aceh Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/aceh/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 09 Dec 2022 06:58:00 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 aceh Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/aceh/ 32 32 135956295 Bersepeda ke Monumen Kilometer Nol Indonesia https://telusuri.id/bersepeda-ke-monumen-kilometer-nol-indonesia/ https://telusuri.id/bersepeda-ke-monumen-kilometer-nol-indonesia/#respond Mon, 12 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36611 Bersepeda ke Monumen Kilometer Nol Indonesia yang berada di ujung barat Indonesia, tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Monumen yang menandakan titik 0 kilometer Indonesia ini seharusnya berada di Pulau Rondo—karena berada paling luar di barat Indonesia—yang...

The post Bersepeda ke Monumen Kilometer Nol Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
Bersepeda ke Monumen Kilometer Nol Indonesia yang berada di ujung barat Indonesia, tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Monumen yang menandakan titik 0 kilometer Indonesia ini seharusnya berada di Pulau Rondo—karena berada paling luar di barat Indonesia—yang berbatasan langsung dengan Nikobar, India. Namun, karena aksesnya tidak memungkinkan dan alasan keamanan, Pulau Weh menjadi tempat berdirinya monumen ini.

“Tujuan itu statis, tapi proses untuk mencapai tujuan tersebut yang dinamis.”

Prinsip itu yang aku pegang sampai saat ini ketika aku sedang bertualang ke mana pun. Berawal dari mimpi, semua bisa jadi pasti. Asalkan kita mau berusaha dan menikmati setiap proses untuk mencapai tujuannya.

Perjalanan ini membawaku untuk menembus garis batas ujung negeri pada akhir bulan Juni 2022. Selepas dari Medan, dan beberapa hari sebelumnya aku mengunjungi Danau Toba dan Pulau Samosir, aku memutuskan melanjutkan perjalanan ke provinsi paling ujung Pulau Sumatra yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Di sana, ada kawan-kawan dari mahasiswa pencinta alam Universitas Syiah Kuala, yaitu Mapala Leuser yang bersedia “menampungku”.

Pulau Weh terlihat dari pinggiran pantai kota ketika kami sedang melihat matahari terbenam. Aku bulatkan niat dan tekad untuk mencoba hal lain untuk menuju ke sana. Sebetulnya, ada banyak transportasi yang bisa dipakai untuk menuju Sabang, namun yang terlintas di benakku adalah sepeda.

Yang terbesit dalam pikiranku adalah, tempat tujuan bukan menjadi hal paling penting, tetapi bagaimana perjalanan untuk mencapai tempat tujuan tersebut. Toh, sepeda pun merupakan alat transportasi yang ramah lingkungan, bukan? 

Bang Fuad, salah satu kawan dari Mapala Leuser dengan baik hati berkenan meminjamkan sepedanya untuk aku pakai beberapa hari ke depan. Malam harinya, kami mengambil sepeda di rumah indekosnya. Esok pagi akan menjadi hari yang panjang bagiku.

Banda Aceh pagi itu sangat sendu. Hujan rintik sedari subuh tak membuat niatku untuk mengayuh sepeda luntur. Aku tutup pintu Sekretariat Mapala Leuser saat para penghuninya masih terlelap. “Bro, aku berangkat dulu ke Sabang ya,” pesan kukirimkan kepada Fiqra yang mungkin baru akan membacanya ketika sudah bangun tidur. Tali sepatu aku ikat kencang, tak lupa helm sebagai peralatan safety, ku pakai. Kayuhan pedal sepeda pertama pun aku mulai.

Gerimis menemani awal perjalananku bersepeda di kota ini. Beberapa menit berselang, aku melipir terlebih dahulu ke suatu kedai kopi di pinggir jalan, tak jauh dari Masjid Baiturrahman. Seperti biasanya, pagi hari, setiap kedai kopi di Banda Aceh selalu ramai. Ada polisi, pegawai, anak kuliahan, semuanya sibuk dengan secangkir kopinya masing-masing. Semangkuk nasi uduk dan secangkir kopi sanger cukup untuk mengisi awal tenagaku ini. Aku lanjutkan kayuhan sepeda ini menuju ke salah satu pelabuhan yang bisa mengantarku menyebrangi lautan.

kapal penyebrangan
Kapal laut penyebrangan rute Banda Aceh-Pulau Weh/Zufar Fauzan

Pelabuhan Ulee Lheue sudah padat oleh calon penumpang yang ingin menyebrang ke Pulau Weh. Aku bergegas pergi ke loket pembelian tiket yang tak jauh dari pintu gerbang pelabuhan. Sebuah pengumuman terdengar dari pengeras suara, menginformasikan kapal masih tertahan dan belum bisa berlayar seperti waktu biasanya karena terjadi badai dan gelombang ombak yang tinggi. Rasa cemas menghampiriku, apa boleh buat, semoga perjalanan ini baik-baik saja.

Setelah menunggu cukup lama di pelataran parkir bongkar muat kendaraan, akhirnya para penumpang boleh masuk ke dalam kapal bernama KMP Aceh Hebat 2. Ada rombongan komunitas motor, wisatawan asing yang menggunakan sepeda motor sewaan, dan ada juga pasangan yang sedang bermesraan di atas jok. Hanya aku seorang diri yang menggunakan sepeda di balik kerumunan kendaraan yang memadati parkiran di dalam kapal. Aku taruh sepeda di samping mobil dan motor yang berjajar rapih.

Satu jam kemudian, kapal mulai berlayar menembus lautan untuk menuju Pulau Weh. Aku pergi ke atas kapal, mencari tempat untuk bisa bersandar dan meluruskan kaki sambil mengistirahatkan badan. Pulau Nasi dan Pulau Breueh di sebelah timur terlihat dengan jelas di seberang hamparan biru sana. Perlahan sinyal tenggelam membuat diri ini terlelap sebentar.

Setelah lebih satu jam, kapal mulai bersandar di Pelabuhan Balohan, pintu masuk untuk menuju ke Kota Sabang. Suasana Pelabuhan Balohan cukup ramai, mungkin karena banyak wisatawan juga yang pergi ke tempat ini. Aku buka Google Maps untuk mengarahkan jalan ke pusat kota. Gerbang “Selamat Datang di Kota Sabang” membuat aku semakin semangat untuk melanjutkan perjalanan ini.

Gapura Sabang
Gapura pintu masuk di Kota Sabang/Zufar Fauzan

Baru saja beberapa menit mengayuh, aku dihadapkan dengan tanjakan yang sangat terjal. Aku menelan ludah. Niat sudah terkumpul, aku pindahkan ke gigi satu, dan perlahan betisku mulai tersiksa karena tanjakan ini. Beberapa kendaraan silih berganti menyusulku sembari memberi klakson tanda memberi semangat. Alhamdulillah, masih ada yang perhatian juga kepadaku!

Terik sang mentari tepat di atas peraduan. Rumah penduduk masih menemaniku di samping kiri dan kanan jalan. Aku melipir ke salah satu warung di pinggir jalan. Es jeruk dan beberapa sereal makanan ringan cukup untuk mengisi kembali tenagaku sekaligus untuk menunggu baterai telepon genggam terisi penuh. 

Pemandangan sudah berganti dari bebetonan menjadi pepohonan. Sesekali terlihat hamparan laut diujung sana. Aku banyak menghabiskan waktu untuk berhenti mengambil gambar yang memanjakan mata. Betisku sempat terasa tegang, kram menghajar kakiku. Beberapa kali aku harus turun dari sepeda dan mendorongnya untuk melewati tanjakan demi tanjakan terjal. Maklum, aku sudah lama tidak melakukan olahraga ini. Rutinitas sehari-hariku jauh dari kegiatan olahraga. Apa boleh buat, kupaksakan apa yang harus aku selesaikan ini.

Tepat pukul empat sore, aku sampai di Pantai Iboih. Memang, tujuanku hari ini adalah beristirahat satu malam terlebih dahulu sebelum tujuan terakhirku ke Monumen Titik Nol. Pantai ini cocok untuk checkpoint karena ramai dan banyak akomodasi untuk beristirahat.

Aku segera mencari tempat makan, karena sedari siang perutku belum terisi. Pulau Rubiah terlihat di seberang pantai ini. Wisatawan silih berganti ke tepian pantai setelah menyebrang kembali dari pulau. Memang, Pantai Iboih dan Pulau Rubiah adalah spot wisatawan terkenal di Sabang. Banyak pengunjung yang datang untuk menikmati keindahan bawah air dengan snorklingdiving, atau sekedar berenang di tepian pantai. 

  • Pulau Rubiah
  • pemandangan laut

Setelah membayar makan dan minum, aku bertanya kepada ibu penjaga warung dan suaminya. Aku meminta saran tempat penginapan dengan harga yang terjangkau. Perlu diketahui, di sini, harga sewa penginapan untuk satu malam paling murah ada pada kisaran harga Rp250.000–Rp300.000. Tentu, aku perlu memutar otak soal ini. Ibu penjaga warung menyarankan supaya aku bertanya juga ke penginapan di paling ujung deretan kios-kios penjualan souvenirKatanya, aku bakal menemui penginapan dengan harga murah di sana.

Aku kemudian bertanya kembali, kali ini kepada salah satu ibu yang sedang duduk di depan warung dari arahan sebelumnya.. Dengan muka melas, aku menanyakan harga penginapan. Ibu tersebut bilang kepadaku ada kamar seadanya, ia hanya menyewakan bersama fasilitas kipas angin dan kamar mandi luar, harganya hanya Rp100.000.

Bagiku, harga segitu lebih dari cukup. Apalagi aku sedang malas mencari pelataran tempat yang bisa aku tumpangi secara gratis. Belum lagi, aku harus beristirahat cukup karena perjalanan esok hari masih panjang. Ternyata kedatanganku dengan sepeda membuat perhatian orang-orang sekitar. Seperti biasa, pertanyaan dari mana, mau ke mana, dan lain sebagainya. Jawabanku membuat mereka antusias.

Aku lalu segera membersihkan tubuh dan tidur lebih cepat malam ini. Aku bergumam, semoga esok pagi tidak telat bangun dan semoga badan tidak pegal-pegal.

Pagi hari itu, kayuhanku langsung berhadapan dengan jalan menanjak kembali. Untungnya, udara segar masih menyertai rimbunnya pepohonan. Kawasan menuju Monumen Kilometer Nol Indonesia merupakan kawasan hutan lindung, tidak heran jika aku melihat hutan yang begitu lebat dengan udara sejuk. Terlihat beberapa gerombolan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sedang bermain di beberapa pohon yang ada di pinggir jalan. Rombongan motor Harley dengan suara keras bergantian menyusulku dari belakang. Aku tersenyum, mungkin tujuan kami sama tapi “perjuangan” kami untuk mencapai tujuan tersebut berbeda.

Entah berapa putaran kayuhan yang aku tempuh untuk sampai di sini. Plang yang menunjukkan bahwa aku sudah memasuki kawasan wisata Monumen Kilometer Nol Indonesia terlihat. Aku kencangkan kayuhan sepeda. Deretan warung cinderamata berjajar rapih, aku izin kepada salah satu bapak penjaga untuk membawa sepedaku masuk ke dalamnya. 

Monumen dengan ketinggian sekitar 43 meter ini terpampang di depan mata. Terdapat dua lingkaran seperti angka nol dan di dua sisi angka terdapat rencong yaitu pisau atau belati khas Aceh. Aku pergi ke atas monumen ini dengan melewati beberapa tangga. Hamparan laut nan luas terpampang di sana, menandakan tempat ini daratan terakhir ujung batas kawasan Nusantara. 

Tugu kilometer nol
Sampai di Monumen Kilometer Nol, Sabang/Zufar Fauzan

Aku mengingat kembali apa yang telah aku jalani, mulai dari awal perjalanan yang aku tempuh hingga akhirnya tiba di sini, juga merenungi apa yang telah aku jalani untuk hidup ini. Perjalanan ini mengajariku bahwa proses tidak akan mengkhianati hasil. Terima kasih telah bertemu, ujung barat Indonesia. Izinkanlah aku suatu saat bertemu pasanganmu di ujung timur Indonesia sana. Semoga.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bersepeda ke Monumen Kilometer Nol Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bersepeda-ke-monumen-kilometer-nol-indonesia/feed/ 0 36611
Jejak Tsunami Aceh di Monumen Kapal PLTD Apung https://telusuri.id/jejak-tsunami-aceh-di-monumen-kapal-pltd-apung/ https://telusuri.id/jejak-tsunami-aceh-di-monumen-kapal-pltd-apung/#respond Sun, 28 Nov 2021 11:00:44 +0000 https://telusuri.id/?p=31072 Gegap gempita perkotaan berubah menjadi keheningan jiwaSusunan rapi perumahan telah tergantikan oleh hamparan raga tak bernyawaKetakutan, tangisan, dan histeris teriakan dari saudara sebangsaKenangan kelam Tsunami Aceh 2004 silam masih membekas bergelora Peristiwa mengerikan pada Desember...

The post Jejak Tsunami Aceh di Monumen Kapal PLTD Apung appeared first on TelusuRI.

]]>

Gegap gempita perkotaan berubah menjadi keheningan jiwa
Susunan rapi perumahan telah tergantikan oleh hamparan raga tak bernyawa
Ketakutan, tangisan, dan histeris teriakan dari saudara sebangsa
Kenangan kelam Tsunami Aceh 2004 silam masih membekas bergelora

Peristiwa mengerikan pada Desember 2004 tentu menyisakan trauma mendalam bagi mereka yang kehilangan sanak saudara. Bukan hanya bagi warga Aceh, tetapi seluruh masyarakat Indonesia juga merasakan hancurnya jiwa akibat tsunami. Walau telah bertahun-tahun berlalu, ingatan akan hal itu terus saja menggelayuti. Bayangan akan tsunami masih dapat disaksikan dengan keberadaan Monumen PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) Apung. Sebuah kapal tua sepanjang 63 meter dengan bobot mencapai 2.600 ton yang telah beristirahat selamanya di pusat kota Banda Aceh.

‘Takjub’ adalah satu kata yang dapat saya ucapkan ketika menengok langsung Monumen PLTD Apung. Bukan karena heran dengan kemegahannya, tetapi berusaha mencerna bagaimana bisa kapal raksasa itu bergerak ke tengah perkotaan. Bukti kedahsyatan air bah yang berasal dari Samudera Hindia.

Gerbang Masuk PLTD Apung
Gerbang masuk PLTD Apung/Melynda Dwi Puspita

Setibanya di pintu masuk yang bertuliskan Situs Tsunami PLTD Apung, mata saya tidak bisa berpaling dari besi-besi tua yang mulai berkarat. Kerangka-kerangka kapal yang mulai menua, tetapi masih bisa berdiri kokoh menyimpan segala memori pahit tentang tsunami. Kapal yang terseret sejauh 4 kilometer dari Pelabuhan Ulee Lheue itu, hanya bisa menyelamatkan satu orang dari 13 awak kapal.

“Ayo,” seru seorang kawan yang meminta saya untuk segera menaiki anak tangga. Langkah demi langkah setiap anak tangga menuju dek kapal telah saya lalui. Tak sengaja tangan saya menyentuh pegangan besi di sisi kanan dan kiri tangga. Berusaha membayangkan bagaimana para pekerja kapal melawan rasa takut dan kegelisahan untuk menyelamatkan diri. Tatkala kapal milik PLN (Perusahaan Listrik Negara) itu secepat kilat mengantarkan mereka kepada ajal.

Hampir semua bagian kapal berwarna coklat kehitaman akibat karat yang menggerogoti, cat-catnya pun juga telah banyak yang mengelupas. Bukti kekuatan air laut dan waktu yang terus berjalan. Hanya nampak beberapa bendera merah putih berkibar tertiup angin yang seakan-akan meminta kita, bangsa Indonesia untuk kembali bangkit. Tidak untuk terus-menerus berlarut dalam kesedihan akibat salah satu bencana terbesar yang pernah menimpa bumi pertiwi. Semua mesin-mesin kapal dan pretelan kecil-kecilnya pun masih ada di tempat semula. Kapal itu masih bisa menahan beban para pengunjung yang datang silih berganti.

Langkah saya terhenti sejenak pada sebuah tugu berbentuk miniatur kapal yang dilahap ombak. Nampak sepeti sebuah patung biasa yang mudah ditemui di banyak tempat. Namun terdapat perbedaan yang jelas terlihat di tugu itu sehingga membuat saya merinding berbalut kesedihan. Berbaris-baris nama warga sekitar yang menjadi korban tsunami terpatri di keseluruhan bagian tugunya. Begitu banyak nama yang tertulis hingga terlihat seperti semut-semut yang sedang berhenti bergerak.

Pemandangan Kota
Pemandangan kota/Melynda Dwi Puspita

Saya memperhatikan pengunjung yang juga lalu lalang. Ada yang nampak bahagia menikmati pemandangan kota dari atas kapal, ada yang asyik berswafoto bersama teman-teman. Ada pula yang secara khusus membaca satu-persatu nama-nama korban pada tugu kapal. Entah ia hanya sekadar memuaskan rasa ingin tahu, ataukah ingin mencari salah satu nama yang mungkin dikenali. Hingga saat ini masih banyak korban tsunami yang menghilang tidak ditemukan jasadnya.

Butuh waktu bermenit-menit bagi saya supaya bisa menelusuri semua bagian kapal. Begitu besarnya Kapal PLTD Apung itu telah menunjukkan begitu besarnya pula manfaat yang dirasakan masyarakat sekitar. Ketika dulunya kapal itu telah berjasa memasok kebutuhan listrik. Hingga tiba saatnya saya sampai di akhir perjalanan, kepala saya mulai menengadah memperhatikan seluruh sisi cerobong asap yang tinggi menjulang. Konon katanya, cerobong asap yang berada di puncak kapal itu, telah menjadi tempat yang mampu menyelamatkan nyawa satu korban pekerja kapal.

Teropong PLTD Apung
Teropong PLTD Apung/Melynda Dwi Puspita

Terdapat pula teropong berwarna putih keabu-abuan di puncak kapal yang dulunya digunakan awak kapal untuk memandang jauh ke arah lautan, kini telah beralih menjadi alat yang hanya bisa mengamati pemukiman di sekitar PLTD Apung. Tak ada lagi lumpur yang menggunung, reruntuhan bangunan yang berserakan, maupun tumpukan tubuh-tubuh korban keganasan gulungan ombak tsunami. Nampak deretan rumah-rumah yang telah dibangun kembali, hijaunya pepohonan, dan ribuan manusia yang mulai beraktivitas. Hamparan pegunungan di salah satu sisi PLTD Apung juga menambah keelokan Kota Banda Aceh yang telah kembali hidup.

Rasa lelah tidak saya rasakan walau harus berkeliling mengitari seluruh bagian kapal. Hembusan angin kota yang terus menerpa telah menjadi obat kesejukan. Ada banyak pelajaran yang saya terima ketika diberi kesempatan untuk melawat singkat ke PLTD Apung. Saya dipaksa untuk lebih menghargai hidup yang tidak akan datang kedua kalinya. Terlepas dari tujuan pengalihfungsian PLTD Apung menjadi destinasi wisata edukasi. Namun PLTD Apung telah menyajikan kesadaran dan ajakan untuk bersama-sama merangkul kehidupan dan tidak melupakan sejarah.

Masyarakat sekitar juga merasa terbantu dengan keberadaan Monumen PLTD Apung sebagai tempat wisata. Ada banyak warga yang membuka toko-toko kelontong yang menjajakan oleh-oleh khas Aceh ataupun menjadi pemandu wisata. Mereka, para warga Aceh, telah kembali tersenyum menyambut para pengunjung dan menapaki kehidupan baru.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Jejak Tsunami Aceh di Monumen Kapal PLTD Apung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-tsunami-aceh-di-monumen-kapal-pltd-apung/feed/ 0 31072
Pelawatan Singkat ke Museum Tsunami Aceh https://telusuri.id/pelawatan-singkat-ke-museum-tsunami-aceh/ https://telusuri.id/pelawatan-singkat-ke-museum-tsunami-aceh/#respond Sun, 20 Jun 2021 01:13:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28263 “Maaf, teman-teman, saya harus pulang dulu,” sapa saya menghentikan keheningan. Sontak saja semua orang berdiri dan mengatakan salam perpisahan. Hanya dua hari satu malam saya merasakan suasana provinsi di ujung paling barat Indonesia ini, yaitu...

The post Pelawatan Singkat ke Museum Tsunami Aceh appeared first on TelusuRI.

]]>
“Maaf, teman-teman, saya harus pulang dulu,” sapa saya menghentikan keheningan. Sontak saja semua orang berdiri dan mengatakan salam perpisahan. Hanya dua hari satu malam saya merasakan suasana provinsi di ujung paling barat Indonesia ini, yaitu Aceh. Sebelum pada akhirnya saya harus meninggalkannya dan bergegas menuju Kota Bandung. Namun kesedihan saya segera sirna saat seseorang bersuara, ”Ayo, aku ajak jalan-jalan sebentar aja.” Saya dibuat kebingungan antara menerima ataupun menolak tawaran tersebut. Karena saya takut ketinggalan pesawat. Pada akhirnya saya mengiyakan ajakan itu.

Dengan menumpang sebuah mobil hitam, saya dan ketiga orang yang lain segera meluncur entah kemana. Saya hanya diam terduduk sembari terus-menerus menengok arah jarum jam yang melekat pada pergelangan tangan sebelah kiri. Hingga saya sontak mengangkat kepala saat seorang pria berkata, “Ini Masjid Baiturrahman, ikon kota kita, dulu aman dari Tsunami, tapi gak usah kesini ya.” Saya yang berharap untuk sejenak mengamati keindahan dan keagungan masjid, hanya bisa menelan pil pahit.

Perjalanan terus berlanjut hingga mobil membelokkan dirinya menuju sebuah bangunan yang terlihat cukup megah. Dengan tulisan besar berwarna biru, Museum Tsunami Aceh. Selanjutnya kami langkahkan kaki menuju sebuah gedung rancangan Gubernur Jawa Barat itu, Ridwan Kamil. Saat itu Kang Emil, sapaan akrab beliau, memenangkan sayembara desain gedung yang diadakan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Ikatan Arsitek Indonesia.

Walaupun kejadian yang menggoyahkan hati nurani dan mempora-porandakan Aceh telah berlalu 16 tahun yang lalu. Tepatnya pada 26 Desember 2004, tetapi seluruh peristiwa tetap membekas di hati seluruh penduduk Indonesia, terutama warga Aceh. Sehingga pembangunan museum ini, tidak hanya sebagai wujud mengenang saja, tetapi juga sebagai simbol kebangkitan diri.

Museum ini bertemakan Rumoh Aceh as Escape Hill yang memadukan unsur tradisional dari rumah adat Aceh dan bentuk gelombang seperti tsunami. Museum Tsunami Aceh terletak di Jalan Sultan Iskandar Muda, Sukaramai, Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Tiket masuknya berkisar antara 2000 hingga 10.000 rupiah yang terbilang terjangkau. Pada mulanya untuk masuk ke museum ini tidak dikenakan biaya. Namun semenjak kontrak kerja sama Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah habis, alhasil pengunjung wajib membayar tiket masuk. Museum ini beroperasi dari pukul 09.00 WIB hingga 16.00 WIB.

Terlihat gaya arsitektur yang sangat apik dengan tembok penuh relief. Benar saja karena pembangunan gedung ini menghabiskan dana mencapai Rp140 miliar. Museum ini memiliki 4 lantai dan berdiri di atas lahan seluas 2.500 meter persegi.

Ruang The Light of God/Melynda Dwi Puspita

Saat mulai melangkahkan kaki ke dalam ruangan, kami disambut oleh sebuah lorong kecil dan pencahayaan remang. Perasaan dibuat tertekan, takut, dan gelisah saat disuguhkan suara azan dan percikan air. Hal ini sebagai penggambaran suasana yang dirasakan warga Aceh saat tsunami dulu. Lorong ini disebut sebagai Ruang Renungan. Setelah itu, kami memasuki ruang kaca dengan fasilitas berupa monitor yang bisa digunakan untuk mengakses informasi terkait tsunami Aceh. Ruang kaca ini dikenal dengan nama Memorial Hill.

Selanjutnya terdapat ruangan bertuliskan nama-nama korban tsunami yang jumlahnya mencapai ratusan ribu. Nama tersebut tertulis pada dinding berwarna hitam dengan minim sumber pencahayaan yang mengibaratkan Cahaya dari Tuhan (The Light of God). Belum lagi dengan didengarkan suara lantunan ayat suci Al-Quran semakin membuat batin terasa tersayat. Dan tidak bisa membayangkan apa yang telah dialami secara langsung oleh warga Aceh. Pada bagian atas terdapat seni kaligrafi terukir lafadz Allah.

Jembatan Harapan/Melynda Dwi Puspita

Kemudian kami dihadapkan pada sebuah jembatan yang diatasnya terdapat 25 bendera negara yang berjasa karena turut andil membangkitkan Aceh. Jembatan tersebut disebut sebagai Jembatan Harapan. Untuk menuju jembatan ini, kami harus jalan memutar sebagai wujud perjuangan warga Aceh menghindar dari dahsyatnya terjangan gelombang tsunami. 

Foto Tsunami Aceh/Melynda Dwi Puspita

Selain itu, terdapat ruangan yang menyajikan 26 foto terkait tsunami Aceh, 22 alat peraga serta 7 maket berbentuk kapal, masjid dan sebagainya. Fasilitas yang tersedia juga sangat lengkap, mulai dari musala, toilet, tempat parkir, toko souvenir, pusat kuliner, perpustakaan hingga ruang geologi. Ruang geologi ini bertujuan untuk mempelajari dan mitigasi tsunami.

Atap museum dibiarkan terbuka dengan beberapa tanaman terlihat berjejer. Tujuannya adalah sebagai lokasi evakuasi apabila terdapat bencana alam kembali. Ruang evakuasi ini terletak di lantai teratas. Sayangnya masyarakat umum tidak diperbolehkan untuk masuk, agar tetap steril dan selalu siap sedia digunakan. Namun harapannya peristiwa kelam di masa lalu tersebut tidak terulang kembali.

Tidak terasa satu jam telah kami habiskan dalam ruangan penuh makna. Selanjutnya kami hanya bisa membayangkan seluruh peristiwa. Dan ternyata waktu masih banyak tersisa. “Ayo, sekarang kita ke Kapal PLTD Apung, sekalian beli oleh-oleh,” tutur seorang pria berkemeja coklat.

The post Pelawatan Singkat ke Museum Tsunami Aceh appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pelawatan-singkat-ke-museum-tsunami-aceh/feed/ 0 28263
5 Pantai di Aceh Ini Bakal Bikin Kamu Jatuh Hati https://telusuri.id/5-pantai-di-aceh/ https://telusuri.id/5-pantai-di-aceh/#respond Tue, 25 Jun 2019 11:37:02 +0000 https://telusuri.id/?p=14793 Kalau soal destinasi wisata, apa yang pertama kali muncul dalam pikiranmu waktu mendengar kata “Aceh”? Barangkali sebagian besar di antara kamu langsung bilang “Masjid Raya Baiturrahman.” Wajar saja, sih. Dari dulu sampai sekarang Masjid Raya...

The post 5 Pantai di Aceh Ini Bakal Bikin Kamu Jatuh Hati appeared first on TelusuRI.

]]>
Kalau soal destinasi wisata, apa yang pertama kali muncul dalam pikiranmu waktu mendengar kata “Aceh”? Barangkali sebagian besar di antara kamu langsung bilang “Masjid Raya Baiturrahman.” Wajar saja, sih. Dari dulu sampai sekarang Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh memang jadi ikon Aceh.

Tapi, kayaknya kamu juga perlu tahu kalau Aceh punya tempat-tempat menarik lain buat dikunjungi. Pantai, misalnya. Provinsi paling utara di Sumatra ini punya banyak banget pantai indah. Nah, di antara yang banyak itu, inilah lima pantai di Aceh yang paling istimewa:

konservasi penyu lampuuk
Tukik sedang dilepas/Konservasi Penyu Lampuuk

1. Pantai Lampuuk

Waktu Tsunami 26 Desember 2004 dulu, Pantai Lampuuk, Kabupaten Aceh Besar, yang terpaut sekitar 15 km dari Banda Aceh ini sempat hancur. Tapi, selepas tsunami, Pantai Lampuuk kembali menggeliat. Pelan-pelan, Pantai Lampuuk kembali menjadi salah satu destinasi primadona di Nanggroë Aceh Darussalam.

Pantai di Aceh yang satu ini memang keren banget. Pasirnya putih dan air lautnya jernih. Tapi bukan cuma keindahannya itu yang bikin Pantai Lampuuk menarik. Selain melihat-lihat pemandangan, di Lampuuk kamu juga bisa belajar surfing dan berpartisipasi dalam konservasi penyu.

2. Pantai Lhoknga

Pantai di Aceh yang satu ini adalah lokasi favorit buat menikmati sunset. Tapi, selain duduk-duduk menanti matahari terbenam di atas pasir putih yang lembut, masih ada aktivitas lain yang bisa kamu lakukan di Pantai Lhoknga, misalnya surfing dan memancing.

Sama-sama berada di Aceh Besar, Pantai Lhoknga nggak jauh-jauh amat dari Pantai Lampuuk. Kalau dari Banda Aceh, kamu bisa ke Pantai Lhoknga dengan menempuh jarak sekitar 22 km.

Pantai Iboih/Fuji Adriza

3. Pantai Iboih

Kalau menggeluti scuba diving, kamu pasti pernah mendengar nama (atau bahkan pernah mampir ke) Pantai Iboih, Pulau Weh. Pantai yang berhadap-hadapan dengan Pulau Rubiah ini adalah salah satu resor diving paling tenar di Indonesia. Perairannya masih sehat banget sampai-sampai kamu bisa lihat hiu hanya beberapa ratus meter dari pesisir.

Pantai di Aceh yang satu ini cuma berjarak sekitar 8 km dari Tugu Kilometer Nol Sabang. Buat ke sana, kamu mesti transit di Banda Aceh dulu, terus menyeberang naik feri dari Pelabuhan Ulee Lheue ke Pulau Weh sekitar dua jam.

4. Pantai Sumur Tiga

Kalau Pantai Iboih adalah lokasi transit buat menikmati keindahan bawah laut, Pantai Sumur Tiga adalah venue buat menyaksikan keindahan permukaan laut. Pantai ini dinamai Sumur Tiga karena di sekitarnya ada tiga sumur air tawar.

Dibanding Iboih, pesisir Pantai Sumur Tiga lebih terbuka. Makanya ombak pantai di Aceh yang satu ini lebih besar ketimbang perairan Iboih. Tapi, keindahan pantai yang terletak 15 km dari Kota Sabang ini disebut-sebut saingan sama Hawaii (meskipun nggak disebutkan juga bagian Hawaii yang mana).

5. Pantai Kasih

Dari Pantai Kasih, sekitar 2 km dari Kota Sabang, kamu juga bisa lihat sunset. Serunya, selain mengagumi matahari terbenam, kamu juga bisa melihat aktivitas Teluk Sabang yang ramai. Kalau kamu suka ambil timelapse, kamu pasti suka banget ke pantai ini. Tapi, Pantai Kasih nggak terlalu cocok buat main-main air, soalnya ombaknya lumayan besar.

Jadi, pantai yang mana nih menurut kamu yang paling bikin penasaran?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 5 Pantai di Aceh Ini Bakal Bikin Kamu Jatuh Hati appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/5-pantai-di-aceh/feed/ 0 14793
Baca Ini Dulu sebelum Traveling ke Sabang https://telusuri.id/traveling-ke-sabang/ https://telusuri.id/traveling-ke-sabang/#respond Mon, 10 Dec 2018 09:00:45 +0000 https://telusuri.id/?p=11204 Kayaknya nggak sedikit pejalan yang memendam impian buat ke Kilometer Nol Sabang. Termasuk kamu, mungkin? Nah, kalau kamu ada rencana buat traveling ke Sabang, ada baiknya buat baca tulisan ini dulu: 1. Sabang itu terletak...

The post Baca Ini Dulu sebelum Traveling ke Sabang appeared first on TelusuRI.

]]>
Kayaknya nggak sedikit pejalan yang memendam impian buat ke Kilometer Nol Sabang. Termasuk kamu, mungkin? Nah, kalau kamu ada rencana buat traveling ke Sabang, ada baiknya buat baca tulisan ini dulu:

1. Sabang itu terletak di Pulau Weh

Kalau kamu ketiduran pas pelajaran geografi tentang Aceh dulu, kamu perlu tahu bahwa Sabang itu terletak di Pulau Weh, Provinsi Aceh.

Karena terletak di pulau, kamu mesti menyeberang lagi dari Aceh naik ferry lewat Pelabuhan Ulee Lheue. Nah, dari sana kamu juga mesti naik kendaraan lagi sekitar 15-20 menit ke kota.

2. Salah satu destinasi selam

Turis domestik mungkin cuma tertarik ke Sabang buat main ke Kilometer Nol. Tapi, tujuan turis-turis mancanegara pergi ke destinasi ini biasanya buat menyelam. Soalnya, dibandingkan resor-resor penyelaman lain di Indonesia, biaya penyelaman di sini relatif murah.

Dunia bawah laut Sabang, yakni di sekitar Iboih, memang masih sangat sehat. Cuma beberapa puluh meter dari pesisir, kamu sudah bisa ketemu hiu, penyu berukuran besar, dan gurita jago kamuflase.

3. Kawasan backpacker terletak di Iboih

Nah, kamu perlu tahu bahwa kawasan backpacker Sabang terletak di Iboih, resor selam yang kita obrolin di atas. Di Iboih banyak banget beachfront bungalow yang bisa kamu sewa dengan harga miring.

Kalau kamu merasa harga yang ditawarkan masih mahal, jangan ragu-ragu buat menawar. Asal nggak terlalu afgan, pasti pengelola penginapan bakalan mau nurunin harga. Terutama pas low season.

4. Sewa kendaraan untuk ke Kilometer Nol

Dari Iboih, Kilometer Nol ini masih 8 kilometer lagi. Jangan nekat jalan kaki, soalnya medannya nggak datar, melainkan naik turun.

Buat ke Kilometer Nol, biasanya orang-orang memakai kendaraan pribadi. Jarang banget kayaknya angkutan buat ke Kilometer Nol ini, soalnya permukiman penduduk di dekat sana juga jarang.

5. Makanan favorit yang wajib dicoba: sate gurita

Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, Sabang juga punya makanan khas yang wajib dicoba. Makanan yang recommended buat dicoba di sini adalah sate gurita.

Nah, pedagang sate gurita nanti bakalan ngasih kamu pilihan; mau disiram dengan bumbu apa. Kamu bisa pilih salah satu dari jenis bumbu yang ditawarkan. Tapi, kalau mau dicampur juga bisa. Sate gurita ini enak banget dimakan sore-sore di pinggir pantai sambil menikmati matahari terbenam di ujung barat Indonesia.

Jadi, kapan nih mau ke Sabang?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Baca Ini Dulu sebelum Traveling ke Sabang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/traveling-ke-sabang/feed/ 0 11204
Menunggang Ombak di Serambi Mekah https://telusuri.id/lampuuk-surf-school/ https://telusuri.id/lampuuk-surf-school/#respond Sun, 27 May 2018 09:07:33 +0000 https://telusuri.id/?p=8877 Nama saya Ikhsan dan biasa dipanggil Adun atau Adon. “Adun” itu artinya abang. Nama panggilan itu sudah melekat sejak saya kecil. Saya tinggal di Desa Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar. Tiga belas tahun yang...

The post Menunggang Ombak di Serambi Mekah appeared first on TelusuRI.

]]>
Nama saya Ikhsan dan biasa dipanggil Adun atau Adon. “Adun” itu artinya abang. Nama panggilan itu sudah melekat sejak saya kecil.

Saya tinggal di Desa Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar. Tiga belas tahun yang lalu, desa itu pernah rata dengan tanah karena disapu gelombang tsunami 26 Desember 2004.

lampuuk surf school

Adon sedang memakai kaos merah TelusuRI/Adon

Saya suka surfing sejak SD. Tapi, waktu itu saya belum berani mencoba, sebab masih takut dengan ombak. Baru saat beranjak remaja, waktu masuk SMP, saya mulai mencoba berselancar dan belajar rutin secara otodidak setelah melihat beberapa turis asing dan abang-abang lokal yang menari-nari dengan gesit menunggangi ombak.

“Surfing” di Aceh

Kebetulan rumah saya dekat sekali dengan pantai, hanya terpaut sekitar dua menit. Jadi, saya bisa latihan surfing sering-sering. Seingat saya, dulu hampir tiap hari saya berselancar, dari sepulang sekolah sampai senja tiba.

lampuuk surf school

Bersiap-siap untuk surfing di Aceh Jaya/Adon

Saat itu, saya berselancar dengan surfboard pinjaman dari seorang abang bernama Suryadi, seorang surfer lokal yang sekarang sudah almarhum karena tsunami.

Spot surfing di Aceh cukup istimewa. Apa pasal? Karena di sana ada tiga spot ombak yang saling berdekatan, yakni Left, Peak, dan Right.

lampuuk surf school

Mengamati gelombang/Adon

Jadi, dalam sehari kamu bisa berselancar menunggangi ketiga ombak tersebut. Buat pindah, kamu tak perlu balik dulu ke pantai. Yang perlu kamu lakukan hanyalah paddling saja dari satu spot ke spot lainnya.

Selain itu, perairan di sini juga masih sehat. Sambil berselancar kamu juga bisa melihat bunga-bunga karang yang menawan di dasar laut yang jernih. Kalau beruntung, kamu bahkan juga bisa bertemu dengan penyu yang bermain-main di sekitar spot selancar.

lampuuk surf school

Selfie di atas papan selancar/Adon

Jangan buru-buru pulang juga kalau sudah sore. Matahari terbenam alias sunset di Lampuuk akan membuat siapa pun betah dan tak ingin beranjak.

Lampuuk Surf School sejak 2011

Kemudian nasib menggiring saya untuk membentuk Lampuuk Surf School pada tahun 2011. Sekolah surfing itu saya gagas setelah ikut Pelatihan Surfing dan Pemandu Wisata yang dibuat oleh BRR Aceh-Nias tahun 2007 di Bali.

lampuuk surf school

lampuuk surf school

Siluet surfer di Aceh/Adon

Selama di Bali, saya amati bahwa geliat wisata pulau itu sangat maju dan para pelancong seolah-olah tak pernah berhenti berdatangan buat surfing. Lalu, setelah pulang saya berniat membentuk sekolah surfing itu.

Semula pembentukan Lampuuk Surf School terkendala modal, soalnya harga peralatan surfing lumayan mahal. Karena itu kemudian saya kumpulkan uang sedikit demi sedikit. Alhamdulillah, tahun 2011 saya bisa membeli beberapa perlatan untuk sekolah selancar dan membentuk Lampuuk Surf School yang masih berjalan sampai sekarang.

lampuuk surf school

Beberapa orang surfer pemula sedang membawa papan untuk belajar/Adon

Lampuuk Surf School tak hanya mengajarkan bagaimana cara berselancar, namun juga membagikan informasi lain tentang dunia surfing, termasuk soal standar keselamatan. Satu sesi kelas surfing berlangsung selama 2 jam—teori dan praktik di laut—pagi atau sore hari.

Banyak juga yang kaget sebenarnya mengetahui bahwa di Aceh bisa surfing. Soalnya, jangankan surfing, masih banyak juga malah yang meragukan kenyamanan berlibur di provinsi paling utara Sumatera itu.

lampuuk surf school

Penampakan ombak karang (reef break) untuk surfer expert/Adon

Tapi, kenyataannya tidak seperti yang dibayangkan. Liburan di Aceh nyaman. Di pantai-pantai di Aceh kamu bebas untuk berlibur dan melakukan aktivitas—termasuk surfing—asal terus ingat peribahasa “Di mana langit dipijak, di situ langit dijunjung.”


Tel: +6281360418440, Instagram: adon_surfcafe, Facebook: lampuuksurfschool

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menunggang Ombak di Serambi Mekah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lampuuk-surf-school/feed/ 0 8877
4 Objek Wisata Takengon yang Bakal Bikin Kamu Jatuh Hati https://telusuri.id/4-objek-wisata-takengon/ https://telusuri.id/4-objek-wisata-takengon/#respond Sun, 22 Apr 2018 01:30:18 +0000 https://telusuri.id/?p=8212 Sabang barangkali adalah destinasi paling terkenal di Aceh. Tapi, selain Sabang, ternyata masih banyak lagi destinasi wisata di Aceh yang bisa kamu kunjungi, salah satunya Takengon. Ibukota Kabupaten Aceh Tengah yang berada pada ketinggian sekitar...

The post 4 Objek Wisata Takengon yang Bakal Bikin Kamu Jatuh Hati appeared first on TelusuRI.

]]>
Sabang barangkali adalah destinasi paling terkenal di Aceh. Tapi, selain Sabang, ternyata masih banyak lagi destinasi wisata di Aceh yang bisa kamu kunjungi, salah satunya Takengon.

Ibukota Kabupaten Aceh Tengah yang berada pada ketinggian sekitar 1.300 mdpl ini pasti bakal bikin kamu jatuh hati. Lalu, apa saja sih objek wisata Takengon yang bisa kamu telusuri?

1. Gunung Gayo

takengon

Trek Gunung Gayo/Tri Widya Asrie

Kalau suka trekking, kamu wajib banget datang ke objek wisata Takengon yang satu ini. Di sana kamu bakal bisa menikmati keindahan hutan pinus dan pohon-pohon raksasa.

Ditambah hujan rintik-rintik dan kabut, suananya bakal jadi syahdu. Pasti kamu mendadak bakal pengen ngeluarin kertas dan pulpen—bikin puisi. Aroma pegunungan yang lembap dan menyenangkan, udara yang bersih bukan main, ditambah pemandangan perbukitan bakal membuatmu terpesona.

2. Danau Lut Tawar

objek wisata takengon

Tepian Danau Lut Tawar/Tri Widya Asrie

“Danau Lut Tawar?! Nggak typo, tuh?” Jangan ngegas dulu, lah. Danau Lut Tawar dan Danau Laut Tawar intinya sama saja. Ejaannya saja yang berbeda. Sebutan pertama adalah ejaan lokal, sementara yang kedua adalah ejaan Indonesia. Jadi, nggak ada yang typo, yah.

Kamu mesti meluangkan waktu buat main ke objek wisata Takengon yang ini. Pasti kamu nggak akan nyesel melihat keindahan danaunya. Coba buktikan sendiri betapa menawannya Danau Lut Tawar, dengan rumah-rumah yang mengelilinginya, perbukitan hijau yang lerengnya berkabut, dan keramba-keramba ikan di tepian—semua terefleksikan di permukaan danau. Melihat Lut Tawar, perasaan damai akan terus bersamamu.

3. Pantan Terong

objek wisata takengon

Danau Lut Tawar dilihat dari Pantan Terong/Tri Widya Asrie

“Ini lagi. Pantan? Pantai kali?” Shh… Shh… Sabar dulu. Memang Pantan Terong, bukan Pantai Terong. Lagian mana ada pantai di terong? Eh, terong di pantai.

Objek wisata Takengon yang ini berada di puncak bukit. Dari sana kamu bakal bisa menyaksikan Danau Laut Tawar yang kelihatan kayak cawan raksasa yang menampung air hujan. Cantik sekali! Tapi, menurut saya perjalanan ke Pantan Teronglah yang justru terasa seru banget. Soalnya, kamu bakal meluncur di antara kebun kopi—kopi gayo!

4. Pabrik kopi gayo

objek wisata takengon

Kopi gayo sedang dijemur/Tri Widya Asrie

“Kopi? Topi kali?” Buat apa jauh-jauh ke Takengon cuma buat ke pabrik topi? Karena terletak di Dataran Tinggi Gayo, wajar saja kalau di Takengon banyak pabrik kopi gayo.

Main ke salah satu pabrik, kamu bakal bisa menyaksikan sendiri bagaimana kopi gayo dipilah dan dipilih dan dijemur. Ketika main ke salah satu pabrik kopi gayo, Oro Kopi Gayo, saya melihat 50 varian kopi yang sudah diberi label, baik dari jenis robusta maupun arabika. Gimana? Udah kecium aroma kopi gayonya?

Kalau saya sih rasanya berat banget buat meninggalkan Tanah Gayo. Nggak tahu kalau kamu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 4 Objek Wisata Takengon yang Bakal Bikin Kamu Jatuh Hati appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/4-objek-wisata-takengon/feed/ 0 8212
“Konservasi Penyu Lampuuk” Masih Butuh Donasi https://telusuri.id/konservasi-penyu-lampuuk-aceh/ https://telusuri.id/konservasi-penyu-lampuuk-aceh/#comments Mon, 05 Mar 2018 02:30:40 +0000 https://telusuri.id/?p=7031 Pesisir Lampuuk yang tenang sama sekali tak menyiratkan bahwa wilayah itu pernah dilanda bencana, yakni tsunami dahsyat di akhir 2004. Nyiur terus saja melambai dipermainkan angin. Suara-suara alam lebih dominan dibandingkan bunyi-bunyian yang diproduksi peradaban....

The post “Konservasi Penyu Lampuuk” Masih Butuh Donasi appeared first on TelusuRI.

]]>
Pesisir Lampuuk yang tenang sama sekali tak menyiratkan bahwa wilayah itu pernah dilanda bencana, yakni tsunami dahsyat di akhir 2004.

Nyiur terus saja melambai dipermainkan angin. Suara-suara alam lebih dominan dibandingkan bunyi-bunyian yang diproduksi peradaban. Mentari menawan datang dan pergi, tak digubris. Kehidupan seperti stagnan, di situ-situ saja, tak ada tambahan dan, sebaliknya, tiada yang berkurang. Cantik tapi tanpa gejolak—membosankan.

konservasi penyu lampuuk

Pantai Langee yang menjadi tempat induk penyu belimbing naik dan bertelur/Konservasi Penyu Lampuuk

Kamu boleh-boleh saja berpikir begitu. Nyatanya, penyu tak bosan-bosan kembali ke sana untuk bertelur, membiarkannya dierami hangatnya pasir, sampai akhirnya menetas sebagai tukik yang siap menghadapi ganasnya dunia.

Menurut Adon, seorang aktivis sekaligus peselancar di Pantai Lampuuk, induk penyu sudah naik untuk bertelur di sana jauh sebelum pariwisata daerah itu mulai berkembang. (Adon juga menuturkan bahwa ada seekor penyu belimbing berusia sekitar 100 tahun, yang tempurungnya seukuran Honda Jazz, yang sampai sekarang masih bertelur di Pantai Langee, dekat Lampuuk.)

Pesisir Lampuuk memang cocok sekali jadi tempat para induk penyu menetaskan telurnya. Perairannya yang tenang, ketiadaan karang penghalang, arealnya yang luas, landai, dan berpasir, membuat pantai ini mudah dijangkau oleh induk-induk penyu yang dalam perutnya terkandung telur-telur mungil seperti bola pingpong.

konservasi penyu lampuuk

Tempat relokasi telur penyu/Konservasi Penyu Lampuuk

Sayangnya, tidak sedikit dari telur-telur penyu itu yang akhirnya malah berakhir di lambung manusia alih-alih menetas dan melahirkan tukik yang bakal berenang menjelajahi dunia.

Telur penyu diincar manusia karena dianggap mengandung berbagai khasiat, salah satunya adalah untuk meningkatkan libido. Karena itulah harga sebutir telur penyu bisa jauh lebih mahal dibandingkan sebutir telur ayam ras. Tak main-main, mencapai Rp 5.000 per butir.

Gerakan penyelamatan yang bermula dari kegelisahan

Sebuah warung di pinggir pantai menjadi saksi bisu berdirinya Konservasi Penyu Lampuuk (Lampuuk Sea Turtles Conservation). Di warung itu sekelompok anak muda memang sudah biasa berkumpul dan berbagi cerita tentang kegiatan mereka—memancing atau berselancar. Entah kenapa, lama-lama oborolan mereka malah mengarah ke kegelisahan soal maraknya perburuan telur penyu di Lampuuk.

konservasi penyu lampuuk

Telur penyu dalam masa inkubasi/Konservasi Penyu Lampuuk

Hati mereka pun tergerak untuk berbuat sesuatu. Mereka segera mencari cara supaya dapat menyelamatkan dan menetaskan telur-telur penyu yang ditimbun induk-induk kura-kura laut itu di Lampuuk.

Lalu pada bulan November 2011, dibantu oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal jaringan dari Kuala (Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh), Konservasi Penyu Lampuuk dibentuk.

Setiap musim induk penyu naik dan bertelur (November-April), Konservasi Penyu Lampuuk selalu melakukan pemantauan di areal pantai, mengevakuasi telur-telur penyu di Pantai Langee—satu jam perjalanan melewati perbukitan dari Pantai Lampuuk—ke tempat relokasi yang lebih aman di Pantai Lampuuk, pendataan, inkubasi telur (menetaskan), merawat tukik selama karantina, mencari kelompok atau komunitas yang mau memberi donasi sekaligus melepaskan tukik, dan menyiapkan acara pelepasan tukik. Tak lupa, kelompok lokal ini juga mendokumentasikan tahap demi tahap upaya konservasi penyu yang mereka lakukan.

konservasi penyu lampuuk

Tukik penyu lekang yang baru saja menetas/Konservasi Penyu Lampuuk

Setelah mengalami perjalanan panjang, tahun 2017 kemarin Konservasi Penyu Lampuuk pun akhirnya dinaungi payung hukum, yakni Surat Keputusan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh Nomor: 523/2315/2/2017 tentang Tim Pengelola Kawasan Konservasi Penyu Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar.

Mengajak warga lokal untuk ikut menyelamatkan penyu

Ketika rombongan tukik pertama dilepas, warga sekitar heran dan bertanya-tanya kenapa telur-telur tersebut sampai ditetaskan dan dilepaskan ke lautan. Terkungkung dalam paradigma fatalistik, mereka menganggap bahwa kehidupan penyu tak usah dijaga. Jalan hidup penyu memang begitu, sudah ditentukan oleh Sang Pencipta, juga bisa diambil telurnya untuk dimakan—itu adalah rezeki.

Padahal penyu juga punya peran dalam menjaga keseimbangan ekosistem—keseimbangan yang pada akhirnya juga akan mencipratkan keuntungan pada manusia.

konservasi penyu lampuuk

Partisipan pelepasan tukik/Konservasi Penyu Lampuuk

Laman profauna.net melansir bahwa penyu hijau punya kontribusi yang besar dalam “mengatur” populasi lamun. Penyu hijau menjadi “tukang kebun” yang menjaga potongan lamun agar tidak terlalu rimbun sehingga menghalangi cahaya matahari menembus laut. Jika terlalu rimbun, pembusukan akan terjadi di pangkal lamun—muncullah jamur.

Cerita tentang kontribusi penyu belimbing terhadap laut lain lagi. Penyu petualang ini tidak butuh paspor dan visa untuk keliling dunia, mereka hanya perlu ubur-ubur. Selama ada ubur-ubur untuk dimakan, mereka akan punya energi untuk mengarungi tujuh samudra. Karena panjang badannya mencapai 2,7 meter, penyu belimbing memiliki perut yang bisa memuat sampai 200 ekor ubur-ubur! Jadi penyu belimbing punya peran penting dalam mengontrol populasi ubur-ubur.

Lalu, jika jumlah penyu belimbing semakin berkurang dan populasi ubur-ubur bertambah efeknya apa? Efeknya, kamu akan jadi jarang makan ikan, sebab ubur-ubur memangsa telur dan larva ikan. Tapi, masih menurut laman profauna.net, ternyata tak cuma penyu belimbing saja yang doyan ubur-ubur, penyu hijau dan penyu tempayan juga.

konservasi penyu lampuuk

Tukik sedang dilepas/Konservasi Penyu Lampuuk

Untuk menanamkan kesadaran tentang pentingnya menjaga penyu, Konservasi Penyu Lampuuk menggandeng kalangan muda. Mereka mengajak anak-anak Lampuuk, khususnya mereka yang tergabung dalam Opemal (Organisasi Pelajar Mahasiswa Lampuuk) untuk berkegiatan. Sesekali mereka juga melibatkan anak-anak dan pemuda dari daerah-daerah lain di Aceh. Para mahasiswa dari berbagai kampus di Aceh juga banyak yang menjadi relawan.

Meskipun sudah dianggap mandiri, Konservasi Penyu Lampuuk masih butuh donasi

Selama dua tahun pertama, Konservasi Penyu Lampuuk masih menerima bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Aceh.

Dari bantuan itu, Konservasi berhasil membangun areal relokasi telur dan bak penampungan tukik yang menetas. Namun, setelah berjalan dua tahun, organisasi swadaya itu dinilai sudah mandiri. Konsekuensinya, pendanaan dihentikan.

Selepas itu, Konservasi Penyu Lampuuk terpaksa melanjutkan hidup dengan mengandalkan donasi—personal maupun kelompok yang berpartisipasi dalam pelepasan tukik—untuk menutupi biaya operasional bulanan. (Biaya operasional Rp 2 juta per bulan habis untuk kegiatan pemantauan, perawatan tempat penetasan telur, konsumsi relawan, dan mengganti jerih payah pemburu yang memberikan telur penyu pada Konservasi.)

Mencari dana Rp 2 juta per bulan di lokasi yang jauh dari ibukota seperti Lampuuk bukan perkara mudah. Di musim liburan, atau saat banyak telur yang menetas, tidak masalah bagi Konservasi Penyu Lampuuk untuk mencari biaya operasional. Mereka bisa menggalang dana dari partisipan pelepasan tukik. Namun kalau musimnya tidak terlalu baik, Konservasi mesti rela bergerak dalam segala keterbatasan.

konservasi penyu lampuuk

Para aktivis konservasi di Lampuuk/Konservasi Penyu Lampuuk

Sampai sekarang pun Konservasi Penyu Lampuuk masih terus mencari relawan dan donasi demi meneruskan aktivitas konservasi. Barangkali kamu berminat jadi relawan dan memberikan donasi?

Kalau mau tahu lebih banyak tentang Konservasi Penyu Lampuuk, kamu bisa datang langsung ke Babah Dua, Pantai Lampuuk, Kabupaten Aceh Besar. Kamu juga bisa mengontak Adon (0813-6041-8440) atau Yudi (0813-6045-8045) atau intip akun Instagram @konservasipenyu_lampuuk.


Reporter: Syukron

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Konservasi Penyu Lampuuk” Masih Butuh Donasi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/konservasi-penyu-lampuuk-aceh/feed/ 2 7031
7 Fakta Unik Taman Nasional Gunung Leuser yang Perlu Kamu Tahu https://telusuri.id/leuser/ https://telusuri.id/leuser/#respond Sun, 09 Jul 2017 01:05:31 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=359 7. Terletak di dua provinsi, yaitu Sumatera Utara dan Aceh Meskipun bernama “Leuser,” secara administratif wilayah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) tidak hanya masuk ke dalam wilayah Provinsi Aceh. Sebagian wilayah TNGL masuk ke dalam...

The post 7 Fakta Unik Taman Nasional Gunung Leuser yang Perlu Kamu Tahu appeared first on TelusuRI.

]]>
7. Terletak di dua provinsi, yaitu Sumatera Utara dan Aceh

Meskipun bernama “Leuser,” secara administratif wilayah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) tidak hanya masuk ke dalam wilayah Provinsi Aceh. Sebagian wilayah TNGL masuk ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Maklum saja sebab TNGL lumayan luas, sekitar 1.094.692 hektare.

6. TNGL adalah kumpulan dari berbagai cagar alam dan hutan

Dalam wilayah TNGL, terdapat banyak cagar alam dan hutan, antara lain Cagar Alam Gunung Leuser, Cagar Alam Kappi, Cagar Alam Kluet, Suaka Margasatwa Sikundur-Langkat, Stasiun Peneltian Ketambe, Singkil Barat, dan Dolok Sembilin. Pantas saja luas TNGL mencapai sejuta hektare!

Trek Leuser via Flickr/Neil

5. Sungai Alas membelah TNGL menjadi dua bagian, yakni barat dan timur

Mengalir melalui Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Gayo Lues, dan Kabupaten Aceh Selatan, Sungai Alas (Lawe Alas) yang bermuara di Samudra Hindia ini membelah TNGL menjadi dua. Nama Sungai Alas berasal dari nama suku bangsa asli yang mendiami Kabupaten Aceh Tenggara, yakni suku Alas.

4. Dihuni 89 spesies fauna langka dan dilindungi

Sebagai cagar biosfer dan warisan dunia (world heritage), TNGL adalah kawasan yang dihuni beraneka ragam flora dan fauna. Menariknya, 89 spesies fauna dari sekitar 130 mamalia dan 325 burung itu dikategorikan sebagai spesies langka dan dilindungi. Beberapa di antaranya adalah orangutan sumatera (Pongo pygameus abelii), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus), beruang madu (Helarctos malayanus), rangkong papan (Buceros bicornis), ajag (Cuon alpinus), dan siamang (Hylobates syndactylus).

Orang Utan di TN Gunung Leuser via explore.surf

3. Trek pendakian gunung terpanjang di ASEAN

Jika dibandingkan dengan trek Leuser, trek Argopuro yang terpanjang di Jawa akan terasa seperti trek pendakian Sabtu-Minggu. Bagaimana tidak jika untuk ke puncaknya saja perlu waktu sekitar 10-14 hari dengan menempuh jarak sekitar 51 km (Argopuro sekitar 59 km tapi dihitung dari Baderan ke Bremi). Pendakian Leuser dapat dilakukan melalui tiga jalur, yakni Kedah, Agusan, dan Meukak.

2. Ada tiga puncak yang bisa dicapai di Taman Nasional Gunung Leuser

Di Taman Nasional Gunung Leuser ada tiga puncak yang letaknya berdekatan, yakni Gunung Leuser (3.444 mdpl), Puncak Leuser (3.319 mdpl), dan Puncak Tak Punya Nama yang terpaut sekitar 100 meter dari Puncak Leuser.

Gunung Leuser

Salah satu ruas trek di Gunung Leuser via Flickr/Neil

1. Waktu terbaik untuk berkunjung adalah antara bulan Juni sampai Oktober

Meskipun kamu bisa berkunjung ke sini kapan saja (jangan lupa untuk mengurus perizinan, ya), ada waktu-waktu terbaik untuk mengunjungi TNGL, yakni di bulan-bulan kering antara Juni sampai Oktober ketika curah hujan tidak setinggi musim hujan. Mendaki di musim-musim basah akan terasa lebih berat dan melelahkan.

The post 7 Fakta Unik Taman Nasional Gunung Leuser yang Perlu Kamu Tahu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/leuser/feed/ 0 359
Perjalanan ke Ujung Barat Indonesia https://telusuri.id/perjalanan-ke-ujung-barat-indonesia/ https://telusuri.id/perjalanan-ke-ujung-barat-indonesia/#comments Thu, 15 Jun 2017 17:58:09 +0000 https://telusuri.000webhostapp.com/?p=68 Dari Jakarta ke Aceh naik pesawat barangkali hanya memakan waktu sekitar 1,5 sampai 2 jam. Tinggal ke Soekarno-Hatta, menunggu boarding, lalu terbang. Lain cerita kalau anda ke Aceh lewat jalur darat. Dari Padang saja untuk...

The post Perjalanan ke Ujung Barat Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
Dari Jakarta ke Aceh naik pesawat barangkali hanya memakan waktu sekitar 1,5 sampai 2 jam. Tinggal ke Soekarno-Hatta, menunggu boarding, lalu terbang. Lain cerita kalau anda ke Aceh lewat jalur darat. Dari Padang saja untuk ke Banda Aceh perlu waktu sekitar 34 jam dengan menumpang bis. Etape pertama, Padang – Medan, berlangsung selama sekitar 24 jam. Lama memang. Namun anda akan melewati tempat-tempat indah seperti Tarutung yang penuh pohon cemara dan akan disaput kabut di pagi hari dan Danau Toba yang luasnya tak terkira. Belum lagi perkebunan sawit dan karet yang membentang di kanan-kiri. Tapi jangan lupa siapkan obat anti-mabuk jika perut anda tidak kuat dibawa melewati jalan-jalan kecil yang berliku.

Menjelang sore ketika saya tiba di Medan. Dari Ibu Kota Sumatera Utara itu saya melanjutkan perjalanan menumpang bis yang keadaannya jauh lebih baik dibanding armada Padang – Medan. Bis Medan – Banda Aceh memang terkenal kinclong. Bis kinclong ditambah jalan yang mulus membuat perjalanan 10 jam menjadi tak terasa. Dibalut selimut—dan dengan kaki ditopang penyangga—saya tertidur pulas. Ketika bangun, saya disapa Gunung Seulawah—pertanda Banda Aceh sudah dekat.

Becak motor melaju di jalanan Banda Aceh/Fuji Adriza

Tanpa helm, saya merasa seperti menjadi salah seorang prajurit dalam film Band of Brothers sebab becak motor itu seperti motor bergerobak dalam film-film perang. Bedanya, sepeda motor yang digunakan adalah buatan Jepang, bukannya bikinan Eropa atau Amerika. Dalam sepuluh sampai lima belas menit saya tiba di Pelabuhan Ulee Lheue, yang dari sana saya akan melanjutkan petualangan menuju Sabang di Pulau Weh. Jarak antara terminal dan pelabuhan lumayan jauh memang, sebab ketika iseng mencoba jalan kaki dari pelabuhan ke terminal saat perjalanan pulang, ternyata perlu waktu sekitar dua sampai tiga jam.

Tugu Nol Kilometer Indonesia/Fuji Adriza

Pulau Weh yang berbukit-bukit

Semula niat saya adalah berjalan kaki dari Pelabuhan Balohan ke Iboih, tempat saya akan menginap. Niat untuk jalan kaki itu muncul ketika saya menghitung jarak Pelabuhan Balohan – Iboih menggunakan aplikasi peta di android. Cuma 28 kilometer. Saya pernah jalan dari Terminal Bungurasih di Surabaya ke Stasiun Gubeng sejauh 19 kilometer menyusuri rel kereta api. Rasa-rasanya tambahan 9 kilometer tak akan membuat kaki saya gempor. Karena di Pelabuhan Balohan banyak sekali orang yang menawarkan jasa ojek dengan tarif masuk akal, saya jadi berpikir ulang untuk jalan kaki.

Di atas ojek saya mensyukuri keputusan itu sebab ternyata Pulau Weh tidak selandai Kota Surabaya, melainkan berbukit-bukit. Hutannya juga masih lebat sehingga sulur-sulur menggantung di beberapa ruas—juga masih ada kera. Bahkan, meskipun mulus, di beberapa tempat masih saya temukan jalanan yang licin berlumut.

Pantai Iboih/Fuji Adriza

Sekilas perbukitan Pulau Weh mengingatkan saya pada jalanan Sitinjau Lauik di Sumatera Barat. Hanya skalanya saja yang lebih kecil. Jika benar-benar jalan kaki barangkali saya mesti membuat bivak di pinggir jalan untuk bermalam. Saking luar biasanya jalanan di Pulau Weh, ojek yang saya tumpangi sampai kewalahan membawa saya dan ransel 60 liter yang saya panggul. Di tengah jalan motor itu tiba-tiba berhenti, dan saya dioper oleh pengendara ojek itu ke motor lain.

Jika dihitung-hitung barangkali perjalanan dari pelabuhan ke Iboih itu berlangsung sekitar setengah jam. Memasuki pesisir Iboih, jalan berubah menjadi makadam dan berpasir. Di sebelah kanan adalah perairan tenang dengan air berwarna toska yang berujung di Pulau Rubiah. Kapal-kapal berjejeran dan terumbu karang di bawah air tampak samar-samar. Di sebelah kiri kafe-kafe dan kantor-kantor operator selam berjejeran. Karena masih pagi, jalan kecil itu sepi.

Bertemu Ikan Hiu

Asal mau berjalan kaki mencari, banyak penginapan di Iboih, yang meskipun murah namun menawarkan pemandangan yang bisa diadu dengan resor-resor yang lebih mahal. Kamar saya yang seharga sekitar 55 ribu semalam itu cukup besar, dengan fasilitas kasur king-size, kelambu, dan kipas angin. Saya menginap di salah satu bungalow yang langsung menghadap ke laut. Di beranda, pengelolanya memasang sebuah ayunan kain (hammock) yang di sana saya bisa berbaring sambil menikmati gradasi indah warna air laut dan Pulau Rubiah.

Tinggal turun tangga, saya bisa langsung menceburkan diri ke laut. Siang itu, setelah beberapa saat snorkeling di perairan depan bungalow dan melihat beberapa ekor gurita yang menyaru batu karang (saking banyaknya gurita di perairan ini, salah satu makanan khas yang dijajakan di Sabang adalah sate gurita), saya berenang ke Pulau Rubiah. Semakin ke tengah, warna air yang saya lihat melalui masker semakin pekat. Ikan-ikan karang yang tadinya banyak menjadi jarang. Namun beberapa kali saya melihat kawanan ikan (schooling fish), yang ramai dan berputar-putar. Mendekati Pulau Rubiah, bawah laut kembali sama dengan yang saya lihat di depan bungalow.

Bungalow-bungalow di Iboih yang langsung menghadap laut/Fuji Adriza

Di pulau yang memanjang itu saya duduk-duduk sambil melihat sekitar. Kali ini—sebaliknya—di depan saya adalah Pulau Weh dan di belakang saya adalah hutan Pulau Rubiah. Di antara pepohonan yang hijau itu ada sebuah celah—barangkali jalur trekking. Saya penasaran menyusurinya. Namun berhubung sudah sore, niat itu saya urungkan. Kalau laut keburu pasang, bisa-bisa saya tertahan di Pulau ini. Sementara saya tak ada minat untuk jadi penerus Robinson Crusoe.

Ingin menjajal dunia bawah laut Sabang yang konon disebut-sebut masih ‘asri,’ keesokan harinya saya bertandang ke sebuah operator selam. Menurut desas-desus yang saya dengar selama ini, biaya menyelam di Sabang lebih miring dibanding biaya di tempat-tempat lain seperti Amed dan Tulamben di Bali. Benar ternyata. Untuk dua kali penyelaman, saya hanya perlu membayar 600 ribu, sudah termasuk bea sewa perlengkapan dasar (termasuk wetsuit), sewa boat, dan jasa dive-master. Namun itu adalah tarif bagi yang sudah punya sertifikat selam. Jika belum bersertifikat, sebelum turun anda akan diberi pelatihan dulu—tentu saja dengan mengeluarkan biaya tambahan.

Bersama dive buddies menuju titik penyelaman/Fuji Adriza

Hari itu saya turun dua kali, yaitu menjelang siang dan sore hari. Ekosistem laut perairan Rubiah ternyata memang masih asri, sebab di dua titik penyelaman itu, Batee Tokong dan East Seulako, saya berjumpa dengan hewan yang berada pada puncak rantai makanan di laut—hiu. Di Batee Tokong saya bertemu blacktip shark yang melintas kencang sekitar 10-15 meter di depan, sementara di East Seulako saya melihat silvertip shark. Saya bergidik ketika sadar bahwa dua titik penyelaman ini tidak seberapa jauh dari rute yang saya ambil ketika berenang dari penginapan ke Rubiah kemarin. Selain hiu, hari itu saya juga melihat—tentu saja—gurita, lionfish, penyu, morray raksasa, dan kawanan barakuda kecil.

Letih tapi bahagia, sore itu sambil menanti matahari terbenam saya berayun-ayun di atas hammocksambil memainkan ukulele. Ketika malam tiba, riuh kehidupan di Pulau Weh berpindah ke kafe-kafe yang berjejeran, yang di luar dugaan saya ternyata juga menjajakan kopi kemasan.


Sebelumnya dimuat di blog Kompasiana Fuji Adriza

The post Perjalanan ke Ujung Barat Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-ke-ujung-barat-indonesia/feed/ 1 68