You searched for kapoposang - TelusuRI https://telusuri.id/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 10 Sep 2022 08:34:13 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 You searched for kapoposang - TelusuRI https://telusuri.id/ 32 32 135956295 Menuju Makassar dengan Kapal Pa’gae dari Pulau Pandangan https://telusuri.id/menuju-makassar-dengan-kapal-pagae-pulau-pandangan/ https://telusuri.id/menuju-makassar-dengan-kapal-pagae-pulau-pandangan/#respond Sat, 03 Sep 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34951 “Kapalnya sudah jalan sehabis subuh tadi Bang Syu,” ucap Hasan yang biasa kami panggil Pak Desa dengan suara lesu. Rencananya kami ingin pergi bersama menuju Pangkep. Setelah menghubungi beberapa warganya semalam, kami dijanjikan bisa ikut...

The post Menuju Makassar dengan Kapal Pa’gae dari Pulau Pandangan appeared first on TelusuRI.

]]>
“Kapalnya sudah jalan sehabis subuh tadi Bang Syu,” ucap Hasan yang biasa kami panggil Pak Desa dengan suara lesu. Rencananya kami ingin pergi bersama menuju Pangkep. Setelah menghubungi beberapa warganya semalam, kami dijanjikan bisa ikut menumpang kapal salah satu warganya jam sembilan pagi. Salah satu keresahan tinggal di pulau adalah seperti ini, tidak ada transportasi reguler. Semua serba tidak pasti. Hanya bisa mengharapkan tumpangan, ikut kapal-kapal warga.

“Saya coba carikan kapal lagi semoga hari ini ada yang pergi,” Pak Desa masih tetap berusaha meyakinkan saya. Kami berdua memang perlu ke Pangkep. Dia ada pertemuan di sana. Sedangkan saya mesti mencari sinyal dan listrik yang stabil.   Kondisi listrik di pulau sudah berbeda dengan 2 tahun lalu saat pertama saya tinggal di sini. Listrik di Kapoposang menggunakan solar panel terpadu yang dihubungkan ke tiap-tiap rumah. Dulu, jika kondisi cuaca bagus kami masih dapat menikmati dari pukul 6 sore hingga pukul 5 pagi. Sekarang dapat menyala 3 jam saja sudah bersyukur. Bagi warga pulau tidak menjadi masalah, tapi bagi saya yang mengandalkan listrik untuk menyalakan laptop ini menjadi persoalan. Laptop tua baterai penyimpanannya tak bisa diandalkan. Mau memakai genset boros di bensin.

Kapal Pagae
Kapal Pagae/Syukron

Langit cerah, laut tenang dan berita baik pun datang. Sejam setelah janji Pak Desa ucapkan kami mendapatkan info di Pulau Pandangan ada kapal pa’gae yang akan menuju Makassar pukul 2 siang nanti. Kapal pa’gae atau kapal pukat jaring memang selalu membawa hasil tangkapan ikan mereka dari laut menuju Makassar. 

Setelah makan siang, kami bersiap menuju kapal pa’gae yang berlabuh depan Pulau Pandangan. Wilayahnya masih satu desa dengan pulau Kapoposang jaraknya hanya 1,2 mll. Kapal yang kami tumpangi milik Haji Jafar, nama kapalnya Safa Marwah 03, Haji Jafar memiliki 4 kapal pa’gae, beliau memang salah satu tokoh di pulau Pandangan yang cukup sukses menjadi nelayan. Si empunya kapal belum tiba tapi kami sudah berada di kapalnya. Selain kami ada 6 orang lagi yang ikut menumpang ke Makassar. 

Kapalnya berwarna putih dengan bobot 30 GT, panjang 20 meter dan lebar 5 meter. Untuk ukuran masih relatif tidak jauh berbeda dengan kapal-kapal pa’gae lainnya. Tapi untuk urusan mesin boleh diadu, biasanya kapal lain memakai mesin dengan 6 silinder, kapal Safa Marwah 03 memakai mesin dengan 8 silinder. Otomatis waktu tempuhnya jadi lebih cepat daripada kapal lainnya. 

Haji Jafar datang tak lama kemudian. Dengan membawa istri dan 3 orang anak buah kapal. Tidak full team yang biasanya bisa sampai 11 orang jika saat mencari ikan. Setelah memberi aba-aba, pasukan kecil Haji Jafar ini dengan mudahnya menyalakan mesin, memutar haluan, dan mulai berlayar ke arah timur. Baru saya tahu kemudian kalau mereka ke Makassar hanya untuk membeli balok-balok es. Ada 250 balok es yang akan dibeli, Mereka akan menyimpannya dalam 5 kotak besar untuk persiapan menjaring ikan nantinya. 

Suasana dalam kapal
Suasana dalam kapal/Syukron

Para ibu dan anak-anak beristirahat dengan nyaman dalam ruang kemudi yang cukup lapang. Sedangkan kami para lelaki berkumpul minum kopi dan mengobrol lepas diayun ombak depan anjungan kapal.

Sebentar lagi tiba di Makassar
Sebentar lagi tiba di Makassar/Syukron

Dari obrolan itu saya jadi lebih mengenal sosok Haji Jafar, saya tak bisa membayangkan bapak tua berumur 60 tahunan, bertubuh kecil dengan peci kupluk, bercelana pendek dan memakai sendal jepit ini ternyata dibalik suksesnya menjadi nelayan ada juga jejak-jejak kelucuannya. Untuk urusan keluarga, tiap kali akan ke Makassar Haji Jafar selalu menyertakan istrinya untuk ikut serta. Kata Pak Desa kalau jaman sekarang istilahnya “bucin”.

Haji Jafar
Haji Jafar/Syukron

Haji Jafar juga ternyata orangnya sangat cuek, pernah ketika jalan di sekitar pelabuhan dan duduk depan salah satu supermarket dia diusir karena penampilannya yang dianggap kumal. Dan beliau dengan santainya pergi tanpa protes atau marah. Ada juga cerita soal Haji Jafar ternyata mempunyai mobil keluaran terbaru tapi tidak pernah dipakai. Alasannya lebih enak naik pete-pete (sebutan angkot di Makassar) tinggal sewa seharian bebas pergi kemana saja, ada yang nyupirin pula. Lalu mobil barunya? Dianggurin saja di rumah kenalannya.

Yang cukup membuat saya takjub adalah usaha dia selama ini tidak memakai pinjaman bank atau dari orang lain. Semuanya murni hasil jerih payahnya sendiri. “Jangan terlalu sombong pakai duitnya orang,” begitu ungkapnya. 

Obrolan kami berakhir saat kapal mulai masuk ke area Pelabuhan Paotere. Kami datang dengan berbagai teriakan penyambutan. Menyambut kedatangan kapal Haji Jafar seperti pulang dari medan perang. 

Saya berpamitan dengan Pak Desa dan Haji Jafar, mengucapkan terima kasih atas tumpangannya. Setelah keluar dari pelabuhan sembari menunggu jemputan saya melihat kesana kemari. Bergumam dalam hati “supermarket mana ya yang mengusir Haji Jafar?”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menuju Makassar dengan Kapal Pa’gae dari Pulau Pandangan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menuju-makassar-dengan-kapal-pagae-pulau-pandangan/feed/ 0 34951
Melaut Bersama Sapi Menuju Kapoposang https://telusuri.id/melaut-bersama-sapi-menuju-kapoposang/ https://telusuri.id/melaut-bersama-sapi-menuju-kapoposang/#respond Sun, 07 Aug 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34869 Gema takbir seusai shalat subuh berkumandang dari Masjid Mujahidin Pangkep. Jaraknya hanya dua blok dari Kedai Opu. Warung kopi tempat saya dan beberapa warga Pulau Kapoposang menginap. Kami telah bangun dan memang sedang bersiap-siap, bukan...

The post Melaut Bersama Sapi Menuju Kapoposang appeared first on TelusuRI.

]]>
Gema takbir seusai shalat subuh berkumandang dari Masjid Mujahidin Pangkep. Jaraknya hanya dua blok dari Kedai Opu. Warung kopi tempat saya dan beberapa warga Pulau Kapoposang menginap. Kami telah bangun dan memang sedang bersiap-siap, bukan untuk mengikuti salat Id hari ini tapi untuk bersiap menuju ke Pulau Kapoposang. Kami memang mempersiapkan perjalanan kali ini agar bisa menikmati Iduladha di pulau. Tahun ini ada perbedaan penetapan hari raya Idul Adha. Hari ini Sabtu, 9 Juli 2022 adalah jadwal Muhammadiyah. Sementara kami ikut keputusan Kementerian Agama, lebaran kurban dirayakan esok harinya Minggu, 10 Juli 2022.

Suasana dalam kedai sudah tak tampak seperti tempat nongkrong ngopi lagi. Lebih seperti ruang tamu yang dipakai menginap handai taulan. Berantakan, kursi-kursi yang dijadikan tempat tidur darurat dengan tas menumpuk sana sini serta plastik-plastik berwarna merah berisikan sayur dan bahan kebutuhan lain untuk membuat coto dan konro sudah kami siapkan.

Masyarakat di Kapoposang tak memelihara ternak berkaki empat. Tentu ini membuat banyak orang penasaran karena di sana tak sulit mendapatkan pakan hijau untuk berternak. Masyarakat pulau bukannya tak mencoba memelihara, namun entah kenapa binatang ternak selalu kurus, tak pernah gemuk. Padahal Pulau Pandangan yang masih satu desa dengan Kapoposang punya banyak ternaknya yang gemuk. Cukup aneh kalau dipikir. Ternak-ternak ini memakan sampah, bahkan sampah kertas atau apapun yang bisa dikunyah bakal mereka makan. Misteri tersebut sampai sekarang tak bisa dipecahkan dan memang tak dicarikan pula jawabannya. Masyarakat Kapoposang lebih memilih membeli sapi atau kambing dari luar pulau untuk hajatan nikahan atau aqiqah daripada memelihara. 

Persiapan menuju Kapoposang
Persiapan menuju Kapoposang/Syukron

Seperti untuk Idul Adha kali ini. Tiga ekor sapi diturunkan ke kapal kami sebagai persiapan kurban. Mereka diposisikan seperti layaknya baris berbaris. Pembeliannya patungan dari beberapa warga sekitar 10 juta per ekornya. Tentu tidak mudah memindahkan hewan yang bobotnya lebih dari 100 kilo. Bagian depan kapal Jolloro memang mempunyai desain terbuka hingga terlihat luas, kapal ini diperuntukkan untuk memuat barang yang cukup banyak. Kebalikan dari mobil pickup, bagian bak kosong di justru berada di depan namun penumpang berada di bagian belakang bersama juru mudi kapal. 

Ada 25 orang ikut menumpang kapal. Saya lebih memilih mencari tempat di ujung depan kapal. Agak leluasa untuk sedikit rebahan. Posisi ini tentu bukan tempat favorit bagi penumpang lain karena musti berhadap-hadapan dengan sapi. Saya menerima resiko ini. Beberapa kali badan saya terdorong oleh kepala sapi. Untung saja sapi-sapi ini terikat dengan baik.

Kapal yang kami gunakan adalah kapal milik desa. Kapal kayu panjang 17 meter dan lebar 2 meter dengan mesin kekuatan enam silinder. Dari mesin hingga ukuran terbilang paling bagus dibandingkan kapal-kapal warga lain. Soal daya tempuh juga yang biasanya sekitar 6-8 jam jadi bisa dipangkas menjadi 3-4 jam saja.

Sapi, hujan dan ombak/Syukron

Dengan kondisi perairan berombak dan diiringi hujan tipis-tipis, kami melaju pukul 5.30 pagi. Menembus sungai Pangkep lalu keluar ke laut lepas. Selama perjalanan sapi-sapi ini dituntut memiliki keseimbangan tinggi, mereka harus berdiri dan berusaha tidak terjatuh. Sesekali ada saja sapi yang kehilangan keseimbangan karena kapal diterpa ombak rasanya naik turun seperti roller coaster. Dengan susah payah si sapi kemudian bangkit, berdiri kembali. Di tengah kondisi seperti itu, sapi-sapi ini cukup tenang, atau mungkin tegang luar biasa sehingga mereka hanya terdiam saja.

3 jam berlalu, Setelah melewati Pulau Gondong Bali, Pulau Pandangan dan Pulau Kapoposang tampak mulai mendekat. Arah kapal menuju ke Pulau Pandangan, kami mampir untuk menurunkan salah satu sapi milik haji Jafar, warga Pandangan. 

Menarik sapi di Pulau Pandangan
Menarik sapi di Pulau Pandangan

Sudah belasan cara dilakukan tapi belum juga bisa membuat sapi ini berniat menggerakkan kakinya untuk turun ke tepi pantai. Kerumunan orang diatas kapal sepertinya makin membuat sapi ini kebingungan. 15 menit berlalu setelah sang sapi tenang, kakinya mulai bergerak ingin berjalan. Hasrat untuk keluar dari kapal sudah mulai nampak. Dengan satu hentakan tali, sapi itu mulai mencoba meloncat keluar dari kapal. Semua bersorak lega. Kami yang di kapal semakin lega akhirnya bisa bergegas.  

Sapi di halaman Masjid
Sapi di halaman masjid/Syukron

Kami tiba sebelum adzan Dzuhur memanggil. Air laut mulai surut kami terhenti sekitar 30 meter dari bibir pantai. Saya dan tiga orang lainnya turun berbasah ria. Air laut sama rata dengan pinggang saya. Kami memikul barang-barang yang akan diturunkan, berjalan menuju tepi pantai. Belajar dari cara menurunkan sapi di Pulau Pandangan, kami memberikan waktu agar 2 sapi yang tersisa dapat turun dengan tenang. Dengan segala kerumitan proses mengangkut sapi dari Pangkep, membawa menembus ombak hingga tiba di Kapoposang. Perayaan kurban tetap menjadi salah satu hajatan favorit orang pulau. Karena itulah momen yang sehari-harinya lauk ikan berganti dengan coto atau konro yang aromanya keluar dari tiap-tiap dapur rumah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melaut Bersama Sapi Menuju Kapoposang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melaut-bersama-sapi-menuju-kapoposang/feed/ 0 34869
Kebun di Saporkren, Bantu Bertahan Hadapi Pandemi https://telusuri.id/kebun-di-saporkren-bantu-bertahan-hadapi-pandemi/ https://telusuri.id/kebun-di-saporkren-bantu-bertahan-hadapi-pandemi/#respond Sat, 05 Dec 2020 04:09:08 +0000 https://telusuri.id/?p=25717 Masa pandemi di Saporkren, membuat wisatawan pengamat burung tak banyak berkunjung. Kebun kecil jadi penyemangat untuk terus bertahan.

The post Kebun di Saporkren, Bantu Bertahan Hadapi Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Tulisan “Rarama Bebye Ro Rumfarkor Ine” di gapura kayu yang sudah mulai berlumut menyambut kami saat memasuki kompleks SD YPK Getsemani, Kampung Saporkren, Raja Ampat. Deretan kata itu berasal dari bahasa Biak Betew yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Kamu yang Datang ke Sekolah Ini.”

SD YPK Getsemani menjadi satu-satunya sekolah di Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Sekolah itu memiliki 90 orang murid dan 10 pengajar. Ada enam kelas dalam kompleks yang terdiri dari dua bangunan itu.

Menurut penuturan Darius Ap, seorang guru di sekolah SD YPK Getsemani, proses kegiatan belajar mengajar berubah semenjak COVID-19, meskipun tak banyak. Walaupun wilayah itu masih dikategorikan sebagai zona hijau, kegiatan belajar mengajar harus mengikuti protokol COVID-19. Waktu belajar digilir. Satu hari adalah waktu belajar bagi kelas 1, 3, dan 5. Hari berikutnya giliran kelas 2, 4, dan 6. Tiap kelas pun dibagi menjadi dua demi menjaga jarak. 

“Anak-anak di sini, sih, masih biasa saja dengan COVID-19. Mereka tahu (tentang COVID-19) karena kami juga sering informasikan. Tapi (pandemi) tidak menjadi hal yang menakutkan bagi mereka,” ungkap Darius.

Jika dari sisi pendidikan tidak banyak yang berubah dari Kampung Saporkren, kondisi wisata memantau burung (birdwatching) beda cerita.

Menyusuri hutan Saporkren

Hutan Saporkren dikenal sebagai habitat dari lima spesies burung endemik Pulau Waigeo, di antaranya cendrawasih pohon atau cendrawasih merah (red bird-of-paradise), cendrawasih belah rotan (cendrawasih Wilson), Raja Ampat pitohui, gagak hutan (brown hooded crow), dan spice imperial pigeon (merpati yang memiliki mahkota). Semuanya hidup bebas, bahkan terkadang sampai masuk kampung.

Homestay Saporkren

Homestay Saporkren/M. Syukron

Semaraknya wisata memantau burung Saporkren berimbas pada okupansi penginapan-penginapan (homestay) di kampung itu. Karena lazimnya pengamatan dilakukan di pagi hari, para birdwatcher lebih senang menginap di homestay yang jaraknya tak jauh dari hutan Saporkren ketimbang menyewa kamar di tempat lain. Tapi itu dulu, sebelum pandemi datang.

Sony Rumbino, salah seorang peserta kegiatan penyuluhan pertanian yang ternyata juga seorang pemandu wisata berkata bahwa sejak Februari tidak ada lagi tamu yang datang ke Saporkren. Pandemi membuat rutinitas Sony dan warga kampung berubah. Kondisi begini adalah anomali. Sejak 2004 ketika Sony dan beberapa orang warga mulai memandu wisatawan dari dalam dan luar negeri melihat burung di Saporkren, baru sekali ini situasi begini terjadi. 

Tentu pengaruhnya besar sekali bagi kondisi perekonomian penduduk Saporkren yang hidupnya bergantung pada pariwisata. Sony merespons situasi dengan membuka lahan dan berkebun sejak Mei kemarin. Ia perlu melakukan sesuatu untuk menghidupi istri dan empat orang anaknya.

Menyusuri Hutan Saporkren

Menyusuri Hutan Saporkren/M. Syukron

Sony berbaik hati mengajak kami ke hutan untuk melihat kebunnya. Lokasinya tak seberapa jauh dari permukiman. Hanya perlu sekitar 10 menit berjalan kaki dari rumah terakhir, lewat jalan setapak tak mulus. Tanah basah dan licin, namun Sony berjalan santai tanpa alas kaki sambil menenteng kamera DSLR Canon—pemberian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)—yang ia gunakan untuk memotret satwa.

Hutan sudah menjadi arena bermainnya. Aktif dalam kelompok tani hutan yang mengawasi kawasan Saporkren (2.000 ha)—dan beberapa kali menangkap pemburu liar yang masuk hutan untuk menembak burung—membuat kakinya kebal menapaki hamparan batugamping khas bentang alam karst. Santai sekali ia berjalan. Sementara itu, kami yang meskipun sudah memakai alas kaki, kepayahan menjaga keseimbangan agar tidak terpeleset.

Kebun Kecil di Hutan Saporkren

Kebun kecil di hutan Saporkren/M. Syukron

Kebun kecil Sony Rumbino

Setelah melewati rintangan berupa semak belukar dan pohon-pohon roboh, kami pun tiba di lahan Sony. Kebun seluas sekitar 50×60 meter itu ia tanami kasbi, betatas, sirih, dan jagung yang bibitnya masih bisa ia cari dengan mudah di hutan. Agar tidak dirusak oleh babi hutan, Sony melindungi kebunnya dengan pagar kayu setinggi setengah meter. Sambil menunggu panen pertamanya, ia kini sedang mempersiapkan bibit-bibit tanaman lain untuk ditanam.

Bagi Sony, kendala dalam berkebun adalah soal modal awal untuk membiayai pengadaan alat dan bahan untuk pembibitan dan merapikan lahan. Pengetahuan yang ia dapat dalam penyuluhan ketahanan pangan oleh tim EcoNusa COVID-19 Response Expedition, serta bantuan peralatan pertanian yang diberikan, rasa-rasanya bisa mengangkat sedikit beban di pundak Sony dan warga Saporkren yang sedang berjuang bertahan di masa pandemi.

Wah, jadi rindu bercocok tanam di Pulau Kapoposang!


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id. 

The post Kebun di Saporkren, Bantu Bertahan Hadapi Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kebun-di-saporkren-bantu-bertahan-hadapi-pandemi/feed/ 0 25717
Pulau Kapoposang dan Tawa di Balik Lautan (2) https://telusuri.id/pulau-kapoposang-dan-tawa-di-balik-lautan-2/ https://telusuri.id/pulau-kapoposang-dan-tawa-di-balik-lautan-2/#respond Thu, 17 Sep 2020 17:18:08 +0000 https://telusuri.id/?p=23900 Kak Syukron mengajak kami jalan-jalan melihat kebun sayur yang ia kembangkan bersama masyarakat lokal. Saat berjalan, aku celingak-celinguk memerhatikan pepohonan sekitar. Kudapati pisang, sukun, kelapa, jeruk nipis, dan pohon-pohon lain yang tidak kuketahui namanya. Pohon...

The post Pulau Kapoposang dan Tawa di Balik Lautan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kak Syukron mengajak kami jalan-jalan melihat kebun sayur yang ia kembangkan bersama masyarakat lokal.

Saat berjalan, aku celingak-celinguk memerhatikan pepohonan sekitar. Kudapati pisang, sukun, kelapa, jeruk nipis, dan pohon-pohon lain yang tidak kuketahui namanya. Pohon pinus yang biasanya kulihat di dataran tinggi juga ada. Ia berdiri tegak di tanah berpasir pinggir laut. Rantingnya seolah-olah melambai-lambai menyambut ombak yang datang silih berganti.

Kebun kecil itu ada dua dan secara organik ditanami kangkung, terong, seledri, serai, dan cabe rawit. Untuk pemupukan, Kak Syukron memanfaatkan sabut kelapa, serbuk kayu yang sudah lapuk, dan kotoran hewan. Tapi, bukan cuma soal pemupukan itu yang bikin kebun itu jadi unik.

“Hasil kebun ini kami tidak jual, tapi kami bagi-bagi ke masyarakat untuk dikonsumsi,” ujar Kak Syukron. Selama ini, masyarakat mesti membeli sayur jauh-jauh ke Pangkep daratan.

Pernyataan Kak Syukron itu mengingatkanku pada arti kemanusiaan, yakni saling berbagi. Hal tersebut jarang kujumpai pada masyarakat perkotaan yang lebih mementingkan keuntungan pribadi. Mendengar itu, rasa kagumku pun mencuat.


Snorkeling dan diving adalah dua hal yang paling dinantikan dari berkunjung ke Kapoposang. Titik-titik penyelaman tersebar sekeliling pulau, dengan terumbu karang elok dan biota laut menarik. Di dekat dermaga juga ada area transplantasi karang.

Saat menyelam, kita ‘kan menjumpai taman. Bukan taman bunga yang sering kita jumpai di tengah kota atau di desa, melainkan taman terumbu karang yang tersusun rapi di dasar laut. Karang-karang itu merekah, melebarkan kelopaknya, tak dihinggapi kupu-kupu, kumbang, atau lebah, melainkan berbagai jenis ikan sangat cantik warna-warni yang terus menari di depan mata.

Hari itu, kapal kecil milik nelayan membawa kami ke sebuah titik penyelaman, melewati laut dangkal dengan dasar pasir putih. Bintang-bintang laut—seperti Patrick Star—menyambut kedatangan kami. Aku pun jadi teringat film kartun yang sering kutonton waktu kecil, yaitu Spongebob Squarepants.

Menyelam di Tiling-tiling/Yusran Ishak

Kapal berhenti. Terumbu karang tampak jelas di bawah sana. Aku dan beberapa kawan bergegas memakai peralatan. Sebagian hanya memakai alat dasar, lainnya melengkapi diri dengan peralatan scuba, termasuk tabung oksigen. Peralatan selam memang sudah disediakan oleh pemuda setempat, baik bagi pemula sepertiku maupun mereka yang sudah mahir.

Menceburkan diri ke laut dengan bantuan alat untuk bernapas baru kali itu kurasakan. Menegangkan namun menyenangkan. Hamparan karang tepat di bawahku, ikan-ikan kecil berenang beriringan seperti pelangi di dekatku. Senyumku kembali tersungging karena selama ini aku lebih sering berenang bersama manusia.

Karang jenis Acropora humilis, Montipora aequituberculata, dan berbagai jenis karang lunak maupun keras masih jamak ditemui di perairan Pulau Kapoposang. Aku melayang-layang melihat ikan badut—seperti dalam Finding Nemo—bermain di sela-sela karang bergoyang. Malu-malu ikan itu menampakkan diri, membuatku tersenyum. Usai menyelam, kawan-kawan yang turun dengan peralatan scuba, menunjukkan foto-foto yang mereka ambil di bawah sana. Mereka menyelam berdampingan dengan penyu, di samping karang warna-warni yang bermekaran, elok dan gemulai.

Tak terasa, sore pun tiba. Surya sedang mengakhiri hari. Kutatap dia lekat-lekat dari ujung kapal, di tengah laut, sambil menitipkan pesan agar memanggil ribuan bintang untuk menghiasi malam. Menjelang matahari terbenam, kembali kuceburkan diri ke dalam laut. Aku berenang di bawah sinar redup merah merona. Dalam perjalanan kembali ke pulau, aku merasa semakin dekat dengan alam; hal yang menjadi tujuan ketika kaki ini membawaku beranjak.

Senja di perairan Kapoposang/Yusran Ishak

Malam itu kami menyantap hasil panen nelayan. Energi dari makanan itu membawa kami bergeser ke pinggir laut, mencari kayu bakar, lalu menyalakan api unggun. Api unggun itu kami lingkari kemudian kami perindah dengan candaan. Kami pun makin akrab. Nama-nama panggilan baru disematkan, guyonan bersahut-sahutan, ditimpali tawa keras yang bergema melenyapkan suara ombak. Di tengah peristiwa itu, aku membaringkan diri di samping api unggun, di bawah pohon pinus, dan menatap langit. Matahari ternyata memenuhi permintaanku; seribu bintang dipanggil olehnya. Sinar gemintang menyelinap menembus ranting, meliuk-liuk melewati daun-daun pinus, membuatku kembali tersenyum.

Tak terasa pagi hampir tiba. Burung gosong kaki merah bernyanyi, bernyanyi, lalu diam. Kami mendekatkan diri ke pinggir laut untuk melihat alam melahirkan hari baru dan sejuta harapan. Tak ada suara tangis bayi dalam persalinan itu, hanya sinar merah yang perlahan-lahan merekah. Kami terdiam melihat semua itu.

Aku merayakan kelahiran itu dengan berteriak sekencang-kencangnya. Menyaksikan itu, kawanku pun tertawa—kami tertawa. Perayaan itu kami lanjutkan dengan mengabadikan momen lewat kamera ponsel. Kami berpose dengan gaya masing-masing untuk dipamerkan di media sosial. Lengkap dengan caption puitis tentunya. Kak Meli menulis begini, “Kepada sunyi, rindu tak perlu pamit.”


Satu minggu bermain di Kapoposang, sepanjang waktu mataku menyaksikan berbagai macam keindahan. Tapi, lebih dari itu, aku menemukan keramahan. Warga menerima kami, menjamu kami dengan sajian yang menerbitkan selera, dengan senyum, dengan obrolan.

Aku belajar bersyukur dari para nelayan, melihat mereka mengambil ikan di laut secukupnya saja agar laut tetap lestari. Setiap tahun, mereka mengekspresikan rasa syukur dan terima kasih kepada laut dengan menggelar mappanretasi (memberi makan laut). Barangkali benar bahwa alam menunjukkan dirinya sesuai perlakuan manusia kepadanya. Keindahan alam yang kunikmati di Kapoposang tentunya berasal dari keindahan perilaku dan kebiasaan masyarakat setempat; segala sesuatu yang dirawat dengan cinta akan menghasilkan sesuatu yang indah.

Di Pulau Kapoposang aku akrab dengan senyum dan tawa. Itu luar biasa, mengingat listrik di sana hanya menyala pada malam hari. Orang-orang kota mesti sudah menggerutu jika lampu mati beberapa jam saja. (Namun, alih-alih jengkel, aku justru merasa nyaman karena bisa jauh dari ponsel yang selalu mengabarkan berita-berita soal ketidakjelasan-ketidakjelasan negeri ini.)

Orang-orang pulau itu kurang sejahtera, katanya. Anggapan itu sering kudengar dari orang-orang kota. Tapi aku jadi bingung. Bagaimana mereka bisa beranggapan seperti itu? Di pulau, nelayan bisa tersenyum, anak-anak kecil berseragam sekolah dengan riang mengendarai sepeda, dan masyarakat tetap santun meskipun hanya mengenakan pakaian sederhana. Di kota, orang-orang yang berpapasan bahkan tak bertegur sapa, orang-orang berpakaian necis susah tersenyum karena sibuk memikirkan cara menambah pundi-pundi materi. Bersyukur adalah urusan kesekian. Jadi, mana sebenarnya yang sejahtera? Dan apa sebenarnya arti “sejahtera”?

Kebingungan itu, dalam sepi, kutanggapi dengan senyum dan tawa.

The post Pulau Kapoposang dan Tawa di Balik Lautan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pulau-kapoposang-dan-tawa-di-balik-lautan-2/feed/ 0 23900
Pulau Kapoposang dan Tawa di Balik Lautan (1) https://telusuri.id/pulau-kapoposang-dan-tawa-di-balik-lautan-1/ https://telusuri.id/pulau-kapoposang-dan-tawa-di-balik-lautan-1/#respond Wed, 16 Sep 2020 11:23:44 +0000 https://telusuri.id/?p=23873 Sebagai anak yang dibesarkan di kaki gunung, tempat bermainku biasanya adalah sungai dan gunung. Lama-lama, tentu wajar jika muncul keinginan untuk bermain di tempat baru. Amir, kawanku yang sering kumintai tanggapan tentang kehidupan, juga teman...

The post Pulau Kapoposang dan Tawa di Balik Lautan (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai anak yang dibesarkan di kaki gunung, tempat bermainku biasanya adalah sungai dan gunung. Lama-lama, tentu wajar jika muncul keinginan untuk bermain di tempat baru. Amir, kawanku yang sering kumintai tanggapan tentang kehidupan, juga teman menghujat dan tertawa bersama, mengabulkan keinginan itu melalui ajakan untuk menyeberang ke pulau. Nama pulau itu Kapoposang. Letaknya di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan. Pulau itu dikenal sebagai lokasi snorkeling dan diving terbaik se-Sulawesi Selatan, karena memiliki terumbu karang yang indah, baik yang alami maupun hasil transplantasi.

Tengah malam, aku berangkat ke muara Kali Bersih Pangkep bersama kawan-kawan, yakni Amir, Rahmat, Anas, dan Nono. Kapal kami lalu mendapat tambahan sekira sepuluh orang penumpang—enam orang mahasiswa dari beberapa kampus di Makassar yang belum kukenal dan sisanya penduduk asli Pulau Kapoposang yang nantinya akan memberi kami atap untuk menginap.

Dalam hawa udara selepas salat Subuh, tali mulai dilepaskan, jangkar ditarik naik, mesin dihidupkan, dan kapal lepas landas. Kapal nelayan jenis pagae itu membawa kami beranjak meninggalkan dermaga bersama kantuk yang menggantung di kelopak mata. Semalaman suntuk kami memang berjaga menunggu kapal berangkat. Pelan laju kapal meninggalkan muara menuju laut lepas. Ada yang mulai terbaring untuk melepaskan kantuk yang mulai menyiksa, ada pula yang tetap terjaga menikmati pemandangan subuh—termasuk aku. Kapal tiba di laut lepas bertepatan dengan kelahiran kembali matahari di dunia, yang merekah dan memerah di ufuk timur, mengganti kelap-kelip bintang di langit dan lampu perkotaan dengan cahaya pucat yang semakin memanas.

“Tenang! Tertawa saja dulu, Bro,” kata Amir. Itu jawabannya kepadaku, dari orang yang gemar tertawa kepada orang yang juga senang tertawa, ketika kutanyai, “Hal apa lagi yang akan kita dapatkan di perjalanan ini?”

Ujung-ujungnya kami berdua tertawa.

Tapi tiba-tiba aku terdiam. Ombak terbelah oleh laju kapal yang semakin dipercepat. Menyaksikan terik matahari meninggi menyinari pulau-pulau, pepohonan rindang menghijau di tengah birunya lautan, dan atap-atap rumah yang memantulkan cahaya, bagiku yang tumbuh besar jauh dari lautan, adalah objek pandangan yang asing. Para penumpang kapal juga sama asingnya bagiku. Meskipun di awal pelayaran kami menyempatkan diri untuk saling menyapa dan sedikit bercengkerama, pada akhirnya kami kembali asyik menyendiri, atau mengambil posisi nyaman bersama kenalan masing-masing membentuk kelompok-kelompok kecil. Sebagai orang yang sering tertawa melihat hal-hal baru, aku pun tertawa dalam hati melihat suasana itu.


Setelah lima jam perjalanan terombang-ambing ombak lautan, jangkar pun diturunkan dan kapal sandar di pantai pulau yang kami tuju. Bersama penumpang lainnya, aku mengemasi barang lalu turun dengan kelopak mata yang meronta ingin segera menutup. Tadi aku sempat terlelap beberapa saat di kapal, tapi itu belum cukup. Rasanya pun tak senikmat tidur di kasur hotel bintang lima yang pernah kuinapi, tidak pula senyaman terlelap di kasur sederhana rumahku. Tapi, justru hal itulah yang bikin perjalanan menjadi menarik.

Seturun dari perahu gabus yang mengangkut kami ke batas laut dan darat, kuinjakkan kaki di hamparan pasir dan kurasakan pasir putih Pulau Kapoposang menyalami telapak kakiku dengan lembut. Seketika itu pula angin pantai memeluk tubuhku yang sudah gerah, menciptakan senyum di pucuk bibir yang sudah mengering.

“Selamat datang! Silakan simpan barangnya di bawah rumah, lalu ke meja makan,” sambut ramah ia yang menyambut kami di rumah Pak Desa atau Pakde.

Hidangan makanan telah tersaji di meja pada pelataran rumah panggung. Santapan itulah yang pertama kali disuguhkan kepada kami. Tentunya variasi olahan ikan khas masyarakat pulaulah yang menjadi sajian utama. Ikan bakar cakalang digoreng dengan sambal matah serta tumis ikan kering menjadi sesuatu yang memanggil untuk disantap.

Duduk di kursi plastik sederhana, dinaungi pohon sirsak, kami mengisi perut yang sedari tadi sudah keroncongan. Susana teduh saat menyantap makanan dan pemandangan deretan kapal nelayan terparkir di pinggir laut menjadi bumbu tersendiri, membuat makanan yang kami lahap lebih nikmat dibanding makanan restoran ternama di perkotaan.

Usai melengkapi jamuan dengan asap tembakau, salah seorang di antara kami mengarahkan membentuk lingkaran kecil untuk memulai sesi perkenalan. Nama-nama mulai dilontarkan—Adnan, Ditow Riska, Indah, Husnul, Nyong, Kak Syukron, Haliyah, Afdal—lengkap dengan sedikit informasi soal latar belakang. Canda pun mulai dimainkan sehingga tawa bisa kulihat di wajah mereka.

Setelah perkenalan, kami diarahkan oleh Kak Fahmi, warga Kapoposang yang juga adalah seniorku di kampus, ke salah satu rumah penduduk tempat kami akan menginap selama beberapa hari ke depan. Pemilik rumah itu, Pak Usman, menyambut kami dengan hangat. Kami diarahkan untuk membersihkan diri di sumur yang airnya sedikit asin. Lagi-lagi aku mendapat pengalaman baru.


Kejadian menarik lainnya kualami usai membunuh kantuk, jam 3 pagi keesokan harinya. Telingaku menangkap suara burung yang belum pernah kudengar sebelumnya. Bukan ayam, bukan pula burung maleo, melainkan burung gosong kaki merah yang langka. Menurut data, burung gosong kaki merah ada di Australia dan Indonesia—NTT dan Kepulauan Aru dan Pulau Buru, Maluku. Aku tak menyangka burung langka tersebut hidup liar di Pulau Kapoposang.

Perairan Kapoposang di malam hari/Yusran Ishak

Dini hari itu, aku keluar dan duduk di pantai, mendengarkan suara burung gosong kaki merah yang seolah menjadi beker yang membangunkan warga Kapoposang. Nyanyian itu menggugah para nelayan yang kemudian meninggalkan rumah dengan pakaian yang sederhana, melepaskan tali kapal yang terikat di batang pohon di pantai, menarik jangkar yang berkarat, lalu menghidupkan mesin kapal dan berlayar di bawah bintang-bintang yang merajai dini hari. Nantinya, mereka akan melepas bulan dan bintang untuk kemudian menyambut matahari baru, kelahiran baru.

Melihat semua itu, dalam hati aku berguman, “Adakah hal lain yang lebih indah selain menyaksikan mereka?”

Matahari telah meninggi. Kawan-kawan sudah bangun dan kami beranjak ke rumah Pakde untuk sarapan. Kopi hitam menjadi penutup santapan kami, menjadi teman duduk bersantai di pelataran rumah. Kurasakan keakraban di antara kami semakin mengental lewat cengkerama yang berlangsung. Kami mulai berdiskusi mengenai potensi pulau setelah mendengar Om Safar, salah seorang penduduk Kapoposang, menceritakan gambaran Pulau Kapoposang.

Dari dirinya pula aku belajar makna menanam pohon.

“Jangan menanam pohon untuk dirimu sendiri, tapi menanamlah untuk orang banyak,” demikian  pesan Om Safar sewaktu mengajak kami menanam pohon kelapa sebagai cendera mata bagi Kapoposang.

Aku bersyukur sebab orang-orang yang mampir ke Kapoposang bersamaku mempunyai ilmu yang mumpuni. Mereka menyandang status mahasiswa yang sering disebut sebagai agen perubahan (agent of change). Aku merasa berada dalam lingkup wacana yang berbobot. Konsep pendidikan yang ideal bagi masyarakat pulau, alternatif kesehatan, pertanian yang sesuai dengan daerah kepulauan, sistem ekonomi kreatif untuk mendukung perekonomian masyarakat pulau, sampai pengembangan pariwisata menjadi topik yang kami perbincangkan. Di antara canda tawa, di sela-sela seruputan kopi dan embusan asap rokok, suara-suara perubahan yang keluar dari mulut mereka sangat syahdu untuk didengarkan.

The post Pulau Kapoposang dan Tawa di Balik Lautan (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pulau-kapoposang-dan-tawa-di-balik-lautan-1/feed/ 0 23873
Buku yang Mencari Pembaca https://telusuri.id/buku-yang-mencari-pembaca/ https://telusuri.id/buku-yang-mencari-pembaca/#respond Sun, 21 Jun 2020 16:59:13 +0000 https://telusuri.id/?p=22553 “Buku yang mencari pembacanya.” Waktu mendengar kalimat itu dari Ajo saya hanya tertawa. Lawakannya masih garing seperti biasa. Logikanya ‘kan pembaca yang mencari buku. Tapi, saya benci mengatakan bahwa lawakan garing Ajo itu ternyata benar...

The post Buku yang Mencari Pembaca appeared first on TelusuRI.

]]>
“Buku yang mencari pembacanya.” Waktu mendengar kalimat itu dari Ajo saya hanya tertawa. Lawakannya masih garing seperti biasa. Logikanya ‘kan pembaca yang mencari buku. Tapi, saya benci mengatakan bahwa lawakan garing Ajo itu ternyata benar adanya.

Buku Life of Pi menjadi saksi bisu bahwa ternyata buku mencari pembacanya. Novel Yann Martel itu ada di antara puluhan buku dan alat tulis yang dikirim oleh Tri Widya Asrie, sahabat dari Bali yang biasa kami panggil Neng. Dia memang giat mengumpulkan donasi buku melalui wadah Good Things For Good People untuk dibagikan ke berbagai daerah. Neng berbaik hati mengumpulkan buku untuk didonasikan ke Pulau Kapoposang, tempat saya tinggal. Pulau ini memang minim buku dan rencananya kami akan membuat rumah baca.

Buku "Life of Pi" karya Yann Martel/Syukron
“Life of Pi” karya Yann Martel/Syukron

Coba bayangkan: sebuah buku usang dengan sampul sudah mulai lusuh berkelana dari pemilik pertamanya—yang entah tinggal di mana—lalu sekarang bisa sampai ke tangan saya di sebuah pulau kecil jauh dari mana-mana. Kopian Life of Pi yang sampai ke Kapoposang ini tampaknya adalah sebuah kado untuk seseorang yang berulang tahun. Di halaman judul ada beberapa ucapan tulis tangan dari para pemberinya. Tak jelas nama sang pemilik buku, tapi di halaman persembahan ada sebuah sajak panjang tentang Tuhan, dengan nama, tanda tangan, dan tahun: 2006.

Saat membolak-balik halamannya, saya mendapat kejutan lain, yakni selembar foto triptik khas kotak-berfoto (photobox). Dalam bingkai-bingkai triptik itu lima perempuan muda mejeng seperti gengnya Cinta dalam film AADC.


Saya lupa kapan kali terakhir menamatkan sebuah buku. Padahal, mulai dari sekolah tingkat dasar hingga kuliah, membaca buku adalah kegiatan menghabiskan waktu yang menyenangkan buat saya. Sekarang, internet adalah penggoda utama yang mendistraksi dan menghalangi saya menyantap buku. Membaca buku seperti tak seasyik dulu.

Ketika memegang buku Life of Pi, yang pertama kali terbayang adalah filmnya. Saya justru mengenal buku ini setelah menonton film adaptasinya yang disutradarai Ang Lee. Filmnya sangat memukau mata dan seperti nyata. Namun, meskipun sudah mengetahui jalan ceritanya, saya tetap tergerak untuk membuka buku peraih Man Booker Prize tahun 2002 ini. Sebagai bahan bakar agar tak berhenti di halaman-halaman pertama, saya tantang diri ini untuk menamatkannya, membacanya dari depan sampai belakang.

Foto triptik dalam “Life of Pi”/Syukron

Halaman-halaman buku ini mengisahkan keping-keping kehidupan Piscine Molitor Patel atau Pi. Pi tinggal di Pondicherry, India, bersama ayahnya yang keras, ibunya yang penyayang, dan kakaknya yang selalu menjahilinya. Ayah Pi adalah pemilik sekaligus pengurus sebuah kebun binatang di kota itu. Tapi, pada suatu masa keadaan memaksa keluarga itu untuk menjual kebun binantang mereka, pergi dari Pondicherry, dan mengarungi samudra menuju Kanada. Itulah awal petualangan Pi meniti garis antara hidup dan mati.

Kapal yang mereka tumpangi tenggelam. Pi mujur karena menemukan sekoci. Semula ia bertahan bersama beberapa ekor binantang. Namun, yang menjadi temannya sampai akhir—setelah berjuang menghadapi ketakutan, kelaparan, dan keputusasaan selama 227 hari— ketika lunas sekocinya menyetuh pasir di sebuah pantai di Meksiko adalah seekor harimau Benggala seberat 225 kg bernama Richard Parker.

Halaman demi halaman Life of Pi membuat rasa penasaran dalam diri saya dibawa jalan-jalan naik roller coaster. Kadang saya lega dibawa menurun ke cerita-cerita yang menenangkan, di waktu lain saya dibawa naik ke puncak ketidakpastian—untuk kemudian dihempaskan lagi pada kelegaan yang mencurigakan. Tapi, di akhir cerita Life of Pi, keraguan seakan-akan tersisa seperti noda di baju.


Buku Life of Pi menjadi teman perjalanan ke Pangkep dari pulau Kapoposang. Membaca kisah hidup Pi Patel di kapal joloro serasa ikut masuk dalam dunianya, lebih dari menonton film 3D di bioskop. Sensasinya sangat terasa. Pi seperti duduk di samping saya yang menatap jauh ke laut dan bersama-sama kami melihat ikan berloncatan, merasakan bagaimana diayun-ayunkan gelombang, mencicipi percikan-percikan air asin….

Banyak sekali kutipan dalam novel ini yang cocok untuk direnungkan di kapal. Salah satunya: “Iman adalah rumah dengan banyak kamar. Dan ada ruang untuk keraguan dalam setiap lantainya.”

Saya mengangguk-angguk. Manusia wajar saja merasa ragu dengan agama. Agama dan iman adalah proses perjalanan, bukan sekadar menemukan Tuhan dan berhenti di sana.

Sajak tentang Tuhan di halaman persembahan buku "Life of Pi"/Syukron
Sajak tentang Tuhan di halaman persembahan buku “Life of Pi”/Syukron

Akhirnya saya menamatkan buku Life of Pi. Dan saya dapat bonus: rasa penasaran saya terhadap membaca kini kembali. Membaca buku ibarat menjelajahi alam yang selalu saja menyimpan kejutan-kejutan.

Tampaknya saya harus berterima kasih pada sang pemilik buku dan Geng Cinta-nya. Jika teman-temannya tidak menghadiahkan buku ini padanya, tak mungkin saya bisa membaca kisah Pi. Dan jika sang pemilik hanya menyimpan buku ini di raknya, tak memperbolehkannya ke mana-mana, buku ini juga tidak akan berada di tangan saya.

Setelah oleh saya, kisah Life of Pi akan dibaca oleh anak-anak Pulau Kapoposang. Saya yakin mereka juga akan memberi makna pada Pi dan petualangannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Buku yang Mencari Pembaca appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/buku-yang-mencari-pembaca/feed/ 0 22553
Melintasi Langit Nusantara Semasa Corona https://telusuri.id/melintasi-langit-nusantara-semasa-corona/ https://telusuri.id/melintasi-langit-nusantara-semasa-corona/#respond Sun, 26 Apr 2020 00:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=21083 Melayang di udara, pesawat kami sudah tinggal landas dari Bandara Sultan Hasanuddin tepat pukul 18.00 WITA saat langit sudah tak lagi menyisakan sedikit pun semburat jingga. Pesawat ini membawa kami menuju Jogja, sebuah kota berbudaya...

The post Melintasi Langit Nusantara Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
Melayang di udara, pesawat kami sudah tinggal landas dari Bandara Sultan Hasanuddin tepat pukul 18.00 WITA saat langit sudah tak lagi menyisakan sedikit pun semburat jingga. Pesawat ini membawa kami menuju Jogja, sebuah kota berbudaya adiluhung yang dalam banyak hal selalu menjadi barometer nasional.

Gugus-gugus lampu rumah di bawah sana menyala menciptakan pemandangan indah tiada tara, seakan-akan berupaya menyaingi gemintang di atas sana; pemandangan lazim ketika malam-malam menumpang moda transportasi udara. Tapi ada yang tak lazim kali ini; kami terbang saat wabah corona melanda.


Sebulan lalu, perjalanan ke sebuah pulau terluar di Sulawesi Selatan kami mulai. Kami tidak berpikir panjang sebelum menempuh perjalanan yang ujung-ujungnya penuh risiko ini.

Tepat 19 Februari 2020 perjalanan kami mulai. Saya dan suami berangkat bersama. Tidak ada yang berbeda, semua berjalan sewajarnya. Kami berangkat pukul 20.00 WIB dari Bandara Adisutjipto dan mendarat 01.00 WITA tanggal 20 Februari 2020.

Kegiatan di pulau bernama Kapoposang itu kami laksanakan juga tanpa halangan. Seperti kebanyakan pejalan, setelah kegiatan selesai kami berharap kembali dengan selamat ke daerah asal.

Namun, 18 Maret 2020 Indonesia mengumumkan status siaga menyusul semakin bertambahnya penduduk yang terdeteksi positif COVID-19. Saat itu, imbauan untuk stay at home sudah diberlakukan meskipun belum seketat sekarang. Penerbangan kami kembali ke Jogja adalah 23 Maret 2020 pukul 18.00 WITA. Beberapa hari sebelum berangkat pulang, kami mendapat kabar bahwa sudah ada beberapa suspek corona di Jogja. Rasanya seperti mendengar petir menyambar siang bolong musim kemarau. Waswas kami rasakan. Kami semakin waswas ketika dapat kabar tambahan; masker telah langka di Makassar dan sekitarnya.

Tanggal 22 Maret kami bergeser menuju Makassar menumpang kapal cepat BKPN Kupang. Meskipun sudah mendengar kabar sebelumnya, saya masih tak percaya ketika benar-benar mendapati bahwa masker—dan hand-sanitizer—benar-benar langka. Sejak berlabuh di dermaga POPSA, kami, ditemani Mas Syukron dan Bang Fai, berputar-putar mencari masker dan cairan pembersih tangan. Di semua Alfamart, Indomaret, dan apotek yang kami singgahi, stok kedua barang itu kosong.

Kami akhirnya memutuskan melipir dulu ke Pangkep dan menginap di rumah salah seorang teman. Malam itu saya menyerah mencari masker. Lanjut besok pagi saja. Lagipula, tempat kami menginap berada di daerah Pasar Pangkep. Rasa-rasanya benda-benda yang saya cari akan ada di sana. Jam 7 pagi WITA, keesokan harinya, saya hampiri dua apotek. Kedunya kehabisan stok masker. Salah seorang penjaga apotek bercerita bahwa masker yang dijual apotek itu diborong oleh satu orang saja.

Panik tak kunjung menemukan masker, saya memilih opsi lain, yakni mencari sarung tangan plastik di toko kue. Setidak-tidaknya, kami bisa menjaga tangan agar tetap bersih dengan sarung tangan. Terkait masker, sebenarnya saya tidak terlalu waswas; ke mana pun bepergian kami selalu membawa buff. Upaya mencari masker medis itu akibat mendapat informasi bahwa masker kain masih dapat ditembus oleh virus corona. Saya jadi sedikit paranoid.

Pagi itu saya, suami, dan Mas Syukron merapat ke sebuah kafe bernama Logos di dekat Tugu Bambu Runcing Pangkep. Kafe itu terlihat sepi. Di depannya ada sebuah kursi kayu yang di atasnya diletakkan galon kecil berisi air, sabun, dan sekotak tisu kecil. Di sekitarnya ada sebuah tong sampah. Pintu Logos ditutup setengah, seolah bimbang antara mau tutup atau buka.

Segera setelah mencuci tangan sebersih mungkin dan mengelapnya dengan tisu, kami pun segera masuk. Empunya Logos, Bang Ramez, menyambut kami dan segera saja kami mengobrol tentang corona dan betapa langkanya masker dan cairan pembersih tangan. Bang Ramez akhirnya menyarankan kami untuk memakai masker buatan Logos yang terbuat dari kain berlapis tisu.

Ketika menunggu waktu “boarding” di Bandara Sultan Hasanuddin/Annise Rohman

Kami bertolak ke bandara pukul 16.00 WITA. Masker Logos kami pakai. Tebal, pengap, dan saya merasa susah bernapas. Saya geser ke kanan dan ke kiri; tisu menempel di bibir. Kami berdebar-debar menuju bandara. Rasanya bandara tak lagi jadi tempat istimewa; bandara telah menjadi tempat yang menakutkan.

Namun, betapa terkejutnya kami setiba di bandara mendapati pemadangan yang tidak sesuai dengan bayangan. Sebagian besar orang lalu-lalang tanpa masker. Semuanya seakan berjalan seperti biasa. Aneh sekali, pikir saya. Mungkinkah ini efek kelangkaan masker? Tak ambil pusing dengan pemandangan janggal itu, saya dan suami tetap memakai masker kain Logos. Petugas yang melayani proses check-in dan mencetak boarding pass menggunakan masker serta sarung tangan karet. Di gerbang keberangkatan, para penumpang masih saja tak bermasker. Barangkali memang mereka tak kebagian masker.

Pukul 20.30 WIB kami mendarat di Bandara Adisutjipto. Saat berjalan di tarmak bandara, semua terasa biasa-biasa saja, sampai akhirnya kami diberhentikan di pintu masuk. Kami diminta berbaris kemudian petugas mengecek suhu tubuh kami dengan termometer digital yang modelnya seperti pistol. Perasaan saya tak keruan. Tapi suhu kami ternyata normal.

Kami pun bergeser ke pengambilan bagasi dan akhirnya pulang dengan menumpang taksi. Masih jam 21.00 WIB tapi jalanan daerah Maguwo tampak sepi. Mungkin karena hujan habis turun. Tapi, ini terasa tak biasa. Setiba di rumah, kami mengetahui fakta baru; gang masuk kampung sekarang ditutup jam 22.00 WIB. Biasanya, 24/7 portal tak pernah ditutup. Pembatasan gerak mulai terasa semenjak corona menyapa Jogja.


Tiga hari di rumah, tepat tanggal 26 Maret 2020 desa kami melakukan lockdown mandiri untuk 14 hari. Semua portal ditutup. Bahkan, portal yang bawahnya masih bisa dilewati pejalan kaki pun dikunci rapat, ditutupi papan dan palang kayu. Warga yang ingin pergi ke luar karena keperluan mendesak harus lewat satu pintu. Suatu kali, saat pulang belanja dari pasar, saya mesti rela disemprot disinfektan di pintu desa. Tangan saya juga disemprot cairan pembersih yang entah takarannya bagaimana. Indera penciuman saya menangkap bau pembersih lantai dan sabun. Sangat menyengat.

Menjalani “protokol” sebelum masuk kampung/Annise Rohman

Dari peristiwa itulah kami akhirnya mengarantina diri selama 14 hari—dan saat ini diperpanjang lagi selama 14 hari. Tak tahu kapan ini berakhir. Ibadah Jumat suami pun safnya sudah dijarangkan, untungnya tidak diliburkan.

Semoga wabah COVID-19 segera berakhir.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melintasi Langit Nusantara Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melintasi-langit-nusantara-semasa-corona/feed/ 0 21083
Segera Pulang ke Kapoposang https://telusuri.id/segera-pulang-ke-kapoposang/ https://telusuri.id/segera-pulang-ke-kapoposang/#comments Tue, 31 Mar 2020 13:45:24 +0000 https://telusuri.id/?p=20616 Selama tinggal di Pulau Kapoposang yang serba terbatas, sudah menjadi agenda rutin bagi saya untuk ke Pangkep. Intervalnya bisa dua minggu sekali atau sebulan sekali, tergantung ada atau tidaknya kapal yang bisa ditumpangi. Beberapa waktu...

The post Segera Pulang ke Kapoposang appeared first on TelusuRI.

]]>
Selama tinggal di Pulau Kapoposang yang serba terbatas, sudah menjadi agenda rutin bagi saya untuk ke Pangkep. Intervalnya bisa dua minggu sekali atau sebulan sekali, tergantung ada atau tidaknya kapal yang bisa ditumpangi.

Beberapa waktu lalu, saya ke Pangkep untuk menebus sayur-sayuran dan buah-buahan dalam daftar belanjaan, sekalian mampir nongkrong di Logos Coffee demi menikmati akses internet. Maklum, di Pulau Kapoposang kuota internet saya terbatas. Soal sayur dan buah ini, sebenarnya di Pulau Kapoposang kami sudah mulai berkebun, tapi hasilnya masih kurang mencukupi. Kangkung, sawi, dan kacang panjang langsung habis begitu kami panen. Tapi, ke depan mungkin akan beda, sebab lahan terus diperbesar dan ilmu bercocok tanam terus digali.

Begitu tiba di Pangkep, efek wabah corona mulai terasa. Di pulau, saya memang sudah mengikuti kabar soal COVID-19 lewat lini masa. Tapi, kegiatan di pulau bikin pikiran saya tak terlalu tersita pada isu itu. Yang saya jumpai, wabah corona telah membuat roda perekonomian Kabupaten Pangkajene Kepulauan, nama panjang Pangkep, menjadi lesu. Terlebih sejak ditemukannya kasus positif di Makassar. Orang-orang pun mulai khawatir. Maklum, Pangkep dan Makassar hanya terpaut dua jam perjalanan.

Di Kapoposang sendiri, kewaspadaan sudah mulai muncul. Masyarakat pulau ternyata tak mau mengambil risiko. Salah satu langkah preventif yang dilakukan adalah mencegah wisatawan masuk pulau. Kemarin-kemarin, ada beberapa orang wisatawan yang “maksa” liburan ke pulau. Besoknya mereka langsung dipulangkan oleh warga.

Galon air, sabun, dan tisu di pintu masuk Logos Coffee di Pangkajene Kepulauan/Ramez

Kafe Logos juga sudah terkena imbas. Di dalam kafe yang biasanya ramai itu hanya ada beberapa orang ketika saya datang. Itu pun adalah para kenalan Bang Ramez sang pemilik kafe, bukan tamu. Menurut Bang Ramez, omzet menurut tajam.

“Kemaren saja hanya [Rp]30 ribu,” ungkapnya. Itu ekuivalen dengan tiga gelas saja.

Pemerintah Pangkep ternyata sudah mengeluarkan imbauan untuk tidak berkumpul di keramaian. Ada semacam sweeping yang dilakukan petugas ke titik-titik keramaian untuk sosialisasi hal itu. Sekolah telah diliburkan, tempat-tempat kerja ditutup, dan masyarakat diimbau untuk #dirumahaja. Untungnya pasar masih berjalan seperti biasa meskipun harga beberapa bahan kebutuhan pokok sudah mulai naik.

Keadaan ini bikin saya makin tak ingin lama-lama di Pangkep. Saya ingin sesegera mungkin mencari kapal untuk kembali ke Pulau Kapoposang.

Keesokan paginya saya sudah di “Dermaga Pinggir Sungai” Pangkep lagi. Kapal sudah diisi berbagai barang dari pasar. Saat menunggu berangkat, saya tiba-tiba menyadari bahwa masyarakat di pulau memang sudah melek informasi. Tapi, yang sekarang mesti dipikirkan, segala informasi yang didapat mesti diverifikasi agar valid. Alasannya, ya, supaya tak muncul kepanikan untuk membeli bahan pokok secara berlebihan. Meskipun barangkali itu wajar-wajar saja menimbang kondisi sekarang. Yang jelas, relasi baik antara masyarakat pulau dan daratan dalam keadaan seperti ini akan jadi faktor yang sangat menentukan.

Akhirnya saya kembali melaut. Cuaca sedang cerah-cerahnya. Ketenangan laut hanya dipecah oleh suara mesin Dongfeng yang begitu memekakkan telinga. Jika biasanya perlu waktu sampai 7 jam untuk ke pulau, kali itu hanya 5 jam saja. Sesampai di rumah, beberapa orang sudah berkumpul. Mereka penasaran mendengar langsung soal situasi di Pangkep.

Kepala desa cukup tanggap menginstruksikan perangkat desa dan warga agar mulai lebih peduli soal kesehatan, misalnya soal praktik mencuci tangan, juga membuat papan informasi agar warga tetap tenang meskipun beraktivitas secara lebih berhati-hati. Jika di kota-kota besar penduduk disarankan untuk di rumah saja, di pulau warga diharapkan untuk tidak keluar-masuk pulau terlalu sering. Itu pun hanya jika ada kepentingan. Orang-orang dari luar pulau diimbau untuk tak datang dulu ke Kapoposang.

Spanduk imbauan kewasapadaan corona di Pulau Kapoposang/Syukron
Spanduk imbauan kewasapadaan corona di Pulau Kapoposang/Syukron

Kalau dipikir-pikir, tak akan sulit jika diberlakukan lockdown di Pulau Kapoposang, sebab pada dasarnya masyarakat di pulau cukup mandiri. Hidup di tempat yang jaraknya jauh dari Pangkep atau Makassar, mereka terbiasa bertahan dengan kondisi yang serba terbatas. Saat musim barat, misalnya, bisa hampir sebulan orang Kapoposang tidak keluar pulau.

Ketika dunia dilanda wabah seperti ini, anjuran untuk menjarakkan diri dengan dunia luar tidak terlalu jadi masalah untuk mereka. Yang perlu dilakukan warga justru bagaimana membuat orang sementara tak mampir dulu ke pulau.

Mungkin memang sudah digariskan semesta bahwa saya akan melewatkan masa-masa mencekam ini di tengah-tengah komunitas yang percaya bahwa ketenangan dan usaha mempertahankan hidup itu bisa sejalan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Segera Pulang ke Kapoposang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/segera-pulang-ke-kapoposang/feed/ 1 20616
Belajar Toleransi bersama ANTEROxSabangMerauke di Makassar https://telusuri.id/belajar-toleransi-bersama-antero-kok-bisa-di-makassar/ https://telusuri.id/belajar-toleransi-bersama-antero-kok-bisa-di-makassar/#respond Wed, 22 Jan 2020 14:19:24 +0000 https://telusuri.id/?p=19470 Cuaca Pulau Kapoposang ketika angin barat ternyata membuat saya harus pasrah dengan segala rutinitas dan musti berhenti sejenak. Ampas kelapa tak kunjung kering karena tak bisa dijemur. Semaian tanaman yang sudah mulai kelebihan air juga...

The post Belajar Toleransi bersama ANTEROxSabangMerauke di Makassar appeared first on TelusuRI.

]]>
Cuaca Pulau Kapoposang ketika angin barat ternyata membuat saya harus pasrah dengan segala rutinitas dan musti berhenti sejenak. Ampas kelapa tak kunjung kering karena tak bisa dijemur. Semaian tanaman yang sudah mulai kelebihan air juga membutuhkan panas matahari.

Padahal saya mesti mempersiapkan ampas kelapa untuk pakan ayam dan mengumpulkan tanah agar bisa segera memindahkan bibit ke polybag yang lebih besar. Ini semua sebenarnya persiapan agar saya bisa meninggalkan kewajiban kegiatan di pulau dengan tenang. Rencananya, jika ada kapal yang berangkat menuju Pangkep, saya akan ikut, terus lanjut ke Jakarta.

Jumat ini cuaca sepertinya bersahabat. Mendung menuju cerah. Sehabis salat Jumat, Pak Sapar memberitahukan jika sebentar lagi ia akan ke Pangkep. Beruntung malam sebelumnya saya sudah mengemas tas.

Selama perjalanan, laut cukup tenang dan matahari menyinari lautan dengan hangat. Padahal sehari kemarin hujan badai dan ombak besar. Saya mengecek tanggal dan mencoba membuat daftar apa saja yang akan saya lakukan selama pergi ke luar Kapoposang. Saya baru teringat kalau besok Sabtu ada acara ANTERO dari Kok Bisa dan SabangMerauke di Makassar, “Keliling Indonesia Merawat Toleransi.” Pas sekali. Bisa saya agendakan untuk ikut.

Kapal kami baru tiba Pangkep menjelang Magrib dan saya jalan keesokan paginya.

Dari Pangkep menuju Makassar saya naik pete-pete (angkot) berwarna biru. Cukup banyak pete-pete dari Pangkep ke Makassar. Jadi, tak perlu menunggu lama, pantat saya sudah mendarat mulus di bangku penumpang.

Walau belum tahu rute mana yang akan dilewati, saya go show saja. Yang penting sampai Makassar dulu. Nanti tinggal tanya-tanya, begitu pikir saya. Setelah tanya pak supir, ternyata saya hanya perlu dua kali ganti angkot. Akhirnya saya turun di Sentral Makassar dan berjalan sekitar 15 menit menuju hotel di mana acara ANTERO diadakan.

Acara itu ternyata berada di lantai 17. Begitu melihat nama ruangan yang dipakai ANTERO, saya tertawa dalam hati. Kapoposang. Nama ruangannya Kapoposang. Semesta memang suka bercanda dengan caranya sendiri. Kapal yang tidak direncanakan ke Pangkep, ruang yang bernama Kapoposang. Suatu kebetulan yang remeh.

Acara dimulai jam 10. Dari 50 peserta terpilih, beberapa sepertinya memang sudah saling kenal, sementara lainnya masih meraba-raba, terlihat kikuk mengantisipasi informasi yang akan mereka dapat di ANTERO kali ini.

Reynold Hamdani sedang berbagi soal toleransi di ANTERO Makassar/Kok Bisa
Reynold Hamdani sedang berbagi soal toleransi di ANTERO Makassar/Kok Bisa

Sebelum acara dimulai kami menyanyikan lagu Indonesia Raya 3 Stanza. Jujur, ini pertama kalinya saya menyanyikan lagu Indonesia Raya 3 Stanza. Kalau saja tidak dipandu oleh lirik yang ada di layar proyektor, mungkin saya tidak bisa menyanyikannya. Malu juga karena asing dengan lagu kebangsaan sendiri.

Selanjutnya ada perwakilan UNDP, Bapak Syamsul Tarigan, yang menceritakan bahwa awal mula acara ini adalah kegelisahan bahwa, faktanya, toleransi di negeri ini sudah berada di tahap yang mengkhawatirkan. Selanjutnya ada Reynold Hamdani dari SabangMerauke, Albi dari Kok Bisa, dan Siti Fuadilla dari Perempuan (di) Makassar, yang bercerita tentang toleransi dari sudut pandang mereka.

Menarik dan menggugah memang. Saya seperti berkeliling Indonesia mendengar cerita mereka berbagi soal toleransi di berbagai tempat. Ditambah lagi para peserta aktif bercerita tentang bagaimana kondisi tolerasi terutama yang terjadi di Makassar dan kegelisahan mereka bahwa ternyata isu ini memang sudah relevan dalam kehidupan sehari-hari.

Saya sebenarnya tidak terlalu menelaah toleransi, karena bagi saya itu bukan isu pribadi. Selama kita masih punya empati dan rasa peduli terhadap kawan sekitar, toleransi akan terbangun, karena itu bukan hanya konsep tapi juga tingkah laku.

Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, memang ada beberapa memori yang membuat saya sadar bahwa selama ini saya selalu bercanda dengan tolerenasi.

Misalnya saat menjadi relawan di salah satu tempat yang terkena bencana. Saat itu saya bersama teman-teman dari Belgia dan Belanda. Ketika mengunjungi posko untuk memberikan bantuan, perwakilan dari posko itu bertanya pada saya, “Apakah bantuan ini dari warga asing itu?” Saya jawab, ada beberapa. Lalu mereka tanya, “Apakah mereka seagama dengan kami?” Saya bilang, “Udah, Pak. Daripada pusing, mending bantuannya disyahadatin aja.” Bapaknya melengos. Saya pasang muka bego.

Pernah saat di Papua saya menumpang di rumah teman. Mama teman saya ini rajin ke gereja. Suatu waktu saya sedang rebahan bersama teman-teman, padahal azan sudah berkumandang. Mama menghampiri sambil setengah teriak: “Kalian ini kalau tra solat sa baptis di gereja saja! Pi solat sana!”

Toleransi memang bisa dibangun dengan sebercanda itu.

Salah satu karya Kok Bisa tentang toleransi/Kok Bisa

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Belajar Toleransi bersama ANTEROxSabangMerauke di Makassar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/belajar-toleransi-bersama-antero-kok-bisa-di-makassar/feed/ 0 19470
Setelah “Isi Lambung Tengah” di Pesta Perkawinan Kapoposang https://telusuri.id/setelah-isi-lambung-tengah-di-pesta-perkawinan-kapoposang/ https://telusuri.id/setelah-isi-lambung-tengah-di-pesta-perkawinan-kapoposang/#comments Sun, 15 Dec 2019 01:00:59 +0000 https://telusuri.id/?p=18866 Dari sore sudah mulai beredar isu bahwa tidak ada makan malam di rumah hari ini. Alasannya, ternyata ada pesta pengantin di RT 2. Kalau kata Pak Desa, kita akan “isi lambung tengah” alias makan di...

The post Setelah “Isi Lambung Tengah” di Pesta Perkawinan Kapoposang appeared first on TelusuRI.

]]>
Dari sore sudah mulai beredar isu bahwa tidak ada makan malam di rumah hari ini. Alasannya, ternyata ada pesta pengantin di RT 2. Kalau kata Pak Desa, kita akan “isi lambung tengah” alias makan di pesta perkawinan.

Selepas Magrib beberapa pemuda dengan setelan terbaik mereka sudah mulai berkumpul di pos ronda tempat kami biasa nongkrong. Parfum entah berapa liter diguyur ke badan mereka. Harumnya bikin kepala saya pusing. Selama beberapa minggu di Pulau Kapoposang, memang baru kali ini saya melihat mereka berpenampilan senecis ini, mengalahkan dandanan mereka saat salat Jumat.

Tak perlu menunggu lama, Tim Lambung Tengah alias Regu RT 1 sudah lengkap dan siap menyerang meja makan pesta pernikahan. Kami menuju lokasi jalan kaki. Penerangan kami dapat dari atas. Bukan dari tiang listrik, tapi dari bulan purnama.

Berdoa bersama sebelum makan/Syukron
Berdoa bersama sebelum makan/Syukron

Sesampai di rumah mempelai, suasana sudah ramai. Setelah bersalaman dengan pengantin, mata saya mulai awas dengan menu sajian makan malam di meja. Acar dan ayam kuah pedas menjadi incaran saya.

Momen ini tentu tak boleh disia-siakan; kapan lagi bisa menikmati ayam di pulau? Setiap hari santapan saya ikan berbagai jenis dan beragam cara penyajian. Ayam adalah penyelamat rasa, juga kemewahan sederhana, yang membuat saya sejenak melupakan aroma ikan. Saya mencoba menikmati santap malam ini dengan khusyuk meskipun udara sekitar dipenuhi suara orang sedang karaokean entah menyanyikan lagu apa.

Awalnya saya tak terlalu ambil pusing soal sumber suara orang sedang karaokean itu. Tapi, begitu piring saya sudah kosong, mau tak mau fokus saya bergeser ke hiburan spesial malam itu.

Pos ronda RT 2 ternyata sudah disulap menjadi panggung dadakan, lengkap dengan lampu disko yang paradoks: gemerlap tapi malah memberi kesan remang-remang.

Purnama tampak dari pesisir Pulau Kapoposang/Syukron
Purnama tampak dari pesisir Pulau Kapoposang/Syukron

Sebagai manusia yang punya pustaka musik terbatas, saya masih gagal memahami lagu apa yang sedang dinyanyikan. Yang jelas dangdut. Di panggung, aktivitas sang penyanyi cukup padat. Tangannya multitasking: tangan kiri memegang ponsel yang dicolokkan ke corong (menghasilkan lagu tanpa vokal), sementara tangan kanan menggenggam mikrofon untuk bernyanyi.

Satu per satu, silih berganti, orang-orang naik ke panggung. Semuanya bernyayi tanpa memusingkan nada dan estetika. Yang penting semuanya bergoyang dan tidak pulang. Anehnya, baik kedua mempelai di singgasana maupun para undangan nyaman-nyaman saja mendengarkan lagu-lagu yang lari dari nada itu.

Beberapa teman menyebut saya sebagai “cacat nada” karena sering fals ketika bernyanyi atau main gitar. Di antara mereka, saya merasa menjadi minoritas. Tapi, di pulau ini, saya merasa menjadi mayoritas, sebagai anggota dari kelompok yang cuek-cuek saja berkejaran dengan nada.

Hadirin dan hadirat berkumpul di pesta pernikahan
Hadirin dan hadirat berkumpul di pesta pernikahan/Syukron

Suasana makin meriah saat beberapa orang mulai berjoget di panggung (baca: pos ronda). Makin panas. Jogetan-jogetan mereka jadi makin liar—patah-patah, ngebor ala Inul Daratista. Tapi, semakin liar jogetan mereka, semakin menggelegar tawa khalayak. Soalnya, yang berjoget adalah para pria cukup umur dan berjenggot. Saya sendiri terbengong-bengong. Sehari-hari, saya kerap melihat mereka melaut. Saya tak menyangka mereka bisa bertingkah konyol seperti itu.

Tak terasa sudah jam 10 malam. Mata saya mulai layu. Tapi, saya tak melihat ada yang beranjak pulang. Malah, suasana jadi tambah ramai dan, saya tebak, orang-orang seperti masih menunggu acara selanjutnya. Tebakan saya ternyata tak meleset. Ada hiburan pamungkas yang sengaja disimpan di ujung acara. Begitu pertunjukan musik selesai dan penyanyi turun panggung, MC memberitahukan bahwa sebentar lagi acara Bado-bado, lawakan di panggung mirip OVJ dalam bahasa Bugis, akan dimulai.

Cerita Bado-bado kali ini adalah upacara perkawinan berbungkus komedi. Dandanan para pemainnya yang menor saja sudah bikin orang terpingkal-pingkal. Gerak-gerik para pemain memang lucu. Tapi, karena disajikan dalam bahasa Bugis, saya merasa seperti sedang nonton film asing tanpa subtitle. Setelah beberapa saat mencoba memahami pertunjukan itu—dan belum berhasil—akhirnya saya memantapkan diri untuk bangkit dari tempat duduk, menyalami kanan-kiri, dan pamit pulang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Setelah “Isi Lambung Tengah” di Pesta Perkawinan Kapoposang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/setelah-isi-lambung-tengah-di-pesta-perkawinan-kapoposang/feed/ 1 18866