adonara Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/adonara/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 02 Jan 2023 23:46:29 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 adonara Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/adonara/ 32 32 135956295 Menembus Nostalgia di Adonara Timur https://telusuri.id/menembus-nostalgia-di-adonara-timur/ https://telusuri.id/menembus-nostalgia-di-adonara-timur/#respond Sat, 07 Jan 2023 04:00:29 +0000 https://telusuri.id/?p=36833 Pada Desember 2021 yang lalu, saya menyempatkan diri untuk kembali mengunjungi kampung halaman ayah saya di Adonara Timur tepatnya di Desa Lamawolo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Pemandangan sejak lima tahun silam kini terlihat sedikit...

The post Menembus Nostalgia di Adonara Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
Pada Desember 2021 yang lalu, saya menyempatkan diri untuk kembali mengunjungi kampung halaman ayah saya di Adonara Timur tepatnya di Desa Lamawolo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Pemandangan sejak lima tahun silam kini terlihat sedikit berbeda, namun hangatnya sapaan kereu ina/ama—ungkapan salam yang dilontarkan ketika berpapasan untuk wanita/pria—serta tradisi jumat bersih oleh perempuan di kampung ini masih melekat dengan erat di ingatan dan nyata hingga hari di mana saya menginjakan kaki kembali di bawah kaki Gunung Ile Boleng ini.

Perjalanan menuju Adonara kali ini, saya sebut “pelarian” karena modal nekat dan dana minim. Merasa sangat suntuk dengan rutinitas di depan si merah—panggilan spesial untuk laptop kesayangan—saya memutuskan mengajak Inry—sahabat saya—dalam misi pelarian ini.

Perjalanan kami mulai dari Kota Pancasila, Ende, sekitar pukul 07.00 pagi. Saya dan Inry beranjak menuju Kota Larantuka menggunakan bus antar kota. Perjalanan ini memakan biaya sekitar 130 ribu rupiah per orang dengan jarak tempuh sekitar 286 km. Waktu tempuh sekitar 8 jam perjalanan dengan sekali perhentian di Kampung Boru untuk beristirahat dan makan siang. 

Sekitar setengah jam melepas penat sekaligus mengisi perut dengan semangkuk bakso dan juga teh hangat, kami kembali melanjutkan perjalanan. Kami tiba di sana sekitar pukul 4 sore, untuk kemudian menuju rumah paman saya yang berada di Desa Lebao. 

Malam itu menjadi malam panjang nan lelap. Setelah bergegas membersihkan diri dengan air hangat dan membaluri badan dengan minyak kayu putih, rasa penat setelah seharian suntuk berada di dalam bus sirna. Kami beristirahat di rumah paman selama dua hari, sebelum kembali melanjutkan perjalanan menuju Adonara. Kali ini paman saya ikut serta.

Pukul 09.00 pagi, kami bertolak dari Pelabuhan Larantuka menuju Adonara menggunakan kapal motor. Perjalanan laut dari Pelabuhan Larantuka menuju Pelabuhan Waiwerang Adonara memakan waktu sekitar 1,5 jam dengan tarif 20 ribu rupiah per orang. 

Kapal motor merupakan salah satu transportasi utama masyarakat Flores Timur dan Lembata, oleh karena itu kepadatan di kapal motor nampak dari kerumunan penumpang hingga barang yang diangkut. Salah satu yang masih khas dan masih saya temui hingga sekarang yakni kapal motor Arkona yang merupakan kapal motor jurusan Larantuka–Waiwerang yang masih beroperasi dengan baik, dari usia saya seumuran anak SD hingga sekarang saya berusia 23 tahun. Tiba di Pelabuhan Waiwerang kami langsung menuju rumah kakek dan nenek yang terletak di Desa Lamawolo. 

Cerita dari Pantai Watotena

Singkatnya, waktu liburan ini tentunya tidak cukup jika hanya berdiam diri di dalam rumah saja. Saya bersama keluarga memutuskan untuk mengunjungi salah satu tempat wisata andalan kebanggaan orang Lamaholot yaitu Pantai Watotena yang terletak di Desa Bedalewun, Adonara Timur. Perjalanan dari Desa Lamawolo menuju Pantai Watotena memakan waktu sekitar 15 menit menggunakan mobil. Biaya masuknya hanya Rp5.000 saja.

Menurut cerita warga setempat, pantai ini merupakan salah satu saksi atau simbol suatu kejadian di masa lampau yang masih hidup sampai sekarang. Sesuai dengan arti namanya, watotena yang berarti perahu dari batu atau batu yang berbentuk perahu. Arti dari Watotena bisa kita lihat dari salah satu bebatuan hitam (batu magma) yang bentuknya menyerupai sebuah kapal. Batu ini merupakan hasil semburan magma dari Gunung Ile Ape, Lembata. 

  • Pantai Watotena
  • Pantai Watotena

Terhampar pasir putih dengan bulir pasir yang halus dan bersih, deburan ombak, bebatuan hitam di sekelilingnya yang mengapit pantai, dengan Gunung Ile Boleng di belakangnya. Warna air lautnya hijau biru, membuat saya betah berlama-lama duduk menatapnya di atas lopo—gubuk kecil yang tersedia sebagai tempat untuk beristirahat. Dari jauh tampak beberapa rombongan keluarga yang mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan komuni suci.

Di sini, pengunjung tidak boleh membuang sampah, membawa rokok dan minuman keras di pesisir pantai. Bagi yang ingin menikmati minuman atau merokok sudah disediakan lopo, dan sampah harus berada pada tempatnya.

Kampung Lamawolo 

Kali ini saya juga akan menceritakan tentang kampung halaman ayah saya. Kampung Lamawolo, berada tepat di bawah kaki Gunung Ile Boleng. Adat dan budaya masih sangat kental di daerah ini. Orang-orangnya juga tidak kalah ramah walaupun kadang “tampangnya garang”.

Ke mana pun pergi dan berpapasan dengan masyarakat sekitar, entah itu bocah SD maupun orang dewasa yang tidak kalian kenal, janganlah heran ataupun merasa aneh jika mereka menyapa hangat. “Kereu,” begitu kalimat sapaan di sini.

Sebagai putri Adonara yang hidup berdampingan dengan adat, tentunya saya tidak lupa untuk mengunjungi tanah leluhur yang letaknya di Kampung Lamawolo Atas. Di sini, terdapat sebuah Bale Adat Suku Lamawolo yang berisi rumah adat dari tiap suku yang berbeda di Desa Lamawolo dan sebuah tanah lapang untuk upacara adat. 

Sebagai bentuk penghormatan untuk tanah leluhur, saya bersama Indry mengunjungi tempat ini dan menyempatkan waktu untuk sedikit berbincang dengan kepala suku dan yang juga menjaga rumah adat suku saya. Ada berbagai tempat di area bale adat ini yang tidak bisa dijangkau oleh sembarang orang, namun dengan tetap menjaga sikap dan tutur kata maka kita pun bisa keluar dari tempat ini dengan berkat baik pula. 

“Setiap doa leluhur selalu mengiringi ke mana pun anak cucunya berpijak, dengan tidak melupakan mereka merupakan salah satu penghormatan besar bagi para leluhur kita.” 

Pagi itu, saya dan Indry yang memakai kwatek Adonara—kain tenun tradisional Adonara yang ditenun langsung oleh perempuan Adonara. Kami menyusuri Bale Adat Suku Lamawolo yang terletak di bawah lembah Gunung Ile Boleng. Ragam bentuk rumah adat tiap suku di Lamawolo yang terdapat di Bale Adat pada umumnya semi modern, dilihat dari perpaduan material yang dipakai untuk membangun rumah adat yakni beton dan sebagian dinding berupa bambu.

Pelarian saya kali ini sangatlah singkat, tapi sangat berkesan. Mudah-mudahan di lain kesempatan saya bisa lebih sering menyempatkan waktu untuk mengunjungi ujung timur Pulau Flores ini.                           

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.                                                                         

The post Menembus Nostalgia di Adonara Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menembus-nostalgia-di-adonara-timur/feed/ 0 36833
Diplomasi Sepakbola Timur https://telusuri.id/diplomasi-sepakbola-timur/ https://telusuri.id/diplomasi-sepakbola-timur/#respond Fri, 07 Oct 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35667 Selain kopi, diplomasi terkuat di Nusa Tenggara Timur adalah sepak bola. Orang-orang begitu terobsesi dengan sepak bola. Begitu pula dengan orang-orang di Pulau Adonara, sepak bola adalah permainan yang digemari berbagai kalangan: tua, muda, anak-anak,...

The post Diplomasi Sepakbola Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
Selain kopi, diplomasi terkuat di Nusa Tenggara Timur adalah sepak bola. Orang-orang begitu terobsesi dengan sepak bola. Begitu pula dengan orang-orang di Pulau Adonara, sepak bola adalah permainan yang digemari berbagai kalangan: tua, muda, anak-anak, tidak peduli laki-laki atau perempuan.

Di Mekko, bagi anak-anak muda, kegiatan bermain sepak bola adalah kompetisi nomor satu—yang tidak bisa dibilang hanya sekedar hiburan—karena sepak bola lebih dari sekedar permainan bagi orang timur. 

Sepakbola merekatkan pemuda Mekko, yang pada setiap sore akan selalu bermain
Sepakbola merekatkan pemuda Mekko, yang pada setiap sore akan selalu bermain/Arah Singgah

Alkisah, suatu ketika ada dua orang Bajo dari Labuan Bajo datang ke Mekko untuk melatih orang-orang Mekko bermain sepak bola, dua orang ini memang sudah terkenal dengan kemampuannya yang hebat. Mereka bersepakat membentuk tim baru dengan nama Hercules Mekko—menggantikan tim sebelumnya yang kurang mentereng. Sempat menembus delapan besar, namun sayang kesebelasan ini harus gugur sebelum mencapai partai pamungkas. Sampai sekarang, Hercules Mekko adalah klub sepak bola kebanggaan orang-orang Mekko.

Menurut Pak Said, orang-orang di Adonara bermain dengan adat. Taktik, adat, dan kemampuan adalah hal yang harus dimiliki pesepak bola Adonara. Orang yang ingin menang akan melakukan segala cara, tetapi tanpa adat, kemenangan tidak akan pernah bisa di dapat. Ketika dulu bermain membela Mekko, Pak Said pernah bertemu lawan yang menggosokkan minyak babi ke tubuh mereka, agar licin dan tidak dipegang oleh orang-orang Bajo.

Beberapa orang memilih untuk menonton pertandingan untuk menghabiskan waktu sore
Beberapa orang memilih untuk menonton pertandingan untuk menghabiskan waktu sore/Arah Singgah

“Main bola di Adonara ini macam perang saja,” ucap Ale mengomentari cerita Pak Said. 

Ale bercerita bagaimana di tempat asalnya, Larantuka, persaingan sepak bola itu adalah persaingan gengsi antar desa. Siapa yang menanglah yang akan membawa harum nama desa. Meskipun kompetisi ini dalam skala kecil, antusias orang-orang untuk melihat pun tak terelakkan. Saya melihat sendiri bagaimana supir mobil yang kami tumpangi di Larantuka turun di tengah jalan dan lebih memilih untuk menonton sepak bola daripada mengantarkan kami sampai ke tujuan, hingga akhirnya salah satu temannya lah yang mengantarkan kami sampai ke Pelabuhan Pante Palo.

Sepak bola adalah salah satu cara membaur termudah bagi saya. Di beberapa daerah yang pernah saya singgahi, saya selalu menjajal kemampuan saya untuk beradu bola kaki dengan pemuda-pemuda kampung. Pada suatu petang, lapangan berukuran 100 x 50 itu sudah digeromboli pemuda. Ada yang memakai jersey dan sepatu, lengkap dengan kaus kaki panjang. Ada yang bertelanjang kaki dan kaus katun kumal. Saya termasuk golongan yang kedua. Pak Said berencana meminjamkan sepatu, tapi saya menolak, karena ukuran sepatu saya agak sulit untuk dicari. Sore itu lapangan dipenuhi 18 pemain yang dibagi dua. Kaki saling beradu di antara pasir dan rumput. Gol demi gol bersarang di masing-masing gawang.

Kumpulan bocah yang tidak mau ketinggalan untuk bermain bola/Arah Singgah

Pertandingan bola berakhir 15 menit sebelum azan Magrib berkumandang, menyisakan waktu untuk beristirahat dan membeli minuman dingin. Uniknya, saya diberitahu bahwa setiap pertandingan bola di Mekko, pasti ada salah satu dari kedua belah pihak yang bertanding untuk bertaruh uang, siapa yang bakal menang. Meski tensi pertandingan seperti terlihat biasa saja, ada aroma persaingan yang kuat tentang siapa yang terbaik, siapa yang berhak mewakili Mekko untuk bertanding keluar.

“Besok main lagi ya!” ucap salah satu dari mereka selepas pertandingan usai. Saya mendapat kado spesial dari lapangan ini, dua jempol kaki saya melepuh karena menginjak batu tajam.

“Kalau di sini, main harus pakai adat juga,” lagi-lagi celoteh soal adat keluar dari mulut salah seorang dari mereka, seakan menegaskan kata yang diucapkan Pak Said kepada saya sebelumnya. Di sisi lain dusun, kumpulan bapak ibu ikut meramaikan suasana sore di Mekko dengan bermain voli. Olahraga ini tidak mengeluarkan energi yang terlalu banyak, dan mainnya pun bisa sambil santai, ketawa-ketiwi. 

Ngobrol bersama pak Bakri
Ngobrol bersama pak Bakri/Arah Singgah

Menyinggung soal adat, Pak Bakri menegaskan kepada saya bahwa adat di Adonara itu sangat kuat. Saya mencoba memahami apa arti adat yang ia maksud. Kalau boleh diterjemahkan secara bebas, adat di Adonara merujuk pada pemahaman “kualat”.

Menurut keyakinan orang Adonara, apapun dalam hidup bergantung dengan adat, termasuk pertandingan bola tidak akan bisa dimenangkan oleh mereka yang melanggar secara adat kepada orang dari kampung lain. “Biar bagaimana orang di sana atau pakai tenaga bayaran, sedangkan kita pemain kampung semua, kalau kita terbebas dari semua (adat) itu, tetap akan kalah mereka,” ucap Pak Bakri bersemangat. Adat memanglah bukan sebuah ritus atau bagian dari praktek agama, tetapi ia mengakar jauh dalam sanubari masyarakat nusantara sebagai nilai-nilai yang menjaga kesopanan dan pantangan. Kepercayaan ini mengakar kuat di berbagai daerah di Indonesia dengan mengambil macam bentuk dan kata yang berbeda dengan maksud yang sama, seperti kualat, pamali, kapuhunan, dan adat.

“Banyak dari anak-anak kita, saudara-saudara kita yang masuk pesantren tidak percaya adat lagi. Karena mereka menganggapnya syirik,” celotehnya.

“Kau masuk ke Adonara, kau tidak percaya itu barang (adat), kau mati!” Pak Bakri kembali menegaskan perkataannya.

Kalau ditelaah, pantangan-pantangan yang diberikan semua masuk akal dan kalau sekiranya dikaitkan dengan agama pun sudah pasti akan sesuai. Contohnya di Adonara, meskipun pukat seorang nelayan sudah penuh, jangan sekali-kali mencoba mengambilnya, karena malapetaka akan datang pada seorang yang berbuat jahat. Apa yang kau tanam, itulah yang kau tuai. Itulah adat Adonara. Deheman Pak Bakri di akhir kalimat yang ia ucap, cukup menyimpulkan bagaimana hidup harus sesuai laku, baik atau buruknya akan berbalas kepada diri sendiri.

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Diplomasi Sepakbola Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/diplomasi-sepakbola-timur/feed/ 0 35667