banjarmasin Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/banjarmasin/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 04 Jul 2022 13:44:16 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 banjarmasin Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/banjarmasin/ 32 32 135956295 Bubungan Tinggi Terakhir di Teluk Selong https://telusuri.id/bubungan-tinggi-terakhir-di-teluk-selong/ https://telusuri.id/bubungan-tinggi-terakhir-di-teluk-selong/#respond Mon, 31 Jan 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=32598 Tinggi, tua, dan tampak gagah. Dari kejauhan bubungan itu sudah terlihat, semakin saya mendekat dan semakin besar besar pula mata saya melihatnya. Saya akhirnya bisa berdiri di hadapannya. Rumah Banjar Bubungan Tinggi, salah satu arsitektur...

The post Bubungan Tinggi Terakhir di Teluk Selong appeared first on TelusuRI.

]]>
Tinggi, tua, dan tampak gagah. Dari kejauhan bubungan itu sudah terlihat, semakin saya mendekat dan semakin besar besar pula mata saya melihatnya.

Saya akhirnya bisa berdiri di hadapannya. Rumah Banjar Bubungan Tinggi, salah satu arsitektur lokal yang mempunyai karakteristik bubungan tinggi atau atap yang tinggi. 

Rumah Banjar Bubungan Tinggi merupakan salah satu arsitektur rumah tradisional yang ada di Kalimantan Selatan—yang paling terkenal. Sebenarnya, ada beberapa lagi arsitektur rumah tradisional lainnya seperti Gajah Baliku, Gajah Manyusu, Balai Laki, Balai Bini, dan Palimasan, dan Rumah Lanting. Tetapi Bubungan Tinggi sudah kadung menjadi ikon provinsi Kalimantan Selatan, dan dulunya adalah arsitektur khusus untuk para raja, tetapi pada perjalanannya rumah ini mengalami transformasi nilai; juga bisa dimiliki oleh kalangan masyarakat kelas atas.

Bubungan Tinggi
Desain arsitektur bubungan tinggi banyak digunakan juga oleh kantor-kantor pemerintahan daerah sekarang, namun yang masih tersisa dari 200 tahun yang lalu hanya rumah ini/M. Irsyad Saputra

Hanya ada beberapa orang yang berkunjung hari itu. Suasananya sepi, mungkin efek hujan yang sering turun akhir-akhir ini, membuat banyak orang malas untuk berkegiatan di luar rumah. Saya melangkahkan kaki, menginjak lantainya yang terbuat dari kayu ulin dan mengetuk pintu. Seorang perempuan berusia 60—kalau dilihat dari perawakannya—membukakan pintu dan mempersilahkan kami masuk. Kami meminta izin sebelum mulai berkeliling di dalam.

“Silahkan,” jawab sang nenek dengan ramah.

Kami berkeliling ruang panampik, dari satu jendela ke jendela lainnya. Lantai kayu ulin yang kami pijak terasa sangat kokoh, tidak nampak tanda-tanda rapuh atau rusak. Rumah ini merupakan satu-satunya yang masih tersisa dari masa lalu, terutama untuk jenis bubungan tinggi. Ada banyak foto-foto kunjungan yang dilakukan media-media nasional maupun regional yang terpampang di dinding.  Saya memperhatikan objek foto yang terpampang, seorang nenek dengan pose yang sedang menghadap jendela, dengan warna hitam putih membuat ekspresi nenek yang sedang memikirkan sesuatu semakin jelas. 

Interior Rumah Banjar Bubungan Tinggi

Setelah meminta izin, saya kemudian masuk ke bagian dalam yaitu disebut palidangan. Ruang ini sebenarnya termasuk ruangan pribadi sang pemilik rumah, namun karena sudah menjadi objek wisata, orang-orang tentu penasaran akan bagaimana isi rumahnya. Hal tersebut memang wajar tapi kesopanan dan tata krama harus tetap dijunjung.  

Ada dua ranjang di sisi kiri dan kanan ruangan atau yang disebut anjung, lengkap dengan kelambu gantung layaknya ranjang-ranjang kakek nenek saya dahulu. Anjung sebelah kanan digunakan oleh anak-anak, sedangkan anjung sebelah kiri digunakan oleh orang tua. Ruang tengah disebut palidangan atau ruang induk rumah. Fungsinya sama dengan ruang keluarga pada masa sekarang.

Bubungan Tinggi
Dalam ruang panampik, yang menjadi ruang para wisatawan untuk berkumpul/M. Irsyad Saputra

Ada salah satu ruangan menarik. Ruang pingitan, digunakan oleh perempuan lajang yang ingin menikah untuk dipingit terdahulu. Saya melihatnya seperti sebuah ruang rahasia pada rumah jepang yang bisa menyembunyikan penghuninya ketika ada bahaya. Ruang itu kini difungsikan sebagai gudang, oleh karena budaya pingitan pada modern ini sudah hampir punah.

Sebenarnya masih ada ruang lagi yaitu ruang panampik bawah dan padapuran, tapi saya hanya melihat sekilas dari kejauhan, merasa sungkan untuk masuk ke dalam sana karena ada seseorang yang sedang tidur di dalam.

H. M. Arif dan Hj Fatimah, kedua pasangan suami-istri ini merupakan pendiri rumah ini sekaligus merupakan datuk dari Fauziyah, yang sedari tadi menyambut saya dan juga merupakan pengelola rumah yang telah menjadi cagar budaya ini.

“Beliau merupakan seorang saudagar permata, membawa barang dagangan ke luar negeri (luar Banjar).”

Kemudian saya menanyakan potret laki-laki dan perempuan yang terpampang di ruang panampik tangah. “Kalau itu merupakan foto dari anak H. M. Arif yang bernama Hj. Qomariyah bersama suaminya,” jelasnya. 

Bubungan Tinggi
Fauziyah berada di ruang panampik, merangkap ruang penjelasan mengenai asal usul rumah ini/M. Irsyad Saputra

H. M. Arif merupakan seorang pedagang intan yang sukses melebarkan ekspansinya hingga ke luar daerah. Karena statusnya sebagai saudagar sukses, H. M. Arif kemudian membangun rumah Bubungan Tinggi dan Gajah Baliku untuk dihuni keluarga besarnya di Teluk Selong, Martapura sekitar tahun 1811. Menurut penuturan Fauziyah, dirinya mengetahui persis pendirian rumah ini setelah diadakan renovasi. Beberapa tukang bangunan melihat ada tulisan tahun berangka 1811 di salah satu sudut atap.

Salah satu kemujuran yang kita miliki sampai sekarang adalah, rumah itu tetap bertahan selama lebih dari 200 tahun. Untungnya lagi, rumah ini sudah diangkat sebagai cagar budaya pada tahun 2008 dan menurut laporan, BPCB Kalimantan Timur juga pernah melaksanakan kegiatan konservasi pada tahun 2015 hingga 2017 dengan pemugaran kecil pada bagian atap yang sudah lapuk dimakan zaman.

Disebutkan oleh Wafirul Aqli dalam artikelnya Anatomi Bubungan Tinggi Sebagai Rumah Tradisional Utama Dalam Kelompok Rumah Banjar bahwa Bubungan Tinggi adalah perlambangan sistem  mikrokosmos dan makrokosmos, dengan penghuni yang berada di antara dua dunia tersebut. Juga, bubungan tinggi memiliki filosofi “Pohon Hayat” atau Kalpataru yang mencerminkan pohon kehidupan. 

Kecerdasan Lokal Leluhur Kita

Leluhur kita mempunyai cara tersendiri untuk menampilkan kecerdasan mereka dan kepiawaian mereka; dari arsitektur saja ternyata terdapat filosofi yang mendalam dan bentuk yang rumit. Bagaimana bisa mereka menciptakan bentuk arsitektur sedemikian rupa kalau tidak diiringi dengan kecerdasan mumpuni? Para akademisi biasa menyebutnya sebagai local genius.

Rumah tradisional ini terasa sejuk. Jarak antara lantai ke atap sangat tinggi, menciptakan sirkulasi udara yang nyaman. Belum lagi ukuran jendelanya yang besar, memudahkan angin keluar masuk rumah. Setahu saya rumah-rumah tradisional Indonesia selalu mengedepankan sirkulasi udara sebagai titik kenyamanan rumah, sebagai contoh arsitektur  Mbaru Niang di Wae Rebo yang mampu menjaga rumah tetap hangat walaupun kondisi udara sekitar yang dingin. Tampak berbeda sekali bukan dengan rumah-rumah sekarang yang cenderung dibuat apa adanya dan sekedarnya.

Jangankan sirkulasi udara, pencahayaan pun tidak pernah menjadi pertimbangan. Saya jadi teringat bagaimana kondisi rumah kontrakan yang tempati ketika berkuliah. 

Bubungan Tinggi
Ruang anjung yang digunakan sebagai pengganti kamar/M. Irsyad Saputra

Teluk Selong, Martapura dulunya merupakan ibu kota Kerajaan Banjar ketika pindah dari Banjarmasin. Kemungkinan besar, kawasan dua rumah adat ini bukan satu-satunya yang didirikan di sini, tapi satu-satunya yang bertahan hingga masa kini. Di dekat sini, dulu sempat digegerkan dengan penemuan makam-makam kuno yang tertutup semak belukar. Mengundang berbagai media juga para arkeolog untuk melihat langsung.

Saya jadi membayangkan pergi ke masa lampau. Melihat rumah-rumah adat berdiri dan sungai masih menjadi jantung utama kehidupan. 

“Kalau yang di depan itu siapa yang mendiami?”

“Kemenakanku dan keluarganya yang mendiami rumah Gajah Baliku itu.”

Bubungan Tinggi
Dalam kehidupan masyarakat Banjar, nanas adalah salah satu ornamen terpenting yang berada di luar area bangunan/M. Irsyad Saputra

Dalam satu area, rumah Bubungan Tinggi dan rumah Gajah Baliku itu merupakan satu kepemilikan oleh H. M. Arif. Saya menanyakan Fauziyah bagaimana awal mula dia mendiami rumah ini, ingatan Fauziyah segera saja pergi ke masa lalu, masa ketika dia bersekolah. Fakta yang baru saya tahu dari ceritanya adalah ternyata neneknya dari Fauziyah bersaudara dengan neneknya Guru Syarwani Abdan, yang merupakan salah satu ulama terkemuka tanah Banjar yang bermukim di Bangil, Jawa Timur.

Tentunya, keluarga beliau ini juga merupakan dari zuriyat Datu Kelampayan, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Sisa waktu pada sore hari itu saya gunakan untuk mengabadikan sudut-sudut rumah, mencari mana sudut terbaik yang akan dijadikan objek foto. Nanas pada pagar, ornamen ini selalu ditemukan pada depan sebuah bangunan atau jembatan. Ornamen tersebut sarat makna. Nanas dapat membersihkan kotoran atau karat pada besi-besi tua. Sebagaimana hal tersebut, ketika bertamu atau berkunjung hanya dengan niat baik. 

Saya melihat nanas bukan sebatas ornamen, tapi adalah doa dari orang-orang terdahulu yang kemudian disimbolisasikan dengan nanas. Leluhur kita tidak hanya memberkati kita dengan warisan budaya, tapi juga dengan doa-doa, yang terus menerus menuju ke haribaan-Nya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bubungan Tinggi Terakhir di Teluk Selong appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bubungan-tinggi-terakhir-di-teluk-selong/feed/ 0 32598
Air Guci, Kain Banjar yang Semakin Terpinggirkan https://telusuri.id/air-guci-kain-banjar-yang-semakin-terpinggirkan/ https://telusuri.id/air-guci-kain-banjar-yang-semakin-terpinggirkan/#respond Sun, 10 Oct 2021 05:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30958 “Silahkan masuk,” ucap Risna. Perempuan yang akrab disapa Iin ini mempersilahkan saya masuk ke rumahnya. Sesaat memasuki ruang tamunya, tersuguh hamparan berbagai kerajinan olahannya dari kain air guci; tempat tisu, baju pengantin, laung, hingga hiasan...

The post Air Guci, Kain Banjar yang Semakin Terpinggirkan appeared first on TelusuRI.

]]>
“Silahkan masuk,” ucap Risna. Perempuan yang akrab disapa Iin ini mempersilahkan saya masuk ke rumahnya. Sesaat memasuki ruang tamunya, tersuguh hamparan berbagai kerajinan olahannya dari kain air guci; tempat tisu, baju pengantin, laung, hingga hiasan dinding. Sehelai kain nampak belum selesai digambar untuk membuat pola kain air guci, dibiarkan tergeletak di lantai. Sore itu, Risna menerangkan kepada saya bagaimana usahanya berjalan beriringan; antara bisnis dan pelestarian kain asli daerah.

Argadia Melati, nama yang diberikan neneknya kepada usaha kain air guci buatannya. Iin belajar menyulam air guci dari neneknya serta orang tuanya yang juga pengrajin. Meskipun usahanya dimulai dari 2010, sebenarnya dia tidak membuka usaha baru, melainkan melanjutkan usaha yang telah dirintis oleh neneknya.

“Beliau (nenek) termasuk salah satu perempuan yang bergerak di bidang keterampilan di Banjarmasin tahun 1960,” waktu itu beliau belajar sendiri, ikut kegiatan, juga ikut kursus, dari semenjak itu beliau mengembangkan ilmunya dengan membuka kursus-kursus menjahit, tata rias, dan sulam air guci,” kata Iin. 

Kursusnya berkembang dan mulai menghasilkan anak murid yang menyebar ke berbagai penjuru. Seiring waktu, nenek semakin tua dan semakin sulit untuk mengajar, akhirnya kegiatan kursus ditutup. Kegiatan mulai difokuskan pada tata rias dan sulam air guci, yang bertahan hingga sekarang.

Kain air guci bukan sembarang kain. Pada saat masa Kerajaan Banjar, kain ini hanya boleh dipakai oleh kalangan istana. Pakaian kebesaran raja menggunakan air guci sebagai hiasan lambang kebesaran. Kesannya kuat dan beraura. Saya pernah menyaksikan sendiri peninggalan pakaian raja di museum, memang terlihat kuat aura wibawanya.

Berbeda dengan masa silam yang menggunakan payet tembaga, sulaman air guci masa sekarang menggunakan payet bahan sintetis sebagai pengganti tembaga karena sudah sukar mencarinya. “Kombinasi masa sekarang juga menggunakan payet mutiara atau payet permata sebagai hiasan tambahan,” terang Iin. Plastik dan kaca menjadi alternatif dari tembaga, selain karena mudah didapat, juga bahan ini terasa lebih ringan saat dipakai. Kain yang dipakai sebagai bahan utama pun beragam, bisa menggunakan kain beludru atau satin.

“Misal untuk pakaian biasa pakai kain satin, untuk hiasan bisa pakai beludru yang juga ada beberapa tingkatan, ada yang biasa, ada yang lembut,” ungkap Iin. Untuk harga, bisa dibilang kain air guci ini memiliki keragaman dari 50.000 sampai jutaan rupiah. Produk kain air guci yang dihasilkan oleh Iin tidak menentu setiap bulannya. Banyak sedikitnya ditentukan oleh jumlah pesanan. 

Pagebluk yang menyerang hampir semua sektor, tetapi air guci nampak tak bergeming. Iin menyatakan bahwa orang-orang lebih mengenal air guci sebagai pakaian adat, maka tak jarang orang lebih memilih untuk menyewa daripada membeli. “Disamping kita memproduksi, kita juga menyewakan, sebab kalau cuman menunggu produksi saja, mungkin sebulan hanya satu pesanan,” ungkapnya. Dalam bekerja, Iin tidak sendiri, dia memberdayakan orang-orang sekitarnya untuk membantunya dalam membuat kain air guci. “Kami menyebutnya sebagai mitra kerja,”tambahnya.

Pengrajin air guci memang sudah sedikit sekali, boleh dibilang hampir punah. Jika dibandingkan dengan pengrajin sasirangan tentu bedanya sangat jauh. Air guci yang penggunaannya lebih ke pakaian adat kalah populer dibandingkan sasirangan yang bisa digunakan untuk pakaian sehari-hari. Seiring perkembangan jaman, air guci kini diaplikasikan ke berbagai benda seperti sarung bantal, kaligrafi, hiasan dinding, dan lainnya.

Motif hiasan cenderung lebih bebas daripada yang dikhususkan untuk pakaian adat yang memiliki pakem tersendiri. “Ada motif gigi haruan, halilipan, pucuk rabung, itu untuk pakaian adat,” ujar Iin menjelaskan sembari memperlihatkan beberapa corak motif.

Pemerintah daerah, sebagai salah satu pemangku kepentingan tinggalan budaya daerah turut serta mempromosikan air guci sebagai kekayaan daerah. Dalam baliho-baliho yang berjejer, seringkali menampakkan kepala daerah menggunakan pakaian adat Banjar. Apalagi setelah munculnya ‘kebanggan lokal bernilai budaya’ dari kepala daerah, pakaian adat tidak lagi sekedar untuk seremoni perayaan 17 Agustus, sekarang dimunculkan peraturan-peraturan yang mengakomodasi pakaian adat sebagai pakaian kerja, meski dibuat lebih sederhana sesuai kebutuhan kantor.

Budaya kita memang tidak lepas dari tradisi adikodrati, dalam adat istiadat biasanya disertakan syarat-syarat khusus untuk membuat atau melakukan suatu tradisi, begitu pula pada pembuatan sulaman air guci. “Kalau jaman dahulu untuk membuat tapih pengantin, kita harus pakai piduduk (sajian kepada leluhur) umumnya yang berisi beras, telur ayam kampung, bisa ditambah kelapa, beras ketan, dan gula merah, tergantung ada keturunan (keturunan kerajaan) atau tidak.”

Iin menegaskan bahwa hal ini bergantung kepada kepercayaan masing-masing. Persoalan warna pun diatur oleh adat yang pada jaman dahulu mengharuskan pakaian berwarna kuning atau hijau. “Sekarang warnanya sudah bermacam-macam, yang penting motifnya jangan berubah.”

Saya diperlihatkan sebuah kain yang mungkin berusia 50 tahun yang masih menggunakan tembaga sebagai payetnya. Kain sepanjang 3 meter tersebut menggunakan kain sutra sebagai dasar kainnya, yang kemudian berlapis dua untuk menahan beban dari payet tembaga. Iin bercerita kain tersebut merupakan warisan neneknya yang turun temurun diturunkan, salah satu kain yang masih menggunakan pakem asli dengan motif kanas dan pucuk rabung. Saya meminta izin untuk memegang kain. Seumur hidup menghadiri acara hajatan, saya baru tau kain yang sering saya lihat sebagai dekorasi merupakan kain khas daerah dan bernama kain air guci.

Kecenderungan kita untuk meninggalkan adat istiadat memang lebih terbuka di abad modern ini, terlebih gelombang modernisasi yang melanda seiring dengan tumbuh pesatnya internet. Harapan Iin cenderung sama seperti kita, berharap tradisi akan ada generasi penerus yang mau melakukan pekerjaannya. Sembari menggenggam kain tua tersebut, saya juga menatap kesungguhan dalam raut wajahnya. Oh air guci, apakah engkau akan dapat ku jumpa dalam 30 tahun lagi?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Air Guci, Kain Banjar yang Semakin Terpinggirkan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/air-guci-kain-banjar-yang-semakin-terpinggirkan/feed/ 0 30958
Menyusuri Titik Nol Kota Banjarmasin https://telusuri.id/menyusuri-titik-nol-kota-banjarmasin/ https://telusuri.id/menyusuri-titik-nol-kota-banjarmasin/#respond Fri, 11 Jun 2021 04:11:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28319 “Belum ke Banjarmasin kalau belum ke sana,” ujar sopir Grab yang menjemput saya di halaman kampus UIN Antasari. Ke sana yang dimaksud sopir Grab adalah Patung Bekantan, ikon Kalimantan Selatan. Setelah satu minggu penuh mengikuti...

The post Menyusuri Titik Nol Kota Banjarmasin appeared first on TelusuRI.

]]>
“Belum ke Banjarmasin kalau belum ke sana,” ujar sopir Grab yang menjemput saya di halaman kampus UIN Antasari. Ke sana yang dimaksud sopir Grab adalah Patung Bekantan, ikon Kalimantan Selatan. Setelah satu minggu penuh mengikuti rangkaian acara pertemuan mahasiswa pecinta alam seluruh Indonesia di Universitas Islam Negeri Antasari, Banjarmasin saya akhirnya punya waktu luang untuk mengunjungi daya tarik wisata yang ada di Kota Banjarmasin.

Patung Bekantan/Andriano Filemon Aja

Berswafoto di Patung Bekantan

Waktu yang tersisa hanya setengah hari karena esok hari saya harus melanjutkan perjalanan pulang ke Bali. Keterbatasan waktu inilah yang membuat saya hanya bisa mengunjungi daya tarik wisata yang dekat dan berada dalam kawasan Kota Banjarmasin. Patung Bekantan yang menjadi perhentian pertama saya ini terletak persis di pinggir Sungai Martapura. Banyak orang berfoto di sini, saya harus menunggu beberapa saat agar bisa berfoto juga di depannya.

Bekantan atau monyet Belanda merupakan satwa endemik Pulau Kalimantan. Monyet ini berbeda jika dibandingkan jenis monyet lain. Ciri fisik paling menonjol yang membedakannya dengan jenis monyet lain adalah hidungnya  panjang dan bulunya erwarna merah kecoklatan—tidak seperti kebanyakan monyet lain yang bulunya berwarna hitam. Keunikan inilah yang membuat Bekantan dijadikan maskot Provinsi Kalimantan Selatan. Suasana di sekitar patung ini sangat ramai karena banyak wisatawan yang berkunjung, fasilitas lain seperti lapangan basket yang terletak persis di samping patung ini juga membuat suasana semakin ramai.

Keliling Sungai Martapura dengan Kelotok 

Selain Patung Bekantan, ada Taman Siring—titik nol Kota Banjarmasin ada di sini. Taman ini terletak di seberang sungai, awalnya saya ingin memesan ojek online. Namun, karena jarak yang tidak terlalu jauh saya akhirnya memutuskan untuk berjalan kaki saja, toh di sepanjang perjalanan banyak yang bisa dilihat juga sehingga tidak akan membuat perjalanan terasa lama.

Di tengah perjalanan suara megafon kemudian menghentikan langkah saya. Suara megafon yang saling bersahut-sahutan itu merupakan promosi wisata naik kelotok. Saya kemudian mencoba sensasi menaiki kelotok setelah membayar tiket sebesar Rp10.000,00. Wisata yang ditawarkan adalah menaiki kelotok (perahu bermotor) dan mengelilingi Sungai Martapura.

Terkesan biasa saja memang, apa sih yang menarik dari menaiki perahu dan mengelilingi sebuah sungai selama ±20 menit? Namun, sensasinya akan terasa sendiri ketika mencobanya langsung. Saya duduk di atap kelotok waktu itu, sehingga pandangan saya tidak terhalang apa pun. Salah sebenarnya karena setelah hampir selesai mengelilingi sungai saya melihat tulisan peringatan untuk tidak duduk di atap kelotok.

Selama perjalanan mengelilingi sungai pemandangan sepanjang Sungai Martapura akan terlihat jelas seperti menara pandang termasuk Taman Siring yang sebelumnya ingin saya kunjungi. Pengalaman naik kelotok ini tidak akan terasa biasa-biasa saja karena wisata ini menjadi identitas Kota Banjarmasin yang terkenal dengan julukan kota seribu sungai. Mengunjungi daya tarik wisata yang menjadi identitas sebuah daerah merupakan kebanggan tersendiri, sama halnya ketika berkunjung ke Pantai Kuta di Bali atau melihat Komodo ketika berkunjung ke Labuan Bajo. 

Makan Soto Banjar

Jam menunjukkan pukul 7.20 WITA ketika kelotok yang saya tumpangi berlabuh kembali, waktunya makan malam. Banyak pilihan makanan yang tersedia di sepanjang kawasan ini. Saya akhirnya menjatuhkan pilihan kepada soto Banjar yang merupakan makanan khas daerah ini. Apalagi setelah melihat warung yang menyediakan makanan khas ini adalah sebuah kelotok yang dimodifikasi menjadi warung soto, ditambah lagi warung ini berada di atas air. Kombinasi sempurna, makan Soto Banjar di atas Kelotok, khas Banjarmasin. Saya tidak ahli dalam menilai makanan sehingga tidak bisa membedakan soto Banjar dengan soto yang ada di daerah lain. Satu hal yang pasti adalah soto ini enak dan cukup untuk mengenyangkan perut.  

Soto Banjar/Andriano Filemon Aja

Perjalanan saya ke Kalimantan Selatan akan segera berakhir dan wisata yang dihadirkan di tengah kota ini menjadi penutup yang sempurna. Paket lengkap dari wisata unik menaiki kelotok, mencicipi kuliner khas Banjarmasin dan kesempatan berfoto di depan patung bekantan cukup untuk mewakili perjalanan saya ke Banjarmasin. Waktu setengah hari ini memang tidak cukup apalagi ada beberapa daya tarik lain yang belum saya kunjungi dan menyisakan rasa penasaran, untuk benar-benar mengalami dan merasakan sebuah kota memang tidak cukup dalam waktu setengah hari atau bahkan setengah hari.

Menaiki kelotok dan mengelilingi Sungai Martapura mungkin tidak bisa mewakili penjelajahan ke “seribu sungai” yang ada di Kota Banjarmasin, sama halnya dengan mencicipi Soto Banjar yang merupakan satu dari sekian banyak kuliner khas Kota Banjarmasin dan berfoto di depan Patung Bekantan yang hanya menjadi simbol dari bekantan yang asli. Pengalaman-pengalaman ini mungkin tidak lengkap tetapi cukup untuk pejalan yang tidak tidak punya banyak waktu atau ingin menghabiskan waktu di sebuah daerah. 

Jauh lebih baik kalau anda tinggal di satu kota selama empat atau lima hari, daripada mengunjungi lima kota dalam seminggu. Sebuah kota bisa diibaratkan seorang wanita yang sulit didekati, anda memerlukan waktu untuk menarik perhatiannya, sampai ia bersedia mengungkapkan diri sepenuhnya

— Paulo Coelho

The post Menyusuri Titik Nol Kota Banjarmasin appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-titik-nol-kota-banjarmasin/feed/ 0 28319
7 Kuliner Khas yang Wajib Kamu Coba kalau Lagi di Banjarmasin https://telusuri.id/7-kuliner-khas-banjarmasin/ https://telusuri.id/7-kuliner-khas-banjarmasin/#comments Sun, 06 May 2018 01:30:51 +0000 https://telusuri.id/?p=8506 Banjarmasin, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan, punya beragam kuliner khas dengan rasa yang istimewa. Umumnya, kuliner khas Banjarmasin berbahan dasar ikan. Wajar saja, sih; kota itu ‘kan dijuluki Kota Seribu Sungai. Buat kamu yang suka...

The post 7 Kuliner Khas yang Wajib Kamu Coba kalau Lagi di Banjarmasin appeared first on TelusuRI.

]]>
Banjarmasin, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan, punya beragam kuliner khas dengan rasa yang istimewa. Umumnya, kuliner khas Banjarmasin berbahan dasar ikan. Wajar saja, sih; kota itu ‘kan dijuluki Kota Seribu Sungai.

Buat kamu yang suka makan ikan, tentu saja Banjarmasin bakal jadi persinggahan yang mengesankan. Tapi kalau kamu nggak gitu doyan ikan, nggak perlu khawatir. Ada beberapa kuliner khas Banjarmasin yang bahan dasarnya dari ayam kampung atau telur bebek. Berikut 7 menu yang bisa kamu coba kalau mampir ke Banjarmasin:

1. Nasi kuning bumbu habang

kuliner khas banjarmasin

Lezatnya nasi kuning khas Banjarmasin/masclink_kullineran

Nasi kuning adalah menu sarapan paling umum di Banjarmasin maupun kota-kota lain di Kalimantan Selatan. Biasanya, penjual nasi kuning juga menjajakan lontong sayur. Sebab, lauk kedua menu ini sama: berbumbu habang (merah).

Bumbu habang sendiri dibuat dari cabe kering yang dimasak dengan bawang dan rempah. Jadi jangan heran kalau warna bumbunya merah tua, bukannya merah terang.

Pilihan lauk biasanya ada tiga, yakni ayam, telur bebek, dan ikan haruan (ikan gabus). Telur bumbu habang biasanya telur bebek, bukan telur ayam. Mungkin karena di Kalimantan Selatan ada daerah penghasil itik alabio, sehingga telur itik melimpah dan jadi pilihan utama bahan dasar kuliner.

2. Mie bancir

Mie bancir adalah mie goreng yang disiram sedikit kuah. Mirip-mirip mie nyemek kalau di Jogja. Saya sendiri sebenarnya agak-agak curiga kalau kata “bancir” berasal dari kata “banjir” yang diplesetkan oleh lidah lokal.

Bedanya dari mie nyemek, mie yang digunakan dalam kuliner khas Banjarmasin yang satu ini berwarna merah karena digoreng dengan saus merah. Mie bancir juga diberi sedikit kuah kaldu dan disajikan dengan topping ayam suwir dan telur bebek yang diiris tipis. Uniknya, di beberapa tempat mie bancir nggak disajikan dengan kuah, cuma dilengkapi topping aja.

3. Lontong sayur

kuliner khas banjarmasin

Sepiring lontong sayur/masclink_kulineran

Lontong sayur di Banjarmasin sebenarnya hampir mirip dengan lontong sayur di daerah lain. Bedanya, lauk buat lontong sayur khas Banjarmasin adalah lauk berbumbu merah. Selain itu, lontongnya berbentuk layang-layang.

Kuahnya? Sama dengan kuah-kuah lontong sayur di tempat lain, yakni kuah sayur nangka bersantan. Biasanya, menu lontong sayur hadir di waktu sarapan.

4. Ketupat kandangan

Meskipun dikenal sebagai kuliner khas Banjarmasin, kenyataannya makanan ini berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Ketupat kandangan adalah kuliner yang terdiri dari ketupat dan ikan haruan yang dimasak santan.

Istimewanya, ikan haruan untuk ketupat kandangan akan dibakar dulu seperti sate sebelum dimasak dengan kuah kental. Nggak heran kalau rasa kuahnya adalah campuran rasa gurih ikan dan santan.  Uniknya, ketupat kandangan yang “sukses” adalah ketupat yang bisa dengan mudah dihancurkan kembali jadi nasi saat dimakan. Lucu, ya?

5. Ikan patin bakar

Di Banjarmasin, ikan patin adalah salah satu jenis ikan yang paling jamak ditemui dalam wajan. Ikan yang mirip hiu dan hidup di air tawar ini bisa diolah dengan berbagai cara: dimasukkan dalam kuah kuning, digoreng, dipepes, atau dibakar.

Ikan patin bakar biasanya di-marinate lebih dahulu dengan dengan bumbu merah sebelum dibakar di atas bara. Setelah matang, ikan ini disajikan bersama nasi putih, sambal, lalapan, dan sayur berkuah.

6. Soto banjar/nasi sop

kuliner khas banjarmasin

Segarnya sepiring soto banjar/masclink_kulineran

Soto banjar adalah kuliner khas Banjarmasin yang hadir sepanjang hari, dari mulai pagi, siang, hingga malam.

Bahan-bahannya adalah ketupat, potongan wortel, telur itik, irisan perkedel kentang, bihun, dan suwiran ayam. Semuanya kemudian disirami dengan kuah campuran kaldu ayam dan rempah-rempah. Rasanya segar! Jangan lupa pesan sate ayam buat side dish alias lauk.

Kalau nggak suka ketupat, kamu bisa pesan soto pakai nasi. Tapi, namanya ganti dari soto banjar jadi nasi sop. “Ada perbedaan lain antara soto banjar dan nasi sop?” Nggak ada.

7. Sate ayam

Kuliner khas Banjarmasin yang satu ini biasanya disajikan sebagai lauk waktu makan soto. Tapi, sebagai lauk, sate nggak dihidangkan dengan ketupat.

Yang istimewa dari sate ayam adalah bumbu kacangnya yang beda dari sate ayam ala Madura. Bumbu kacang sate ayam di Banjarmasin nggak dicampur kecap, tapi digiling dengan cabe kering. Makanya rasanya agak-agak pedas.

Di beberapa warung makan, sate dibakar dengan bumbu saus merah sehingga permukaan daging ayamnya warna pink.

Gimana? Sudah mulai lapar? Mampir aja ke Banjarmasin!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 7 Kuliner Khas yang Wajib Kamu Coba kalau Lagi di Banjarmasin appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/7-kuliner-khas-banjarmasin/feed/ 2 8506