api abadi mrapen Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/api-abadi-mrapen/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 20 Mar 2024 05:13:51 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 api abadi mrapen Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/api-abadi-mrapen/ 32 32 135956295 Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (2) https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-2/ https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-2/#respond Wed, 20 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41425 Pada perkembangannya, api abadi Mrapen menjelma menjadi objek wisata yang memiliki daya tarik tinggi berupa keajaiban geologis. Adanya api abadi yang keluar dari bawah tanah, sendang yang airnya bergolak seperti air mendidih—tetapi tidak panas; benar-benar...

The post Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Pada perkembangannya, api abadi Mrapen menjelma menjadi objek wisata yang memiliki daya tarik tinggi berupa keajaiban geologis. Adanya api abadi yang keluar dari bawah tanah, sendang yang airnya bergolak seperti air mendidih—tetapi tidak panas; benar-benar menyedot banyak wisatawan.

Pamor api abadi Mrapen semakin bersinar dan menjulang hingga kancah nasional, setelah event olahraga tingkat nasional mengambil api dari Mrapen untuk menyalakan obornya. Juga adanya kegiatan keagamaan yang melibatkan keberadaan api di Mrapen.   

Api Abadi Mrapen dalam Pedoman Tamasja Djawa Tengah (1961)

Eksistensi api abadi Mrapen sejak dulu tidak hanya menjadi pusat perhatian masyarakat, tetapi juga menyedot banyak wisatawan karena dianggap sebagai fenomena yang ajaib. R. O. Simatupang, misalnya, mengungkap hal itu dalam buku Pedoman Tamasja Djawa Tengah (1961).

Dalam buku itu, Simatupang menyebutkan daerah Purwodadi—dulu orang menyebut Grobogan dengan Purwodadi—benar-benar banyak yang ajaib. Di samping sumber air garam alam (Bledug Kuwu), juga terdapat api abadi (eeuwig vuur) di Desa Merapen, Kawedanan Manggar di Godong, kira-kira 20 km sebelah barat Kota Purwodadi. sekarang masuk wilayah Desa Manggarmas, Kecamatan Godong.

Api ini, menurut Simatupang, semacam api karbit yang menyala terus siang malam berabad-abad lamanya sampai dunia kiamat. Api ini dapat dipakai masak.

Menurut dongeng, pada zaman dahulu kala hidup seorang tukang besi yang pandai sekali membuat keris-keris pusaka. Empu Supo, tukang besi itu sangat termasyhur dan oleh karena kesaktiannya hingga kini api yang dipakai untuk membakar besi masih terus menyala.

Tidak jauh dari api itu terdapat kolam air. Dahulu digunakan untuk mendinginkan keris yang selesai dibuat oleh Empu Supo. Terdapat juga sebuah paron atau landasan untuk memukul besi.

Prapen yang merupakan tempat membakar besi untuk dijadikan keris, kini hanya berupa sebuah tumpukan batu setinggi kurang lebih 75 cm dan luasnya 1 m2. Di bagian puncak dan sela-sela batu keluar api yang belum pernah padam. Biarpun hujan lebat, angin topan, atau sengaja disiram air. 

Nyalanya api hampir sama dengan api dapur. Akan tetapi, kalau batu-batu itu dibongkar, tidak terdapat kayu-kayu atau bahan bakar lainnya. Bahkan jika batu-batu itu digeser, segera dari dalam tanah akan keluar api.

Adapun nyalanya api tetap stabil, tidak pudar atau menjadi-jadi. Hanya kadang-kadang berpindah dari celah satu ke celah lainnya, tetapi belum sampai pindah dari lingkungan Kampung Mrapen yang luasnya lima hektare. Apabila api tersebut hendak berpindah tempat, maka akan muncul suara semacam tangan menebah pada dinding. 

Batu-batu yang dibakar terus-menerus lambat laun semakin hancur dan berubah jadi batu kapur yang berwarna keputih-putihan. Apabila digoreskan dengan benda keras akan keluar sinar api.

Beberapa meter dari api abadi terdapat kolam yang airnya kelihatan mendidih, tetapi tidak panas. Kolam ini belum pernah kering atau airnya meluap-luap. Busa-busa air dari kolam tidak boleh didekatkan api, sebab bisa segera menyala seperti bensin yang tepercik api.

Kalau kedua benda (prapen dan kolam) peninggalan Empu Supo mempunyai keajaiban sendiri-sendiri, maka lain halnya dengan paronnya. Paron tersebut berbentuk alat penempa. Bukan terbuat dari besi, melainkan dari batu yang disebut Watu Bobot dan beratnya kurang lebih 10 kg. Watu Bobot ini bisa meramalkan cita-cita Anda akan terkabul atau tidak. Sambil bersila Anda harus memeluk batu itu dan mengangkat ke atas. Jika terangkat ke atas berarti cita-cita Anda akan terkabul. 

Menurut cerita, batu ini pada zaman penjajahan pernah diangkat oleh seorang pemuda Belanda dan kemudian dibanting sehingga menjadi terbelah. Kini Watu Bobot disatukan kembali dengan cara diikat. Walaupun sudah tidak utuh lagi, Watu Bobot masih tetap dipandang keramat.

Apa yang disampaikan oleh Simatupang merupakan ekspresi ketakjuban terhadap fenomena geologi yang menjadi daya tarik objek wisata api abadi Mrapen. Daya tarik itulah yang menyedot banyak wisatawan untuk datang berkunjung dan melihatnya.

Api Abadi Mrapen dalam Agenda Olahraga dan Keagamaan

Perkembangan menarik dari objek wisata api abadi Mrapen adalah sejak apinya diambil untuk dijadikan nyala obor bagi sejumlah event olahraga. Baik itu di tingkat nasional maupun internasional, seperti Games of New Emerging Forces (GANEFO), Pekan Olahraga Nasional (PON), SEA Games, dan Para Games.

Dari sejumlah monumen yang dibangun di kompleks objek wisata, pengambilan api Mrapen untuk event olahraga sudah dimulai sejak 1963. Tercatat pada Jumat, 1 November 1963, api Mrapen diambil untuk nyala obor even GANEFO I yang rangkaian upacara pengambilannya dipimpin oleh Mochtar, gubernur Jawa Tengah ketika itu.

Lalu pada Selasa, 8 September 1981, diadakan pengambilan api Mrapen untuk PON X yang berlangsung di Jakarta. Monumen yang mengabadikan momen ini ditandatangani oleh Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat ketika itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Berikutnya pengambilan api Mrapen untuk PON XIV berlangsung pada Jumat, 23 Agustus 1996. Momen ini juga diabadikan dalam monumen yang ditandatangani oleh Menteri Negara Pemuda dan Olahraga ketika itu, Hayono Isman.

Selain PON, api Mrapen juga diambil untuk sejumlah event olahraga lainnya, seperti Pekan Olahraga (POR) PWI I di Semarang pada Rabu, 9 Februari 1983. Rangkaian acara tersebut dipimpin oleh Supardjo Rustam, gubernur Jawa Tengah saat itu. Sebelumnya pada Rabu, 8 September 1982, api Mrapen diambil untuk upacara peresmian Stadion Sriwedari Surakarta, salah satu stadion tertua di Indonesia yang menjadi tempat penyelenggaraan PON I tahun 1946.

Tidak hanya itu, api Mrapen juga diambil untuk pembukaan event olahraga berskala Asia Tenggara dan dunia. Antara lain SEA Games XXVI 2011 di Jakarta dan Palembang, yang mengambil api dari Mrapen untuk nyala obornya. 

Kemudian, pada gelaran ASEAN Para Games XI 2022 yang diadakan di Kota Solo, dibuka dengan torch relay atau estafet obor dengan api yang juga diambil dari Mrapen. Api pertama kali diambil oleh Direktur III Bidang Pendukung Pertandingan Indonesia National Paralympic Organization Committee (INASPOC), Hendri Oka. Kemudian, diserahkan kepada Sekretaris Daerah Jawa Tengah, Sumarno, diteruskan ke Bupati Grobogan, Sri Sumarni, dan terus berlanjut hingga bersemayam di Balai Kota Surakarta.

Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (2)
Prosesi pengambilan api suci Waisak oleh umat Buddha di wisata api abadi Mrapen/Kompas.com

Di luar event olahraga, api Mrapen juga digunakan setiap tahun dalam perayaan upacara Waisak di Candi Borobudur, Magelang. Saat mengambil api, para bhikkhu, perwakilan majelis Buddha, dan masyarakat Buddha akan hadir untuk mengikuti prosesi pengambilan api dharma di kompleks api abadi Mrapen.

Sebelum mengambil api dharma, mereka akan membakar kemenyan sebagai tanda dimulainya prosesi. Api dharma kemudian disulut menggunakan obor oleh masing-masing perwakilan majelis Buddha dan dibawa ke mobil bak terbuka. 

Prosesi dilanjutkan dengan menyalakan api ke anglo berbentuk bunga teratai di atas mobil untuk dibawa menuju Candi Mendut, Magelang. Di Candi Mendut, api akan disemayamkan dan disakralkan dengan dibacakan paritta suci oleh Bhikkhu Sangha. Selanjutnya api dari Mrapen bersama air dari Umbul Jumprit, Temanggung, akan dibawa ke Candi Agung Borobudur dan malamnya digunakan dalam kegiatan detik-detik perayaan Waisak.

Direktur Urusan dan Pendidikan Ditjen Bimas Buddha, Supriyadi, sebagaimana dikutip Kompas.com (2/6/2023), mengatakan bahwa secara filosofi api abadi mengandung makna kekuatan. Api menjadi perlambang semangat bagi umat Buddha untuk terus mengembangkan dharma.

Api Abadi Mrapen, Riwayatmu Kini

Serpihan cerita api Abadi Mrapen dengan segala pesona dan keagungannya, (seharusnya) bisa menjadi daya tarik wisata yang bisa dieksplorasi dan menyedot pengunjung. Bila mengacu kepada prinsip pengembangan wisata yang bisa dipromosikan, antara lain atraksi, amenitas, dan aksesibilitas, api abadi Mrapen sudah lebih dari siap untuk dikembangkan dan/atau direvitalisasi.

Sejak lahan dan pengelolaannya diambil alih oleh Pemprov Jawa Tengah pada 2012, api abadi Mrapen tampil lebih “wah”. Pemprov telah menggelontorkan biaya miliaran rupiah untuk membangunnya. Seluruh objek yang menjadi daya tarik wisata, yaitu api abadi, Sendang Dudo, dan Watu Bobot, semuanya telah dipoles dengan baik. Dilengkapi pula fasilitas dasar, seperti toilet, musala tempat parkir, tempat istirahat, serta pusat jajanan. Bahkan dibangun gedung olahraga yang cukup megah. 

Akses menuju objek wisata api abadi Mrapen juga sangat mudah. Lokasinya lumayan strategis, berada di Jalan Raya Purwodadi—Semarang yang bisa dijangkau dengan kendaraan pribadi maupun transportasi umum. Bahkan dilewati bus Trans Jateng Koridor VI trayek Semarang—Grobogan.

Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (2)
Salah satu sesi acara dalam rangkaian Mrapen Culture Festival yang digelar oleh Komunitas I Love Gubug/Badiatul Muchlisin Asti

Sayangnya—sepertinya—segala potensi yang dimiliki itu belum dieksplorasi dan dikembangkan secara optimal, sehingga objek wisata api abadi Mrapen saat ini cenderung sepi pengunjung atau boleh dibilang mengalami “krisis pengunjung”. Objek wisata ini seperti kehilangan pamor dan daya tariknya. Ramainya hanya saat ada momen-momen tertentu, seperti pengambilan api untuk event olahraga dan api dharma dalam perayaan Waisak.

“Krisis pengunjung” itulah yang menjadikan Komunitas I Love Gubug (KILG) pada akhir tahun lalu, tepatnya selama Jumat—Minggu, 28—30 Desember 2023, menyelenggarakan kegiatan bertajuk Mrapen Culture Festival #1 di kompleks api abadi Mrapen. Inisiator kegiatan, Muh. Umar, menyatakan perhelatan Mrapen Culture Festival berawal dari keprihatinannya melihat sepinya pengunjung api abadi Mrapen, padahal bangunannya sudah mumpuni dan bagus.

Ia berharap, festival dapat menjadi titik awal bangkitnya kembali objek wisata api abadi Mrapen. Sehingga pamornya kembali bersinar, ramai dikunjungi wisatawan, dan bisa semakin berkibar di kancah kepariwisataan nasional.


Referensi

Kompas. (2023, 2 Juni). Api Abadi Mrapen, Tempat Pengambilan Api Dharma untuk Perayaan Waisak. Diakses dari https://regional.kompas.com/read/2023/06/02/074600578/api-abadi-mrapen-tempat-pengambilan-api-dharma-untuk-perayaan-waisak?page=all.
Simatupang, R. O. (1961). Pedoman Tamasja Djawa Tengah. Djakarta: Penerbit Keng Po.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-2/feed/ 0 41425
Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1) https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-1/ https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-1/#respond Tue, 19 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41418 Api abadi Mrapen adalah sebuah objek wisata yang berada di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Tepatnya di Desa Manggarmas, Kecamatan Godong. Lokasinya sangat strategis karena berada di pinggir Jalan Raya Purwodadi—Semarang, hanya masuk sekitar 100 meter....

The post Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Api abadi Mrapen adalah sebuah objek wisata yang berada di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Tepatnya di Desa Manggarmas, Kecamatan Godong. Lokasinya sangat strategis karena berada di pinggir Jalan Raya Purwodadi—Semarang, hanya masuk sekitar 100 meter.

Objek wisata ini pernah menjadi primadona—setidaknya destinasi wisata kebanggaan masyarakat Grobogan—selain Bledug Kuwu. Tahun 1980-an atau 1990-an, api abadi Mrapen masih banyak dikunjungi wisatawan.

Bahkan hingga tahun 2000-an, objek wisata tersebut masih banyak dikunjungi. Namun, seiring waktu pamor api abadi Mrapen semakin lama semakin meredup. Pada 2012 Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah mengambil alih pengelolaannya. Pemprov membeli lahannya dari kepemilikan pribadi, kemudian dibangun menjadi lebih “wah” dan dilengkapi Gelanggang Olahraga (GOR).

Kendati demikian, hal itu ternyata tidak serta-merta bisa mendongkrak pamornya. Apalagi sejak pagebluk COVID-19 melanda dunia. Pamor dan tingkat kunjungan pun kian menurun.

Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)
Pengunjung mendokumentasikan lokasi api abadi Mrapen/Badiatul Muchlisin Asti

Fenomena Geologi

Api abadi Mrapen sendiri adalah sebuah objek wisata yang berbasis fenomena geologi. Di dalamnya terdapat tiga daya tarik, yaitu api abadi Mrapen (objek utama), Sendang Dudo, dan Batu Bobot. 

Api abadi Mrapen merupakan api alam yang menyala di atas tanah dan timbul karena adanya gas yang keluar dari dalam tanah. Pusat semburan gas memiliki diameter sekitar 1,5 meter. Meski diberi nama api abadi, tetapi api ini sebenarnya bisa padam. Misalnya, bila terjadi hujan lebat yang disertai angin kencang. Namun, jika api mati, api bisa dihidupkan kembali dengan cara menyulutnya menggunakan korek api. Sebuah data menunjukkan, dulu, pijaran api abadi Mrapen tergolong besar. Pada 1992 intensitas debit gasnya pernah mengecil, tetapi tidak sampai membuat padam. 

Pada September 2020, untuk pertama kalinya dalam sejarah, api abadi Mrapen sempat padam total akibat eksploitasi gas di sekitarnya oleh warga. Namun, akhirnya api abadi berhasil dihidupkan kembali pada April 2021.

Kemudian Sendang Dudo, sebuah telaga, airnya keruh dan berwarna kekuning-kuningan serta bergelembung. Seperti kondisi air yang sedang mendidih, tetapi airnya tidak panas. Gelembung-gelembung udara itu berasal dari gas yang keluar dari tanah. Letupan gas itu akan menyala bila terkena pijaran api, sehingga dimungkinkan gas tersebut adalah gas yang ada pada api abadi Mrapen.

Dalam buku Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen yang diterbitkan oleh Tourist Information Center (TIC) Provinsi Jawa Tengah, dari hasil penelitian di laboratorium ditemukan bahwa air Sendang Dudo banyak mengandung mineral, mulai dari kalsium, besi, hingga magnesium. Oleh karena itu air Sendang Dudo kerap digunakan untuk mengobati penyakit kulit, seperti gatal-gatal dan eksim. 

Adapun Batu Bobot, menurut cerita dulunya adalah umpak atau landasan tiang bangunan Kerajaan Majapahit yang hendak dibawa ke Kesultanan Demak. Namun, Sunan Kalijaga dan rombongan meninggalkannya karena berat dan menghambat perjalanan. Batu ini kemudian digunakan Empu Supo sebagai paron atau landasan untuk membuat keris. Berat batu bobot kurang lebih 20 kilogram.

  • Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)
  • Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)

Legenda Terjadinya Api Abadi Mrapen

Cerita asal-usul terjadinya api abadi Mrapen yang berkembang di masyarakat selama ini lebih bersifat legenda. Dalam perkembangannya, kisah genealogis yang seharusnya bersifat faktual (fakta historis) itu bercampur dengan pelbagai mitos. Keberadaan api abadi Mrapen sendiri dikaitkan dengan perjalanan pulang rombongan Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga setelah dari Kerajaan Majapahit.

Menurut cerita, hikayat asal mula api abadi Mrapen terjadi pada masa akhir Kerajaan Majapahit. Sebagai kerajaan penakluk—banyak sejarawan yang menolak narasi yang menyebutkan bahwa Kesultanan Demak pernah melakukan serangan dalam rangka menaklukkan Kerajaan Majapahit—Kesultanan Demak di bawah Sultan Fattah, raja pertamanya, bermaksud memindahkan benda-benda berharga milik Kerajaan Majapahit. Pemindahan itu dilakukan oleh rombongan yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga.

Ketika rombongan hendak sampai Demak, mereka singgah sejenak untuk beristirahat di sebuah tempat. Saat mereka hendak memasak untuk kepentingan konsumsi rombongan yang sudah mulai lapar, mereka tidak mendapati air dan api. Sebab tempat mereka singgah memang jauh dari permukiman warga.  

Menyadari hal itu, Sunan Kalijaga lalu berdoa dan menancapkan tongkatnya ke tanah. Ketika dicabut, keluarlah api yang menyala terus-menerus. Sunan Kalijaga kemudian berjalan agak ke timur dan kembali menancapkan tongkatnya ke tanah. Ketika tongkat dicabut, menyemburlah air yang sangat jernih.

Para pengikut Sunan Kalijaga pun sangat senang melihat hal itu. Mereka dapat memanfaatkan api dan air itu untuk memasak dan mencukupi kebutuhan minum mereka. Titik menyemburnya api itulah yang kelak dikenal sebagai api abadi Mrapen, sedangkan tempat keluarnya air kelak dikenal dengan nama Sendang Dudo.

Setelah dirasa cukup beristirahat melepas penat, makan, minum, dan salat, mereka meneruskan perjalanan menuju Demak. Baru akan berangkat, salah seorang anggota rombongan yang bertugas membawa batu umpak atau landasan tiang bangunan Kerajaan Majapahit mengeluh karena benda itu terlalu berat. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak kuat membawanya.

Mendengar keluhan itu, Sunan Kalijaga memerintahkan untuk meninggalkan saja benda tersebut. Benda itulah yang kelak dikenal dengan nama Batu Bobot. Setelah meninggalkan batu itu, rombongan kemudian meninggalkan tempat tersebut dan segera bertolak ke Demak. 

Beberapa waktu kemudian, Sunan Kalijaga meminta Empu Supo—ahli pembuat keris pusaka pada masa itu—untuk membuatkan sebilah keris di sebuah tempat yang sudah tersedia api untuk membakar, batu umpak sebagai landasan menempa, dan air yang digunakan menyepuh keris. Berdasarkan petunjuk tersebut, berangkatlah Empu Supo sembari membawa logam sebagai bahan membuat keris ke tempat yang dimaksud oleh Sunan Kalijaga.

Di tempat itulah, Empu Supo kemudian membuat keris yang diberi nama keris Kyai Sengkelat. Keris ini unik, karena menurut cerita, dalam proses pembuatannya Empu Supo tidak menggunakan palu sebagai alat untuk menempa logam, tetapi dengan tekanan jari-jarinya untuk membentuk keluk keris tersebut.

Keris yang dibuat kemudian disepuh atau dicelupkan ke dalam sendang. Air sendang yang semula sangat jernih seketika berubah menjadi keruh kekuning-kuningan. Airnya juga bergolak atau menimbulkan gelembung menyerupai air yang sedang mendidih. 

Dalam perkembangannya, Empu Supo lalu diberi tugas khusus oleh Sultan Demak untuk membuat senjata-senjata yang digunakan untuk kepentingan militer Kesultanan Demak. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama “Mrapen” dan menjadi pusat pembuatan senjata kerajaan. Mrapen sendiri berasal dari kata “prapen” yang berarti perapian.

Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)
Warung-warung yang sepi pengunjung di kompleks objek wisata api abadi Mrapen/Badiatul Muchlisin Asti

Api Abadi Mrapen di Masa Sultan Trenggono

Menurut sejarah, ditemukan atau munculnya api abadi Mrapen oleh Sunan Kalijaga terjadi saat Kesultanan Demak berada di bawah kepemimpinan Sultan Fattah atau Raden Patah. Setelah Raden Patah wafat pada 1518 M, takhta Kesultanan Demak beralih ke putranya yang bernama Pati Yunus. 

Pati Yunus menjabat sebagai Sultan Demak tidak lama, hanya sekitar tiga tahun. Sejak 1518 hingga 1521 M. Pati Yunus wafat dalam pertempuran melawan Portugis di Malaka pada 1521. Setelah Pati Yunus wafat, takhta Kesultanan Demak beralih ke Sultan Trenggono, putra Raden Fattah dan adik Pati Yunus. 

Pada masa kekuasaan Sultan Trenggono itulah api abadi Mrapen mendapatkan perhatian khusus. Utamanya karena tempat itu telah ditetapkan sebagai pusat pembuatan senjata pusaka kerajaan. Maka Sultan Trenggono menugaskan Ki Demang Singodiro, seorang demang—semacam jabatan lurah yang saat itu memimpin sekitar tiga desa—untuk mengelola dan menjaga situs peninggalan Sunan Kalijaga tersebut.

Selain diberi tugas menjaga dan merawat situs peninggalan Sunan Kalijaga, kesultanan juga memberikan kawasan Mrapen sebagai tanah perdikan kepada Ki Demang Singodirono. Setelah Ki Demang Singodirono wafat, tongkat estafet juru pelihara dilanjutkan oleh keturunannya.

Berdasarkan buku Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen, silsilah juru kunci atau juru pelihara yang bertugas mengelola Mrapen adalah sebagai berikut:

  1. Ki Demang Singodirono
  2. Ki Demang Singosemito
  3. Ki Demang Kerto Semito
  4. Ki Demang Kerto Leksono
  5. Ki Lurah Kromoharjo (wafat 1942).
  6. Nyi Parminah (1946—2000)
  7. Mulai tahun 2000—2012 sebagai juru kunci dijalankan oleh tujuh anak Nyi Parminah secara bergiliran
  8. Selanjutnya sejak 2012 pengelolaannya diambil alih oleh Pemprov Jawa Tengah melalui dinas pemuda dan olahraga dengan cara membeli lahan situs api abadi Mrapen

Annas Rofiqi (31), petugas objek wisata api abadi Mrapen saat ini, menambahkan informasi bahwa sejak Nyi Parminah meninggal dunia, pengelolaan api abadi Mrapen sempat dipegang oleh suaminya yang bernama Mbah Supradi. Setelah Mbah Supradi wafat pada 2006, pengelolaan kawasan api abadi Mrapen dilanjutkan oleh anak-anaknya.

Annas Rofiqi sendiri yang saat ini menjadi petugas resmi Dinpora Jawa Tengah merupakan cucu Nyi Parminah. Putra dari anak bungsu mendiang yang bernama Rubiyatno.

(Bersambung)


Referensi

Buku TIC Provinsi Jawa Tengah. Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen. Semarang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-1/feed/ 0 41418