backpacking Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/backpacking/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 17 Aug 2019 10:32:42 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 backpacking Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/backpacking/ 32 32 135956295 Bermodal Setengah Juta, Melanglang ke Pulau Dewata https://telusuri.id/melanglang-ke-pulau-dewata/ https://telusuri.id/melanglang-ke-pulau-dewata/#respond Tue, 07 May 2019 16:00:58 +0000 https://telusuri.id/?p=13743 Tak disangka, obrolan di warung kopi itu berujung pada sebuah rencana untuk liburan. Kami memang mulai jenuh dengan rutinitas, dengan deadline, dengan suara mesin tik yang bersahut-sahutan. Tapi, mau liburan ke mana? Setelah menimbang-nimbang, saya...

The post Bermodal Setengah Juta, Melanglang ke Pulau Dewata appeared first on TelusuRI.

]]>
Tak disangka, obrolan di warung kopi itu berujung pada sebuah rencana untuk liburan. Kami memang mulai jenuh dengan rutinitas, dengan deadline, dengan suara mesin tik yang bersahut-sahutan. Tapi, mau liburan ke mana? Setelah menimbang-nimbang, saya dan tiga orang teman akhirnya memutuskan destinasi yang bakal dituju: Pulau Dewata.

Destinasi sudah ditentukan. Selanjutnya kami memikirkan atraksi-atraksi yang bakal dihampiri selama perjalanan empat hari tiga malam itu. Alih-alih Bedugul, Tanah Lot, Sanur, Kuta, GWK, Uluwatu, dll., nama-nama atraksi wisata yang muncul kemudian terdengar asing bagi saya. Tapi tak apa-apa. Sepertinya menarik. Apalagi kami semua sepakat untuk menyediakan bujet (hanya) Rp500.000/orang untuk perjalanan ini.

Keesokan harinya kami memesan tiket kereta api. Semula kami akan menumpang KA Probowangi jurusan Surabaya-Banyuwangi yang ongkosnya hanya Rp56.000. Namun, saat kami mengecek tiket di laman pemesanan, semua kursi Probowangi sudah ludes dibeli. Kami sempat bingung sebab waktu sudah semakin mepet. Untungnya masih ada KA Sri Tanjung 194 yang ongkosnya sedikit lebih mahal ketimbang Probowangi, yakni Rp88.000.

pulau dewata
Handara Golf/Luqmannul Hakim

Dengan tiket KA Sri Tanjung dalam genggaman, Senin, 18 Maret 2019, kami berangkat pukul 14.00 WIB. Dalam perjalanan ke Banyuwangi, kami lebih sering terlelap. Setelah sekitar tujuh jam meluncur di rel, suara masinis membahana lewat pengeras suara, memberitahukan bahwa sebentar lagi kereta akan tiba di tujuan akhir. Sekira pukul 21.00 WIB kami sampai di Stasiun Banyuwangi Baru.

Karena Pelabuhan Ketapang hanya selemparan batu dari stasiun, kami berjalan kaki ke sana. Sebentar saja, hanya tiga menit ke arah timur. Kalau dihitung-hitung barangkali jaraknya hanya sekitar 350 meter.

Menyeberang ke Pulau Dewata

Setiba di pelabuhan, kami langsung membeli tiket ferry Ketapang-Gilimanuk seharga Rp6.500. Fasilitas di ferry itu ternyata lumayan bagus. Ada Wi-Fi gratis. Selain itu deknya juga penuh musik—kalau mau kamu juga bisa karaoke. Alhasil, “pelayaran” selama 45 menit itu tak terasa lama.

Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 WITA saat kami tiba di Pulau Dewata. Kami sempat kebingungan harus melakukan apa sebab ternyata bus dari Gilimanuk ke Terminal Ubung Denpasar baru ada jam 2 dini hari WITA. Kalau mau menunggu, lumayan lama juga—3 jam! Untungnya, pucuk dicinta ulam pun tiba. Seorang pria kurus dengan topi di kepala dan handuk di leher datang menghampiri kami. Ia menawarkan jasa travel.

Semula ia memberikan harga Rp50.000/orang. Tapi kami mencoba menawar. Maklum, kami hanya bawa uang Rp500.000/orang. Setelah negosiasi lumayan alot, ongkos berhasil kami pangkas. Per orang, kami hanya perlu membayar Rp40.000. Sisa Rp10.000 bisa kami sisihkan untuk bekal jajan selama di Bali. Tidak berlama-lama, uang kami kumpulkan. Kemudian kami meluncur sejauh 117 km, dengan waktu tempuh sekira 3 jam 15 menit, menuju Terminal Ubung, Denpasar.

pulau dewata
Air Terjun Sekumpul/Luqmannul Hakim

Perjalanan kami sempat terhambat oleh pembangunan jalan. Namun, selebihnya tak ada halangan berarti. Setelah berjam-jam melewati jalanan yang diapit oleh pohon-pohon besar dan rumah-rumah penduduk yang berjejeran, kami tiba di Terminal Ubung. Masih pagi sekali, jam 3 dini hari WITA.

Saya segera menghubungi teman yang bekerja di Bali. Namanya Vina. Ia berambut cepak, berkulit putih, dan asli Malang. Dulu, sebelum merantau untuk menjadi pengajar bahasa Mandarin di Bali, ia bekerja di Surabaya. Saya berkenalan dengannya di Dieng Culture Festival 2018. Sebelum berangkat kemarin, saya menghubunginya dan ia mempersilakan saya dan teman-teman untuk tinggal di kediamannya. Ternyata tempat tinggal Vina tak jauh dari Ubung. Kami hanya perlu menumpang ojek-mobil online selama sekitar 15 menit dengan tarif Rp.8.000.

Vina menanti kami di depan sebuah gerbang berkapur hitam. “Hai! Apa kabar?” ia tersenyum riang lalu menyalami kami satu per satu. Kami pun diberikan tempat untuk beristirahat. “Kalau mau mandi, toiletnya di sana, ya,” katanya sambil menunjuk arah kamar mandi.

Dua hari keliling Bali naik motor

Selasa menjelang siang, 19 Maret 2019, dengan sepeda motor sewaan (Rp60.000/hari), kami mulai menelusuri Bali.

Atraksi pertama yang kami datangi ialah Handara Golf yang berada tak jauh dari Bedugul. Meskipun tempat ini sedang ngehits di media sosial, ternyata tiket masuknya lumayan terjangkau, yakni Rp20.000/orang. Handara Golf pas sekali kalau didatangi sore-sore menjelang matahari terbenam, sebab pemandangannya amat menawan.

pulau dewata
Desa Adat Penglipuran/Luqmannul Hakim

Saat jarum jam menunjukkan pukul 14.15 WITA, kami melaju dari Handara ke utara menuju Air Terjun Sekumpul. Perjalanan sejauh 21 km itu kami tempuh selama satu jam. Yang membuat Sekumpul menarik adalah lokasinya yang tersembunyi. Bahkan, untuk ke sana kami mesti berkendara melewati jalan yang masih berlapis kerikil dan bebatuan.

Untuk menyaksikan keindahan kawasan air terjun yang masih tampak alami itu, wisatawan domestik seperti kami hanya perlu membayar Rp15.000/orang. Kami berkeliaran di kawasan Air Terjun Sekumpul sampai pukul 17.00 WITA. Sebelum hari sepenuhnya gelap, kami bergegas kembali ke rumah Vina.

Keesokan harinya, Rabu, alarm membangunkan kami pukul 09.00 WITA. Dua jam kemudian, kami meluncur ke utara, ke arah Bangli, untuk menyambangi Desa Adat Penglipuran. Dari Ubung, desa ini lumayan jauh, terpaut sekitar 43 km. Untuk ke sana, kami mesti berkendara selama sekitar sejam.

Setelah membayar tiket Rp15.000/orang, kami berjalan mengitari desa penerima Kalpataru tahun 1995 itu. Hari itu desa sesak oleh wisatawan, dari mulai mereka yang sekadar berdarmawisata sampai siswa-siswa yang sedang merayakan perpisahan. Udara segar sekali, sebab tidak ada kendaraan yang lalu-lalang di tengah-tengah desa. Selain itu, merokok juga hanya diizinkan di tempat-tempat yang sudah ditentukan.

pulau dewata
Campuhan Ridge Walk/Luqmannul Hakim

Dari Bangli, kami turun ke Ubud, Gianyar, untuk ke Bukit Campuhan (Campuhan Ridge Walk). Perlu waktu sekitar satu jam untuk menempuh jarak sekitar 30 km. Setiba di tempat parkir, kami trekking sekitar seperempat jam lewat jalan agak menanjak yang sudah dipaving. Campuhan Ridge Walk adalah sebuah setapak di tengah-tengah bukit yang dari jauh tampak seperti punggung naga. Kanan-kirinya dihiasi rerumputan hijau. Di sisi trek ada dua pohon besar yang bikin pemandangan jadi lebih indah. Melihat betapa menawannya Campuhan, saya tak heran kalau banyak pasangan yang menjadikan tempat ini sebagai lokasi foto prewedding.

Saatnya pulang

Lagit yang mulai gelap menandai akhir perjalanan kami di Pulau Dewata. Dari Campuhan kami kembali ke rumah Vina. Sembari menunggu pergantian hari, kami mencoba menghitung pengeluaran selama di Pulau Dewata. Uang Rp500.000 yang kami bawa ternyata cukup. (Bahkan, sebenarnya, masih ada sisa Rp100.000 dalam dompet saya.)

Pagi-pagi sekali keesokan harinya kami mengucapkan selamat tinggal pada Vina dan beranjak meninggalkan Bali. Kami naik bus menuju Gilimanuk dari Terminal Ubung. Ongkosnya Rp40.000—kali ini tak ada negosiasi lagi sebab harga yang ditawarkan sudah lebih murah ketimbang harga awal yang dipatok saat berangkat. Di Banyuwangi Baru, kami melompat ke dalam gebang KA Probowangi yang berangkat pukul 14.00. Kali ini sudah Waktu Indonesia Barat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bermodal Setengah Juta, Melanglang ke Pulau Dewata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melanglang-ke-pulau-dewata/feed/ 0 13743
Kok Backpacking Bisa Murah, Sih? https://telusuri.id/kok-backpacking-jadi-murah-sih/ https://telusuri.id/kok-backpacking-jadi-murah-sih/#respond Mon, 22 Apr 2019 00:00:49 +0000 https://telusuri.id/?p=13433 Gaya melancong backpacking belakangan ini diminati para pejalan dalam negeri. Kalau ditanya alasan kenapa memilih backpacking, sebagian besar barangkali bakal menjawab: karena murah. Tapi, kok bisa sih melancong dengan gaya backpacking bisa jadi murah gitu?...

The post Kok Backpacking Bisa Murah, Sih? appeared first on TelusuRI.

]]>
Gaya melancong backpacking belakangan ini diminati para pejalan dalam negeri. Kalau ditanya alasan kenapa memilih backpacking, sebagian besar barangkali bakal menjawab: karena murah.

Tapi, kok bisa sih melancong dengan gaya backpacking bisa jadi murah gitu? Apa karena ada mantra ajaib di ransel-ransel besar yang dipanggul para backpacker itu? Kalau penasaran, simak saja empat hal yang bikin backpacking jadi murah berikut:

Backpacking jadi murah
Seorang backpacker sedang mengagumi matahari via pexels.com/Taísa Maar

1. Bujet harian yang dikelola secara ketat

Seorang backpacker biasanya mengelola bujet hariannya secara ketat. Kenapa? Soalnya pengelolaan bujet inilah yang bakal menentukan sejauh mana dan selama apa dia bertualang. Makin boros dia, makin cepat uangnya habis, makin cepat pula dia pulang (atau kerja keras lagi supaya bisa meneruskan perjalanan).

Biasanya para backpacker bakal mencatat pengeluaran hariannya supaya bisa mengontrol keseimbangan neraca keuangan. Kalau ada yang “bocor” di pos akomodasi, misalnya, mereka bakal lebih irit di pos transportasi, atau pos nutrisi (alias makanan), atau pos-pos lain selama memungkinkan.

Dalam perjalanan yang cuma berlangsung beberapa hari, pengelolaan bujet ini mungkin belum bakal kelihatan manfaatnya. Tapi, dalam petualangan berminggu-minggu atau berbulan-bulan, pengelolaan bujet ini bakal kerasa banget efeknya.

Backpacking jadi murah
Ilustrasi penginapan murah via pexels.com/Pixabay

2. Pilihan akomodasi yang bersahaja

Bagi kebanyakan backpacker, menginap di hostel atau guesthouse lebih masuk akal ketimbang bermalam di hotel berbintang; mereka bisa tinggal lebih lama di destinasi itu. Kenapa? Soalnya tarif semalam di hotel berbintang barangkali sebanding dengan tarif tiga-empat malam di hostel atau guesthouse.

Selain tarifnya, yang bikin hostel atau guesthouse jadi “menarik” adalah suasananya. Di hotel berbintang, agak susah buat menyapa orang dan ngobrol-ngobrol di lobi atau restoran. Sementara itu, di hostel atau guesthouse gampang banget buat membuka obrolan, entah di kamar, di pantry waktu sarapan (gratis), atau sore-sore waktu nongkrong di kursi depan.

Di kota-kota yang pariwisatanya sudah berkembang, biasanya ada kawasan-kawasan tertentu yang penuh dengan akomodasi bersahaja buat para backpacker. Kalau di Indonesia, contohnya adalah Jalan Sosrowijayan di Jogja dan Poppies Lane di Kuta.

Backpacking jadi murah
Backpacking adalah soal kebebasan via pexels.com/Rawpixel.com

3. Tidak diatur oleh penyelenggara tur

Backpacking identik dengan kemandirian. Ketimbang ikut tur—misalnya 3D2N Kota X, 5D4N Kota Y—para pelancong ransel lebih suka mengatur sendiri perjalanannya. Selain lebih fleksibel, mengatur sendiri perjalanan juga bakal menghemat pengeluaran.

Maklum saja. Namanya jualan jasa, pasti penyelenggara-penyelenggara tur akan menyisihkan keuntungan dari perjalanan yang mereka adakan. Semakin “kompleks” perjalanan itu, semakin besar pula marginnya. ‘Kan mereka harus membayar tenaga banyak orang.

Meskipun demikian, terkadang ada masanya para backpacker bakal menggunakan jasa tur di destinasi, biasanya buat pergi ke atraksi-atraksi yang aksesnya lumayan susah kalau disambangi sendiri. Tapi, ketimbang tur 3D2N ke Kota X, Y, Z dsb. dsb. itu, tur seperti ini tarifnya biasanya nggak beda jauh daripada pergi secara mandiri.

Backpacking jadi murah
Rehat sejenak via pexels.com/Fancycrave.com

4. Lebih banyak membawa pulang pengalaman daripada “buah tangan”

Backpacking jadi murah karena para backpacker lebih banyak membawa pulang pengalaman daripada “buah tangan” alias oleh-oleh. Sebenarnya pilihan untuk mengurangi oleh-oleh ini bukan cuma karena alasan finansial, tapi juga karena terbatasnya wadah buat ngangkut. Ingat, Sob, ‘kan bawaannya cuma ransel besar (plus daypack, mungkin).

Pun membeli oleh-oleh, para backpacker paling cuma nyelipin benda-benda yang nggak terlalu memakan tempat, seperti kaos (yang bisa dilipat), gantungan kunci, emblem, stiker, dll. Selain itu, biasanya mereka juga bakal membeli oleh-oleh itu di etape akhir perjalanan mereka. Alasannya apa lagi kalau bukan supaya mereka nggak kehabisan duit di jalan.

Jadi, Sob, backpacking itu bukan sekadar jalan-jalan memanggul ransel saja, tapi persoalan mindset. “Traveling murah” bagi para backpacker bukan buat bangga-banggan, tapi kemestian. Soalnya, kalau nggak bisa cari yang murah-murah, mereka nggak bakal bisa traveling jauh dan lama.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kok Backpacking Bisa Murah, Sih? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kok-backpacking-jadi-murah-sih/feed/ 0 13433
Nostalgia saat Pertama Kali ke Bali https://telusuri.id/pertama-kali-ke-bali-bersama-teman/ https://telusuri.id/pertama-kali-ke-bali-bersama-teman/#respond Sat, 23 Feb 2019 09:22:04 +0000 https://telusuri.id/?p=11851 Sekitar 11 tahun yang lalu, saya pergi ke Bali bersama seorang teman satu SMA untuk pertama kali . Ngeteng. Dari Jogja, kami naik Kereta Api Sri Tanjung yang saat itu belum dipasangi pendingin ruangan. Ongkosnya...

The post Nostalgia saat Pertama Kali ke Bali appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekitar 11 tahun yang lalu, saya pergi ke Bali bersama seorang teman satu SMA untuk pertama kali . Ngeteng. Dari Jogja, kami naik Kereta Api Sri Tanjung yang saat itu belum dipasangi pendingin ruangan. Ongkosnya masih Rp 38 ribu dan jadwalnya masih berantakan. (Lagu Iwan Fals masih relevan.) Berangkat pagi jam 7, kami sampai di Banyuwangi sekitar jam 11 malam, telat dua jam dari jadwal.

Dari Banyuwangi Baru, kami langsung jalan ke Pelabuhan Ketapang. Grasa-grusu, kami beli tiket ferry. Lalu, sebelum masuk ke dalam ferry, karena takut tidak dapat bis menuju Denpasar malam itu juga—maklum nubie—kami naik bis Surabaya-Denpasar. Ongkos bis itu, seingat saya, Rp 35 ribu. Sebelum terang kami sudah tiba di Terminal Ubung.

nostalgia bali
Main bola di Pantai Kuta/Fuji Adriza

Seperti halnya kebanyaan nubie di masa itu, yang kami tuju di Bali adalah Pantai Kuta. Tapi, bagaimana cara ke Kuta dari Ubung kami sama sekali tak mengerti. Untung pagi itu banyak orang di Ubung sehingga kami bisa bertanya soal arah yang harus kami ambil jika hendak ke Kuta.

“Ntar ketemu perempatan luruuuus aja terus sampe perempatan terakhir. Ntar belok kanan,” begitu instruksi dari penjual soto ayam yang kami tanyai. Saya tak ingat bagaimana ekspresinya. Tapi kemungkinan ia menahan senyum sebab sepagi itu sudah mendapat pertanyaan absurd: bagaimana cara ke Kuta … jalan kaki dari Ubung?

Layang-layang sialan

Sebagai anak muda yang sok tahu, kami tak serta-merta percaya pada instruksi sang penjual soto. Maka, begitu melihat plang penunjuk jalan di perempatan pertama (Jalan Gatot Subroto), kami sudah debat. Sintesisnya adalah belok kanan ke Jalan Gatot Subroto Barat. Matahari mulai naik dan udara semakin hangat. Agak siang sedikit, layang-layang mulai bermunculan di angkasa.

Di kota tempat saya tumbuh besar, biasanya layang-layang terbang menggerombol di pinggir pantai, lokasi di mana angin selalu bertiup lumayan kencang. Jadi, layang-layang saya anggap sebagai sebuah pertanda bagus. Pikir saya, sebentar lagi kami pasti akan tiba di Kuta.

Tapi, lama-lama saya mengamati bahwa ada sesuatu yang salah: layang-layang menggerombol di segala penjuru. Terus, kalau sudah begini, pantainya yang mana? Iman dan kedua kaki kami mulai goyah. Soto ayam di Terminal Ubung sudah tercerna sempurna. Akhirnya kami berhenti di sebuah kolam renang untuk sarapan. (Itu memang pagi yang absurd.)

nostalgia bali
Layang-layang terbang di langit Bali/Fuji Adriza

Satu atau dua jam di sana, kami melanjutkan perjalanan. Tapi, alih-alih jalan kaki, pada etape ini kami mencegat sebuah angkot butut berwarna kuning. Angkot itu lalu menurunkan kami di perempatan Jalan Imam Bonjol. Dari sana kami naik elf ke sebuah gang kecil dekat Pantai Kuta. Jalan kaki sedikit, akhirnya kami menginjakkan kaki di pantai yang legendaris itu.

Perjalanan itulah yang kemudian memberikan dua pengetahuan baru pada saya: (1) Jarak dari Terminal Ubung ke Pantai Kuta sekitar 11 km dan (2) Pantai Kuta letaknya bukan di Kota Denpasar melainkan di Kabupaten Badung. Intinya: Kuta jauh sekali dari Ubung.

Dua malam paling tidak produktif di Poppies Lane II

Saya bersandar di pagar Pantai Kuta, mengamati pasir yang memanjang sejauh mata memandang, papan-papan selancar yang menunggu untuk dirental, turis-turis berbusana minim yang seolah-olah menyeruak dari majalah-majalah terlarang, dan menoleh ke belakang ke arah papan selancar Hard Rock yang legendaris.

Akhirnya saya melihat Pantai Kuta. Tapi, yang membuat saya heran, jantung saya lebih berdebar-debar saat membayangkan Kuta ketimbang saat melihatnya langsung. Kencan pertama dengan Kuta tidak membuat saya gugup, berkeringat dingin, atau kehilangan kata-kata.

Apakah karena Kuta tidak menarik? Saya rasa bukan. Ini tak ada urusannya dengan daya tarik Kuta. Ini hanya soal bagaimana saya memaknai perjalanan. Entahlah. Sampai sekarang pun saya masih belum mampu mengartikulasikan pengalaman itu. Yang jelas, sejak dari Kuta, saya tak lagi gumunan dengan destinasi-destinasi (yang katanya) indah.

nostalgia bali
Pantai Kuta/Fuji Adriza

Dari Pantai Kuta, kami beranjak ke si kembar Poppies Lane I dan II. Setelah menelusuri kedua gang itu selama beberapa waktu akhirnya kami menemukan sebuah inn yang punya kamar kosong dan harganya sesuai dengan bujet yang sudah kami persiapkan (kalau tidak salah Rp 60 ribu/kamar/malam, tempat tidur ganda). Kami tinggal dua malam di penginapan itu.

Selama tiga hari dua malam di Bali, sebagian besar waktu kami habiskan di sekitar Pantai Kuta untuk jalan kaki atau duduk santai beralaskan sandal jepit di pasir mengamati orang-orang meliuk-liuk bersama papan selancar. Kami tidak menyewa sepeda motor, tidak nongkrong di kafe, tidak party, tidak pijat, tidak ngumpul bareng komunitas (yang memang belum bermunculan di masa itu).

Kami hanya pindah kos selama dua malam ke Poppies Lane II. Sama sekali tidak produktif. Saking tidak produktifnya, setiba di Jogja saya sampai kebingungan harus menulis apa di blog.

Hari ketiga, kami kembali naik elf ke Terminal Ubung, menumpang bis kecil ke Gilimanuk, lalu menyeberangi selat kecil untuk pulang ke Pulau Jawa.

Berjumpa dua orang senior baik hati di ujung timur Pulau Jawa

Di Stasiun Banyuwangi Baru, teman saya sukses ditakut-takuti oleh janitor yang saat itu sedang kebagian tugas membersihkan ubin. Katanya, malam hari di stasiun itu sangat berbahaya. Bahkan beberapa waktu lalu ada orang yang barangnya dicolong ketika ia tidur. Mendengar itu, malam itu juga teman saya itu, dengan dalih harus segera bertemu adiknya, naik kereta api kelas bisnis ke Surabaya.

Uang saya hanya cukup untuk membeli tiket kereta ekonomi ke Yogyakarta. Dikurangi biaya untuk tiket, sisa uang saya hanya seribu rupiah, hanya cukup untuk membeli beberapa tusuk sate kerang di gerbong kereta keesokan hari. Maka tak ada yang bisa saya lakukan selain mencari tempat untuk menunggu pagi di Stasiun Banyuwangi Baru. Saya pun melipir ke tingkat dua dan menggelar mantel di lantai dingin yang ubinnya penuh kotoran kelelawar.

nostalgia bali
Matatahari terbenam di Pantai Kuta/Fuji Adriza

Pagi-pagi sebelum jam 6 saya antre membeli tiket kereta api. Dulu, kesempatan masih terbuka lebar untuk “go show” tanpa harus takut kehabisan tiket, kecuali menjelang libur panjang atau Hari Raya Idul Fitri.

Begitu dapat tiket, saya langsung kembali ke peron dan duduk di salah satu bangku besi. Waktu duduk-duduk santai menunggu jadwal keberangkatan, dari kejauhan saya melihat dua orang pemuda yang menggendong ransel yang kalau dinilai dari muka lebih tua dari saya. Dugaan saya benar, mereka lebih tua. Tapi yang membahagiakan bukanlah fakta bahwa mereka lebih tua dari saya, namun kenyataan bahwa mereka senior saya di kampus, dua tahun di atas saya. (Saya lupa-lupa ingat mereka kuliah di fakultas apa, yang jelas antara kedokteran hewan dan peternakan.) Mereka anggota mapala fakultas yang baru saja turun dari Gunung Rinjani.

Karena dulu tiket Sri Tanjung masih seperti kupon Time Zone, belum ada nomor bangku, penumpang bebas duduk di bangku mana saja asalkan tidak ada orang di sana. Saya duduk dekat kedua senior saya itu. Waktu sarapan, mereka berbasa-basi menawari saya makanan. Karena masih gengsi—padahal lapar—saya bilang saja bahwa saya sudah makan. Tapi, pas di Sidoarjo, ketika makan siang, mendapati bahwa saya tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengonsumsi apa pun, mereka sepertinya insaf kalau saya kehabisan kepeng. Mereka belikan saya nasi rames dan sate kerang. Nasi rames dan sate kerang paling enak yang pernah saya makan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Nostalgia saat Pertama Kali ke Bali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pertama-kali-ke-bali-bersama-teman/feed/ 0 11851