bandung Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bandung/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 24 Jun 2025 14:40:28 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 bandung Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bandung/ 32 32 135956295 Bandung dalam Setahun https://telusuri.id/bandung-dalam-setahun/ https://telusuri.id/bandung-dalam-setahun/#respond Tue, 24 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47520 Aku masih mengingat jelas di akhir Mei 2024, di hari ketiga perhelatan Makassar International Writer Festival, aku menaiki pesawat subuh menuju Jakarta. Tidak terasa telah setahun Bandung menjadi rumah baru. Bandung jauh berbeda dengan Makassar,...

The post Bandung dalam Setahun appeared first on TelusuRI.

]]>
Aku masih mengingat jelas di akhir Mei 2024, di hari ketiga perhelatan Makassar International Writer Festival, aku menaiki pesawat subuh menuju Jakarta. Tidak terasa telah setahun Bandung menjadi rumah baru. Bandung jauh berbeda dengan Makassar, terutama udara dinginnya, bahasa orang-orang yang jauh berbeda, kemacetan jalan yang berada di level berbeda dengan jalan-jalan Makassar, dan tentu saja perasaan sepi yang baru pertama kurasakan di tempat baru ini. 

Bandung adalah babak baru yang datang dengan sendirinya. Prosesnya begitu cepat dan mudah, seolah semuanya memang harus seperti ini: perpindahan karier, mengurusi semua barang di Makassar, membawa semua yang bisa kubawa dalam sebuah tas carrier 45 liter, berpisah jarak dengan semua orang yang aku kenal dan mulai membuka pertemuan-pertemuan dengan orang baru. 

Bandung dalam Setahun
Suasana Jembatan Pasupati Bandung saat malam hari/Nawa Jamil

Jatinangor dan Pertaruhan Baru

Perjalanan dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng menuju Jatinangor kami tempuh dengan mobil travel. Pengemudinya cekatan meski cukup cerewet dan tidak sabaran. Selain aku, Mba Leli, dan Adeeva, mobil ini juga mengangkut dua penumpang wanita lainnya.

Perjalanan kami mulus tanpa hambatan. Kami hanya berhenti di satu rest area dan tiba di Jatinangor pada siang hari. Kami pun memasuki salah satu apartemen di daerah ini, menata barang-barang dari Makassar seadanya, lalu merebahkan diri.

Sama seperti petualangan-petualangan sebelumnya, petualangan kali ini juga membuat dada berdebar dan pikiran berkelana penuh rasa penasaran. Bedanya, perjalanan ini lebih banyak tanda tanya dan takutnya. Berbeda dari petualangan-petualangan sebelumnya, tampaknya petualangan ini akan panjang, bisa saja malahan aku menemukan rumah tetap di sini, dan kali ini tidak ada tiket pulang. Untuk pertama kalinya, aku memulai perjalanan dengan berbekal tiket sekali jalan.

Bandung dalam Setahun
Rak penuh buku di toko buku Akar Rumput di Jatinangor/Nawa Jamil

Budaya, Selera, dan Bahasa

Hari-hari di Jatinangor berjalan sibuk dan cepat. Berbeda dengan kehidupan kerja dan bermain di Makassar, Jatinangor membawaku pada kesunyian yang syahdu. Setelah selesai dari pekerjaan 9 pagi sampai 5 sore, aku akan langsung pulang ke kos, merebahkan diri, dan tertidur begitu waktu isya datang. Terdengar membosankan, bukan? Tapi percayalah, ritme ini membawaku pada kenyamanannya sendiri. 

Selain ritme kehidupannya, Jatinangor juga membuatku nyaman dengan makanan-makanannya: nasi pecel Singkiye, tahu (yang secara mengejutkan) terenak yang pernah kumakan selama hidup yang singkat ini, sate solonya, dan semua olahan mi yang enak-enak.

Ada perbedaan mencolok dari kuliner Sunda dan Makassar. Di saat kuliner Makassar menyukai segala sesuatu yang berbahan utama daging dan diolah dengan beraneka bumbu yang berani, seperti coto, sop konro, sop saudara, konro bakar, pallubasa, dan berbagai masakan olahan daging lainnya, masakan Sunda justru minim bumbu dan lebih sederhana. Orang-orang asli Sunda menyukai ikan goreng dadakan yang di luar garing tetapi menyisakan daging ikan yang lembut dan disantap saat masih hangat bersama aneka sayur lalapan. Sayur-sayurnya disajikan segar dan dapat dengan mudah ditemui hampir di seluruh warung Sunda.

Seolah keberuntunganku pindah ke sini tidak pernah habis, aku mendapati diriku mudah beradaptasi dengan bahasa Sunda. Sebagai seorang dari tanah Sulawesi dengan bahasa, intonasi, dan penekanan kata yang jauh berbeda dari Sunda, kuakui cukup sulit untuk menghindari banyak prasangka orang-orang asing terhadapku dari cara bicara orang Sulawesi ini. Banyak sekali orang yang berpikir aku marah, padahal aku hanya berbicara santai (dengan nada dan intonasi bawaan dari Makassar). Inilah seni dari sebuah pertaruhan di tanah rantau. Tantangan bahasa ini adalah sesuatu yang harus aku taklukkan, menikmati prosesnya, dan perlahan menyesuaikan diri dengan tata bahasa orang-orang sekitar. Menariknya, kini aku menikmati bahasa Sunda, lantunannya, dan tuturnya.

Orang-orang Baru

Hal yang paling sedih dari perantauan adalah jauh dari keluarga dan orang-orang yang sudah kuanggap seperti keluarga. Pertaruhan ini juga membawa ketakutan terbesar, “Seperti apa orang-orang yang akan aku temui di sini?” 

Cara dan nadaku dalam berbicara sejujurnya membawa ketakutan tersendiri. Bagaimana jika orang-orang salah paham? Bagaimana jika Bandung dan orang-orangnya tidak seseru Makassar? Bagaimana jika orang-orang tidak membuka ruang-ruang pertemanan baru denganku? Dan banyak perandai-andaian lainnya. 

Dua minggu di perantauan ini, semesta memberiku jawaban ‘tidak’ atas semua keraguan dan pertanyaan-pertanyaan. Momennya tepat pada perayaan Iduladha. Saat itu, aku diajak merayakan perayaan ini di daerah Cimenyan, di sebuah sekolah alternatif bernama Ummasa. Di sini aku bertemu orang-orang Bandung yang menyambutku dengan tangan hangat: Kak Vanbi, Kak Bolang, Kak Meylani, Kak Trisna, dan banyak lagi. 

Keberuntunganku tidak berakhir di sana. Aku juga bertemu dengan lusinan orang baik di Komunitas Teman Manusia Bandung. Pertemuan demi pertemuan menjadikan Bandung tempat yang nyaman bagi perempuan Makassar sepertiku. Dari keramahan orang-orang yang kutemui di jalanan kota, kebaikan orang-orang yang menyambutku dengan hangat di rumah-rumah mereka, keluarga baru yang kutemui di sini, sampai orang-orang asing yang mendengarkan semua ceritaku dengan hati. 

  • Bandung dalam Setahun
  • Bandung dalam Setahun

Petualangan Baru

Bandung adalah tempat jelajah yang menawarkan segala yang kucari: kekayaan musik, budaya, tempat-tempat nyaman di ketinggian, hingga daerah pantai eksotis di Garut yang dapat ditempuh sekitar tiga jam dari kosku. Aku bertemu seorang pencinta musik skinhead Bandung yang mengenalkanku tentang keragaman musik Kota Kembang. Tak hanya itu, Sunda yang terkenal dengan alunan seruling dan alat musik tradisional dari bambu juga menambah semangat eksplorasiku akan kota ini.

Kemacetan kota dan bagaimana orang-orang Bandung lebih senang berdiam diri di rumah saat akhir pekan karena jalanan kota penuh kendaraan berplat B, serta tata kota yang menurutku semrawut adalah perihal kecil Bandung yang baru bisa diketahui setelah mengamati kota ini dalam kurun waktu tertentu.

Kemacetan Jatinangor–Kota Bandung yang melewati Cileunyi, Cibiru, Ujung Berung, Cicaheum, hingga berbelok ke arah pusat kota di sekitaran Gedung Sate adalah pemakluman yang kuamini selama setahun di sini. Namun, semua itu tidak sebanding dengan yang ditawarkan: kesejukan kebun teh daerah Pangalengan, Ciwidey hingga Lembang, keunikan Tangkuban Perahu dan gunung-gunung vulkanis di sekitar Jawa Barat, hingga Bandung malam hari yang kuamati dari salah satu kafe di ketinggian daerah Bojong Koneng.

Ada begitu banyak hal indah tentang Bandung, ada begitu banyak petualangan yang mesti dimulai, peristiwa yang mesti dialami, teman untuk didengar, dan perjuangan-perjuangan yang menunggu untuk dimenangkan.

* * *

Merantau tanpa tahu kapan kembali adalah perjalanan penuh tanda tanya. Pertaruhan tanpa tiket pulang ini telah kulalui selama setahun. Hanyalah hal baik yang terpikirkan saat mengingat Bandung dan orang-orangnya. Tak berhenti di sini, perantauan ini masih akan berlanjut di Bandung sampai entah kapan, semoga untuk waktu yang lama, lama sekali. 

Terima kasih orang-orang baru, keluarga yang menerimaku, dan kesejukan Bandung yang ingin kunikmati selamanya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bandung dalam Setahun appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bandung-dalam-setahun/feed/ 0 47520
Jembatan sebagai Ruang Refleksi dan Daya Tarik Wisata https://telusuri.id/jembatan-sebagai-ruang-refleksi-dan-daya-tarik-wisata/ https://telusuri.id/jembatan-sebagai-ruang-refleksi-dan-daya-tarik-wisata/#respond Wed, 04 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47312 Sektor pariwisata selama ini lebih lekat dengan aspek-aspek keindahan alam, peninggalan sejarah, atau kekayaan budaya lokal. Namun, di tengah perkembangan teknologi dan desain kawasan urban modern, sebuah infrastruktur seperti jembatan ternyata mampu pula menjadi ikon...

The post Jembatan sebagai Ruang Refleksi dan Daya Tarik Wisata appeared first on TelusuRI.

]]>
Sektor pariwisata selama ini lebih lekat dengan aspek-aspek keindahan alam, peninggalan sejarah, atau kekayaan budaya lokal. Namun, di tengah perkembangan teknologi dan desain kawasan urban modern, sebuah infrastruktur seperti jembatan ternyata mampu pula menjadi ikon dan daya tarik utama destinasi wisata.

Secara fungsi, jembatan di mana pun adalah penghubung antartitik. Namun, dalam banyak kasus, jembatan justru bisa menjadi tujuan. Jadi, ia bukan sekadar perantara. Dalam konteks inilah muncul konsep pariwisata berbasis infrastruktur, yakni sebuah konsep yang menempatkan struktur buatan manusia sebagai daya tarik wisata itu sendiri.

Urry (2002) menegaskan bahwa objek wisata bukan hanya dinilai dari keindahannya, melainkan juga dari cara pandang dan konstruksi makna yang dibentuk oleh masyarakat terhadap objek tersebut. Dalam konteks ini, jembatan bisa menjadi objek wisata apabila dipandang menarik, simbolik, dan memiliki nilai visual atau historis yang kuat.

Kita ambil contoh, misalnya Golden Gate Bridge di San Francisco. Secara teknis, ia hanyalah sebuah jembatan penghubung. Namun, dalam realitas sosial dan budaya, ia telah menjelma menjadi simbol kota, bahkan negara. Lagu San Francisco, yang dinyanyikan oleh Scott McKenzie pada tahun 1967, menanamkan imajinasi romantis ihwal sebuah kota yang sebagian jiwanya berada di jembatan tersebut.

Fungsi simbolik jembatan juga terlihat di Tower Bridge di London. Dikelilingi oleh arsitektur kuno dan atmosfer kerajaan, Tower Bridge menyatukan keindahan struktural dan daya tarik historis. Banyak turis datang ke London tidak hanya untuk melihat Istana Buckingham atau Menara Big Ben, tetapi juga mengabadikan momen di atas jembatan yang menyeberangi Sungai Thames ini.

Di tanah air kita tercinta, Jembatan Suramadu, yang menghubungkan Surabaya dan Madura, juga mulai tumbuh menjadi sebuah ikon dan menyedot wisatawan. Meski awalnya dibangun sebagai solusi mobilitas, dalam praktiknya, jembatan ini ternyata menarik banyak wisatawan lokal yang ingin merasakan sensasi menyusuri jembatan terpanjang di Indonesia ini (5.438 meter).

Jembatan sebagai Ruang Refleksi dan Daya Tarik Wisata
Charles Bridge di Praha/Prague City Tourism via prague.eu

Menciptakan Efek Berantai

Dari sudut pandang ekonomi pariwisata, kehadiran jembatan yang ikonis sudah barang tentu mampu menciptakan efek berantai (multiplier effect). Faktanya, jembatan bisa memicu pertumbuhan ekonomi lokal melalui peningkatan jumlah kunjungan wisatawan, terbentuknya ekosistem kuliner dan suvenir, hingga penciptaan lapangan kerja.

Di sisi lain, jembatan juga bisa berfungsi sebagai kanvas arsitektur modern. Millau Viaduct di Prancis, misalnya, yang dirancang Norman Foster, kini dianggap sebagai mahakarya teknik sipil. Dengan ketinggian yang melampaui Menara Eiffel, viaduk ini justru menjadi magnet wisata bagi para pencinta desain futuristik dan struktur monumental.

Bukan cuma soal kemegahan, jembatan juga bisa memancarkan nuansa intim bahkan mistis. Ambil contoh Charles Bridge, sebuah jembatan batu tua yang dipenuhi patung dan sarat legenda di Praha, Ceko. Saat senja turun dan pengamen memainkan lagu Bridge Over Troubled Water karya Simon & Garfunkel, suasana berubah menjadi emosional, melahirkan pengalaman wisata yang menyentuh sisi diri yang terdalam. Refleksi emosional semacam itu jelas bukan hal remeh. 

Dalam banyak budaya, jembatan sering dimaknai secara metaforis sebagai penghubung: antara masa lalu dan masa depan, antara dua hati yang pernah terpisah, atau antara dunia luar dan dunia batin. Lagu The Bridge dari Elton John menggambarkan hal ini dengan indah, yakni jembatan sebagai simbol perjalanan spiritual dan pencarian makna terdalam dalam hidup.

Jembatan sebagai Ruang Refleksi dan Daya Tarik Wisata
Gwangan Bridge di Korea Selatan/Globaleur

Butuh Dukungan Narasi

Di sejumlah negara, pariwisata berbasis ikon infrastruktur seperti jembatan, ditopang pula dengan narasi yang mampu menggugah emosi dan membangun ikatan antara tempat dan pengunjung. Busan, Korea Selatan, membangun Gwangan Bridge bukan sekadar membentangkan batu dan baja, melainkan juga merangkai pertunjukan cahaya dan maraton malam yang menjelma pesta bagi mata dan jiwa. Dari sinilah wisata kontemporer berbasis infrastruktur berkembang: dari sekadar struktur fisik menjadi sebuah spektakel yang hidup.

Sebagaimana diketahui, elemen-elemen kota yang kuat secara visual (landmark) memiliki kekuatan untuk memandu persepsi dan emosi publik. Nah, jembatan, dengan struktur menjulang dan garis-garis arsitekturnya yang mencolok, bisa menjadi landmark yang kuat bila dikelola dengan baik.

Di Bandung, Jawa Barat, misalnya, Jembatan Pasupati sempat digadang-gadang sebagai ikon Kota Bandung, dengan menonjolkan atraksi cahaya berwarna-warni. Namun, karena tanpa manajemen yang berkelanjutan, daya tarik jembatan kini mulai memudar. Pariwisata tak cukup dengan estetika sementara, dibutuhkan pula keberlanjutan dan inovasi.

Jembatan sebagai Ruang Refleksi dan Daya Tarik Wisata
Jembatan Pasupati Bandung/Djoko Subinarto

Memicu Perasaan Keterikatan

Pada dasarnya, tempat yang memiliki simbol kuat seperti jembatan mampu turut memicu sense of place, perasaan keterikatan pada suatu lokasi. Inilah sebenarnya modal yang bisa diperkuat oleh pemerintah daerah atau sektor swasta dalam upaya membangun sektor pariwisata tematik, khususnya yang melibatkan jembatan di negeri ini.

Namun demikian, ada juga tantangannya, yakni aspek keamanan, perawatan, dan kapasitas. Jembatan yang ramai dikunjungi wisatawan memerlukan kontrol lalu lintas, sistem penerangan yang aman, serta proteksi terhadap vandalisme.

Tak kalah penting juga adalah menjaga keseimbangan antara fungsi asli jembatan dan perannya sebagai daya tarik wisata. Sebagus apa pun desain dan daya pikatnya, jembatan tetaplah infrastruktur publik yang melayani mobilitas. Jangan sampai kunjungan wisata yang ramai justru mengganggu fungsinya sebagai jalur transportasi vital.

Untuk itu, diperlukan pendekatan lintas sektor yang saling melengkapi. Kolaborasi antara dinas pariwisata, dinas pekerjaan umum, dan pelaku ekonomi kreatif menjadi kunci. Mereka harus duduk bersama merancang strategi yang tidak hanya mengedepankan estetika, tetapi juga mempertahankan fungsionalitas. Inilah bentuk sinergi konkret dalam mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan, yang memberi manfaat ekonomi tanpa mengorbankan fungsi infrastruktur dasar.

Pada akhirnya, barangkali sudah waktunya kita merombak cara pandang kita terhadap jembatan. Ia bukan lagi sekadar jalan pintas yang menghubungkan dua tempat, melainkan juga bagian dari perjalanan itu sendiri. Sebuah ruang yang tidak hanya dilewati, tapi juga dialami, tempat di mana waktu, ruang, dan kenangan bertemu dan mengalir bersama pengalaman yang bermakna.

Sebagaimana sebuah puisi yang baik, jembatan tidak selalu harus mewah, panjang, serta tinggi menjulang nyundul langit. Keindahan jembatan justru terletak pada kemampuannya membuat kita berhenti sejenak. Kita menunduk, menatap ke bawah, menyadari perjalanan yang kita lewati, baik secara fisik maupun batin, dan merenungi apa yang telah dan akan kita tempuh.

Untuk itu, dibutuhkan lebih dari sekadar teknik konstruksi. Kita memerlukan visi, narasi, dan manajemen kreatif agar setiap jembatan bisa menjadi ruang reflektif. Ia menjadi sebuah media yang tidak hanya menghubungkan dua sisi tanah, tetapi juga dua sisi jiwa—antara pengunjung dan tempat yang dikunjunginya.


Referensi:

Urry, John. (2002). The Tourist Gaze: Second Edition. London: SAGE Publications.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jembatan sebagai Ruang Refleksi dan Daya Tarik Wisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jembatan-sebagai-ruang-refleksi-dan-daya-tarik-wisata/feed/ 0 47312
Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu https://telusuri.id/nostalgia-radio-malabar-dan-perlunya-merekonstruksi-masa-lalu/ https://telusuri.id/nostalgia-radio-malabar-dan-perlunya-merekonstruksi-masa-lalu/#respond Thu, 01 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46818 Puntang adalah sebuah gunung di Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tak jauh dari puncak Gunung Puntang, tersimpan jejak sejarah yang berkaitan dengan keberadaan dan warisan perangkat komunikasi radio di Nusantara.  Memasuki kawasan Puntang, di...

The post Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu appeared first on TelusuRI.

]]>
Puntang adalah sebuah gunung di Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tak jauh dari puncak Gunung Puntang, tersimpan jejak sejarah yang berkaitan dengan keberadaan dan warisan perangkat komunikasi radio di Nusantara. 

Memasuki kawasan Puntang, di suatu Sabtu pagi nan mendung, saya disambut oleh sejuknya udara pegunungan. Gemercik air sungai mengalir jernih, deretan pohon pinus menjulang tinggi. 

Di salah satu sudut jalan yang agak menikung, terpampang papan peringatan. “HATI-HATI!!! RAWAN POHON TUMBANG”—begitu bunyi peringatannya, yang sempat sejenak menarik perhatian saya.

Namun, yang paling membetot perhatian pagi itu sesungguhnya adalah puing-puing bangunan stasiun Radio Malabar. Lokasinya hanya sepelemparan batu dari Sungai Cigeureuh yang mengalir di sela-sela kaki Gunung Puntang.

Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu
Jejak Radio Malabar yang tersisa dan kini hanya tinggal puing/Djoko Subinarto

Radio Malabar Dulu dan Kini

Dahulu, pada tahun 1920-an, Radio Malabar merupakan salah satu stasiun pemancar terbesar di dunia. Radio ini mampu menghubungkan kawasan Hindia Belanda, yang notabene merupakan wilayah-wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara, dengan Kerajaan Belanda di Eropa secara langsung. 

Proyek Radio Malabar sendiri diprakarsai oleh Dr. Cornelis de Groot dan dianggap sebagai sebuah terobosan besar dalam dunia komunikasi nirkabel masa itu. Teknologi yang digunakan di Radio Malabar memungkinkan transmisi gelombang radio hingga mencapai ribuan kilometer, menjadikannya sebagai pusat komunikasi strategis pada masanya.

Menyaksikan sendiri reruntuhan bangunan Radio Malabar yang masih tersisa di salah satu pojok kaki Gunung Puntang, saya lantas membayangkan beberapa ruang yang dipenuhi oleh deru mesin pemancar dan suara operator. Namun, kini hanya menyisakan tembok-tembok tua yang terus digerogoti zaman.  Bekas kolam berbentuk hati—yang beken dinamai Kolam Cinta—dan berada di depan puing bangunan Radio Malabar, yang dipisahkan oleh hamparan rumput, kini ditutupi oleh papan yang sebagian besar terlihat telah melapuk. 

Konon, Kolam Cinta adalah tempat yang digunakan sebagai area relaksasi bagi para insinyur dan pekerja yang mengoperasikan Radio Malabar. Saya membayangkan sebuah kolam besar dengan air yang sangat bening, ketika ikan-ikan berenang dengan suka cita. Saya juga membayangkan ada beberapa rumpun bunga lili air yang sengaja ditanam untuk memperelok tampilan kolam tersebut. 

Rekonstruksi Sejarah

Secara keseluruhan, saya melihat puing-puing peninggalan Radio Malabar itu tampaknya masih belum mendapat perhatian dalam hal rekonstruksi sejarah. Pasalnya, puing-puing itu masih dibiarkan apa adanya.

Padahal, rekonstruksi sejarah melalui situs-situs bersejarah dapat turut mengerek kesadaran masyarakat ihwal pentingnya warisan budaya. Menurut UNESCO, pelestarian situs-situs bersejarah bukan hanya sekadar untuk kepentingan akademik, melainkan juga untuk membangun rasa memiliki terhadap budaya dan sejarah lokal.

Di Indonesia, terus terang saja, banyak warisan sejarah yang terpinggirkan karena kurangnya dokumentasi dan minimnya perhatian dari pihak berwenang. Bahkan, tak sedikit bangunan pusaka yang akhirnya benar-benar lenyap tanpa jejak. Oleh sebab itu, jika puing-puing Radio Malabar tidak segera direkonstruksi, maka bisa saja jejak-jejak sejarah dan keberadaannya, cepat atau lambat, bakal benar-benar lenyap dalam beberapa dekade mendatang.

Tentang keberadaan stasiun Radio Malabar sendiri, salah satu bentuk rekonstruksi yang dapat dilakukan adalah dengan membangun kembali bangunan Radio Malabar dalam wujud museum interaktif. Museum ini nantinya dapat menyajikan dokumentasi sejarah, replika alat komunikasi lama yang pernah digunakan, hingga simulasi interaktif soal bagaimana stasiun radio di kaki Gunung Malabar ini dulu berfungsi. Dengan upaya rekonstruksi tersebut, para pengunjung diharapkan tidak hanya akan melihat sejarah sebagai sesuatu yang statis, tetapi juga sebagai bagian dari pengalaman yang hidup. 

Kita mungkin bisa belajar dari keberhasilan proyek rekonstruksi stasiun Radio Grimeton di Swedia, yang kini telah menjadi bagian dari situs warisan dunia UNESCO. Stasiun radio tersebut mengalami rekonstruksi dan kini berfungsi sebagai pusat edukasi serta wisata sejarah. Rekonstruksi seperti yang dilakoni Radio Grimento di Swedia agaknya dapat diaplikasikan pula untuk Radio Malabar.

Selain melakukan rekonstruksi secara fisik, rekonstruksi juga bisa dilakukan secara  virtual. Di beberapa negara, pelestarian situs-situs bernilai sejarah telah dilakukan pula dengan memanfaatkan kemajuan teknologi digital. Misalnya, lewat pemanfaatan augmented reality (AR) dan virtual reality (VR). 

Jika hal itu juga bisa dilakukan untuk stasiun Radio Malabar, maka dapat membantu visualisasi secara virtual ihwal bagaimana Radio Malabar beroperasi di masa lalu. Model rekonstruksi semacam ini tidak hanya bakal menarik bagi generasi yang lebih muda, tetapi juga dapat memberikan pengalaman yang lebih mendalam bagi para wisatawan, khususnya mereka yang akrab dengan teknologi digital.

Sembari duduk di salah satu bongkahan tembok puing Radio Malabar, imajinasi saya berkelana ihwal bagaimana suasana pada tahun 1920-an di tempat tersebut, manakala Radio Malabar masih beroperasi. Di tengah kesunyian alam Puntang, saya seakan mendengar gema suara operator yang sibuk mengirimkan pesan ke Belanda, Negeri Kincir Angin, nun jauh di Eropa sana. 

Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu
Wisatawan membaca papan informasi yang menjelaskan sejarah Radio Malabar/Djoko Subinarto

Warisan Pustaka yang Harus Dijaga

Pada akhirnya, jejak sejarah bukan sekadar catatan-catatan yang tertuang di halaman-halaman buku belaka, melainkan juga jejak-jejak yang perlu dihidupkan kembali agar tidak terlupakan sama sekali. Kesadaran akan pentingnya rekonstruksi sejarah tidak hanya tentang mengenang masa lampau, tetapi juga tentang bagaimana kita membangun masa depan. 

Andaikan saja, Radio Malabar dapat direkonstruksi. Kelak, warisan bangunan pusaka dari masa silam ini bisa menjadi aset wisata edukatif yang lebih bernilai bagi Indonesia.

Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa sesuatu yang berharga bisa hilang jika tidak dirawat dan dijaga. Dengan mempelajari dan merekonstruksi jejak dan warisan sejarah Radio Malabar, kita tidak hanya mengenang masa lampau, tetapi juga memastikan bahwa warisan sejarah nan berharga ini tetap hidup dan bisa dipelajari oleh generasi-generasi mendatang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/nostalgia-radio-malabar-dan-perlunya-merekonstruksi-masa-lalu/feed/ 0 46818
Menangkap Peluang Cuan dari Lari Pagi di Dago https://telusuri.id/menangkap-peluang-cuan-dari-lari-pagi-di-dago/ https://telusuri.id/menangkap-peluang-cuan-dari-lari-pagi-di-dago/#respond Fri, 25 Apr 2025 03:00:48 +0000 https://telusuri.id/?p=46775 Ahad pagi (16/3/2025), sejumlah pelari tampak menyusuri ruas kawasan Dago, Bandung, Jawa Barat. Mereka terlihat sedang berlari dari arah persimpangan Jalan Sulanjana–Jalan Ir. H. Juanda ke arah bawah. Ada yang berlari sendirian, ada juga yang...

The post Menangkap Peluang Cuan dari Lari Pagi di Dago appeared first on TelusuRI.

]]>
Ahad pagi (16/3/2025), sejumlah pelari tampak menyusuri ruas kawasan Dago, Bandung, Jawa Barat. Mereka terlihat sedang berlari dari arah persimpangan Jalan Sulanjana–Jalan Ir. H. Juanda ke arah bawah. Ada yang berlari sendirian, ada juga yang berpasangan maupun berkelompok.

Saat mereka sedang berlari, dengan memanfaatkan jalur khusus sepeda yang lengang, sejumlah fotografer yang mangkal di trotoar membidikkan kamera dan mendokumentasi mereka. Klik, klik, klik….tombol rana ditekan. Sebagian pelari langsung sigap berpose.

Salah seorang fotografer yang belakangan ini getol mangkal di Dago adalah Javier Nayaka (18). Belia asal Cimahi yang masih menuntut ilmu di salah satu sekolah vokasi ini, menyisihkan sebagian waktu libur akhir pekannya dengan memotret para pelari pagi, yang biasa wara-wiri di kawasan Dago. Foto-foto hasil jepretannya kemudian diunggah ke aplikasi Fotoyu. Selain mengembangkan dan mengasah kemampuan fotografinya, ia pun bisa meraup cuan dari hasil foto-foto yang terjual lewat aplikasi tersebut.

“Mulai motret di sini sejak Desember tahun lalu,” terang Javier, sembari mengokang kamera mirrorless pabrikan Jepang. Di sampingnya, sebuah komputer pangku berlayar 14 inci menyala. Javier langsung mentransfer foto-foto hasil jepretannya ke komputer pangku tersebut.

Javier tidak sendirian. Puluhan fotografer lain juga mangkal saban akhir pekan di sekitaran Dago. Seperti Javier, mereka juga mengunggah foto-foto karya mereka ke aplikasi Fotoyu.

Javier mengaku dirinya mengetahui adanya Fotoyu dari salah seorang temannya. Sejak itu, ia pun makin rajin memotret dan mengunggah karya-karyanya di aplikasi tersebut. Bahkan, kini bukan hanya foto yang diunggah, melainkan juga video berdurasi pendek.

Menangkap Peluang Cuan dari Lari Pagi di Dago
Dua pelari sedang dipotret fotografer/Djoko Subinarto

Menciptakan Ekosistem Baru 

Kawasan Dago sendiri, khususnya saban Sabtu dan Ahad pagi, belakangan ini menjadi arena para pehobi lari. Jalan aspal mulus dengan naungan pohon-pohon rimbun, udara yang relatif sejuk, plus masih belum banyaknya kendaraan yang memadati jalan saat pagi hari, agaknya membuat para pelari merasa lebih nyaman melangkahkan kaki mereka di kawasan ini. Sementara itu, bagi para fotografer, Dago bisa pula menjadi ladang untuk mengais rupiah.

Alvin Toffler (1980) dalam The Third Wave antara lain menyebutkan, bahwa era informasi telah menciptakan ekosistem baru. Transaksi ekonomi tidak lagi melulu bergantung pada kepemilikan fisik semata, tetapi juga berbasis data dan konten digital. 

Dan inilah yang sejatinya terjadi di kawasan Dago. Foto-foto hasil jepretan para fotografer yang mangkal di kawasan ini, yang mendokumentasikan para pelari pagi dan lantas diunggah ke aplikasi Fotoyu, menjadi contoh konkret bagaimana ekonomi berbasis informasi bekerja.

Para pelari yang tertarik dengan foto-foto hasil jepretan para fotografer itu dapat dengan mudah mengakses, memilih, dan membeli hasil jepretan tersebut langsung melalui aplikasi. Tidak ada lagi kebutuhan untuk transaksi fisik di tempat. Semua dilakukan secara digital, mulai dari proses pemilihan foto hingga pembayaran.

Dalam konteks ini, fotografi bisa dikatakan bukan lagi sekadar urusan dokumentasi, melainkan juga sebagai sebuah bentuk kapital simbolik. Para pelari tidak hanya membeli foto karena mereka ingin memiliki kenangan semata, tetapi juga karena nilai sosial yang melekat pada foto-foto yang mereka beli. Mereka lantas mengunggahnya ke akun media sosial masing-masing, yang mampu menciptakan citra tertentu yang bernilai bagi identitas digital mereka di jagat maya.

Menangkap Peluang Cuan dari Lari Pagi di Dago
Suasana kawasan Dago yang masih jarang kendaraan saat pagi/Djoko Subinarto

Tak bisa dimungkiri, pengalaman individu menjadi faktor utama dalam ekonomi digital saat ini. Pasalnya, di era serba digital, bukan hanya produk yang diperjualbelikan, melainkan juga pengalaman dan bagaimana pengalaman itu didokumentasikan serta dibagikan. Oleh karena itu, lari pagi di Dago agaknya bukan lagi sekadar aktivitas fisik semata, melainkan juga sebuah pengalaman yang memiliki nilai lebih ketika diabadikan dalam bingkai foto dan kemudian dipublikasikan melalui jejaring media sosial.

Bagi para fotografer dan pelari sendiri, apa yang berlangsung di kawasan Dago ini adalah simbiosis mutualisme. Pihak fotografer tidak perlu menyewa studio khusus atau mencari klien secara aktif. Calon klien datang dengan sendirinya saat mereka melaksanakan rutinitas olahraga lari pagi. Dengan bantuan teknologi modern, fotografer cukup mengunggah hasil jepretan mereka ke Fotoyu dan menunggu transaksi terjadi.

Di sisi lain, para pelari dengan mudah mendapatkan dokumentasi yang diinginkannya tanpa harus repot dan ribet membawa fotografer pribadi. Pelari pun semakin termotivasi untuk tampil maksimal, mengenakan pakaian olahraga yang stylish dan berlatih ihwal bagaimana mematut diri serta melakukan pose terbaik saat berlari di depan para fotografer. Semua ini tentu saja menjadi bagian dari ekosistem yang berkembang secara organik, selaras dengan pertumbuhan budaya digital kiwari.

Menangkap Peluang Cuan dari Lari Pagi di Dago
Sejumlah warga memanfaatkan jalanan Dago yang lengang untuk berlari pagi/Djoko Subinarto

Interaksi Simbolik

Ditilik dari kacamata sosiologi, fenomena seperti yang berlangsung di kawasan Dago ini mencerminkan apa yang diistilahkan sebagai interaksi simbolik. Ini merujuk pada interaksi antara pelari dan fotografer yang tidak hanya bersifat transaksional, tetapi juga membentuk makna sosial baru. Sebuah senyuman di depan kamera, lompatan kecil dan acungan tangan saat berlari, hingga ekspresi kelelahan yang tertangkap lensa, semuanya menjadi bagian dari narasi yang lebih besar ihwal pengalaman dan gaya hidup kaum urban berikut eksistensi digital mereka.

Tak bisa dimungkiri, teknologi telah menciptakan cara baru bagi manusia untuk mengapresiasi dan mengkomersialkan pengalaman. Bersama kreativitas dan gaya hidup, teknologi akan terus berkembang sekaligus membukakan pintu-pintu peluang baru di tempat-tempat yang sebelumnya mungkin tidak terpikirkan maupun terbayangkan. 

Sudut-sudut kawasan Dago menjadi contoh nyata. Kemajuan teknologi telah membuat aktivitas sederhana seperti lari pagi mampu melahirkan ekosistem ekonomi berbasis digital yang khas, yang membuka peluang cuan bagi mereka yang jeli menangkap momen sekecil apa pun.


Referensi:

Toffler, A. 1980. The Third Wave. New York: Morrow.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menangkap Peluang Cuan dari Lari Pagi di Dago appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menangkap-peluang-cuan-dari-lari-pagi-di-dago/feed/ 0 46775
Mencari Ketenangan Diri lewat Karya Seni di NuArt Sculpture Park Bandung https://telusuri.id/mencari-ketenangan-diri-lewat-karya-seni-di-nuart-sculpture-park-bandung/ https://telusuri.id/mencari-ketenangan-diri-lewat-karya-seni-di-nuart-sculpture-park-bandung/#respond Mon, 23 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44670 Kehidupan sering kali bergerak begitu cepat. Seperti laju sepeda motor yang dipacu kencang di jalanan kota Bandung, menyusuri kepadatan lalu lintas yang tak pernah berhenti. Terperangkap dalam rutinitas yang tiada habisnya, kita kadang lupa untuk...

The post Mencari Ketenangan Diri lewat Karya Seni di NuArt Sculpture Park Bandung appeared first on TelusuRI.

]]>
Kehidupan sering kali bergerak begitu cepat. Seperti laju sepeda motor yang dipacu kencang di jalanan kota Bandung, menyusuri kepadatan lalu lintas yang tak pernah berhenti. Terperangkap dalam rutinitas yang tiada habisnya, kita kadang lupa untuk memberi sedikit jeda, untuk berhenti sejenak dan meresapi setiap detik yang mengalir begitu saja.

Hiruk-piruk kota beradu dengan detakan jarum jam yang terus berputar, seakan menuntut kita untuk selalu bergerak. Lalu, di tengah segala kepadatan itu, tiba-tiba ada sebuah tempat yang menawarkan pelukan ketenangan—sebuah ruang untuk menepi dan menikmati keindahan karya seni—bernama NuArt Sculpture Park.

Di balik kebisingan kota, jauh dari riuh arus lalu lintas, ada taman seni yang menantang kita untuk berhenti dan melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. NuArt adalah sebuah karya seni yang senantiasa hidup, lebih dari sebatas galeri atau pameran patung. Ia adalah ruang untuk meresapi, ruang untuk merenung, dan lebih dari itu, ia sebuah perjalanan ke dalam diri. 

Mencari Ketenangan Diri lewat Karya Seni di NuArt Sculpture Park Bandung
Patung paus menyembul di atas tanah, terpisahkan dari tubuh dan ekornya. Salah satu ikon NuArt Sculpture Park Bandung/Yayang Nanda Budiman

Di balik nama besarnya, masih banyak wisatawan yang belum mengetahui tempat istimewa yang satu ini. Entah karena lokasinya yang cukup berjauhan dari pusat wisata, atau karena masih sedikit dari para pengunjung yang memopulerkannya di media sosial mereka. NuArt Sculpture Park mengombinasikan beragam karya monumental dari salah satu pematung legendaris Indonesia, I Nyoman Nuarta. Galeri yang berada di Jalan Setra Duta Raya No. L6, Ciwaruga, Kecamatan Parongpong, Bandung ini tidak hanya menyajikan lebih dari sekadar pameran patung, tetapi juga sebuah perjalanan menyelami filosofi kehidupan dan keindahan ciptaan Tuhan.  

Dibangun sekitar tahun 2000, NuArt awalnya didesain sebagai ruang pribadi bagi I Nyoman Nuarta untuk menyimpan karya-karya besar miliknya. Namun, karena tingginya atensi pengunjung, galeri ini akhirnya dibuka untuk umum. Berada di lingkungan seluas empat hektare, NuArt mengelaborasikan konsep seni dan alam dalam suasana yang sangat khas Kota Kembang.

NuArt menawarkan ruang perenungan dan meditasi visual dari setiap karya seni yang dipamerkan. Para pengunjung diajak untuk meresapi lebih dalam apa itu seni, kehidupan, dan waktu.

Mencari Ketenangan Diri lewat Karya Seni di NuArt Sculpture Park Bandung
Salah satu sudut lorong ruangan yang memuat patung-patung beraneka ragam dengan makna dan filosofi tersendiri/Yayang Nanda Budiman

Ruang Seni dan Renung Alam

Mengunjungi NuArt Sculpture Park adalah perjalanan menuju ketenangan. Begitu memasuki kawasan ini, para pengunjung akan merasa seakan telah menepi dari segala rasa sesak rutinitas. 

Lokasinya yang terletak cukup jauh dari jantung kota—sekitar 10 km dari Alun-alun Bandung—membuatnya menjadi “harta karun” bagi mereka yang mencari keindahan karya seni dan ketenangan alam yang masih rimbun pepohonan. Karena di sini, kita tak akan menemukan keramaian seperti yang lumrah ditemui di tempat lain di Kota Bandung. Tak ada antrean panjang maupun kegaduhan. Hanya keheningan yang mengundang kita untuk menyelam dalam perenungan dan menikmati berbagai produk karya seni dengan cara yang lebih intim.

Di setiap jengkalnya, karya seni yang dipamerkan merangsang kita untuk berpikir filosofis dan memaksa untuk mencerna beragam bahasa yang tak tertuang dalam aksara. Patung-patung itu menggugah emosi dan mengundang interpretasi yang luas. 

NuArt memang bukan tempat biasa. Ada pengalaman yang benar-benar berbeda jika dikomparasikan dengan melihat lukisan di galeri tertutup atau mendengarkan musik lewat konser. Ratusan karya seni yang terpajang bukan hanya sekadar objek visual, melainkan simbol, metafora, dan representasi dari berbagai gagasan yang memvisualisasikan pergulatan manusia. Setiap patung yang kita saksikan seolah mengajak kita untuk berhenti sejenak bagi kita untuk berefleksi. 

Lewat karya, sang seniman memberikan pelajaran bagi para pengunjung bahwa seni bukan sebagai hasil, melainkan pergumulan proses. Berkesenian bukanlah sesuatu yang instan. Setiap karya yang dipamerkan memerlukan waktu, cinta, ketekunan, dan pengorbanan. Hal ini sangat jelas terlihat di NuArt, di mana setiap patung tak hanya mencerminkan kemampuan teknis, tetapi juga keberanian untuk mengungkapkan ide dan emosi yang mendalam.

Mencari Ketenangan Diri lewat Karya Seni di NuArt Sculpture Park Bandung
“Nightmare”, salah satu mahakarya Nyoman Nuarta/Yayang Nanda Budiman

Ruang Pamer Sejumlah Mahakarya dan Sarana Dialog

Begitu memasuki galeri, para pengunjung akan disambut dengan beragam patung yang menakjubkan, terutama di lantai pertama. Patung-patung besar dan tinggi dengan detail yang sangat teliti ini menjadi daya tarik utama. Beberapa patung, yang terbuat dari bahan tembaga, kuningan atau susunan kayu, menawarkan keindahan yang mendalam. Di sini, pengunjung bisa melihat miniatur desain Garuda Ibu Kota Nusantara (IKN) yang ikonis hingga lukisan yang menggambarkan proses pembangunan Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bali—mahakarya monumental yang diciptakan oleh Nyoman Nuarta. 

NuArt juga memuat cerita-cerita yang terkandung di dalamnya. Patung-patung di lantai kedua dan ketiga, meski tak serupa ukuran dengan lantai sebelumnya, tetap memancarkan daya tarik tersendiri. Ada patung wanita yang terbuat dari kawat dan logam yang tampak sangat hidup, ada pula sekelompok orang yang sedang menikmati minuman keras di tangga; menggambarkan potret sosial yang menggetarkan perasaan atas tatap setiap patung yang serasa hendak menyampaikan sejumlah pesan. 

Karya epik lain yang dipamerkan di sini adalah patung berjudul “Nightmare”. Karya ini terinspirasi oleh momen sejarah ketika kerusuhan etnis Tionghoa yang terjadi di Jakarta pada 1998. Patung dengan warna hitam dominan dan sedikit sentuhan emas ini menggambarkan seorang perempuan yang tengah terbaring. Dengan posisinya yang horizontal, patung ini menawarkan perspektif yang berbeda jika dibandingkan dengan patung vertikal lainnya. Lewat “Nightmare”, sang seniman mencoba mengingatkan kita pada sejarah kelam yang pernah terjadi di Indonesia.

Mencari Ketenangan Diri lewat Karya Seni di NuArt Sculpture Park Bandung
Panggung pagelaran seni atau amfiteater di NuArt Sculpture Park/Yayang Nanda Budiman

NuArt Sculpture Park juga berfungsi sebagai sarana untuk berekspresi dan berdialog. Komitmen pada pluralisme membuat tempat ini menjadi media bagi para seniman muda untuk berkreasi dan mengeksplorasi karya mereka. Seiring dengan berkembangnya waktu, fasilitas di NuArt pun semakin lengkap. Kini, para pengunjung dapat menikmati berbagai sajian kuliner lokal hingga mancanegara di restoran. Kemudian terdapat ruang pertemuan, arena bermain anak-anak, serta amfiteater dan bangunan serbaguna.

Untuk waktu operasionalnya, NuArt buka pukul 09.00–17.00 WIB setiap Selasa–Minggu. Harga tiket masuk galeri sebesar Rp50.000 untuk pengunjung reguler. Tersedia harga diskon 50% untuk pelajar, mahasiswa, dan pengajar setiap Selasa–Jumat dengan menunjukkan kartu tanda pelajar, serta gratis untuk anak berusia di bawah dua tahun. Tiket dapat dibeli langsung di lobi dekat pintu masuk galeri. Para pengunjung tak perlu khawatir soal aksesibilitas menuju galeri. Sebab, kondisi jalan dari Kota Bandung cukup baik dan dapat dilalui oleh berbagai jenis kendaraan. Fasilitas lahan parkir pun cukup luas.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mencari Ketenangan Diri lewat Karya Seni di NuArt Sculpture Park Bandung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mencari-ketenangan-diri-lewat-karya-seni-di-nuart-sculpture-park-bandung/feed/ 0 44670
Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Jalan Layang https://telusuri.id/bandung-dari-kota-kembang-menuju-kota-jalan-layang/ https://telusuri.id/bandung-dari-kota-kembang-menuju-kota-jalan-layang/#respond Sat, 14 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44570 Pucuk daun mahoni itu tampak berkilau tersorot mentari pagi. Pucuk tersebut muncul dari bagian tunas yang tumbuh dari salah satu potongan pohon mahoni dewasa, yang berada di Jalan Garuda, Kota Bandung, Jawa Barat. Sabtu (5/10/2024)...

The post Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Jalan Layang appeared first on TelusuRI.

]]>
Pucuk daun mahoni itu tampak berkilau tersorot mentari pagi. Pucuk tersebut muncul dari bagian tunas yang tumbuh dari salah satu potongan pohon mahoni dewasa, yang berada di Jalan Garuda, Kota Bandung, Jawa Barat.

Sabtu (5/10/2024) pagi itu, saya menyaksikan puluhan pohon mahoni yang telah ditebang di sisi utara Jalan Garuda. Di pagi yang sama, saya menyaksikan pula puluhan pohon bungur juga telah ditebang di bagian barat Jalan Abdurahman Saleh. 

Puluhan pohon itu menjadi tumbal bagi pembangunan jalan layang baru, yakni Jalan Layang Nurtanio. Nantinya akan menghubungkan Jalan Abdurrahman Saleh di utara dan Jalan Garuda di selatan. Pembangunan jalan layang ini tentu saja akan menambah panjang daftar jumlah jalan layang (flyover) yang dimiliki Kota Bandung. Akankah pada akhirnya julukan Kota Kembang bagi Bandung bakal berganti menjadi “Kota Flyover?

Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Flyover
Pengendara melintas di depan konstruksi jalan layang Nurtanio yang masih dalam proses pembangunan/Djoko Nubiarto

Berawal dari Konsep Kota Taman

Selain sempat dijuluki sebagai Paris-nya Jawa (Parijs van Java), Bandung sejak lama dijuluki pula sebagai Kota Kembang. Ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, pemerintah kolonial Belanda sejak awal merancang Bandung dengan konsep kota taman.

Jalan-jalan kecil yang melingkar-lingkar dengan tegakan pohon yang rapat di kanan kiri, dihiasi taman-taman di sudut-sudut jalan yang ditumbuhi aneka kembang, menjadi ciri khas Bandung. Ditunjang dengan hawanya yang adem, plus lanskap pegunungan di sekelilingnya, membuat nuansa Bandung sebagai Kota Kembang semakin kuat.

Akan tetapi, laju urbanisasi yang deras secara perlahan mulai mengubah paras Bandung sebagai Kota Kembang. Betapa tidak? Dari sebuah kota yang dirancang dengan konsep kota taman, dan menjadi salah satu perlambang keindahan alam tanah Pasundan, Bandung kini berkembang menjadi sebuah kota metropolitan yang supersibuk.

Merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, jumlah penduduk Kota Bandung tahun 2023 sebanyak 2.506.603 jiwa. Ini menjadikan Bandung, yang memiliki luas sekitar 167,31 kilometer persegi, sebagai salah satu kota yang memiliki jumlah penduduk paling padat di Indonesia.

Seiring dengan makin sesaknya Bandung, ruang-ruang terbuka hijau turut terkonversi. Ada yang menjadi perkantoran, kompleks perumahan, kawasan perniagaan, dan sejumlah fasilitas publik lainnya.

Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Flyover
Salah satu rumah warga terkena dampak proyek pembangunan jalan layang Nurtanio/Djoko Subinarto

Kemacetan Bandung: bahkan Jalan Layang pun Belum Cukup

Kemacetan lalu lintas boleh dibilang kini menjadi menu sehari-hari warga Bandung. Jalan-jalan disesaki kendaraan, yang sering kali melebihi kapasitas jalan yang ada. Sebagai respons terhadap problem kemacetan Bandung yang dari hari ke hari semakin parah, jalan-jalan di kota Bandung pun kian diperlebar. Namun, langkah ini rupanya masih belum cukup untuk mengatasi kemacetan yang kerap menyergap berbagai titik di Kota Bandung.

Maka, selain langkah memperlebar jalan, membuat jalan di atas jalan alias mendirikan jalan layang pun dilakukan. Harapannya tentu saja dapat menjadi bagian dari solusi kemacetan di Kota Bandung.

Hingga saat ini, Bandung telah memiliki lebih dari setengah lusin jalan layang dan kemungkinannya akan terus ditambah beberapa lagi. Harapannya, pembangunan jalan-jalan layang dapat memperlancar lalu lintas sehingga mengurangi terjadinya kemacetan.

Meski demikian, jalan layang ini nyatanya sama sekali tidak menyelesaikan penyebab utama kemacetan. Justru menimbulkan ketergantungan pada kendaraan pribadi, perencanaan kota yang buruk, dan ketidakmampuan sistem transportasi umum dalam melayani kebutuhan transportasi warga kota. 

Ketika jalan layang dibangun, kemacetan mungkin awalnya berkurang. Namun, seiring terus bertambahnya jumlah pengguna kendaraan pribadi, toh kemacetan tetap saja terjadi. Artinya, pendirian jalan layang sesungguhnya sama sekali bukan solusi cespleng kemacetan.

Selain itu, pembangunan jalan layang memakan ongkos lingkungan yang signifikan. Pembangunan jalan layang memerlukan beton dan baja dalam jumlah besar. Bahan-bahan ini memiliki jejak karbon yang substansial dalam proses pembuatannya.

Dari aspek finansial, pembangunannya juga memerlukan biaya jumbo. Contohnya, Jalan Layang Nurtanio yang saat ini masih dalam proses konstruksi. Total anggarannya mencapai 295 miliar rupiah. Belum lagi nanti ongkos pemeliharaannya.

Di kota-kota dengan lahan terbuka yang kian terbatas, pembangunan jalan layang juga dapat menggusur warga dan mengganggu infrastruktur kota yang sudah ada. Misalnya, infrastruktur hijau berupa pohon-pohon peneduh yang harus ditebang. 

Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Flyover
Tunas mahoni yang tumbuh dari batang pohon yang sudah ditebang sebagai dampak pembangunan jalan layang/Djoko Subinarto

Butuh Sistem Transportasi Publik yang Efisien

Dalam konteks Kota Bandung, daripada mengandalkan jalan layang untuk mengatasi kemacetan, Pemerintah Kota Bandung sebaiknya mengadopsi solusi yang lebih komprehensif agar mampu mengatasi penyebab utama kemacetan di ibu kota Jawa Barat ini. 

Salah satu strategi yang paling efektif adalah berinvestasi dalam sistem transportasi publik yang efisien dan terjangkau. Kota-kota seperti Singapura dan Tokyo, contohnya, telah membuktikan bahwa sistem metro, bus, dan kereta api yang dirancang dengan baik dapat mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi. Secara signifikan juga mampu mengurangi kemacetan. 

Teknologi terkini juga perlu dimanfaatkan lantaran menawarkan solusi yang menjanjikan untuk mengurangi kemacetan. Sistem manajemen lalu lintas cerdas, yang menggunakan data real time untuk mengoptimalkan aliran lalu lintas, contohnya, dapat mengurai kemacetan tanpa perlu membuat proyek infrastruktur yang menyedot dana besar seperti jalan layang. Contoh lain, aplikasi seperti Waze, yang memberikan informasi lalu lintas termutakhir kepada pengemudi, dapat dimanfaatkan untuk membantu mengalihkan arus kendaraan dari area yang macet.

Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Flyover
Jalan layang Pasupati yang sempat diharapkan menjadi solusi kemacetan di kawasan Pasteur/Djoko Subinarto

Prioritaskan Pejalan Kaki dan Pesepeda

Elemen penting lainnya dalam mengurangi kemacetan Bandung adalah meningkatkan desain perkotaan untuk lebih memprioritaskan pejalan kaki dan pesepeda. Upaya menciptakan lingkungan yang ramah bagi pejalan kaki, dengan trotoar yang aman, serta tersedianya jalur sepeda yang memadai, membuat warga Bandung dapat menikmati mobilitas yang lebih mudah dan nyaman. 

Peningkatan infrastruktur pejalan kaki dan jalur sepeda, dan dibarengi dengan pemberian insentif yang menarik, akan mendorong masyarakat untuk memilih berjalan kaki atau bersepeda sebagai moda transportasi utama di dalam kota. Ini tidak hanya mengurangi kemacetan lalu lintas, tetapi juga memberikan pilihan transportasi yang lebih sehat dan ramah lingkungan. Selain itu, desain kota yang memerhatikan kenyamanan pejalan kaki, seperti trotoar yang lebar dan bebas hambatan, akan membuat warga merasa lebih aman dan terlindungi dari potensi terjadinya insiden kecelakaan.

Di samping itu, lingkungan yang lebih ramah akan mendorong lebih banyak warga berjalan kaki dan bersepeda. Polusi udara yang berasal dari kendaraan bermotor bakal berkurang. Pada saatnya, kondisi ini akan berdampak positif terhadap kualitas udara dan kesehatan warga. 

Seperti sama-sama kita ketahui, bersepeda dan berjalan kaki merupakan aktivitas fisik yang mendukung gaya hidup sehat, yang bisa menurunkan angka obesitas dan penyakit terkait gaya hidup. Di saat yang sama, ketergantungan pada bahan bakar fosil juga akan berkurang sehingga turut menurunkan dampak negatif perubahan iklim.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Jalan Layang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bandung-dari-kota-kembang-menuju-kota-jalan-layang/feed/ 0 44570
Grey Art Gallery: Bervakansi lewat Pameran Karya Seni di Jantung Kota Bandung https://telusuri.id/grey-art-gallery-bervakansi-lewat-pameran-karya-seni-di-jantung-kota-bandung/ https://telusuri.id/grey-art-gallery-bervakansi-lewat-pameran-karya-seni-di-jantung-kota-bandung/#respond Wed, 11 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44530 Bandung merupakan kota yang dikenal karena panorama alam dan pusat fashion dengan gelar “Paris Van Java”, sehingga menjadi kiblat gaya hidup anak muda. Tak hanya itu, gaya arsitektur ibu kota Provinsi Jawa Barat tersebut juga...

The post Grey Art Gallery: Bervakansi lewat Pameran Karya Seni di Jantung Kota Bandung appeared first on TelusuRI.

]]>
Bandung merupakan kota yang dikenal karena panorama alam dan pusat fashion dengan gelar “Paris Van Java”, sehingga menjadi kiblat gaya hidup anak muda. Tak hanya itu, gaya arsitektur ibu kota Provinsi Jawa Barat tersebut juga masih kental dengan perpaduan sejarah dan nuansa modern. Berbagai gedung, rumah, dan pertokoan lama masih bertahan sampai sekarang.

Selain Museum Konferensi Asia Afrika atau Gedung Sate, Braga juga menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan di jantung Kota Bandung. Pada masa lalu, kawasan sarat sejarah ini merupakan pusat berbagai kegiatan publik, serta lokasi favorit untuk berbelanja dan bersantai. Hingga kini, perasaan nostalgia itu masih kental melalui suguhan arsitektur bernuansa retro dan art deco yang menghiasi sebagian besar bangunan di sepanjang jalan ini.

Grey Art Gallery: Bervakansi lewat Pameran Karya Seni di Jantung Kota Bandung
Suasana salah satu sudut Jalan Braga, Bandung/Yayang Nanda Budiman

Di tengah keramaian aktivitas kota, Grey Art Gallery hadir sebagai oase etalase seni yang menawarkan pengalaman alternatif bagi para wisatawan. Tak hanya berfungsi sebagai ruang pameran, galeri ini juga menjadi jendela untuk menerjemahkan Kota Bandung melalui kanvas dan eksplorasi warna. Beragam pameran konsisten digelar di sini dengan narasi budaya dan tema yang beragam.

Grey Art Gallery merupakan media bagi seniman lokal maupun internasional untuk memperkenalkan karya besar mereka. Terletak tepat di Braga, galeri ini menyediakan ruang untuk pameran seni visual, workshop, diskusi, hingga pertunjukan seni. Sejak diresmikan pada Februari 2023 lalu, Grey Art Gallery tak hanya berfokus pada pemeran, tetapi juga aktif menyelenggarakan beragam program alternatif menarik, seperti bedah buku dan diskusi terbuka agar pengunjung mengapresiasi seni lebih mendalam.

Grey Art Gallery: Bervakansi lewat Pameran Karya Seni di Jantung Kota Bandung
Lukisan-lukisan menarik di Grey Art Gallery/Yayang Nanda Budiman

Menceritakan Bandung dalam Dimensi Visual

Salah satu karakter khas dari Grey Art Gallery adalah komitmennya untuk mengeksplorasi potensi seni kontemporer yang dapat memvisualkan keanekaragaman kota Bandung. Setiap pameran tidak hanya menawarkan pengalaman estetika, tetapi juga peluang bagi para pengunjung untuk menyelami cerita yang termuat di dalamnya. Dengan pendekatan seni yang plural—lukisan, instalasi, fotografi, hingga seni media baru—sejumlah pameran tersebut mengangkat esensi kota Bandung dalam beragam dimensi visual. 

Galeri ini kerap mengusung tema sejarah dan budaya lokal Bandung yang sering kali termarjinalkan. Melalui karya yang penuh imajinasi, mereka mengajak para pengunjung untuk merefleksikan pentingnya melestarikan warisan budaya lokal yang mulai terabaikan. 

Misalnya, beberapa bulan lalu Grey Art Gallery bersama Holy Zpace mempersembahkan pameran dengan tajuk Bandung Painting Today. Pameran tersebut menyajikan berbagai kecenderungan dan praktik seni lukis Bandung saat ini, serta menggambarkan pluralisme seni lukis yang berkembang lintas generasi. Desain pameran dirancang sebagai ruang terbuka, yang memberi peluang bagi perkembangan dan pembacaan yang lebih luas tentang seni lukis Bandung. Pameran yang melibatkan 66 seniman lintas generasi itu dikuratori oleh Asmujo Jono Irianto dan Jajang Supriyadi. 

Bandung Painting Today mempunyai peta jalan yang jelas. Dimulai dengan memfokuskan perhatian pada para seniman dan praktik seni lukis Bandung. Mereka berencana melibatkan lebih banyak seniman dari Indonesia, Asia Tenggara, bahkan internasional di masa yang akan datang. Harapannya, kelak Bandung Painting Today bisa menjadi pameran yang diperhitungkan, memberi kontribusi pada pasar seni dan dunia seni rupa kontemporer yang lebih luas. 

Kurator Asmujo Jono Irianto, dalam konferensi pers di Grey Art Gallery pada 27 April 2024, menyatakan pameran ini berusaha menampilkan seni lukis kontemporer Bandung dalam arti yang lebih luas. Ia juga menyoroti fenomena di mana pameran seni lukis di Bandung acap kali sepi pengunjung, berbeda dengan suasana di Yogyakarta yang lebih hidup. Ia juga menambahkan, atmosfer Bandung sangat berbeda. Ia mengkritisi kurangnya perhatian dari Pemerintah Kota Bandung terhadap keberadaan galeri seni. 

Ruang Kolaborasi di Grey Art Gallery

Di lain pameran, Grey Art Gallery menampilkan perspektif aktual tentang Kota Bandung melalui karya-karya fotografi. Para seniman yang berpartisipasi menangkap momen-momen autentik warga Bandung, baik itu di jalanan, pasar, maupun ruang publik lainnya. Hasilnya, galeri ini tak hanya menampilkan wajah lain kota Bandung, tetapi juga mendefinisikan dinamika urban, budaya, dan interaksi antara manusia dan ruang kota. Para pengunjung dapat menyaksikan bagaimana sebuah kota dengan segala dinamikanya dapat dibingkai dalam tangkapan kamera, cat, kuas, dan kanvas dengan cara yang penuh makna dan multi-interpretasi. 

Grey Art Gallery tak jarang menjadi ruang kolaborasi antara seniman dengan komunitas kreatif di Bandung. Kolaborasi seperti itu membentuk sinergi yang kuat, menghasilkan karya-karya yang lebih holistik dan mencerminkan beragam perspektif dalam melihat Bandung.

Bagi yang belum tahu, Grey Art Gallery mempunyai berbagai cara untuk menghadirkan karya seni para senimannya. Selain melalui open call—mengundang para seniman ternama yang karya dan tema seninya relevan dengan visi Grey Art Gallery—ada juga jalur kurasi, yang mana para seniman bebas mengirimkan karya mereka untuk dinilai. Jika lolos seleksi, mereka akan dihubungi dan kerja sama pun terjalin antara seniman dan galeri.

Selain itu, galeri juga menjadi sarana berkumpulnya berbagai kalangan, mulai dari seniman, kolektor seni, hingga masyarakat. Tak jarang, pameran di Grey Art Gallery dihadiri oleh berbagai komunitas seni dan budaya di Bandung yang secara aktif berdiskusi dan bertukar pandangan. Hal ini memperlihatkan Grey Art Gallery juga berfungsi sebagai sebuah pusat lalu lintas pertukaran ide yang memperkaya kehidupan seni di Bandung.

Grey Art Gallery sering menyelenggarakan sejumlah pameran interaktif. Pameran ini memungkinkan pengunjung untuk ikut andil dalam pameran tersebut, sehingga terbuka ruang ekspresi diri pengunjung dan membangun rasa personal terhadap karya seni yang tengah dipamerkan.

Grey Art Gallery: Bervakansi lewat Pameran Karya Seni di Jantung Kota Bandung
Sudut lorong penuh lukisan karya banyak seniman/Yayang Nanda Budiman

Grey Art Gallery sebagai Alternatif Bervakansi

Lokasi yang sangat strategis di Braga menjadi daya tarik utama Grey Art Gallery. Para pengunjung dapat menikmati karya seni sambil merasakan suasana khas di sekitarnya, seperti sejumlah kafe klasik, butik, kuliner, hingga toko-toko seni.

Pengunjung juga bisa mengeksplorasi dan merenungkan Bandung sebagai kota dengan segala kompleksitas sosial dan budayanya. Beragam pameran menghadirkan sejumlah kisah dan cerita yang tak hanya terekam dalam sejarah, tetapi juga terefleksikan dalam kehidupan aktual di masyarakat urban Bandung. 

Bagi para penikmat seni atau wisatawan umum yang ingin merasakan perspektif lain dari Bandung, mengunjungi Grey Art Gallery adalah pengalaman yang tak boleh dilewatkan. Tidak perlu khawatir jika pameran berakhir. Sebab, hampir setiap beberapa bulan sekali Grey Art Gallery menghadirkan tema yang berbeda dan beragam. 

Pengunjung hanya membayar tiket masuk sebesar Rp20.000–25.000. Setelah itu dapat menikmati sajian karya seni tanpa batas waktu selama mematuhi peraturan galeri yang sudah ditetapkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Grey Art Gallery: Bervakansi lewat Pameran Karya Seni di Jantung Kota Bandung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/grey-art-gallery-bervakansi-lewat-pameran-karya-seni-di-jantung-kota-bandung/feed/ 0 44530
Menelusuri Jejak Bosscha di Bandung https://telusuri.id/menelusuri-jejak-bosscha-di-bandung/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-bosscha-di-bandung/#respond Tue, 01 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42768 Mobil kami melewati jalan yang tidak begitu mulus. Tidak ada bangunan di sekelilingnya, hanya kebun teh luas sejauh mata memandang. Waktu menunjukkan sekitar pukul 16.30 WIB, sementara udara di sekitar Pangalengan semakin dingin dan langit...

The post Menelusuri Jejak Bosscha di Bandung appeared first on TelusuRI.

]]>
Menelusuri Jejak Bosscha di Bandung
Perjalanan menyusuri kebun teh menuju House of Bosscha/Nawa Jamil

Mobil kami melewati jalan yang tidak begitu mulus. Tidak ada bangunan di sekelilingnya, hanya kebun teh luas sejauh mata memandang. Waktu menunjukkan sekitar pukul 16.30 WIB, sementara udara di sekitar Pangalengan semakin dingin dan langit kian redup.

Kami memasuki area House of Bosscha yang tampak sepi di sore hari. Pos penjaga juga kosong. Hanya terdapat satu kelompok turis yang tampaknya akan pergi sebentar lagi. Perjalanan penelusuran ini saya lakukan bersama Kak Bolang, orang Makassar yang sudah setahun lebih bekerja di Bandung dan Kak Sandra, seorang teman yang kini tengah menyelesaikan tesisnya di Universitas Indonesia.

Kami memarkir kendaraan tidak jauh dari rumah utama Bosscha dan menyempatkan diri berfoto di beberapa titik, seperti papan rumah dan bagian depan rumah Bosscha. Kami sempat kesulitan mencari pintu masuk ke ruangan ini, meskipun ada banyak pintu. Sayangnya, semua yang kami coba buka terkunci semua. Untungnya seseorang dari rombongan turis tadi menyarankan untuk mencoba pintu belakang. 

“Neng, kayaknya di sini semuanya terkunci. Tadi kami lewat belakang.”

Nuhun, Kang.”

Menelusuri Jejak Bosscha di Bandung
Salah satu sudut luar Rumah Bosscha/Nawa Jamil

Lorong Waktu Rumah Bosscha

Melihat dari model bangunan dan suasana yang dibawa, saya bisa merasakan bahwa beberapa bangunan yang terpisah dari rumah utama jauh lebih baru. Di bagian belakang, terdapat deretan paviliun dan satu bangunan persis di sebelah pintu belakang rumah utama, yang tampaknya diisi oleh para pekerja yang mengelola tempat ini. Seorang pengelola duduk di dekat pintu masuk. Kami menyapa hangat. Usai membayar biaya kontribusi per orang, kami mulai menelusuri bagian dalam dari rumah tua ini, yang tadinya hanya bisa kami saksikan dari kaca jendela luar.  

Bagian dapur rumah seolah membawaku melintasi lorong waktu. Di sini, sinar matahari masuk secara maksimal dengan interior bernuansa putih. Sebuah drinking water filter yang usianya kuyakini jauh lebih tua dariku tampak kokoh di sudut penanggah (pantry). Seorang petugas duduk di dekat pintu, mempersilakan kami mengeksplorasi bagian dalam dari rumah Bosscha. Dari dapur, pintu langsung terhubung ke ruang tengah. 

Tidak banyak yang tersisa dari ruangan tersebut. Sejumlah pajangan berukuran kecil terpasang di atas sebuah perapian. Ada angklung dengan delapan tangga nada, beberapa patung wayang orang, pigura Karel Albert Rudolf (K. A. R.) Bosscha, serta miniatur makamnya. Di atas pajangan-pajangan tersebut terdapat satu lukisan cat air yang cukup besar. Visualisasi hutan dengan dominan warna hijau membuat saya bisa merasakan kekuatan lukisan ini yang mampu bertahan dalam periode waktu yang lama.

Kemudian ada pajangan-pajangan kecil di kedua sisi perapian, termasuk kaca buram dengan bentuk menyerupai jendela. Selain perapian, di ruangan tersebut juga tersimpan beberapa perabot dari kayu jati kukuh—bahkan lima pria dewasa saja saya ragukan dapat memindahkan perabotan ini—seperti piano dengan tuts kusam yang masih berfungsi, sejumlah sofa, dan sebuah lemari kayu jati (yang tampaknya) superberat hanya dari melihatnya saja.

Bergeser ke ruang tamu, terdapat banyak perabot tua, seperti sofa yang disusun mengikuti bentuk jendela besar ruang tamu, sebuah lampu gantung, beberapa meja kaca bundar dengan kaki-kaki kayu langsing, sofa malas besar, dan lampu lantai dengan desain yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Tutupannya begitu besar, bermotif khas grandma core, berbahan kain berlapis tebal dengan aksen kain bulat di sekelilingnya. Satu pertanyaan langsung terlintas saat saya melihat desain lampu lantai tua itu, ”Sebanyak apa debu di benda ini?”

Secara umum, rumah Bosscha cukup terawat mempertimbangkan umurnya yang sekitar satu abad lebih. Termasuk bagian dapur yang masih aktif difungsikan oleh penjaga rumah ini. Kak Bolang dan Kak Sandra masih sibuk berfoto di beberapa sudut rumah, sementara saya memutuskan kembali ke bagian dapur, lalu duduk di salah satu kursi dekat pintu masuk. Saya duduk berseberangan dengan bapak penjaga rumah. Dari perawakannya, bapak itu sudah bekerja cukup lama. Ia juga cukup ramah menjawab beberapa pertanyaanku, termasuk kisah panjang tentang sosok Bosscha. 

”Dari cerita kakek saya yang ikut langsung dengan Pak Bosscha, Bapak dahulu orang yang baik meskipun bukan orang pribumi. Saking baiknya, waktu Pak Bosscha meninggal, kepala rombongan pelayatnya sudah sampai di kuburan, ekornya masih di sini.” 

Namanya Kang Asep. Obralan kami dimulai dengan menceritakan sosok Bosscha, perihal peninggalan orang Belanda yang banyak berjasa bagi masyarakat Bandung, sejarah dan deretan perubahan rumah, juga pengalaman unik selama bekerja di sini. 

Rumah Bosscha mengalami beberapa kali renovasi. Salah satu yang paling diingat Kang Asep adalah peristiwa gempa Sukabumi yang terjadi pada 2009. Dari penuturan beliau, saat gempa terjadi sebagian besar paviliun baru di sekitar rumah Bosscha rusak parah, bahkan beberapa bagian dari rumah utama.  

”Selama Bapak kerja di sini, rumah ini sudah beberapa kali renovasi, Teh. Rusak terparah itu sewaktu tahun 2009. Ada beberapa bagian rumah yang rusak, tapi tidak semuanya.” 

Ia melanjutkan, ”Tapi dulu sewaktu 2009, seluruh paviliun, bangunan-bangunan baru yang dibangun setelah rumah ini seluruhnya rusak, Teh. Justru rumah Bosscha ini yang tidak terlalu parah rusaknya, padahal bangunan ini, Teh, dibangun tanpa semen seperti bangunan-bangunan sekarang.”

Tentang Bosscha

Ada banyak hal yang diceritakan Kang Asep, tetapi banyak hal pula yang justru membuat saya semakin penasaran dengan sosok Bosscha. Dari beberapa sumber, saya bisa merasakan sosoknya yang begitu peduli dengan kesejahteraan pribumi di Bandung, terutama orang-orang yang bekerja dengannya di Perkebunan Teh Malabar. Ia banyak berkontribusi terhadap perkembangan keilmuan di tanah Bandung, sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.

Pada 1901 ia mendirikan sekolah dasar Vervoloog Malabar bagi anak-anak karyawan dan buruh perkebunan teh. Bosscha juga berperan penting dalam pendirian Institut Teknologi Bandung sebagai Majelis Direktur. Kontribusi yang tak kalah penting dari Bosscha adalah inisiasi pembangunan Bosscha Sterrenwacht atau sekarang dikenal dengan Observatorium Bosscha.

Ia datang ke Hindia Belanda tahun 1887. Namun, tidak langsung ke Bandung, tetapi terlebih dahulu melakukan ekspedisi pencarian emas di Sambas, Kalimantan. Sepulang dari Kalimantan, ia kemudian memulai karir sebagai pengusaha perkebunan teh pada 1896. Selama 32 tahun mengurusi perkebunan dengan banyaknya hal baik yang diberikan kepada orang-orang pribumi, ia akhirnya mengembuskan napas terakhir di rumahnya sendiri. Bosscha disemayamkan di tempat yang paling ia senangi sewaktu masih hidup, yakni di tengah-tengah kebun teh Malabar. 

Terlahir di Gravenhage (Den Haag), Belanda dan meninggal sebagai seorang bujang di Bandung, ia menghibahkan perkebunan dan asetnya untuk kesejahteraan masyarakat Bandung. Dari penuturan Kang Asep, keluarga Bosscha beberapa kali berkunjung ke makam dan rumah Bosscha setahun sekali pada periode 1980-an. Namun, kini sudah tidak pernah lagi.

Sayang sekali, penelusuran jejak Bosscha kemarin tidak sampai ke Observatorium Bosscha. Fasilitas tersebut ditutup semenjak pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu, meski saat ini dibuka secara terbatas. Namun, bertandang ke makam Bosscha dan rumahnya, serta bertemu orang-orang yang tumbuh dengan cerita kebaikannya, membuat saya mengerti bagaimana ia begitu dirayakan masyarakat Bandung hingga hari ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Bosscha di Bandung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-bosscha-di-bandung/feed/ 0 42768
Cerita Perayaan Lebaran Iduladha di Sekolah Alam Ummasa https://telusuri.id/cerita-perayaan-lebaran-iduladha-di-sekolah-alam-ummasa/ https://telusuri.id/cerita-perayaan-lebaran-iduladha-di-sekolah-alam-ummasa/#respond Wed, 11 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42638 Bulan Juni 2024 berjalan seperti roller coaster. Juni saya habiskan dengan serangkaian situasi yang terjadi di luar kendali, hingga keputusan berani untuk merantau di daerah Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Sekitar Minggu pagi, pesawat yang membawa...

The post Cerita Perayaan Lebaran Iduladha di Sekolah Alam Ummasa appeared first on TelusuRI.

]]>
Bulan Juni 2024 berjalan seperti roller coaster. Juni saya habiskan dengan serangkaian situasi yang terjadi di luar kendali, hingga keputusan berani untuk merantau di daerah Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Sekitar Minggu pagi, pesawat yang membawa saya dari Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin di Kabupaten Maros menuju Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang. Dari Tangerang, saya bersama seorang kawan langsung menuju Jatinangor. Total perjalanan memakan waktu sekitar lima jam, sehingga kami baru tiba dan beristirahat sekitar siang hari.

Menyesuaikan diri di tempat baru selalu menjadi tantangan, apalagi ketika kita akan berada sana untuk waktu yang lama. Sejauh ini, Jatinangor cukup menyenangkan: suhu rata-ratanya cukup sejuk, sehingga saya tidak butuh alat pertukaran panas, seperti AC dan kipas angin di kamar. Saya pun merasa jauh lebih bugar selama di sini, sebab setiap Subuh saya selalu jogging bersama kawan baru, lalu warung makan dari berbagai kelas juga kerap menyediakan teh tawar hangat. 

Kesibukan beberapa waktu beradaptasi dengan lingkungan baru menjadikan dua minggu di Jatinangor berlalu begitu cepat, hingga libur (cukup) panjang dari Sabtu ke Senin. Libur pertama sejak pindah ini saya habiskan dengan mengunjungi seorang kawan di daerah Depok. Namanya Sandrawali, seorang perantau dari Makassar yang tengah melanjutkan studi magister di Universitas Indonesia (UI).

Saya berangkat ke Jakarta pada Jumat malam bersama dua orang teman kerja. Kami tiba di Depok sekitar pukul 10 malam setelah mengantar salah satu teman ke daerah Padalarang. Tidak banyak yang dapat dilakukan di Depok. Saya menghabiskan waktu dengan berkeliling kampus UI, bercerita dengan teman lama, juga mengunjungi mal di daerah Margonda. 

Cerita Perayaan Lebaran Iduladha di Sekolah Alam Ummasa
Sekolah Alam Ummasa/Nawa Jamil

Lebaran di Perantauan

Jauh dari rumah saat momen-momen penting selalu menjadi hal yang membuat sedih. Beruntung, saya melalui momen Iduladha ini bersama sesama perantau dari Makassar. Minggu pagi, saya dan Kak Sandra kembali ke Jatinangor. Rencananya, Kak Sandra akan menetap sampai akhir pekan ini. 

Perjalanan Jakarta–Jatinangor berjalan lancar. Kami tiba di Jatinangor sekitar sore. Lepas Isya, Kak Bolang, salah seorang kawan di Makassar yang tengah merantau juga di Bandung, menjemput kami untuk merayakan lebaran Iduladha di daerah Cimenyan, Kabupaten Bandung.

Perjalanan ke Cimenyan kami tempuh sekitar 40 menit tanpa hambatan berarti. Begitu tiba, udara dingin langsung menusuk sampai ke tulang, jauh berbeda dengan kesejukan yang sudah akrab dengan saya di Jatinangor. Saat kami tiba, orang-orang di Ummasa sudah tertidur. Lampu-lampu ruangan komunal juga sudah dimatikan semua. Bolang langsung mengarahkan kami ke kamar tamu yang berada di bawah, dekat dari kolam renang dan lapangan basket. Begitu tiba, kami menghabiskan waktu berbincang sebentar—tidak sampai setengah jam—dan beristirahat untuk menunaikan ibadah solat Id keesokan paginya. 

Udara dingin yang menusuk sampai ke tulanglah yang membangunkan saya saat waktu menunjukkan pukul 05.10. Setelah bersiap-siap, saya langsung berjalan ke masjid. Takbir dari pengeras suara menjadi petunjuk termudah menemukan arah masjid. Namun, di saat bersamaan takbir juga membawa ingatan saya menyusuri momen-momen saat merayakan Iduladha bersama keluarga di kampung halaman. Beruntung, suasana haru yang muncul—karena saya merayakan Iduladha seorang diri di perantauan—cukup berkurang begitu mendengar khotbah yang disampaikan dengan bahasa Sunda yang tidak saya mengerti.

Setelah selesai menunaikan solat Id, saya kembali ke Ummasa dengan perasaan lega. Jujur, lebaran pertama kali yang saya pikir akan saya lalui seorang diri membuat saya merasa cukup sedih selama beberapa waktu kemarin. Beruntung, saya tidak melewati ini sendiri. Ada Kak Sandra, Kak Bolang, dan banyak orang-orang baru yang saya temui di Ummasa. Saat tiba, orang-orang sudah tampak sibuk menyiapkan sarapan dan berbagai perlengkapan untuk pemotongan sapi kurban, yang akan dilakukan sekitar satu jam ke depan.

  • Cerita Perayaan Lebaran Iduladha di Sekolah Alam Ummasa
  • Cerita Perayaan Lebaran Iduladha di Sekolah Alam Ummasa

Setelah sarapan pagi yang hangat dengan masakan rumahan dan buah-buahan segar yang ditanam sendiri, kami mulai menyiapkan segala keperluan kurban hari itu. Misalnya, mengalasi besek bambu dengan daun pisang, menyiapkan terpal untuk area pemotongan dan pembagian daging setelah dipotong nanti, dan banyak lagi. Setelah seluruh persiapan selesai, kami pun ikut ke daerah atas, tempat di mana penyembelihan sapi akan berlangsung.

Tepat sebelum pukul sembilan pagi, Pak Ustaz yang tengah berkeliling menyembelih ternak menginfokan bahwa ia tengah menuju Ummasa. Para lelaki yang memang tengah bersiap mulai bergerak memosisikan sapi yang akan disembelih. Suara sapinya terdengar sedih. Beberapa anak-anak juga menangis dan tidak ingin melihat lebih lanjut. Saya pun begitu. Saya memilih kembali masuk bersama beberapa wanita lain yang tidak ingin menyaksikan. 

Pekerjaan kami pun dimulai. Setelah penyembelihan sapi selesai, potongan-potongan tubuh sapi tersebut dibawa ke kami, pasukan yang siap memotongnya menjadi beberapa bagian kecil. Proses memotong sapi ke bagian-bagian kecil, lalu memasukkannya dengan berat yang sama ke masing-masing besek sebelum dibagikan, berlangsung selama beberapa jam dan baru selesai tepat saat siang hari. Selain kesempatan menjadi panitia kurban yang baru saya rasakan untuk pertama kalinya, keramahan dan penerimaan yang begitu hangat dari orang-orang di Rumah Belajar Ummasa adalah hal terbaik dari momen Iduladha ini.

Rumah Belajar Ummasa

Jika di kemudian hari saya diberikan kesempatan untuk tinggal di rumah impian, maka desain, konstruksi, dan keseluruhan bagian dari Ummasa adalah jawabannya. Rumah belajar ini terletak di Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Berada di atas ketinggian, rumah belajar tersebut memiliki pemandangan Kota Bandung dari ketinggian yang sangat indah. Berdasarkan cerita dari orang-orang di sini, Ummasa merupakan sekolah berbasis komunitas dan menciptakan ruang nyaman bagi aktivitas belajar anak-anak. Sayangnya, saya tidak sempat bertemu anak-anak Ummasa sebab waktu itu sedang momen libur sekolah. 

Saat ini, Rumah Belajar Ummasa membuka kelas SD reguler dan nonreguler, serta kelas prasekolah reguler dan nonreguler. Meskipun tidak menyaksikan langsung proses pembelajaran di sini, tetapi melihat dari ruang kelas yang tidak seperti sekolah pada umumnya, ruang komunal yang terbuka, serta lapangan luas tempat anak-anak menghabiskan banyak waktu bersenang-senang, membuat saya bisa membayangkan betapa menyenangkan bersekolah di Ummasa. 

Saya cukup takjub bagaimana perjalanan di hidup ini kadang terjadi begitu lambat, lalu tiba-tiba bergerak begitu cepat hingga kita perlu lebih banyak waktu untuk mencerna hal-hal besar yang terjadi. Meskipun merantau keluar dari Makassar setelah menghabiskan seluruh hidup saya di sini adalah hal yang menakutkan di awal, tetapi menjalani kehidupan baru dengan kejutan-kejutan seperti hari ini membuat ketakutan itu perlahan memudar. Berganti ketidaksabaran menunggu petualangan-petualangan baru di Bumi Pasundan. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita Perayaan Lebaran Iduladha di Sekolah Alam Ummasa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-perayaan-lebaran-iduladha-di-sekolah-alam-ummasa/feed/ 0 42638
Jejak Pecinan Kota Bandung dari Rumah-Rumah Ibadah https://telusuri.id/jejak-pecinan-kota-bandung-dari-rumah-rumah-ibadah/ https://telusuri.id/jejak-pecinan-kota-bandung-dari-rumah-rumah-ibadah/#respond Wed, 03 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41593 Sebagai sebuah kota multietnis, Bandung—yang di masa silam sempat beken dengan julukan Parijs van Java alias Paris-nya Jawa—dihuni oleh beragam penduduk dengan latar belakang yang berbeda-beda. Termasuk Tionghoa. Dalam karyanya Ethnic Chinese Social Assimilation in Cibadak...

The post Jejak Pecinan Kota Bandung dari Rumah-Rumah Ibadah appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai sebuah kota multietnis, Bandung—yang di masa silam sempat beken dengan julukan Parijs van Java alias Paris-nya Jawa—dihuni oleh beragam penduduk dengan latar belakang yang berbeda-beda. Termasuk Tionghoa.

Dalam karyanya Ethnic Chinese Social Assimilation in Cibadak Chinatown Bandung, Rizaldi dkk (2018) menyebut sejarah kedatangan orang Tionghoa di Bandung berawal dari keputusan pemerintah kolonial Belanda. Saat itu dikeluarkan kebijakan yang akhirnya menjadikan Bandung sebagai kota terakhir di Nusantara yang diizinkan untuk dimasuki dan dihuni oleh etnis Tionghoa. Mereka yang datang ke Kota Bandung adalah orang-orang yang direlokasi dari kota lain di Indonesia. Sehingga etnis Tionghoa yang berada di Bandung bukanlah etnis yang bermigrasi dari Tiongkok.

Jejak Pecinan Kota Bandung dari Rumah-Rumah Ibadah
Pasar Baru sebagai kawasan Pecinan pertama di Kota Bandung/Djoko Subinarto

Kusteja (2012) menyebut komunitas Tionghoa cenderung bermukim di sekitar pusat simpul transportasi perhubungan, seperti jalan raya, jalan kereta api, stasiun kereta api, dan pasar sebagai pusat perdagangan. Sebab kegiatan utamanya bergerak dalam bidang perdagangan. Oleh sebab itu, tak heran jika kawasan Pecinan pertama di Bandung adalah Pasar Baru. Pasar yang terletak tak jauh dari Stasiun Kereta Api Bandung itu kini menjadi salah satu pusat ekonomi Kota Kembang.

Namun, seiring dengan pertumbuhan jumlah etnis Tionghoa, kawasan Pecinan di Bandung lantas meluas. Etnis Tionghoa bukan hanya mendominasi kawasan Pasar Baru, melainkan juga Sudirman, Gardu Jati, Cibadak, Belakang Pasar, Suniaraja, Pasar Andir, dan Kosambi.

Hingga sekarang, jejak sejarah Pecinan masa lalu di Kota Bandung masih bisa dilihat dengan jelas. Ambil contoh di seberang Pasar Baru, ada sebuah kawasan bernama Pecinan Lama. Sejumlah bangunan toko berarsitektur Tionghoa masih terlihat berdiri kukuh di kawasan ini. Begitu juga di kawasan-kawasan Pecinan lainnya.

Jejak Pecinan Kota Bandung dari Rumah-Rumah Ibadah
Tampak depan Kelenteng Satya Budhi Kota Bandung/Djoko Subinarto

Kelenteng dan Vihara

Selain bangunan toko maupun rumah berarsitektur Tionghoa, salah satu bukti lain terkait peninggalan sejarah Pecinan masa silam di Bandung adalah adanya kelenteng dan vihara. Salah satu contoh Kelenteng Satya Budhi, yang awalnya bernama Kuil Xietian Gong. Lokasinya berada di antara dua kawasan Pecinan, yaitu Sudirman dan Pasar Andir.

Awalnya, kelenteng tersebut merupakan tempat tinggal seorang kapitan Tionghoa bernama Tan Yun Liong. Kemudian pada 16 Juni 1885, bangunan tempat tinggal itu berubah fungsi dan menjadi sebuah kelenteng (Wardhani dkk, 2023).

Kendati sempat dipugar pada 1958 dan 1985, lalu mengalami kebakaran hebat pada 2019, hingga sekarang arsitektur asli kelenteng ini masih tetap utuh. Kelenteng Satya Budhi masuk dalam kategori cagar budaya dengan status A.

Bergeser sedikit ke arah selatan dari kelenteng, terdapat Vihara Dharma Ramsi. Vihara ini didirikan tahun 1954 oleh biksu Amingse Samo Amoyse yang berasal dari Tiongkok (Nurani, 2017).

Tatkala digelar perayaan Cap Go Meh di Kota Bandung, jalanan di depan Vihara Dharma Ramsi biasanya menjadi titik awal pemberangkatan peserta pawai rangkaian Tahun Baru Imlek tersebut. Dari depan vihara ini, peserta pawai bergerak ke utara melewati Kelenteng Satya Budhi, kemudian beralih arah ke Jalan Kebon Jati. Setelah itu masuk ke kawasan Pasar Baru, selanjutnya belok ke Cibadak hingga kembali lagi ke Vihara Dharma Ramsi.

  • Jejak Pecinan Kota Bandung dari Rumah-Rumah Ibadah
  • Jejak Pecinan Kota Bandung dari Rumah-Rumah Ibadah

Dua Masjid

Tak cuma kelenteng dan vihara, masjid juga bisa menjadi bukti autentik sejarah ihwal keberadaan etnis dan budaya Tionghoa yang turut mewarnai Kota Bandung. Dua di antaranya adalah Masjid Al-Imtizaj dan Masjid Lautze. 

Masjid Al-Imtizaj terletak di sebelah timur Pasar Baru. Tak jauh dari persimpangan Jalan ABC dan Jalan Banceuy. Salah satu tujuan pendirian masjid ini adalah untuk menyatukan komunitas-komunitas muslim Tionghoa yang ada di Kota Bandung (Putra, 2022).

Al-Imtizaj sendiri secara harfiah berarti “pembauran”. Warna merah dan kuning mencolok mendominasi tampilan masjid yang diresmikan pada 2010 itu. Sebuah gapura yang biasa ditemui di bangunan kelenteng kian menegaskan masjid ini bernuansa Tionghoa.

Berbeda dengan Al-Imtizaj, Masjid Lautze yang berlokasi di Jalan Tamblong tidak memiliki gapura. Kendati demikian, nuansa Tionghoa masih tetap kentara. Berdasarkan penelitian Nurjaman dan Gumilar (2021), Masjid Lautze didirikan pada 1997 sekaligus menjadi masjid tertua yang dibangun komunitas muslim Tionghoa yang bermukim di Kota Bandung.

Seperti halnya Al-Imtizaj, warna merah dan kuning juga mendominasi arsitektur Masjid Lautze. Saat saya menyambanginya, sejumlah lampion terlihat menggelantung di bagian depan masjid ini. Keberadaan Masjid Al-Imtizaj dan Masjid Lautze juga menunjukkan etnis dan budaya Tionghoa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan Kota Bandung. 

Zaman akan terus berubah. Penduduk Bandung juga semakin bertambah—kini hampir 3 juta jiwa. Meski begitu jejak dan bukti sejarah, termasuk ingatan orang-orang tentang Bandung, perlu terus dirawat agar bisa menjadi jembatan penghubung perjalanan kota di masa silam hingga berkembang seperti sekarang.


Referensi

Kusteja, S. (2012). Jejak Komunitas Tionghoa dan Perkembangan Kota Bandung. Jurnal Sosioteknologi. Vol. 11, No. 26 (2012), pp. 105–115. https://journals.itb.ac.id/index.php/sostek/article/view/1095/701.
Nurani, H. (2017). Nilai-Nilai Kerukunan Vihara Dharma Ramsi di Jawa Barat. Religious: Jurnal Agama dan Lintas Budaya. Vol 1, No. 2 (Maret 2017), pp. 147–153. https://doi.org/10.15575/rjsalb.v1i2.1357.
Nurjaman, I. M., & Gumilar, S. (2021). Kontribusi Aktivis Mesjid Lautze 2 Bandung dalam Merangkul Mualaf Tionghoa Tahun 2016–2021. Jurnal Iman dan Spiritualitas. Vol 1, No 4, 2021, pp. 429-436. https://doi.org/10.15575/jis.v1i4.13193.
Putra, M. Y. (2022, 6 April). Menilik Masjid Gaya Arsitektur Tionghoa di Jalan ABC Kota Bandung. Diakses pada Februari 2024, dari https://www.ayobandung.com/bandung-raya/pr-793153609/topik-khusus.html.
Rizaldi, D., Abdulkarim, A., & Malik, Y. (2018). Ethnic Chinese Social Assimilation in Cibadak Chinatown Bandung. International Journal Pedagogy of Social Studies. Vol. 3, No. 2, 2018, pp. 133–141. https://doi.org/10.17509/ijposs.v3i2.
Wardhani, M. K., Praseta, A. K., Ramadhan, S., Cahyowati, T. S., & Achsanta, D. N. (2023). STUDY OF LAYOUT, CIRCULATION, AND ORNAMENTS IN TEMPLE BUILDING (Case Study: Satya Budhi Temple, Bandung). Jurnal Arsitektur TERRACOTTA. Vol. 4, No. 2 (2023, pp. 145–155. https://doi.org/10.26760/terracotta.v4i2.8694.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Pecinan Kota Bandung dari Rumah-Rumah Ibadah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-pecinan-kota-bandung-dari-rumah-rumah-ibadah/feed/ 0 41593