ida Ayu Kade Adi dan Ni Nyoman Ayu Suryandari. “Dampak Pandemi Covid-19 pada Restoran di Bali,” dalam Kompasiana. 28 Mei 2021. (https://www.kompasiana.com/dayujuni/60b0476fd541df7cfa2312d2/dampak-pandemi-covid-19-pada-restoran-di-bali). ↩︎
  4. Nugraheni, Arita. “Bali Paling Terpukul Pandemi,” dalam Kompas, 11 Mei 2021. (https://www.kompas.id/baca/riset/2021/05/11/bali-paling-terpukul-pandemi). ↩︎
  5. “Bali Museum” dalam wikipedia.org (https://en.wikipedia.org/wiki/Bali_Museum). ↩︎
  6. “Sejarah dan Keunikan tentang Monumen Bajra Sandhi” dalam denpasar.kota.go.id, 1 Maret 2019 (https://www.denpasarkota.go.id/wisata/sejarah-dan-keunikan-tentang-monumen-bajra-sandhi). ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyepi di Bali Kala Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyepi-di-bali-kala-pandemi/feed/ 0 45920
Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep https://telusuri.id/beranda-kopi-etika-bertamu-masyarakat-sumenep/ https://telusuri.id/beranda-kopi-etika-bertamu-masyarakat-sumenep/#respond Fri, 07 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45881 Siang itu, saat libur tahun baru, saya pergi mengantar ibu dengan motor, bersilaturahmi ke teman lamanya di desa sebelah. Teman ibu itu menyilakan kami duduk di beranda rumahnya. Betapa pun ia kaya, tetapi ia tak...

The post Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep appeared first on TelusuRI.

]]>
Siang itu, saat libur tahun baru, saya pergi mengantar ibu dengan motor, bersilaturahmi ke teman lamanya di desa sebelah. Teman ibu itu menyilakan kami duduk di beranda rumahnya.

Betapa pun ia kaya, tetapi ia tak mengubah begitu saja bentuk rumahnya; masih nuansa kuno yang oleh orang Madura disebut Roma Pacenan, rumah dengan fitur beranda yang luas sebagai tempat untuk menjamu tamu. Saya pun bertanya banyak tentang beranda. Teman ibu bercerita perihal beranda.

Percakapan ibu dengan teman lamanya sungguh begitu karib, diselingi tawa dan canda khas masa lalunya yang kadang tidak saya pahami. Keduanya seperti tengah meluapkan rasa rindu yang selama ini tertahan. Semua luap dalam aktivitas bertamu siang itu.

  • Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep
  • Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep

Filosofi Beranda bagi Orang Sumenep

Bagi orang Sumenep, Madura, beranda bukan semata fitur eksterior bangunan untuk orientasi estetik. Juga tidak sekadar transformasi desain fasad dari imaji-imaji artistik. Lebih dari itu, ia adalah manifestasi dari karakter ramah pemiliknya. Lambang rasa empati. Atribut kesolidan yang dicandrakan untuk menunjukkan rasa sosial yang tinggi.

Beranda dibangun sebagai podium kultur guna merepresentasikan spirit kesetiakawanan melalui aktivitas moy-tamoyan (kegiatan bertamu), yang biasanya berlangsung dengan komposisi percakapan seputar aktivitas keseharian. Tentu saja dilengkapi dengan seruputan kopi, hidangan camilan, dan nyala rokok yang mengepulkan asap. Semua larut dalam cakap yang setara, upaya menarik simpul temali ukhuwah, agar kian erat dan kuat.

Di beranda, denah posisi antarkursi tamu ditaja saling berhadap-hadapan, meja berada di tengah-tengah sebagai pola sekat minimalis dengan fungsi pokok sebagai tempat saji aneka suguhan. Sehingga dengan posisi seperti itu, percakapan bisa dimungkinkan untuk lebih energik dan komunikatif karena tamu dan tuan rumah bisa saling tatap atau bermuwajahah.

Bagi orang Sumenep, menatap wajah lawan bicara adalah sebuah etika, agar si lawan bicara merasa betul-betul diresapi, direspons, dan dihormati dengan baik. Kecuali ketika lawan bicara adalah orang-orang yang disegani, seperti kiai, guru, mertua, dan lainnya, maka hendaknya direspon dengan cara menunduk takzim. Demikian beranda bagi orang Sumenep dimaknai sebagai tempat pergulatan beragam bentuk etika guna menghadirkan eksistensi diri sebagai manusia yang berbudaya. Beranda juga sebagai bukti historis untuk menaut temali persaudaraan di tengah konfigurasi wilayah hunian yang terpecah-pecah karena terpisah oleh bentang ladang sebagaimana yang digambarkan Ma’arif (2015: 131).

Dari beranda dan percakapan ringan itulah kemudian muncul gagasan-gagasan brilian, rencana-rencana prospektif, yang bersintesis membentuk muara konsensus dari beragam perspektif. Sebagai masyarakat agraris, topik yang sering diperbincangkan di beranda—terutama oleh masyarakat desa—biasanya lebih pada kupasan perihal pertanian. Obrolan seputar etos dan mekanisme kerja agraris itulah yang menggebukan spirit berdiskusi masyarakat Sumenep kian hidup di beranda. Bahkan di masa penjajahan, beranda jadi sentra komunikasi bagi tumbuhnya embrio perjuangan, yang diimplementasikan jadi perlawanan-perlawanan heroik dalam rangka meredam praktik-praktik kolonial yang mengancam kehidupan bangsa dan negara.

Konon, orang Sumenep yang rumahnya tak memiliki beranda, bisa disimpulkan sebagai orang yang cenderung individualis, kurang membuka pintu untuk aktivitas sosial, dan seperti dengan sengaja membuat garis demarkasi yang berjarak dengan interaksi warga pada umumnya. Maka orang-orang menjadi sungkan untuk bertamu.

Kalaupun misalnya di dalam rumah itu ada ruang tamu khusus, tetapi bagi orang Sumenep, ruangan interior lebih dipahami sebagai wilayah privasi, macam semesta mini bagi aktivitas intern keluarga yang bersifat rahasia, atau sebagai tempat barang-barang yang tak boleh dijangkau publik. Itulah alasan deduktif yang lahir atas pertimbangan konstruksi kultur azali yang dianggap—mendekati—suci.

Kiri: Tuan rumah menyajikan kopi dengan posisi gagang cangkir searah tangan kanan tamu. Kanan: Di Sumenep, rokok yang disuguhkan dengan posisi korek ada di atas bungkusnya, itu pertanda rokok tak boleh diambil, tamu yang paham etika akan mengabaikan rokok tersebut. Berbeda jika korek ditaruh di samping bungkus rokok/A. Warits Rovi

Konstruksi Etika di balik Secangkir Kopi

Tradisi bertamu, kopi, dan beranda merupakan media silaturahmi integratif dari budaya luhur yang memiliki rasa sosial yang tinggi. Aktivitas bertemu dan bertamu dimafhumi sebagai ruang berbagi rasa antarjiwa yang didapuk sebagai pondasi primer dalam membangun hubungan yang harmonis, mempererat tali solidaritas, hingga menciptakan ruang komunikasi yang mutualistis.

Spirit bertemu dan bertamu ini oleh tetua Sumenep—dan Madura secara umum—sampai diabadikan dalam pantun lawas yang biasa diucapkan ketika seseorang dengan orang lain lama tidak bertemu: abit ta’ ajamu, orongnga lencak daja; abit ta’ atemmu, kerrongnga tada’ pada. Isi pantun tersebut jika diayak ke dalam redaksi bahasa yang sederhana akan bermakna seperti ini: kita lama tidak bertemu, betapa beratnya rasa rindu.

Rindu adalah emosi personal yang tumbuh kuat karena adanya faktor keterikatan yang intim antara batin ke batin. Kondisi psikologis ini tumbuh dari embrio cinta yang dahsyat—berbiak sebagai taja substantif dalam menakar dan menakir spirit kebersamaan bahkan hingga pada sendi-sendi yang menjurus ke medan kemanusiaan yang terdalam.

Di sela obrolan hangat yang terus berlangsung, kemudian teman ibu itu menyuguhi kami kopi dan camilan. Betapa hati-hatinya ia menurunkan cangkir kopi dari talam ke atas meja, lantas tak lupa memutar cangkir itu perlahan hingga gagangnya tepat sejalur dengan posisi tangan kanan tamu.

Di beranda, konstruksi etika didemonstrasikan sebagai nilai-nilai luhur yang konkret dan elegan. Hal itu bisa dilihat dari cara tuan rumah menyajikan suguhan. Dimulai dengan menyuguhkan secangkir kopi dengan posisi gagang cangkir tepat sejajar dengan tangan kanan si tamu, dengan maksud agar mudah diminum; menjulur rokok yang bungkusnya sudah dibuka, lengkap dengan korek apinya lalu diletakkan secara berjajar. Sebab, jika korek api ditaruh di atas bungkus rokok, hal itu bagi orang Sumenep dimaknai sebagai larangan agar tamu tidak mengambil rokok itu.

Tuan rumah juga disarankan untuk tidak melihat mulut tamu yang mengunyah makanan agar tamu tak merasa sungkan. Si tamu juga punya senarai etika tersendiri; ia tidak boleh mencicipi suguhan tuan rumah sebelum si tuan rumah menyilakan untuk dinikmati. Si tamu tidak etis memakan suguhan tuan rumah dalam porsi yang banyak seperti di rumahnya sendiri.

Selain itu, si tamu tidak etis berbincang tema-tema jorok saat bercakap-cakap, juga tak boleh bercakap dengan suara dan tawa yang nyaring. Si tamu tidak sopan bila menyantap makanan dengan acuh tak acuh, semisal hanya mengulek-ulek hingga berantakan tapi cuma dimakan sedikit, dan masih banyak etika lain dalam aktivitas bertamu. Intinya, beranda adalah ruang demonstrasi etika sekaligus atribut sensitivitas sosial yang merepresentasikan kecenderungan jiwa luhur pemiliknya.

Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep
Tata letak beranda rumah masyarakat Sumenep di masa sekarang untuk menerima tamu/A. Warits Rovi

Menjaga Ruang Temu di tengah Modernisasi

Namun, pada dinamika roda evolusi yang berputar—etika yang maujud sebagai produk kultur—tak melulu berdiri di umpak yang konstan. Ia secara perlahan bermetamorfosa pada  replika baru, tetapi tetap hadir dalam substansi sebagai rumusan nilai-nilai standar umum antara wajar dan tidak atau benar dan salah. Seiring masuknya desain rumah dengan arsitektur kontemporer, maka dengan perlahan, dalam waktu yang agak lama, warga Madura juga mulai adaptif dengan ruang tamu indoor. Walau di luar itu, hati orang Sumenep sebenarnya juga masih tak bisa menampik suara nostalgia beranda—yang keberadaannya tetap lekat dalam hati—dengan ragam kenikmatan esoterisnya yang tak terduakan.

“Tapi di sini cuma rumahku yang masih setia pada bentuk kuno dengan beranda seperti ini. Rumah yang lain sudah modern. Tanpa beranda. Sekadar teras mini untuk dua kursi ala-ala kota yang cukup menghidupkan suasana mengobrol suami-istri, tak representatif jika untuk tamu. Karena saat ini, anak-anak muda tak lagi suka ngobrol di beranda, mereka lebih memilih kafe-kafe,” ucapnya pada ibu, memantul respons yang semipahit bagi diri saya mengingat saya juga termasuk anak muda. Namun, setelah saya pikir dengan cermat, apa yang ia ucapkan itu memang betul.

Seiring dengan evolusi ruang tamu, di luar telah berkelindan laju perubahan cara bertamu yang bermutasi dari rumah ke kafe-kafe. Titik magnetis spirit bertamu di kafe-kafe sebenarnya tetap sama dengan yang di beranda, yaitu adanya faktor kebiasaan ngopi. Ya, lagi-lagi perihal kopi. 

Mutasi hasrat bertamu dari beranda ke kafe-kafe sebenarnya masih tergolong perubahan evolusi yang wajar. Meski dalam satu sisi sedikit merenggangkan kekariban esensial yang kulturnya diwariskan melalui aktivitas moy-tamoyan di beranda, tetapi bertamu di kafe masih melangsungkan sua jasad yang saling berinteraksi secara tatap muka dan melibatkan komunikasi langsung, sehingga interaksi psikologis masih lebih kuat terbangun. 

Lantas bagaimana dengan evolusi hasrat bertamu generasi Alpha di masa depan? Bisa dimungkinkan layar gawai bakal jadi ruang tamu virtual, kopi sudah malih wujud ke bentuk yang artifisial, dan keakraban akan mewujud dalam takar yang semi, semu, bahkan mungkin maya. Dan saat itulah beranda bakal jadi artefak masa lalu yang abadi dalam folder historis—yang mungkin dirindukan atau malah mungkin ditertawakan. Sebab, pada galibnya, masing-masing zaman memiliki eksistensi dan konstruksi etika tertentu yang tidak statis.

Setelah obrolan dirasa cukup, saya sengaja mengajak ibu untuk pulang dengan alasan tertentu. Sebab, obrolan ibu bagai kapal yang tak kunjung menemukan dermaga, terus berlanjut dan berlanjut. Etika tamu adalah tahu diri; siapa tahu tuan rumah masih ada acara, tamu tak boleh terlalu lama agar rencana tuan rumah tak terganggu.


Referensi:

Ma’arif. (2015). The History of Madura. Yogyakarta: Araska.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/beranda-kopi-etika-bertamu-masyarakat-sumenep/feed/ 0 45881
Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu https://telusuri.id/sejarah-garam-madura-tak-semanis-madu/ https://telusuri.id/sejarah-garam-madura-tak-semanis-madu/#respond Thu, 20 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45702 Antropolog Sidney W. Mintz menuliskan karya monumentalnya yang berjudul Sweetness and Power: The Place of Sugar in Modern History (1985). Karya tersebut mengisahkan bahwa sejarah gula tidaklah semanis yang dibayangkan, tetapi penuh dengan eksploitasi buruh,...

The post Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu appeared first on TelusuRI.

]]>
Antropolog Sidney W. Mintz menuliskan karya monumentalnya yang berjudul Sweetness and Power: The Place of Sugar in Modern History (1985). Karya tersebut mengisahkan bahwa sejarah gula tidaklah semanis yang dibayangkan, tetapi penuh dengan eksploitasi buruh, penjajahan, perbudakan, dan pamer kekayaan. Indonesia tentu paham betul dengan kondisi ini. Di sekolah-sekolah, sejarah Indonesia diajarkan sebagai penjajahan yang mengejar komoditas yang kini sepele, tetapi dulu jadi rebutan, seperti pala dan cengkih.

Tentu, pelajaran sekolah tidak bisa mencakup semua sejarah di Indonesia. Apalagi, sejarah komoditas yang menyimpan banyak cerita ini bisa berbeda-beda dari satu wilayah ke wilayah lain. Kisah tersebut jadi makin seru karena komoditas bukan hanya berpengaruh di tempatnya berasal, melainkan “bertualang” melalui proses pengangkutan ke tempat-tempat lainnya. Untuk itu, sejarah “petualangan” komoditas tersebut perlu dilengkapi dengan catatan-catatan dari masing-masing komoditas dan daerah. 

Buku Sejarah Garam Madura: Rivalitas Pengangkutan Garam Madura 1912–1981 adalah salah satunya. Buku yang ditulis Imam Syafi’i ini diangkat dari tesisnya di Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro. Pembahasannya berfokus pada aspek penting dalam pengelolaan komoditas, yakni pengangkutan, khususnya garam Madura. Jadi, bagaimanakah rasa petualangan garam?

Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu
Sampul buku Sejarah Garam Madura karya Imam Syafi’i terbitan LIPI/Meita Safitri via LIPI

Sejarah Madura: Di Antara Tegalan dan Pantai

Sebelum bertualang, hendaknya kita mengenali wilayah keberangkatan. Syafi’i memulai dengan membedah ekologi Madura terlebih dahulu melalui pendekatan ekologi budaya, yakni adaptasi konsep dan asas ekologi pada aspek-aspek spesifik partikular dari kehidupan sosial dan kebudayaan manusia (hal. 13). Hasilnya, Syafi’i melihat industri garam di Madura dibentuk oleh ekologi pesisir.

Garam Madura memang sudah terkenal. Banyak kajian yang membahasnya. Namun, Madura juga dikenal karena pertaniannya, seperti yang dituliskan sejarawan Kuntowijoyo dalam Perubahan Sosial Pada Masyarakat Agraris: Madura 1850‒1940 (2002). Sayangnya, Kuntowijoyo meletakkan garam Madura dalam sudut pandang ekologi pertanian atau disebutnya “ekologi tegalan” (hal. 14). 

Itu sebabnya, Syafi’i merasa perlu menjelaskan ekologi pesisir sebagai latar garam Madura, dari curah hujan, angin, sampai salinitas (keasinan) air laut (hal. 27) yang seolah-olah menakdirkan garam untuk Madura. Tidak hanya geografi Madura, tetapi juga kependudukan serta pergantian kekuasaan di Madura turut berpengaruh, terutama karena kepemilikan tanah yang bergantung pada pihak yang berkuasa (hal. 43). Aspek penting lainnya adalah komunitas masyarakat yang terlibat dalam industri garam tersebut, atau “masyarakat pegaraman” tersebut, mulai dari interaksi dengan VOC sampai pedagang Arab dan Tionghoa.

Suasana tambak garam di Madura (kemungkinan Sumenep), 1920/KITLV

Garam dan Kekuasaan

Kekuasaan memang memiliki pengaruh utama. Madura bukanlah tempat pertama penghasil garam di Nusantara. Garam merupakan komoditas yang dihasilkan di banyak daerah di pantai utara Jawa. Namun, sejak 1870 industri garam dibatasi oleh pemerintah kolonial hanya dilakukan di Madura (hal. 57). Pegaraman, atau disebut paderen, juga dibagi dua: menjadi milik rakyat dan pemerintah kolonial. Industri garam diatur dalam sistem monopoli pemerintah kolonial yang disebut zoutregie. Rakyat yang ingin memproduksi garam perlu memperoleh izin terlebih dahulu dari pemerintah kolonial berupa pepel.

Produksi garam dilakukan secara sederhana dengan membuat plot-kolam pembuatan garam. Produksinya amat bergantung kondisi alam, sehingga terkadang produksinya bisa berlebih atau bahkan berkurang. Monopoli pemerintah kolonial mengatur jumlah produksi ini serta menyimpan stok di gudang. Contohnya pada 1928, produksi garam dibatasi karena jumlahnya sudah berlimpah akibat kemarau panjang pada 1925–1926 (hal. 62). Monopoli ini bahkan bertahan sampai setelah kemerdekaan dan secara resmi tidak diberlakukan lagi pada 1957 (hal. 86).

Kelompok penghasil garam disebut mantong. Oleh Kuntowijoyo, kelompok ini terbagi menjadi pemilik lahan sekaligus petani garam dan pegawai yang mengurus hal lainnya, seperti administrasi (hal. 66–67). Syafi’i menambahkan bahwa ada kelompok lain, yakni pekerja pengangkutan garam (hal. 70). Pengangkutan ini tidak lepas dari sektor pelabuhan dan pergudangan garam. 

Tiga pelabuhan utama industri garam di Madura adalah Pelabuhan Kalianget, Pelabuhan Kertasada, dan Pelabuhan Pantai di Muara Sungai Raja (hal. 71). Urusan pengangkutan kadang menggunakan perahu tradisional yang disebut janggolan. Gudang disiapkan untuk menyimpan garam baik di area pegaraman dan gudang di beberapa wilayah distribusi yang dimiliki oleh beberapa cabang niaga Perusahaan Garam (hal. 77). Menelusuri pergudangan ini menunjukkan kita lokasi-lokasi garam “berkelana” dari Tjepper (Vorstenlanden), Selatpandjang dan Tandjoengbalai (pantai timur Sumatra), Emmahaven (pantai barat Sumatra), Koeala Kapoeas (Kalimantan), serta Bintoehan (Bengkulu).

Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu
Perahu janggolan di muara Sungai Rajeh Sreseh, Kabupaten Sampang, yang sudah digunakan sejak abad ke-19/Dokumentasi Imam Syafi’i tahun 2012

Perjalanan dan Pengangkutan Garam

Setelah melihat produksi garam, menarik untuk menelusuri penyebarannya, terutama melalui proses pengangkutannya. Pengangkutan ini meliputi pengangkutan via darat maupun laut. Lagi-lagi, bukti sejarah menunjukkan bahwa pengangkutan garam via darat bahkan telah ditemukan di Pariaman, bukan hanya di Madura. Ini makin menunjukkan bahwa industri garam Madura amat dibentuk oleh kekuasaan pemerintah kolonial. 

Dengan kebijakan monopoli, industri garam Madura berkembang seiring dengan usaha penangkapan dan pengolahan ikan. Monopoli memerlukan pengaturan pengangkatan karena dampaknya pada harga garam. Tidak jarang, monopoli pengangkutan dan penjualan ini dilawan melalui penyelewengan, seperti yang dilakukan empat perempuan pada 1935 (hal. 97).

Di laut, monopoli pemerintah telah menetapkan perusahaan tertentu untuk mengangkut garam, yakni KPM, MSM, dan kemudian OJZ (hal. 99). KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) merupakan perusahaan milik Kerajaan Belanda. Monopoli pengangkutan garam diberikan pada perusahaan ini pada 1894. Perusahaan lain yang mendapatkan hak monopoli tersebut adalah MSM (Madoera Stoomtram Maatschappij), perusahaan swasta.

Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu
Foto seorang nakhoda dan anak buah kapal perahu janggolan. Keduanya berada di salah satu studio foto di Palembang setelah mengangkut ga-ram dari Madura ketika menunggu muatan kayu menuju Jakarta/Dokumentasi Maksum tahun 1983

Monopoli ini kemudian menjadi bumerang karena mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk kedua perusahaan tersebut. Untuk mengatasinya, dibentuklah dinas pengangkutan garam yang disebut OJZ (Oost-Java Zeevervoer) pada 1912. KPM kerap beraktivitas di Pelabuhan Kalianget, sedangkan OJZ di pelabuhan lainnya. Ironisnya KPM tetap mendominasi, yang salah satunya ditandai dengan jumlah pengangkutan yang dilakukan KPM jauh lebih besar dibanding OJZ pada 1935.

Garam Madura Sepeninggal Belanda

Setelah Belanda terusir dari Indonesia, industri garam Madura turut berubah. Data di masa Jepang sulit ditemukan sehingga yang bisa dilihat adalah setelah kemerdekaan. Sebelumnya telah disinggung bahwa monopoli garam baru dihapuskan pada 1957. Di sektor pengangkutan, monopoli ini mulai dilonggarkan sejak 1908 dengan membuka kesempatan pengangkutan oleh pelayaran swasta.

Pada 1950-an, swasta ini berkembang menjadi kongsi. Sistem kongsi setelah kemerdekaan ini banyak juga yang dilakukan orang Tionghoa. Meski demikian, ada pula kongsi yang dimiliki oleh orang Madura sendiri. Namun, di kongsi Tionghoa pekerjanya juga merupakan orang Madura. Di masa kongsi ini bahkan terjadi “swasembada garam” yakni pada 1952 dengan ekspor garam ke Jepang.

Sayangnya, menurut Syafi’i, kongsi tidak berbeda dengan monopoli karena kuatnya pengaruh perusahaan garam. Setelah monopoli dihapuskan pada 1957, aktor lokal mulai mengambil pengaruh. Ini terutama dilakukan masyarakat menggunakan janggolan. Sistem pengaturan keuntungannya adalah bagi hasil atau telon (hal. 122).

Bukan berarti bahwa masyarakat Madura di masa sebelumnya tidak berperan. Peran mereka ada, tetapi tertutupi dengan dominasi monopoli perusahaan. Industri garam sendiri justru amat berpengaruh pada kehidupan masyarakat, baik ekonomi maupun sosial budaya. Itu sebabnya, ekologi Madura penghasil garam ini oleh Syafi’i disebut ekologi pesisir, yang berbeda dengan ekologi sawah maupun tegalan. Untuk membaca lebih lengkap, buku ini dapat diunduh gratis melalui situs penerbitnya di tautan LIPI Press (sekarang Penerbit BRIN).


Judul buku: Sejarah Garam Madura: Rivalitas Pengangkutan Garam Madura 1912–1981
Penulis: Imam Syafi’i
Penerbit: LIPI Press
Cetakan: Pertama, Desember 2021
Tebal: xxv + 186 halaman
ISBN: 978-602-496-296-8

Foto sampul oleh Meita Safitri via LIPI


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sejarah-garam-madura-tak-semanis-madu/feed/ 0 45702
Renungan Kehidupan Alam Liar di Taman Nasional Tanjung Puting https://telusuri.id/renungan-kehidupan-taman-nasional-tanjung-puting/ https://telusuri.id/renungan-kehidupan-taman-nasional-tanjung-puting/#respond Thu, 13 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45643 Pada tahun 2024, langkah kaki saya bersama empat sahabat membawa kami menyelami harmoni alam di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Di tempat ini, kami belajar tentang konservasi, keberlanjutan, dan menghargai kehidupan di habitat liar...

The post Renungan Kehidupan Alam Liar di Taman Nasional Tanjung Puting appeared first on TelusuRI.

]]>
Pada tahun 2024, langkah kaki saya bersama empat sahabat membawa kami menyelami harmoni alam di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Di tempat ini, kami belajar tentang konservasi, keberlanjutan, dan menghargai kehidupan di habitat liar flora fauna endemis Kalimantan, khususnya para penghuni alam yang menjadi ikon hutan tropis, orang utan.

Saat klotok (kapal kayu) melaju perlahan di permukaan Sungai Sekonyer yang tenang, desiran air seolah bernyanyi, melatari suasana yang syahdu. Klotok ini bukan hanya sekadar transportasi, melainkan juga rumah kecil kami selama beberapa hari di tengah belantara Kalimantan. Atapnya menjadi pelindung dari terik siang.

Renungan Kehidupan Alam Liar di Taman Nasional Tanjung Puting
Speed boat warga melintasi Sungai Sekonyer. Sungai ini juga menjadi jalur transportasi klotok tamu wisata yang berkunjung ke Tanjung Puting/Wiwik Eka Nopariyanti

Pertemuan Pertama dengan Para Penghuni Hutan

Taman nasional seluas 416.040 hektare ini memiliki sejumlah camp yang menjadi pusat kegiatan konservasi sekaligus tempat terbaik untuk menyaksikan kehidupan satwa liar di habitat aslinya. Setiap camp memiliki keunikan dan kisahnya sendiri.

Perjalanan kami dimulai di Camp Tanjung Harapan, yang menjadi pintu masuk menuju dunia orang utan. Di sini kami bertemu dengan Roger, sang raja orang utan, yang namanya sudah menjadi legenda di kalangan para ranger dan wisatawan. Ketika klotok mendekati dermaga, kami bisa melihat siluet Roger duduk dengan angkuh di atas dahan pohon yang tinggi.

“Roger itu spesial,” kata Bang Andi sambil tersenyum. Ia adalah pemandu kami yang berasal dari desa sekitar. “Dia bukan hanya pemimpin kelompok di sini, tapi juga lambang kekuatan hutan ini.” Struktur wajah Roger yang lebar dengan pipi tebal atau flange menandakan bahwa ia adalah orang utan jantan dominan. Saat feeding station mulai diisi dengan buah-buahan oleh para ranger, Roger turun perlahan dengan gerakan penuh percaya diri.

Kami menyaksikan bagaimana Roger, dengan kesabaran dan wibawa, memonopoli santapan pertamanya. Tidak ada orang utan lain yang berani mendekat sebelum Roger selesai. Ini adalah salah satu aturan tidak tertulis di hutan yang mereka patuhi dengan naluri alamiah. Melihat Roger menikmati makanannya, saya merasa seolah-olah ia adalah penjaga takhta hutan yang sedang memberi restu kepada pengikutnya.

Destinasi berikutnya adalah Camp Pondok Tanggui, yang terkenal sebagai tempat perlindungan bagi orang utan betina dan anak-anaknya. Di sinilah kami melihat kehidupan orang utan yang lebih lembut dan penuh kasih. Suasana di Pondok Tanggui terasa berbeda, lebih damai, seperti taman kanak-kanak di tengah hutan.

Renungan Kehidupan Alam Liar di Taman Nasional Tanjung Puting
Induk orang utan sedang menikmati santapan siang bersama anaknya di camp Pondok Tanggui/Wiwik Eka Nopariyanti

Di Pondok Tanggui, kami disambut oleh suara gemuruh orang utan betina dan anaknya bergelantungan di atas pohon. Kami melihat induk orang utan menggendong anak-anaknya yang masih kecil, melindungi mereka dari bahaya sambil mengajarkan cara bertahan hidup. Para ranger di sini bekerja keras memastikan makanan tersedia untuk para betina, terutama yang sedang menyusui. Pondok Tanggui adalah gambaran tentang hutan yang tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga sekolah kehidupan bagi para penghuninya.

Di pusat rehabilitasi Camp Leakey, yang menjadi tempat perhentian terakhir dan salah satu camp paling terkenal, kami melihat langsung bagaimana orang utan yang sebelumnya kehilangan habitatnya kini dilatih untuk kembali ke alam liar. Camp Leakey, yang didirikan oleh peneliti legendaris Biruté Galdikas pada tahun 1971, menjadi jantung konservasi di Tanjung Puting. Tempat ini tidak hanya memulihkan orang utan, tetapi juga mengajarkan kita, manusia, tentang pentingnya keseimbangan alam dan peradaban.

Tidak hanya orang utan, dari atas klotok kami juga berkesempatan melihat bekantan, primata berhidung panjang yang jenaka. Bekantan, yang sering dijuluki “monyet Belanda” karena hidung mancungnya, hidup berkelompok di sekitar tepian sungai. Gerakan mereka yang gesit tapi penuh kehati-hatian mengajarkan kami untuk selalu menjaga keseimbangan dalam setiap langkah kehidupan.

“Sungguh menyenangkan melihat bekantan di habitat aslinya,” ujar salah satu teman saya. Kami merasa sangat beruntung bisa menyaksikan kawanan bekantan dari jarak sedekat ini, apalagi di tengah suasana hutan yang masih alami. Polah lucu dan wajah unik dari bekantan mengingatkan kami betapa pentingnya menjaga ekosistem hutan agar tetap menjadi rumah yang aman bagi mereka.

Pemandangan itu membuat kami larut dalam kegembiraan yang sederhana. Dari atas klotok, kami tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga merasa menjadi bagian kecil dari dunia yang lebih besar, dunia yang penuh kehidupan dan keajaiban, di mana manusia dan alam bisa saling berbagi ruang secara harmonis. Di antara gemerisik daun dan suara aliran sungai, tawa kami bercampur dengan decak kagum, menciptakan kenangan yang tak akan pernah terlupakan.

Renungan Kehidupan Alam Liar di Taman Nasional Tanjung Puting
Induk bekantan dan anaknya tengah bersantai di pohon sekitar Sungai Sekonyer/Wiwik Eka Nopariyanti

Ancaman Ekspansi Sawit dan Upaya Pelestarian

Di tengah perjalanan menyusuri Sungai Sekonyer, klotok kami perlahan mendekati sebuah pemandangan yang tak biasa. Dua aliran sungai bertemu dalam garis yang sangat kontras: satu berwarna kehitaman, sementara yang lainnya kecokelatan. Bang Andi menjelaskan dengan nada penuh keprihatinan, “Yang hitam itu warna alami Sungai Sekonyer, hasil dari serasah daun-daun di hutan gambut. Sedangkan yang coklat itu sudah terkontaminasi oleh limbah perkebunan kelapa sawit di hulu sana.”

Pemandangan itu seakan menjadi batas nyata antara dua dunia yang bertolak belakang. Di satu sisi, hutan konservasi tampak subur dengan pepohonan besar yang berdiri gagah, memberikan kehidupan bagi ribuan spesies yang bergantung padanya. Sementara di sisi lain, hutan yang telah berubah menjadi kebun kelapa sawit terlihat monoton, hanya deretan pohon homogen tanpa keanekaragaman. “Kalau kalian lihat dari atas, garisnya lebih jelas lagi,” lanjut Bang Andi, “hutan konservasi itu seperti paru-paru hijau yang hidup, sementara yang sawit kelihatan tandus dan kaku.”

Melihat langsung dampak perbedaan ini begitu menyentuh. Air sungai kecokelatan menunjukkan kegiatan manusia di hulu dapat mengubah ekosistem yang dulunya murni. Kontaminasi itu tak hanya merusak keindahan visual sungai, tetapi juga mengancam kehidupan di dalamnya. Bang Andi menambahkan bahwa banyak ikan yang dulunya hidup di Sungai Sekonyer kini semakin sulit ditemukan di bagian sungai yang tercemar.

Pemandangan pertemuan dua sungai ini, meskipun indah dengan cara yang mengundang rasa takjub, juga menyimpan pelajaran pahit tentang apa yang hilang ketika alam tidak dihormati. Saya tertegun memikirkan kehidupan di hutan yang berjuang untuk tetap bertahan di tengah tekanan manusia yang terus mendesak.

Kontradiksi itu menjadi pengingat bahwa ada pilihan yang harus kita buat. Apakah kita akan terus membiarkan sungai dan hutan ini perlahan kehilangan jiwanya, atau kita bisa menjadi bagian dari perjuangan untuk menjaga harmoni yang tersisa? Di atas klotok, saya merenung. Pertemuan ini bukan sekadar tentang dua sungai, melainkan dua kemungkinan masa depan.

Suatu pagi di atas klotok, Bang Andi bicara serius. Ia menunjuk pada tepian sungai yang gundul, bekas dari deforestasi yang terjadi beberapa tahun lalu. “Hutan ini memang masih indah, tapi sudah banyak bagian yang hilang. Dulu di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah hulu, “adalah tempat bekantan dan orang utan bermain. Sekarang habis semua karena dijadikan kebun sawit.

Ancaman pembukaan lahan kelapa sawit menjadi kenyataan yang pahit bagi Tanjung Puting. Ekspansi perkebunan sering kali merambah batas hutan, merampas rumah bagi banyak spesies yang bergantung pada ekosistem ini. Satwa-satwa seperti orang utan dan bekantan kehilangan tempat tinggalnya, bahkan kerap ditemukan kelaparan karena kekurangan makanan alami. Selain itu, praktik pembakaran hutan untuk membuka lahan menyebabkan kebakaran besar yang merusak ekosistem secara masif.

Sebagai salah satu taman nasional yang paling penting di dunia dalam upaya pelestarian hutan tropis dan keanekaragaman hayati, pemerintah bersama beberapa organisasi lokal dan internasional terus berupaya melakukan reboisasi dan memerangi pembukaan lahan ilegal untuk melindungi Tanjung Puting. Namun, upaya tersebut membutuhkan dukungan dari semua pihak, termasuk wisatawan seperti kami, untuk lebih peduli terhadap dampak lingkungan dari setiap pilihan konsumsi yang kami buat.

Renungan Kehidupan Alam Liar di Taman Nasional Tanjung Puting
Klotok menyusuri Sungai Sekonyer membelah hutan rawa Tanjung Puting yang tenang dan damai/Wiwik Eka Nopariyanti

Pengalaman Magis dan Pesan untuk Pembaca

Saat malam tiba di atas klotok, hutan di sepanjang Sungai Sekonyer berubah menjadi panggung gelap yang penuh misteri. Gemuruh jangkrik, suara burung hantu, dan gesekan dedaunan menjadi orkestra malam yang mengiringi kami tidur. Namun, momen paling membius terjadi ketika saya membuka pintu klotok dan menatap langit. Ribuan bintang seperti berlomba-lomba bersinar, cahayanya terpantul di permukaan sungai yang tenang. Saya terdiam, merasa kecil di tengah alam semesta yang begitu luas.

Sementara pada pagi hari, kabut tipis menyelimuti hutan, menciptakan suasana magis. Siluet pohon-pohon besar berdiri gagah, seperti penunggu setia yang menjaga rahasia hutan ini. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata, perasaan damai sekaligus takjub yang hanya bisa dirasakan ketika benar-benar menyatu dengan alam.

Saya teringat momen ketika melihat seekor owa kalimantan melompat dari satu dahan ke dahan lainnya dengan lincah. Gerakannya seperti tarian yang penuh kebebasan, mengingatkan saya bahwa hutan ini adalah panggung alam yang luar biasa. Bahkan laba-laba kalimantan yang menjalin jaringnya dengan hati-hati tampak seperti seorang seniman yang menciptakan mahakarya. Setiap sudut hutan Tanjung Puting—suara maupun embusan angin—menyampaikan pesan yang sama: hidup ini penuh dengan keajaiban yang sederhana, tetapi mendalam.

Renungan Kehidupan Alam Liar di Taman Nasional Tanjung Puting
Seekor owa kalimantan yang sedang beristirahat setelah melompat dari satu pohon ke pohon lainnya/Wiwik Eka Nopariyanti

Saat kami meninggalkan Tanjung Puting, kami membawa pulang lebih dari sekadar foto dan kenangan. Kami membawa pemahaman baru tentang tanggung jawab untuk menjaga bumi, rumah bagi semua makhluk hidup. Kita adalah penjaga, bukan penguasa. Kita tidak bisa memisahkan kehidupan manusia dari alam, karena napas kita adalah hasil dari dedaunan yang berfotosintesis, dan jejak kaki kita akan selalu beriringan dengan jejak makhluk lain di bumi ini.

Jika kalian punya kesempatan, datanglah ke Tanjung Puting. Rasakan sendiri keajaiban hutan tropis yang begitu hidup. Datanglah dengan hati yang tulus untuk belajar, bukan hanya sekadar kagum. Karena setiap langkah yang kalian ambil di tanah ini, adalah janji untuk melindunginya. Hutan Kalimantan menanti kalian, seperti halnya ia telah menyambut saya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Renungan Kehidupan Alam Liar di Taman Nasional Tanjung Puting appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/renungan-kehidupan-taman-nasional-tanjung-puting/feed/ 0 45643
Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol” https://telusuri.id/resensi-buku-perempuan-di-titik-nol/ https://telusuri.id/resensi-buku-perempuan-di-titik-nol/#comments Mon, 10 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45597 “Besok pagi saya tak akan berada di sini lagi. Saya juga tidak akan berada di tempat mana pun yang diketahui orang. Perjalanan ke suatu tempat yang tak seorang pun di dunia ini tahu letaknya, memenuhi...

The post Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol” appeared first on TelusuRI.

]]>

“Besok pagi saya tak akan berada di sini lagi. Saya juga tidak akan berada di tempat mana pun yang diketahui orang. Perjalanan ke suatu tempat yang tak seorang pun di dunia ini tahu letaknya, memenuhi diri saya dengan bangga.”

Saya cukup mengenal sampul merah buku Perempuan Di Titik Nol, yang sering saya dapati di sejumlah kawan semasa kuliah kurang lebih tujuh tahun lalu. Saya hanya membaca beberapa halaman saja, itu pun saya pinjam secara gratis dari sebuah komunitas baca di Sulawesi. Entah kenapa, tetapi buku itu tidak saya baca tuntas.

Di tahun 2024, saya kembali melihatnya sering melewati beranda Instagram saya. Rasa penasaran itu muncul kembali, ditambah memang sedang berencana membeli beberapa buku di Buku Akik Jogja. Akhirnya Perempuan Di Titik Nol jadi salah satu buku yang saya adopsi saat itu.

  • Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol”
  • Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol”

Membaca Nawal el-Saadawi yang Tajam dan Penuh Empati

Membaca kembali terjemahan karya Nawal el-Saadawi di kedai kopi favorit, perasaan saya campur aduk. Buku ini berukuran mini, tidak terlalu tebal. Namun, sampulnya sudah memberi saya sedikit gambaran betapa berat kisah di dalamnya. Saya sudah banyak mendengar tentang betapa menggugahnya cerita ini, tetapi tetap saja, saya tidak sepenuhnya siap untuk perjalanan emosional yang akan saya hadapi. Namun, akhirnya saya tidak tertahankan untuk membacanya.

Baru halaman pertama, saya langsung tertarik dengan gaya penulisan Nawal. Ia langsung mengajak saya memasuki dunia yang gelap dan penuh penderitaan. Nawal dengan tajam menggambarkan berbagai bentuk ketidakadilan, mulai dari patriarki, penindasan, hingga kebijakan sosial yang menekan perempuan. Meski demikian, ada sisi positif yang muncul: kegigihan bertahan hidup, keinginan menemukan kebebasan, dan tentu saja, keberanian berbicara. Gaya penulisan Nawal sangat tegas dan penuh empati, membuat saya bisa mengalami perasaan Firdaus, tokoh utama buku ini, tanpa harus melalui pengalaman yang sama. Buku ini juga penuh dengan kritik sosial yang relevan, baik masa dulu maupun sekarang.

Firdaus adalah perempuan Mesir yang sejak kecil sudah hidup dalam kekerasan dan ketidakadilan. Sejak awal cerita, Firdaus dijadikan narator yang menceritakan perjalanan hidupnya dalam bentuk monolog kepada seorang psikiater di penjara, tempat ia menunggu hukuman mati. Firdaus bukan sekadar perempuan biasa; ia adalah simbol dari banyak perempuan di dunia yang terpaksa berjuang untuk bertahan hidup di tengah penindasan dan kekerasan yang diterima tanpa ampun.

Firdaus lahir dari keluarga miskin. Ayahnya, yang sangat kasar, kerap melakukan kekerasan terhadap ibunya, hingga ibunya meninggal dunia. Sejak kecil, Firdaus sudah menyaksikan kekerasan tersebut, dan tanpa tahu mengapa, ia merasa bahwa hidupnya tidak jauh berbeda dari penderitaan yang dialami oleh ibunya. Ketika ayahnya meninggal, Firdaus dipindahkan ke rumah paman yang lebih buruk lagi perlakuannya. Sang paman mengabaikan segala haknya sebagai seorang perempuan dan manusia.

Di usia muda, Firdaus mulai mengalami kekerasan seksual. Ia dijadikan objek pemuas nafsu tanpa ada perlindungan dari siapa pun. Bahkan ketika ia berusaha mencari pendidikan untuk mengubah nasib, kehidupan tidak memberinya kesempatan itu. Firdaus menjadi korban pertama dari sistem sosial yang sangat diskriminatif terhadap perempuan. Tak heran jika Firdaus kemudian tumbuh menjadi sosok perempuan yang merasa asing dengan dunia, bahkan merasa dunia tidak memberinya tempat yang layak dan aman untuk seorang perempuan.

Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol”
Saat sang paman berlaku buruk, halaman 70/Clementina HB Putri

Perempuan dan Pertahanan Hidup

Saya merasa sangat tersentuh dan marah sekaligus saat membaca kisah Firdaus. Betapa berat hidup yang ia jalani. Seolah-olah dari satu penderitaan ke penderitaan lain, dunia tidak memberinya kesempatan untuk melarikan diri. Ia mulai bekerja sebagai seorang pekerja seks setelah merasa tidak ada pilihan lain. Namun, saya tahu bahwa kisahnya belum berakhir, dan ternyata, ada lebih banyak lagi yang akan saya temui dalam perjalanan hidupnya melalui buku ini.

Salah satu hal yang paling menarik bagi saya adalah Firdaus tidak menyerah begitu saja pada dunia yang penuh dengan ketidakadilan dan eksploitasi. Ia berusaha mencari kebebasan fisik, emosional, dan mental. Di tengah keterpurukan, meskipun pahit, ia menemukan cara untuk bertahan hidup dan menjadi mandiri secara finansial. Itu adalah bagian dari cerita yang menurut saya yang cukup kompleks tentang terjebaknya perempuan dalam siklus kekerasan, tetapi juga berusaha keras untuk mencari ruang hidup di tengah penindasan tersebut.

Namun, semakin saya membaca, semakin saya merasakan cerita ini bukan hanya tentang Firdaus. Cerita ini lebih besar dari itu. Ini adalah cermin dari banyak perempuan yang terjebak dalam sistem sosial, yang saat ini masih realistis jika dikatakan cukup menindas. Nawal dengan sangat tajam menggambarkan cara dunia patriarki bekerja: perempuan dianggap lebih rendah, tubuh mereka dimiliki masyarakat, dan kebebasan mereka dibatasi oleh norma-norma yang timpang. Setiap halaman terasa seperti kritik terhadap sistem yang memperlakukan perempuan sebagai objek semata, dan itu masih berlaku sampai hari ini.

Ada satu momen yang membuat saya benar-benar terkejut dan tercengang, ketika akhirnya Firdaus memutuskan untuk membunuh seorang pria yang telah lama mengeksploitasinya. Saya tahu bahwa tindakan itu adalah puncak dari sebuah proses panjang yang penuh dengan penderitaan. Itu adalah bentuk pemberontakan terakhir yang Firdaus bisa lakukan. Sebuah cara untuk menghentikan siklus kekerasan yang telah membelenggunya sepanjang hidup, serta merasa hidup sebagai manusia dan perempuan. Tindakan itu mengundang banyak perasaan dalam diri saya. Tidak hanya marah, tetapi juga empati dan rasa hormat terhadap keberanian Firdaus mengambil kendali atas nasibnya.

Dalam dunia yang tidak memberinya ruang untuk bernapas, dia memilih untuk melawan dengan cara paling ekstrem, tapi bisa dimengerti. Mungkin itu adalah cara terakhirnya untuk menemukan kebebasan yang selama ini ia cari. Dan meskipun saya tahu ini adalah keputusan yang sangat radikal, saya bisa merasakannya—hasil dari tahun-tahun penindasan yang tak terhitung jumlahnya.

Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol”
Nawal el Saadawi, penulis feminis dari Mesir/David Degner via Getty Images

Perjuangan Tetap Ada dan Hidup

Buku ini bukan hanya tentang kekerasan dan penderitaan. Ada kekuatan yang sangat dalam dan kuat yang terpancar dari kisah Firdaus. Itu adalah kekuatan perempuan, yang meskipun sering kali tidak diberi ruang untuk tumbuh, memiliki potensi untuk mengubah nasib mereka. Firdaus, dalam segala kesulitannya, menunjukkan kepada saya bahwa perempuan punya hak untuk memperjuangkan kebebasan mereka. Buku ini mengajarkan saya bahwa kebebasan bukanlah sesuatu yang bisa diberikan begitu saja, melainkan harus diperjuangkan, bahkan jika itu berarti harus melawan dunia yang menekan.

Setelah selesai membaca, saya merasa sangat penuh dengan berbagai macam perasaan marah, sedih, tetapi juga terinspirasi. Perempuan di Titik Nol bukanlah buku yang ringan untuk dibaca. Saya menyelesaikannya dengan sekali duduk dan segelas daily latte ice less sweet dengan dada yang beberapa kali bergetar. Kisahnya sangat gelap, dan terkadang membuat saya merasa tak berdaya dan frustrasi. Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang begitu kuat dalam buku ini, yang membuat saya merasa lebih sadar tentang betapa pentingnya memperjuangkan hak perempuan dan memberi mereka ruang untuk berkembang.

Saya juga merasa bahwa ini adalah buku yang sangat relevan, bukan hanya untuk konteks Mesir atau dunia Arab, melainkan juga banyak perempuan di seluruh dunia yang masih berjuang melawan patriarki dan penindasan. Firdaus mungkin bukan perwakilan dari semua perempuan. Namun, kisahnya adalah simbol dari banyak perempuan yang terjebak dalam kehidupan yang tidak mereka pilih, yang berusaha meraih kebebasan dengan cara mereka sendiri.

Secara keseluruhan, membaca Perempuan di Titik Nol adalah pengalaman yang sangat menggetarkan hati. Buku ini lebih dari sekadar kisah, memberi pelajaran yang dalam tentang keadilan, kebebasan, dan kekuatan perempuan. Meskipun saya merasa sedih dan marah sepanjang membaca buku ini, saya juga merasa sangat dihargai oleh kisah yang ditulis dengan penuh keberanian dan empati oleh Nawal El Saadawi. Ini adalah buku yang akan terus terngiang di benak saya, mengingatkan saya tentang pentingnya melihat dunia melalui mata perempuan yang sering kali terabaikan dan tertindas.

Saya rasa, Perempuan di Titik Nol adalah buku yang wajib dibaca oleh siapa pun (pria dan wanita) yang ingin lebih memahami tentang ketidakadilan sosial, sistem patriarki, dan bagaimana perjuangan perempuan harus terus berlanjut. Sebab, di balik segala penderitaan yang ditulis dalam buku ini, ada satu pesan yang sangat jelas: kebebasan itu harus diperjuangkan, dan perempuan tidak akan pernah berhenti berjuang sampai kapan pun, bahkan jika napas sudah di ujung tanduk. Perjuangan itu tetap ada dan hidup.


Judul: Perempuan di Titik Nol
Penulis: Nawal el-Saadawi
Pengantar: Mochtar Lubis
Penerjemah: Amir Sutaarga
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tebal: 176 Halaman, 11×17 cm
ISBN: 978-602-433-438-3


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/resensi-buku-perempuan-di-titik-nol/feed/ 1 45597
Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen https://telusuri.id/semalam-di-gili-iyang-si-pulau-oksigen/ https://telusuri.id/semalam-di-gili-iyang-si-pulau-oksigen/#respond Mon, 30 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44795 Bagaimana rasa udara di tempat berkadar oksigen tertinggi? Apakah lebih segar dan helaan kita bakal lebih dalam? Atau tubuh akan lebih energik usai bernapas? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak saya pada suatu pagi di Pelabuhan...

The post Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagaimana rasa udara di tempat berkadar oksigen tertinggi? Apakah lebih segar dan helaan kita bakal lebih dalam? Atau tubuh akan lebih energik usai bernapas? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak saya pada suatu pagi di Pelabuhan Dungkek, Sumenep. Pandangan saya mengarah ke sebuah daratan di seberang timur, yaitu Gili Iyang, si Pulau Oksigen.

Lantaran kadar oksigennya yang disebut-sebut paling tinggi nomor dua di dunia, konon, warga di pulau tersebut dapat hidup lebih sehat dan panjang. Agaknya, Odeng, kawan saya yang tempo hari mengajak ke Kangean, begitu penasaran soal itu. Alhasil, kami pun berkunjung ke Gili Iyang.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Para awak gagah berani berdiri di tepi perahu/Asief Abdi

Menyeberang ke Gili Iyang

Usai menunggu sekitar satu jam hingga kapal penuh muatan, akhirnya sang juru mudi menyalakan mesin. Sampan pun memutar haluan dan melaju. Meski sempit, selat yang kami lintasi sama sekali tak ramah. Ombak mengempas, menggoyang badan perahu hingga miring. Untung motor penumpang sudah diikat kuat oleh kru kapal. Kalau tidak, mungkin motor saya sudah nyemplung ke laut. 

Para awak dengan gagah berdiri di tepi sampan. Kaki mereka cekatan mencari pijakan, sementara tangan mengikat terpal penutup agar serpih ombak tak mengguyur penumpang. Setengah jam kemudian, gerombolan dara laut menyambut saat perahu mendekati pulau. Burung-burung itu terbang rendah di atas permukaan, menukik, lalu melayang lagi dengan ikan kecil di paruh.

“Kami tak berlayar kembali. Cukup buat kami hari ini. Nanti coba ke pelabuhan satunya saja. Ingat, sebelum jam satu siang,” kata seorang awak ketika semua penumpang sudah turun. Saya mengangguk. Dan pelabuhan itu pun sontak sepi.

Tak jauh dari dermaga, terpampang penunjuk arah ke tempat-tempat wisata di Gili Iyang. Kami tak punya banyak waktu. Dua jam saja atau kami akan menghabiskan malam di pulau kecil ini. Dan jika ada tempat yang wajib dikunjungi, itu adalah Titik Oksigen.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Titik Oksigen Gili Iyang/Asief Abdi

Bernapas di Titik Oksigen

Titik Oksigen tak ubahnya halaman warga yang terbengkalai. Kami bahkan tak sadar saat melewatinya. Kondisi area tersebut menyedihkan. Gazebo-gazebo peneduh tampak usang. Salah satunya bahkan reyot. Sebuah pohon berdiri tegak, menaungi tugu mini bertuliskan “Titik Oksigen”. Saya berdiri di situ, memejamkan mata, lalu menghela napas. Apa ini? Rasanya biasa saja. 

Kami beralih ke sebuah warung di kawasan itu.  Dengan percaya diri, Misnariah,  perempuan penjaga warung tersebut mengaku berusia 106 tahun.  Saya dan Odeng berpandangan sambil memegang gorengan. Yang benar saja. Omong kosong! Menurut taksiran kami, paling-paling umurnya lima puluhan. Kabar tentang oksigen Gili Iyang yang sanggup membuat penghuninya hidup lebih panjang memang santer beredar di internet. Meski begitu, bisa jadi itu cuma gimik

Sudah lepas tengah hari. Jika tak ingin ketinggalan kapal, sebaiknya kami bergegas ke pelabuhan. Namun, Odeng punya ide lain. Anak itu tak rela hanya menghabiskan satu dua jam di pulau ini. Saya punya firasat sepertinya kami bakal bermalam di sini. Lalu, alih-alih menuju pelabuhan, kami malah beranjak ke tempat lain, mengikuti papan penunjuk jalan.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Pondok-pondok wisata yang mangkrak/Asief Abdi

Objek Wisata yang Tak Siap

Kami bertolak menuju Batu Canggah. Tempat itu adalah tebing karang ikonis pulau ini. Untuk ke sana, kami harus keluar dari jalan utama dan menerobos tegalan. Jejeran cottage menyambut kami. Keadaannya menyedihkan. Pondok-pondok itu agaknya mati sebelum sempat berfungsi. Padahal, fasilitas tersebut sudah dilengkapi pendingin udara. Saya masuk ke salah satunya dan mendapati sebuah spring bed yang barangkali tak seorang pun pernah rebahan di atasnya. 

Ketika tiba di Batu Canggah, kami tak menemukan apa pun selain tulisan “Tutup”. Mungkin, saking sepinya, si petugas sampai enggan berjaga. Kami mencoba masuk, tapi pagar di sekeliling gerbang terlampau tinggi untuk dilompati. Kondisi serupa juga terjadi di Pantai Ropet di sisi selatan pulau. Tempat itu juga mangkrak.

Setelah merasa cukup—akhirnya, kami bertolak ke pelabuhan. Terdapat lebih dari satu pelabuhan di Gili Iyang dan masing-masing punya jadwal kapal sendiri-sendiri. Agaknya dermaga-dermaga itu adalah milik perorangan yang juga si empunya kapal, sebab kapal dari pelabuhan satu tak parkir di pelabuhan lain.

Di pelabuhan, rupanya bukan cuma kami yang hendak menyeberang. Seorang pemuda sedang duduk di tempat parkir dengan ransel dan kardus. Dia warga asli Gili Iyang yang hendak merantau ke Bali. Tanah ranggas ini sepertinya tak menjanjikan apa pun untuknya selain memaksanya melaut. Kami mengobrol hingga tampak sebuah kapal merapat ke tepi.

Namun, ketika kami berjalan mendekat, sang nakhoda berseru, “Ombaknya terlalu kuat. Tak mungkin kami kembali. Lebih-lebih, sore nanti air bakal surut. Kapal bisa kandas. Besok saja.” Sepertinya si pemuda perantau kudu bersabar sehari lagi, begitu pula kami yang harus mencari tempat menginap untuk malam nanti. “Usai azan Subuh, pastikan kalian sudah di sini,” sang nakhoda mewanti-wanti. 

Kami berhenti di sebuah masjid, tak jauh dari pelabuhan. Di tengah hawa terik, masjid itu seperti oase di tengah gurun. Salman, sang takmir, usai menanyakan dari mana dan hendak ke mana dua orang asing di depannya, menawarkan bantuan. “Masjid ini terbuka untuk musafir. Kalian bisa bermalam di sini,” katanya. Lalu, lewat obrolan dengan lelaki tambun itu, saya tahu kalau orang Gili Iyang punya legenda lokalnya sendiri tentang muasal pulau mereka.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Motor roda tiga, angkutan umum di Gili Iyang/Asief Abdi

Legenda Sèrè Èlang dan Obrolan di Dermaga

Konon, Gili Iyang pertama kali ditemukan bukan oleh orang Madura, melainkan orang Bugis, yakni Daeng Massale. Alkisah, setelah berhari-hari melintasi segara, pelaut itu akhirnya menemukan pulau dengan posisi tertentu dari matahari. Sang Daeng pula yang melindungi pulau tersebut dari serangan penjajah. Menurut legenda setempat, tokoh sakti itu menghilangkan Gili Iyang dari pandangan penjajah hanya dengan selembar daun sirih. “Begitulah pulau ini disebut Sèrè Èlang (Sirih Hilang),” tutur Salman. 

Pulau-pulau kecil di timur Sumenep memang unik. Agaknya, gili-gili mungil itu dulunya menjadi persinggahan suku-suku dari Sulawesi hingga akhirnya menetap. Hal tersebut tercermin dalam kisah Sirih Hilang tadi. Daeng merupakan gelar khas suku Bugis. Entah masih ada atau tidak suku asal Makassar itu di Gili Iyang, tapi mereka turut menghuni pulau-pulau lain di Sumenep macam Masalembu dan Kangean. 

Selepas membereskan urusan tidur malam nanti, kami bertolak ke dermaga untuk melihat matahari tenggelam. Di antara banyak dermaga, kami memilih yang terpanjang. Air laut yang surut menampakkan wajah asli pesisir Gili Iyang yang penuh batu karang. Tak ayal pulau ini sepi pengunjung. Pantainya jauh dari kata molek. Di tepi laut yang surut, beberapa orang menggotong karung dan duduk mencangkung sambil mengais-ngais. Mereka jelas tak tengah buang hajat. Mungkinkah mereka sedang mengumpulkan kerang?

Dari atas dermaga, saya menyapa seorang wanita tua tepat di bawah saya. Ia tampak sibuk mengumpulkan sesuatu. Rupanya, bukan kerang atau tiram yang dia himpun, melainkan pasir. “Buat bangun rumah, Cong (sapaan Madura yang berarti ‘nak’ untuk laki-laki’),” kata dia sambil mengayak lalu memasukkan pasir ke dalam wadah. Pantas pantai ini tak berpasir.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Seorang warga mengumpulkan pasir laut/Asief Abdi

Matahari kian jatuh. Memandang ke langit barat di jam-jam seperti ini menyadarkan saya akan cepatnya waktu berlalu. Seorang pria menyapa saya yang kala itu sedang khusyuk menikmati tenggelamnya sang surya.

Pak Mohan, pria itu, adalah seorang guru SD di pulau ini. Sudah seperempat abad lebih ia rela hidup berjauhan dari keluarganya di Jawa demi mengajar di daratan kecil ini. Sampai-sampai ia sudah seperti warga asli Gili Iyang. “Siapa yang tak kenal saya? Semua orang di pulau ini tahu Pak Mohan,” kelakarnya. Walau sudah berusia lima puluh tahun, lelaki itu tampak lebih muda dari umurnya. 

“Awet muda itu gampang. Asal hati gembira dan enggak stres,” kata dia.

“Tunggu! Jangan-jangan sampean selalu gembira dan bebas stres karena enggak tinggal bareng istri, Pak?” canda saya. Lelaki itu terbahak sambil geleng-geleng kepala. Sepertinya terkaan saya benar.

Bagi lelaki kocak itu, kabar perihal penduduk Gili Iyang yang awet muda dan berumur panjang tak sepenuhnya benar. “Murid-murid saya banyak yang mukanya boros. Beberapa bahkan terlihat lebih tua dari saya,” katanya. Ia lalu menjelaskan bahwa hal itu mungkin efek dari iklim pesisir yang keras, di mana orang-orang dipaksa melaut dan bekerja di bawah sengatan matahari. 

“Tapi memang di titik oksigen itu, kalau pagi hari, udaranya segar betul,” imbuhnya. Saya teringat pemuda perantau yang saya temui siang tadi. Barangkali, hijrah ke kawasan lain adalah opsi terbaik. Dan ketika para pemuda pulau memilih pindah, wajar rasanya jika pulau ini akhirnya lebih banyak dihuni kaum manula yang mungkin memang bisa hidup lebih bugar sebab minimnya polusi.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Senja di dermaga/Asief Abdi

Tak terasa, matahari telah tenggelam seutuhnya. Ketika cahaya terakhir lenyap di ufuk barat, kami beranjak. Kegelapan menyelimuti. Tanpa sinar lampu motor, kami bisa nyungsep di mana saja. Seperti Kangean, listrik Gili Iyang bergantung penuh pada generator listrik bertenaga diesel. Kendati begitu, raungan mesin tersebut tak sanggup menerangi seisi pulau. Alhasil, warga harus puas dengan penjatahan listrik harian. Jika setengah pulau malam ini menyala, separuhnya harus mengalah. 

Di masjid, Usman menuntun kami ke sebuah bilik berdinding triplek khusus musafir. Untunglah kami tak perlu membayar. “Lepas tengah malam, listrik bakal mati total. Kalau mau isi daya, sebaiknya sebelum itu,” ujar sang takmir. 

Saya terjaga tepat tengah malam karena kandung kemih saya penuh. Begitu membuka pintu, tak ada setitik pun cahaya lain di sekeliling kecuali lampu masjid yang masih benderang berkat panel surya. Dalam kegelapan seperti ini, gemintang di langit tampak lebih banyak. Saya buru-buru ke kamar mandi dan lekas kembali ke bilik. Di luar, angin darat bertiup kencang dan malam kian pekat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/semalam-di-gili-iyang-si-pulau-oksigen/feed/ 0 44795
Bertemu Heru, Penyandang Tunarungu-wicara di Desa Jelok Boyolali https://telusuri.id/bertemu-heru-penyandang-tunarungu-wicara-di-desa-jelok-boyolali/ https://telusuri.id/bertemu-heru-penyandang-tunarungu-wicara-di-desa-jelok-boyolali/#respond Thu, 05 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44365 November lalu, untuk menyambut Hari Difabel Internasional 3 Desember 2024, saya melakukan perjalanan ke Dukuh Gondang, Desa Jelok, Cepogo, Boyolali. Saya menyambangi Heru, salah satu anak tunarungu-wicara yang tinggal hanya bersama ibu dan seorang adik....

The post Bertemu Heru, Penyandang Tunarungu-wicara di Desa Jelok Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
November lalu, untuk menyambut Hari Difabel Internasional 3 Desember 2024, saya melakukan perjalanan ke Dukuh Gondang, Desa Jelok, Cepogo, Boyolali. Saya menyambangi Heru, salah satu anak tunarungu-wicara yang tinggal hanya bersama ibu dan seorang adik.

Tujuan saya tak lain ingin melihat kondisinya saat ini dan ikut memahami apa yang dia rasakan selama ini. Mengalami kondisi tuna rungu, bagi saya sudah sangat mengganggu. Namun, apalah daya, itu merupakan pemberian istimewa dari yang Mahakuasa.

Secara fisik tampak sempurna, tetapi ia tidak bisa mendengar suara sedikit pun. Bahkan untuk mengatakan satu kalimat saja kesulitan. Meski begitu, ia paham kondisi sekitarnya dalam keheningan yang menyelimuti. Bagi Heru, kehidupan di bumi sangatlah hening. Berbanding terbalik dengan apa yang kita rasakan.

Kedatangan saya ke rumah Heru didampingi ibu saya, seorang pensiunan guru sekolah dasar tempat Heru pernah menimba ilmu—selanjutnya ditulis sang guru. Tujuannya untuk mempermudah dan menyaksikan bagaimana cara berkomunikasi dengan anak tunarungu-wicara. Selama hidup, baru kali ini saya berbicara menggunakan bahasa isyarat langsung.

Ketika berbincang dengan orang lain, kita biasa menggerakkan refleks tangan untuk memperkuat penjelasan. Namun, berbeda jika gerakan tangan ditujukan untuk perbincangan lama. Tanpa bekal apa pun dan langsung menggunakan bahasa isyarat, sungguh bagi saya ini pengalaman luar biasa.

Sayangnya, tidak banyak komunikasi di antara kami. Sebab, ia malu tidak bisa berkomunikasi baik. Alhasil, ibu Heru dan sang guru menjadi mediator. 

Bertemu Heru, Penyandang Tunarungu-wicara di Desa Jelok Boyolali
Perjumpaan kembali antara murid dan sang guru setelah beberapa tahun/Ibnu Rustamadji

Sempat Mengenyam Pendidikan Dasar

Butuh waktu sekitar 10 menit berkendara dari kota menuju kediaman Heru. Hamparan perkebunan warga dan kemegahan sisi timur Gunung Merapi senantiasa menemani perjalanan.

Akhirnya, sampailah saya di depan rumah Heru. Ibunya menyambut hangat seraya mempersilakan masuk. Tidak saya duga, sang guru sudah datang terlebih dahulu. Ia lantas memperkenalkan saya kepada Heru dengan bahasa isyarat. Semua terdiam tanpa satu patah kata.

Hal yang saya rasakan pertama saat menyaksikan pembicaraan keduanya, seperti dunia hampa seketika. Hingga saya tidak kuasa mengatakan sesuatu, padahal pagi itu cukup ramai suara. Ketika saya di dalam rumahnya dan mencoba menelaah pembicaraan, tiba-tiba semua suara hilang entah ke mana.

“Ini (menujuk saya), namanya Benu. Pengin kenalan sama kamu,” ungkap sang guru dengan bahasa isyarat. Heru membalas dengan anggukan kepala dan mengajak berjabat tangan. 

Sang guru bilang, “Inilah yang dia (Heru) rasakan selama ini, tidak bisa mendengar apa pun, tetapi dia tahu siapa yang di sekitarnya. Dia bisa berjabat tangan. Cara inilah yang dia gunakan untuk mengenali.”

Bertemu Heru, Penyandang Tunarungu-wicara di Desa Jelok Boyolali
Ibu saya (tengah) berbincang dengan Heru dan sang ibunda/Ibnu Rustamadji

Heru sebenarnya masih memiliki sisa pendengaran, tetapi sangat sedikit. Dahulu sempat diajak terapi pendengaran dan menggunakan alat bantu dengar. Namun, karena kondisi, perawatan Heru dilakukan secara sederhana. Orang tuanya pun sempat kewalahan, sampai akhirnya mampu menerima dengan sabar melayani. Setiap hari, Heru beraktivitas layaknya anak normal. Hanya saja, lebih banyak terdiam karena memang tidak mendengar apa-apa.  

Pendidikan yang ia tempuh hanya sampai jenjang sekolah dasar (SD). Sekolahnya pun khusus, yakni sekolah inklusi. Ibu saya sendiri, Susilo Setyastuti, merupakan guru pendidikan inklusi di SD Negeri 1 Sukorame, Musuk, Boyolali. Peraih Juara III Lomba Guru Berprestasi Tingkat Nasional sebagai guru sekolah dasar penyelenggaran pendidikan inklusi tahun 2016 lalu.

Sang guru mengatakan sesuatu hal yang menarik. Saat SD, Heru belajar bersama murid normal lainnya. Mereka tetap belajar seperti biasa, hanya saja pelajaran yang diberikan kepada Heru tentu berbeda. Guru tidak bisa memaksakan harus mampu menguasai materi, tetapi menyesuaikan diri dengan kondisi mood atau suasana hati Heru.

“Heru ini termasuk anak berkebutuhan khusus, tidak bisa disamakan dengan anak lain. Harus pendampingan khusus. Kalau di sekolah, harus dibimbing guru pendidikan khusus. Tidak semua guru memahami itu,” jelasnya.

Kalau dia sudah merasa bosan, maka harus berhenti dan alihkan perhatiannya dengan kegiatan lain, seperti mengajak mengobrol atau bermain. Namun, semua itu ada batasan. Waktu Heru SD, ada kalanya ikut di dalam kelas reguler daripada kelas pendidikan khusus.

“Asalkan tidak saling mengganggu dan materi yang diajarkan sudah tentu berbeda. Heru saya ajak di kelas reguler, supaya mudah dalam pengawasan. Murid lain tidak ada masalah,” ungkapnya. 

Saya tidak menyangka. Heru adalah salah satu murid yang berhasil membawa ibu saya meraih gelar guru berprestasi. Satu-satunya guru SD penyelenggara pendidikan inklusi dari Kabupaten Boyolali. Latar belakang pendidikannya sebagai guru inklusi membuatnya sangat paham untuk mengurus anak berkebutuhan khusus seperti Heru.

Bertemu Heru, Penyandang Tunarungu-wicara di Desa Jelok Boyolali
Foto lama saat Heru belajar didampingi sang ibunda dan guru SD pendidikan inklusi yang lain/Ibnu Rustamadji

Semangat Hidup di tengah Keterbatasan

Sejatinya, semenjak lulus bangku SD, Heru sudah diarahkan untuk melanjutkan pendidikan formal SMP dan SMA inklusi di Kota Surakarta. Akan tetapi, karena faktor keluarga, cita-cita tersebut harus terpendam. Usia Heru kini sudah selayaknya bersekolah di perguruan tinggi. 

Namun, asa tinggallah asa. Ia tidak melanjutkan pendidikan dan membantu sang ibu di rumah. Malahan adiknya yang melanjutkan pendidikan kejuruan di kota Boyolali. Tulang punggung keluarga ada di pundak sang adik, sehingga setelah lulus diharapkan mampu meningkatkan derajat orang tua.

Meski begitu, Heru tidak tinggal diam. Ia belajar elektronik secara otodidak, berbekal handphone usang. Tanpa sepengetahuan ibunya, ia memiliki akun media sosial di Instagram dan Tiktok. Tidak ada yang membantunya, tetapi juga tidak asal tekan. Ia mahir menggunakan kedua media sosial itu, meski hanya untuk melihat isi konten tanpa bisa mendengar. Fakta yang saya dapat, ia mampu mengubah tampilan layar utama lebih menarik dari orang lain.

“Wah, ini seandainya mendapat beasiswa bisa kuliah teknologi informatika,” ucap saya.

Ternyata, anak-anak seperti Heru memiliki kemampuan khusus yang selama ini mungkin tidak dipahami. Mereka tidak mampu jika dituntut memahami materi pendidikan secara formal. Namun, mereka lebih cermat pada keterampilan dan teknologi. Mereka normal, tetapi terbatas.

Keseharian Heru membantu sang ibu mengurus rumah. Ia paham jika ada piring kotor segera dicuci. Begitu juga menyapu lantai. Tak jarang juga membantu menjemur daun tembakau, mengangkat barang hasil panen dari kebun belakang rumah. Semua dilakukan dalam kondisi diam seribu bahasa. 

Heru ternyata juga aktif di lingkungan sekitar. Tak jarang ia bertemu kawan sebaya maupun tetangga. Ia pun mampu berbelanja, meski dengan catatan yang diberikan sang ibu agar tidak salah beli barang. Tetangga sekitar sangat menerima kekurangan Heru dan keluarga, serta tidak mempermasalahkan kondisi tersebut.

Ketika seorang tetangga mengadakan hajatan, orang tua Heru pasti diundang sebagai anggota juru masak sampai acara selesai. Bahkan tempat tinggal Heru saat ini merupakan bantuan swadaya masyarakat desa. Meski masih sangat sederhana, tetapi sangat layak dan mewah bagi keluarga Heru. 

“Bisanya cuma seperti ini, yang penting pelan-pelan dan sabar. Punya rumah sederhana, sama merawat Heru saja sudah sangat mewah bagi saya,” ungkap sang ibu.

Rumah Heru dan keluarga sebelum dan sesudah renovasi (kanan)/Ibnu Rustamadji

Dari perjumpaan dengan Heru, saya mendapat pelajaran berharga. Mungkin, jika bisa saya ungkapkan, janganlah selamanya melihat ke atas. Ada kalanya melihat ke bawah. Hidup mewah tidak harus bergelimang harta, karena tidak selamanya membuat bahagia. 

Jika menikmati hidup dengan sederhana dan mensyukuri nikmat, tentunya akan terasa mewah. Hidup di desa tidak selamanya terbelakang. Asalkan ada niat untuk mengembangkan diri, niscaya derajat seseorang akan meningkat seiring berjalannya waktu. Selain itu, harus mampu mengimbangi perkembangan zaman. 

Waktu menunjukan pukul 16.20. Saatnya kami beranjak pulang. Sang guru memutuskan untuk mengakhiri obrolan kami dan melanjutkan perjalanan. Tak lupa kami berswafoto bersama di depan rumah Heru sebagai kenang-kenangan.

“Sehat terus, ya, kalian. Kapan-kapan saya main ke sini lagi,” ucap ibu saya mengakhiri perjumpaan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bertemu Heru, Penyandang Tunarungu-wicara di Desa Jelok Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bertemu-heru-penyandang-tunarungu-wicara-di-desa-jelok-boyolali/feed/ 0 44365
Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan https://telusuri.id/menatap-masa-depan-nelayan-di-seberang-balikpapan/ https://telusuri.id/menatap-masa-depan-nelayan-di-seberang-balikpapan/#respond Tue, 12 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43024 Di tengah hilir mudik tongkang dan kapal-kapal besar yang menggoyang ombak Teluk Balikpapan, komunitas nelayan pesisir Penajam Paser Utara menitipkan harapan. Perubahan iklim menjelma sebagai tembok tebal lainnya. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan...

The post Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan appeared first on TelusuRI.

]]>
Di tengah hilir mudik tongkang dan kapal-kapal besar yang menggoyang ombak Teluk Balikpapan, komunitas nelayan pesisir Penajam Paser Utara menitipkan harapan. Perubahan iklim menjelma sebagai tembok tebal lainnya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mardhatillah Ramadhan


Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Jumlah penyeberangan kapal feri kalah telak dibandingkan kapal-kapal tongkang pengangkut batu bara yang melintasi Teluk Balikpapan/Deta Widyananda

Setiap hari, Teluk Balikpapan selalu sibuk. Silih berganti kapal-kapal besar melintas tiada henti. Selain arus kapal penumpang antarpulau, lalu lintas perairan tersebut menjadi jantung utama kapal-kapal industri.

Perusahaan-perusahaan konstruksi, kargo, kelapa sawit, pertambangan batu bara, hingga PLTU menjejal nyaris sepanjang pesisir Balikpapan maupun Penajam Paser Utara (PPU). Menjadi pemandangan lumrah jika melihat kapal tongkang lalu lalang mengangkut gunungan batu bara ke Pulau Jawa dan sebaliknya. Apalagi adanya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), yang memanfaatkan Teluk Balikpapan sebagai gerbang utama untuk memasok logistik proyek.

Di sisi lain, teluk seluas 160 km2 dengan daerah aliran sungai sekitar 211.456 hektare1 juga menjadi ruang hidup bagi masyarakat pesisir dan keanekaragaman hayati di sekitarnya. Kelurahan Jenebora, berjarak sekitar 30 menit dengan speed boat dari tepi Kota Balikpapan, rumah-rumah tapak dan panggung dengan dermaga-dermaga kecil menyemut di tepian laut. Menyisakan tegakan hutan mangrove yang mengapit permukiman.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Permukiman padat di Kelurahan Jenebora, kampung nelayan PPU terdekat yang bisa dicapai dari Kota Balikpapan/Deta Widyananda

Perkampungan lawas ini terbentuk sejak berabad-abad silam. Dihuni oleh mayoritas suku Bajau (Bajo) dan Bugis, dua etnis dari Sulawesi yang terkenal andal dalam melaut. Dari 3.533 jiwa, sekitar 602 orang atau 17 persennya berprofesi sebagai nelayan2. Populasi ini lebih jauh lebih tinggi daripada di Tanjung Jumlai dan Api-Api. 

Rajungan (Portunus pelagicus), atau istilah globalnya blue swimming crab, merupakan komoditas andalan masyarakat pesisir PPU. Selain itu juga terdapat lobster, gurita, kepiting, dan beberapa jenis ikan lainnya. Sayangnya, tren penurunan jumlah tangkapan terus mengintai para nelayan. Tuntutan kebutuhan sehari-hari terus merengek, sementara marabahaya dari segala penjuru selalu menghantui.

Nelayan memang pekerjaan yang berisiko tinggi. Tiada sekat yang membatasi tubuh nelayan dengan empasan ombak, selain dinding perahunya sendiri. Nelayan juga tidak bisa memastikan jumlah tangkapan yang stabil setiap harinya. Saking sulitnya pekerjaan ini, sampai-sampai sebagian besar nelayan melarang anak-anak mereka mengikuti jejaknya. Tidak heran jumlahnya terus menurun.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Rajungan, komoditas unggulan nelayan di pesisir PPU/Deta Widyananda

“Jangan sampai [jadi nelayan]. Semua anak-anak, mereka tidak ada yang ke laut. Fokus sekolah saja,” ujar Said, nelayan Tanjung Jumlai, Kelurahan Pejala, sekitar 55 km ke arah selatan dari Jenebora. Desa ini berhadapan langsung dengan laut lepas Selat Makassar. 

Kekhawatiran para orang tua cukup beralasan. Sebagian generasi muda di pesisir PPU lebih menengok “masa depan” di gemerlap Balikpapan. Menjadi karyawan di perusahaan tampak jauh menjanjikan daripada nelayan. Jadwal kerja tetap, gaji pasti. Situasi seperti ini sama persis dialami oleh petani-petani kecil di Jawa, yang lebih mendorong anak-anaknya bekerja kantoran. Terlebih jejaring investasi yang tiada kenal henti terus merasuk sendi-sendi ekonomi Balikpapan dan sekitarnya.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Anak-anak Jenebora meluangkan waktu dengan memancing di salah satu dermaga kampung. Hilir mudik tongkang batu bara di Teluk Balikpapan menjadi latar kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pesisir PPU/Deta Widyananda

Tidak hanya dijepit industri, tetapi juga gejolak iklim

Aktivitas antropogenik3 yang sangat tinggi memang tampak memberi pengaruh pada penyempitan ruang hidup nelayan. Limbah industri ekstraktif tidak hanya mencemari laut permukaan, tetapi juga mengganggu biota laut di dalamnya. Belum lagi metode penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan berlebihan (overfishing), seperti bom ikan, penggunaan pukat hela atau dogol oleh sejumlah oknum nelayan. Pukat yang terpasang tidak hanya menjaring ikan yang ditargetkan, tetapi juga menggaruk biota-biota laut tak bersalah, di antaranya terumbu karang dan ikan-ikan karang kecil di sekitarnya. Jaring-jaring nelayan kecil pun ikut rusak.

Praktik-praktik merusak seperti itu berdampak instan pada ekosistem perairan. Padang lamun berkurang, dugong pun menghilang. Laut dan daerah aliran sungai tercemar, pesut dan ikan-ikan endemik menjauh. Konflik horizontal bisa memanas, ketika nelayan-nelayan yang “lurus” dirugikan oleh kelompok nelayan yang melaut secara serampangan.

Di Jenebora, lingkungan yang tidak sehat menyebabkan penyempitan area dan jumlah tangkapan, yang berimbas pada penurunan pendapatan. Kondisi memprihatinkan juga dialami para nelayan di Tanjung Jumlai dan Api-Api. Posisi kampung yang berhadapan dengan laut lepas Selat Makassar rentan terhadap abrasi dan banjir karena naiknya permukaan air laut. Minimnya benteng alami seperti mangrove meningkatkan risiko itu.

Mindworks Lab dan Datakota mencatat angka kerentanan yang mengkhawatirkan terhadap kelangsungan komunitas pesisir PPU. Rata-rata mengalami dampak nyata akibat perubahan iklim. Diprediksi, kenaikan permukaan laut dan abrasi akan mengancam masa depan lebih dari 6.000 jiwa, 100 km infrastruktur jalan, dan lebih dari separuh dermaga atau pelabuhan di pesisir PPU pada 2050.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Tampak dua nelayan di Desa Api-Api, Kecamatan Waru, pergi melaut saat sore hari. Ganasnya ombak kala musim angin selatan harus diwaspadai ketika nelayan tetap mencari ikan, meski penghasilan tidak menentu/Deta Widyananda

Berdasarkan penuturan nelayan setempat, Mei–September merupakan musim selatan yang ditandai dengan angin kencang dan gelombang besar. Perahu kecil nelayan seringkali tidak sanggup menghadapi cuaca buruk. Perubahan cuaca tidak menentu juga berdampak pada ketidakpastian frekuensi melaut dan penghasilan tidak menentu.

Musim angin selatan, yang secara teori biasa berlangsung bulan Mei–September, belakangan kian sulit diprediksi. Angin kencang bisa hilang dan timbul tiba-tiba. Meski masih cukup optimis dengan ketersediaan ikan yang bisa ditangkap, Salman, nelayan Desa Api-Api, gelisah dengan jarak melaut yang makin jauh. Perahu kecil bervolume kurang dari 5 Gross Tonnage (GT) dengan mesin tempel kapasitas 5 sampai 15 PK—mayoritas nelayan menggunakan ini—pun tampak timpang dengan kondisi alam yang ganas.

“Kekhawatiran saya untuk anak cucu kami ke depannya itu, ya, cuma makin jauh kita melaut,” terang Salman. Saat ini Salman dan nelayan lainnya harus menempuh jarak satu jam perjalanan untuk tiba di lokasi tangkapan. Setara dengan 3–5 mil atau sekitar 5–8 kilometer. “Nanti kalau anak cucu kami itu mungkin dua jam baru sampai di tempat penangkapan.”

Menurut keterangan Salman, dahulu nelayan mudah mendapat 50 kg tangkapan ikan hanya di perairan dekat pantai. Bahkan Sahibe, nelayan Tanjung Jumlai, pernah memperoleh hasil tangkapan satu kuintal ikan per hari. Nominal yang tampaknya sulit diulang akhir-akhir ini. Dapat seperlimanya saja sudah bisa dibilang sangat beruntung.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Sahibe membawa seember penuh kerang laut yang didapat di pantai saat laut surut/Deta Widyananda

Jalan tengah: adaptasi dan sinergi

Mega bergelayut di langit Teluk Balikpapan. Membuat pagi seakan belum benar-benar lepas dari buta. Namun, nuansa sendu tidak berlaku sama di ujung kampung Jenebora. 

Syamsuddin sudah sibuk di atas perahunya. Ia melepas tali tambat, menggiring bahtera kecil itu menjauhi dermaga. Sesaat setelah menyalakan mesin, ia melesat menuju perairan yang tak jauh dari kampung. Meski langit dan lautan sedang kelabu, dengan balutan pakaian dan topi bernuansa biru, ia mencoba menjemput harapan.

Di satu titik, sekitar 1–2 mil (setara 1,5–3 km), pria yang sehari-hari sering menggunakan peci tersebut ingin mengecek hasil alat tangkap yang dipasang sejak sore sebelumnya. Rakang atau bubu rajungan sederhana itu diangkat olehnya. Tidak banyak, tetapi ia tetap tersenyum dan mensyukuri hasilnya.

Terkadang Syamsuddin memiliki cara tersendiri agar ketersediaan rajungan berkelanjutan. Setiap ia memasang rengge, sejenis alat untuk cari umpan (biasanya udang), dan mendapat rajungan yang sedang bertelur, maka telur-telur tersebut langsung ia sebar secara acak di perairan sekitarnya. Atau ia bawa pulang dan menebarkannya di sekitar kampung.

“Setahun kemudian, begitu saya pasang rengge [lagi] di situ, [diharapkan] banyak rajungannya. Karena kalau tidak begitu, tidak akan berkelanjutan,” jelasnya.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
(Kiri) Syamsuddin menunjukkan hasil tangkapan dari alat yang dipasang semalaman. Ia telah mempraktikkan proses adaptasi untuk menjaga spesies rajungan di laut. (Kanan) Nelayan Api-Api melakukan perbaikan dan penguatan lambung perahu agar bisa diajak berlayar lebih jauh/Mardhatillah Ramadhan dan Deta Widyananda

Langkah yang dilakukan Syamsuddin merupakan contoh bentuk adaptasi. Sembari menanti kondisi ekosistem perikanan mencapai titik ideal, ia lebih memilih untuk menjaga kelestarian rajungan dengan caranya sendiri. Begitu pun Salman. Bersama sejumlah nelayan di Api-Api, ia memodifikasi perahu agar lebih kuat saat menempuh rute melaut yang lebih jauh. Sedikit berbeda dari dua desa itu, sejumlah nelayan di Tanjung Jumlai memiliki alternatif sumber ekonomi lain, seperti menggarap sawah atau berkebun.

Meski kemampuan adaptasi masih terbilang rendah4, harapan itu masih ada. Darah pelaut masih melekat erat di nadi masyarakat keturunan Bajo dan Bugis di pesisir Penajam Paser Utara. Keadaan yang rentan di Jenebora, Tanjung Jumlai, dan Api-Api merupakan peluang strategis untuk melakukan intervensi.

Seperti yang dilakukan Aruna, perusahaan rintisan yang menghubungkan nelayan lokal ke segmen pasar lebih luas dengan teknologi. Melalui program Fisheries Improvement Project (FIP), Aruna berupaya secara bertahap melibatkan banyak pemangku kepentingan untuk meningkatkan praktik dan pengelolaan perikanan ramah lingkungan, sehingga spesies, habitat, dan manusia dapat berkembang biak dengan baik. Salah satu caranya adalah penggunaan perangkap berumpan lipat (bubus) dan jaring insang oleh kapal penangkap ikan terdaftar—di bawah 5 GT—dengan spesies target rajungan. Keberadaan Aruna Hub di Balikpapan bisa memperkukuh sistem perikanan ideal yang diimpikan.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Perahu-perahu nelayan Api-Api tertambat di pantai. Masa depan komunitas pesisir tetap ada di laut. Butuh dukungan lintas sektor untuk menjamin hidup dan identitas mereka/Deta Widyananda

Proyek yang memadukan ilmu, manajemen perikanan, dan teknologi tersebut berbasis pada standar perikanan internasional yang ditetapkan Marine Stewardship Council (MSC). Lembaga nonprofit internasional yang berbasis di London ini memiliki visi global agar ekosistem perikanan dan ketersediaan makanan dari laut tetap terjaga untuk generasi saat ini dan masa depan.

Jenebora dan Tanjung Jumlai termasuk dua desa di PPU yang menjadi proyek percontohan FIP oleh Aruna. Program ini merupakan kolaborasi lintas sektor, melibatkan Aruna, nelayan, pemerintah, peneliti, lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi. Mindworks, dalam hal ini juga memberi kacamata langit lewat data-data potensi kerentanan akibat perubahan iklim yang mendorong mitigasi dan adaptasi. Nelayan akan diberikan pendampingan dan berbagai pelatihan untuk berkomitmen melakukan praktik penangkapan tradisional dan berkelanjutan.

Syamsuddin menunjukkan hasil rajungan dan ikan-ikan besar yang akan menopang taraf hidup nelayan PPU, selama tetap mempertahankan proses penangkapan yang ramah lingkungan/Deta Widyananda

Sinergi multipihak seperti inilah yang harus dilakukan demi menjamin masa depan nelayan. Tidak sekadar berhenti sebagai proyek semata, tetapi juga semestinya terakomodasi dalam kebijakan maupun payung hukum pemerintah yang melindungi komunitas nelayan. Sistem ideal yang diimpikan, agar nelayan melesat sebagai profesi yang memiliki prospek cerah.

Terlebih etnis Bugis dan Bajo di PPU—dan sejumlah daerah pesisir lainnya di Indonesia—yang secara historis hidup dan mati bersandar pada lautan. Angin segara dan gelombang ombak mengalir lebih dekat dari urat nadi. Merawat ruang hidup mereka, berarti merawat identitas dan kebudayaan lokal Nusantara sebagai bangsa maritim. (*)


  1. Data oleh Mapaselle Selle, Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, dalam Webinar Series #5 IKN berjudul “Teluk Balikpapan dalam Lanskap Pembangunan IKN Nusantara” yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Politik (PRP) BRIN pada 7 Oktober 2022. ↩︎
  2. Dielaborasi dari temuan Mindworks Lab dan Datakota serta data Kecamatan Penajam dalam Angka 2023 oleh BPS Kabupaten Penajam Paser Utara. ↩︎
  3. Pencemaran logam berat akibat kegiatan pertambangan, transportasi, dan industri (Sholehhudin et al, 2021). ↩︎
  4. Dilansir dari hasil riset vulnerability mapping oleh Mindworks Lab dan Datakota (2024), Penajam Paser Utara (PPU) merupakan wilayah yang memiliki tingkat bahaya tertinggi akibat pengaruh antropogenik dan perubahan iklim, tetapi kapasitas adaptasinya rendah. ↩︎

Referensi

Sholehhudin, M., Azizah, R., Sumantri, A., Sham, S.M., Zakaria, Z..A., & Latif, M.T. (2021). Analysis of Heavy Metals (Cadmium, Chromium, Lead, Manganese, and Zinc) in Well Water in East Java Province, Indonesia. Malaysian Journal of Medicine and Health Sciences. Vol. 17(2): 146–153, April 2021, eISSN 2636-9346. https://medic.upm.edu.my/upload/dokumen/2021040613114320_MJMHS_0789.pdf.


Foto sampul:
Seorang nelayan Jenebora mendorong perahunya menjauh dari dermaga dengan tongkat bambu sebelum menghidupkan mesin untuk melaut. Tampak di latar belakang aktivitas industri yang sibuk di pinggiran Kota Balikpapan/Deta Widyananda


Artikel ini adalah publikasi program ekspedisi Mindworks Lab dan Aruna bersama TelusuRI di tiga desa, yaitu Jenebora, Tanjung Jumlai, dan Api-Api, Kabupaten Penajam Paser Utara pada Juni 2024, dengan tema “Indonesian Coastal Communities Climate Vulnerabilities Documentation & Narrative Creation”.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menatap-masa-depan-nelayan-di-seberang-balikpapan/feed/ 0 43024