bandeng juwana Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bandeng-juwana/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 18 Jun 2025 16:21:57 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 bandeng juwana Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bandeng-juwana/ 32 32 135956295 Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (2) https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-2/ https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-2/#respond Thu, 19 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47483 Ayam jantan berkokok kencang sahut-sahutan. Jam pun turut berdetak menunjukkan waktu pukul 05.45 WIB. Sabtu (12/04) pagi itu matahari menunjukkan sinarnya, tanda bahwa cuaca cerah. Tibalah kami di Tlogoadi, Sanggrahan, Mlati, Sleman, Yogyakarta, di rumah...

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Ayam jantan berkokok kencang sahut-sahutan. Jam pun turut berdetak menunjukkan waktu pukul 05.45 WIB. Sabtu (12/04) pagi itu matahari menunjukkan sinarnya, tanda bahwa cuaca cerah. Tibalah kami di Tlogoadi, Sanggrahan, Mlati, Sleman, Yogyakarta, di rumah salah satu anggota tim, Tarissa. Rumah Tarissa hanya berjarak 10 meteran dari rumah Pak Arif Kurniawan.

Teh hangat dihidangkan Tarissa. Zakia membawa beberapa jajanan pasar. Ama dan Dyah menyiapkan tripod, ponsel, dan clip on. Sementara saya tengah menyeduh teh dan melihat jam di dinding.

“Ayo, ke Pasar Cebongan, sudah hampir pukul 06.00 ini,” ajak saya.

“Ayo, gas!” jawab mereka penuh semangat.

Hanya lima menit perjalanan kami ke sana. Setelah melalui pintu masuk dan memarkirkan kendaraan, terlihat jelas kios di area depan Pasar Cebongan dengan plang tertulis “AN. Putra Juwana”. Di tengah hiruk-piruknya pasar, lelaki usia madya 40 tahun tengah menjaga lapaknya. Kami pun pergi menghampiri.

Tampak sebuah etalase dengan pajangan beberapa ikan bandeng yang ditaruh pada wadah-wadah kayu berbentuk kotak, ditutupi kertas makanan putih pada kepalanya. Sudah banyak yang terjual. Namun, masih pagi sekali, kios baru saja buka sehingga belum seluruhnya langsung terjual habis. Di samping itu, di dalam kios, disediakan juga stok ikan bandeng di dalam freezer untuk mengisi kembali kekosongan tempat di etalase.

“AN. Putra Juwana” merupakan jenama yang terdiri dari: ‘A’ yang berarti Arif, ‘N’ berarti Nur (istri Pak Arif), ‘Putra’ berarti anak laki-laki, dan ‘Juwana’ merupakan tempat asal ikan bandeng diambil. Tak lama berselang istrinya datang. Setelah menjelaskan beberapa hal tadi, Pak Arif mengajak kami ke rumahnya untuk mengikuti proses produksi.

“Pulang dulu, Sayang, kamu jaga toko, ya,” pamit Pak Arif kepada istrinya.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
Produk bandeng presto yang siap jual tersedia di dalam etalase/Afrinza Amalusholehah

Proses Produksi Bandeng Presto AN. Putra Juwana

Tepat di sebelah kanan rumah Pak Arif, pintu itu dibuka. Bau amis menggelegar. Dua orang tengah bekerja sesuai dengan tugasnya, yaitu.Rahmat (Mamat) dan Purwanto (Lik To). Kedatangan kami menghadirkan senyuman pada wajah mereka. Keduanya masih muda, layaknya anak-anak setelah lulus SMA.

Mamat beranjak pergi mengambil air pada sebuah ember 120 literan, lalu dituangkan pada ember-ember kecil 10 literan, yang sebelumnya sudah diisi sejumlah ikan sesuai kapasitasnya. Kedua tangannya pun masuk ke ember kecil itu, lantas Mamat mulai mengaduknya untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih tersisa.

Di sela-sela pekerjaan Mamat, tampak Lik To sedang mengambil kotoran sisa pada perut ikan. Ditemani dingklik sebagai alas duduknya, Lik To senantiasa mencukil satu per satu kotoran itu hingga bersih. Itu adalah kotoran sisa-sisa saja. ”Ini dibersihkan ulang,” ujarnya.

“Itu sudah dibersihkan dahulu di Juwana,” lontar Pak Arif seketika. AN. Putra Juwana mengambil ikan dengan kualitas bagus. Pengambilan itu didasarkan dari proses pengambilan ikannya. Pak Arif memilih petani ikan yang ketika menangkap ikan, jaringnya tidak langsung diambil, tetapi ikan itu dibiarkan dulu menggantung pada jaring selama satu jam hingga keluar semua kotorannya.

Pengambilan dari Juwana sebanyak 1,5 ton, sedangkan 5 ton sisanya untuk es batu. Mengendarai pikap Grand Max hitam, ikan-ikan itu bisa sampai di Jogja. Tidak seperti kisahnya dulu yang mengantar ikan harus titip truk muatan garam. Setelah sampai pun tidak langsung dimasak. Akan tetapi, perlu upaya penyortiran size untuk mengklasifikasikan ukuran yang besar dan kecil.

Di tengah obrolan, Mamat berganti haluan. Kini ia menata bandeng pada kotak kayu. Berbekal tiga hal: satu kertas makanan, dua garam kasar, dan tiga plastik bening. Bukan kertas koran atau kertas bekas LKS anak sekolahan yang digunakan karena terdapat tinta di sana. Ini soal kualitas. Ikan-ikan itu ditata dua kiloan per kotaknya, dengan penutup kertas makanan pada kepala ikan, dan taburan-taburan garam kasar pada tubuhnya. Kemudian plastik digunakan untuk alas pemisah kotak satu dengan kotak lainnya.

Maksimal kapasitas dandang untuk memasak 52 kotak. Akan tetapi, hari ini mencapai 42 saja. Sebab, itu adalah stok terakhir, sebelum malamnya Pak Arif pergi ke Juwana untuk mengambil 1,5 ton ikan lagi.

Kiri-tengah: Tampak kelihaian Mamat dan Lik To membungkus kepala ikan dengan kertas/Sayyidati Zakia Afkaroh. Kanan: Bandeng presto yang sudah siap masak ditata dan disusun sedemikian rupa/Tarissa Noviyanti Az Zahra.

Tak lama kedua karyawan itu bahu-membahu memasukkan kotak-kotak bandeng presto ke dalam dandang. Tak lupa mereka menaburkan rempah-rempah untuk menjaga kualitas ikan. Penutup dipasang, mur mulai diputarkan pada baut-baut dandang, tandanya proses masak akan segera dimulai.

Dua gas LPG 3 kg dipasang, alirannya mulai diaktifkan. Mamat dengan membawa selembar kertas persegi panjang mulai meringkasnya seperti sumbu petasan. Korek dinyalakan, api pun membakar kertas itu. Melalui tangan kanannya, kertas itu disodorkan ke bawah dandang, tepat di mana aliran gas keluar. Api pun mulai hidup dan membakar bagian bawah dandang.

Sudah bekerja 10 tahunan, dua karyawan itu sudah paham seberapa api dikobarkan. Tidak memakai alat pendeteksi suhu semacam termometer, tetapi hanya melalui feeling dan itu sudah menjawabnya.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
Mamat dengan keahlian dan jam terbangnya mampu mengatur api di bawah dandang tanpa alat bantu termometer/Afrinza Amalusholehah

Penantian Kematangan Bandeng Presto

Dua jam berlalu, Mamat mulai membuka tube-tube pada dandang. Uap dalam dandang mulai keluar, asap putih mendesis kencang dan mengepul di udara. Aroma khas bandeng presto mengisi ruangan.

Dua jam di awal pembukaan uap adalah sebuah penentuan: Apakah bandeng sudah lunak? Jika sudah, maka dijaga kobaran apinya. Namun, jika berlebihan atau kekurangan, kobaran itu diatur lagi sesuai porsinya.

Total tujuh jam untuk memasak. Dua jam telah digunakan di awal sebagai penentuan. Kini, dengan kopi, rokok, bluetooth speaker, dan ponsel, Mamat dan Lik To setia menunggu bandeng presto matang. Setiap 30 menitnya mereka harus membuka tube secara berulang hingga lima jam sisa waktu itu terpenuhi.

Kini matahari sudah condong ke barat. Tujuh jam telah berlalu, Mamat dan Lik To segera mematikan api dan membuka tube dandang. Desis uap pun keluar, dari yang berbunyi kencang dan keluar cepat, berangsur-angur mereda. Akhirnya kematangan bandeng presto telah mencapai klimaksnya.

Mur mulai diputar dan terlepas satu persatu dari pasangannya. Mamat dan Lik To mulai memosisikan diri untuk mengangkat penutup dandang. Dengan kedua tangannya yang lihai itu, pembukaan dandang pun terselesaikan.

Berbeda dengan dua jam di awal proses memasak, kini aroma khas bandeng semakin tajam menusuk paru-paru kami. Aroma itu mendatangkan keinginan untuk bergegas menyantap dengan nasi dan sambal.

  • Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
  • Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()

Kedua karyawan mulai melanjutkan tugasnya. Kotak-kotak kayu bandeng presto itu dikeluarkan dari dandang. Tanpa sarung tangan dan sebuah alas, mereka segera mengambil kotak-kotak itu dan dipindahkan keluar. Bandeng masih panas, begitu juga dengan kotak wadahnya. Tapi mereka sudah terbiasa. Kotak-kotak itu ditata menumpuk, perlu ditunggu dua jam lamanya agar suhu kembali normal.

Suhu pada ikan-ikan bandeng itu berangsur-angsur menjadi normal. Kini sudah dua jam berlalu. Ada dua pilihan di benak mereka.

Pertama, jika stok ikan rekan kerja seduluran kehabisan, mereka akan datang dan mengambilnya setelah proses masak selesai. Begitu juga dengan stok Pak Arif di Pasar Cebongan, jika di sana kehabisan maka ikan-ikan itu langsung dibawa ke sana.

Kedua, jika hari ini stok rekan-rekan dan Pak Arif masih banyak, bandeng-bandeng itu belum bisa disebar ke pasar-pasar. Namun, perlu menghuni dulu di freezer rumah produksi Pak Arif. 

Mamat dan Lik To memahaminya dan menemukan jawaban. Mereka lalu mulai memindahkannya ke freezer di rumah produksi.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
Foto bersama Pak Arif (tengah) usai melihat proses produksi bandeng presto. Tampak anggota Melati Suci Project, yaitu Zakia (paling kiri), saya, Dyah, Tarissa, dan Ama/Rahmat

Setelah proses itu selesai, tiba-tiba Pak Arif berkata, “Saya itu berharap nantinya punya toko besar di pinggir jalan dengan nama Oleh-oleh Khas Juwana: AN. Putra Juwana. Bukan hanya menyediakan bandeng-bandeng saja, tapi makanan seafood lainnya juga yang siap saji.”

Tak hanya itu, jika mengulang masa lalunya, banyak sekali pelajaran yang ingin ia sampaikan ke khalayak, terutama yang ingin menjadi pengusaha. “Kalau ingin menjadi usahawan itu harus komitmen, profesional, dan tekun. Tapi yang utama harus suka dulu, kalau suka pasti akan nyaman dan enak untuk terus berjalan,” tambahnya dengan wajah penuh harap.


Tentang Tim Melati Suci Project
Melati Suci Project adalah sebuah tim yang terbentuk dari salah satu kelas menulis di bawah bimbingan guru kami, Eko Triono. Tim ini beranggotakan lima orang, yakni Afrinza Amalusholehah, Danang Nugroho, Dyah Ayufitria Riskaputri Nandayanti, Sayyidati Zakia Afkaroh, dan Tarissa Noviyanti Az Zahra. Semoga, karya kami ini akan abadi dan bermanfaat bagi pembaca. Tabik.

Foto sampul: Arif Kurniawan, pemilik usaha AN. Putra Juwana berdiri di balik etalase produk bandeng-bandeng presto (Afrinza Amalusholehah)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-2/feed/ 0 47483
Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1) https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-1/ https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-1/#respond Wed, 18 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47474 “Keajaiban hanya terjadi untuk orang-orang yang tidak pernah menyerah.” Emporio Ivankov, anime One Piece (episode 439)   “Le, sisa ikane dijual keliling, ya, dibagi sama kakak-kakakmu,” suruh Simbok. “Nggih, Mbok,” jawab saya. Inilah keseharian saya, Arif...

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1) appeared first on TelusuRI.

]]>


Keajaiban hanya terjadi untuk orang-orang yang tidak pernah menyerah.”

Emporio Ivankov, anime One Piece (episode 439)


  “Le, sisa ikane dijual keliling, ya, dibagi sama kakak-kakakmu,” suruh Simbok.

Nggih, Mbok,” jawab saya.

Inilah keseharian saya, Arif Kurniawan kecil selama kelas 1–3 SD. Begitu pun lima saudara saya. Jika dagangan ikan Simbok di siang hari belum habis, maka kami disuruh menjualnya keliling desa dengan daerah yang berbeda-beda. Maklum, kami hidup di Juwana, Pati. Sejak kecil sudah hidup di lingkungan petani ikan dan berkenalan dengan ikan, bahkan kami turut menjualnya.

Waktu kian berjalan, kelas 4 SD saya berhenti jualan keliling. Syukurlah, karena ekonomi Simbok sudah membaik.

Setahun berselang, saat kelas 5 SD, entah mengapa saya tiba-tiba terpikir suatu hal: “Bagaimana, ya, kalau saya keluar dari Juwana untuk cari pengalaman dan wawasan?” Dan benar, pikiran saya termanifestasi. Pergilah saya ke Surabaya, tepatnya terminal GM Sari, hanya dengan berbekal celana, baju lengan panjang, dan sarung.

Kepergian itu mempertemukan saya dengan seorang penjual asongan di terminal, Mas Andre, yang juga menawari berjualan. Di situlah sumber penghidupan saya. Melalui pekerjaan itu, saya juga dapat berkenalan dengan banyak teman. Ada pengamen, anak punk, dan anak jalanan lainnya. Sepuluh bulan berjalan, saya berpikir, “Kok begini, ya, kehidupan?”

Akhirnya saya memutuskan pulang ke Juwana. Sesampainya di rumah, saya yang merasa masih kecil dan sudah pergi berkelana, tidak dikhawatirkan sama sekali oleh keluarga. Paling hanya lontaran Simbok yang cukup singkat, “Seko ngendi wae, Le, Le… (Dari mana saja, Nak, Nak…).”

Tapi tidak apa, lontaran singkat itu sudah saya anggap sebagai tanda cinta, apalagi saya yang masih diterima untuk tidur di rumah. Karena masih kelas 5 SD, sempat saya ditawari untuk lanjut sekolah, bahkan kepala sekolah datang ke rumah. Namun, saya tolak. Mau bagaimana lagi? Uang hasil berdagang dari Surabaya sudah saya belikan becak dan kambing, yang bisa digunakan untuk mencari uang.

Kini keseharian saya bukan sekolah seperti anak pada umumnya lagi, juga bukan penjual ikan keliling di desa. Saya menjadi tukang becak keliling dari pagi sampai sore. Setelah itu menjadi penggembala kambing yang setiap harinya harus membabat rumput.

Liputan langsung ke Pasar Cebongan dan Rumah Produksi AN. Putra Juwana/Melati Suci Project1

Arif Kurniawan Kecil yang Masih Haus Pengalaman Hidup

Kalau becak sepi, sumber kehidupan saya dari kernet bus. Karena masih merasa kurang, pergilah saya ke Yogyakarta bersama teman. Sesampainya di Jogja, saya berjualan garam bata, yang ukurannya memang seperti balok bata sebenarnya.

Pernah sekali waktu kena marah sopir karena menjatuhkan garam bata. Mau bagaimana lagi? Masih kecil sudah nyunggi benda berat, terkena senggol sedikit pasti jatuh. Tapi tidak apa, karena tujuan saya memang pergi ‘mencari pengalaman dan wawasan’.

Mencari kedua tujuan itu tidak hanya di Jogja. Kalau perlu saya pergi ke daerah lain lagi. Akhirnya saya pergi ke Solo untuk bekerja. Di situ saya bersama teman mengolah dan berjualan bandeng presto di toko milik bos kami, mengubah duri-duri padat pada ikan menjadi lunak, dan memajangnya untuk dijual.

Namun, pengalaman di Solo tidak mudah. Pernah sekali dandang yang digunakan untuk membuat presto meledak. Hal itu disebabkan oleh uap angin pada dandang yang telat dikeluarkan.

Pengalaman pahit itu membuat saya kembali ke Jogja. Di Jogja, saya diajak oleh seorang bernama Tomo untuk mempresto dan jualan ikan bandeng juga. Namun, di lingkungan kerja, teman-teman sering merundung saya karena belum sunat. Itu memang benar, karena saya pergi keluar dari Juwana masih usia belia. Atas kejujuran mereka, wajah saya memerah malu, lalu saya pulang lagi ke tanah kelahiran.

Sesampainya di Juwana, becak dan kambing hasil dari Surabaya saya ubah menjadi uang. Bukan untuk foya-foya, jalan-jalan, ataupun merayakan kepulangan, melainkan modal sunat dan membuat kamar sendiri. Bagi saya itu sudah menjadi suatu kebanggaan karena merupakan hasil dari keringat saya sendiri.

Berjalannya waktu saya masih di Juwana. Kendati demikian, saya tetap pergi juga ke Batam. Sebab, saya jualan barang mentah logam kuningan yang dikirimkan ke sana. Suatu ketika saya sedang pergi ke rumah sakit. Di situ terjadi pertemuan saya dengan Maryono, yang merupakan salah satu anggota tempat pelelangan ikan (TPI). Ikutlah saya dengan Maryono meninggalkan pekerjaan barang mentah logam kuningan itu.

Di TPI harus memiliki kartu anggota. Itu adalah tempat gledek kapal pelelangan, dari pelelangan diantar ke bakul. Saya perlu bekerja keras, karena jika tidak sat-set, uang tidak akan mengalir. Begitulah pengalaman dunia kerja yang saya alami.

Tak lama, atas jerih payah usaha, saya mendapatkan enam bakul. Tentunya itu menjadi keuntungan tersendiri untuk menambah penghasilan saya. Namun, itu berangsur tidak lama. TPI semakin sepi. Terpikirlah keresahan untuk mencukupi kebutuhan. Teringat saya akan relasi di Jogja, bergegaslah saya ke sana untuk mengobati keresahan itu.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1)
Ilustrasi nelayan sedang mengumpulkan ikan di atas kapal/setengah lima sore via Pexels

 * * *

“Sayang! Kopi, sayang!” lantang Pak Arif Kurniawan menyuruh istrinya.

“Hahahaha,” riuh tawa kami mendengarnya.

Di luar hujan memahat tanah halaman rumah. Bau petrikor menyerbak di udara. Selasa (8/4/2025) sore itu, di teras rumahnya, kisah masa kecil Pak Arif diceritakan. Ucapannya meminta kopi ke istrinya memecah imajinasi kami2 yang turut hanyut ke masa lalunya. Saat-saat sebelum sukses menjadi pengusaha bandeng presto Juwana di Jogja.

Kopi sudah datang, korek dihidupkan, asap kretek Dji Sam Soe mengepul di udara. Tandanya cerita berlanjut. 

“Lanjut lagi, ya? Jadi, pada waktu itu…”

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1)
Sore itu Pak Arif (tengah) di sela-sela menunggu kopi dari istrinya, sedangkan saya (kiri) sedang bertanya suatu hal. Sementara Ama, Dyah, dan Tarissa (kanan) antusias menyimaknya/Sayyidati Zakia Afkaroh

* * *

Arif Kurniawan Kembali ke Jogja

Di Jogja saya bertemu dengan Pak Bambang, orang yang bekerja sama dengan saya untuk jualan ikan bandeng. Ikan diambil dari Jawa Timur. Namun, banyak komplain dari pelanggan, ada yang mengatakan ikannya kurang lunak, ada yang mengatakan baunya apak.

Atas pengalaman itu saya berpikir, “Saya, kan, asli Juwana dan di situ tempatnya bandeng. Nah, ini bisa jadi kesempatan untuk jual sendiri dengan ganti tempat pengambilan ikan.”

Kini saya sudah tumbuh dewasa, pengalaman dan wawasan sudah banyak saya lalui, proses belajar itu perlu saya gunakan untuk berdiri sendiri. Akhirnya, dengan rasa percaya diri, saya utang masing-masing 5 juta rupiah ke bank dan kakak kandung, yang saya gunakan untuk membeli bandeng 8 juta dan 2 juta diputar untuk kulakan.

Maklum, masih merintis. Ikan bandeng dari Juwana itu sampai Jogja bukan melalui mobil pribadi, melainkan menumpang truk yang kirim garam dari Juwana ke Jogja. Jualan bandeng masih sendiri, belum mempunyai bakul. Uang serasa berjalan di tempat saja. Terpikirlah saya untuk mencari bakul.

Akhirnya, saya dapat bakul dari beberapa daerah. Ada yang di Gamping, Bantul, Piyungan, Prambanan, hingga Magelang. Tapi sayang sekali, uang masih terasa berjalan di tempat. Bakul-bakul itu sering kali utang dan lama membayarnya.

Sebelum saya putuskan bakul-bakul itu, ada ide untuk menjual dengan konsep seduluran. Berbeda dengan franchise yang mengkapitalisasi pasar dan rekannya, konsep seduluran yang saya maksud ini lebih ke kekeluargaan.

Konsep yang saya bangun ini lebih transparan dan tidak merusak pasar. Jadi, misal ikan di pasaran seharga Rp8.000,, ikan dari seduluran ini juga harus menjual dengan harga yang sama. Tak hanya itu, setiap enam bulannya, juga ada kumpul diskusi untuk membahas perkembangan kerja sama.

Atas dasar itu, saya berhasil menggaet tiga orang, yang masing-masing memiliki kios di Pasar Kuthu, Pasar Pundung, dan Pasar Godean. Untuk usaha saya sendiri berada di Pasar Cebongan. Para bakul awal yang banyak notanya itu pun saya putuskan secara sepihak dan pindah ke konsep ini.Sebelum ada kios di Pasar Cebongan, saya berjualan secara liar, tempat kurang mumpuni, tidak ada orang lewat, dan kurang laku. Tapi satu hal, saya tidak boleh menyerah! Dengan uang seadanya, akhirnya saya beli kios di pasar bagian dalam. Berjalannya waktu, kios saya pindah di bagian luar dan laris hingga kini.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1)
Ilustrasi tumpukan ikan yang dijual di sebuah lapak tanpa kios tetap/Shukhrat Umarov via Pexels

 * * *

“Jadi, begitu, Mas dan Mbak-mbak sekalian,” ucap Arif Kurniawan memungkasi cerita hidupnya.

Hujan kian mereda. Kopi Pak Arif tinggal setengah. Dua rokok kretek sudah tertidur di pangkuan asbak. Langit semakin gelap, suasana itu dipenuhi rasa ingin tahu kami untuk pergi ke Pasar Cebongan dan mengikuti proses membuat bandeng presto secara langsung.

“Kami berencana meliput proses pembuatannya, Pak,” ucap saya sebagai anggota tim Melati Suci Project.

“Oke, silakan datang ke sini. Sabtu pagi jam 06.00-an kami produksi,” jawabnya.

(Bersambung)


  1. Tidak ada foto masa lalu Pak Arif Kurniawan. Namun, dongeng itu dibuktikan dengan video liputan kami yang sudah ada di YouTube. Untuk foto-foto produksi ada di tulisan kedua yang terbit di hari berikutnya. ↩︎
  2. “Kami” di sini adalah anggota Tim Melati Suci Project, yang beranggotakan: Afrinza Amalusholehah, Danang Nugroho, Dyah Ayufitria Riskaputri Nandayanti, Sayyidati Zakia Afkaroh, dan Tarissa Noviyanti Az Zahra. ↩︎

Tentang Tim Melati Suci Project
Melati Suci Project adalah sebuah tim yang terbentuk dari salah satu kelas menulis di bawah bimbingan guru kami, Eko Triono. Tim ini beranggotakan lima orang, yakni Afrinza Amalusholehah, Danang Nugroho, Dyah Ayufitria Riskaputri Nandayanti, Sayyidati Zakia Afkaroh, dan Tarissa Noviyanti Az Zahra. Semoga, karya kami ini akan abadi dan bermanfaat bagi pembaca. Tabik.

Foto sampul: Tumpukan kotak bandeng presto setelah dimasak di rumah produksi Pak Arif Kurniawan (Tarissa Noviyanti Az Zahra)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-1/feed/ 0 47474