asief abdi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/asief-abdi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sun, 01 Oct 2023 09:05:34 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 asief abdi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/asief-abdi/ 32 32 135956295 Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (2) https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-2/ https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-2/#respond Tue, 10 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39901 Di bawah naungan akasia, kami memarkir motor. Kami meniti pematang. Di kanan-kiri, teratai dan kembang kangkung mengapung di permukaan rawa. Kawasan lahan basah itu dikepung padang lembang. Di ujung pematang, kami berhenti dan duduk. Tapak...

The post Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Di bawah naungan akasia, kami memarkir motor. Kami meniti pematang. Di kanan-kiri, teratai dan kembang kangkung mengapung di permukaan rawa. Kawasan lahan basah itu dikepung padang lembang. Di ujung pematang, kami berhenti dan duduk. Tapak itu buntung.

“Tengok arah pukul tiga,” bisik Asief. Rambut ikalnya tertiup angin sepoi. Aku menuruti perintahnya. “Itu burung layang-layang batu.” Hewan mungil itu betah bertengger di sebilah bambu yang tertancap di tepi rawa. Jaraknya sekitar lima meter dari posisi kami. Ketika terbang, burung itu akan kembali hinggap di situ lagi.

“Apakah burung layang-layang sama dengan sriti dan srigunting?” Pertanyaanku dijawab “tidak”. Aku baru tahu, ketiganya berbeda.

Dari timur, seorang pria paruh baya muncul. Sepertinya ia akan turun ke ladang. Ia memanggul satu sak sesuatu.

“Mau bedil, ya?” Ia mengira kami akan menembak burung. Kami menjawabnya dengan sesimpul senyum.

Dua Penyaru di Imperium Burung-Burung

“Ayo berkamuflase,” ucap Asief sambil mengurai selembar jala saru dari kantong bekas tas helm. “Enggak kelihatan mencolok itu penting,” tambahnya. Itulah mengapa ia mengenakan kaus cokelat pudar lengan panjang, celana parasut kelabu, dan sandal gunung hitam. (Agak mengecewakan, sebenarnya. Padahal, aku sudah membayangkan ia berkostum safari seperti Nigel di serial The Wild Thornberrys dan mati heroik setelah bergulat sengit dengan seekor buaya).

Aku buru-buru melepas jaket berwarna Golkar—tapi agak tua—dan menjejalkannya ke dalam ransel. “Burung enggak buta warna. Makanya, warna bulu mereka semarak. Beda sama mamalia. Di mata kebanyakan hewan menyusui itu, dunia ini miskin warna. Kecuali primata. Penglihatan kita lebih berwarna.”

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Asief Abdi di balik jaring kamuflase/Royyan Julian

Selembar jaring berbobot ringan dibentangkan. Jala itu berwarna daun. Aku takjub. Motif dan kelirnya akan menyatukan kami dengan tekstur alam. Kami jadi seperti Harry Potter dan Ronald Weasley berkemul selubung mimikri. Sebentar lagi kami akan menyelonong ke kamar rahasia yang dihuni seekor ular naga jelmaan Lord Voldemort.

Di dalam selimut kamuflase Asief berkata, “Jaring ini harganya cuma enam puluh ribu. Atau tujuh puluh. Aku lupa,” sambil mengeset kamera. Lalu kami telungkup berjajar.

Asief menunjuk seekor tikusan di kaki-kaki lembang. Agak jauh di sisi kanan kami. Tiba-tiba seekor burung yang lain muncul dari kedalaman semak.

“Astaga, itu kareo padi. Aku belum pernah mendapatkan gambar apik burung itu.” Ia mengarahkan kamera. “Tapi itu terlalu jauh. Lensaku enggak mampu. Tolong putarkan suara pikat kareo padi.” Aku bergegas membuka Youtube dan membunyikan kicau burung itu. “Mestinya aku membawa speaker,” keluhnya. 

Setelah dua burung itu lenyap, seekor kipasan dan kapasan menggantikan posisi mereka. Kedua burung yang ukurannya sebelas-dua belas itu melompat-lompat mencari makan. Jika tikusan dan kareo pada mencari mangsa di genangan air, kapasan dan kipasan berkitar di tanah agak kering.

“Sepertinya kita perlu membetulkan posisi,” tukas Asief, “kamu dapat banyak jatah selimut. Kakiku enggak ketutup penuh.”

Ke arah jam dua belas, Asief menunjuk titik jauh setelah kami berselubung kembali. “Lihat burung itu.” Aku mencari-cari titik itu. Di sana, hewan kecil berbulu biru bertengger di ranting. “Itu jenis raja udang. Kamu tahu namanya?” Aku menggeleng.

“Cekakak suci.” Puitis sekali.

“Kenapa harus suci?” tanyaku menginterogasi. 

“Sebenarnya aku enggak tahu pasti. Tapi aku pernah baca, konon, masyarakat Polinesia percaya bahwa cekakak suci bisa mengendalikan badai.”

Pandanganku tidak akan sedramatis itu. Namun, hal semacam ini mestinya tidak membuatku heran. Suku-suku dari dunia lama yang masih lestari bahkan tetap mempertahankan kultus kepada binatang totem. 

Asief merekam burung itu ketika sedang mengunyah mangsa. Seekor biawak melata dari arah persembunyian, berharap si burung lengah. Meski sedang asyik menikmati kudapan, cekakak suci tetap waspada. Ketika kadal itu mendekat, sang burung terbang ke dahan yang lebih tinggi. Saat situasi kembali aman, cekakak pindah ke ranting semula.

“Kenapa dia balik ke tempat itu lagi?” Pertanyaanku mengusik kawanku yang sedang sibuk merekam.

“Mereka punya teritori. Kayak burung layang-layang tadi. Kecuali burung-burung migran.”

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Tikusan mencari mangsa/Asief Abdi

Dua jam berselang, kami keluar dari penyamaran dan terkejut mendapati seorang pria duduk di belakang kami.

“Dapat banyak?” Ia bertanya. Kami menangkap maksud pertanyaannya.

“Kami cuma lihat-lihat saja, Pak,” jawab Asief mengulum senyum. Seperti pria sebelumnya, bapak ini mengira kami sedang berburu burung. Padahal kami tidak memegang senjata apa pun.

“Apa kita punya tampang pembunuh?” bisikku di telinga Asief ketika si bapak turun ke rawa. Kedua betisnya ditelan lumpur.

Sebenarnya aku sudah ingin menggaruk betisku sejak di dalam jaring. Sepertinya beberapa ekor semut merayap ke dalam celana. Asal bukan ular sawah, aku masih tahan. Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku tidak selemah yang Asief kira.

“Mungkin kita bisa melihat burung lebih banyak seandainya debit airnya tidak berkurang,” tukas Asief. “Agustus memang puncak kemarau dan rawa ini surut. Atau jangan-jangan kita datang kurang pagi. Jam-jam segini, burung-burung sudah kelar mencari makan dan sekarang istirahat.”

Masa Depan Burung-Burung

Ketika sedang menikmati matahari duha yang bersinar terang, di kejauhan, sayup-sayup suara kirik-kirik-kirik-kirik terdengar. Asief menyadarkanku akan kedatangan suara tersebut. Indra pendengarannya telah terasah. Bahkan, kendatipun burung-burung itu cuma berbisik, mungkin ia bisa mendengarnya.

“Aku sudah bertahun-tahun berjibaku dengan aktivitas kayak gini,” ucapnya saat aku memuji sensibilitas pendengarannya. Namun, aku heran kenapa kulitnya yang cerah tidak kunjung gosong.

Kami memandang angkasa. Seekor burung melesat di latar biru langit bersaput gumpalan awan. Warna hijau dan sedikit jingga yang menyapu bulu-bulunya tampak samar di ketinggian.

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Asief Abdi mengeset kamera/Royyan Julian

“Itu burung kirik-kirik laut,” terang Asief. 

“Kirik-kirik laut,” sahutku. “Berarti ada kirik-kirik darat?

“Enggak ada. Yang ada kirik-kirik senja.” Seperti sudah bisa memahami pertanyaan yang siap kulontarkan, buru-buru Asief melanjutkan, “Mereka suka nongkrong saat senja.”

Apakah burung itu juga hobi mejeng di Capak?

Dari utara, tiga ekor burung terbang. Asief menunjuk ketiga hewan yang sedang menuju selatan tersebut. “Itu kowak malam.”

“Kenapa keliaran siang-siang begini?”

“Mungkin habis kelar ngopi.” Asief mengedipkan mata sipitnya.

Sementara dari timur laut, seekor burung jumbo terbang menuju barat daya. “Kalau itu…“ kalimatnya tersekat. “Oh, tunggu. Ya Tuhan! Itu bukan seperti yang kita lihat di Capak tadi.” Asief nanap dan aku tidak tahu mengapa ia nanap.

“Kenapa?” Aku tak sabar.

“Enggak ada merah di lehernya. Tapi aku enggak yakin. Aku belum pernah melihat dia di sini.”

Cara Asief berkata ‘dia’ untuk burung itu seperti terperangah memergoki mumi Firaun Tutankhamun bangkit dari peti mati dan bergentayangan di Madura.

Kini burung tersebut melayang-layang sebentar di atas padang lembang, mengepakkan sayap-sayapnya yang terentang hampir dua meter sebelum merasuk ke rimbun belukar itu.

“Jadi, itu apa?” desakku.

“Cangak abu.” Pandangannya menerawang ke ufuk barat bagai tertegun usai dijatuhi wahyu.

“Apa?” tanyaku sekali lagi.

“Cangak abu.”

Oke, cukup. Terlalu banyak nama burung dengan bunyi ‘k’ yang ditampung otakku hari ini. Cangak, kowak, kirik-kirik, kuntul, kipasan, kapasan, blekok, tikusan, tekukur, perkutut, cekakak, kutilang, kareo. Satu kali lagi ia menyebut burung dengan bunyi ‘k’, aku bakal semenderita membaca novel Gabriel Garcia Marquez, Seratus Tahun Kesunyian, yang punya banyak sekali tokoh bernama hampir sama dan harus kuingat satu per satu.

Namun, aku senang menjadi saksi ia menerima momen eureka. Itu artinya, aku pembawa keberuntungan. Jadi, tidak ada alasan lagi baginya untuk enggan mengajakku ke perjalanan semacam ini. Membicarakan alam di alam jauh lebih menyenangkan ketimbang membincangkannya di kafe. Di sini, aku bisa belajar banyak karena Asief akan menunjuk contoh-contohnya secara langsung.

Kini, Asief tengah berusaha membidik seekor dara laut yang melayang-layang di hadapan kami. Ketika seekor anak nila mencaplok anggang-anggang yang berselancar di permukaan air, burung itu menukik dan mematuk sang ikan. Yang memangsa akan dimangsa. Sebuah gambar rantai makanan yang sempurna.

“Susah sekali memotret burung terbang.” Asief mendesah. “Sebenarnya dulu aku punya foto dara laut yang bagus, tapi diambil dosenku buat buku pelajaran.”

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Cangak abu terbang di angkasa/Asief Abdi

Waktu menerabas pukul sepuluh. Asief menginjak patok kepemilikan tanah di pematang buntung itu. Lalu ia berkata dengan masygul, “Cepat atau lambat, kawasan ini akan sepenuhnya menjadi ladang. Bahkan, kita belum tahu, kehidupan macam apa yang bersemayam di relung semak lembang itu.” Aku jadi ikut pilu. “This wetland, Dude, is the last sanctuary for those birds.”

Suaka penghabisan, ramal Asief. Entah ke mana burung-burung tersebut akan pergi. Mungkin ke mata angin akhir zaman. Kepunahan niscaya yang senantiasa mengintai keberadaan satwa-satwa liar. Aku berusaha menghalau bayangan duka yang berputar-putar dalam pikiranku. 

“Makan soto Keppo kayaknya enak.” Kurasa Asief juga sedang melenyapkan gundah dengan kalimat itu.

Memang tak ada ide yang lebih baik daripada sarapan terlambat dengan semangkuk soto bertabur suwir daging ayam. Ayam pedaging yang sulit disentuh ancaman kepunahan. Namun, berkah keberlangsungan spesies harus mereka tebus dengan hidup yang begitu singkat dan menderita.

Lalu, perasaan lega mengalir saat aku sadar bahwa burung-burung di sini tidak bernasib sengsara sebagaimana ayam-ayam yang terhidang di meja makan manusia. Tak ada yang bisa menerka, ke mana takdir akan membawa burung-burung itu. Namun, setidaknya aku tahu, mereka pernah bahagia.


Foto sampul: Burung layang-layang batu bertengger di sebilah bambu (Asief Abdi)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-2/feed/ 0 39901
Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (1) https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-1/ https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-1/#respond Sat, 07 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39896 “Tak ada burung yang tak menarik,” tukas Asief agak berteriak ketika suatu malam kami berdua sedang nongkrong di kedai kopi. Kata-katanya bertabrakan dengan deru kendaraan. Juga bersaing dengan suara Didi Kempot dari pengeras suara yang...

The post Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
“Tak ada burung yang tak menarik,” tukas Asief agak berteriak ketika suatu malam kami berdua sedang nongkrong di kedai kopi. Kata-katanya bertabrakan dengan deru kendaraan. Juga bersaing dengan suara Didi Kempot dari pengeras suara yang tergantung di dinding: Manuke manuke cucak rowo, cucak rowo dowo buntute, buntute sing akeh wulune, yen digoyang ser-ser aduh pnake.

“Apa yang mengesankan dari burung?” aku penasaran. 

“Banyak, tapi yang paling menarik adalah tantangannya. Mereka terbang. Enggak mudah menjadi seorang pengamat burung.” Pria 32 tahun itu terdengar setengah bangga.

“Kurasa ikan juga sulit diamati, tapi kamu enggak tertarik.” 

“Menyelam adalah aktivitas yang enggak mungkin kulakukan,” tanggapnya santai, “itulah kenapa aku cuma suka memancing.”

“Jadi, kapan kamu mau mengajakku melihat-lihat burung?”

“Kamu enggak bakal tahan bergeming berjam-jam,” tukasnya meremehkan. Jawaban serupa juga kerap Asief lontarkan saat aku ingin ikut memancing.

“Bung, memancing itu aktivitas kontemplatif,” ujarnya rada menggurui. “Enggak penting seberapa sering kailmu tersangkut mulut ikan. Yang penting, seberapa suntuk kamu menunggu waktu. Bagiku, esensi memancing adalah pelajaran hidup tentang ketabahan.”

Yang benar saja. Ia kira aku tidak sabar? Jangan salah. Aku pernah ikut sesi meditasi vipassana di Lapangan Kenari di kompleks Borobudur. Dituntun Bante Santachitto. Lulusan Myanmar. Buddha Theravada. Di tengah banyaknya peserta yang menyerah, aku bertahan sampai selesai. Perkara konsentrasi atau tidak, lain urusan. 

“Tapi kamu meditasi cuma tiga puluh menit,” cecarnya, “mengamati burung, kamu bakal telungkup sampai tiga jam.”

Apa susahnya? Aku bisa tidur selama delapan jam.

Sebenarnya aku penasaran dengan aktivitas kawanku itu. Empat tahun silam, kepadaku ia memperkenalkan diri dengan nama ‘Asep’. Kupikir ia bukan orang Madura. Kita cuma akan menjumpai nama ‘Asep’ di KTP orang-orang Sunda. Ternyata, itu cuma nama kecilnya. Namun, tetap saja, meski terdengar kearab-araban, untuk generasinya nama Asief Abdi tak lazim digunakan di Madura. Di sini, orang menggunakan nama Arab yang cukup familiar. Katakanlah Saiful Rohman. Masalahnya, kawanku itu juga tidak cocok menyandang nama Saiful Rohman. Ia terlihat sangat tidak Saiful Rohman.

Khazanah Burung di Ladang Basah

Maka, di Minggu pukul enam yang gigil, kami berangkat ke Capak yang berjarak lima belas kilometer ke arah timur dari pusat kota Pamekasan. Kampung itu masyhur di kalangan anak-anak muda jamet dan pencinta senja. Rasanya kurang afdal jika Instagram mereka tak memajang foto-foto dengan latar jalur Capak yang terapit tambak luas bertepi barisan pohon kuda.

Namun, pagi itu tak ada abege. Hanya orang-orang dewasa yang tengah jogging dan menghabiskan vakansi. Cahaya keemasan menyelimuti kayu-kayu jaran dan jatuh di permukaan tambak yang tenang. 

“Lihat itu.” Sambil mengemudi, Asief menunjuk sisi kiri. Ke ufuk timur. “Itu dara laut.” Burung itu melayang-layang di atas permukaan air.

Kupikir dara laut satu keluarga dengan merpati, tekukur, atau perkutut. Ternyata tidak. Burung yang didominasi warna putih itu lebih mirip camar. Setidaknya menurut mata awamku.

“Kita akan mencari wetland.”

“Apakah lahan basah menjadi satu-satunya lokasi yang bisa diharapkan para pengamat burung di Madura?” responsku di belakang punggungnya. 

“Beruntung kita masih punya rawa-rawa. Setidaknya kita masih punya berbagai burung air. Hutan-hutan di Jawa menjadi habitat burung-burung dengan ornamen lebih kaya, dengan warna bulu lebih semarak. Di sini, sulit mencari burung semacam itu. Paling cuma kutilang yang mengoceh seharian. Mereka ada di mana-mana.”

“Warna ‘itu-itu saja’ burung-burung di sini mungkin disepuh kontur lanskap alam Madura yang monoton. Karakter burung mengikuti habitatnya.”

“Itulah kenapa ada jargon yang terkenal di antara para pengamat burung: kenali burungmu, kenali negerimu.”

Di dekat sebuah genangan, motor kami parkir. Ketika kaki kami melangkah, kawanan kuntul terbang berhamburan menjauhi tepi dan mendarat di sisi yang lain, di jarak yang tak mungkin kami jangkau.

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Sekawanan kuntul sedang berkumpul/Asief Abdi

“Semua burung sensitif. Mereka enggak mau dekat-dekat manusia,” Asief menjelaskan. “Ayo bergerak pelan-pelan. Tundukkan pandanganmu. Kontak mata bakal bikin mereka buyar.”

“Kenapa begitu?”

“Kita punya mata predator, Bung. Mereka akan merasa terancam.”

Kita adalah ‘wajah yang lain’ bagi makhluk-makhluk itu. Namun, mungkin istilah ‘wajah yang lain’ juga tak tepat. Emmanuel Levinas, filsuf Lithuania itu, sepertinya tidak bermaksud menggunakan metafora ‘wajah’ sebagai renungan etis yang ditujukan kepada hewan nonmanusia. Bukan kesadaran, mungkin kepekaan kontak mata tersebut merupakan insting tajam yang telah diasah waktu.

Yang jelas, reaksi burung-burung itu sudah tepat. Salah satu faktor kesintasan dan prestasi evolusi suatu spesies bergantung pada rasa takut. Spesies-spesies bonek berpotensi punah. Rasa gentar adalah sikap pragmatis, sedangkan keberanian kadang membunuh. 

Itulah mengapa Asief merangkak di balik belukar untuk merawat rasa aman para kuntul. Aku mengendap-endap di belakangnya. Ketika berhenti, ia merogoh seperangkat Canon dari dalam tas, lalu membidikkan mata kamera ke kawanan satwa itu dari celah semak.

“Burung-burung itu satu flock,” Asief menjelaskan sekelompok kuntul yang sedang mencari makan. “Yang besar namanya kuntul besar, yang kecil namanya kuntul kecil. Kuntul kebo paruhnya kuning, tapi di situ enggak ada.”

“Kalau yang leher pendek itu?” timpalku dengan telunjuk yang menunjuk.

“Blekok sawah. Kayak bambangan.”

“Bedanya dengan blekok?”

“Bambangan lebih langka.” Benar-benar jawaban yang tidak memuaskan. “Ya, mereka satu keluargalah.” Sepertinya dia bisa membaca pikiranku.

“Di sini aku merasa bebas,” ucap Asief sambil menghirup udara dengan kaki selonjor seusai memotret. Wajahnya semringah, tetapi tidak berlebihan. “Bagiku, ini momen transendental.” Terdengar sangat new age. Mungkin sebentar lagi ia overdosis jamur halusinogen, tetapi tercerahkan. “Kita pindah ke Polagan.”

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Asief Abdi memotret kuntul di balik semak-semak/Royyan Julian

Dicari: Persaudaraan Pengamat Burung Madura

Menuju desa itu, kami melaju di pematang ladang tembakau yang hijau pekat dan subur. Aku mesti menghindari dahan-ranting semak beluntas dan widuri yang berjejer di sisi kanan-kiri. Di seutas kabel tiang listrik, seekor raja udang biru bertengger. Asief berhenti. Hewan itu terbang.

“Burung itu enggak bakal kabur kalau kita enggak berhenti dan enggak menatapnya. Nalurinya peka dan kita dianggap pemangsa,” ucap Asief sembari melanjutkan perjalanan.

“Sebenarnya apa tujuan kalian mengamati burung?” Aku bertanya dengan daftar penasaran yang sudah kususun.

“Para profesional melakukannya untuk tujuan riset. Fotografer bisa menjual gambar burung ke situs-situs komersial kayak Shutterstock atau Dreamstime. Tapi orang kayak aku mengamati burung cuma hobi.”

Dan hobi mengamati burung memang gayung bersambut dengan latar studi Asief. Ia hafal banyak spesies lengkap dengan nama latinnya. Dahulu, cowok ramping ini belajar biologi di Universitas Negeri Malang dengan konsentrasi botani. Sejak 2012, ia suka keluyuran di hutan, kebun raya, taman nasional, dan cagar alam untuk mengamati anggrek. Namun, beberapa tahun terakhir ia memperluas hobinya dengan memantau burung. Maka untuk menarik para pengamat burung di Madura, ia membuat akun Instagram Madura Birdwatching. 

“Sayang, di sini aku enggak punya saudara seiman, orang-orang yang juga memiliki kegemaran yang sama denganku,” ratapnya. Mungkin karena akun Madura Birdwatching gagal menyatukan persaudaraan itu. 

Untuk merawat hobi, selain tetap rutin jalan-jalan di alam, Asief juga berkorespondensi dengan pengamat burung lainnya di media sosial. Namun, belakangan ia lebih banyak melakukan aktivitasnya sendiri. Hanya sesekali ia mengontak kawan-kawannya saat tak tahu jenis burung yang baru dijumpainya.

“Para pengamat burung melakukan pertemuan tahunan. Tahun ini mereka ketemuan di Bali. Temanku juga pernah ikut lomba mengamati burung di sana dan juara satu.”

“Lomba mengamati burung?” tanyaku sedikit terkejut. Setahuku, kompetisi yang berkaitan dengan burung cuma balap merpati dan adu kicau. 

“Para kontestan mencatat burung-burung yang mereka temukan. Juga ada sesi presentasi dan tanya-jawab.”

“Tapi aku bisa menjadi saudara seimanmu,” godaku, berusaha mengembalikan keluh kesahnya di awal perbincangan. “Aku suka alam liar beserta isinya.”

“Iya, sih…” lalu senyap. Lidahnya macet. Ia tampak memikirkan sesuatu untuk diucapkan. “Tapi kamu penyair, Bung!” Akhirnya ia berkata dengan rasa bersalah yang tegas. Pipinya bersemu merah. Aku bisa melihatnya dari kaca spion.

“Omong kosong,” sahutku meringis. Aku tahu sebenarnya ia ingin berkata: Enggak. Kamu bukan pencinta alam, bukan pencinta burung, dan enggak pantas.

Namun, tidak apa-apa. Justru karena berjuang sendirian di pulau yang tampak tidak menjanjikan ini, seluruh apa yang ia kerjakan jadi masuk akal untuk disebut eksentrik. Belajar-mengajar biologi dan menekuni makhluk-makhluk liar. Ketika anak-anak muda Madura saling berlomba mengejar karier polisi, tentara, dan profesi “Halo, Dek” lainnya, Asief mengendus bunga bangkai hingga ke rimba Bengkulu serta giat menulis perkawinan antara alam dengan budaya.

Aku berani bertaruh, pemuda 170 senti ini adalah satu-satunya naturalis yang hidup di Madura.

(Bersambung)


Foto sampul: Rawa-rawa di Polagan (Asief Abdi)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-1/feed/ 0 39896