banggai Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/banggai/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:55:50 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 banggai Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/banggai/ 32 32 135956295 Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2) https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-2/ https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-2/#respond Thu, 06 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45545 Setelah perjalanan panjang menyusuri Pangkajene dan Kepulauan, disaksikan deburan ombak musim timur, saya melanjutkan penjelajahan ke wilayah timur Indonesia. Destinasi kami adalah dua pulau di Maluku Barat Daya yang menyimpan ragam budaya, yakni Masela dan...

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah perjalanan panjang menyusuri Pangkajene dan Kepulauan, disaksikan deburan ombak musim timur, saya melanjutkan penjelajahan ke wilayah timur Indonesia. Destinasi kami adalah dua pulau di Maluku Barat Daya yang menyimpan ragam budaya, yakni Masela dan Babar.

Kali ini dimulai lewat jalur udara menuju Maluku hingga Saumlaki, ibu kota Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Dari atas ketinggian, gugusan pulau-pulau kecil di Maluku tampak seperti bintik hijau di atas lautan biru. Saat roda pesawat akhirnya menyentuh landasan Bandara Mathilda Batlayeri, saya tahu perjalanan ini akan membawa banyak pelajaran.

Dari Saumlaki menuju Masela dan Babar, jalur laut kembali menjadi pilihan. Kapal yang tidak terlalu besar itu memotong gelombang dengan membawa kami menyusuri lautan lepas selama beberapa jam. Ombak yang menggulung, angin yang menusuk, dan suara mesin kapal yang meraung menjadi teman perjalanan yang tak terlupakan.

Masyarakat Masela dan Babar hidup sederhana dengan sejarah panjang budaya, kesehatan, kondisi geografis, dan keterbatasan fasilitas publik. Saya ingin mencatat detail tentang upaya masyarakat di sana bertahan menghadapi tantangan hidup sehari-hari.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
KM Sabuk Nusantara, kapal perintis penghubung pulau-pulau di perairan Maluku dalam jaringan tol laut, yang sangat diandalkan masyarakat/Alin Rahma Yuliani & Hera Ledy Melindo

Menyusuri Jejak Budaya dan Kesehatan di Masela

Pulau Masela menyambut kami dengan udara yang sejuk dan tenang. Setibanya di Desa Iblatmuntah, suasana berbeda langsung terasa. 

Desa ini menyimpan banyak kisah unik, salah satunya keberadaan sumur tua dengan nama lokal Tua Tanyema. Warga setempat percaya, sumur itu tidak pernah kering bahkan saat musim kemarau panjang. Saya bertemu dengan Bu Maria, seorang kader posyandu yang sudah 10 tahun mengabdi.

Tua Tanyema bukan hanya sekadar sumber air, melainkan juga dianggap sakral oleh masyarakat. “Sumur ini sudah ada sejak zaman nenek moyang kami. Airnya tidak pernah habis, bahkan saat musim kemarau,” katanya sambil menatap sumur berair jernih itu.

Melihat prosesi Tari Seka untuk menyambut tamu di Pulau Masela (kiri) dan mengunjungi sumur tua di Desa Iblatmuntah/Adipatra Kenaro Wicaksana

Saya sempat mencicipi air dari sumur tersebut, rasanya segar dan jernih tanpa perlu dimasak. Seperti menyimpan jejak waktu dari masa lampau.

Kemudian saya mengunjungi Puskesmas Pembantu (Pustu) yang sudah rusak selama lebih dari tujuh tahun. “Sekarang, pelayanan dilakukan di balai desa atau rumah kepala desa,” tambah Bu Maria dan Pak Melkisoa Kolabora, Kepala Desa Iblatmuntah. 

Untuk melahirkan, bidan dari puskesmas akan datang langsung ke desa. Namun, dalam banyak kasus, dukun beranak masih menjadi andalan. Uniknya, keberadaan dukun beranak tidak hanya dilihat sebagai solusi darurat, tetapi juga bagian dari tradisi. 

Kondisi bangunan Puskesmas Pembantu Iblatmuntah yang memprihatinkan/Adipatra Kenaro Wicaksana

“Dukun kami bekerja secara sukarela. Mereka tidak hanya membantu persalinan, tetapi juga menangani luka luar dan dalam,” ujar Bu Maria. Tradisi ini tetap hidup berdampingan dengan layanan kesehatan modern yang mulai dikenalkan ke masyarakat. Masalah kesehatan yang sering dikeluhkan, terutama lansia, adalah stroke, asam urat, dan asam lambung.

Kehidupan masyarakat banyak bergantung pada hasil laut, terutama ikan yang menjadi sumber protein utama. Sayur-mayur dan kacang-kacangan juga tersedia meski dalam jumlah terbatas, karena tanah di pulau ini lebih banyak berbatu sehingga sulit untuk bertani. Meski begitu, warga desa tidak menyerah pada keterbatasan. 

Langkah saya berlanjut ke Puskesmas Marsela. Perjalanan ini memberikan gambaran lebih luas tentang cara masyarakat Pulau Masela bertahan di tengah keterbatasan akses kesehatan. Jalanan berbatu dan berlumpur menjadi tantangan tersendiri, terlebih cuaca sedang terik sekali dari biasanya. Pak Toni Walkim, Kepala Puskesmas Marsela yang menemani perjalanan saya, menyebut akses ke puskesmas sering menjadi masalah besar.

Kondisi akses jalan yang cukup menantang dilalui untuk menuju Puskesmas Marsela/Adipatra Kenaro Wicaksana

“Kalau musim hujan, jalan ini bisa tertutup banjir. Kadang puskesmas harus tutup karena tidak ada yang bisa ke sana,” ujarnya sambil menunjuk genangan air yang hampir menutup sebagian jalan.

Setibanya di Puskesmas Marsela, saya disambut oleh bangunan sederhana yang tampak mulai menua. Beberapa bagian dinding terlihat retak, ditopang dengan kayu untuk mencegahnya roboh. “Ini akibat gempa beberapa tahun lalu,” jelas Pak Toni, “dana perbaikan belum turun, jadi kami hanya bisa menahan agar bangunan ini tetap berdiri.”

Di Pulau Masela, masalah sanitasi air bersih menjadi tantangan terbesar. Pak Toni menceritakan dua proyek besar, yakni Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) dan instalasi PDAM, yang gagal total. 

“Airnya asin dan berlumpur. Salah titik pengeboran menjadi masalah utama,” katanya kecewa. “Banyak yang bergantung pada sumur, terutama saat musim kemarau. Tapi, kami harus bijak menggunakannya agar tidak habis.”

Di akhir perjalanan saya di Marsela, saya duduk bersama warga dan kepala puskesmas di dekat gedung lama puskesmas yang mulanya terletak di bibir pantai. Gedung lama itu kini berkarat akibat paparan air garam, dan rencananya akan dialihfungsikan menjadi tempat rawat inap bagi staf. 

Berlatar suara deburan ombak, kami membincangkan perjuangan masyarakat. “Kami jauh dari segala hal, tapi kami punya semangat untuk bertahan,” kata Pak Toni sambil menatap puskesmas lawas itu.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
Gedung rawat inap Puskesmas Letwurung di Babar Timur/Adipatra Kenaro Wicaksana

Refleksi Diri di Ujung Pulau Babar

Perjalanan berikutnya membawa kami ke Pulau Babar, tepatnya di Desa Letwurung. Pulau ini memiliki keadaan yang sedikit berbeda dari Masela. Saya menemui kepala Puskesmas Letwurung, yang berbagi cerita tentang kondisi kesehatan masyarakat. 

“Diare sering terjadi saat musim buah tiba. Anak-anak langsung makan buah tanpa mencucinya,” katanya sambil menunjukkan data yang ia kumpulkan. Meski begitu, Puskesmas Letwurung cukup maju dengan sejumlah fasilitas, seperti panel surya, genset, dan ambulans.

Salah satu hal unik di Babar adalah penggunaan ramuan tradisional untuk kesehatan. Daun sukun, misalnya, dimanfaatkan menjadi teh untuk mengatasi masalah hati, sedangkan daun binahong digunakan untuk luka dan nyeri otot.

“Kami memadukan tradisi dengan medis modern. Itu cara kami untuk memaksimalkan alam dengan kehidupan kita,” jelas Bu Lina, seorang kader kesehatan.

Di Babar, saya juga melihat cara masyarakat memanfaatkan hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan pangan. Selain ikan, mereka juga mengonsumsi sayur-mayur seperti talas, ubi, dan kacang hijau. Kehidupan di sini sederhana, tetapi penuh dengan pemanfaatan pangan lokal.

Ketika saya meninggalkan Marsela dan Babar, saya merasa membawa cerita yang layak untuk dibagikan tentang daya juang, budaya, dan harapan dari ujung negeri.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
Foto bersama kepala Puskesmas Letwurung/Adipatra Kenaro Wicaksana

Dari Maluku ke Sulawesi Tengah

Dari Maluku Barat Daya, saya melanjutkan ekspedisi ke destinasi berikutnya, yakni Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Perjalanan kali ini kembali dimulai dengan jalur udara, membawa saya melintasi lautan biru yang membentang luas. Pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Syukuran Aminuddin Amir, Luwuk.

Udara hangat Luwuk menyambut saya, begitu pula semangat untuk mengeksplorasi wilayah ini. Ibu kota Kabupaten Banggai ini tidak hanya terkenal dengan pesona alamnya, tetapi juga menjadi saksi adaptasi masyarakat dengan kehidupan pesisir yang penuh dinamika. Setibanya di Luwuk, saya melangkah ke Desa Mulyoharjo dan Desa Sumberharjo, Kecamatan Moilong.

Lingkungan kampung yang tenang dan asri di kawasan perdesaan Kabupaten Banggai/Adipatra Kenaro Wicaksana

Desa Mulyoharjo dikenal dengan program posyandu yang rutin dilakukan setiap bulan. Kegiatan ini meliputi layanan untuk ibu hamil, balita, hingga lansia. Masyarakat memanfaatkan fasilitas antara lain pemeriksaan tekanan darah tinggi dan pemberian makanan tambahan berbahan lokal, seperti umbi-umbian dan jagung.

Namun, tantangan tetap ada. “Stunting di sini bukan soal kekurangan makanan, tapi pola asuh yang kurang peduli,” jelas Bu Yanti, seorang kader kesehatan. Puskesmas setempat merespons dengan penyuluhan langsung kepada ibu hamil, bahkan melibatkan aparat desa untuk mendatangi warga yang enggan mengikuti posyandu.

Sementara di Desa Sumberharjo, pasar harian menjadi denyut nadi ekonomi sekaligus tempat berkumpul warga. Dari hasil bumi hingga jamu herbal seperti sereh dan kunyit, pasar ini menawarkan ragam kebutuhan hidup.

  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)

Kegiatan penyuluhan dan pelayanan kesehatan langsung di Desa Mulyoharjo dan Desa Sumberharjo, Kecamatan Moilong/Adipatra Kenaro Wicaksana

Selain itu, aktivitas fisik juga menjadi fokus utama desa. Puskesmas sering mengadakan senam lansia dan jalan sehat, bahkan pertandingan voli untuk ibu-ibu. “Ini bukan hanya soal kesehatan, tapi juga mempererat kebersamaan,” kata Bu Nina, kader kesehatan yang aktif di berbagai kegiatan.

Namun, permasalahan kesehatan seperti hipertensi dan asam urat masih banyak dijumpai. Untuk mengatasinya, puskesmas bekerja sama dengan desa mengadakan edukasi tentang pola makan sehat dan program inovatif, di antaranya lomba masak makanan bergizi.

Dari Mulyoharjo hingga Sumberharjo, saya melihat semangat warga dalam menjaga tradisi dan kesehatan tetap hidup. Meskipun tantangan ada, kerja sama antara masyarakat, puskesmas, dan aparat desa menjadi kunci keberhasilan. Kabupaten Banggai bukan hanya tempat, tapi sebuah pelajaran bahwa hidup yang harmonis tetap bisa diwujudkan.


Terima Kasih kepada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University (PKSPL IPB) dan Bapak Dadang Herdiansyah, SKM., M.Epid., selaku Tenaga Ahli Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan kesempatan saya untuk menjelajahi potret kesehatan dasar di pulau-pulau kecil di Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-2/feed/ 0 45545
Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/ https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/#comments Wed, 05 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45529 Saya selalu terpikat dengan kisah-kisah menarik yang hidup di setiap sudut negeri ini. Berbekal latar belakang di bidang kesehatan masyarakat, saya punya mimpi sederhana, tetapi besar, untuk dapat memahami lebih dalam tentang pelayanan kesehatan dasar...

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya selalu terpikat dengan kisah-kisah menarik yang hidup di setiap sudut negeri ini. Berbekal latar belakang di bidang kesehatan masyarakat, saya punya mimpi sederhana, tetapi besar, untuk dapat memahami lebih dalam tentang pelayanan kesehatan dasar di tempat-tempat yang acap luput dari perhatian.

Kali ini, langkah kaki membawa saya melintasi pulau-pulau di bagian tengah hingga timur Indonesia. Mulai dari Bali, Maluku, sampai Sulawesi. Perjalanan ini adalah upaya saya pribadi menyelami kehidupan di daerah-daerah yang jauh dari ingar-bingar kota. Saya ingin menggali seberapa jauh pelayanan kesehatan dasar dapat menyentuh masyarakat di pulau-pulau terpencil dan terluar, sembari memahami dinamika budaya lokal dan tantangan lingkungan.

Setiap tempat yang saya kunjungi memiliki realitas berbeda. Namun, benang merahnya sama, yakni tantangan aksesibilitas. Pulau-pulau terluar dan terpencil sering kekurangan dokter dan tenaga medis, yang menyebabkan masyarakat harus menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan perawatan medis, terutama dokter spesialis. Minimnya pilihan transportasi medis darurat juga menjadi hambatan besar bagi masyarakat yang ingin berobat. 

Bagi saya, ini bukan sekadar catatan perjalanan, melainkan upaya kecil untuk membawa suara dari mereka yang jauh, tetapi sangat dekat di hati.

Warna-warni kapal nelayan di pesisir pantai utara Bali/Hera Ledy Melindo

Menyisir Pesisir Utara Pulau Bali

Pagi itu, saya berdiri di pantai dan bersiap dengan tas ransel yang terasa berat. Namun, rasa keingintahuan saya jauh lebih besar. Perjalanan pertama kali ini membawa saya ke dua daerah pesisir utara Buleleng. Saya ingin melihat bagaimana masyarakat di sana menjalani kehidupan mereka, khususnya berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan yang sering menjadi tantangan di daerah terpencil.

Setibanya di Desa Kayu Buntil Barat, angin laut menyambut saya dengan lembut. Di balik panorama pantai yang memukau, saya mulai melihat tantangan yang dihadapi masyarakat. Saat berbincang dengan Pak Made, seorang warga setempat, ia menunjukkan drainase yang langsung mengalir ke pantai.

“Malaria sering menyerang di sini, apalagi waktu musim hujan,” kata Pak Made menunjuk genangan air di sekitar rumahnya. Bekas gigitan nyamuk di lengannya menjadi saksi nyata perjuangan mereka melawan penyakit ini.

“Kalau sakit, biasanya bagaimana, Pak?” tanya saya penasaran.

“Banyak yang tidak punya BPJS atau Kartu Indonesia Sehat (KIS). Jadi, kalau sakit, ya, [baru] panggil bidan kalau sudah parah. Biayanya Rp50.000 sehari,” jawabnya.

Ia tampak pasrah, tetapi ada rasa bangga saat bercerita tentang puskesmas setempat yang aktif memberikan penyuluhan dan melakukan fogging jika ada laporan demam berdarah. Percakapan kami berakhir di tepi pantai, diiringi deburan ombak. Dari Pak Made, saya belajar tentang ketangguhan dan usaha mereka tetap bertahan meski dalam keterbatasan.

Momen diskusi seputar kesehatan dengan nelayan-nelayan Kayu Buntil Barat dan Celuk Buluh/Adipatra Kenaro Wicaksana & Hera Ledy Melindo

Hari berikutnya, saya melanjutkan perjalanan ke Desa Celuk Buluh. Suasana terasa berbeda. Drainase yang lebih baik, air bersih dari PDAM, dan jamban di setiap rumah menunjukkan kondisi kesehatan lingkungan yang lebih baik dibanding Kayu Buntil Barat. Masyarakat mendapatkan kebutuhan pangan sehari-hari di pasar yang hanya berjarak satu kilometer dari desa.

Di sini saya bertemu Pak Ketut, seorang nelayan yang tengah bersiap melaut. Ia bercerita tentang tradisi unik warga sebelum melaut.

“Sebelum berlayar, kami minum jamu dari kunyit, jahe, dan ayam kampung. Ini untuk stamina, biar kuat di laut,” katanya sambil tersenyum. Saya tertawa kecil, kagum dengan tradisi yang masih bertahan di tengah modernitas. Namun, kehidupan nelayan tidak selalu mulus. “Kalau musim paceklik, kami kerja serabutan, kadang jadi kuli bangunan,” tambahnya. 

Tidak hanya tentang kesehatan, masyarakat Celuk Buluh juga peduli terhadap lingkungan. Tempat pengelolaan sampah reduce, reuse, dan recycle (TPS3R) baru saja dibangun di desa tersebut. Meski belum sepenuhnya beroperasi, fasilitas ini menjadi simbol harapan bagi pengelolaan sampah yang lebih baik.

“Tempat ini bisa menampung hingga 20 ton sampah. Harapannya, desa kami jadi lebih bersih,” ujar seorang petugas yang saya temui.

  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)

Cerita Nelayan hingga Pangan Lokal di Pangkajene Kepulauan

Langkah berikutnya membawa saya ke pesisir barat Sulawesi Selatan. Saya bergerak dari kemegahan tradisi Hindu Pulau Dewata menuju kehidupan sederhana di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep).

Perjalanan membelah laut ini tak hanya tentang keindahan, tetapi juga kenyataan hidup yang keras. Kapal kayu sederhana menjadi satu-satunya alat transportasi menuju Desa Sailus, Kecamatan Liukang Tangaya. Ombak membelai halus perahu, tetapi di kejauhan, langit mendung seakan menjadi pengingat.

Di Desa Sailus, saya bertemu dengan Pak Ali, seorang nelayan yang sedang menyiapkan jaring. “Kami di sini makan apa yang ada, biasanya ikan layang atau makanan sederhana seperti sabal,” katanya sambil tersenyum. Sabal adalah pangan lokal tradisional khas Pangkep yang dibuat dari kelapa parut dan nasi.

Di Pulau Sailus, warga biasa mengolah sabal, pangan lokal khas Pangkep (kiri) dan memilah ikan-ikan hasil tangkapan nelayan untuk makanan sehari-hari/Adipatra Kenaro Wicaksana

Cerita Pak Ali membawa saya ke sisi lain dari kehidupan masyarakat setempat. “Kalau ingin makan daging, harus pesan dari Sumbawa,” lanjutnya, menekankan sulitnya akses pangan di wilayah ini. Jarak ke Sumbawa, Nusa Tenggara Barat memang jauh lebih dekat daripada pusat pemerintahan Pangkep.

Dalam sebuah kunjungan ke Puskesmas Sailus, saya berbincang dengan salah satu petugas kesehatan. Ia menjelaskan bahwa fasilitas di sana sangat terbatas. “Kami hanya punya dua genset untuk listrik, dan ambulans roda tiga yang sering rusak,” keluhnya. Ia juga menyebutkan bahwa pembangunan rumah sakit sedang berjalan, tetapi lokasinya jauh dari permukiman utama, menyulitkan akses bagi masyarakat apabila ingin berobat.

Percakapan dengan warga dan kader kesehatan memberikan gambaran lebih jelas tentang tantangan di Pulau Sailus. Kasus stunting, yang masih menjadi momok, tampak seperti rahasia yang sulit terungkap. “Puskesmas jarang sekali melakukan penyuluhan. Kalau posyandu, paling hanya empat bulan [dalam] setahun,” ungkap seorang kader kesehatan dari Desa Sailus yang terlihat lelah, tetapi masih semangat berbagi cerita.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Kondisi tempat pelayanan kesehatan Pulau Sailus/Adipatra Kenaro Wicaksana

Di pesisir pantai, sampah plastik mengotori permukaan pasir putih. Beberapa pemuda setempat, yang sedang duduk santai, berbicara tentang kebiasaan masyarakat yang masih membuang sampah ke laut. 

“Kadang kami tidak punya pilihan,” katanya, seolah meminta pengertian. Hal ini menjadi pengingat nyata bahwa perubahan perilaku membutuhkan lebih dari sekadar ajakan. Dibutuhkan fasilitas dan edukasi yang berkelanjutan.

Mereka melanjutkan cerita tentang harapan di masa depan. “Saya berharap ada program beasiswa dari desa. Beberapa teman ada yang bercita-cita kuliah jadi apoteker atau guru, karena di sini sangat kurang [orang dengan] profesi tersebut,” ujar seorang pemuda yang saya ajak berdialog. 

Meski tantangan besar masih ada, asa untuk perubahan tampak nyata dalam semangat mereka. Dari sabal yang sederhana hingga perjuangan mengatasi stunting, masyarakat di pulau kecil Sailus mengajarkan perjuangan mereka untuk bertahan dan berkembang di tengah keterbatasan. 

Dari pulau terpencil di Pangkep, saya melanjutkan langkah ke Pulau Sapeken. Pulau di ujung timur Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Pantai pasir putih di Sailus yang sayangnya banyak dijumpai sampah anorganik/Adipatra Kenaro Wicaksana

Melihat Sapeken dari Kacamata Kesehatan

Perjalanan di Pulau Sapeken sebelumnya telah saya ceritakan secara lengkap di TelusuRI dengan judul Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura. Singkatnya, Sapeken adalah gambaran nyata perjuangan masyarakat kepulauan dalam menjaga kesehatan di tengah keterbatasan.

Di puskesmas utama, saya mendapati permasalahan kesehatan yang mencuat berupa dominasi penyakit-penyakit kronis, seperti stroke, asam lambung, dan kolesterol. Disentri dan tifoid juga menjadi ancaman yang terus muncul. Meski angka stunting relatif rendah, sulitnya akses pangan bergizi, khususnya daging-dagingan, menjadi tantangan tersendiri.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Layanan kesehatan bergerak di atas kapal Gandha Nusantara 02 yang berlabuh di Sapeken/Adipatra Kenaro Wicaksana

Satu satunya harapan adalah pelayanan kesehatan bergerak yang hanya datang empat kali dalam setahun, terutama untuk operasi kecil dan kontrol penyakit. Namun, itu belum cukup. Minimnya fasilitas, kebiasaan membuang sampah ke laut, serta keterbatasan tenaga kesehatan menambah kompleksitas masalah di pulau ini.

Sapeken adalah potret sebuah perjuangan untuk bertahan hidup. Di pulau kecil ini, Sapeken menyimpan kisah-kisah besar penuh kesederhanaan.

(Bersambung)


Terima kasih kepada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University (PKSPL IPB) dan Bapak Dadang Herdiansyah, SKM., M.Epid., selaku Tenaga Ahli Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan kesempatan saya untuk menjelajahi potret kesehatan dasar di pulau-pulau kecil di Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/feed/ 1 45529