bali Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bali/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:55:50 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 bali Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bali/ 32 32 135956295 Siaran Pers: Verified Champions Indonesia dan IKLIM Serukan Aksi Iklim melalui Musik dan Cerita https://telusuri.id/siaran-pers-verified-champions-indonesia-dan-iklim-serukan-aksi-iklim-melalui-musik-dan-cerita/ https://telusuri.id/siaran-pers-verified-champions-indonesia-dan-iklim-serukan-aksi-iklim-melalui-musik-dan-cerita/#respond Fri, 30 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47272 Sekelompok musisi, kreator konten, dan pelaku budaya berkumpul di Bali baru-baru ini. Sebuah langkah kolaboratif sebagai pesan penting untuk Indonesia, bahwa seni bisa menginspirasi masyarakat beraksi mengatasi krisis iklim yang kian melanda bumi. Sejak lama,...

The post Siaran Pers: Verified Champions Indonesia dan IKLIM Serukan Aksi Iklim melalui Musik dan Cerita appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekelompok musisi, kreator konten, dan pelaku budaya berkumpul di Bali baru-baru ini. Sebuah langkah kolaboratif sebagai pesan penting untuk Indonesia, bahwa seni bisa menginspirasi masyarakat beraksi mengatasi krisis iklim yang kian melanda bumi.


Sejak lama, Bali dikenal sebagai salah satu daerah pelopor gerakan lingkungan untuk kepedulian iklim di Indonesia. Hal ini timbul salah satunya karena berangkat dari keresahan terhadap masifnya turisme massal (overtourism), yang kemudian berdampak dan membebani keberadaan alam maupun budaya. Selain inisiatif musisi dan seniman lokal, salah satu kebijakan pemerintah yang patut diapresiasi adalah terbitnya Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018. Peraturan yang berlaku sejak 1 Juli 2019 ini memuat larangan penggunaan plastik sekali pakai, seperti kantung plastik, sedotan, dan polistirena (styrofoam).

Namun, aksi iklim tidak cukup semata bicara soal sains dan kebijakan, tetapi juga pentingnya membangun cerita yang menggugah. Di Pulau Dewata, sekelompok musisi, kreator konten, dan budayawan membuktikan pesan iklim yang paling kuat kerap datang melalui alunan lagu dan lirik musik, pengalaman hidup, dan budaya sehari-hari. 

Di bulan Mei ini, jaringan Verified Champions1 di Indonesia berkolaborasi dengan IKLIM (Indonesia Climate Communications, Arts and Music Lab) untuk menggaungkan betapa musik dan storytelling bisa mempengaruhi pemahaman publik terhadap krisis iklim. Di ajang ini Robi Navicula dan para inisiator IKLIM berbagi pengalaman betapa gerakan budaya bisa meningkatkan kesadaran akan isu iklim dengan cara yang relevan secara emosional dan lokal.

“Seni dan musik itu masuk langsung ke hati. Ketika kita berbicara mengenai isu iklim dalam lirik dan pertunjukkan, itu bukan lagi edukasi—tetapi sudah jadi seruan untuk sadar dan beraksi,” ujar Gede Robi Supriyanto, vokalis dan gitaris Navicula yang juga aktivis lingkungan. Band beraliran musik grunge asal Bali tersebut dikenal karena kerap berkecimpung di dunia aktivisme sosial dan lingkungan.

“Kita tidak hanya menyanyikan lagi, kita membangun gerakan,” tambah pria yang akrab disapa Robi Navicula itu.

Para peserta Verified Champions mewawancarai Robi Naviculo di studio (kiri) dan foto bersama dengan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Klungkung Ni Made Sulistiawati/Dokumentasi Verified Champions Indonesia

Storytelling sebagai ruh gerakan sadar iklim

Alih-alih menggunakan bahasa-bahasa sains yang rumit, pendekatan dengan gaya bercerita atau storytelling justru lebih ampuh untuk membangun ikatan individu maupun kelompok sosial terhadap isu perubahan iklim. Menurut EcoAmerica, sebuah organisasi nonprofit yang berbasis di Washington dan San Fransisco, storytelling lebih memungkinkan fakta-fakta seputar iklim menjadi dekat dan relevan.2 Salah satunya melalui ekspresi seni, baik itu film, musik, atau pertunjukan kebudayaan lainnya.

Di sisi lain, cerita juga dianggap bisa menumbuhkan empati seseorang—bahkan masyarakat dalam skala luas—terhadap pentingnya kesadaran pada masalah global yang mendera bumi. Para pegiat seni selaku komunikator iklim bisa berbagi cerita, membangkitkan motivasi, hingga mendorong audiens mereka untuk ikut berperan mencari solusi dalam menghadapi perubahan iklim.

Begitu pun Verified for Climate dan IKLIM, yang mempunyai keyakinan serupa bahwa storytelling adalah kunci untuk menyambungkan masyarakat dengan fakta, dan menginspirasi aksi-aksi iklim. Lebih konkret, para Verified Champions menggunakan platform sosial media populer seperti TikTok untuk menceritakan isu iklim yang penuh harapan, bernuansa personal, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Sementara IKLIM menggunakan musik, seni, dan ritual budaya demi mendapatkan hubungan emosional yang kuat dengan alam.

“Kami percaya perubahan iklim tidak hanya isu lingkungan, tetapi juga isu budaya,” ujar Saraswati dari IKLIM, yang juga bekerja di Kopernik. “Tradisi, seni, dan nilai spiritual yang kita punya bisa memandu kita mengatasi krisis iklim. Tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara emosional dan kebersamaan.”

Pendekatan itu dibuktikan di Festival Semarapura yang berlangsung pada 28 April–1 Mei 2025 di Klungkung, Bali Timur. Festival tahunan ini menampilkan pertunjukan musik, pameran kreatif yang melibatkan UMKM kriya maupun kuliner, hingga narasi sadar iklim, yang semuanya berakar dari identitas Bali. Selain tarian pembuka Taksu Buana, sejumlah agenda seru lainnya juga memeriahkan festival, seperti Semarapura Run Ecotourism, atraksi budaya, tur desa wisata, hingga parade kesenian khas Klungkung.

Selain merayakan warisan budaya Bali, dalam festival yang dibuka di Monumen Ida Dewa Agung Jambe—dulu bernama Monumen Puputan Klungkung—para Verified Champions bergabung dengan masyarakat setempat untuk mengeksplorasi persinggungan antara budaya, pariwisata, dan keberlanjutan untuk menghadapi desakan tantangan ekologis. Tujuh kreator konten Tiktok terdaftar yang telah terverifikasi sebagai Verified Champions, yaitu Vania Herlambang (Puteri Indonesia Lingkungan 2018), Ikbal Alexander (pendiri Kertabumi Recycling Center), Cynthia Suci Lestari (pendiri Lyfe with Less), Vanessa Budihardja (instruktur fitness Bali), Rafael Deus (kreator pelawan misinformasi lingkungan), Widia Anggia Vicky (kreator konten zero waste dari rumah), dan Dheamyra Aysha (kreator advokasi tata kota). 

Ni Made Sulistiawati, S.H., M.H., Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Klungkung, menyatakan Festival Semarapura merupakan contoh nyata bahwa tradisi dan inovasi dapat bersatu untuk membangkitkan kesadaran dan aksi iklim. Kolaborasi antara kreator muda dan tokoh budaya membawa energi baru dalam upaya keberlanjutan aksi iklim, khususnya di Bali. “Acara seperti ini mengingatkan kita bahwa menjaga lingkungan bukan hal yang terpisah dari budaya—justru menjadi bagian dari jati diri kita,” ujarnya.

Kegiatan produksi konten oleh salah satu kreator Verified Champions saat festival (kiri) dan kemeriahan pertunjukan musik sebagai bagian dari Festival Semarapura 2025/Dokumentasi Verified Champions

Suar optimisme dari para Verified Champions

Meski latar belakang masing-masing Verified Champions berbeda, tetapi visi aksi iklim tetap sama, yakni menyuarakan ajakan dan harapan tentang kepedulian iklim. Mereka mendokumentasikan dan memproduksi konten digital yang menyoroti solusi iklim lokal. Terutama berangkat dari ruang kreatif hingga inisiatif keberlanjutan berbasis komunitas.

Dalam kacamata ASEAN Community-based Climate Action, masyarakat atau komunitas lokal sebagai Non Party Stakeholders (NPS) dalam aksi iklim secara global. Peran dan partisipasi aktif komunitas sangat penting untuk melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim di tingkat tapak. Termasuk di antaranya aksi digital kolaboratif oleh para kreator konten tersebut.

Melalui platform media sosial, cerita-cerita yang diangkat pun kini dengan mudah tersebar bahkan viral—dalam artian positif. Ini membuktikan bahwa pesan iklim yang berakar pada kebanggaan budaya dan kearifan lokal mampu menjangkau dan menyentuh khalayak yang luas.

Vania Herlambang, yang konsisten aktif menyuarakan isu-isu lingkungan, menyampaikan impresinya terhadap program ini. “Sangat mengesankan melihat bagaimana musik dan cerita komunitas bisa membuka hati orang terhadap isu iklim,” ujar perempuan yang kini menetap di Bali itu. Ia menambahkan, hal terpenting dari sebuah konten digital adalah kejujurannya, sementara visual yang ‘wah’ hanya nomor kesekian.


  1. Verified for Climate adalah inisiatif global dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Purpose, yang didukung oleh TikTok, Fortescue, dan Rockefeller Foundation. Dari semula diluncurkan sebagai respons untuk menangkal pandemi COVID-19, kini meluas dengan memberdayakan para penyampai pesan terpercaya—mulai dari ilmuwan hingga musisi—untuk berbicara secara autentik tentang perubahan iklim melalui narasi yang kreatif dan relevan secara budaya. Verified for Climate bertujuan melawan misinformasi dan disinformasi, serta membangun gerakan aksi iklim yang inklusif. Dengan jaringan global yang mencakup Indonesia, Brasil, Spanyol, Uni Emirat Arab, dan Inggris, Verified Champions telah menjangkau lebih dari 875 juta penonton melalui narasi yang autentik berlandaskan budaya.Mulai dari tradisi keagamaan dan festival jalanan hingga kuliner dan musik, para champion mengubah pengalaman sehari-hari menjadi percakapan penting tentang perubahan iklim. ↩︎
  2. EcoAmerica, “Connecting on Climate: A Guide to Effective Climate Change Communication”, Center for Research on Environmental Decisions, Earth Institute of Columbia University (2014), 42. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Siaran Pers: Verified Champions Indonesia dan IKLIM Serukan Aksi Iklim melalui Musik dan Cerita appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/siaran-pers-verified-champions-indonesia-dan-iklim-serukan-aksi-iklim-melalui-musik-dan-cerita/feed/ 0 47272
Menyepi di Bali Kala Pandemi https://telusuri.id/menyepi-di-bali-kala-pandemi/ https://telusuri.id/menyepi-di-bali-kala-pandemi/#respond Tue, 11 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45920 Memanfaatkan pelonggaran pembatasan sosial saat pandemi COVID-19, Mei 2021, saya pergi ke Bali. Alasan saya memilih pergi karena biaya yang dikeluarkan cukup murah. Tiket pesawat hanya Rp500.000, sedangkan hotel Rp200.000. Padahal, jika situasi normal, hotel...

The post Menyepi di Bali Kala Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Memanfaatkan pelonggaran pembatasan sosial saat pandemi COVID-19, Mei 2021, saya pergi ke Bali. Alasan saya memilih pergi karena biaya yang dikeluarkan cukup murah. Tiket pesawat hanya Rp500.000, sedangkan hotel Rp200.000. Padahal, jika situasi normal, hotel itu berharga Rp1.000.000.

Kira-kira dua jam penerbangan menggunakan pesawat dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai. Sesampainya di bandara, saya sedikit bingung. Hari sudah gelap. Jam di tangan saya menunjukkan pukul 18.00. Saya nyaris tak sadar, Bali masuk wilayah Indonesia bagian tengah, sehingga waktunya lebih cepat satu jam dibandingkan Jakarta. 

Bandara itu tidak terlalu ramai. Saya memilih menggunakan taksi daring untuk menuju hotel di sekitar Jalan Legian. Jaraknya sekitar enam kilometer dari bandara, menghabiskan waktu kira-kira 20 menit. Jalanan yang saya lewati sangat sepi. Padahal, malam belum beranjak jauh.

Menyepi di Bali Kala Pandemi
Suasana Jalan Legian yang sepi, Mei 2021/Fandy Hutari

Malam Sunyi di Bali

Saya melewati titik-titik yang sebelum pandemi ramai wisatawan asing. Sebut saja, Gang Poppies Lane, tak jauh dari Pantai Kuta.

“Di sini dulu sangat ramai,” kata si sopir taksi daring.

Mendengar nama itu, saya ingat lagu Slank, yang dirilis tahun 1998 berjudul “Poppies Lane Memory”. Gang kecil ini terkenal di kalangan wisatawan karena kehidupan malamnya. Di sini, banyak berdiri penginapan murah, toko pernak-pernik, dan bar. Mengutip Kintamani.id,1 Poppies Lane dahulu tak bernama. Warga hanya menyebutkan rurung, yang artinya jalanan sempit. Warga yang tinggal di situ itu menyebutnya Gang Taman Sari. Ada pula warga yang menyebutnya gang memedi karena sempit, sepi, dan lengang.

Nama Poppies berawal dari nama warung milik Sang Ayu Made Cenik Sukeni pada 1970. Wisatawan asing banyak yang datang ke warung itu. Lalu, ada langganan dua orang turis asal Amerika Serikat bernama George dan Bob yang memberikan nama Poppies untuk warung Sang Ayu. Poppies diambil dari nama bunga yang tumbuh di California, Amerika Serikat. Di sekitar Jalan Legian juga, kata sang sopir taksi daring, sebelum pandemi banyak bule asyik berpesta hingga di tengah jalan. Namun, ketika saya lintasi, kosong melompong.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021—periode saat saya berkunjung ke Bali—hanya ada 51 wisatawan asing yang masuk ke Bali. Jumlah ini jauh dibandingkan tahun-tahun sebelum pandemi. Pada 2019, jumlahnya 6.275.210 turis asing datang ke Pulau Dewata. Lalu turun pada 2020 menjadi 1.069.473 orang. Baru setelah kondisi berangsur membaik, pada 2022 ada 2.155.747 wisatawan asing yang berkunjung ke Bali.

  • Menyepi di Bali Kala Pandemi
  • Menyepi di Bali Kala Pandemi

Sehabis menaruh ransel, saya berjalan-jalan di sekitar Legian. Malam itu, saya menyaksikan suasana sangat senyap. Banyak bar, restoran, kelab malam, dan toko-toko yang tutup. Hanya ada beberapa pedagang kaki lima yang tampak. Dari lorong yang gelap, seorang pedagang menawarkan untuk membeli makanan yang dijajakannya. Hari itu, saya menyaksikan Bali yang berbeda. Bali yang porak-poranda karena pandemi. Saya mendengar, mereka yang semula bekerja mengandalkan pariwisata beralih menjadi petani di desanya.

Melansir CNBC Indonesia,2 pada 2020 hingga 2023 hanya terdapat tambahan 817 kamar hotel di Bali. Akan tetapi, terjadi pengurangan sebanyak 1.591 kamar akibat penutupan hotel. Lantas, menurut Ida Ayu Kade Adi Juniari dan Ni Nyoman Ayu Suryandari,3 ada 200-an restoran di Bali tutup karena pandemi. Beberapa tercatat tutup permanen.

Rupanya, kebijakan pemerintah membuka-menutup Bali saat itu tak mampu berbuat banyak. Laporan Kompas,4 11 Mei 2021, Bali paling terpukul di antara provinsi lainnya. Pertumbuhan ekonomi Bali paling rendah. Pada 2020 tercatat minus 9,31 persen. Pada triwulan I tahun 2020, pertumbuhannya minus 1,20 persen. Lalu, terjun bebas hingga minus 12,32 persen pada triwulan III 2020. Pada triwulan awal 2021, status perekonomian Bali ada di minus 9,85 persen.

Saya mengunjungi Tugu Peringatan Bom Bali atau memiliki nama lain Monumen Panca Benua atau Ground Zero Monument, tak jauh dari hotel saya menginap. Suara musik mengentak terdengar lamat-lamat dari sebuah bar yang masih bertahan dari pandemi.

Monumen ini diresmikan pada 2004. Dibangun untuk mengenang tragedi bom Bali pada 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang dari 22 negara. Nama-nama mereka diabadikan di dinding monumen itu. 

Menyepi di Bali Kala Pandemi
Monumen Bom Bali pada Mei 2021/Fandy Hutari

Keliling Bali yang Sepi

Keesokan harinya, saya menyewa sepeda motor untuk berkeliling beberapa hari. Pantai Kuta adalah tujuan pertama. Suasananya sangat sepi. Nyaris tak ada wisatawan. Hanya satu-dua orang turis yang berjalan di pasir putih itu. Ada pula beberapa pedagang minuman, tukang tato, tukang pijat, dan tukang gelang yang berseliweran. Padahal, jika situasi normal, pantai ini sangat sesak turis.

Meninggalkan Pantai Kuta, hari berikutnya saya mengunjungi Museum Bali dan Museum Bajra Sandhi di Denpasar. Di Museum Bali, terdapat koleksi benda-benda etnografi, di antaranya peralatan dan perlengkapan hidup, kesenian, keagamaan, dan lainnya yang menggambarkan kehidupan dan perkembangan kebudayaan Bali masa lampau. Gagasan pendirian Museum Bali berasal dari Th. A. Resink. Usulan itu diterima asisten residen Bali Selatan, W.F.J. Kroon, yang kemudian membangun museum etnografi pada 1910.5

Sementara di Museum Bajra Sandhi atau Museum Monumen Perjuangan Rakyat Bali, saya melihat-lihat 33 diorama, berbagai foto, dan lukisan. Saya pun naik ke atas menara, menapak anak tangga di tengah bangunan. Dari menara, kita bisa melihat pemandangan sekitar.

Pencetus ide pembangunan monumen yang dari kejauhan mirip pagoda ini adalah Gubernur Bali Ida Bagus Mantra pada 1980. Arsitek monumen adalah Ida Bagus Gede Yadnya, yang memenangkan kompetisi arsitektur monumen tersebut pada 1981. Desain arsitekturnya punya arti hari kemerdekaan Indonesia, dengan 17 gerbang pintu masuk, delapan pilar utama, dan ketinggian monumen 45 meter. Monumen mulai dibangun pada 1981, tetapi sempat terhenti dan dilanjutkan pada 1987. Tahun 2003, monumen diresmikan oleh Megawati Soekarnoputri, yang saat itu menjabat presiden.6

Sore menjelang matahari terbenam, saya mengunjungi Pantai Padma. Di sini, kondisinya berbeda dengan Pantai Kuta. Wisatawan, terutama dari dalam negeri, ramai menikmati senja. Anjing-anjing berlari ke sana-ke mari.

Perjalanan terakhir di Bali, saya pergi ke Ubud, kira-kira 20-an kilometer dari Legian. Di sana, saya menginap semalam di sebuah rumah yang di depannya terhampar sawah.

Bali kini kembali lagi menjadi tujuan wisata domestik dan mancanegara. Bali sekarang tak lagi sepi.


  1. Baihaki, Imam. “Poppies Lane Kuta, Gang Kecil Di Bali yang Tak Pernah Sepi dan Mendunia,” dalam Kintamani.id, 2018. (https://www.kintamani.id/poppies-lane-kuta-gang-kecil-bali-tak-pernah-sepi-dan-mendunia/) ↩︎
  2. Sandi, Ferry. “Hotel di Bali Bertumbangan, Tutup Lebih 1.500 Kamar,” dalam CNBC Indonesia, 16 Januari 2024. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20240116185158-4-506387/hotel-di-bali-bertumbangan-tutup-lebih-1500-kamar). ↩︎
  3. Juniari, Ida Ayu Kade Adi dan Ni Nyoman Ayu Suryandari. “Dampak Pandemi Covid-19 pada Restoran di Bali,” dalam Kompasiana. 28 Mei 2021. (https://www.kompasiana.com/dayujuni/60b0476fd541df7cfa2312d2/dampak-pandemi-covid-19-pada-restoran-di-bali). ↩︎
  4. Nugraheni, Arita. “Bali Paling Terpukul Pandemi,” dalam Kompas, 11 Mei 2021. (https://www.kompas.id/baca/riset/2021/05/11/bali-paling-terpukul-pandemi). ↩︎
  5. “Bali Museum” dalam wikipedia.org (https://en.wikipedia.org/wiki/Bali_Museum). ↩︎
  6. “Sejarah dan Keunikan tentang Monumen Bajra Sandhi” dalam denpasar.kota.go.id, 1 Maret 2019 (https://www.denpasarkota.go.id/wisata/sejarah-dan-keunikan-tentang-monumen-bajra-sandhi). ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyepi di Bali Kala Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyepi-di-bali-kala-pandemi/feed/ 0 45920
Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2) https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-2/ https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-2/#respond Thu, 06 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45545 Setelah perjalanan panjang menyusuri Pangkajene dan Kepulauan, disaksikan deburan ombak musim timur, saya melanjutkan penjelajahan ke wilayah timur Indonesia. Destinasi kami adalah dua pulau di Maluku Barat Daya yang menyimpan ragam budaya, yakni Masela dan...

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah perjalanan panjang menyusuri Pangkajene dan Kepulauan, disaksikan deburan ombak musim timur, saya melanjutkan penjelajahan ke wilayah timur Indonesia. Destinasi kami adalah dua pulau di Maluku Barat Daya yang menyimpan ragam budaya, yakni Masela dan Babar.

Kali ini dimulai lewat jalur udara menuju Maluku hingga Saumlaki, ibu kota Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Dari atas ketinggian, gugusan pulau-pulau kecil di Maluku tampak seperti bintik hijau di atas lautan biru. Saat roda pesawat akhirnya menyentuh landasan Bandara Mathilda Batlayeri, saya tahu perjalanan ini akan membawa banyak pelajaran.

Dari Saumlaki menuju Masela dan Babar, jalur laut kembali menjadi pilihan. Kapal yang tidak terlalu besar itu memotong gelombang dengan membawa kami menyusuri lautan lepas selama beberapa jam. Ombak yang menggulung, angin yang menusuk, dan suara mesin kapal yang meraung menjadi teman perjalanan yang tak terlupakan.

Masyarakat Masela dan Babar hidup sederhana dengan sejarah panjang budaya, kesehatan, kondisi geografis, dan keterbatasan fasilitas publik. Saya ingin mencatat detail tentang upaya masyarakat di sana bertahan menghadapi tantangan hidup sehari-hari.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
KM Sabuk Nusantara, kapal perintis penghubung pulau-pulau di perairan Maluku dalam jaringan tol laut, yang sangat diandalkan masyarakat/Alin Rahma Yuliani & Hera Ledy Melindo

Menyusuri Jejak Budaya dan Kesehatan di Masela

Pulau Masela menyambut kami dengan udara yang sejuk dan tenang. Setibanya di Desa Iblatmuntah, suasana berbeda langsung terasa. 

Desa ini menyimpan banyak kisah unik, salah satunya keberadaan sumur tua dengan nama lokal Tua Tanyema. Warga setempat percaya, sumur itu tidak pernah kering bahkan saat musim kemarau panjang. Saya bertemu dengan Bu Maria, seorang kader posyandu yang sudah 10 tahun mengabdi.

Tua Tanyema bukan hanya sekadar sumber air, melainkan juga dianggap sakral oleh masyarakat. “Sumur ini sudah ada sejak zaman nenek moyang kami. Airnya tidak pernah habis, bahkan saat musim kemarau,” katanya sambil menatap sumur berair jernih itu.

Melihat prosesi Tari Seka untuk menyambut tamu di Pulau Masela (kiri) dan mengunjungi sumur tua di Desa Iblatmuntah/Adipatra Kenaro Wicaksana

Saya sempat mencicipi air dari sumur tersebut, rasanya segar dan jernih tanpa perlu dimasak. Seperti menyimpan jejak waktu dari masa lampau.

Kemudian saya mengunjungi Puskesmas Pembantu (Pustu) yang sudah rusak selama lebih dari tujuh tahun. “Sekarang, pelayanan dilakukan di balai desa atau rumah kepala desa,” tambah Bu Maria dan Pak Melkisoa Kolabora, Kepala Desa Iblatmuntah. 

Untuk melahirkan, bidan dari puskesmas akan datang langsung ke desa. Namun, dalam banyak kasus, dukun beranak masih menjadi andalan. Uniknya, keberadaan dukun beranak tidak hanya dilihat sebagai solusi darurat, tetapi juga bagian dari tradisi. 

Kondisi bangunan Puskesmas Pembantu Iblatmuntah yang memprihatinkan/Adipatra Kenaro Wicaksana

“Dukun kami bekerja secara sukarela. Mereka tidak hanya membantu persalinan, tetapi juga menangani luka luar dan dalam,” ujar Bu Maria. Tradisi ini tetap hidup berdampingan dengan layanan kesehatan modern yang mulai dikenalkan ke masyarakat. Masalah kesehatan yang sering dikeluhkan, terutama lansia, adalah stroke, asam urat, dan asam lambung.

Kehidupan masyarakat banyak bergantung pada hasil laut, terutama ikan yang menjadi sumber protein utama. Sayur-mayur dan kacang-kacangan juga tersedia meski dalam jumlah terbatas, karena tanah di pulau ini lebih banyak berbatu sehingga sulit untuk bertani. Meski begitu, warga desa tidak menyerah pada keterbatasan. 

Langkah saya berlanjut ke Puskesmas Marsela. Perjalanan ini memberikan gambaran lebih luas tentang cara masyarakat Pulau Masela bertahan di tengah keterbatasan akses kesehatan. Jalanan berbatu dan berlumpur menjadi tantangan tersendiri, terlebih cuaca sedang terik sekali dari biasanya. Pak Toni Walkim, Kepala Puskesmas Marsela yang menemani perjalanan saya, menyebut akses ke puskesmas sering menjadi masalah besar.

Kondisi akses jalan yang cukup menantang dilalui untuk menuju Puskesmas Marsela/Adipatra Kenaro Wicaksana

“Kalau musim hujan, jalan ini bisa tertutup banjir. Kadang puskesmas harus tutup karena tidak ada yang bisa ke sana,” ujarnya sambil menunjuk genangan air yang hampir menutup sebagian jalan.

Setibanya di Puskesmas Marsela, saya disambut oleh bangunan sederhana yang tampak mulai menua. Beberapa bagian dinding terlihat retak, ditopang dengan kayu untuk mencegahnya roboh. “Ini akibat gempa beberapa tahun lalu,” jelas Pak Toni, “dana perbaikan belum turun, jadi kami hanya bisa menahan agar bangunan ini tetap berdiri.”

Di Pulau Masela, masalah sanitasi air bersih menjadi tantangan terbesar. Pak Toni menceritakan dua proyek besar, yakni Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) dan instalasi PDAM, yang gagal total. 

“Airnya asin dan berlumpur. Salah titik pengeboran menjadi masalah utama,” katanya kecewa. “Banyak yang bergantung pada sumur, terutama saat musim kemarau. Tapi, kami harus bijak menggunakannya agar tidak habis.”

Di akhir perjalanan saya di Marsela, saya duduk bersama warga dan kepala puskesmas di dekat gedung lama puskesmas yang mulanya terletak di bibir pantai. Gedung lama itu kini berkarat akibat paparan air garam, dan rencananya akan dialihfungsikan menjadi tempat rawat inap bagi staf. 

Berlatar suara deburan ombak, kami membincangkan perjuangan masyarakat. “Kami jauh dari segala hal, tapi kami punya semangat untuk bertahan,” kata Pak Toni sambil menatap puskesmas lawas itu.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
Gedung rawat inap Puskesmas Letwurung di Babar Timur/Adipatra Kenaro Wicaksana

Refleksi Diri di Ujung Pulau Babar

Perjalanan berikutnya membawa kami ke Pulau Babar, tepatnya di Desa Letwurung. Pulau ini memiliki keadaan yang sedikit berbeda dari Masela. Saya menemui kepala Puskesmas Letwurung, yang berbagi cerita tentang kondisi kesehatan masyarakat. 

“Diare sering terjadi saat musim buah tiba. Anak-anak langsung makan buah tanpa mencucinya,” katanya sambil menunjukkan data yang ia kumpulkan. Meski begitu, Puskesmas Letwurung cukup maju dengan sejumlah fasilitas, seperti panel surya, genset, dan ambulans.

Salah satu hal unik di Babar adalah penggunaan ramuan tradisional untuk kesehatan. Daun sukun, misalnya, dimanfaatkan menjadi teh untuk mengatasi masalah hati, sedangkan daun binahong digunakan untuk luka dan nyeri otot.

“Kami memadukan tradisi dengan medis modern. Itu cara kami untuk memaksimalkan alam dengan kehidupan kita,” jelas Bu Lina, seorang kader kesehatan.

Di Babar, saya juga melihat cara masyarakat memanfaatkan hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan pangan. Selain ikan, mereka juga mengonsumsi sayur-mayur seperti talas, ubi, dan kacang hijau. Kehidupan di sini sederhana, tetapi penuh dengan pemanfaatan pangan lokal.

Ketika saya meninggalkan Marsela dan Babar, saya merasa membawa cerita yang layak untuk dibagikan tentang daya juang, budaya, dan harapan dari ujung negeri.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
Foto bersama kepala Puskesmas Letwurung/Adipatra Kenaro Wicaksana

Dari Maluku ke Sulawesi Tengah

Dari Maluku Barat Daya, saya melanjutkan ekspedisi ke destinasi berikutnya, yakni Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Perjalanan kali ini kembali dimulai dengan jalur udara, membawa saya melintasi lautan biru yang membentang luas. Pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Syukuran Aminuddin Amir, Luwuk.

Udara hangat Luwuk menyambut saya, begitu pula semangat untuk mengeksplorasi wilayah ini. Ibu kota Kabupaten Banggai ini tidak hanya terkenal dengan pesona alamnya, tetapi juga menjadi saksi adaptasi masyarakat dengan kehidupan pesisir yang penuh dinamika. Setibanya di Luwuk, saya melangkah ke Desa Mulyoharjo dan Desa Sumberharjo, Kecamatan Moilong.

Lingkungan kampung yang tenang dan asri di kawasan perdesaan Kabupaten Banggai/Adipatra Kenaro Wicaksana

Desa Mulyoharjo dikenal dengan program posyandu yang rutin dilakukan setiap bulan. Kegiatan ini meliputi layanan untuk ibu hamil, balita, hingga lansia. Masyarakat memanfaatkan fasilitas antara lain pemeriksaan tekanan darah tinggi dan pemberian makanan tambahan berbahan lokal, seperti umbi-umbian dan jagung.

Namun, tantangan tetap ada. “Stunting di sini bukan soal kekurangan makanan, tapi pola asuh yang kurang peduli,” jelas Bu Yanti, seorang kader kesehatan. Puskesmas setempat merespons dengan penyuluhan langsung kepada ibu hamil, bahkan melibatkan aparat desa untuk mendatangi warga yang enggan mengikuti posyandu.

Sementara di Desa Sumberharjo, pasar harian menjadi denyut nadi ekonomi sekaligus tempat berkumpul warga. Dari hasil bumi hingga jamu herbal seperti sereh dan kunyit, pasar ini menawarkan ragam kebutuhan hidup.

  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)

Kegiatan penyuluhan dan pelayanan kesehatan langsung di Desa Mulyoharjo dan Desa Sumberharjo, Kecamatan Moilong/Adipatra Kenaro Wicaksana

Selain itu, aktivitas fisik juga menjadi fokus utama desa. Puskesmas sering mengadakan senam lansia dan jalan sehat, bahkan pertandingan voli untuk ibu-ibu. “Ini bukan hanya soal kesehatan, tapi juga mempererat kebersamaan,” kata Bu Nina, kader kesehatan yang aktif di berbagai kegiatan.

Namun, permasalahan kesehatan seperti hipertensi dan asam urat masih banyak dijumpai. Untuk mengatasinya, puskesmas bekerja sama dengan desa mengadakan edukasi tentang pola makan sehat dan program inovatif, di antaranya lomba masak makanan bergizi.

Dari Mulyoharjo hingga Sumberharjo, saya melihat semangat warga dalam menjaga tradisi dan kesehatan tetap hidup. Meskipun tantangan ada, kerja sama antara masyarakat, puskesmas, dan aparat desa menjadi kunci keberhasilan. Kabupaten Banggai bukan hanya tempat, tapi sebuah pelajaran bahwa hidup yang harmonis tetap bisa diwujudkan.


Terima Kasih kepada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University (PKSPL IPB) dan Bapak Dadang Herdiansyah, SKM., M.Epid., selaku Tenaga Ahli Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan kesempatan saya untuk menjelajahi potret kesehatan dasar di pulau-pulau kecil di Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-2/feed/ 0 45545
Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/ https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/#comments Wed, 05 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45529 Saya selalu terpikat dengan kisah-kisah menarik yang hidup di setiap sudut negeri ini. Berbekal latar belakang di bidang kesehatan masyarakat, saya punya mimpi sederhana, tetapi besar, untuk dapat memahami lebih dalam tentang pelayanan kesehatan dasar...

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya selalu terpikat dengan kisah-kisah menarik yang hidup di setiap sudut negeri ini. Berbekal latar belakang di bidang kesehatan masyarakat, saya punya mimpi sederhana, tetapi besar, untuk dapat memahami lebih dalam tentang pelayanan kesehatan dasar di tempat-tempat yang acap luput dari perhatian.

Kali ini, langkah kaki membawa saya melintasi pulau-pulau di bagian tengah hingga timur Indonesia. Mulai dari Bali, Maluku, sampai Sulawesi. Perjalanan ini adalah upaya saya pribadi menyelami kehidupan di daerah-daerah yang jauh dari ingar-bingar kota. Saya ingin menggali seberapa jauh pelayanan kesehatan dasar dapat menyentuh masyarakat di pulau-pulau terpencil dan terluar, sembari memahami dinamika budaya lokal dan tantangan lingkungan.

Setiap tempat yang saya kunjungi memiliki realitas berbeda. Namun, benang merahnya sama, yakni tantangan aksesibilitas. Pulau-pulau terluar dan terpencil sering kekurangan dokter dan tenaga medis, yang menyebabkan masyarakat harus menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan perawatan medis, terutama dokter spesialis. Minimnya pilihan transportasi medis darurat juga menjadi hambatan besar bagi masyarakat yang ingin berobat. 

Bagi saya, ini bukan sekadar catatan perjalanan, melainkan upaya kecil untuk membawa suara dari mereka yang jauh, tetapi sangat dekat di hati.

Warna-warni kapal nelayan di pesisir pantai utara Bali/Hera Ledy Melindo

Menyisir Pesisir Utara Pulau Bali

Pagi itu, saya berdiri di pantai dan bersiap dengan tas ransel yang terasa berat. Namun, rasa keingintahuan saya jauh lebih besar. Perjalanan pertama kali ini membawa saya ke dua daerah pesisir utara Buleleng. Saya ingin melihat bagaimana masyarakat di sana menjalani kehidupan mereka, khususnya berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan yang sering menjadi tantangan di daerah terpencil.

Setibanya di Desa Kayu Buntil Barat, angin laut menyambut saya dengan lembut. Di balik panorama pantai yang memukau, saya mulai melihat tantangan yang dihadapi masyarakat. Saat berbincang dengan Pak Made, seorang warga setempat, ia menunjukkan drainase yang langsung mengalir ke pantai.

“Malaria sering menyerang di sini, apalagi waktu musim hujan,” kata Pak Made menunjuk genangan air di sekitar rumahnya. Bekas gigitan nyamuk di lengannya menjadi saksi nyata perjuangan mereka melawan penyakit ini.

“Kalau sakit, biasanya bagaimana, Pak?” tanya saya penasaran.

“Banyak yang tidak punya BPJS atau Kartu Indonesia Sehat (KIS). Jadi, kalau sakit, ya, [baru] panggil bidan kalau sudah parah. Biayanya Rp50.000 sehari,” jawabnya.

Ia tampak pasrah, tetapi ada rasa bangga saat bercerita tentang puskesmas setempat yang aktif memberikan penyuluhan dan melakukan fogging jika ada laporan demam berdarah. Percakapan kami berakhir di tepi pantai, diiringi deburan ombak. Dari Pak Made, saya belajar tentang ketangguhan dan usaha mereka tetap bertahan meski dalam keterbatasan.

Momen diskusi seputar kesehatan dengan nelayan-nelayan Kayu Buntil Barat dan Celuk Buluh/Adipatra Kenaro Wicaksana & Hera Ledy Melindo

Hari berikutnya, saya melanjutkan perjalanan ke Desa Celuk Buluh. Suasana terasa berbeda. Drainase yang lebih baik, air bersih dari PDAM, dan jamban di setiap rumah menunjukkan kondisi kesehatan lingkungan yang lebih baik dibanding Kayu Buntil Barat. Masyarakat mendapatkan kebutuhan pangan sehari-hari di pasar yang hanya berjarak satu kilometer dari desa.

Di sini saya bertemu Pak Ketut, seorang nelayan yang tengah bersiap melaut. Ia bercerita tentang tradisi unik warga sebelum melaut.

“Sebelum berlayar, kami minum jamu dari kunyit, jahe, dan ayam kampung. Ini untuk stamina, biar kuat di laut,” katanya sambil tersenyum. Saya tertawa kecil, kagum dengan tradisi yang masih bertahan di tengah modernitas. Namun, kehidupan nelayan tidak selalu mulus. “Kalau musim paceklik, kami kerja serabutan, kadang jadi kuli bangunan,” tambahnya. 

Tidak hanya tentang kesehatan, masyarakat Celuk Buluh juga peduli terhadap lingkungan. Tempat pengelolaan sampah reduce, reuse, dan recycle (TPS3R) baru saja dibangun di desa tersebut. Meski belum sepenuhnya beroperasi, fasilitas ini menjadi simbol harapan bagi pengelolaan sampah yang lebih baik.

“Tempat ini bisa menampung hingga 20 ton sampah. Harapannya, desa kami jadi lebih bersih,” ujar seorang petugas yang saya temui.

  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)

Cerita Nelayan hingga Pangan Lokal di Pangkajene Kepulauan

Langkah berikutnya membawa saya ke pesisir barat Sulawesi Selatan. Saya bergerak dari kemegahan tradisi Hindu Pulau Dewata menuju kehidupan sederhana di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep).

Perjalanan membelah laut ini tak hanya tentang keindahan, tetapi juga kenyataan hidup yang keras. Kapal kayu sederhana menjadi satu-satunya alat transportasi menuju Desa Sailus, Kecamatan Liukang Tangaya. Ombak membelai halus perahu, tetapi di kejauhan, langit mendung seakan menjadi pengingat.

Di Desa Sailus, saya bertemu dengan Pak Ali, seorang nelayan yang sedang menyiapkan jaring. “Kami di sini makan apa yang ada, biasanya ikan layang atau makanan sederhana seperti sabal,” katanya sambil tersenyum. Sabal adalah pangan lokal tradisional khas Pangkep yang dibuat dari kelapa parut dan nasi.

Di Pulau Sailus, warga biasa mengolah sabal, pangan lokal khas Pangkep (kiri) dan memilah ikan-ikan hasil tangkapan nelayan untuk makanan sehari-hari/Adipatra Kenaro Wicaksana

Cerita Pak Ali membawa saya ke sisi lain dari kehidupan masyarakat setempat. “Kalau ingin makan daging, harus pesan dari Sumbawa,” lanjutnya, menekankan sulitnya akses pangan di wilayah ini. Jarak ke Sumbawa, Nusa Tenggara Barat memang jauh lebih dekat daripada pusat pemerintahan Pangkep.

Dalam sebuah kunjungan ke Puskesmas Sailus, saya berbincang dengan salah satu petugas kesehatan. Ia menjelaskan bahwa fasilitas di sana sangat terbatas. “Kami hanya punya dua genset untuk listrik, dan ambulans roda tiga yang sering rusak,” keluhnya. Ia juga menyebutkan bahwa pembangunan rumah sakit sedang berjalan, tetapi lokasinya jauh dari permukiman utama, menyulitkan akses bagi masyarakat apabila ingin berobat.

Percakapan dengan warga dan kader kesehatan memberikan gambaran lebih jelas tentang tantangan di Pulau Sailus. Kasus stunting, yang masih menjadi momok, tampak seperti rahasia yang sulit terungkap. “Puskesmas jarang sekali melakukan penyuluhan. Kalau posyandu, paling hanya empat bulan [dalam] setahun,” ungkap seorang kader kesehatan dari Desa Sailus yang terlihat lelah, tetapi masih semangat berbagi cerita.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Kondisi tempat pelayanan kesehatan Pulau Sailus/Adipatra Kenaro Wicaksana

Di pesisir pantai, sampah plastik mengotori permukaan pasir putih. Beberapa pemuda setempat, yang sedang duduk santai, berbicara tentang kebiasaan masyarakat yang masih membuang sampah ke laut. 

“Kadang kami tidak punya pilihan,” katanya, seolah meminta pengertian. Hal ini menjadi pengingat nyata bahwa perubahan perilaku membutuhkan lebih dari sekadar ajakan. Dibutuhkan fasilitas dan edukasi yang berkelanjutan.

Mereka melanjutkan cerita tentang harapan di masa depan. “Saya berharap ada program beasiswa dari desa. Beberapa teman ada yang bercita-cita kuliah jadi apoteker atau guru, karena di sini sangat kurang [orang dengan] profesi tersebut,” ujar seorang pemuda yang saya ajak berdialog. 

Meski tantangan besar masih ada, asa untuk perubahan tampak nyata dalam semangat mereka. Dari sabal yang sederhana hingga perjuangan mengatasi stunting, masyarakat di pulau kecil Sailus mengajarkan perjuangan mereka untuk bertahan dan berkembang di tengah keterbatasan. 

Dari pulau terpencil di Pangkep, saya melanjutkan langkah ke Pulau Sapeken. Pulau di ujung timur Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Pantai pasir putih di Sailus yang sayangnya banyak dijumpai sampah anorganik/Adipatra Kenaro Wicaksana

Melihat Sapeken dari Kacamata Kesehatan

Perjalanan di Pulau Sapeken sebelumnya telah saya ceritakan secara lengkap di TelusuRI dengan judul Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura. Singkatnya, Sapeken adalah gambaran nyata perjuangan masyarakat kepulauan dalam menjaga kesehatan di tengah keterbatasan.

Di puskesmas utama, saya mendapati permasalahan kesehatan yang mencuat berupa dominasi penyakit-penyakit kronis, seperti stroke, asam lambung, dan kolesterol. Disentri dan tifoid juga menjadi ancaman yang terus muncul. Meski angka stunting relatif rendah, sulitnya akses pangan bergizi, khususnya daging-dagingan, menjadi tantangan tersendiri.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Layanan kesehatan bergerak di atas kapal Gandha Nusantara 02 yang berlabuh di Sapeken/Adipatra Kenaro Wicaksana

Satu satunya harapan adalah pelayanan kesehatan bergerak yang hanya datang empat kali dalam setahun, terutama untuk operasi kecil dan kontrol penyakit. Namun, itu belum cukup. Minimnya fasilitas, kebiasaan membuang sampah ke laut, serta keterbatasan tenaga kesehatan menambah kompleksitas masalah di pulau ini.

Sapeken adalah potret sebuah perjuangan untuk bertahan hidup. Di pulau kecil ini, Sapeken menyimpan kisah-kisah besar penuh kesederhanaan.

(Bersambung)


Terima kasih kepada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University (PKSPL IPB) dan Bapak Dadang Herdiansyah, SKM., M.Epid., selaku Tenaga Ahli Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan kesempatan saya untuk menjelajahi potret kesehatan dasar di pulau-pulau kecil di Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/feed/ 1 45529
Eksotisme Lepidoptera Pulau Dewata https://telusuri.id/eksotisme-lepidoptera-pulau-dewata/ https://telusuri.id/eksotisme-lepidoptera-pulau-dewata/#comments Thu, 22 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42540 Satu dekade lalu, bersama kawan-kawan kuliah, saya menyibak jenggala untuk menangkap kupu-kupu demi keperluan riset. Berbekal jaring dan kamera, kami mempelajari serangga tersebut. Lalu, saya kagum pada arthropoda bersayap itu dan mulai gemar mengamati mereka...

The post Eksotisme Lepidoptera Pulau Dewata appeared first on TelusuRI.

]]>
Satu dekade lalu, bersama kawan-kawan kuliah, saya menyibak jenggala untuk menangkap kupu-kupu demi keperluan riset. Berbekal jaring dan kamera, kami mempelajari serangga tersebut. Lalu, saya kagum pada arthropoda bersayap itu dan mulai gemar mengamati mereka di kala luang. Sayangnya, tak semua tempat dihuni kupu-kupu cantik. Hutan dengan berbagai jenis tumbuhan merupakan surga bagi aneka ragam lepodiptera (bangsa kupu-kupu dan ngengat). Tak pernah terpikir di benak saya untuk melihat kupu-kupu di dalam sangkar.

Hari masih baru di Denpasar dan saya sudah bimbang. Pagi itu saya berencana mengunjungi taman kupu-kupu. Akan tetapi, Bali punya dua tempat seperti itu dan keduanya lumayan jauh dari Denpasar. Usai menimbang-nimbang, saya memilih untuk pergi ke Kemenuh Butterfly Park di Gianyar.

Motor Astrea tua menemani perjalanan saya kali ini. Lambat bukan masalah. Saya hanya berharap ia tak mogok. Sambil melaju santai, saya berpikir soal tempat yang hendak saya tuju. Taman kupu-kupu? Yang benar saja. Ayolah, kupu-kupu melintas setiap saat dan orang tak peduli. Siapa yang mau membayar untuk melihat serangga terbang itu? Akan tetapi, ini Bali. Jika saya turis Barat yang penasaran dengan eksotisme negeri tropis, membayar beberapa dolar saja tak jadi soal.

Eksotisme Lepidoptera Pulau Dewata
Kemenuh Butterfly Park Gianyar/Asief Abdi

Google Maps membimbing saya melintasi jalur-jalur kecil. Sawah di tepi jalan membentang. Sekawanan kuntul berkumpul, mengincar serangga atau katak yang bersembunyi di balik rerumputan. Jika tempo hari saya menemukan ladang pacar air saat berkunjung ke Tabanan, di Gianyar saya disuguhi kebun pandan. Namun, itu bukan jenis pandan yang biasa digunakan sebagai pewarna makanan. Seperti pacar air, daun pandan juga merupakan elemen canang.

Matahari bersinar terik saat saya memasuki area parkir Kemenuh Butterfly Park. Biasanya saya mengutuk panasnya hari, tetapi tidak kali ini. Kupu-kupu akan lebih aktif saat langit cerah. Saya tentu tak mau membayar untuk melihat mereka bermalas-malasan. Tapi cahaya benar-benar menyilaukan. Saya ambil kacamata hitam dari saku, mengenakannya, dan bercermin di spion. Kini saya benar-benar terlihat seperti turis.

“Dari mana, Mas?” tanya petugas loket.

“Madura,” jawab saya.

Saya rogoh saku celana dan menyerahkan selembar uang biru muda. Ia memberikan tiket masuk. Di situ tertera tarif untuk wisatawan asing, Rp150.000. Jika mengaku dari Denpasar atau wilayah lain di Bali, mungkin tarifnya akan lebih murah. Tapi tak apa. Saya mengucap suksma (terima kasih) lalu melangkah masuk.

Tunggu, di mana kupu-kupunya? Tempat ini tak ubahnya taman biasa. Di depan, para turis kulit putih berjalan santai sambil melihat bunga yang ditanam di sekitar. Saat saya melihat sekeliling, sekelebat gerakan tertangkap pandangan. Itu seekor kupu-kupu biru. Oke, di mana sisanya? Saya terus menapaki jalur dan tiba di depan sebuah sangkar besar. Lagi-lagi sebuah tirai mengadang. Rupanya, ini baru permulaan. Saya menyibaknya dan melangkah masuk.

  • Eksotisme Lepidoptera Pulau Dewata
  • Eksotisme Lepidoptera Pulau Dewata

Kupu-kupu dalam Sangkar

Sangkar itu dipenuhi bunga. Kupu-kupu beterbangan, mengepakkan sayapnya di antara kuntum-kuntum kembang. Seorang bule di depan saya tampak antusias dengan pemandangan di hadapannya. Jujur saja, saya tak terlalu kaget dengan aneka jenis kupu-kupu di tempat ini. Tapi, saya toh tetap membidikkan kamera. Rasanya masih sama seperti masa-masa kuliah dulu.

Hampir semua jenis kupu-kupu di taman ini sudah pernah saya lihat sebelumnya. Mulai dari spesies langka dan dilindungi seperti Troides helena hingga yang lazim macam Papilio memnon. Meski begitu, kembali melihat mereka rasanya menyenangkan. Ini nostalgia. 

Saya foto satu per satu serangga itu. Beberapa kupu-kupu terbang terlalu cepat, saya kesulitan. Di samping saya, bule tadi juga mengeluarkan kamera saku dan mencoba memotret seekor kupu-kupu. 

“Too fast, huh?” sapa saya.

“Yes. I saw you take a picture of them and that seems fun,” jawabnya.

“Where are you from, Ma’am?

“I’m Dutch, Belanda.”

Kami mengobrol sambil menengok sekitar. Agaknya, wisatawan asing tertarik pergi ke tempat semacam ini karena mereka tak punya banyak kupu-kupu menarik di negerinya. Lebih-lebih, di benua empat musim macam Eropa, tampaknya, kupu-kupu tak bisa terbang setiap saat. Barangkali hanya di musim semi dan musim panas mereka bebas mengepakkan sayap. 

“That’s monarch butterfly,” seru saya menunjuk seekor kupu-kupu di udara.

“I think we have that such species there,” tanggap dia.

Saya mengikuti seekor kupu-kupu biru. Itu Papilio peranthus. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya saya berhasil menjepretnya dengan lensa kamera. Hey, if they’re too fast, maybe you can look at this,” kata si bule. Saya mengalihkan pandangan. Di depan saya terpampang insektarium raksasa dengan berbagai jenis spesimen, entah asli atau buatan.

Nice, dead butterfly,” tanggap saya sembari tertawa. Tak lama, saya beranjak ke ruang berikutnya, yakni ruang penetasan.

Eksotisme Lepidoptera Pulau Dewata
Si kupu-kupu biru (Papilio peranthus)/Asief Abdi

Metamorfosis dan Hidup yang Singkat

Terdengar sedikit aneh. Saya pikir “ruang metamorfosis” lebih pas dan menarik. Ruangan ini berisi pupa dan kepompong lepidoptera (pupa untuk kupu-kupu, kepompong untuk ngengat). Dari kantung-kantung tersebut, kupu-kupu muda merayap dengan sayap keriput. Mereka bergeming sejenak hingga sayapnya cukup kuat memukul udara. Di samping kotak-kotak berisi bayi lepidoptera, seseorang menghampiri saya. Ia Tute, pemandu di Kemenuh Butterfly Park.

Pemuda itu memberi tahu saya bahwa taman ini sudah buka sejak lima tahun lalu dan menyimpan lima belas jenis kupu-kupu lokal. “Dulu tempatnya bukan di sini, baru tahun ini kami pindah kemari,” jelas dia. Serangga-serangga di taman ini dikembangbiakkan di suatu tempat di Negara. Lalu, begitu ulat-ulat berubah menjadi pupa atau kepompong, mereka dipindahkan ke sini. Tuta mengatakan bahwa jumlah yang dikirim bisa mencapai 2.500 ekor tiap minggu. Saya mengamati sangkar berisi kantung-kantung berkilau itu sambil membidikkan lensa.

“Sudah ke mana saja di Bali, Mas?” tanyanya.

“Ke Danau Batur, Kintamani, Kuta, dan Tabanan,” jawab saya.

“Wah, bener, Mas. Kalau mau lihat Bali yang bener-bener Bali, ya, ke tempat-tempat seperti Kintamani dan sekitarnya itu. Kalau Denpasar sudah tak seperti Bali lagi.” 

Ia benar, Denpasar terlampau bising. Saya benar-benar merasa di Bali saat melawat ke Kintamani, ketika sepanjang jalan saya kesulitan mencari masjid untuk salat sebab hanya pura yang berjejer di pinggir jalan.

Serombongan orang kulit putih datang. Tuta dengan sigap menyambut mereka dengan bahasa Inggris yang fasih. Pemuda itu mengajak turis-turis tersebut mengobrol dan menjelaskan isi ruangan dengan baik. Setelah beberapa menit, dia pamit karena ini waktunya istirahat. “Mas, saya pamit dulu, mau istirahat. Kalau mau tanya-tanya nanti sama teman saya yang gantiin, namanya Gosman,” katanya. Saya mengacungkan jempol dan kembali mengambil gambar.

Gosman bertubuh gempal, kulitnya cokelat gelap. Sama dengan Tuta, ia juga fasih bicara Inggris. Ia membawa kami semua ke kotak berisi kepompong Attacus atlas, si ngengat raksasa. Saat saya masih kanak-kanak, saya sering melihat serangga itu terbang di dekat lampu saat malam. Dulu saya menyebutnya “kupu-kupu gajah”. Namun, sekarang saya nyaris tak pernah melihatnya lagi.

So this moth lives only for five days. They don’t even have a mouth to eat,” tutur Gosman pada kami semua dengan seekot ngengat di tangannya. Orang-orang kulit putih tampak takjub. Saat mencapai fase imago (dewasa), tugas makhluk itu hanya mencari pasangan, kawin, dan bertelur sampai cadangan makanan dalam tubuhnya habis dan mereka pun mati.

Benar-benar hidup yang singkat. Sepotong lirik lagu Scorpion terlintas di kepala. And you run, cause life is too short.

Eksotisme Lepidoptera Pulau Dewata
Kupu-kupu gajah baru keluar dari kepompong/Asief Abdi

Serangga di Zaman Antroposen

Selama berada di taman, tak ada turis domestik yang masuk. Mungkin benar, tak ada orang lokal yang mau membayar mahal untuk sekadar melihat kupu-kupu. Bahkan, seringkali kita mengabaikan makhluk bersayap itu. Padahal, seperti lebah, kupu-kupu juga penting bagi ekosistem. Mereka merupakan serangga penyerbuk yang menjaga siklus hidup flora di bumi. Dan kabar buruknya, kebanyakan dari kita benci serangga.

National Geographic secara khusus membahas soal serangga dalam majalahnya yang terbit Mei 2020 lalu. Tak tanggung-tanggung, mereka menyematkan judul Kiamat Serangga dengan sampul bergambar kupu-kupu pada edisi tersebut. Ternyata, beberapa penelitian menemukan bahwa populasi serangga di berbagai lokasi menurun. Saya bahkan lupa kapan kali terakhir melihat kunang-kunang. Tentu saja. Alih fungsi habitat dan penggunaan pestisida merongrong ruang hidup insekta di muka bumi. Perubahan iklim turut mengancam eksistensi mereka. Edward O Wilson, seorang ahli biologi, mengatakan bahwa jika manusia lenyap, bumi akan kembali ke kondisi ekuilibrium seperti sepuluh ribu tahun silam. Namun, kalau serangga musnah, bumi bakal jatuh dalam kekacauan ekologis. Benar juga, bumi bisa hidup tanpa manusia, tapi tidak tanpa serangga.

Saya melangkah keluar dari ruang metamorfosis—ya, saya lebih suka istilah itu. Rupanya, sebatas ini isi Kemenuh Butterfly Park. Saya melihat sekeliling, kupu-kupu beterbangan. Beberapa bersembunyi di balik dedaunan, mungkin lelah.

Tunggu, apa saya baru saja membayar Rp50.000 untuk sekadar melihat kupu-kupu? Bukankah ini buruk? Bagaimana jika kelak saya harus benar-benar membayar mahal lantaran tak ada lagi kupu-kupu yang tersisa di sekitar? Ah, semoga tidak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Eksotisme Lepidoptera Pulau Dewata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/eksotisme-lepidoptera-pulau-dewata/feed/ 1 42540
Tari Kecak dan Kontemplasi yang Menampar Diri https://telusuri.id/tari-kecak-dan-kontemplasi-yang-menampar-diri/ https://telusuri.id/tari-kecak-dan-kontemplasi-yang-menampar-diri/#respond Mon, 15 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42342 Berkunjung kembali ke Pulau Dewata menjadi salah satu keinginan yang telah saya nantikan beberapa waktu belakangan ini. Tidak dapat dimungkiri Bali menjadi destinasi yang sangat lengkap untuk mencurahkan segala rasa yang terpendam. Setelah sekian purnama...

The post Tari Kecak dan Kontemplasi yang Menampar Diri appeared first on TelusuRI.

]]>
Berkunjung kembali ke Pulau Dewata menjadi salah satu keinginan yang telah saya nantikan beberapa waktu belakangan ini. Tidak dapat dimungkiri Bali menjadi destinasi yang sangat lengkap untuk mencurahkan segala rasa yang terpendam. Setelah sekian purnama berlalu, kali ini saya kembali menyambangi Bali bersama orang terdekat.

Tidak banyak tempat yang saya kunjungi karena keterbatasan waktu. Tujuan utama saya di antaranya menyambangi Uluwatu. Mungkin rencana perjalanan saya terdengar terlalu biasa dan klise. Akan tetapi, menurut saya salah satu daya tarik Uluwatu adalah betapa lengkapnya obyek wisata ini. Dari menikmati sunset dengan megahnya pemandangan laut dari atas tebing, hingga mengunjungi Pura Uluwatu yang dikelilingi oleh ratusan monyet.

Tidak hanya keindahan dan suasana alamnya saja. Uluwatu pun menyajikan kesenian yang sudah sangat mendunia. Sajian seni itu disebut Tari Kecak. 

Menilik Kembali Tari Kecak

Jujur, saya sudah sangat sering menikmati kesenian Tari Kecak. Perjumpaan pertama saya menonton Tari Kecak saja waktu masih di sekolah dasar. Tidak tahu mengapa, saya tidak ada bosannya untuk kembali menonton kesenian tersebut.

Ada keunikan Tari Kecak yang sangat berbeda, yaitu hanya diiringi oleh musik yang dikeluarkan oleh mulut para penarinya. Kemudian kostum para penari utama yang sangat khusus dan eksentrik, ditambah adanya interaksi para penari di tengah pentas dengan penonton yang cukup menghibur. Sampai dengan makna dari Tari Kecak itu sendiri yang membawa seribu satu arti, yang dapat ditangkap berbeda oleh satu wisatawan dan yang lainnya.

Mungkin kebanyakan orang akan mendapatkan makna kebahagiaan dan perasaan terhibur dengan pertunjukan tersebut. Namun, saya justru tenggelam dalam pikiran yang membawa diri untuk jauh merenung. Apabila semakin dalam memaknai Tari Kecak, apa yang terjadi dan dialami oleh pasangan kekasih Rama dan Sita bukanlah hal yang biasa. Termasuk apa yang diperjuangkan oleh mereka berdua patut untuk dijadikan teladan.

Tepat pada pukul 16.00 WITA saya tiba di Pura Uluwatu dengan mengendarai mobil. Akses menuju lokasi terbilang cukup mudah karena sudah dapat dilalui oleh kendaraan besar, seperti bus maupun truk. Namun, lokasi Pura Uluwatu yang berada di ujung Pulau Bali membuat durasi perjalanan cukup memakan waktu. Dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai saja membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit untuk sampai ke lokasi dengan catatan khusus: tidak ada macet. 

Pada saat memasuki Pura Uluwatu, seluruh wisatawan tidak bisa sembarangan masuk. Kami wajib mengikuti aturan dan tata cara selayaknya memasuki sebuah tempat suci. Seluruh wisatawan harus mengenakan kain tambahan yang dililitkan di perut sampai kaki.

Hal yang perlu diketahui oleh wisatawan adalah ketika masuk ke Pura Uluwatu, maka tidak serta-merta dapat menyaksikan pertunjukan Tari Kecak. Tarif masuk Pura Uluwatu sebesar Rp30.000 untuk wisatawan lokal. Apabila kita berniat menonton Tari Kecak maka harus membeli lagi tiket pertunjukan tersebut. Ada tiket on the spot untuk membeli Tari Kecak, tetapi ketersediaan tiket tersebut betul-betul sulit diprediksi. Lantaran Tari Kecak adalah tujuan utama saya, sudah barang tentu saya memesan tiket secara daring dari jauh-jauh hari.

Kesenian Tari Kecak yang akan saya nikmati sejatinya dijadwalkan pada pukul 18.00 WITA. Belajar dari pengalaman sebelumnya, setibanya di Pura Uluwatu saya sesegera mungkin mencari posisi yang strategis. Selain lebih khidmat menikmati pertunjukan, juga agar mendapatkan lokasi terbaik untuk melihat matahari terbenam.

Tari Kecak dan Kontemplasi yang Menampar Diri
Para penari kecak memasuki tempat pertunjukan/Dimas Purna Adi Siswa

Tenggelam dalam Tari Kecak

Om Swastiastu!

Pembawa acara membuka pertunjukan sekaligus menyapa wisatawan yang sudah hadir. Tidak lama berselang, pertunjukan dimulai dengan ritual doa yang dipanjatkan oleh Pandita kepada seluruh penari. Pertunjukan Tari Kecak dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu adegan Rama dan Laksmana meninggalkan Sita, Sita diculik oleh Rahwana, Hanoman menyusup ke Alengka, dan adegan terakhir tatkala Hanoman mengobrak-abrik Alengka Pura (Ubudian, 2021). 

Sejatinya cerita Tari Kecak ini bermula dari hasrat Sita untuk mendapatkan Rusa Emas. Di kala usaha Rama memburu Rusa Emas di tengah hutan, Sita mendengar teriakan minta tolong dan seketika mengira teriakan tersebut berasal dari Rama. Sita yang tengah kalang kabut langsung menyuruh Laksmana untuk mencari Rama. Laksmana yang sempat tidak mau meninggalkan Sita sendirian—karena telah berjanji untuk menjaganya—justru dituduh secara sembrono oleh Sita bahwa Laksmana mau mengambil keuntungan apabila terjadi kematian Rama, yang merupakan kakaknya. 

Di titik inilah saya mulai hanyut, tenggelam merenungi kisah kasih diri sendiri. Prasangka buruk menyelimuti pikiran sehingga logika tidak dapat berpikir dengan jernih. Acapkali prasangka membawa kita pada tindakan yang ceroboh dan berdampak pada orang lain secara menyakitkan. 

Seakan terkena getah atas tindakan buruknya sendiri. Babak yang menyakitkan pada Tari Kecak ini adalah Sita diculik oleh Rahwana, sosok yang mempunyai sepuluh muka dan digambarkan sebagai tokoh yang keji dan kejam. Perjuangan keras Rama, dengan dibantu Laksmana serta Hanoman untuk menyelamatkan Sita, ditanggapi oleh Sita dengan memberikan sebanyak mungkin pertanda. Tujuannya memberikan ketenangan serta petunjuk kepada Rama. Kisah romansa Rama dan Sita ini pun tidak kalah mengharukan dibanding dengan Romeo dan Juliet. 

Hal yang membuat saya semakin termenung adalah tragedi kelam yang dialami oleh Rama dan Sinta bukanlah barang remeh. Coba bayangkan apabila kekasih hati kita tiba-tiba diculik oleh orang yang kita ketahui berperilaku dan berperangai tidak baik. Jika hanya berlandaskan pada logika dan firasat, pemikiran buruk sudah terbayang dan rasanya seakan hanya ingin menyerah saja bukan? 

Firasat dan logika terkadang menyatu dalam satu konklusi yang sama. 
Terlebih prasangka yang buruk bertamu memberikan hentakan gema. 
Akan tetapi, kali ini aku belajar kembali. 
Tidak selalu logika dimenangkan. 
Belum tentu firasat dibenarkan. 
Arunika yang sedari tadi menyeruak itu sejatinya sedang tertutup oleh kabut hitam. 
Oleh awan abu yang diiringi desir angin badai yang menerkam. 
Izinkan aku, langit meneduhkanmu. Aku percaya. 
Gemuruh badai akan berganti dengan ketenangan. 
Kabut hitam pun menyusul akan hilang dengan kegembiraan. 
Hingga akhirnya Arunika-ku kembali bersinar beratraksi. 
Beranjak dari timur ke barat menjadi Virama yang utuh suci. 

(Dimas Purna Adi Siswa, 2024)

Tari Kecak dan Kontemplasi yang Menampar Diri
Pemandangan matahari terbenam/Dimas Purna Adi Siswa

Makna yang mendalam dari pertunjukan Tari Kecak membuat saya tenggelam pada palung pemikiran yang dalam dan melahirkan ungkapan sajak di atas secara impulsif; yang belajar dari makna Tari Kecak. Perenungan kali ini kembali menampar diri untuk terus belajar. Di tengah badai masalah yang menghantam dalam suatu hubungan, hal pertama yang perlu dicermati ialah agar tetap berpikir jernih.

Apabila pasangan kita yang tidak dapat berpikiran jernih, kitalah yang berusaha menenangkan, mendampingi, dan terus berusaha di sampingnya. Begitu pun sebaliknya. Karena sejatinya setiap persoalan atau kesulitan dalam hubungan hanyalah sebuah babak baru untuk mencapai tingkatan-tingkatan selanjutnya.


Referensi

Ubudian. (2021). Sinopsis Lengkap Pementasan Tari Kecak Uluwati. Diakses dari https://www.ubudian.id/page/sinopsis-lengkap-pementasan-tari-kecak-uluwatu.html.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tari Kecak dan Kontemplasi yang Menampar Diri appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tari-kecak-dan-kontemplasi-yang-menampar-diri/feed/ 0 42342
Kayu Putih, Sang Ara Ratu Pulau Dewata https://telusuri.id/kayu-putih-sang-ara-ratu-pulau-dewata/ https://telusuri.id/kayu-putih-sang-ara-ratu-pulau-dewata/#respond Wed, 22 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41986 “Agamaku tertera di dalam guratan batang-batang pepohonan raksasa.Ayat-ayat kehidupan terpatri di dalam kulit mereka.” Luh Gede Saraswati Putri tentu tak asal-asalan menulis bait puisinya yang bertajuk Kekasih Teluk itu. Sebagai orang Bali, ia kenal betul...

The post Kayu Putih, Sang Ara Ratu Pulau Dewata appeared first on TelusuRI.

]]>

“Agamaku tertera di dalam guratan batang-batang pepohonan raksasa.
Ayat-ayat kehidupan terpatri di dalam kulit mereka.”

Luh Gede Saraswati Putri tentu tak asal-asalan menulis bait puisinya yang bertajuk Kekasih Teluk itu. Sebagai orang Bali, ia kenal betul kampung halamannya. Di Pulau Dewata, pohon-pohon besar berdiri kokoh, tinggi menjulang dengan kain poleng melilit. Warga mendirikan pura di bawah naungannya, tempat mereka menyembah Sang Hyang. Tak seorang pun tahu setua apa pohon-pohon itu. Barangkali mereka sudah hidup di sana sejak awal mula waktu. Maka, begitu mendengar tentang pohon berusia tujuh abad, saya tak bisa menahan diri. Saya harus melihatnya.

Awan hitam bergelayut di langit Denpasar saat saya hendak beranjak. Padahal hari masih baru. Saya mengecek bagasi motor, memastikan jas hujan sudah di situ. Kebasahan di jalan jelas bukan pilihan. Setelah memastikan semuanya aman, saya berangkat. Sesuai dugaan, begitu meninggalkan kawasan kota, hujan turun. Saya menepi, mengenakan mantel lalu kembali melaju sambil mengumpat. Helm keparat ini tak ada kacanya!

Kayu Putih, Sang Ara Ratu Pulau Dewata
Jalanan Desa Tua/Asief Abdi

Pohon yang Viral

Kayu Putih, begitu kata orang. Ia disebut-sebut sebagai pohon tertua di Bali. Pohon bertuah itu sempat viral usai seorang bule Rusia berfoto telanjang di depannya dua tahun lalu. Warganet mengutuk aksi perempuan itu dan menuntut ia ditertibkan. “Bali tidak perlu turis sampah!” komentar seorang warganet. Pihak desa adat pun harus menggelar upacara pembersihan agar tak kena tulah. Lalu, turis itu dideportasi.

Kayu Putih berlokasi di Tabanan, sekitar satu jam perjalanan dari Denpasar. Udara semakin sejuk seiring jalur yang menanjak. Di tepi jalan, penjual durian menjajakan dagangan. Berkat arahan Google Maps, akhirnya saya tiba di persimpangan pamungkas.

Jalan menurun, memaksa saya menekan tuas rem. Saya harus hati-hati. Setelah diguyur hujan, jalanan pasti licin. Area di sekitar jalur desa itu dikelilingi bambu—saya tak akan melewati tempat ini di malam hari. Lepas dari rumpun bambu, tampak petak-petak kebun yang ditanami pacar air. Sepertinya, warga menanam tumbuhan itu untuk dibuat canang. Bunga pacar air merupakan salah satu elemen sesajen.

Tidak sulit menemukan objek wisata—Kayu Putih digagas menjadi spot turisme pada 2013 silam—ini. Penunjuk jalannya terpampang begitu saya memasuki Desa Tua. Pohon keramat itu bersebelahan dengan pura desa, yakni Pura Babakan. Karena terletak di Banjar Bayan (banjar adalah wilayah administratif setingkat RW), ia dijuluki Bayan ancient tree. Saya bergegas memarkir motor dan melihat pohon itu dari dekat. 

Di sebuah pos kecil, seseorang menyambut pengunjung. “Isi dulu,” katanya sambil menunjuk daftar tamu. Lelaki berkaca mata itu adalah I Wayan Bagia, salah satu pengurus Pura Babakan. Saya membubuhkan nama dan merogoh saku celana untuk donasi. Pihak pengelola tidak menarik uang karcis. Para turis cukup memberi derma seikhlasnya untuk desa. 

Usai mengucap suksma (terima kasih), saya melangkah ke arah sang pohon. Ia besar sekali. Batangnya bongsor. Mantap dan ajek. Akarnya beralur, membentuk lempeng-lempeng yang menancapkan diri ke bumi. Di lengan putihnya, burung-burung berlompatan. Saya ambil teropong dari ransel. Itu bondol dan perling. Saya merasa kerdil, seperti kurcaci di kaki raksasa. Jadi, ini pohon purba itu. 

Jika orang menyebutnya “Kayu Putih”, pastilah karena warna batang pohon ini. Akan tetapi, itu tak menunjukkan spesiesnya. Ia sama sekali bukan kayu putih. Melaleuca leucadendra, kayu putih yang sesungguhnya, bentuknya tidak begini. Dari perawakannya yang megah, saya yakin pohon di hadapan saya berasal dari suku Moraceae, satu kerabat dengan beringin. Ia pasti Ficus. Besar kemungkinan raksasa di depan saya ini adalah Ficus albipila, sang ara ratu. Rupanya memang sudah takdir Moraceae untuk dipuja lantaran keagungannya. Saya teringat pohon ara dan bodi yang juga sakral di kebudayaan lain. 

Kayu Putih, Sang Ara Ratu Pulau Dewata
Informasi arah menuju objek wisata Kayu Putih/Asief Abdi

Orang Bali dan Pohon

Ketika tengah sibuk mengambil gambar, seseorang menyapa saya. Ia wisatawan asal Denpasar, namanya Sujarwo. Kami pun berbincang perkara pohon.

“Kata orang Bali, pohon besar itu punya penunggu. Lagipula, kami menghormati tumbuhan sebab berkat mereka kita semua bisa bernapas,” paparnya. Saya teringat hantu Banaspati penghuni pohon kepuh. Sepertinya, kisah demit penghuni pohon masih punya marwah di sini. Selain itu, filosofi tradisional tampaknya turut memupuk rasa sayang warga pada tumbuhan.

Orang Bali mengenal konsep tri hita karana (tiga penyebab kebahagiaan), sebuah falsafah kehidupan yang menganjurkan mereka agar menjaga hubungan dengan Tuhan, sesama insan, dan lingkungan. Hanya jika ketiganya selaras, antara yang sekala dan niskala, manusia bisa mencapai kebahagiaan sejati. Laku takzim masyarakat Bali di hadapan pohon-pohon besar mungkin merupakan implementasi dari ajaran tersebut. Lebih-lebih, pohon punya status penting bagi umat Hindu.

Dalam kosmologi Hindu, beberapa jenis pohon diasosiasikan dengan dewa-dewi tertentu. Lagi pula, pesan untuk bersikap welas asih terhadap pohon tertulis dalam kitab suci Hindu. Berikut kutipan dari Regweda:

“Jangan ganggu pepohonan. Jangan mencabut atau memotongnya. Mereka menyediakan perlindungan bagi binatang, burung, dan makhluk hidup lainnya.”

Tak ada metafora. Pesan itu begitu gamblang. Hanya orang bodoh yang gagal memahaminya.

Meski begitu, pohon-pohon yang dianggap keramat rupanya hanya jenis-jenis tertentu dan biasanya berukuran raksasa. Ketika mengobrol dengan Pak Wayan, ia menegaskan soal itu. “Di Bali, pohon-pohon besar memang disakralkan, seperti beringin, pule, dan kepuh,” kata dia.

Kepuh memang sering saya lihat selama berada di Bali. Selain itu ada juga pokok-pokok besar yang saya tak tahu namanya, entah itu trembesi, pakel, atau apa. Saya tidak yakin. Mereka menaungi pura dan setra (kuburan), atau tumbuh begitu saja di pinggir jalan.

Pohon di Kepala Manusia

Agaknya, pohon punya makna khusus bagi alam ide manusia. Ia terpatri sebagai simbol dalam ketidaksadaran kolektif kita. Jangan-jangan, alih-alih digerakkan kesadaran, kedatangan saya dan wisatawan lainnya kemari malah dituntun ketaksadaran. Begitu pula masyarakat Bali yang mengeramatkan pohon. Mereka ditarik oleh apa yang disebut Carl Jung sebagai arketipe. Tampaknya, pohon bermakna perlindungan, seperti kata Regweda. 

Kala nenek moyang masih hidup liar di hutan atau sabana, pohon melindungi mereka dari terik dan hujan. Lain dari itu, pohon juga menyediakan pangan dan obat. Mungkin, nalar tersebut mengendap di alam bawah sadar Homo sapiens. Seperti yang ditulis bule bugil Rusia lewat unggahannya di Instagram sebelum foto syurnya itu mengundang petaka baginya. Ia menulis: 

Bisakah kau dengar itu? Di dalam dirimu, tak hanya ada suaramu. Suara leluhurmu juga ada di sana. Mereka ada dalam darah, jiwa, dan rupamu. Kadang, mereka berpikir dan bicara melaluimu.”

Dalam film Pocahontas, pohon digambarkan sebagai sosok bijaksana. Nenek Dedalu, begitu Pocahontas menyebutnya, merupakan kawan curhat gadis Indian itu sekaligus pemberi petunjuk. 

Sebagai objek wingit, Kayu Putih tak lepas dari kisah mistis yang mampu membuat bulu roma meremang. Konon, pada waktu tertentu, terdengar alunan gamelan dari pohon itu. Warga percaya bahwa di bawah pokok besar itu, terkubur satu set gong bersama benda pusaka lainnya yang dipendam leluhur desa mereka sekian abad lampau. Pengunjung diharap menjaga sikap saat memasuki lokus kudus ini. Jangan serampangan. Ingat, manusia didepak dari Taman Eden lantaran sembarangan memetik buah pohon pengetahuan. Namun, apa rasa hormat hanya untuk yang keramat? Saya pikir tidak.

Di bawah bayang-bayang krisis iklim macam sekarang, hidup selaras dengan alam adalah kunci. Maka, konsep tri hita karana saya rasa pas untuk diterapkan semua orang, penganut Hindu Bali atau bukan. Semua pohon layak dihormati, lingkungan hidup patut dijaga. Ini bukan laku antropomorfis, melainkan penghargaan kepada yang hidup. Sebab kebanyakan dari kita adalah John Smith dalam film Pocahontas. Ia memandang alam sebagai benda mati yang bisa diisap sekehendak hati. Ada baiknya mengingat kembali kidung Pocahontas:

Kaupikir kau berhak atas tanah mana pun yang kaupijak
Bumi sekadar benda mati yang bisa kaukuasai
Namun aku tahu, setiap batu, dan pohon, dan makhluk
Punya kehidupan, punya  jiwa, punya nama

Langit kian kelam. Kelihatannya sebentar lagi hujan akan kembali turun. Saya melangkah menuju pos tempat Pak Wayan bertugas. Dia sedang mengobrol dengan seorang pria kulit putih. Ini musim liburan, ia pasti sibuk menyambut pengunjung. Saya menyapanya, menangkupkan tangan seraya mengucap suksma, lalu melangkah, menjauh dari naungan sang ara ratu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kayu Putih, Sang Ara Ratu Pulau Dewata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kayu-putih-sang-ara-ratu-pulau-dewata/feed/ 0 41986
Estetika Made Bookshop Bali https://telusuri.id/estetika-made-bookshop-bali/ https://telusuri.id/estetika-made-bookshop-bali/#respond Fri, 05 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41611 “Tak ada teman seloyal buku,” kata Ernest Hemingway. Pak Tua itu benar. Tanpa buku, tidak banyak yang bisa saya lakukan saat bepergian. Ketika harus menghemat baterai di bus atau kehilangan sinyal di kapal, buku benar-benar...

The post Estetika Made Bookshop Bali appeared first on TelusuRI.

]]>
“Tak ada teman seloyal buku,” kata Ernest Hemingway.

Pak Tua itu benar. Tanpa buku, tidak banyak yang bisa saya lakukan saat bepergian. Ketika harus menghemat baterai di bus atau kehilangan sinyal di kapal, buku benar-benar menemani saya mengarungi waktu. Maka, saat berada di Bali dan haus bacaan, saya bergegas mencari toko buku. Alih-alih mengunjungi Gramedia dan Periplus, saya malah pergi ke sebuah kios buku bekas di kawasan Seminyak.

Ditemani Kelik, saya melibas kota Denpasar yang penuh kendaraan. Matahari membakar di atas kepala. Aneh, mestinya langit tak seterik ini. Ayolah, ini musim hujan. Ke mana perginya mega-mega? Udara kian mendidih oleh asap knalpot. 

Kelik meliukkan motor, mencari celah meski susah. Jalanan itu macet. Mobil-mobil mengular di persimpangan, menunggu lampu lalu lintas berganti warna. Seorang bule marah-marah di tengah jalan dengan motor N-Max teronggok di aspal. Kacau sekali. 

“Wah, ada bule jatuh,” kata saya.

“Ya, gitu. Kadang mereka itu ngawur,” jawab Kelik.

Saya teringat video viral bule-bule yang bertingkah seenak jidat di Bali. Kelakuan mereka kadang aneh-aneh, mulai dari telanjang di pohon, memelorotkan celana di gunung, sampai ugal-ugalan di jalan. Belakangan, malah ada yang memukul seorang pegawai vila. Apa di mana-mana orang kulit putih merasa superior?

Lepas dari hiruk piruk kota, kami menyusuri jalur kecil menuju Pantai Seminyak. Seperti Legian, area itu penuh kafe dan bar dengan turis berseliweran. Saat motor melaju pelan di jalan sempit, saya melihat sesuatu. Itu penunjuk arah dengan tulisan “Book Shop, All World Language’”. Rupanya kami sudah dekat. Lalu, dua atau tiga tikungan setelahnya, kami tiba di Made Bookshop.

Estetika Made Bookshop Bali
Tiba di Made Bookshop/Asief Abdi

Buku-Buku Bekas yang Estetis

Toko itu sederhana. Barangkali ukurannya hanya lima meter persegi, bersebelahan dengan kedai kopi dan resto kecil. Parkiran sepi. Tampaknya belum ada pengunjung. Saya melangkah masuk dan disambut buku-buku yang berjejalan. Di belakang rak, seseorang sedang sibuk memilah buku. Usai menyapa dengan seutas senyum dan ucapan “halo”, ia kembali sibuk bekerja. Dialah Made Sutomo, sang pemilik toko.

Di ruang sempit dan redup itu, tumpukan buku memenuhi setiap sudut. Buku-buku tersebut ditata rapi dan dipilah berdasarkan bahasanya: Belanda, Jerman, Prancis, Inggris, Skandinavia, dan entah bahasa apa lagi yang luput dari pengamatan saya. Luar biasa, seluruh dunia bisa muat di bilik sempit ini.

“Dari mana semua buku ini, Pak?” tanya saya.

“Saya dapat dari orang hotel. Banyak turis meninggalkan bukunya saat check out. Ada juga donasi dari bule,” jawabnya sambil tetap bekerja. Minat baca di luar sana rupanya memang lebih baik daripada negeri ini. Saya tidak kaget jika wisatawan Barat membawa buku saat melancong. Saya lebih heran mereka bisa meninggalkannya begitu saja.

Estetika Made Bookshop Bali
Toko buku bekas Made Bookshop di Seminyak/Asief Abdi

Semua buku di Made Bookshop merupakan barang bekas. Meski begitu, semuanya asli. Bukan bajakan—apalagi fotokopian. Mungkin, itulah kelebihannya dibanding toko buku-toko buku besar di Denpasar yang menjual buku anyar. Ini semua barang antik. Lembar-lembar yang sudah berubah warna lantaran digerogoti waktu justru menambah estetika buku-buku bekas itu.

“Selain murah, buku bekas punya banyak kelebihan,” ujar Pak Made.

“Oh, ya? Kenapa, Pak? Karena antik?” jawab saya sambil membuka buku yang kertasnya menguning.

“Ya, itu juga salah satunya. Ada juga lainnya.”

Pak Made menghentikan sejenak pekerjaannya. Menatap saya dengan matanya yang sipit, lalu menjelaskan.

“Kalau buku baru, selain mahal, belum tentu ada yang baca. Nah, kalau buku-buku ini, kan sudah pasti ada yang baca,” jelas dia.

Boleh juga pemikiran Pak Made. Lagipula, buku-buku di tokonya memang dijual dengan harga murah. Toko buku besar layak memperhitungkan Made Bookshop sebagai saingan. Menurutnya, turis lebih suka membeli buku bekas. Pak Made bahkan membolehkan pelanggan menukar buku yang sudah dibeli dengan buku lain dengan membayar selisih harganya saja.

“Orang kalau baca buku biasanya cuma sekali. Begitu selesai disimpan di sini,” katanya sambil menunjuk pelipis. Saya teringat buku-buku di kamar. Kebanyakan hanya saya baca satu kali. Barangkali suatu saat saya harus menjualnya juga.

Tiba-tiba saya teringat sesuatu. “Ada buku Eat, Pray, Love, Pak?”

“Wah, sudah laku. Kemarin ada itu.”

Sayang sekali, padahal saya ingin sekali membacanya. Merasakan Bali di halaman-halamannya. Sebelum bertolak ke Bali, saya sempat menonton film yang diadaptasi dari novel itu. Boleh dibilang, film itu membawa saya kemari. 

Saya kembali memilih buku, siapa tahu ada penulis yang saya kenal. Tunggu, apa itu? Ernest Hemingway. Ah, tetapi berbahasa Prancis.

“Hemingway yang bahasa Inggris ada, Pak?”

“Wah, enggak tahu, ya. Saya enggak hafal nama-nama penulis. Kalau buku populer macam Eat, Pray, Love saya tahu.”

Estetika Made Bookshop Bali
Pak Made di meja kerjanya/Asief Abdi

Sekadar Berbisnis Buku

Sepertinya Pak Made bukan penggila buku. Ia hanya pedagang biasa. Apa yang dia lakukan tak ada hubungannya dengan misi-misi romantis soal literasi yang kerap digaungkan orang. Ia sekadar mencari uang. Pak Made mengaku sudah tiga puluh tahun lebih menekuni bisnisnya. Sebelum ini, tokonya berlokasi di area Kuta. Baru tiga tahun lalu ia pindah ke Seminyak.

Seorang pria kulit putih masuk. Pak Made mengucapkan, “Hello.” Lelaki itu tak menjawab. Ia melihat-lihat sekeliling. Tak lama, si bule keluar. Barangkali tak ada yang cocok untuknya.

“Pengunjung biasanya dari mana saja, Pak?”

“Macam-macam. Amerika, Kanada, Australia, Prancis, Singapura.”

“Kalau turis lokal?”

“Tempo hari ada orang-orang Jakarta kemari. Ah, iya, waktu KTT G20 lalu, Pak Prabowo mampir ke sini.”

“Oh, ya? Beli buku apa beliau?”

“Apa, ya. Buku pemerintahan kayaknya.”

Kalau sampai dikunjungi tokoh publik sekelas menteri, saya pikir Made Bookshop memang bukan sembarang toko buku. Ia ikonis. Estetis dengan caranya sendiri. 

Estetika Made Bookshop Bali
Rak buku berbahasa Jerman/Asief Abdi

Setelah menelusuri setiap sudut rak, saya menemukan buku menarik: Flight of the Storks. Saya baca blurb di sampul belakang buku. Bagus, tentang seorang ornitologis. 

“Ini berapa, Pak?”

“Coba lihat di halaman awal. Saya tulis harganya di situ.”

Saya buka lembar pertama. Rp.70.000. Boleh juga. Lagipula sepertinya saya tidak bakal menemukan buku ini di tempat lain. Usai membayar dan mengucap suksma (terima kasih) kepada Pak Made, saya beranjak.

“Kamu enggak beli buku, Lik?” tanya saya pada Kelik. Ia menggeleng. Benar juga, anak itu bukan pembaca. Mestinya saya tak perlu bertanya. 

Saat melangkah keluar pintu, tebersit sesuatu di benak saya. Pak Made bekerja sendirian di tokonya. Apa ia tidak kesepian berada di sana seharian?

Lalu, saya teringat satu kutipan dari sebuah film berjudul The Bookshop. Tak ada yang akan merasa kesepian di toko buku.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Estetika Made Bookshop Bali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/estetika-made-bookshop-bali/feed/ 0 41611
Dilema Penyu dan Manusia (2) https://telusuri.id/dilema-penyu-dan-manusia-2/ https://telusuri.id/dilema-penyu-dan-manusia-2/#respond Wed, 28 Feb 2024 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41256 Penyu di fasilitas penangkaran Sindu Dwarawati merupakan hasil tetasan yang dibesarkan selama satu tahun atau lebih sebelum dilepas ke samudra. Telur-telur penyu itu diambil dari sarang mereka di pantai lalu dipindahkan ke tempat penetasan untuk...

The post Dilema Penyu dan Manusia (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Penyu di fasilitas penangkaran Sindu Dwarawati merupakan hasil tetasan yang dibesarkan selama satu tahun atau lebih sebelum dilepas ke samudra. Telur-telur penyu itu diambil dari sarang mereka di pantai lalu dipindahkan ke tempat penetasan untuk menjauhkan mereka dari bahaya. Alih-alih langsung dilepas begitu menetas, Pak Kadek memilih untuk membesarkan tukik-tukik itu terlebih dahulu. Dia melakukannya bukan tanpa alasan.

Menurutnya, membesarkan anak-anak penyu sebelum dirilis ke laut dapat memperkecil peluang mereka mati dimakan predator. “Tukik yang baru menetas, peluang hidupnya cuma satu per seribu,” jelasnya. Memang, ketika baru menetas, bayi penyu akan merangkak ke laut, berenang cepat-cepat—para ilmuwan menyebutnya swimming frenzy—menghindari mulut dan cakar predator. Oleh karena itu, mereka biasanya menetas saat malam, ketika pasir mendingin dan seolah berbisik pada mereka, “inilah saatnya.”

Selain itu, menurut Pak Kadek, ukuran penyu yang sudah dirasa pas memudahkan proses dokumentasi. “Biar kelihatan kalau difoto, jadi, kegiatan kami jelas,” imbuhnya.

Bagaimana mengatakannya, tetapi saya tidak sependapat. Saya pikir, penyu harus segera mencapai lautan begitu keluar dari cangkang telur. Terlalu banyak intervensi terhadap siklus hidup penyu dapat menjauhkan mereka dari sifat alaminya dan mengubah hidup mereka untuk selamanya. Oleh karena itu, bukankah metode pembesaran ini sangat tidak natural? Seakan bisa membaca pikiran saya, Pak Kadek menjelaskan pendapatnya.

“Penyu-penyu itu pernah kami beri makan berbagai macam dedaunan. Mereka bisa memilih mana yang bisa dimakan dan mana yang tidak. Siapa yang mengajari? Bukankah itu insting?” jelasnya. Logika sederhana, tetapi saya masih sulit menerimanya. Saya pikir, persoalannya tak sesimpel itu. Saya pernah mengikuti pelatihan konservasi orang utan pada 2013 silam dan mendapati betapa sulit melepas hewan liar kembali ke habitatnya. Mereka harus dilatih supaya bisa menjalani hidupnya sebagai satwa liar. Lebih-lebih, mereka yang direnggut dari habitatnya sejak masa-masa awal hidupnya, seperti penyu-penyu ini.

Dilema Penyu dan Manusia (2)
Tempat penetasan telur-telur penyu/Asief Abdi

Mengasuh Tukik di Penangkaran

Hewan yang lahir dan hidup di penangkaran perlu diajari perkara keadaan di habitat alaminya. Penyu-penyu di tempat ini menghabiskan satu sampai dua tahun hidupnya di kolam-kolam dangkal, bubur ikan, dan jam makan rutin layaknya manusia. Banyak ahli meyakini, bahwa membesarkan tukik untuk merilisnya kemudian sama saja dengan merampas bayi-bayi itu dari masa-masa paling menentukan dalam hidup mereka. 

Saat merangkak ke laut, tukik tak sekadar bergerak. Mereka merekam lingkungan sekitar—imprinting, kata ilmuwan, mengingat koordinatnya, tekstur pasirnya—barangkali juga aromanya, untuk kembali saat waktunya bertelur kelak. Setelah mencapai lautan, mereka mengembangkan kemampuan paru-paru dan otot-ototnya untuk mengarungi dan menyelami samudra. Pelajaran yang jelas tak diberikan fasilitas penangkaran. 

Penyu yang menetas dan tumbuh di penangkaran melewatkan momen-momen penting itu. Besar kemungkinan mereka akan kesulitan hidup di lautan. Mereka terbiasa hidup di tempat yang kondisinya sama sekali berbeda dengan segara. Menurut saya, tanpa habituasi yang tepat, penyu-penyu itu tak akan bisa apa-apa usai dilepas. Kemampuan biologisnya tak berkembang seperti saudara-saudara liarnya. Karena sudah terbiasa dengan manusia, bisa-bisa mereka malah mendekati perahu nelayan dan meminta jatah tangkapan. Ada baiknya memasang alat pelacak dan mengamati kehidupan mereka usai dilepasliarkan. Dengan demikian, efektivitas cara tersebut tak bermodal keyakinan buta belaka.

Sebenarnya, teknik pembesaran telah lama digunakan dalam upaya konservasi penyu. Headstarting, begitu para ilmuwan Barat menyebutnya. Teorinya sederhana, semakin besar ukuran anak penyu, semakin besar pula kesempatannya sintas. Meski sudah banyak diterapkan, beberapa pihak meragukan metode ini lantaran belum ada penelitian yang dianggap cukup valid terkait efektivitasnya. Selain itu, kehidupan penyu di penangkaran jauh dari sifat alami penyu sehingga berpotensi mengubah perilaku dan menjadi sarana penularan penyakit. Lalu, sejauh mana batas intervensi manusia sebaiknya?

Emma Marris dalam bukunya, Wild Souls, menyampaikan kegelisahannya soal itu. Aktivitas manusia di muka bumi dan dampaknya yang masif telah melahirkan suatu tanggung jawab etik terhadap penghuni bumi lainnya. Menurutnya, manusia telah membentuk dunia yang ditinggali satwa liar kiwari. Oleh karena itu, ia percaya manusia punya “tugas” terhadap mereka. Permasalahannya, bagaimana menjaga bentuk tanggung jawab itu tetap seimbang, merawat otonomi mereka sekaligus tetap rendah hati? “Jika kita tak melakukan apa-apa, makhluk nonmanusia menderita. Akan tetapi, jika manusia berbuat terlalu banyak, yang akan terjadi malah dominasi dan opresi,” tulis dia.

Saya mendiskusikan persoalan ini dengan Veryl Hasan, kawan saya yang juga merupakan dosen di Fakultas Kelautan dan Perikanan Unair. “Langsung lepas begitu menetas dan biarkan alam bekerja,” ujarnya. Sebuah artikel yang terbit di Marine Turtle Newsletter menyebut headstarting hanya tampak ampuh di permukaan, tetapi kenyataannya tidak. Artikel lain yang diterbitkan Turtle Foundation bahkan menyebut tindakan penangkaran yang membesarkan dan menarik pengunjung untuk melihat anak-anak penyu sebagai eksploitasi terhadap tukik.

Meski tampak bisa mengatasi persoalan susutnya populasi penyu, headstarting justru mengaburkan akar masalah yang dihadapi binatang itu, seperti perburuan, perdagangan liar, overfishing, polusi, dan perubahan iklim. Selama masalah-masalah tersebut tak selesai, memulihkan jumlah penyu di lautan sepertinya tak banyak berguna, hanya menyediakan lebih banyak karapaks bagi pemburu liar untuk dijarah. Tidak heran jika banyak pihak mengkritik praktik tersebut. Lebih-lebih jika penyu dijadikan objek wisata berlabel konservasi.

  • Dilema Penyu dan Manusia (1)
  • Dilema Penyu dan Manusia (2)

Antroposentrisme Wisata Penyu

Melihat letaknya yang berada di spot wisatawan, sulit untuk tidak berpikir bahwa penangkaran ini juga berfungsi menarik pengunjung. Seperti kebun binatang gratis dengan kotak donasi. Akibatnya, penyu-penyu itu lambat laun akan terbiasa dengan manusia. Tak ada yang mengajarkan mereka untuk menjauhi manusia. Saya bisa mengerti mengapa fasilitas semacam ini mendapat banyak sorotan para pemerhati satwa liar.

Profauna, organisasi yang getol mengampanyekan kesejahteraan satwa liar menyebut penangkaran penyu sebagai bisnis. Dalam situs resminya, mereka mengkritik praktik penangkaran penyu di Indonesia yang rata-rata dibangun dengan biaya minim untuk meraup untung. Profauna bahkan tidak menyarankan wisatawan untuk mengunjungi dan mendukung fasilitas tersebut. 

Wisata lepas penyu yang lazim di Bali saya pikir juga perlu direnungkan kembali. Lebih dari satu dekade lalu saya pernah melihat pelepasan tukik di Pantai Kuta. Masih segar di ingatan saya saat bayi-bayi rentan itu diwadahi baskom warna-warni untuk dilepas ke lautan. Seseorang dengan pengeras suara memberi aba-aba agar tak ada yang menghalangi jalan makhluk-makhluk kecil itu menjemput kebebasan. Mereka merangkak, sirip kecilnya mencengkeram pasir, menyambut ombak yang datang, dan hilang bersama gelombang.

Melepas penyu ke laut itu baik, saya tahu. Wisatawan yang ikut melepas tukik ke lautan pasti merasa telah melakukan hal yang benar. Tapi, benarkah? Setelah menetas, tukik akan berpacu dengan waktu. Jika dibiarkan terlalu lama di ember atau baskom demi menunggu waktu rilis yang tepat—atau rombongan wisatawan, energi yang seharusnya digunakan untuk mencapai lautan, melintasi terumbu karang, dan menghindari rahang-rahang lapar, justru akan habis. Akibatnya, saat hendak dilepas, bayi-bayi itu seperti mainan yang kehabisan baterai, menjadikan mereka semakin rentan di lautan. Semua ini membuat saya berpikir bahwa upaya yang sebelumnya saya kira “benar” ternyata tidak juga. Sesuatu yang dilakukan atas nama konservasi, nyatanya antroposentris. Tak cocok dengan pandangan deep ecology Arne Naess. Dan saya kaget saat mengetahui bahwa di tempat lain, yang terjadi malah lebih buruk.

Sepulang dari Bali saya mengobrol dengan kawan lama saya, Thobib Hasan alias Tobi. Tahun lalu ia melakukan penelitian di Belitung dan melihat tukik-tukik dieksploitasi.

“Parah banget, Mas, di sana itu. Kalau mau melepas penyu harus bayar dulu!” ujarnya dengan ekspresif. Bagus, kini wisatawan harus membayar untuk melepas bayi-bayi penyu. 

Dilema Penyu dan Manusia (2)
Mau lepas penyu, bayar dulu/Thobib Hasan

“Oh, ya? Bayar berapa memangnya?” tanya saya.

“Rp25.000 satu tukik! Gila, kan?”

“Ada fotonya, nggak? Coba lihat.” Ia mengambil iPhone-nya dan menunjukkan foto itu. 

Pengalaman serupa juga dialami Veryl. Tahun lalu, ia juga mengerjakan sebuah riset di Belitung. Di sana, ia ditawari telur penyu. “Mereka jual telur penyu, tapi ya sembunyi-sembunyi. Aku aja kemarin ditawari. Cuma Rp3.000 satu butir. Murah,” katanya. Menyedihkan, penyu-penyu itu nasibnya sudah malang sejak dalam cangkang.

Melihat berbagai ancaman bagi kelangsungan hidup penyu, rasanya memang masih banyak yang perlu dilakukan demi kelestarian spesies mereka. Tampaknya, sudah menjadi tanggung jawab manusia untuk menjaga eksistensi mereka di muka bumi. Dan memang, sesekali manusia terpaksa harus ikut campur demi kelestarian suatu jenis makhluk hidup.

Penangkaran penyu merupakan salah satu bentuk intervensi manusia terhadap takdir spesies tersebut. Hingga kini, banyak spesies berhasil ditarik dari bibir jurang kepunahan oleh campur tangan manusia. Namun, tanpa pengetahuan dan teknik yang tepat, bisa-bisa niat mulia malah berujung bencana. Saya pikir, ada baiknya meninjau kembali upaya pelestarian penyu yang selama ini dilakukan oleh fasilitas penangkaran, membaca atau melakukan riset yang memadai untuk menguji metode yang dianut. Agar penyu-penyu yang diserahkan ke rahim sang segara, bisa menjadi penyu seutuhnya dan bisa mengarungi takdirnya sebagai satwa liar yang patuh pada kehendak evolusi.

Referensi

Marris, Emma. 2021. Wild Souls. New York: Bloomsbury Publishing.
Phillot, Andrea. P. 2023. Holding and Headstarting Sea Turtle Hatchlings. Indian Ocean Turtle Newsletter No. 38.
Sandi, Bayu, Thomas Reischig, Hiltrud Cordes. 2015. Exploitation of Turtle Hatchlings: How Headstarting Poses an Increasing Problem Sea Turtle Conservation in Indonesia. Poster for 35th Annual Symposium on Sea Turtle Biology and Conservation.
Woody, Jack B. 1991. It’s Time to Stop Headstarting Kemp’s Ridley. Marine Turtle Newsletter 55:7-8.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dilema Penyu dan Manusia (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dilema-penyu-dan-manusia-2/feed/ 0 41256
Dilema Penyu dan Manusia (1) https://telusuri.id/dilema-penyu-dan-manusia-1/ https://telusuri.id/dilema-penyu-dan-manusia-1/#respond Tue, 27 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41246 Gulungan awan hitam sama sekali tak cocok dengan imajinasi tentang Bali sebagai pulau tropis yang hangat dan bermandi sinar matahari. Meski lebih sering cerah, langit Denpasar sesekali menangis, mengingatkan orang bahwa ini musim hujan. Seperti...

The post Dilema Penyu dan Manusia (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Gulungan awan hitam sama sekali tak cocok dengan imajinasi tentang Bali sebagai pulau tropis yang hangat dan bermandi sinar matahari. Meski lebih sering cerah, langit Denpasar sesekali menangis, mengingatkan orang bahwa ini musim hujan. Seperti pada suatu pagi di bulan Januari, saat saya dan paman berjalan kaki di pantai Sanur.

Matahari masih malu-malu, tetapi pantai itu sudah riuh. Wisatawan lokal dan mancanegara berseliweran. Ada yang bersepeda, jogging, foto-foto, dan bersantai di pantai. Kami meneruskan langkah, merampungkan sekian kilometer yang ditargetkan paman. “Kaki itu fondasi tubuh. Kalau kakimu kuat, tubuhmu akan sehat,” katanya.

Dilema Penyu dan Manusia (1)
Pagi yang mendung di Pantai Sanur/Asief Abdi

Langit masih murung. Saya khawatir hujan akan turun. Tidak, mendung bukan pertanda hujan. Pandangan saya menyapu pantai. Kapal-kapal yang tertambat menjadi tempat kawanan pecuk bertengger. Ombak tampak ragu-ragu. Jika ingin berselancar, wisatawan harus sedikit ke tengah untuk mendapatkan gelombang yang cukup.

Sambil terus berjalan paman mengoceh soal kehidupan, menguliahi keponakannya tentang bagaimana menjadi bijak dalam menyikapi hidup. Lama-lama, saya memelankan langkah, membiarkannya berjalan duluan.

Meski tidak tinggal dan bekerja di sini, saya turut lega melihat Bali kembali hidup usai nyaris tiga tahun mati suri ditelan pandemi. Kafe dan bar kembali beroperasi, kursi dan meja ditata, payung-payung pantai kembali dibuka. Sebuah ekskavator merangkak di pasir. Lehernya berayun-ayun, mesinnya meraung mengganggu suasana pagi. Tak jauh dari alat berat itu, sesuatu menarik perhatian saya. Tempat pelestarian penyu. Saya melangkah masuk.

Dilema Penyu dan Manusia (1)
Tempat pelestarian penyu di Pantai Sanur/Asief Abdi

Pelestarian Penyu di Pantai Sanur

Baru kali ini saya berkunjung ke penangkaran penyu. Saya bahkan baru tahu jika tempat seperti itu ada. Di dalamnya, terdapat petak-petak kolam berisi penyu laut. Turis-turis tampak antusias melihat reptil bertempurung itu berenang menggunakan siripnya. Beberapa menjulurkan tangan, menyodorkan dedaunan atau ikan yang sudah dicincang pada hewan-hewan itu. Rasanya seperti berada di kebun binatang. 

Ada dua jenis penyu di situ, yaitu penyu sisik dan penyu lekang. Ukurannya beragam. Ada yang sedang, ada pula yang besar hingga sepertinya terlalu besar untuk berada di penangkaran. Pengunjung berdatangan. Anak-anak kecil menghambur, tak sabar ingin menengok hewan yang mungkin hanya pernah mereka lihat di Discovery Channel

Seorang laki-laki bertubuh besar menghampiri saya. Barangkali karena saya tampak sangat antusias dengan penyu-penyu itu. Kelak saya tahu bahwa ia adalah Made Winarta, sang pengelola. Saya taksir usianya sekitar 50 tahun.

“Suka hewan?” katanya.

“Iya, Pak,” jawab saya.

“Dari komunitas pencinta reptil?”

“Bukan, Pak. Saya turis.”

Kami kemudian duduk di tepi kolam dan mengobrol soal tempat itu, Pelestarian Penyu Sindu Dwarawati.

Pak Kadek—begitu ia minta disapa—mengaku sudah lima belas tahun bergelut dengan pelestarian penyu. Cukup lama hingga ia bisa mengenali jenis penyu hanya dari jejak sirip mereka di pasir. Ia berkisah soal perjuangannya membangun fasilitas pelestarian penyu lautnya itu.

“Awalnya saya pakai kotak styrofoam sederhana,” kata dia.

“Kotak ikan itu, Pak?” tanya saya.

“Iya, yang itu. Ya, syukur sekarang sudah bisa punya kolam.”

Seolah sepakat, pandangan kami tertuju pada kolam. Ia kemudian bercerita betapa senang dia saat menemukan penyu hijau di Sanur. “Bayangkan, dari awal saya mulai, baru tahun lalu ada penyu hijau bertelur di Sanur!” ujarnya penuh semangat.

Saya mengangguk-angguk. Pasti luar biasa rasanya menemukan reptil purba itu. Lebih-lebih jika hewan itu bukan sekadar binatang.

Dilema Penyu dan Manusia (1)
Pak Kadek dan penyu-penyu di fasilitas penangkarannya/Asief Abdi

Makna Kehadiran Penyu

Bagi Pak Kadek, penyu punya makna simbolis. Oleh karena itu, melestarikan penyu bukan perkara melindungi satwa langka belaka. “Penyu itu simbol bumi. Menjaga penyu berarti menjaga bumi,” kata dia.

Benar juga, penyu merupakan salah satu avatar Wisnu dalam kosmologi Hindu. Penyu bukan hewan melata semata, melainkan juga jelmaan dewata. Saya teringat arca penyu yang menghiasi candi-candi Hindu di lereng gunung Lawu. Benar-benar upaya mulia.

“Perjuangan saya ini seperti serpihan debu saja. Masih banyak yang perlu dilakukan,” ujar Pak Kadek. Rendah hati sekali, batin saya. Ia mengaku bahwa upayanya tak hanya untuk alam, tetapi juga demi negara. Pada gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 lalu, ia menyiapkan dua puluh ekor penyu untuk dilepasliarkan oleh delegasi masing-masing negara. “Biar dunia tahu kalau Indonesia berjuang untuk konservasi penyu,” katanya.

Sangat patriotis. Seperti yang diketahui, semua jenis penyu laut merupakan spesies dilindungi. Bagaimana tidak, bahaya datang dari mana-mana.

Berbagai jenis ancaman menghantui eksistensi penyu di muka bumi, mulai dari sedotan plastik dari meja makan, hingga bencana perubahan iklim. Di Bali, hiruk piruk orang di pantai merintangi penyu-penyu untuk berbiak. Menurut Pak Kadek, aktivitas wisatawan di pantai membuat struktur pasir memadat sehingga tukik kesulitan mencapai permukaan begitu menetas. Siapa yang akan sadar kalau ternyata ia sedang berdiri di atas sarang penyu? Selain itu, kata dia, polusi cahaya mengurungkan niat penyu untuk naik ke daratan saat hendak bertelur di malam hari.

Saya teringat pantai Jimbaran yang terang benderang, tempat saya makan semalam. Apa jadinya jika semua pantai di dunia disulap menjadi tempat gemerlap? Ke mana para penyu akan bertelur? Haruskah nasib mereka berakhir di penangkaran? Dan, bagaimana nasib penyu-penyu itu di sana?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dilema Penyu dan Manusia (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dilema-penyu-dan-manusia-1/feed/ 0 41246