amed Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/amed/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 04 Oct 2022 12:17:14 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 amed Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/amed/ 32 32 135956295 Jalan Berliku Bli Komang Hadapi Perubahan (2) https://telusuri.id/jalan-berliku-bli-komang-hadapi-perubahan-2/ https://telusuri.id/jalan-berliku-bli-komang-hadapi-perubahan-2/#respond Fri, 30 Sep 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35371 Kami melanjutkan perbincangan. “Saat muda, Bli kuat-kuatnya jadi kritis dan vokal dan senang kerja sosial umuran kalian. Karena pada waktu itu, kita yakin bisa mengubah dunia.”  Bli Komang, sewaktu muda dikenal sebagai pribadi yang sering...

The post Jalan Berliku Bli Komang Hadapi Perubahan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami melanjutkan perbincangan. “Saat muda, Bli kuat-kuatnya jadi kritis dan vokal dan senang kerja sosial umuran kalian. Karena pada waktu itu, kita yakin bisa mengubah dunia.” 

Bli Komang, sewaktu muda dikenal sebagai pribadi yang sering main, bolos sekolah, vokal dan kritis. Tapi soal pelajaran, dia tidak pernah tidak menguasai apa yang telah diajarkan gurunya. “Waktu SMP, saya jualan gula aren. Ibu yang bikin, saya yang manjat kelapa,” kenangnya. Kemudian Komang muda melanjutkan pendidikan sekolah atasnya ke Denpasar, dengan alasan untuk bisa sambil bekerja. Sebab di kampung, jalan menuju sekolah jauh, sehingga waktu terbuang banyak di jalan. Komang muda mengambil kuliah keguruan jurusan bahasa Inggris yang menjadi subjek favoritnya sembari melanjutkan bekerja paruh waktu yang selalu dilakukannya semenjak kecil.

Bli Komang muda sewaktu di Burma/Bli Komang

Pembelajaran toleransi pertama yang di dapat Komang muda adalah dari ayahnya yang mengajarinya bergaul luas dengan orang yang berbeda agama dan suku. Komang muda terbiasa melihat perbedaan, menjadi nyaman bergaul dengan orang-orang baru dengan budaya yang baru. Budaya take and give selalu ditanamkannya pada diri. “Selama otak kita masih sadar, kita terus belajar.”

Pariwisata di Bali yang tumbuh pesat, mengharuskan semua orang untuk belajar bagaimana standar internasional dalam pengelolaan pariwisata. Ketika pariwisata telah menjadi dominan, simpul-simpul ekonomi digerakkan oleh pariwisata. Beberapa kali Bali mengalami guncangan hebat, baik yang disebabkan oleh bencana ekologis maupun buatan, hingga berbagai pandemi seperti SARS, Flu Burung, dan COVID-19.

Amed yang masuk ke dalam Kabupaten Karangasem, juga pernah mendapat dampak dari Gunung Agung yang meletus pada 2017 dan gempa Lombok pada 2018. Sewaktu Gunung Agung meletus, Bli Komang banting usaha dengan membeli perahu nelayan untuk usaha tambahannya mencari penghidupan. Ketika COVID-19 muncul, Bli Komang sudah memperkirakan bahwa paceklik akan lebih mengerikan dibanding kejadian Gunung Agung. Wabah internasional ini mempengaruhi semua sektor, termasuk Amed yang kala itu baru pulih dari bencana Gunung Agung.

Maret 2020, Bli Komang sudah ambil ancang-ancang lagi untuk kembali banting stir sewaktu keadaan di Amed masih belum terkena dampak. Daripada penghasilan sehari-harinya ludes begitu saja, membanting stir adalah jalan yang harus ia tempuh untuk tetap menafkahi keluarganya. Jadilah Bli Komang kemudian berjualan ayam dan bebek potong yang melayani pesan antar ke berbagai tempat. Ide ini dia dapat dari melihat penjualan unggas yang belum ada di sekitar Amed. “Tempat saya strategis, relatif mencolok, dan menjadi landmark bagi sekitar,” ujarnya.

Bli-Komang-di-Kandang-Ayam
Bli Komang di kandang ayam/Bli Komang

Sim salabim! Taman Pondok Bebek Hita disulap menjadi sebuah kandang mini yang mampu menampung puluhan ayam. Fokus pertamanya kala itu adalah penjualan ayam kampung, kemudian ditambahkan dengan ayam negeri, ayam kecil, dan bebek untuk memperluas pangsa pasarnya.

Bau kandang ayam menusuk hidung saya yang berkeliling melihat unggas peliharaan Bli Komang. Bli Komang kemudian memanggil saya untuk memperlihatkan alat perontok bulu, yang dalam sekejap menghilangkan bulu ayam yang masih menempel di badan. 

“Nih ayam buat kalian, nanti kita guling dulu sekitar 1,5 jam,” ucapnya sembari memasukkan ayam ke dalam mesin.

Bersama-sang-istri-yang-memasak-ayam-serta-bebek-untuk-sajian-di-Taman-Bebek-Hita
Bersama sang istri yang memasak ayam serta bebek untuk sajian di Taman Bebek Hita/Arah Singgah

Saya masuk ke dapur dan bertemu istri Bli Komang yang sudah menyiapkan bumbu khas Bali untuk dipadukan dengan ayam yang baru saja selesai dibersihkan. Arang yang membara membakar perlahan daging ayam yang ditusuk besi. Putaran besi yang lambat disesuaikan untuk kematangan yang merata. Ketika ayam sudah matang dan dihidangkan ke hadapan saya, Syukron, Ayu, dan Wawan, kami tidak mampu menahan godaan untuk tidak segera metandaskannya. 

Dibalik mengerikannya efek COVID-19, selalu ada hikmah yang bisa diambil orang-orang. Bali yang riuh dengan pariwisata: mendapatkan waktu untuk berkontemplasi dan kembali melihat pada perspektif agraria yang diajarkan oleh leluhur. Masyarakat Bali setidaknya menjadi sadar, meski mereka mampu bangkit dari kejadian buruk berkali-kali, pertanian; yang menjadi warisan turun temurun dari leluhur, jangan pernah ditinggalkan. Suatu saat, lahan tanpa beton lah yang lebih dirindukan ketimbang gedung-gedung yang berjejal, yang semakin menegaskan Bali makin menjauh dari peradaban agraris.

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jalan Berliku Bli Komang Hadapi Perubahan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jalan-berliku-bli-komang-hadapi-perubahan-2/feed/ 0 35371
Jalan Berliku Bli Komang Hadapi Perubahan (1) https://telusuri.id/jalan-berliku-bli-komang-hadapi-perubahan-1/ https://telusuri.id/jalan-berliku-bli-komang-hadapi-perubahan-1/#respond Thu, 29 Sep 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35375 Jalan aspal yang mulus itu mulai mengepul diterpa matahari siang. Kumpulan bukit-gunung itu dibelah sedemikian rupa untuk mempermudah perpindahan manusia. Jalannya minim lubang menganga yang menjadi trademark jalan di negeri kita, tapi sebagai wajah Indonesia,...

The post Jalan Berliku Bli Komang Hadapi Perubahan (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Jalan aspal yang mulus itu mulai mengepul diterpa matahari siang. Kumpulan bukit-gunung itu dibelah sedemikian rupa untuk mempermudah perpindahan manusia. Jalannya minim lubang menganga yang menjadi trademark jalan di negeri kita, tapi sebagai wajah Indonesia, mustahil Bali digambarkan sedemikian rupa. Siapa nanti yang mau ke Indonesia kalau wajahnya saja buruk rupa?

Taman Bebek Hita/Arah Singgah

Rimbunan pohon kelapa dan pantai dengan laut yang membiru memberitahu kami bahwa daerah pesisir sudah dekat. Angin kencang menerpa muka kami yang sama-sama memacu motor dengan kecepatan tinggi, tidak berselang lama, kami sudah sampai di suatu bangunan yang bertuliskan “Pondok Bebek Hita.”

“Syukron, apa kabar?” sapa seorang pria dengan rambut yang masih lebat tetapi di beberapa bagian sudah mulai memutih. Kami menyalami beliau satu-satu dan kemudian dipersilahkan duduk di sebuah meja yang cukup luas untuk ditempati lima orang.  Pertemuan ini merupakan pertemuan kami yang pertama dengan lelaki ini, kecuali Syukron, yang sudah mengenal lelaki ini bertahun-tahun yang lalu. 

“Tadi pagi, Bli habis sembahyang di gunung itu tuh,” telunjuknya mengarah ke arah gunung yang berselimut awan, tepat di belakang Pondok Bebek Hita. Awalnya memang kami ingin pagi-pagi sekali menuju tempat ini, Amed, tetapi dari panggilan telepon waktu itu, lelaki ini sedang sibuk dengan suatu upacara yang dihadirinya.

Beliau memperkenalkan diri sebagai Komang Bajing. Nama aslinya adalah I Nyoman Ulian Arta Putra. Pendiri Pondok Bebek Hita, yang terkenal akan kelezatan bebek krispi dan ayam gulingnya. Dengan senyum yang tekembang, beliau meminta kami untuk menyebutkan nama satu per satu.

“Saya Irsyad, Bli, salam kenal. Saya dari Kalimantan.”

Asal kami yang berbeda, membuat Komang mengernyitkan dahi, dia mengira kami dari asal yang sama.

“Keren ya, asalnya beda-beda,” ucapnya sambil tertawa.

Amed adalah tempat yang tepat untuk mencari keheningan dengan suasana homogenitas yang masih tinggi. Amed diberkahi dengan laut dan gunung yang tidak berjauhan, sehingga dua entitas alam berbeda tersebut dapat dinikmati dari Amed. Amed yang sempat ramai harus pasrah dirundung beberapa kali bencana, yang paling parah yang pernah terjadi tentunya adalah pandemi COVID-19. 

“Sekarang ada lah satu, dua yang datang gitu. Dibanding dua tahun lalu jauh lah,” katanya. Bule-bule berseliweran di depan mata saya. Ada yang sedang berlari. Ada yang jalan bergerombol. Ada juga yang sedang masuk ke rumah makan ini ketika pembicaraan kami berlangsung. Amed sudah kembali beriak untuk pariwisata, meski belum maksimal.

“Bagaimana kalian berdua bisa saling mengenal?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut saya ketika Syukron dan Bli Komang berbicara satu sama lain mengenai masa lalu. “Jadi saya melihat ‘mini Indonesia’ dari anak-anak muda yang tampilannya sederhana, nggak petantang-petenteng, tapi punya dedikasi yang kuat; baik itu keilmuan, tentang cara pandang tentang sosio-kultural. Inilah yang merekatkan kami,” sambil mengenang awal pertemuan dengan Syukron. Bli Komang adalah orang yang suka berdiskusi, tema kebhinekaan adalah salah satu topik perbincangan kami kali ini.

Mengobrol santai dengan Bli Komang/Arah Singgah

“Nasionalisme yang berlebihan nantinya jadi chauvinisme.” Narasi nasionalisme menurut Bli Komang adalah bagaimana para anak muda berkumpul melakukan sesuatu yang berguna untuk merekatkan, meskipun itu dimulai hanya dengan obrolan ringan. Dengan latar belakangnya sebagai pejalan senior, Bli Komang seringkali dikunjungi oleh anak-anak luar daerah untuk temu sapa dan diskusi, kemudian berbagi ide.

“Apapun agamamu, kau boleh beragama apapun. Yakini apa kau yakini, tapi ingat, kau ini anak Indonesia, kamu punya jati diri yang kuat bahwa dalam tataran dunia global, pergaulan asing, kita yang kalah.” Menurut Bli Komang, kita tumbuh sebagai generasi inferior yang selalu mengagung-agungkan masyarakat luar dengan budaya asing yang dirasa lebih hebat. Rasa inferior itu kemudian menutup celah SDM-SDM berkualitas dari negeri sendiri, dan akhirnya mengurung potensi Indonesia menjadi negara besar.

Makna Perjalanan dan Kurangnya Pengemasan Budaya

Kebanyakannya dari kita, menurut Bli Komang, masih memaknai perjalanan sebagai penasbihan diri karena telah mengunjungi tempat-tempat tertentu yang bagi beberapa orang mungkin sulit dijangkau. “Apa sih yang kita petik dari wilayah ini?” serunya dengan suara lantang.

Bli Komang kemudian merumuskan apa yang ingin ia petik dari berjalan jauh: mempelajari dan belajar dari suatu tempat adalah yang terpenting dari sebuah komponen yang bernama perjalanan. Melihat perbedaan untuk dipelajari dan melihat kesamaan untuk disyukuri. Cara pejalan yang seperti ini mungkin belum ditempuh oleh banyak orang. Bli Komang pun melanjutkan ceritanya. 

Perjalanan Bli Komang ke luar daerah (Bali) pertama kali pada 1997, naik motor butut menuju ke Pulau Lombok. Perjalanan ini pula yang pertama kali membuka matanya bahwa Indonesia punya beragam budaya dan alam yang indah.

Dirinya yang juga aktif sebagai anggota dari Rotary Club, sebuah kumpulan pengusaha yang mempunyai misi kemanusiaan di berbagai bidang seperti lingkungan, pendidikan, kepemimpinan, dan sebagainya. Dengan mengikuti klub tersebut, Bli Komang menjadi tahu alur kegiatan bantuan untuk negara-negara berkembang.

Bli Komang muda di Australia/Bli Komang

Saat pergi ke Australia, ia tinggal di sana selama beberapa saat. Selama di Australia, Bli Komang mengajar anak-anak SD, ia pun menjadi paham bagaimana alur berpikir warga Australia. Pengalaman inilah yang membentuk cara pandang Bli Komang melihat Indonesia dari negeri seberang. 

“Apa yang Australia punya, man made-nya, geografisnya, kalau dibanding-bandingkan dengan yang kita punya, jauh kaya kita,” katanya. Indonesia punya segalanya, tapi kita belum bisa mengemasnya dengan tampilan yang memukau. Kita terlalu nyaman dengan apa yang kita punya menyebabkan kita tidak mengembangkan diri lebih jauh.

“Kalau ritme kita begini-begini saja, kita akan selalu menjadi bangsa buruh. Kita jual mentah-mentah semua ke luar dan tidak menjadi produktif,” gerutunya.

Bli Komang membandingkan pencapaian negara Asia Tenggara lainnya dengan Indonesia pada 15 tahun yang lalu. Dari berbagai sektor, ketika kita masih berandai-andai, negara-negara yang lain sudah mewujudkannya. Salah satu contohnya adalah Bli Komang takut untuk naik kereta di negeri sendiri pada waktu itu, memilih untuk naik kereta di negara lain yang jauh lebih manusiawi dan tidak berbahaya. Dia bergidik ngeri ketika melihat kegilaan perkeretaapian di Indonesia waktu itu masih amburadul. Belum lagi, Bli Komang menyorot soal mental buang sampah di tempat yang masih mengakar hingga kini.

Meresapi perjalanan/Bli Komang

“Kalau kita mau membangun sebuah peradaban harus simultan dan linier. Pemerintah, pendidikan, dan keluarga.”

Ketika Indonesia Raya dikumandangkan, Bli Komang mengaku selalu merinding mendengar marwah lagu kebangsaan tersebut. “Kalau saya dilahirkan kembali, saya akan memilih Bali dan Indonesia sebagai negara saya.” 

Kecintaannya pada negara ini tidak perlu diragukan. Dia ingin memajukan bangsa ini dari kemampuan yang ia bisa. Kemudian dengan berapi-api Bli Komang menerangkan bagaimana Korea berhasil mengemas dan melabeli produk negerinya di seluruh elemen untuk mengkampanyekan budaya Korea. Indonesia bisa belajar banyak dari Korea Selatan untuk mengadopsi pemasaran mereka di dunia internasional.

“Makin ke sini, Bli makin optimis. Kita perlu waktu mungkin sekitar 15 tahun. Dari anak-anak mudalah yang nanti akan jadi trigger.”

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jalan Berliku Bli Komang Hadapi Perubahan (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jalan-berliku-bli-komang-hadapi-perubahan-1/feed/ 0 35375
Memancing Ikan Makarel di Amed https://telusuri.id/memancing-ikan-makarel-di-amed/ https://telusuri.id/memancing-ikan-makarel-di-amed/#respond Sat, 17 Jun 2017 10:56:33 +0000 https://telusuri.000webhostapp.com/?p=65 Komang Ludra memanggul mesin kapal berkekuatan 15 tenaga kuda. Ayah dari dua anak itu berjalan ke arah perahu. Lalu, diselimuti oleh gelap dinihari dan diiringi suara ombak kecil yang menghempaskan diri dengan lembut ke daratan,...

The post Memancing Ikan Makarel di Amed appeared first on TelusuRI.

]]>
Komang Ludra memanggul mesin kapal berkekuatan 15 tenaga kuda. Ayah dari dua anak itu berjalan ke arah perahu. Lalu, diselimuti oleh gelap dinihari dan diiringi suara ombak kecil yang menghempaskan diri dengan lembut ke daratan, dengan cekatan ia memasang mesin buatan Jepang itu di buritan. Jelas ia tidak akan mau mengambil risiko dengan hanya mengandalkan layar yang tergulung rapi di salah satu sisi perahu kesayangannya sebagai alat pendorong – angin sudah tak lagi seperti dulu. Hobi melaut, mencari ikan, membuatnya terlatih melakukan rutinitas yang lazimnya dilakukan oleh nelayan.

Bagi Komang Ludra, pemilik sebuah kafe dan bungalow di Teluk Jemeluk, kawasan Amed, Bali Timur, melaut adalah kesenangan. Hampir setiap pagi – atau sore jika pengunjung kafenya tidak terlalu ramai – ia akan melaut mencari ikan. Tidak jadi soal baginya seberapa banyak ikan yang akan dibawa pulang sekembali dari samudra.

Pagi itu, ditemani dua kawan baru – Syukron dan saya – ia tampak bersemangat sekali. Setelah semua persiapan beres, ia meminta kami meloncat ke dalam perahu. Perahu berwarna putih itu sendiri tidak terlalu panjang, hanya cukup untuk memuat tiga orang penumpang. Syukron di depan, saya di tengah. Ia sendiri duduk di bagian belakang, menguasai kemudi yang dalam bahasa lokal Amed disebut pancer. Perahu itu kemudian meluncur stabil membelah laut.

Meskipun semburat jingga sudah mulai mewarnai ufuk timur, matahari belum jua muncul. Maklum masih pukul lima pagi. Namun ia menunjuk ke arah timur. “Nanti kalau matahari terbit, Lombok kelihatan di sana,” jelasnya menunjuk ke satu sisi kolong langit yang masih gelap dan disaput awan kelabu. Betapa dekatnya Tanah Sasak dari sini.

Menyadari bahwa hari ini akan memandang dunia dari sudut yang berbeda, saya mengucap syukur. Jika setahun yang lalu saya diberikan kesempatan menyaksikan Gunung Agung dari Gili Trawangan, satu dari tiga pulau kecil yang mengambang di lepas Pantai Senggigi, Lombok, sekarang saya akan melihat lanskap dari sisi yang berlawanan.

Membaca ekspresi kekaguman pada air muka saya, ia menambahkan begini: “Nanti kita juga bisa melihat dolphin.”

Saya hanya tersenyum sebab tak mampu berkata apa-apa.

Deru mesin yang membawa perahu melaju menuju perairan terbuka ditingkahi manja oleh suara air yang berdesir merdu diterjang haluan yang runcing. Ribuan plankton berwarna biru-violet menyaru dengan buih putih yang muncul akibat gerak perahu. Pesisir Jemeluk mulai menjauh, lalu menghitam. Sebentar kemudian yang tersisa hanyalah kelap-kelip lampu rumah yang tampak seperti kemenerusan dari gemintang yang menggantung di langit.

amed bali
Pegunungan di pesisir Amed yang memagari bagian timur Pulau Bali/Syukron

“Dulu waktu lampu-lampu itu belum banyak, kita pulang dengan bantuan bintang-bintang,” Komang Ludra mengenang masa lalunya, juga masa lalu para sepuh yang telah lama mendahuluinya. “Sekarang lebih mudah, tinggal melihat lampu-lampu itu.”

Seiring menjauhnya kami dari daratan, pemandangan menjadi kian terbuka. Kini, yang kelihatan samar dari daratan menjadi jelas di lautan.

Di sebelah selatan, Gunung Lempuyang yang hijau dan bergerigi menyapa. Utara adalah tempatnya Gunung Agung, yang puncaknya merupakan titik tertinggi di Bali. Hari ini ia nyaris tak dihinggapi awan. Lalu, mengintip malu-malu dari balik Agung adalah Gunung Abang. Jika memiliki kemampuan menerawang, di balik Gunung Abang anda akan bisa melihat Danau Batur. Sekitar dua minggu yang lalu kami berkesempatan melewatkan malam di tepian danau itu, dari sisi yang berlawanan dengan lokasi kami sekarang.

Selain perahu yang kami naiki, masih banyak perahu lain yang juga melaut pagi ini. Saya merasa seperti sedang berada di antara kafilah kaum gipsi laut yang sedang berkelana mencari permukiman baru. Ramai sekali. Sesekali kami memapas rumpon – bangunan dari bambu yang ditambatkan menggunakan tali ke dasar samudra – yang didirikan para nelayan sebagai tempat untuk memancing ikan-ikan besar seperti mahi-mahi, tuna, dan rainbow fish (sulir atau suleh). Kata Komang Ludra, pembuatan rumpon itu bisa memakan waktu berhari-hari dan menghabiskan sampai empat rol tali sebab kedalaman dasar lautnya bisa mencapai 70-100 meter.

Bukan makarel kalengan

Setelah hampir sepuluh menit melaju, Komang Ludra mengurangi kecepatan. Ia kemudian mulai sibuk mempersiapkan alat pancingnya. Nelayan sekitar Desa Amed, termasuk Desa seberang – Jemeluk dan Bunutan, menggunakan tali khusus untuk memancing ikan di perairan kawasan yang termasyhur dengan keindahan alam bawah lautnya itu.

“Ini namanya bebulu,” jelas Komang sambil memperlihatkan tali yang bagian kailnya sudah dilengkapi dengan sejumput rambut. Untuk memancing ikan berukuran relatif kecil seperti makarel, digunakan bebulu yang memiliki banyak “tangan” atau cabang. Setiap tangannya memiliki kail yang juga sudah dilengkapi dengan rambut untuk mengelabui ikan. Karena makarel berenang bergerombol, sekali mengulur tali banyak dari mereka yang akan terkait di kail. Sementara itu untuk memancing ikan besar seperti mahi-mahi, hanya satu kail yang dipakai – ujungnya juga diberi sejumput rambut.

“Yang paling bagus itu bulunya dicampur dengan bulu kambing,” tambah Komang. “Kalau ditarik mereka lurus, tampak seperti udang.”

Setelah tali nilon itu habis terulur, Komang mengulurkannya pada saya.

“Mau coba?” Ia menjulurkan tali itu pada saya, saya menerimanya. “Rasakan kalau ada sentakan.”

Komang kembali melajukan perahu sementara saya berkonsentrasi merasakan sentakan. Tak berapa lama tali tersebut terasa semakin menegang. Saya memberikan kode padanya. Ia langsung mengambil-alih tali lalu mulai menarik. “Dapat nih,” ujarnya.

amed bali
Komang Ludra sedang menarik “bebulu” yang sebelumnya sudah diulur/Syukron

Dari bawah laut mulai terbias sosok memanjang keperakan. Kemudian ikan berwarna perak muncul ke permukaan, menggelepar-gelepar mendambakan air laut. Saya tangkap ikan tersebut – masih menggelepar-gelepar.

“Pegang kepalanya,” Komang menginstruksikan. Saya lakukan seperti yang ia suruh. Ketika dipegang bagian kepalanya ikan tersebut diam dan saya bisa dengan leluasa melepaskan kail dari mulutnya. “Ikan makarel,” kata Komang.

Tidak hanya satu itu. Belasan ikan lain juga ikut terpancing. Satu per satu kami melepaskannya dari kail. Sebentar saja bagian buritan perahu penuh oleh ikan makarel. Jika biasanya saya melihat makarel dalam kaleng sarden, kali ini saya dapat melihat mereka langsung – utuh dan segar sehabis dipancing.

Jika alam sedang berkenan, Komang Ludra bisa menangkap 200-250 ekor ikan makarel. “Tapi masih banyak yang bisa menangkap lebih,” ujarnya rendah hati.

Jika diuangkan, hobil melaut Komang Ludra lumayan menghasilkan sebab pada musim-musim sulit seperti sekarang – Desember – makarel bisa dihargai 1500-2500 rupiah. “Tapi jika makarel sedang melimpah harganya bisa turun sampai 500 rupiah,” ungkap Komang sambil terkekeh.

Tarikan pertama tuntas, kami beranjak ke titik kedua. Perpindahan para nelayan di Amed hanya berlandaskan perasaan. Jika mereka mendapatkan ikan di titik A kemarin, mereka berasumsi bahwa titik selanjutnya pasti berada tidak jauh dari posisi pertama.

“Itu dolphin,” secara tiba-tiba Komang menunjuk ke arah haluan. Setelah sedikit bersusah payah saya dapat menemukan sirip lumba-lumba yang dimaksud komang. Pertama saya lihat satu, lalu muncul yang lain. Beberapa kali saya melihat mereka meloncat. Sungguh, rasanya saya tak perlu lagi melihat lumba-lumba di kolam manapun.

Lumba-lumba dan nelayan di Amed telah lama menjalin love-hate relationship. Di satu sisi mereka kerap menuntun nelayan menuju kawanan ikan. Namun di sisi lain mereka sering suka seenaknya melahap makarel-makarel yang sedang diangkat para nelayan ke dalam perahu. “Lambat sedikit, habis,” ungkap Komang.

Di lokasi kedua kami mendapat lebih banyak makarel. Begitu juga di beberapa lokasi lain. Bagian buritan tempat Komang menaruh ikan-ikan perlahan mulai penuh.

Melawan si mahi-mahi

Suara menggelepar dari sebuah rumpon mengagetkan kami. Seorang nelayan sedang berjuang, bertarung adu kuat dengan seekor ikan mahi-mahi. Beberapa saat mereka seolah sedang bermain tarik tambang. Satu-dua kali mahi-mahi tersebut meloncat ke permukaan. Keduanya sama-sama gigih. Namun pada akhirnya mahi-mahilah yang menang.

Melihat peluang, Komang mulai mengemudikan perahu ke arah rumpon itu. “Kita coba ikan yang lebih besar,” ujarnya, merujuk pada mahi-mahi. “Mudah-mudahan kalian beruntung.”

Ia mulai mengulur benang berukuran lebih besar dengan kail yang juga lebih besar. Sebagai umpan, ia mengaitkan seekor makarel hidup yang masih menggelepar-gelepar. Persiapan selesai, ia melemparkan umpan ke laut lalu mengulur tali pancing sejauh-jauhnya. Ia lalu memberikan tali itu ke saya. “Tidak usah ditarik ulur karena kita pakai umpan hidup,” ujarnya.

Saya pegang tali itu. Semula saya tak merasakan apa-apa. Kemudian tiba-tiba sesuatu menyentak. Resisten, saya menggenggam erat tali itu. “Nyentak, Bli!” Saya memberitahu Komang.

“Lepaskan! Lepaskan!” Perintahnya.

Namun terlambat; makarel itu raib. Resistensi membuat mahi-mahi itu leluasa memakan umpan tanpa terkait oleh kail tajam.

amed bali
Komang Ludra bersama ikan mahi-mahi yang baru saja berhasil dipancing di perairan Amed/Syukron

Percobaan kedua hasilnya masih sama. Umpan tandas namun mahi-mahi lepas.

“Yang ini pasti dapat,” ujar Komang sesaat sebelum melempar umpan untuk ketiga kalinya.

Ucapannya itu seolah doa sebab beberapa saat setelah umpan diceburkan, seekor mahi-mahi segera memakan. Ternyata teori dan praktik Komang Ludra sama hebatnya. Ia mengulur, menarik, lalu mengulur kembali tali pancing sampai akhirnya mahi-mahi itu mendekat sampai tiba di samping katir (cadik, kayu penyeimbang) kanan. Sosok memanjang warna kuning keemasan terbias dari bawah permukaan laut.

“Tolong ambil kait di depan!” Komang Ludra memberikan instruksi.

Syukron mengambil kait dari logam lalu memberikannya pada saya. Tidak terbiasa – bingung mesti mengarahkan ke kepala atau badan – saya panik mengayun-ayunkan kait ketika ikan berkepala besar itu muncul ke permukaan, ditarik oleh Komang. Saya kurang gesit. Jadi, sebelum sempat menancapkan benda tajam itu, mahi-mahi seberat 3 kg itu sudah mendekam di lambung perahu. Beberapa saat kemudian, warnanya yang semula kuning keemasan berubah menjadi perak, untuk kemudian berganti kembali menjadi keemasan. Saya heran menyaksikan fenomena itu.

“Di dalam laut warnanya bisa lebih indah lagi,” ujar Komang.

Saya tersenyum. Barangkali memang mahi-mahi itu akan lebih indah jika berada di dalam laut. Namun sekarang bagi saya keindahan bukan lagi sekadar soal warna, rona, atau bentuk. Keindahan adalah sebuah keadaan – fisik dan mental. Ia juga sangat subjektif, tergantung dari paradigma, wawasan, dan ekspektasi masing-masing orang.

Tangkapan hari itu lumayan banyak. Setelah mencoba dua kali lagi menangkap mahi-mahi, kami kembali meluncur ke daratan.


Sebelumnya dimuat di blog Kompasiana Fuji Adriza 

The post Memancing Ikan Makarel di Amed appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memancing-ikan-makarel-di-amed/feed/ 0 65