bandung barat Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bandung-barat/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 20 May 2025 15:18:29 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 bandung barat Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bandung-barat/ 32 32 135956295 Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan https://telusuri.id/jembatan-citarum-lama-yang-tak-selayaknya-dilupakan/ https://telusuri.id/jembatan-citarum-lama-yang-tak-selayaknya-dilupakan/#respond Tue, 20 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47079 Menuju Cianjur dari arah Bandung via Rajamandala atau sebaliknya, kita harus melewati sebuah jembatan di atas aliran Sungai Citarum. Jembatan ini sekaligus menjadi pembatas antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur.  Dahulu, sebelum ada Jembatan...

The post Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan appeared first on TelusuRI.

]]>
Menuju Cianjur dari arah Bandung via Rajamandala atau sebaliknya, kita harus melewati sebuah jembatan di atas aliran Sungai Citarum. Jembatan ini sekaligus menjadi pembatas antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur. 

Dahulu, sebelum ada Jembatan Rajamandala, yang dikenal pula sebagai Jembatan Citarum Baru, satu-satunya akses utama menuju Cianjur maupun sebaliknya via Rajamandala adalah Jembatan Citarum Lama. Jembatan ini adalah bagian kecil dari Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di masa pemerintahan Willem Daendels, pada abad ke-19.

Jalur Jembatan Citarum Lama berada di sisi selatan Jembatan Rajamandala dan terhalang oleh beberapa bukit. Berbeda dengan jalur Jembatan Rajamandala yang lebih modern, lurus, dan datar, jalur Jembatan Citarum Lama dihiasi dengan sejumlah kelokan tajam, tanjakan, serta turunan curam. 

Meski demikian, kawasan ini sesungguhnya menyimpan daya tarik tersendiri. Wilayah di sekitar Jembatan Citarum Lama masih dipenuhi belukar, hutan, maupun ladang. Suasananya lebih alami dibandingkan jalur Jembatan Citarum Baru, yang bernuansa urban dan relatif lebih sibuk. 

Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan
Kawanan kera yang berada di jalur Jembatan Citarum Lama/Djoko Subinarto

Keberadaan Monyet Ekor Panjang

Salah satu daya tarik utama di kawasan Jembatan Citarum Lama adalah keberadaan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang sering berkeliaran di sekitar jembatan. Kera jenis ini termasuk spesies yang dapat beradaptasi dengan lingkungan urban sehingga sering pula ditemukan di sekitar pemukiman manusia. Keberadaan mereka di sekitar Jembatan Citarum Lama setidaknya menunjukkan bahwa ekosistem di sekitar kawasan masih cukup alami untuk mendukung populasi primata ini.

Saat saya menyambangi kawasan ini, Kamis pagi (3/4/2025), terlihat kawanan kera sedang terlihat berada tak jauh dari belokan di sisi timur jembatan. Sementara sebagian lainnya dengan lincah melompat dan bergelayutan di ranting-ranting bambu yang tumbuh di sekitar jembatan. Beberapa kera terlihat pula merayap di pagar jembatan.

Sejumlah pengendara yang melintas memilih untuk melambatkan kendaraan mereka, bahkan ada yang berhenti sejenak untuk memotret kera-kera tersebut. Namun, ada juga yang tampak ragu-ragu untuk melintas, khawatir kera akan melompat ke kendaraan mereka.

Sok, Teh, teras we. Moal nanaon, da (Silakan, Mbak. Terus saja. Nggak akan apa-apa),” kata seorang bapak, yang merupakan warga lokal. Ia meyakinkan seorang perempuan pengendara motor yang terlihat ragu untuk melintas tatkala sejumlah kera bergerombol di bahu jalan. Bapak itu lantas menggiring kera-kera itu ke tepi jalan.

Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan
Beberapa pengendara melintas dan berhenti di jalur Jembatan Citarum Lama/Djoko Subinarto

Menjadi Jalur Utama Bandung–Cianjur

Sementara itu, di sisi utara, Jembatan Citarum Baru yang menjadi jalur utama Bandung–Cianjur, kini menjadi kawasan yang semakin ramai. Bukan hanya aneka jenis kendaraan, kawasan ini juga disesaki para penjual makanan dan minuman.

Di kiri dan kanan jalan, berderet jongko yang menawarkan aneka makanan dan minuman. Tak ketinggalan, sebuah toko swalayan berdiri pula tak jauh dari Jembatan Citarum Baru. Banyak pengendara yang memilih beristirahat sejenak di kawasan ini sebelum melanjutkan perjalanan mereka.

Boleh dibilang keberadaan Jembatan Citarum Baru ini telah menumbuhkan apa yang diistilahkan sebagai roadside economy. Artinya, infrastruktur jalan yang dibangun lantas mendorong aktivitas dan pertumbuhan ekonomi di sekitar jalur tersebut.

Dikutip dari Pikiran Rakyat (21/12/2020), Jembatan Citarum Baru pertama kali difungsikan sebagai jembatan tol pada tahun 1979. Kehadirannya dimaksudkan untuk memperpendek jarak dan waktu tempuh Bandung–Cianjur maupun sebaliknya.

Status tol Jembatan Rajamandala sepanjang 222 meter ini tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1979. Pengoperasiannya terpaut setahun dengan pengoperasian jalan tol pertama di Indonesia, yakni Jalan Tol Jakarta, Bogor, Ciawi (Jagorawi) pada 1978. Merujuk pada keputusan tersebut, saat diterbitkan, besaran tarif tol jembatan tersebut kala itu adalah Rp50 untuk kendaraan bermotor roda dua dan tiga, lalu Rp100 untuk kendaraan roda empat atau lebih.

Saat ini, Jembatan Rajamandala alias Jembatan Citarum Baru tak lagi berstatus sebagai jalan tol, Statusnya dicabut oleh Presiden ke-5 RI Megawati Sukarnoputri lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2003. Jembatan ini pun kini bisa dilintasi dengan gratis karena menyandang status sebagai jembatan umum non-tol.

Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan
Sungai Citarum difoto dari Jembatan Lama/Djoko Subinarto

Tidak Serta-merta Dilupakan

Lantaran kiwari sebagian besar pengendara umumnya memilih jalur Jembatan Citarum Baru, maka kawasan Jembatan Citarum Lama cenderung relatif lengang. Meskipun demikian, Jembatan Citarum Lama tidak serta-merta dilupakan. Selain warga lokal, toh masih ada pengendara yang memilih melewati jalur ini. Baik itu karena alasan nostalgia, menghindari kemacetan di jalur utama, atau sekadar ingin merasakan sensasi perjalanan dengan suasana yang lebih tenang.

Ditilik dari aspek historis, keberadaan Jembatan Citarum Lama merupakan bagian dari potongan kecil dari sejarah jaringan transportasi di Jawa Barat. Jembatan Citarum Lama bukan sekadar infrastruktur fisik, melainkan juga saksi bisu perjalanan waktu dan perubahan sosial di wilayah tersebut.

Seperti telah disebutkan di muka, Jembatan Citarum Lama merupakan bagian dari proyek Jalan Raya Pos yang diinisiasi oleh Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu. Jalan Raya Pos ini membentang dari Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur. Jembatan Citarum Lama sendiri awalnya difungsikan untuk mendukung mobilitas logistik dan militer, serta menghubungkan kawasan pedalaman Tatar Sunda dengan pusat-pusat ekonomi dan administrasi yang berada di pesisir utara Jawa Barat.

Secara strategis, jembatan ini menjadi simpul penting dalam jalur perdagangan antardaerah, terutama sebelum hadirnya jalan-jalan arteri modern dan tol. Arus manusia, hasil bumi, serta komoditas industri melewati jembatan ini selama beberapa dekade, menjadikannya sebagai urat nadi kehidupan ekonomi lokal.

Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan
Kepadatan kendaraan yang melintas di Jempatan Citarum Baru/Djoko Subinarto

Potensi Destinasi Wisata Sejarah

Dilihat dari kacamata pariwisata, jalur Jembatan Citarum Lama sebenarnya memiliki potensi sebagai destinasi wisata sejarah serta ekowisata. Dengan panorama alam di sekitarnya dan keberadaan satwa liar macam kera ekor panjang, Jembatan Citarum Lama bisa dikembangkan sebagai objek wisata alternatif bagi mereka yang ingin merasakan perjalanan yang lebih tenang dan dekat dengan alam.

Pemerintah setempat, misalnya, dapat mengembangkan jalur ini sebagai rute wisata sejarah. Caranya dengan menyediakan informasi mengenai sejarah Jalan Raya Pos dan peran jembatan ini dalam mobilitas masyarakat dari masa ke masa. Konsep ini mirip dengan pengelolaan heritage road di beberapa negara, seperti Inggris dan Jepang, yang menggabungkan nilai historis sebuah jalan dengan pengembangan wisata.

Khusus berkaitan dengan keberadaan kera ekor panjang, tentu saja perlu ada upaya konservasi terhadap habitat satwa ini. Penyediaan papan peringatan untuk tidak memberi makan satwa liar secara langsung, serta edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, kiranya dapat membantu menjaga populasi mereka tetap lestari.

Dengan pendekatan yang tepat, jalur Jembatan Citarum Lama diharapkan bisa terus berfungsi sambil mampu mempertahankan nilai historis dan ekologinya. Bagaimanapun, bagi sebagian orang, jembatan ini tetap memiliki daya tarik tersendiri yang tak bisa tergantikan oleh jalur baru yang lebih modern.

Melewati jalur Jembatan Citarum Lama bukan hanya sekadar melakoni perjalanan fisik, tetapi juga memasuki semacam lorong waktu. Setiap kelokan dan tanjakan di jalur ini menyimpan kisah tentang masa lalu yang gemanya masih bisa dirasakan hingga hari ini.

Bagi para pencinta sejarah, pengendara yang ingin mencari jalur alternatif dari arah Bandung menuju Cianjur maupun arah sebaliknya, atau mereka yang ingin sekadar menikmati suasana alam yang lebih tenang, jalur Jembatan Citarum Lama dapat menjadi opsi yang menarik. Sekaligus menawarkan pengalaman berkendara yang berbeda dibandingkan dengan jalur utama yang padat dan bising. 


Referensi:

Arifianto dan Muhaemin. (2020, 21 Desember). Jadi yang Pertama di Indonesia, Kisah Pembangunan Jembatan Tol Rajamandala Bisa Mendebarkan Jantung. Pikiran Rakyat, http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-011143809/jadi-yang-pertama-di-indonesia-kisah-pembangunan-jembatan-tol-rajamandala-bisa-mendebarkan-jantung?page=all, diakses pada Kamis, 10 April 2025.
Slamet, Ikbal. (2023, 29 Mei). Kenangan di Tol ‘Gope’ Jembatan Rajamandala Cianjur. Detik.com, https://www.detik.com/jabar/berita/d-6743344/kenangan-di-tol-gope-jembatan-rajamandala-cianjur, diakses, Kamis, 10 April 2025.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jembatan-citarum-lama-yang-tak-selayaknya-dilupakan/feed/ 0 47079
Adu Tangkas Domba Garut di Cikande https://telusuri.id/adu-tangkas-domba-garut-di-cikande/ https://telusuri.id/adu-tangkas-domba-garut-di-cikande/#respond Thu, 04 Jan 2024 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40810 Angin kering pegunungan musim kemarau berembus menerbangkan butir-butir debu halus di sepanjang jalan Desa Cikande, Kecamatan Saguling, Kabupaten Bandung Barat, Ahad (30/7/2023) pagi. Tak jauh dari sebuah tikungan, dengan latar belakang sejumlah bukit yang cenderung...

The post Adu Tangkas Domba Garut di Cikande appeared first on TelusuRI.

]]>
Angin kering pegunungan musim kemarau berembus menerbangkan butir-butir debu halus di sepanjang jalan Desa Cikande, Kecamatan Saguling, Kabupaten Bandung Barat, Ahad (30/7/2023) pagi. Tak jauh dari sebuah tikungan, dengan latar belakang sejumlah bukit yang cenderung gersang di sisi barat, terhampar sebuah lapangan yang sebagian besar rumputnya mulai menguning.

Dari sisi kiri jalan, saya menyeberang mendekati lapangan itu. Sejumlah warga dan para penjual makanan memadati sekelilingnya.

Adu Tangkas Domba Garut di Cikande
Warga yang menyemuti lapangan untuk menyaksikan laga ketangkasan domba/Djoko Subinarto

Di sekeliling lapangan terpasang pagar pendek dari bambu yang bisa berfungsi pula sebagai tempat duduk. Sejumlah pohon berdaun lumayan rimbun berjejer sebagai peneduh di tepi lapangan tersebut.

Di ujung utara lapangan, tak jauh dari sebuah pohon petai cina, berdiri sebuah anjungan beratap asbes yang juga berfungsi sebagai panggung. Dari atas anjungan itu mengalun musik kendang pencak yang dimainkan secara live oleh sejumlah musisi.

Sebuah sepeda motor hitam yang di bagian belakangnya membawa bakul makanan melaju perlahan.“Tos we di dieu, Pak, pami bade icalan. Ulah nyered ka sisi lapang. Kaditu mah tos pinuh (Sudah di sini saja, Pak, kalau mau berjualan. Jangan terlalu dekat ke pinggir lapangan. Kalau di sebelah sana, sudah penuh),” demikian kata seorang petugas berkaus hitam memberi instruksi.

Pengemudi sepeda motor tersebut manut. Ia memarkir sepeda motornya sesuai arahan petugas dan bersiap menggelar dagangannya berupa basreng dan cireng.

Saya mendekati sisi timur belakang panggung. Terdapat barak-barak yang diisi domba dan para pemiliknya. Sebagian pemilik domba tampak sibuk mendandani domba yang mereka bawa. Namun, ada juga pemilik domba yang terlihat masih leyeh-leyeh berkerudung sarung sembari membiarkan dombanya menikmati sajian rumput yang mereka sediakan.

Adu Tangkas Domba Garut di Cikande
Domba-domba yang diikat di barak, menunggu giliran sebelum menuju arena/Djoko Subinarto

Adu Ketangkasan Domba yang Meriah

Saban hari Ahad, lapangan di pinggir jalan Desa Cikande itu rutin menjadi arena lomba ketangkasan domba. Para peserta berasal dari berbagai wilayah di Jawa Barat. Para domba yang akan diikutsertakan dalam laga ketangkasan umumnya diangkut mobil bak terbuka. Sebagian telah datang sejak dini hari. Mereka lantas beristirahat di barak-barak yang disediakan di belakang panggung menunggu pagi menjelang.

Alunan musik kendang pencak yang sedari tadi mengalun dan terdengar ke seantero lapangan, kini berhenti. Suara pembawa acara terdengar memberi pengumuman dalam bahasa Sunda. Inti pengumumannya, yaitu para peserta, khususnya yang akan tampil di laga awal diharapkan segera mempersiapkan dombanya. Pembawa acara juga meminta para juri dan wasit agar berkumpul di tengah lapangan untuk melakukan technical meeting.

Tak lama setelah technical meeting yang dilakukan para juri dan wasit yang memakai busana serba hitam, laga pun dimulai. Suara sinden menyanyikan lagu koplo dengan iringan irama kendang pencak bergema. 

Para penonton dan suporter masing-masing domba yang berlaga bersorak. Sebagian suporter terlihat berjoget di depan panggung, sambil memberi semangat dan dukungan kepada domba yang sedang berlaga.

Adu Tangkas Domba Garut di Cikande
Seorang pemilik domba menuntun dombanya ke arena/Djoko Subinarto

Di ujung kiri dan kanan di sisi utara lapangan, terlihat beberapa pemilik domba menuntun domba mereka dan bersiap menunggu giliran masuk arena. Tampak pula dua orang pria yang tengah kesulitan menyeret domba yang berwarna hitam dengan tanduk melengkung dan mengkilap.

Domba hitam itu sepertinya emoh dibawa ke dekat pintu masuk arena. Ia memilih mendekati domba putih yang ada di sebelahnya, yang juga sedang menunggu giliran untuk berlaga. “Eta nu bodas jauhkeun heula (Itu domba yang putih, jauhkan dulu),” begitu kata salah satu pria.

Selama adu ketangkasan domba berlangsung, tentu saja yang sibuk bukan cuma para pemilik domba serta penyelenggara. Para pedagang makanan dan minuman juga dibuat sibuk melayani pesanan dari para konsumen—entah itu penonton, pemilik, suporter domba, maupun anggota panitia penyelenggara.

Bisa dibilang kehadiran laga ketangkasan domba yang digelar saban pekan ini menjadi berkah bagi para penjual makanan dan minuman. Ibaratnya, mereka ketiban rezeki nomplok tiap pekan saat perhelatan acara ketangkasan domba ini.

Berkah rezeki juga ikut mengalir kepada warga sekitar yang halaman rumahnya menjadi lahan parkir dadakan. Biasanya digunakan para pemilik kendaraan bermotor yang tak kebagian jatah parkir di areal lapangan.

Adu Tangkas Domba Garut di Cikande
Salah satu jongko penjual makanan dan minuman di sekitar arena/Djoko Subinarto

Prosedur ajang ketangkasan domba

Secara teknis prosedural, laga ketangkasan domba biasanya dilangsungkan dalam dua ronde. Jadi, setiap domba yang berlaga mendapat jatah tampil dalam dua ronde. Masing-masing ronde terdiri dari sepuluh kali tumbukan kepala domba. Domba yang berlaga dalam ajang ketangkasan ini adalah jenis domba garut, yang memang dipelihara secara khusus untuk tujuan tampil dalam laga ketangkasan domba.

Untuk menghindari terjadinya kecacatan maupun kematian domba, selain pembatasan ronde dan tumbukan, setiap laga juga dilengkapi juri penilai, wasit, dan tim pelatih domba, yang akan langsung memutuskan penghentian laga sekiranya terjadi hal yang dianggap bakal membahayakan salah satu domba.

Tidak sembarangan orang bisa menjadi juri penilai, wasit, dan pelatih domba dalam ajang ketangkasan domba. Mereka harus tergabung sebagai anggota HPDKI (Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia).

Seperti halnya olahraga tinju pada manusia, laga ketangkasan domba juga terbagi dalam beberapa kelas. Disesuaikan dengan bobot dan usia domba.

Adu Tangkas Domba Garut di Cikande
Grup musik yang mengiringi laga ketangkasan domba garut/Djoko Subinarto

Sepanjang laga ketangkasan domba berlangsung, musik kendang pencak—atau bisa juga musik jaipong—dimainkan mengiringi suara sinden yang biasanya membawakan tembang-tembang berirama rancak. Alunan musik tersebut menggoda mereka yang mendengarnya untuk berjoget, atau minimal bergoyang.

Penonton, suporter, maupun pemilik domba tak jarang pula meminta lagu tertentu untuk mengiringi mereka berjoget di depan panggung. Sebagai balasan atas permintaan lagu yang dituruti, mereka lantas menyawer sinden dengan beberapa lembar rupiah.

Sudah tentu selain di Cikande, Saguling, Kabupaten Bandung Barat, adu ketangkasan domba ini dapat kita saksikan pula di sejumlah daerah lainnya di Provinsi Jawa Barat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Adu Tangkas Domba Garut di Cikande appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/adu-tangkas-domba-garut-di-cikande/feed/ 0 40810
Sanghyang Kenit, Gua Karst Purba di Aliran Sungai Citarum https://telusuri.id/sanghyang-kenit-gua-karst-purba-di-aliran-sungai-citarum/ https://telusuri.id/sanghyang-kenit-gua-karst-purba-di-aliran-sungai-citarum/#comments Thu, 15 Jun 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38972 Kenit, lurus!Kenit, lurus!Kenit, lurus! Demikian berulang-ulang terucap lantang dari seorang pemuda berkaos oblong merah darah. Pagi itu, Kamis (1/6/2023), ia tengah berjaga di persimpangan Jalan Cisameng, Rajamandala Kulon, Cipatat, Bandung Barat, Jawa Barat “Kenit” yang...

The post Sanghyang Kenit, Gua Karst Purba di Aliran Sungai Citarum appeared first on TelusuRI.

]]>
Kenit, lurus!
Kenit, lurus!
Kenit, lurus!

Demikian berulang-ulang terucap lantang dari seorang pemuda berkaos oblong merah darah. Pagi itu, Kamis (1/6/2023), ia tengah berjaga di persimpangan Jalan Cisameng, Rajamandala Kulon, Cipatat, Bandung Barat, Jawa Barat

“Kenit” yang dimaksud oleh pemuda itu adalah Sanghyang Kenit. Gua purba yang sebagian aliran Sungai Citarum menerobos dan melewati celah-celah tumpukan batu-batu gamping raksasa di bentangan karst Rajamandala.

Secara administratif, Desa Rajamandala Kulon masuk ke dalam wilayah Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Luas Rajamandala Kulon sekitar 1.527 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk sekitar 18.326 jiwa. Rajamandala Kulon termasuk salah satu daerah yang dilewati oleh aliran air Sungai Citarum. Sebelum mengalir ke wilayah Cianjur, air Sungai Citarum lebih dahulu harus melintasi kawasan Rajamandala Kulon.

“Sudah dekat. Lurus saja. Itu yang ada plang. Belok kiri tiga ratus meteran, nanti ada loket,” pemuda berkaos oblong merah itu memberi petunjuk.

Saya ikuti arahan pemuda tersebut. Benar saja, beberapa ratus meter berjalan, saya kemudian melihat loket sederhana yang dijaga oleh seorang perempuan.

“Delapan ribu,” penjaga loket itu menyebutkan harga tiket masuk ke lokasi.

Saya memberikan selembar Rp10.000. Dengan segera ia menyodorkan dua ribu rupiah sebagai uang kembalian.

Sanghyang Kenit, Gua Karst Purba di Aliran Sungai Citarum
Loket tiket sederhana memasuki kawasan wisata Sanghyang Kenit/Djoko Subinarto

Suasana Wisata di sekitar Sanghyang Kenit

Menuju lokasi Sanghyang Kenit jalan sedikit menanjak, tetapi tidak curam. Kerikil gamping mendominasi jalanan. Pohon-pohon talok (Muntingia calabura) yang mulai beranjak dewasa menghiasi lokasi masuk hingga pelataran Sanghyang Kenit. Beberapa talok berwarna merah, yang menandakan buah itu telah masak, terlihat berserakan di atas tanah. Buah-buah talok itu kemungkinan berguguran karena tertiup angin.

Gelondongan-gelondongan kayu yang rapi ditempatkan di bawah sejumlah pohon talok yang rindang. Gelondongan kayu itu berfungsi sebagai tempat duduk para pengunjung melepas lelah, sembari melihat ke arah aliran Sungai Citarum.

“Di sini mah airnya masih jernih. Bersih. Airnya murni berasal dari sejumlah mata air di sekitar sini. Belum bercampur dengan air dari anak-anak sungai lainnya,” kata seorang pria pemandu sekaligus penjaga sungai yang sedang bertugas pagi itu. Ia bersama beberapa pria lainnya bertugas memandu dan mengawasi para pengunjung yang datang ke Sanghyang Kenit.

“Kalau mau foto-foto, ke bawah saja,” katanya ramah. Ia menambahkan bahwa para pengunjung juga bisa berwisata naik perahu, berarung jeram, atau melakukan susur gua.

“Untuk arung jeram, ada dua paket. Paket pendek, jaraknya empat kilometer. Paket panjang, delapan kilometer. Satu perahu, bisa untuk enam orang. Kalau mau camping juga bisa, kami sediakan perlengkapannya,” jelasnya. 

Sanghyang Kenit, Gua Karst Purba di Aliran Sungai Citarum
Wisatawan mengamati pemandangan dari pinggir aliran Sungai Citarum/Djoko Subinarto

Tentang Sanghyang Kenit

“Kenit” sendiri merujuk pada sejenis domba berwarna hitam dan mempunyai sabuk warna putih yang melingkar di perutnya. Asal usul nama Sanghyang Kenit, konon karena di masa lalu para sesepuh kampung melakukan ritual memotong domba kenit secara berkala di tempat ini.

“Itu cerita asal usul yang saya dengar dan terima dari para sesepuh,” tutur pria pemandu itu sewaktu saya tanya ihwal sejarah nama Sanghyang Kenit.

Jika melihat dari lokasi dan struktur gua, Sanghyang Kenit tampaknya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Danau Bandung Purba. Mulut gua ini menghadap langsung ke aliran Sungai Citarum. Gua ini tidak buntu, melainkan terkoneksi dengan beberapa gua di kompleks karst Rajamandala. Dengan demikian, Sanghyang Kenit bukan satu-satunya gua yang ada di kawasan ini. Masih ada beberapa gua lainnya, yaitu Sanghyang Poek, Sanghyang Tikoro, dan Sanghyang Heuleut. 

Sanghyang Kenit baru terbuka untuk para wisatawan pada tahun 2021. Menurut petugas, kalau kita masuk dan menelusuri sejumlah lorong di dalam Sanghyang Kenit, kita bisa keluar di gua Sanghyang Tikoro. 

“Kurang lebih jaraknya sekitar 400 meteran. Untuk masuk dan melakukan susur gua, pasti kami dampingi,” terangnya.

  • Sanghyang Kenit, Gua Karst Purba di Aliran Sungai Citarum
  • Sanghyang Kenit, Gua Karst Purba di Aliran Sungai Citarum

Cara Menuju Sanghyang Kenit

Lokasi Sanghyang Kenit termasuk dalam wilayah Indonesia Power Plant PLTA Saguling. Dari Pasar Rajamandala, yang berada di Jalan Raya Bandung–Cianjur, jaraknya sekitar enam kilometer. Tak jauh dari Pasar Rajamandala, terbentang jalan ke arah selatan menuju PLTA tersebut. Tinggal ikuti saja jalan tersebut. 

Jalur Pasar Rajamandala–Sanghyang Kenit tidak dilayani rute angkutan umum. Jadi, bagi mereka yang tidak membawa kendaraan pribadi mesti mencarter angkutan kota (angkot) dari Pasar Rajamandala atau naik ojek pangkalan.

Kondisi jalan menuju lokasi cenderung turun-naik dan berkelok menembus sebagian hutan karet. Di beberapa titik, lapisan aspal dan beton jalan sudah tidak utuh akibat berkali-kali tergerus hujan. Hal ini menjadikan permukaan jalan di sebagian titik tidak rata. 

Patokan untuk sampai ke lokasi Sanghyang Kenit adalah pertigaan Cisameng. Dari pertigaan ambil arah kanan, kemudian terus lurus hingga nanti bertemu perempatan. Selanjutnya tetap lurus saja hingga nanti melihat sebuah plang petunjuk di sebelah kiri jalan.

Mereka yang doyan aktivitas susur sungai, arung jeram, maupun susur gua, dan kebetulan belum pernah ke Sanghyang Kenit, tak ada salahnya memasukkan gua karst purba ini ke dalam daftar destinasi berikutnya yang mesti dikunjungi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sanghyang Kenit, Gua Karst Purba di Aliran Sungai Citarum appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sanghyang-kenit-gua-karst-purba-di-aliran-sungai-citarum/feed/ 3 38972