bandara Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bandara/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 01 Sep 2021 15:35:21 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 bandara Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bandara/ 32 32 135956295 Menuju Nusa Tenggara Timur Semasa Corona (1) https://telusuri.id/menuju-nusa-tenggara-timur-semasa-corona-1/ https://telusuri.id/menuju-nusa-tenggara-timur-semasa-corona-1/#respond Thu, 02 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30064 Selain belum cukup lama, perjalanan (baca: drama) ini pun belum selesai semua dan detail saya ceritakan ke kawan atau orang terdekat, baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan. Jadi, ceritanya, bulan Juni 2021 kemarin, saya...

The post Menuju Nusa Tenggara Timur Semasa Corona (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Selain belum cukup lama, perjalanan (baca: drama) ini pun belum selesai semua dan detail saya ceritakan ke kawan atau orang terdekat, baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan.

Jadi, ceritanya, bulan Juni 2021 kemarin, saya diajak pergi berkunjung oleh kawan ke Nusa Tenggara Timur (NTT). Kami ke sana sebagai relawan, dalam rangka penyaluran bantuan recovery (pemulihan) pascabencana badai siklon tropis Seroja yang melanda NTT pada April 2021 lalu.

Saya dan kawan sudah merencanakan beberapa agenda di NTT, mulai hari pertama hingga hari terakhir di sana. Kami berencana empat hari di sana, di tiga kabupaten/kota yaitu ke Kota Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), dan ke Kabupaten Malaka. Tentu, saya senang bukan alang kepalang. Karena perjalanan ke NTT merupakan perjalanan pertama saya; saya belum pernah menginjakkan kaki dan mengenal daerah dan orang-orang di sana.

Saya hanya punya pengalaman bertemu atau lebih tepatnya memandangi orang Kupang yang merantau, yang bekerja di pabrik-pabrik di tempat kelahiran saya di Kabupaten Bogor. Mereka, tidak banyak, mengontrak tempat tinggal di desa saya, yang dekat dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki menuju pabrik. Mereka, orang-orang Kupang, berangkat ke pabrik pagi dan pulang sore hari. Dan saya beserta kawan-kawan masa kecil hampir saban sore—saat bermain bola di tanah lapang merah belakang pabrik—melihat mereka sepulang bekerja, dengan wajah yang lelah dan berkeringat. Dan postur tubuh mereka, saya lihat memang tinggi-tinggi dan besar. Kami—atau mungkin cuma saya—kerapkali takut memandangnya.

Itu pengalaman masa kecil saya saat berjumpa dengan orang-orang dari Kupang. Kira-kira, saya masih duduk di bangku kelas 5 SD.

Intinya, waktu hendak melakukan perjalanan ke NTT, saya sangat bersemangat. Terlebih, tempat singgah utama kami berada di Kota Kupang. Ya, saya ingin mengenal daerah dan orang-orang di sana, meskipun barang sejenak.

Sebuah “drama” perjalanan terjadi di Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Sebelumnya, perlu saya sampaikan bahwa tiket penerbangan kami dimulai dari Bandara Halim Perdanakusuma, transit di Bandara Juanda Surabaya, lalu dari Surabaya lanjut terbang menuju Kupang, tepatnya ke Bandara El Tari.

“Drama” terjadi pada pagi hari, tanggal 15 Juni. Saya dan kawan tiba di Bandara Halim Perdanakusuma sekitar pukul 04.00 WIB, lalu antre panjang di satu-satunya jalur yang ada untuk validasi surat hasil tes GeNose yang menyatakan bahwa kami sehat dan tidak terpapar COVID-19. Ya, ini perjalanan pertama kami di masa pandemi.

Tiba di depan petugas, surat hasil tes GeNose kami ternyata ditolak. Tidak diterima. Alasannya, surat yang kami bawa, bukan dikeluarkan oleh Layanan GeNose di Bandara Halim Perdanakusuma. Jadi, intinya, kalau tes GeNose mesti di Halim. Itu peraturan dari Angkasa Pura II, kata petugasnya. Dan layanan GeNose di Halim mulai buka jam 6 pagi. Sementara penerbangan kami ke bandara transit di Surabaya, itu pukul 05.15 WIB. ‘Kan lucu.

Waktu makin mepet, kami panik. Dari Halim kami balik ke kantor di Jakarta Pusat untuk mengambil surat keterangan hasil tes Antigen sore hari sebelum keberangkatan. Kami minta ke sopir taksi buat ngebut dan nantinya mencoba balik lagi ke Halim untuk mengejar pesawat. Tidak bisa. Tiba di kantor, waktunya terlalu mepet. Pak sopir juga tidak berani ngebut, “Karena kendaraan pagi kencang-kencang, gerimis, jalanan licin, khawatir kecelakaan,” kata sopir.

Akhirnya kami membeli tiket baru dari Soekarno-Hatta tujuan Bandara Juanda Surabaya untuk mengejar pesawat dari Surabaya ke Kupang, jam 10 kurang. Tentu, tiket Halim-Juanda hangus sudah. Seperti telah saya sampaikan di muka bahwa agenda kami ke NTT adalah untuk menyalurkan bantuan secara langsung dari para donatur kepada para warga terdampak bencana badai Seroja. Jadi, kami harusnya menghemat biaya operasional. Namun, apa mau dikata jika kejadiannya demikian. Kejadian yang sungguh tidak terduga menyebalkannya.

Singkat cerita, kami tiba di Soekarno-Hatta dengan mantap membawa dua surat keterangan hasil tes Antigen dan GeNose yang ditolak di Halim. Di depan petugas di Soekarno-Hatta, aku coba menyerahkan surat keterangan hasil tes GeNose dulu. Dan, surat tersebut diterima. Surat Antigen masih dalam amplop. Kami pun berjalan masuk, sambil misuh.

Halim dan Soekarno-Hatta sama-sama dikelola oleh Angkasa Pura II, tapi kok peraturannya bisa beda? Sungguh, “drama” pagi hari yang menyebalkan.

Mendengarkan cerita warga Mualaf yang selama 40 tahun tidak memiliki tempat ibadah berjamaah
Mendengarkan cerita warga Mualaf yang selama 40 tahun tidak memiliki tempat ibadah berjamaah/Wahyu Noerhadi

Akan tetapi, “drama” itu tampaknya terbayar lunas ketika saya dan kawan tiba di Bandara El Tari, ketika saya menginjakkan kaki di Pulau Timor. Juga ketika melakukan perjalanan dan berjumpa dengan orang-orang di sana, di Kupang, di Kabupaten TTS dan di Kabupaten Malaka.

Masyarakaat Desa Oebelo, TTS, menyambut kedatangan kami dengan tradisi adat natoni, mereka mengalungkan syal tenun khas NTT dan penuturan bahasa Dawan, bahasa suku Atoni; mendengarkan kisah mereka sebagai warga mualaf sejak 1981 sampai sekarang (selama 40 tahun) belum memiliki tempat ibadah bersama, dan masjid terdekat pun jaraknya 11 km yang berada di lain desa dan lain kecamatan. Kemudian, melihat keelokan Pantai Kolbano—di tengah perjalanan dari TTS menuju Malaka—yang jernih airnya biru sejati dengan keajaiban hamparan kerikil (bukan pasir); juga saat di Malaka, mendengarkan langsung aksi heroik warga menyelamatkan diri sekaligus mengevakuasi korban banjir bandang.

Satu lagi. Kisah Bu Ona Baso, seorang Ibu Rumah Tangga di Kota Kupang yang suaminya selama 2 bulan tidak bisa pergi melaut dan mencari ikan karena kapalnya yang hancur diporakporandakan badai Seroja. “Ya, dua bulan tidak melaut saya punya suami. Sekarang sudah ke laut lagi, dan alhamdulillah ini dapat rezeki (bantuan), karena kadang kalau di laut tidak sama sekali. Terima kasih atas bantuannya,” tutur Ona, saat kami berjumpa dan menyalurkan bantuan kebutuhan pokok kepada warga di Kupang, yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menuju Nusa Tenggara Timur Semasa Corona (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menuju-nusa-tenggara-timur-semasa-corona-1/feed/ 0 30064
Pada Suatu Senja di Bandara Internasional Minangkabau https://telusuri.id/pada-suatu-senja-di-bandara-internasional-minangkabau/ https://telusuri.id/pada-suatu-senja-di-bandara-internasional-minangkabau/#respond Mon, 05 Jul 2021 01:08:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28588 Waktu santai saya terganggu kala tiba-tiba salah satu kerabat meminta saya untuk menemani mereka ke bandara pada suatu sore selepas Ashar. Ia meminta saya menjemput anggota keluarga dekat mereka. Kerabat ini baru saja kehilangan anggota...

The post Pada Suatu Senja di Bandara Internasional Minangkabau appeared first on TelusuRI.

]]>
Waktu santai saya terganggu kala tiba-tiba salah satu kerabat meminta saya untuk menemani mereka ke bandara pada suatu sore selepas Ashar. Ia meminta saya menjemput anggota keluarga dekat mereka. Kerabat ini baru saja kehilangan anggota keluarga. Lazimnya sebuah keluarga yang berkumpul kala duka datang, maka yang merantau pun terpaksa melakukan perjalanan pulang membawa kesedihan tak terelak.

Saya tak akan membahas tentang duka bagaimana rasanya ditinggalkan. Tentu ada ragam air mata yang sulit terlukiskan dan sesak yang tak terbantahkan. Apalagi sepanjang tahun 2020 mental kita diuji dengan ragam cerita kesedihan dari dampak virus COVID-19.

Ditinggalkan tanpa pernah kembali dan tersisa adalah untaian doa yang menjadi penguat kaki ini untuk terus melangkah. Berbicara tentang rasa kehilangan akibat ditinggalkan oleh mereka yang tak akan bisa kembali ke dunia ini adalah topik yang selalu saya hindari. Bagaimanapun kesedihan adalah hal yang pasti.

Kerap melakukan perjalanan udara selama sepuluh tahun belakangan ini, bukanlah sesuatu yang istimewa bagi saya. Namun, di dunia ini ada bagian orang-orang yang hadir dengan cerita belum tersentuh atas nama bandara. Salah satunya adalah kerabat saya ini.

Di tengah kesedihan yang sedang menghampiri keluarga ini, ada kesenangan tersendiri saat untuk pertama kalinya memencet mesin ticketing parkir kala memasuki area bandara. Untuk pertama kali keluarga tersebut mengetahui kertas ticketing yang perlu dijaga dengan baik agar prosedur perjalanan keluar bandara bisa lancar. Saya berusaha mengabaikan ego pamer, berusaha mengikuti ritme kegembiraan mereka di tengah tubuh kondisi fisik yang masih lunglai akibat berita duka tersebut.

Saya terbawa euforia pertama kali melihat Bandara Internasional Minangkabau. Mengikuti suasana keluarga ini yang terlihat gembira meskipun sebenarnya air mata dan sesak itu belum reda. Saya mengarahkan mereka ke pintu kedatangan internasional yang tampak sepi dan gelap. Saya berpikir positif soal suasana COVID-19 yang belum reda dan jadwal penerbangan masih lengang. Lampu akan hidup nanti pas pesawat landing

Bandara mulai tampak ramai yang setidaknya mengingatkan saya pada perjalanan kala di waktu subuh yang kerap saya lakukan beberapa tahun lalu saat menjadi mahasiswa rantau di ibukota. Saya mengarahkan keluarga ini pada suatu warung roti di bandara seraya menunggu pesawat landing sebentar lagi.

Sejenak saya terdiam, pada orang-orang yang berbaur di depan pintu kedatangan domestik. Menanti seseorang yang mereka jemput. Saya tersadar pada kebodohan saya setelah sekian lama tidak menghampiri bandara. Saya lupa penerbangan dari Medan masih masuk kawasan domestik dan dua tahun belakangan. Sebelum corona memang saya kerap keluar dari pintu kedatangan internasional karena penerbangan dari Kuala Lumpur. Saya lupa bahwa ada namanya pembagian terdiri dari area kedatangan antara domestik dan internasional.

Kedatangan International/Eka Herlina

Sore mulai beranjak berganti dengan suasana senja nan syahdu selepas hujan. Pesawat keluarga kerabat mengalami keterlambatan mendarat. Dari info flight radar pesawat masih berputar di atas menunggu informasi agar bisa mendarat dengan aman. Salah satu dari mereka yang tadinya bisa tersenyum mengabadikan diri berfoto di depan pintu kedatangan internasional tampak gelisah duduk di salah satu kursi di warung roti yang terdapat di bandara. Senyumnya sudah memudar dan lebih banyak melamun penuh kegelisahan. Lupa sejenak pada euforia pertama kali ke bandara.

“Aku tidak pernah naik pesawat,” ucapnya beberapa waktu lalu saat di parkiran mobil sebelum melangkah ke pelataran Bandara Internasional Minangkabau.

“Insya Allah suatu hari kelak ada rejeki. Ada masanya,” balas saya dengan perasaan berkecamuk. Rasanya sulit untuk bercerita membagi pengalaman terbang saya selama dua belas tahun belakangan ini saat situasi beliau sedang kehilangan anggota keluarga.

Penghujung senja dan rasa rindu yang bergejolak

Senja dan bandara serta selepas hujan adalah rangkaian kerinduan akan sebuah perjalanan yang dulu kerap saya lakukan. Saya tak bisa menyembunyikan rasa buncah saat mendengar suara dari mikrofon khas bandara tentang informasi penerbangan “Attention, please…” sudut mata saya berair.

Rindu turun dari pesawat menelusuri garbarata dan melenggang keluar kala menjelang maghrib dengan menyandang ransel. Saya kangen masa kala melewati usia 20-an awal kala ketakutan dan kekhawatiran tak terpikirkan—entahlah, makin beranjak dewasa diri ini penuh kekhawatiran tak berarti. 

Sejujurnya saya takut naik pesawat. Saya masih mengalami ketakutan kala take off dan landing. Masih memejamkan mata kala melewati rangkaian tersebut. Dan, tentu saja saat merasakan turbulensi. Maka mulut dan hati saya sibuk berdoa; “Allah, Eka masih ingin melihat wajah Ama (Ibu).” Di atas pesawatlah saya tersadar pada sikap tidak menyenangkan saya pada ibu saya yang kerap membantah ucapan beliau.

Biasanya kala terbang saya lebih memilih perjalanan di waktu subuh agar bisa tidur dengan baik di pesawat dan dapat mengabaikan rasa takut sejenak akibat ngantuk. Dan, sebelum terbang saya biasanya terjaga sepanjang malam dengan gelisah. 

Saya rindu. Batin saya seraya menggigit bibir lembut. Melempar pandangan ke suasana bandara dengan cahaya redup dan langit yang mulai gelap. Corona benar -benar menguji saya untuk sejenak istirahat dari perjalanan ini. Memberi waktu dalam perenungan kembali tentang langkah ini. Tentang memasuki garis batas, bahwa hidup tak selamanya tentang perjalananan di luar sana.

Ruang bandara/Eka Herlina

Termasuk belajar memahami situasi kala mereka yang jarang keluar dan kerap berada di ruang lingkup sosial kecil dengan sikap santai buang sampah begitu saja adalah hal yang lumrah. Saya cuma terpaku saat melihat orangtua yang katakanlah berasal dari daerah pelosok yang makan roti di tempat kedai tersebut, sampah pembungkusnya di buang ke lantai begitu saja.

Ah, andaikan anak muda, sudah gatal mulut ini negur.” Orang tua yang tak memiliki kesempatan pendidikan dan waktu mengukir pengalaman mengasah sisi humanis tak bisa disalahkan begitu saja—tugas kita lah yang memberitahu dengan baik perihal sampah harus berlabuh dimana.  

Setahun sudah COVID-19 hadir dalam kehidupan ini. Suasana bandara di tengah penerbangan yang mulai perlahan kembali normal namun menghadirkan prosedur yang cukup merepotkan tentunya. Tentang protokol kesehatan yang harus dipatuhkan. Namun, kita lupa tidak semua dari orang-orang yang melakukan perjalanan di tengah COVID-19 adalah mereka dari kalangan yang mengikuti perkembangan informasi. Beberapa pejalan yang sudah menahan rindu dan melangkah tak sabaran keluar pintu domestik untuk menemui anggota keluarga secepatnya tertahan demi mengisi aplikasi yang tidak saya ketahui. Hal ini terlihat dari tangkapan kamera CCTV yang disiarkan oleh pihak bandara.

Bandara dan senja masih menyisakan cerita rindu yang tak terbantahkan. Pada syahdunya cerita perjalanan yang kerap membuat diri ini menemui hal-hal yang menakjubkan. Dan, bandara masih saja menghadirkan ragam cerita, termasuk dari anggota termuda keluarga kerabat ini. Antusias di tengah duka yang menyelimuti untuk pertama kalinya bisa merasakan naik pesawat. “Umi apakah adik lagi mimpi?” Celetuk bocah empat tahun. 

The post Pada Suatu Senja di Bandara Internasional Minangkabau appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pada-suatu-senja-di-bandara-internasional-minangkabau/feed/ 0 28588
Dari Bandung ke Bandara Kertajati Naik Transportasi Umum Apa? https://telusuri.id/transportasi-umum-bandung-ke-bandara-kertajati/ https://telusuri.id/transportasi-umum-bandung-ke-bandara-kertajati/#respond Mon, 05 Aug 2019 09:00:58 +0000 https://telusuri.id/?p=16409 Mau ke Bandar Udara Internasional Kertajati dari Bandung tapi ogah naik kendaraan pribadi karena kejauhan? Nggak usah khawatir. Ada beberapa moda transportasi umum yang bisa kamu tumpangi dari Bandung ke Bandara Kertajati di Majalengka. Apa...

The post Dari Bandung ke Bandara Kertajati Naik Transportasi Umum Apa? appeared first on TelusuRI.

]]>
Mau ke Bandar Udara Internasional Kertajati dari Bandung tapi ogah naik kendaraan pribadi karena kejauhan? Nggak usah khawatir. Ada beberapa moda transportasi umum yang bisa kamu tumpangi dari Bandung ke Bandara Kertajati di Majalengka.

Apa saja? Swipe up!

gerbang kertajati
Kendaraan roda empat keluar dari ruas Jalan Tol Cipali melalui gerbang Kertajati di Majalengka, Jawa Barat, Selasa, 14 Juli 2015 via TEMPO/Prima Mulia

1. Transportasi “online”

Transportasi online bisa mengantarkanmu dari Bandung ke Bandara Kertajati. Waktu keberangkatannya, tentu saja, tergantung kamu sendiri. Pokoknya sesuaikan saja dengan waktu check-in atau waktu keberangkatan pesawatmu.

Ongkosnya sesuai standar tarif per kilometer yang berlaku di layanan jasa transportasi online yang kamu gunakan. Untuk memperkirakan ongkos, ingat saja dua fakta ini: jaraknya sekitar 175 kilometer, waktu tempuh sekitar 2,5 jam. Jangan lupa juga untuk menyiapkan anggaran untuk masuk tol.

Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati di Majalengka, Jumat, 15 Februari 2019 via TEMPO/Prima Mulia

2. DAMRI

Dari Bandung ke Bandara Kertajati, kamu bisa naik DAMRI dari pulnya di Jalan Kebon Kawung. Setiap harinya, bis DAMRI beroperasi mulai dari jam 2 dini hari sampai jam 6 sore dengan interval waktu keberangkatan per dua jam.

Untuk naik DAMRI ke Kertajati, kamu cuma perlu membayar ongkos Rp75.000. (Bulan pertama kemarin, DAMRI bahkan menggratiskan ongkos bis.) Informasi lebih lanjut bisa kamu dapat dengan menghubungi hotline DAMRI rute Bandung-Bandara Kertajati di nomor 022-4204703.

bandara kertajati majalengka
Terminal utama Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati, Majalengka, Jumat, 15 Februari 2019 via TEMPO/Prima Mulia

3. “Shuttle bus”

Kalau bis DAMRI terlalu ramai buatmu sementara kamu perlu istirahat dengan nyaman, kamu bisa naik moda transportasi lain, yakni shuttle bus.

Saat ini, ada empat shuttle bus yang bisa mengantarkanmu dari Bandung ke Bandar Udara Kertajati, yakni CTU Shuttle, Lintas Shuttle, Baraya, dan Bhinneka Shuttle. Tarifnya berkisar antara Rp90.000-125.000.

Jadi, kira-kira kamu bakal naik transportasi umum yang mana, nih, dari Bandung ke Bandara Kertajati?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Bandung ke Bandara Kertajati Naik Transportasi Umum Apa? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/transportasi-umum-bandung-ke-bandara-kertajati/feed/ 0 16409