arkeologi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/arkeologi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 06 Jun 2024 15:39:13 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 arkeologi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/arkeologi/ 32 32 135956295 Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi https://telusuri.id/yang-tersisa-dari-jejak-manusia-purba-sulawesi/ https://telusuri.id/yang-tersisa-dari-jejak-manusia-purba-sulawesi/#respond Fri, 07 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42123 Membaca tulisan-tulisan Eko Rusdianto memang selalu menyenangkan. Sama seperti buku Eko yang kubaca sebelumnya—Tragedi di Halaman Belakang—buku Meneropong Manusia Sulawesi: Di Antara Pencarian Leluhur, Ramalan, Hingga Ancaman Ekologi membawa para pembacanya melihat lebih dekat tempat-tempat...

The post Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi appeared first on TelusuRI.

]]>
Membaca tulisan-tulisan Eko Rusdianto memang selalu menyenangkan. Sama seperti buku Eko yang kubaca sebelumnya—Tragedi di Halaman Belakang—buku Meneropong Manusia Sulawesi: Di Antara Pencarian Leluhur, Ramalan, Hingga Ancaman Ekologi membawa para pembacanya melihat lebih dekat tempat-tempat yang begitu akrab bagi orang-orang Sulawesi.

Buku setebal 181 halaman itu merupakan kumpulan tulisan dengan satu benang merah: jejak manusia purba dan yang tersisa dari mereka. Terdiri dari 16 tulisan, buku dengan ukuran huruf cukup besar ini akan membawa pembacanya pada petualangan arkeolog, keseruan lapangan mereka, dan ancaman dalam mempertahankan jejak-jejak purbakala yang masih ada hari ini. 

Sampul depan buku ini cukup menarik. Dua hewan endemik Sulawesi yang kini jarang ditemukan—kutebak anoa dan babi hutan—berdiri di antara tumbuhan belukar dan rumput-rumput tinggi, serta mulut gua yang menggambarkan sebagian besar isi buku ini. Berpindah dari sampul, Eko juga menyediakan kata pengantar yang tak kalah menarik, dinamainya “Tersesat Kenikmatan Tulisan”. Ia menceritakan perihal arkeologi yang sempat ia geluti di kampus sebelum berpindah ke jurusan jurnalistik setelah dirinya ingin menjadi wartawan. Akan tetapi, Eko tetap melanjutkan kecintaannya terhadap arkeologi. Setidaknya buku ini lahir dari sana. 

Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi
Ilustrasi menarik pada sampul depan buku/Nawa Jamil

Lukisan Purba Kampung Biku

Seperti judulnya, buku ini terdiri dari 16 tulisan pencarian jejak-jejak purba di tanah Sulawesi di tengah ancaman ekologi hari ini. Berasal dari tahun yang beragam, 16 tulisan tersebut ditulis Eko sepanjang perjalanannya menelusuri jejak purba Sulawesi.

Ada beberapa tulisan yang menarik (bahkan semuanya), seperti “Kampung Biku dan Lukisan Babi Purba Sulawesi”. Kampung Biku bukan pertama ini kudengar. Sewaktu menyelesaikan kuliah magister dengan konsentrasi Manajemen Bencana, Kampung Biku nyaris menjadi salah satu wilayah penelitianku. Sebab salah seorang teman di masa lalu sempat bercerita terkait resiliensi unik warga di kampung ini. 

Kampung Biku berada di dalam lembah kecil di atas bentangan karst Maros–Pangkep. Jika musim hujan tiba, air akan menggenangi daerah ini dan menyebabkan banjir setinggi tiang-tiang rumah. Penyebabnya ketiadaan saluran air turun di antara bentangan batuan karst yang membentuk lembah tersebut. Adaptasi selama puluhan tahun membuat para penduduknya dapat membaca tanda-tanda alam dan memperkirakan kapan musim hujan akan datang.

Dari cerita seorang kawan yang pernah berkunjung ke sini, saya kembali mendengar Kampung Biku hari ini lewat penceritaan Eko Rusdianto. Lebih mengagumkan lagi, ternyata di Kampung Biku terdapat lukisan purba agung di salah satu guanya, yakni Leang Tedongnge. Gaya bercerita Eko begitu hidup. Ia seolah membawa para pembacanya menyusuri Leang Tedongnge, lalu menemukan lukisan babi dengan dua ornamen telapak tangan di bagian atas punggung belakangnya. 

Pencarian Rumah Wallace di Maros

Tulisan berjudul “Menelisik Jejak Wallace di Maros” menjadi favorit saya, karena seperti bagian kecil dari buku-buku Enid Blyton 5 Sekawan. Layaknya detektif, Eko dan Kamajaya Saghir mencari rumah yang ditinggali Alfred Russel Wallace sewaktu mengunjungi Maros pada Juli–November 1857. 

Wallace menuliskan tentang kedatangannya di Maros dalam buku The Malay Archipelago, termasuk serangkaian cerita hingga dirinya mendiami hunian yang berada “di kaki sebuah bukit yang ditutupi hutan”. Eko bercerita, ia dan temannya mencari Amasanga, daerah yang bersisian dengan gunung karst, daerah yang konon yang sempat ditinggal Wallace di masa lalu. 

Ketika mendatangi titik Amasanga pada peta kuno Belanda, Eko menemukan tempat itu telah banyak berubah menjadi pabrik semen milik PT Semen Bosowa. Tidak jauh dari titik tersebut terdapat kampung bernama Ammasangeng, tetapi keterkaitan kampung ini dengan titik Amasanga tidak dapat dipastikan. Setelah mencari ulang, mereka kembali turun ke lapangan, menyusuri daerah lain bernama Tompokbalang. Di sana, ia bertemu seorang warga bernama La Saing (60).

“Di sana, dulu ada rumah orang Belanda yang selalu diceritakan nenek saya,” katanya.

Begitu sampai pada penyampaian La Saing, saya tidak dapat membendung rasa haru tersebut. Meskipun sedikit kecewa mengetahui rumah tersebut telah rata dengan tanah dan hanya tersisa jejak-jejaknya saja, tetapi tetap saja, menemukan dan berdiri di titik sejarah adalah hal yang besar. 

Di tempat itu, Eko dan temannya kembali membaca buku The Malay Archipelago. “Kira-kira 50 yard (sekitar 100 meter) dari kaki bukit di bawah rumah saya, terdapat lubang dalam yang berada di alur sebuah sungai dan menjadi sumber air. Setiap hari saya mandi di situ menggunakan ember air dan mengguyurkannya di sekujur badan saya,” tulis Wallace. Lalu persis seperti yang dituliskan Wallace dalam bukunya, Eko dan temannya juga menemukan titik yang dimaksud.

Namun, dalam subtulisan yang diberi judul “Napak Tilas Wallace Terancam Hilang”, Eko menceritakan bagaimana ia mendengar suara dentuman dinamit dari PT Semen Bosowa. Ledakan yang terjadwal tiap pukul 12 siang. Sekitar 400 meter dari lokasi bekas pondok Wallace ini terdapat lubang galian tanah dan satu mobil eskavator yang bekerja, dan beberapa mobil truk pengangkut tanah yang sibuk. Ancaman ini sungguh nyata. Apalagi menurut penuturan dari buku ini, bukit tempat rumah Wallace di masa lalu ini beberapa kali ditawar untuk dibeli.

Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi
Bagian halaman yang mengulas dampak buruk perubahan iklim pada jejak prasejarah di Sulawesi/Nawa Jamil

Pertanyaan-pertanyaan Lainnya

Buku ini benar-benar menyenangkan, seperti buku sejarah yang dibalut petualangan-petualangan arkeologis. Beberapa gua dalam tulisan Eko sangat mudah dijangkau, bahkan Leang-Leang telah terbuka untuk para wisatawan sejak puluhan tahun lalu.

Ada banyak pertanyaan tentang kehidupan jauh sebelum generasi kita ada di bumi hari ini, salah satunya kehidupan purba puluhan ribu tahun yang lalu. Lewat buku ini, Eko sedikit menyingkap pertanyaan-pertanyaan. Mengapa orang purba membuat lukisan tangan? Mengapa mereka bermigrasi? Dari mana mereka berasal? Mengapa mereka tinggal di bentangan karst Sulawesi ini?

Eko tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan menyediakan jawaban berbagai ahli arkeologi dalam buku ini. Ia juga menyisipkan pertanyaan-pertanyaan penting yang mesti dijawab bersama atas ancaman-ancaman ekologi yang nyata. Sejauh mana kita akan bergerak untuk melindungi yang tersisa dari jejak-jejak manusia Sulawesi di masa lalu?


Judul Buku: Meneropong Manusia Sulawesi; Di Antara Pencarian Leluhur, Ramalan, Hingga Ancaman Ekologi
Penulis: Eko Rusdianto
Editor: Wawan Kurniawan
Perancang sampul: Rara Bijda
Tata Letak: Armin
Penerbit: Penerbit Akasia, Gowa
Tahun Terbit: Cetakan pertama, Desember 2021
Tebal Halaman: x + 171 halaman
ISBN: 978-623-98085–1-8


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/yang-tersisa-dari-jejak-manusia-purba-sulawesi/feed/ 0 42123
Durga Singosari, Kengerian di Balik Keindahan https://telusuri.id/durga-singosari-kengerian-di-balik-keindahan/ https://telusuri.id/durga-singosari-kengerian-di-balik-keindahan/#respond Wed, 27 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40740 Sebagai seorang mahasiswa ilmu purbakala, museum sudah menjadi tempat wisata wajib untuk dikunjungi. Selain menjadi tujuan melepas penat, tak jarang banyak tugas kuliah yang juga mewajibkan kami, para mahasiswa untuk mengambil data di museum. Salah...

The post Durga Singosari, Kengerian di Balik Keindahan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai seorang mahasiswa ilmu purbakala, museum sudah menjadi tempat wisata wajib untuk dikunjungi. Selain menjadi tujuan melepas penat, tak jarang banyak tugas kuliah yang juga mewajibkan kami, para mahasiswa untuk mengambil data di museum. Salah satu museum yang jadi langganan tentu saja Museum Nasional—atau banyak yang mengenalnya sebagai Museum Gajah.

Mungkin bagi sebagian orang aneh rasanya harus datang ke museum yang sama berkali-kali. Apalagi bisa dibilang koleksi di museum tersebut hampir tak pernah berubah. Dan dengan pede-nya saya selalu bilang ini bukti cinta, atau mungkin sebenarnya semacam kegilaan. Namun, kalaupun harus dianggap gila, saya tak akan menyangkal karena memang museum yang satu ini punya daya tarik sendiri secara personal.

Durga Singosari, Kengerian di Balik Keindahan
Salah satu bagian lorong di Museum Nasional/Muhammad Faqih Akbar

Salah satu sumber kegilaan itu adalah koleksi arca di Museum Nasional. Meskipun terkesan diletakkan dan ditata ala kadarnya di sepanjang lorong, tetapi selalu membuat saya betah berlama-lama di dalamnya. Dan kegilaan ini makin menjadi ketika berada di selasar bagian barat; ada beberapa arca dari era Klasik Muda tersimpan di sana. Saya rasa wajar jika saya bisa menghabiskan waktu beberapa menit untuk memandang sebuah arca. Apalagi kondisinya yang relatif baik, berukuran besar, dan detail pengerjaannya tidak main-main.

Saya ingat selalu bercerita ada sebuah arca, Harihara namanya, yang sebenarnya sering dijumpai karena menjadi logo universitas ternama di Kota Malang. Arca tersebut sering dianggap wujud dari Raja Brawijaya. Padahal berdasarkan penelitian, Harihara adalah penggambaran sosok Raja Kertarajasa Jayawardana alias Raden Wijaya, sang pendiri Majapahit yang telah mangkat.

Namun, bagi saya pribadi, arca Harihara bukanlah bagian terbaik untuk dikagumi. Masih di selasar yang sama, ada mahakarya yang selalu membuat saya betah memandangnya lama sambil berujar, “Andai bisa kembali ke masa lalu, arca inilah yang paling ingin aku lihat dalam kondisi utuh.”

Sayang memang, kondisi arca ini sudah rusak. Akan tetapi, dengan segala ketidaksempurnaannya, keindahan arca tersebut berada pada level yang berbeda.

Arca Durga dari Singosari

Durga Mahisasuramardini. Bisa dibilang arca yang cukup mainstream, karena dia adalah salah satu pantheon utama dalam ajaran Shaiva (kultus terhadap Dewa Syiwa)—dahulu memang jadi kultus yang banyak dipeluk oleh raja-raja Jawa. Bahkan sosok patung Roro Jonggrang yang terkenal dari percandian Prambanan, sejatinya adalah arca Durga yang disalahtafsirkan sebagai wanita yang dikutuk menjadi batu. Sebab arca Roro Jonggrang ini memiliki detail yang luar biasa. Namun, kemolekan Roro Jonggrang pun bagi saya pribadi masih kalah dengan arca Durga yang ada di Museum Nasional ini.

Sosok Durga satu ini punya pose yang lebih garang dengan posisi kaki mengangkang. Berbeda dengan kebanyakan arca Durga, termasuk arca Roro Jonggrang, yang digambarkan berdiri anggun di atas iblis lembu yang ia kalahkan.

Seperti halnya arca Durga lain, ia digambarkan memiliki empat pasang tangan. Sepasang digunakan untuk memegang ekor lembu raksasa dan menarik iblis yang merasukinya, dan tiga pasang lainnya ia gunakan untuk memegang enam senjata berbeda: pedang, gada, trisula, cakra, perisai, dan kulit kerang.

Sayang, hanya perisai yang ia pegang di salah satu tangan kirinya yang masih bertahan. Lima senjata lainnya sudah tidak ada, dan bahkan beberapa tangannya pun dalam kondisi rusak. Namun, perisai ini jugalah yang membuat saya begitu mengagumi keindahannya. Perisai tersebut dibuat dalam ukuran besar dengan bentuk lonjong dan penuh detail di bagian muka perisainya. Kebanyakan arca Durga biasanya menampilkan bentuk perisai bulat dengan ukuran kecil tanpa ada detail yang terlihat menonjol.

“Jika perisainya saja dibuat dengan detail seindah ini, bagaimana jika lima senjata lainnya masih ada?” batin saya. Anda pasti sepakat dengan pikiran saya bukan?

Hal lain yang menarik juga dari arca Durga tersebut adalah cerita di baliknya. Ia jadi bukti adanya sebuah kultus unik yang dianut oleh raja-raja di Jawa Timur saat itu—khususnya di era Singosari—bernama Bhairava. Berbeda dari ajaran Shaiva secara umum, di ajaran ini pemeluknya akan melakukan beberapa ritual yang cenderung dianggap tabu, seperti minum minuman keras, berhubungan badan, dan memakan berbagai daging, termasuk daging manusia.Di India sendiri saat ini ada sebuah sekte Bhairava bernama Aghora yang masih melakukan ritus-ritus ala ajaran Bhairava, termasuk kanibalisme.

Namun, di luar ritual keagamaannya yang mengerikan, raja Singosari pemeluk Bhairava tampaknya punya selera seni yang begitu tinggi. Dan ini tidak hanya tergambar di arca Durga saja, tetapi hampir semua arca di masa Singosari. Di samping arca Durga tadi misalnya, ada arca Ganesha yang juga punya detail yang sangat indah. Baik arca Durga maupun Ganesha ini sama-sama punya ciri khas, yaitu ornamen tengkorak dan bulan sabit sebagai simbol aliran Shiva Bhairava yang hanya ditemukan di arca-arca era Singosari.

Durga Singosari, Kengerian di Balik Keindahan
Arca Nandiswara, salah satu tokoh dalam mitologi Hindu. Di Jawa, tokoh ini biasanya terpahat di sebelah pintu masuk candi yang bersifat Siwaistik bersama pasangannya, Mahakala/Muhammad Faqih Akbar

Harapan yang Terwujud

Sepertinya ada satu hal yang lupa saya ceritakan di awal. Koleksi yang dimiliki Museum Nasional sebelumnya adalah replika! Artefak aslinya sudah dibawa oleh seorang pejabat Belanda sekaligus kolektor barang antik sejak awal abad ke-19. Arca-arca ini dicungkil dan diambil paksa dari Candi Singhasari dan mengakibatkan kerusakan permanen di badan candi.

Namun yang menggembirakan, tahun ini pemerintah berhasil melakukan repatriasi—pengembalian koleksi sejarah ke Indonesia. Dari sekian koleksi yang berhasil dipulangkan, di antaranya adalah arca-arca Singosari, termasuk arca Durga. Berita yang berembus membuat saya sangat bersemangat untuk bisa melihat arca-arca asli, yang selama ini saya kagumi lewat replika-replikanya secara langsung.

Harapan saya sempat putus ketika Museum Nasional mengalami kebakaran hebat beberapa waktu lalu. Meskipun dipastikan koleksi hasil repatriasi dalam kondisi aman, tetapi insiden itu jelas membuat hegemoni keberhasilan pemulangan koleksi berharga kita jadi tertunda.

Saya sendiri awalnya tidak berharap bisa melihat arca-arca itu dalam waktu cepat. Mungkin setidaknya sampai tahun depan. Ternyata perkiraan saya meleset. Koleksi hasil repatriasi akhirnya dipamerkan awal Desember kemarin. Meskipun tidak dilaksanakan di Museum Nasional—yang tentu saja masih berbenah—melihat arca-arca Singosari asli secara langsung ternyata bisa memantik sedikit rasa haru. Saya sendiri sampai memesan dua kali kunjungan demi bisa lebih puas melihat arca-arca ini; dan koleksi lainnya tentu saja.

Mari kita berharap proses pembenahan Museum Nasional bisa segera selesai, agar koleksi-koleksi berharga tersebut bisa dinikmati kembali oleh publik.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Durga Singosari, Kengerian di Balik Keindahan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/durga-singosari-kengerian-di-balik-keindahan/feed/ 0 40740
Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah https://telusuri.id/menggali-kisah-dari-manuskrip-peta-untuk-wisata-arkeologi-sejarah/ https://telusuri.id/menggali-kisah-dari-manuskrip-peta-untuk-wisata-arkeologi-sejarah/#respond Fri, 09 Jun 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38872 Syahdan, saya berdialog via WhatsApp bersama sejarawan asal Bandung, yaitu saudara Budimansyah. Kang Odon, sebutan akrabnya. Di tengah kesibukan disertasinya, ia berpendapat bahwa saat ini kajian-kajian kritis terhadap manuskrip peta—yang pembuatannya secara manual atau menggambar...

The post Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah appeared first on TelusuRI.

]]>
Syahdan, saya berdialog via WhatsApp bersama sejarawan asal Bandung, yaitu saudara Budimansyah. Kang Odon, sebutan akrabnya. Di tengah kesibukan disertasinya, ia berpendapat bahwa saat ini kajian-kajian kritis terhadap manuskrip peta—yang pembuatannya secara manual atau menggambar dengan tangan—sebagai sumber sejarah merupakan “barang langka”.

Padahal jika mengkaji dan menggali segala macam informasi di dalamnya, akan memperkaya sumber-sumber sejarah yang lain. Sebuah catatan sejarah akan benar-benar utuh dan sangat bermanfaat untuk kepentingan pariwisata. Khususnya wisata arkeologi sejarah, seperti sejumlah komunitas penggiat sejarah telah lakukan. Misalnya, Komunitas Aleut, Komunitas UPIlawas, Bogor Historical Walk, Roode Brug Soerabaia, Cimahi Heritage, dan banyak lagi.

Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah
Facsimile Peta Ciela/Wikimedia Commons

Saya sependapat dengan Kang Odon terkait kelangkaan kajian manuskrip peta. Berdasarkan hasil penelusuran, saya melihat kajian manuskrip peta wilayah Nusantara di masa lalu masih sangat minim. Baik buatan masyarakat Nusantara dahulu kala (misalnya peta Ciela, atau peta Nusantara beraksara Bugis) maupun buatan Barat, seperti manuskrip peta wilayah Nusantara era VOC—yang terkompilasi di dalam Atlas Induk VOC (Grote atlas van de Verenigde Oost-Indische Compagnie) Vol. II dan III.

Di Indonesia, baru tiga orang pakar yang telah berkolaborasi meneliti manuskrip peta Nusantara, khususnya mengkaji Peta Kuno Ciela, yaitu Undang Ahmad Darsa, Yuyu Yohana Risagarniwa, dan Anton Charliyan; yang hasil penelitiannya terdapat di dalam artikel Peta Ciela Garut: Sebuah Peta Kontinental di Sunda Abad XVI Masehi. Sementara itu pakar Indonesia yang mengkaji manuskrip peta VOC, sejauh yang saya tahu belum ada. Padahal dari sana kita dapat melihat bagaimana VOC secara sistematis membuat peta sebagai alat hegemoni politik, yakni dengan menentukan batas wilayah, mengubah toponimi, mengubah peletakannya, dan lain-lain.

Hal yang dapat kita gali dari sebuah manuskrip peta adalah daftar toponimi (nama tempat) yang akan bermanfaat untuk penelitian-penelitian lanjutan. Selain toponimi, pada sebuah manuskrip peta sering pula ditemukan catatan tambahan yang biasanya ditulis oleh si pembuat peta. Ilmu kartografi menyebutnya sebagai commentary.

Contoh Kajian Manuskrip Peta Secara Mandiri

Saya mencoba melakukan kajian mandiri terhadap sebuah manuskrip peta MS VEL 1168. Saya mengunduhnya di situs Nationaal Archief Belanda secara gratis dan telah menjadi domain publik. Manuskrip peta tersebut berangka tahun 1701, yang menggambarkan wilayah (saat ini) Bogor dan sekitarnya. Peta tersebut hasil buatan Cornelis Coops (kartografer VOC) dan Michiel Ram (perwira VOC).

Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah
MS VEL 1168 (identitas digital NL-HaNA_4.VEL_1168)/Nationaal Archief

Untuk dapat mengkaji demi mendapatkan informasi-informasi yang ada di dalamnya, saya menggunakan metode yang terbagi dalam tiga langkah utama. Pertama, menganalisis elemen-elemen pembentuk peta, yaitu simbol-simbol, skala, compass rose (arah mata angin), dan lain-lain. Kedua, menganalisis elemen-elemen tekstual yang ada pada peta, seperti teks toponimi dan commentary. Ketiga, tahapan interpretasi, yaitu membandingkan hasil analisis tersebut dengan sumber-sumber lainnya, baik sumber kartografis (manuskrip peta Portugis, Spanyol, Ottoman, dan lain-lain) maupun non-kartografis (prasasti, naskah kuno, catatan arsip VOC) yang bersifat diakronis (antarmasa) maupun sinkronis (semasa). Selain itu dibandingkan pula dengan hasil-hasil penelitian terdahulu terkait wilayah yang terdapat pada peta VOC tersebut.    

Bagian tersulit untuk mengkaji manuskrip peta VOC adalah menganalisis elemen tertulis, baik toponimi maupun commentary. Analisis tersebut terdiri dari dua tahapan, yaitu transliterasi ke aksara modern lalu menerjemahkannya. Penyebab kesulitan tersebut adalah aksara di dalamnya masih berupa tulisan tangan khas VOC abad ke-17—18.

Untuk dapat membacanya, saya terbantu dengan buku Schriftspiegel, Oud-Nederlandse handschriften van de 13e tot de 18e eeuw, karya P. J. Horsman dan J. P. Sigmond. Pada tahap penerjemahan, penulis juga berpedoman pada kamus A Large Dictionary English and Dutch Vol. I dan II terbitan 1708 karya W. Sewell, yang di dalamnya terdapat penjelasan aturan tata bahasa Belanda.

Tata bahasa Belanda saat itu masih menggunakan “kasus”, atau aturan penggunaan artikel pada kata benda yang dapat menunjukkan apakah kata benda tersebut merupakan subjek, objek, atau atribut. Ditambah pula dengan terdapatnya kesalahan tulis, kata-kata bahasa Belanda arkais yang sudah tidak digunakan lagi saat ini, serta afkortingen atau singkatan-singkatan—yang jika tidak teliti maka akan salah dalam membacanya.  

Data Toponimi dalam Manuskrip 

Dari hasil analisis, saya menemukan banyak hal yang luar biasa. Tentu saja tidak mungkin saya jabarkan semuanya, tetapi contohnya saja. Misalnya dari segi toponimi, terdapat tiga toponimi yang menarik, yaitu Padjajaran (teridentifikasi sebagai Pajajaran), Rands jamaja (teridentifikasi sebagai Rancamaya), dan Jamboelowok (teridentifikasi sebagai Jambuluwuk).

Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah
Potongan gambar toponimi Padjajaran dalam MS VEL 1168/Nationaal Archief

Ketiga toponimi tersebut sangat identik dengan Kerajaan Sunda abad ke-13—16. Menurut Saleh Danasasmita di dalam buku Mencari Gerbang Pakuan dan kajian lainnya mengenai Budaya Sunda, Pajajaran merupakan nama Kerajaan Sunda. Akan tetapi, Ayatrohaedi di dalam bukunya yang berjudul Sundakala berpendapat bahwa Pajajaran merupakan nama ibu kota.

Kemudian toponimi Rancamaya di dalam MS VEL 1168 ini terdapat di dalam naskah Carita Parahyangan, yang letaknya telah diteliti oleh Budimansyah dkk, dan tercurah dalam artikel jurnal Patanjala berjudul Sang Hyang Talaga Rena Mahawijaya: Telaga Buatan sebagai Solusi Bencana.

Rancamaya pada MS VEL 1168 memiliki dua toponimi, yaitu sebagai toponimi permukiman dan sungai. Rancamaya sebagai permukiman di dalam MS VEL 1168, kurang lebih sama dengan letak Rancamaya berdasarkan hasil penelitian dari Budimansyah dkk.

Selanjutnya, Jambuluwuk merupakan toponimi sebuah batur (tempat suci) yang terdapat di dalam naskah Sunda kuno, yang oleh Noorduyn di dalam buku Three Old Sundanese Poems, diberi judul The Sons of Rama and Ravana. Sementara pada MS VEL 1168, Jambuluwuk adalah toponimi sebuah sungai.

Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah
Potongan gambar toponimi Jamboelowok dalam MS VEL 1168/NationaalArchief)

Data Commentary dalam Manuskrip

Selain toponimi, terdapat pula informasi menarik pada commentary yang terdiri dari 89 baris. Catatan ini merupakan laporan perjalanan survei untuk pembuatan peta MS VEL 1168. Berdasarkan commentary, ternyata manuskrip peta tersebut sangat eksklusif dan hanya untuk kepentingan Gubernur Jenderal VOC saat itu, yaitu Willem van Outhoorn. Perjalanan survei berlangsung dari tanggal 23 Juli sampai dengan 1 Agustus 1701. Hal yang sangat menarik adalah catatan perjalanan tanggal 30 Juli 1701, yang memuat informasi berikut ini.

Pada tanggal 30 pagi hari pukul 6, kami meninggalkan Kampong Baroe dan mengambil jalan menuju Padjajaran, [kami] menyeberangi sungai besar di sekitar negorij tje Bantar Kambang, dan tiba di Padjajaran sekitar jam 7; dahulu [tempat itu] merupakan istana raja Pakkowangh, yang terletak di ketinggian yang ideal di antara sungai Tsiliwong dan Tangerang, dengan lebar sekitar 250 roed; di tempat reruntuhan ini ditemukan berbagai peninggalan kuno, seperti: batu pipih setinggi sekitar 6 atau 7 dan 8 kaki; lebar, bundar dan diapit dengan beberapa batu besar, dan dengan aksara usang dan tidak terbaca [yang berasal] dari zaman kuno [yang berjumlah] 6 baris sama [panjang]. Di dekatnya masih ada 6 batu bulat berdiri, seperti tunggul pohon, setinggi 2, 3, 4, dan 5 kaki, sementara yang terbesar, yang berdiri tiga kaki dari batu tulis pipih, jatuh karena gempa bumi yang hebat. Enam atau tujuh roed dari batu pipih tersebut di atas, berdiri lagi tiga patung, setinggi 2½ dan 1½ kaki, sekilas menyerupai manusia, tetapi sangat montok dan tidak dipahat dengan halus; tidak tampak hal lain lagi yang perlu diperhatikan, selain struktur yang tinggi dan juga rendah, serta dua pohon tua besar di pintu keluar, yang menurut orang-orang pribumi, adalah benteng dan parit, sementara sepasang pohon itu adalah gerbang benteng yang hancur ini.  

Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah
Potongan gambar “Commentary”, catatan 30 Juli 1701 dalam MS VEL 1168/Nationaal Archief

Sekilas catatan tersebut tampak menggambarkan situs Prasasti Batutulis dan situs Arca Purwakalih. Namun, setelah penelitian lebih lanjut ternyata menggambarkan sesuatu yang berbeda. Perbedaan pertama, Prasasti Batutulis berisi 8½ baris, bukan 6 baris. Kedua, batu tunggul yang ada di dekat Prasasti Batutulis hanya satu, sementara pada informasi commentary berjumlah 6 buah batu tunggul; yang mana batu tunggul terbesarnya telah tumbang akibat gempa. Ketiga, berdasarkan Google Maps jarak antara Prasasti Batutulis dan Arca Purwakalih adalah sekitar 150 meter, sedangkan menurut commentary jarak keduanya adalah 7 roed (1 roed=3,77 meter) atau sekitar 26,39 meter.

Berdasarkan perbedaan itu, maka yang tertera pada commentary bukan merupakan gambaran lokasi kedua situs, melainkan tempat yang berbeda. Mungkinkah ada prasasti peninggalan Pajajaran lainnya selain Prasasti Batutulis? Jika ada, maka di mana lokasi tempat prasasti tersebut berada? Apa saja isinya? 

Harapan Penelitian Manuskrip Lanjutan

Itulah kira-kira ringkasan hasil kajian yang telah saya lakukan secara mandiri pada MS VEL 1168. Makin dalam menelusuri, maka kian penuh misteri dan pertanyaan.

Mungkin, jika hasil kajian saya bisa terbit, saya berharap bisa membuka jalan ke penelitian manuskrip peta wilayah Nusantara lainnya. Sehingga gairah para arkeolog, sejarawan, komunitas penggiat sejarah, serta masyarakat umum akan kembali dinamis. Semangat dalam penggalian kisah dari sumber-sumber sejarah, apa pun dan di mana pun, makin meningkat. 

Selanjutnya, apabila penelitian-penelitian manuskrip peta lainnya telah dilakukan, maka hasil kajian yang didapatkan tentunya dapat menjadi bahan kajian bagi peneliti selanjutnya. Baik para sejarawan maupun arkeolog.

Tak hanya itu. Hasil kajian bisa juga menjadi bahan untuk memperkaya penyajian beberapa kisah tertentu, khususnya oleh para komunitas penggiat sejarah dan cagar budaya. Tentu saja dalam menyajikan dan menikmatinya perlu upaya mencerna secara kritis. 

Sumber peta:

Facsimile Peta Ciela (Public Domain), https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Facsimile_of_the_Ci%C3%A9la_Map.jpg

MS VEL 1168 (Public Domain), https://www.nationaalarchief.nl/en/research/map-collection/NL-HaNA_4.VEL_1168?searchKey=1895025c00fd240a482e3a48f3fe63b5

Peta Nusantara Beraksara Bugis (Public Domain), https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Buginese_chart_of_the_East_Indian_Archipelago_-_ca._1820_-_UB_Utrecht.jpg


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menggali-kisah-dari-manuskrip-peta-untuk-wisata-arkeologi-sejarah/feed/ 0 38872
Q&A: Penggalian Arkeologi Banten Lama bersama Prof. Dr. R. Cecep Eka Permana https://telusuri.id/penggalian-arkeologi-banten-lama/ https://telusuri.id/penggalian-arkeologi-banten-lama/#respond Mon, 08 Nov 2021 12:54:39 +0000 https://telusuri.id/?p=31299 Kawasan Banten Lama merupakan kawasan Kota Tua Banten yang telah ada semenjak abad ke-16, dengan berbagai tinggalan seperti Keraton Kaibon, Keraton Surosowan, Benteng Speelwijk, Masjid Agung Banten, Vihara Avalokitesvara, dan Danau Tasikardi. Banten Lama menjadi...

The post Q&A: Penggalian Arkeologi Banten Lama bersama Prof. Dr. R. Cecep Eka Permana appeared first on TelusuRI.

]]>
Kawasan Banten Lama merupakan kawasan Kota Tua Banten yang telah ada semenjak abad ke-16, dengan berbagai tinggalan seperti Keraton Kaibon, Keraton Surosowan, Benteng Speelwijk, Masjid Agung Banten, Vihara Avalokitesvara, dan Danau Tasikardi. Banten Lama menjadi ikon wisata sejarah yang terkenal hingga penjuru Nusantara. Daya tarik sejarah Banten yang masih bisa disaksikan lewat sisa-sisa bangunan kesultanan diharapkan menjadi pelajaran bagi masyarakat dewasa ini. 

Penggalian arkeologi adalah salah satu cara untuk menampakkan temuan yang terpendam di bawah tanah. Baru-baru ini di Banten Lama diadakan penggalian arkeologi kerjasama BPCB Banten dengan Universitas Indonesia sebagai upaya revitalisasi dan pelestarian kawasan Banten Lama agar sisa-sisa tinggalan masih bisa diselamatkan. 

TelusuRI mewawancarai Prof . Dr. R. Cecep Eka Permana—seorang arkeolog dan juga pengajar tetap arkeologi di Universitas Indonesia—yang dalam penggalian ini berperan sebagai pengawas. Sebagai pengajar, beliau sudah berkecimpung di dunia arkeologi semenjak 1990 dan ikut serta dalam puluhan penelitian yang beberapa di antaranya sudah dibukukan. 

Prof . Dr. R. Cecep Eka Permana
Prof . Dr. R. Cecep Eka Permana/Istimewa

Penggalian kali ini dilakukan di mana dan dengan tujuan apa Mas? 

Penggalian dilakukan antara Danau Tasikardi dan Keraton Surosowan. Fokusnya kepada saluran air dari Tasikardi ke Surosowan. Di sana ada peninggalan arkeologi berupa pengindelan, bangunan untuk penjernihan air. Jaraknya sekitar 2 km dari Tasikardi sampai Surosowan.

Sepanjang 2 km tersebut terdapat 3 bangunan penjernihan air yakni pengindelan abang yang berada dekat danau, pengindelan putih di tengah-tengah, dan pengindelan emas yang berada dekat dengan benteng. Tujuan pendiriannya adalah untuk mengalirkan air dari danau ke keraton, selain itu juga untuk penjernihan air.

Berarti hipotesisnya adalah Danau Tasikardi sebagai sumber air bagi keraton?

Iya, salah satunya adalah sebagai sumber air bersih untuk keraton. Dalam keraton sendiri sebenarnya ada sumur-sumur tapi kan terbatas [jumlah airnya]. Nah, sumber lain lainnya selain sumur, ya dari Tasikardi ini.

Tasikardi dan keraton berjarak sekitar 2 km. Sepanjang itu membentang sawah dan juga jalan. Apakah proses penggaliannya melewati jalan raya?

Oh tidak [melewati jalan raya]. Tanah yang dilewati pengindelan dan saluran-saluran ini tertutup batu bata. Di dalamnya ada saluran semacam paralon gitu yang berasal dari terakota dengan diameter 25 cm. Fungsinya sama seperti paralon sekarang namun terbuat dari tanah liat. 

  • BPCB Banten
  • BPCB Banten

Ada temuan menarik apalagi Mas yang terdapat di sana?

Selain bata-bata yang ditemukan untuk melindungi saluran air tersebut, ada ditemukan beberapa keramik dan tembikar. Ada pipa gouda kalau orang-orang kolonial bilangnya, kalau sekarang namanya cangklong. 

Ada berapa tenaga kerja untuk penggalian kali ini?

Kalau untuk mahasiswa dan alumni dibuat 3 kloter, 1 kloter berjumlah 5 orang. Penggalian kan dari tanggal 1-30 Oktober, jadi ada yang dari tanggal 1-10, 11-20, 20-30. Disamping itu ada tenaga lokal, dan tenaga dari BPCB.

  • BPCB Banten
  • BPCB Banten
  • BPCB Banten Lama

Tujuan pelibatan mahasiswa dalam penggalian ini apa sih Mas?

Selain mereka mendapatkan pengalaman juga menerapkan teori-teori yang sudah diberikan saat perkuliahan, tentunya sambil membantu kegiatan perekaman dan [melakukan] analisis temuan-temuan. BPCB kan terbatas tenaganya dan tidak semua arekolog. Dengan melibatkan mahasiswa ini semoga semua pihak mendapat manfaat, baik dari BPCB ataupun mahasiswa.

Apakah ada kesulitan yang muncul dari penggalian kali ini?

Sulit sih tidak ya, karena secara teknis di sana merupakan daerah sawah pasti berair, ya paling hujan basah biasa lah itu aja. Untuk urusan dengan warga, mereka sudah tahu bahwa itu bukan tanah mereka, jadi tidak terganggu antar sawah dengan saluran air tersebut. Paling ada kerusakan yang terjadi [pada tinggalan arkeologi] secara alami saja. 

BPCB Banten
Tim penggalian ekskavasi pengindelan/BPCB Banten

Bagaimana hasil penggaliannya? Apakah sudah mencapai tahap akhir?

Hari ini, 30 Oktober selesai. Untuk pelaporan masih dalam proses. Selanjutnya, kami akan mengkaji [hasil penggalian] dalam seminar kecil yang rencananya akan diselenggarakan pada tengah atau akhir November untuk mendiskusikan hasil [penggalian] serta rencana kedepannya.

“Tujuan penggalian ini yakni dalam rangka pelestarian dan melindungi cagar budaya karena daerah sawah bahkan sebagian besarnya sudah menjadi pemukiman. Kalau tidak dilakukan penggalian, maka [cagar budaya tersebut] akan hilang.”

Prof. Dr. R. Cecep Eka Permana

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Q&A: Penggalian Arkeologi Banten Lama bersama Prof. Dr. R. Cecep Eka Permana appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/penggalian-arkeologi-banten-lama/feed/ 0 31299
Arkeologi Maritim dan Harta Karun yang Tergadaikan https://telusuri.id/arkeologi-maritim-dan-harta-karun-yang-tergadaikan/ https://telusuri.id/arkeologi-maritim-dan-harta-karun-yang-tergadaikan/#comments Tue, 24 Aug 2021 11:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30157 Nenek moyangku seorang pelaut Gemar mengarung luas samudera Sepenggal lirik diatas sedikit banyak menunjukkan keterikatan kita dengan laut. Laut memang dahulu menjadi “rumah” bagi masyarakat kita selain terkenal dengan agraris. Antar pulau di nusantara yang...

The post Arkeologi Maritim dan Harta Karun yang Tergadaikan appeared first on TelusuRI.

]]>

Nenek moyangku seorang pelaut

Gemar mengarung luas samudera

Sepenggal lirik diatas sedikit banyak menunjukkan keterikatan kita dengan laut. Laut memang dahulu menjadi “rumah” bagi masyarakat kita selain terkenal dengan agraris. Antar pulau di nusantara yang terkoneksi dengan perairan, menghasilkan kebudayaan maritim yang bermacam-macam, sebut saja kora-kora khas Maluku, pinisi khas Sulawesi, atau jukung khas Banjar. Belum lagi panganan serta biota laut yang beranekaragam. Arkeologi maritim sebagai salah satu cabang ilmu arkeologi yang berfokus kepada tinggalan kemaritiman baik yang berada di darat maupun di laut, menjadi modal yang sangat berharga untuk menelusuri sejarah-sejarah yang berhubungan dengan perairan di Indonesia. Cagar budaya bawah laut makin hari keadaannya semakin menyeramkan.

Bukannya minim gangguan, justru cagar budaya bawah air Indonesia banyak mendapat ancaman baik oleh keputusan pemerintah sendiri maupun oleh perburuan ilegal. Pada Maret 2021 ramai polemik tentang keputusan presiden yang kembali mengizinkan swasta untuk mengangkat Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT). Tentu saja peraturan itu memicu protes dari kalangan akademisi, budayawan, pemerhati lingkungan, dan tentu saja tidak ketinggalan mantan menteri kelautan, Susi Pudjiastuti yang melontarkan kritiknya melalui Twitter.

Belum lagi lolongan pemburu harta karun illegal seperti Michael Hatcher yang terus mengincar titik-titik kapal karam untuk diambil kembali. Proyek pengangkatan BMKT kapal De Geldermalsen oleh Hatcher di Tanjung Pinang membuat pemerintahan Soeharto kala itu kebakaran jenggot, pasalnya harta karun tersebut ditaksir bernilai belasan miliar rupiah dan berhasil dilelang di Amsterdam. Para pemburu profesional tersebut bekerja sama dengan nelayan-nelayan lokal untuk menemukan titik koordinat kapal karam. Informasi yang dibayar cukup bahkan lebih untuk menjadikan dapur nelayan tetap menyala.

Menurut hemat saya, konflik kepentingan yang terjadi di dalam tubuh pemerintah ini harus ditimbang, peraturan mana yang menjadi dasar pengelolaan cagar budaya. Padahal sudah sangat jelas Undang-Undang No 11 Tahun 2010 yang merumuskan definisi cagar budaya sebagai benda yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai pengetahuan. 

Arkeolog memandang jual beli artefak ini sebagai bencana pengetahuan. Peraturan tadi mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola cagar budaya bawah laut yang seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk pengetahuan dan kemaslahatan bangsa, bukan diumbar layaknya komoditas ekspor impor lainnya yang lebih dahulu amburadul. Biaya yang besar memang kendala dalam pencarian harta bawah laut untuk diangkat ke darat, tetapi jalan keluarnya bukan dengan mengumbar situs-situs bawah air.

Pariwisata bawah air sedang hangat-hangatnya menjadi tren. Banyak orang rela kursus diving demi memperoleh sertifikat untuk menyelami laut Indonesia. Ini merupakan salah satu kesempatan yang sangat bagus untuk  in-situ preservation situs arkeologi bawah air. Salah satu jurnal yang menerangkan bagaimana in-situ preservation bisa menjadi lahan wisata minat khusus adalah yang berjudul pemanfaatan situs karang kapal sebagai obyek wisata minat khusus karya Aryandini Novita dan Roby Ardiwijaya. Dalam jurnal itu dijelaskan bagaimana seharusnya in-situ preservation bisa berdampingan dengan konservasi terumbu karang sebagai langkah untuk mencegah perburuan BMKT.

Tulisan yang mengangkat situs karang kapal yang berada di Desa Sungai Padang sebagai objek penelitian ini juga menuliskan bahwa pemanfaatan juga tidak boleh berlebihan agar tidak merusak situs. Pemanfaatan situs bawah air tersedia dengan dua pilihan; pengelolaan dengan tujuan perlindungan dan pengelolaan dengan tujuan penyelamatan. Pengelolaan dengan tujuan perlindungan bisa membuka peluang untuk membuka taman arkeologi bawah air maupun museum arkeologi bawah air. 

Tentu kita tidak ingin suatu saat situs-situs bawah air yang belum kita ketahui hilang tak berbekas tanpa sempat diketahui oleh khalayak ramai, belum lagi hilangnya karena disengaja oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan. Kedepannya, semua regulasi yang ingin menyentuh cagar budaya harus melihat kepada konteks pengetahuan. Jangan sampai tumpang tindih aturan malah menyeret cagar budaya dalam konteks yang bukan seharusnya.


Foto header: TEMPO/Jurnalist Divers

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Arkeologi Maritim dan Harta Karun yang Tergadaikan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/arkeologi-maritim-dan-harta-karun-yang-tergadaikan/feed/ 1 30157