ambarawa Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/ambarawa/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 19 May 2023 09:07:30 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 ambarawa Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/ambarawa/ 32 32 135956295 Sepenggal Kisah yang Terlupakan dari Benteng Willem I Ambarawa https://telusuri.id/sepenggal-kisah-yang-terlupakan-dari-benteng-willem-i-ambarawa/ https://telusuri.id/sepenggal-kisah-yang-terlupakan-dari-benteng-willem-i-ambarawa/#respond Mon, 15 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38652 Setelah puas berkeliling Benteng Pendem Van Den Bosch di Ngawi tempo hari, rasa penasaran saya mengenai sebuah benteng di pedalaman Jawa lainnya kian memuncak. Tujuan saya kali ini berada di Jawa Tengah, tepatnya Benteng Willem...

The post Sepenggal Kisah yang Terlupakan dari Benteng Willem I Ambarawa appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah puas berkeliling Benteng Pendem Van Den Bosch di Ngawi tempo hari, rasa penasaran saya mengenai sebuah benteng di pedalaman Jawa lainnya kian memuncak. Tujuan saya kali ini berada di Jawa Tengah, tepatnya Benteng Willem I, Ambarawa, Kabupaten Semarang. Tidak jauh dari Kota Salatiga dan Rawa Pening.

Pertama kali menginjakan kaki ke dalam benteng, rasa takjub langsung menyelimuti. Bagaimana tidak? Meski sama-sama menyisakan reruntuhan, namun eksotisme dan cerita yang tersimpan luar biasa. Benteng Willem I Ambarawa adalah satu di antara sekian benteng pertahanan di pelosok Jawa yang tersisa.

Mungkin banyak yang bertanya-tanya, di mana benteng lainnya? Lenyap tak bersisa. Kalaupun ada, tidak bisa terbuka untuk umum. Namun, berbeda dengan Benteng Willem I Ambarawa yang saya kunjungi.

Ketika akan menelusuri Benteng Willem I Ambarawa, pikiran saya langsung terbayang kemiripannya dengan Benteng Van Den Bosch di Ngawi. Hanya saja di beberapa sudut dalam Benteng Willem I, penggunaannya untuk beraktivitas, termasuk setengahnya untuk Lapas Kelas IIA Ambarawa. Sudut lain hanya berupa reruntuhan. Miris memang, tetapi itu yang terjadi. 

  • Jalan Desa Beteng, satu-satunya akses menuju Benteng Willem I Ambarawa
  • Pemandangan Benteng Willem I Ambarawa dengan latar belakang bukit Telomoyo

Akses Menuju Benteng Willem I Ambarawa

Sebelum masuk saya sudah menghadapi masalah klasik, yakni salah jalan dan kebablasan. Melalui peta satelit, akses menuju Benteng Willem I yang sebenarnya melalui Lapas Ambarawa. Namun, kini ada akses cepat melalui gapura sebelah RSUD dr. Gunawan Mangunkusumo, Ambarawa.  

Jika kita menemukan gapura Beteng RT 07 RW VI, Warunglanang, Lodoyong, tinggal masuk mengikuti jalan desa sampai berhenti tepat di pintu masuk samping Benteng Willem I. Hanya ada satu jalan dari gapura tersebut, sehingga tidak perlu khawatir tersesat.

Kalau masih bingung, jangan segan bertanya kepada warga sekitar. Mereka pasti akan mengarahkan. 

“Oh, kejauhan, Mas. Putar balik dari sini, sebelum RSUD belok kiri lalu masuk gapura desa Beteng. Tinggal lurus ngikutin jalan desa!” begitu kiranya petunjuk warga ketika saya mencari pintu masuk ke benteng.

Benar saja, tidak perlu waktu lama bagi saya mengikuti jalan desa Beteng ini. Awalnya saya ragu, tetapi mulai yakin ketika warga mengarahkan. Saya menduga nama Desa Beteng berasal dari keberadaan Benteng Willem I Ambarawa. 

Sesampainya di depan pintu masuk samping benteng, tanpa pikir panjang saya langsung menelusuri dan mengabadikan setiap sisinya. Saya membayangkan kemewahannya pada zaman itu. Di tengah serius mengabadikan setiap sudut, tiba-tiba saya teringat satu hal yang jarang orang-orang ketahui, khususnya di luar Ambarawa. 

Relung pintu masuk Benteng Willem I Ambarawa sisi utara
Relung pintu masuk Benteng Willem I Ambarawa sisi utara/Ibnu Rustamadji

Sejarah dan Fungsi Keberadaan Benteng Willem I Ambarawa

Merujuk Fort in Indonesia 1839-1845, pembangunan benteng di Ambarawa—kelak populer dengan sebutan Benteng Willem I—merupakan inisiatif Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Tujuannya sebagai upaya pertahanan Jawa bagian tengah, khususnya dari cengkeraman kolonial Inggris, seperti yang terjadi pada tahun 1811.

Van Den Bosch tidak ingin pulau Jawa kembali lepas seperti pada masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, karena pertahanan Jawa sangat minim. Tak ayal, muncullah gagasan pendirian benteng pedalaman Jawa, bersamaan dengan pengesahan cultuurstelsel atau tanam paksa.

Fokus keberadaan Benteng Willem I Ambarawa adalah sebagai pusat serangan balik dan titik kumpul prajurit apabila pedalaman Jawa diserang. Sekaligus titik persimpangan barang dan jasa strategis antara Kedu (Magelang)—Semarang—Surakarta. 

Sebelum proses pembangunan, tiga benteng kecil dibangun di sekitar benteng induk guna menjaga kemungkinan hal buruk dan agar lebih cepat terselesaikan. Pembangunan Benteng Willem I Ambarawa resmi dimulai pertengahan Juni tahun 1833. Perancangnya adalah Insinyur Zeni, Kolonel Van Der Wijck, dengan nama awal Fort Toentang atau Benteng Tuntang.

Awalnya Van Den Bosch menginisiasi pendirian benteng yang terfokus di pesisir Jawa, terutama Surabaya, Semarang dan Batavia. Bentuknya berupa benteng citadel dan kustbatterij. Kemudian barulah membangun benteng pertahanan di pedalaman Jawa seperti Benteng Cochius (Van Der Wijck) Gombong, Willem I Ambarawa, dan Van Den Bosch Ngawi.

Pembangunan Benteng Willem I Ambarawa diawali upacara peletakan batu pertama oleh Jenderal Dominique Jacques de Eerens pada 18 Juni 1833. Ia lalu menjabat Gubernur Jenderal dan meresmikan Willem I Ambarawa, menggantikan Van Den Bosch yang kembali ke kerajaan Belanda.

Rancangan insinyur Van Der Wijck untuk Benteng Willem I Ambarawa dan Van Den Bosch Ngawi meniru sistem pembangunan benteng abad ke-17 karya Insinyur Zeni Perancis, Sébastien Le Prestre de Vauban. Para pekerja terdiri dari tim insinyur zeni dan sekitar 3.000 kuli tahanan untuk kerja paksa.

Pembangunan Benteng Willem I Ambarawa tidaklah mudah. Sempat terjadi penundaan, karena terjadi bencana alam puting beliung dan kebakaran besar yang melanda benteng Willem I Ambarawa. Akhirnya proyek ambisius ini kembali memasuki tahap pengerjaan lima tahun kemudian.

Satu-satunya jembatan penghubung di dalam Benteng Willem I Ambarawa
Satu-satunya jembatan penghubung di dalam Benteng Willem I Ambarawa/Ibnu Rustamadji

Hal-Hal Menarik yang Terlupakan dari Benteng Willem I Ambarawa

Desain arsitektur benteng mengalami beberapa kali perubahan hingga tahun 1837. Pada tahun yang sama desain terakhir pun disetujui. Penyematan nama Willem I juga atas keinginan Pangeran Frederik Hendrik, meskipun benteng belum selesai sepenuhnya.

Penyematan nama tersebut berasal dari nama raja Belanda waktu itu, yakni Willem I. Sang pangeran tengah berada di Hindia Belanda untuk beranjangsana ke Ambarawa, memenuhi undangan Dominique Jacques tahun 1837. 

Dominique Jacques mengundang Pangeran Frederik Hendrik untuk menikmati alam pegunungan Menoreh dan meresmikan nama benteng yang sudah mereka siapkan. Pangeran Frederik Hendrik cukup kagum dan menilai Benteng Willem I Ambarawa sebagai benteng mutakhir di pedalaman Jawa, sehingga menurutnya layak menyandang nama “Willem I”.

Benteng Willem I juga disebut Benteng Pendem, karena berada di cekungan yang mana parit dan gundukan tanah mengelilingi layaknya Benteng Van Den Bosch. Tujuannya pun sama, untuk menahan serangan peluru artileri musuh. Desain yang cukup kompleks, karena memang berguna sebagai basis pertahanan utama.

Melalui catatan sang pangeran dalam Fort in Indonesia, prajurit yang mendiami Benteng Willem I Ambarawa kala itu berasal dari Eropa, Madura, Bugis, dan pribumi. Mereka diizinkan tinggal bersama anak dan istri di dalam benteng. Menurut saya hal ini sangat wajar, karena konstruksi Benteng Willem I Ambarawa cukup besar dan luas. Sehingga tidak menutup kemungkinan warga nonmiliter juga tinggal satu atap.

Hal lain yang menarik adalah kehidupan sebagian perwira di Benteng Willem I Ambarawa sangat beradab, karena mereka membawa anak dan istrinya dari Eropa. Sementara para prajurit Eropa yang bujang melampiaskan hasrat seksual mereka dengan perempuan lokal dari Ambarawa. Berbeda dengan prajurit Madura, Bugis dan pribumi. Mereka memilih rehat di pasar dan mengisap candu atau opium.

Kondisi barak sisi kiri pintu masuk Benteng Willem I
Kondisi barak sisi kiri pintu masuk Benteng Willem I/Ibnu Rustamadji

Kemegahan yang Tidak Sempurna

Tatkala berdiri tepat di beranda depan reruntuhan kediaman komandan, sembari menyaksikan jejak kemegahan Benteng Willem I Ambarawa, hanya ada satu hal di pikiran saya. Rancangan kolonel Van Der Wijck sangat revolusioner dan berani di zamannya. Tidak hanya fungsi kekuatan pertahanan luar saja, tetapi juga penataan detail setiap sudut benteng yang sangat presisi.

Tentu saja ada alasan lain di balik itu. Apabila terjadi serangan di sisi luar, dampaknya tidak akan terasa langsung ke dalam benteng. Selain itu, desain yang ada memungkinkan untuk memantau gerakan serangan dari seluruh penjuru mata angin.

Namun, kesempurnaan proyek ambisius tersebut harus pupus pada 1849. Di pertengahan tahun tersebut Benteng Willem I Ambarawa selesai dibangun. Pembangunan benteng telah menelan banyak biaya. Selain karena proyek besar, penyebabnya adalah tingginya biaya renovasi benteng pasca gempa besar mengguncang Ambarawa. Ditambah kas Kerajaan Belanda terkuras setelah perlawanan terhadap Pangeran Diponegoro.

Kondisi demikian menyebabkan batalnya pembangunan beberapa fasilitas. Hasil akhir pembangunan hanya seperti apa yang saat ini tersisa. Kehidupan para prajurit di dalamnya semakin sirna sejak rentetan gempa bumi antara tahun 1865-1872 dan penyebaran wabah malaria. 

Para serdadu dari Afrika adalah orang yang terakhir menempati Benteng Willem I Ambarawa selama satu bulan, tepatnya tahun 1926. Setelahnya sempat berfungsi sebagai kamp interniran Jepang, hingga akhirnya sebagian menjadi Lapas Kelas IIA Ambarawa.

Sayang memang, hasil akhir tidak sesuai dengan rancangannya yang terbilang revolusioner. Saya hanya bisa membayangkan, seandainya reruntuhan Benteng Willem I Ambarawa sampai saat ini masih seperti desain awal, tentu akan sangat luar biasa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sepenggal Kisah yang Terlupakan dari Benteng Willem I Ambarawa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sepenggal-kisah-yang-terlupakan-dari-benteng-willem-i-ambarawa/feed/ 0 38652
Naik Kereta Api di Museum Kereta Api Ambarawa https://telusuri.id/naik-kereta-api-di-museum-kereta-api-ambarawa/ https://telusuri.id/naik-kereta-api-di-museum-kereta-api-ambarawa/#respond Wed, 03 Feb 2021 10:38:52 +0000 https://telusuri.id/?p=26805 Liburan akhir pekan memang sering saya habiskan untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan kebetulan target saya kali ini adalah Museum Kereta Api Ambarawa. Tak hanya belajar tentang sejarahnya saja, saya juga berniat untuk mencoba pengalaman naik...

The post Naik Kereta Api di Museum Kereta Api Ambarawa appeared first on TelusuRI.

]]>
Liburan akhir pekan memang sering saya habiskan untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan kebetulan target saya kali ini adalah Museum Kereta Api Ambarawa. Tak hanya belajar tentang sejarahnya saja, saya juga berniat untuk mencoba pengalaman naik kereta api tua yang usianya bisa dibilang sudah ratusan tahun. 

Lokomotif di Museum Kereta Api Ambarawa ini merupakan peninggalan zaman Belanda, jadi bentuk dan pengoperasiannya pun masih terlihat kuno. Namun hal ini tampak berbeda saat saya sudah tiba di stasiunnya.

Setelah membayar tiket masuk seharga Rp10 ribu, saya mulai memasuki area di dalam dari Stasiun Ambarawa.  Terlihat beberapa lokomotif yang bentuknya unik dan vintage dengan cat yang bisa dibilang masih baru. Dari sisi bangunannya berciri khas bangunan peninggalan Belanda karena gaya arsitekturnya mirip seperti yang ada di Lawang Sewu atau Kota Lama Semarang. 

Walaupun usianya sudah tua, stasiun ini sangat terawat, terbukti dari areanya yang bersih dan penempatan barang-barangnya pun teratur. Di beberapa titik akan ada papan informasi tentang sejarah dan seluk beluk sejarah perkeretaapian Indonesia. Beberapa barang-barangnya banyak yang berasal dari stasiun lain yang bahkan sudah tidak beroperasi, salah satunya adalah loket kayu dari Stasiun Demak.

Menurut obrolan saya dengan salah satu petugas yang ada di sana,  Stasiun Ambarawa tak hanya berfungsi sebagai tempat wisata saja. Di sini pengunjung bisa melakukan berbagai macam kegiatan seperti pemotretan, shooting film, festival, bazaar, meeting, bahkan workshop juga pernah diadakan di tempat ini. 

Museum Kereta Api Ambarawa
Museum Kereta Api Ambarawa/Deta Widyananda

Sejarah Museum Kereta Api Ambarawa

Sebelum dikenal sebagai Stasiun Ambarawa, dulunya stasiun ini dikenal dengan nama Stasiun Willem I yang dibangun oleh NISM (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij), diresmikan tanggal 21 Mei 1873 bersama dengan pembukaan lintas Kedungjati-Ambarawa.

Ambarawa memang dikenal sebagai daerah militer karena perannya yang menyokong Magelang untuk mengontrol daerah di pedalaman. Pada tahun 1835 dibangunlah sebuah kompleks benteng besar yang selesai pada tahun 1848 dan diberi nama Willem I. Benteng ini merupakan benteng terbesar di Jawa pada masa pemerintahan Raja Willem I. 

Pada tahun 1873 dibuatlah jaringan kereta api oleh perusahaan kereta api swasta, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) yang merupakan syarat untuk mendapatkan izin konsesi pembangunan jalur kereta api Semarang – Vorstenlanden (dikenal sebagai Solo – Yogyakarta). NISM diwajibkan untuk membangun jalur kereta api sepanjang 37 km dari Kedungjati sampai Ambarawa untuk keperluan militer pada saat itu. 

Pemberian nama Stasiun Willem I ini karena lokasinya yang tidak jauh dari Benteng Willem I. Pada tahun 1905 berlanjut membangun jalur kereta api Secang-Magelang dengan jalur kereta khusus menggunakan rel bergerigi. 

Selanjutnya pada tahun 1907, dilakukan renovasi terhadap Stasiun Ambarawa dengan mengganti material kayu dan bambu menjadi batu bata. 

Semenjak dioperasikan, Stasiun Willem I ini digunakan sebagai angkutan komoditas ekspor dan keperluan militer di sekitar Jawa Tengah. Namun pada tahun 1976, stasiun ini dinonaktifkan dan digunakan sebagai Museum Kereta Api oleh Gubernur Jawa Tengah pada saat itu. 

Tujuannya untuk menyelamatkan teknologi kuno yang masih bisa dioperasikan yaitu lokomotif uap yang sekarang ini menjadi daya tarik tersendiri di sana. Stasiun Ambarawa dipilih karena nilai historisnya yang kuat dengan perjuangan kemerdekaan NKRI yaitu Pertempuran Ambarawa. 

Di museum ini, saya bisa melihat berbagai koleksi peninggalan masa Hindia Belanda sampai pra Kemerdekaan RI seperti sarana, prasarana dan perlengkapan administrasi. Untuk koleksi kereta apinya sendiri memiliki 26 lokomotif uap, 4 lokomotif diesel, 5 kereta dan 6 gerbong dari berbagai daerah tak hanya di Ambarawa saja. 

Pengelola Kereta Wisata Ambarawa juga menyediakan fasilitas bagi pengunjung untuk merasakan sensasi naik kereta api dengan dua jalur yang berbeda, yaitu Ambarawa-Tuntang PP dan Ambarawa-Bedono PP. 

Untuk jalur Ambarawa-Bedono PP menggunakan kereta api uap yang melewati rel bergerigi, satu-satunya rel bergigi yang masih aktif di Indonesia. Namun saat ini yang beroperasi adalah jalur Ambarawa-Tuntang PP menggunakan Kereta Api Diesel. 

Museum Kereta Api Ambarawa
Kereta Api di Museum KA Ambarawa/Deta Widyananda

Jadwal Kereta Wisata Ambarawa

Update jadwal dan harga tiket Kereta Wisata Ambarawa per November 2020 adalah Rp60 ribu per orang (anak usia 3 tahun lebih diwajibkan untuk membeli tiket). Untuk jadwalnya terbagi menjadi 3 sesi setiap hari Sabtu dan Minggu yaitu jam 9 pagi, 11 siang, dan 1 siang. 

Pengalaman saya sewaktu datang ke Stasiun Ambarawa memang harus datang pagi hari dan langsung membeli tiket karena biasanya sudah terjual habis. Untungnya saya masih mendapatkan satu tiket terakhir untuk jam 1 siang. 

Rute kereta api yang saya naiki adalah Ambarawa – Tuntang PP menggunakan Kereta Api Diesel Vintage. Rutenya nanti melewati areal persawahan di sekitar Rawa Pening dengan pemandangan yang menakjubkan, kata salah satu petugas yang ada di sana sih. 

Bunyi dengung setiap getaran mesinnya dan decasan dari uapnya memperlihatkan bahwa kereta ini masih tangguh untuk menelusuri setiap jengkal relnya. Terlihat lokomotif dengan kayu sebagai bahan bakarnya dan sudah terpasang dengan gerbongnya. Tak lama kemudian saya naik dan menduduki salah satu tempat yang pas yaitu dekat jendela. 

Sesaat kemudian terdengar peluit yang menandakan bahwa kereta akan berangkat. Perlahan berjalan pelan dan meninggalkan Stasiun Ambarawa. Laju keretanya memang tidak terlalu kencang, inilah kelebihan kereta wisata di sini, jadi bisa melihat setiap ujung pemandangan yang disuguhkan. 

Benar saja yang dibilang bapak tadi, pemandangannya sangat menakjubkan, dari areal persawahan yang hijau membentang dengan latar belakang pegunungan kecil di sekitar Ambarawa. Jika beruntung, penumpang bisa melihat ternak yang sedang digembalakan atau kerbau yang sedang membajak sawah.

Berselang 23 menit kemudian sampailah saya di Stasiun Tuntang yang ukurannya tidak terlalu besar dan megah seperti Stasiun Ambarawa. Di sini lokomotif akan dipindahkan dari gerbong depan ke gerbong belakang (mundur). Ada sesi istirahat sejenak sekitar 20 menit yang bisa digunakan pengunjung untuk melihat-lihat Stasiun Tuntang atau mengabadikan momen saat lokomotif berpindah. 

Sempat saya mengelilingi Stasiun Tuntang namun tidak banyak hal yang bisa saya ceritakan karena memang tidak ada apa-apa dan waktunya pun terhitung singkat. Hanya ada beberapa papan informasi tentang sejarah lokomotif dan Stasiun Tuntang yang terpampang di beberapa titiknya. 

Tak lama kemudian, kereta wisata berangkat dari Stasiun Tuntang menuju ke Stasiun Ambarawa secara perlahan. Pemandangan yang disajikan memang masih sama dan tidak berbeda saat berangkat tadi. Dalam hitungan menit yang sama, kereta wisata yang saya tumpangi sudah sampai di Stasiun Ambarawa.

Dari pengalaman itulah setidaknya saya tahu bahwa Museum Kereta Api Ambarawa merupakan tempat bersejarah yang menyimpan teknologi kuno sejak penjajahan Belanda. Tak hanya sebagai daya tarik wisata saja namun Museum Kereta Api Ambarawa benar-benar mengingatkan saya bahwa teknologi sekarang ada merupakan hasil dari inovasi dan pengembangan yang tak pernah berhenti. 

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Naik Kereta Api di Museum Kereta Api Ambarawa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/naik-kereta-api-di-museum-kereta-api-ambarawa/feed/ 0 26805