baduy dalam Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/baduy-dalam/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 25 Dec 2021 04:17:57 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 baduy dalam Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/baduy-dalam/ 32 32 135956295 Menengok Minimalisme dalam Diri Masyarakat Baduy (2) https://telusuri.id/menengok-minimalisme-dalam-diri-masyarakat-baduy-2/ https://telusuri.id/menengok-minimalisme-dalam-diri-masyarakat-baduy-2/#respond Sun, 26 Dec 2021 08:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31804 Setelah mengistirahatkan kaki di rumah Teh Sarah dan sebelum matahari tenggelam, saya bersama beberapa kawan meluncur ke sungai. Bebarengan dengan anak-anak kecil yang juga tengah membersihkan diri, kami mencoba keramas menggunakan daun layaknya masyarakat Baduy....

The post Menengok Minimalisme dalam Diri Masyarakat Baduy (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah mengistirahatkan kaki di rumah Teh Sarah dan sebelum matahari tenggelam, saya bersama beberapa kawan meluncur ke sungai. Bebarengan dengan anak-anak kecil yang juga tengah membersihkan diri, kami mencoba keramas menggunakan daun layaknya masyarakat Baduy. Segar!

Kami lalu menghentikan suara keroncongan di perut masing-masing dengan menyantap hidangan yang kami masak bersama Teh Sarah dan keluarga. Dalam kondisi lebih prima, kami kemudian mengadakan bincang-bincang dengan tokoh Suku Baduy. 

Mereka berbagi mengenai sistem kepercayaan, sistem mata pencaharian, hingga sistem pendidikan yang dianut. Dari sini terlihat bahwa masyarakat Baduy telah terbiasa untuk hidup sederhana dengan merasa cukup. Sejalan dengan pernyataan bahwa minimalisme merupakan seni untuk merasa cukup.

Seperti, misalnya, masyarakat Baduy memahami dan menikmati betul cara hidupnya, termasuk cara mentransfer pengetahuan. Mereka tidak menggunakan sistem pendidikan formal untuk itu.

Sungai Baduy
Aliran sungai dalam perjalanan menuju Baduy Dalam/Syaima Sabine Fasawwa

Penjelasan hal tersebut juga didokumentasikan oleh Ekspedisi Indonesia Biru yang dirilis tahun 2015 oleh Watchdoc Image. Salah satu masyarakat Baduy, Ayah Sapri, dalam bahasa lokal berujar, bahwa yang dibutuhkan anak-anaknya untuk bertahan hidup adalah sekolah tani. 

“[Anak-anak] belajar dari saya atau dari ibunya. Meski tak sekolah formal, tapi wajib sekolah bertani, mengerti tanam-tanaman,” terangnya. Dan sama sekali tak ada perasaan minder mengenai cara hidup yang berbeda itu, meskipun masyarakat Baduy sering berpapasan dengan murid sekolah yang berlokasi tak jauh dari tempat tinggalnya.

Begitu pula dalam hal lain. Selama di Baduy, saya mengenakan pakaian warna-warni, membawa telepon genggam, menggendong tas ransel, dan mereka tak terpengaruh sama sekali. Mereka sudah merasa cukup dengan apa yang ada bersama dirinya.

Pengunjung yang singgah di Baduy sama sekali tak menghambat keseharian mereka, apalagi mengikis identitasnya. Masyarakat Baduy mengerti dan menghargai asal-usul mereka sendiri, hingga tetap eksis dan mampu mempertahankan jati dirinya.

Jalur pendakian Baduy
Perjalanan menuju Baduy/Syaima Sabine Fasawwa

Dan sebagai penutup hari, malam itu kami disuguhi durian—gratis. Kami menikmatinya di bawah temaram cahaya bulan saja—tak ada lampu listrik di kawasan ini.

Besoknya, saya menyaksikan bahwa masyarakat Baduy telah memulai hari sejak pagi-pagi sekali. Saya terbangun ketika Teh Sarah tengah membuat api. Mereka berangkat menggarap ladang setelah menyarap.

Prinsip  lain minimalisme terlihat di sini. Minimalisme juga tentang memahami kebutuhan sekaligus kapasitas diri. Dengan begitu, alokasi penggunaan waktu dan energi berjalan efektif serta efisien.

Saya mendapati bahwa waktu bekerja dan waktu beristirahat masyarakat Baduy terbagi seimbang. Tak lebih, tak kurang.

Pun dalam dokumenter tadi, Ayah Sapri berujar, “Pemerintah mendorong agar kami dapat panen setahun dua kali. Tapi adat melarang. Kalau panen setahun dua kali, khawatir kami kelelahan, waktu habis untuk bekerja. Meski panen setahun sekali, asal cukup sandang pangan.”

Masyarakat Baduy
Masyarakat Baduy berjalan beriringan bersama pengunjung/Syaima Sabine Fasawwa

Adapun dari situ jelas terlihat bahwa masyarakat Baduy tentu lebih mengerti betul tentang siapa dan bagaimana dirinya ketimbang orang lain. Atas hal ini, mereka dapat mencapai prinsip work-life balance sebagai sesuatu yang menyatu dalam kehidupan mereka. Dalam hal tersebut, pun, masyarakat Baduy tak menaruh ukuran sejahteranya pada materi belaka, yang sejalan dengan tujuan minimalisme, yakni pembebasan dari keterikatan pada materi duniawi.

Sementara itu, masyarakat modern akrab sekali dengan isu overwork dan burnout akibat pekerjaan, di mana work-life balance jadi barang mahal. 

Di Baduy sendiri, masyarakatnya menggunakan posisi matahari untuk membatasi satu kegiatan ke kegiatan lain, sehingga membentuk keteraturan.

Saya ingin bermalam lebih lama di Baduy, tetapi terik matahari sudah mengajak kami untuk turun dan pulang. Sekitar pukul 07.00, kami mulai meninggalkan pemukiman Baduy. Melewati jalur yang berbeda, kami hanya berjalan selama tak lebih dari dua jam dan tiba di sebuah pasar. Lalu kami menumpang transportasi umum menuju Terminal Ciboleger kembali.

Keluar dari Baduy bak keluar dari satu dimensi lain yang begitu berbeda dan menyenangkan.

Dan tak bisa tidak, mengadopsi minimalisme ala Baduy ke dalam rutinitas saya sebagai bagian dari masyarakat modern merupakan pekerjaan rumah yang bahkan hingga saat ini masih berlangsung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Menengok Minimalisme dalam Diri Masyarakat Baduy (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menengok-minimalisme-dalam-diri-masyarakat-baduy-2/feed/ 0 31804
Menengok Minimalisme dalam Diri Masyarakat Baduy (1) https://telusuri.id/menengok-minimalisme-dalam-diri-masyarakat-baduy-1/ https://telusuri.id/menengok-minimalisme-dalam-diri-masyarakat-baduy-1/#respond Sat, 25 Dec 2021 08:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31801 Lamunan di suatu sore membawa memori saya pada Suku Baduy. Hutan rimbun. Jalan setapak. Padi gogo. Telanjang kaki. Pakaian dua warna. Ikat kepala. Sungai jernih. Madu dan durian. Sunda Wiwitan.  Bukan secara tiba-tiba, ingatan itu...

The post Menengok Minimalisme dalam Diri Masyarakat Baduy (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Lamunan di suatu sore membawa memori saya pada Suku Baduy. Hutan rimbun. Jalan setapak. Padi gogo. Telanjang kaki. Pakaian dua warna. Ikat kepala. Sungai jernih. Madu dan durian. Sunda Wiwitan. 

Bukan secara tiba-tiba, ingatan itu muncul selepas saya menyimak konten linimasa media sosial. Belakangan, tidak sedikit kampanye gaya hidup minimalis gencar digalakkan melalui platform ini.

Kemunculannya hadir untuk meng-counter gaya hidup konsumtif yang marak di era modern. Salah satu buku yang turut ramai dibicarakan kemudian adalah buku karya Fumio Sasaki berjudul Goodbye, Things: The New Japanese Minimalism (2015). 

Sasaki mengenalkan minimalisme sebagai seni mengetahui, memahami, dan mempertahankan hal-hal yang penting bagi diri sendiri. Tujuannya agar manusia terbebas dari rasa kepemilikan. Dengan begitu, jiwanya lebih tenang karena tidak dipusingkan oleh hasrat memiliki sesuatu yang belum tentu diperlukan.

Kampanye itu sontak menghadirkan ingatan saya tentang perjalanan di Baduy. 

Singgah semalaman di kawasan masyarakat adat tersebut, cukup membuat saya menyadari bahwasanya apa yang diupayakan masyarakat modern dengan kampanye hidup minimalisnya saat ini, telah diterapkan masyarakat Baduy sejak lama. 

Semua bermula pada hari ke-11 tahun 2019—dua tahun lalu. Saya berangkat ke Baduy bersama rombongan teman kampus. Bus kami sampai di Terminal Ciboleger pagi-pagi sekali, setelah menempuh perjalanan dari Yogyakarta. Aroma durian segera menyambut kami. Buah berkulit duri itu memang sedang berada pada musim panennya.

Tugu di Terminal Ciboleger
Tugu di Terminal Ciboleger/Syaima Sabine Fasawwa

Sekitar pukul 09.00, saya dan kawan-kawan memulai perjalanan kaki ke Baduy. Beberapa memilih untuk menetap di Baduy Luar, sisanya memutuskan meneruskan perjalanan ke Baduy Dalam. Saya sendiri memilih untuk lanjut melangkah ke Baduy Dalam.

Masyarakat Baduy yang juga akrab disebut sebagai urang Kanekes ini memang terbagi menjadi dua. Urang Tangtu, yakni masyarakat Baduy Dalam, dan Urang Panamping, yakni masyarakat Baduy Luar. Perbedaan paling kentara antara keduanya dapat dilihat dari warna pakaian dan ikat kepalanya. Masyarakat Baduy Dalam menggunakan warna hitam-putih, masyarakat Baduy Luar menggunakan warna hitam-biru tua.

Sepanjang perjalanan, kami ditemani pemandu-pemandu yang berbasis di Banten. Adapun rute jalanan yang kami lalui berupa tanah dan bebatuan saja, yang notabene dibuat sendiri oleh masyarakat Baduy.

Pemukiman masyarakat Baduy Luar
Pemukiman masyarakat Baduy Luar/Syaima Sabine Fasawwa

Selama perjalanan, saya banyak melihat pepohonan. Sayangnya, pengetahuan flora saya buruk sekali. Yang saya tahu, ada banyak pohon nipah di sana. Orang Baduy menggunakan pelepahnya untuk atap rumah. 

Rumah mereka seluruhnya terbuat dari hasil alam: kayu, bambu, pelepah. Ukuran rumah satu dengan lainnya pun cenderung sama. Ada ruang antara tanah dan rumah. Ruang itu digunakan masyarakat untuk menyimpan persediaan kayu, untuk membuat api.

Dalam mendirikan rumah atau hunian, pun, masyarakat Baduy bergotong-royong tanpa imbalan suatu apa. Interaksinya berbasis kekeluargaan dan tidak berorientasi pada materi.

Setelah sekitar 3 jam berlalu, kami sampai di kawasan pemukiman Baduy Luar. Kami rehat sejenak sembari makan siang di dekat jembatan bambu yang besar sekali. Di bawahnya mengalir air sungai yang cukup deras kala itu.

Usai energi kami terisi kembali, rombongan yang bertujuan Baduy Dalam melanjutkan perjalanan, termasuk saya.

Baduy Dalam
Tempat peristirahatan di dekat jembatan bambu/Syaima Sabine Fasawwa

Selain menyaksikan hutan rimbun, selama perjalanan saya acapkali berpapasan dengan masyarakat Baduy. Tanpa alas kaki. Memikul berbagai hasil alam. Setelah memperhatikan dengan lebih seksama, saya mendapati bahwa tak ada satupun dari mereka yang obesitas atau kering-kerontang. Semuanya tampak proporsional. Hal ini mengingatkan saya pada salah satu hakikat minimalisme, yakni mengenai prinsip menggunakan sesuatu dengan secukupnya. Kok bisa?

Bisa! Tampilan fisik yang serupa dalam suatu kelompok masyarakat secara tidak langsung merepresentasikan setidaknya dua hal.

Pertama, mengenai bagaimana mereka memandang sumber daya alam di lingkungannya. Masyarakat Baduy mengelola potensi alam yang ada di sekitarnya tanpa perspektif kepemilikan individu, apalagi konsep menimbun untuk diri sendiri. 

Bukan rahasia lagi bahwa ladang yang ada di alam Baduy dikelola bersama menggunakan aturan adat. Mereka memahami betul mengenai apa saja, bagaimana,  kapan, dan seberapa banyak yang harus ditanam dan dipanen. Alhasil, konsumsi mereka tidak berlebih dan merata.

Sementara itu, masyarakat modern di luar Baduy masih sarat dengan isu ketimpangan. Banyak orang obesitas, tetapi dalam waktu yang sama tak sedikit pula kasus busung lapar.

Kedua, sistem pangan yang berjalan sedemikian rupa menunjukkan bahwa mereka memiliki pengelolaan hasrat yang baik. Pola hidup demikian pada gilirannya melatih mereka untuk terbiasa mengontrol keinginan. Hingga mereka mampu mengambil dan memanfaatkan sesuatu berdasarkan keperluan. Terbukti, hingga hari ini, alam Baduy masih tetap asri.

Pun pada ihwal di luar pangan. Setelah melanjutkan perjalanan dari pemukiman Baduy Luar menuju Baduy Dalam yang memakan waktu kurang lebih dua jam, saya dan beberapa kawan singgah di rumah Teh Sarah dan ambunya. Ambu adalah panggilan untuk ibu. Nah, di kediaman mereka, saya tidak menjumpai tumpukan barang berlebih. Semua terawat dan memiliki fungsinya masing-masing.

Sementara itu, masyarakat modern di luar Baduy, termasuk saya, sepertinya perlu mengambil kelas yoga atau meditasi dulu untuk dapat berlaku seperti itu—untuk menahan keinginan memiliki sesuatu yang sebetulnya tidak diperlukan. Hal ini juga yang menjadi prinsip minimalisme.

Perjalanan menuju Baduy Dalam belum selesai, nantikan cerita selanjutnya!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Menengok Minimalisme dalam Diri Masyarakat Baduy (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menengok-minimalisme-dalam-diri-masyarakat-baduy-1/feed/ 0 31801