banten Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/banten/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 23 Feb 2024 03:51:57 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 banten Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/banten/ 32 32 135956295 Petualangan di Taman Nasional Ujung Kulon https://telusuri.id/petualangan-di-taman-nasional-ujung-kulon/ https://telusuri.id/petualangan-di-taman-nasional-ujung-kulon/#respond Fri, 23 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41217 Taman Nasional Ujung Kulon, yang tercatat sebagai situs Warisan Alam Dunia oleh UNESCO pada 1991, menawarkan ragam aktivitas jelajah alam yang komplet. Mulai dari berselancar, menyelam, snorkeling, trekking, hingga mengamati satwa dan berbagai jenis flora....

The post Petualangan di Taman Nasional Ujung Kulon appeared first on TelusuRI.

]]>
Taman Nasional Ujung Kulon, yang tercatat sebagai situs Warisan Alam Dunia oleh UNESCO pada 1991, menawarkan ragam aktivitas jelajah alam yang komplet. Mulai dari berselancar, menyelam, snorkeling, trekking, hingga mengamati satwa dan berbagai jenis flora.

Kawasan taman nasional tertua di Indonesia ini terletak di ujung barat daya Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Luasnya 120.551 hektar, yang mana 76.214 hektar di antaranya digunakan untuk konservasi flora dan fauna, lalu sisanya menjadi bagian dari laut sebagai konservasi kelautan. Wilayah Taman Nasional Ujung Kulon mencakup beberapa cagar alam, yaitu Pulau Peucang, Pulau Handeuleum, Pulau Panaitan, Gunung Honje, dan Semenanjung Ujung Kulon.

Saya dan teman-teman berkesempatan mengunjungi dua pulau yang indah pada awal Oktober lalu. Kami berangkat dari Jakarta melalui rute Serang—Pandeglang—Labuan—Sumur. Waktu tempuh perjalanan dari Jakarta menuju Kecamatan Sumur kurang lebih tujuh jam.

Perjalanan darat berakhir di Desa Sumur. Setelah itu kami harus menggunakan moda transportasi kapal. Dari dermaga di Kecamatan Sumur ini, kami menyewa kapal nelayan yang menuju ke Pulau Handeuleum dan Peucang.

Petualangan di Taman Nasional Ujung Kulon
Perahu nelayan mengantar wisatawan dari pesisir desa ke kapal motor yang berlabuh di tengah laut/Laily Nihayati

Ketika kami tiba di pantai, laut sedang pasang sehingga tidak memungkinkan untuk naik kapal dari bibir pantai. Kami terpaksa harus berjalan dulu ke tengah melewati air laut setinggi paha. Setelah semua penumpang naik, kapal jukung berisikan 15 orang pun melaju.

Kapal membelah lautan, angin berembus sepoi-sepoi, gugusan pulau dan birunya laut memanjakan netra. Sejam kemudian, kapal jukung nelayan berhenti. kami harus berganti kapal motor yang lebih tangguh menghadapi ombak yang deras dan angin kencang.

Perjalanan mengarungi lautan pun berlanjut. Sajian panorama indah menanti dieksplorasi. Kami berhenti di titik yang menawarkan panorama laut yang aduhai. Miniatur badak, ikon Taman Nasional Ujung Kulon terlihat di permukaan air laut yang jernih. Di sekelilingnya berhias terumbu karang buatan. Aneka warna ikan-ikan yang menawan membuat hati ingin segera menjelajahi keindahan bawah laut lebih dalam lagi.

Mengarungi Sungai Cigenter

Setelah ber-snorkeling kami kembali ke kapal untuk meneruskan perjalanan ke Pulau Handeuleum. Pulau ini menarik karena dipenuhi mangrove. Dari informasi petugas Taman Nasional Ujung Kulon yang mendampingi kami, hutan mangrove yang berada di sekitar Pulau Handeleum didominasi oleh tiga jenis vegetasi mangrove, yaitu api-api (Avicennia), pidada (Sonneratia), dan bakau (Rhizophora).

Jenis-jenis bakau tersebut tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur ombak laut. Namun, tanaman ini tidak hanya berfungsi menahan erosi saja, tetapi juga sebagai tempat berkembang biaknya ikan, kepiting, dan udang.

Menariknya lagi, di pulau ini kami bisa merasakan sensasi mengarungi Sungai Cigenter dengan menggunakan kano. Perahu kano yang terbuat dari kayu itu bisa mengangkut tujuh orang. Kami mendayung melewati hutan lebat tropis dan melihat berbagai tanaman dan hewan yang berada di kanan dan kiri tepi sungai.

Di bagian hilir banyak kami jumpai pohon dahon, mangrove, dan gebang. Semakin ke hulu semakin beragam dan didominasi oleh tanaman keras, seperti kiara dan langkap. Adapun fauna di kawasan ini banyak terdapat aneka jenis burung, biawak, babi hutan, badak, dan buaya—kerap disebut “penganten” oleh masyarakat Ujung Kulon.

Petualangan di Taman Nasional Ujung Kulon
Menyusuri Sungai Cigenter/Laily Nihayati

Menuju Pulau Peucang

Hari beranjak siang. Kami kembali ke kapal untuk meneruskan perjalanan ke Pulau Peucang, tempat menginap nanti. Kami menikmati perjalanan sambil menyantap makan siang yang sudah disiapkan. 

Perjalanan ke Pulau Peucang masih sekitar tiga jam. Kami mengisi jeda waktu dengan ngobrol, berfoto, dan menikmati suguhan panorama alam. Di kejauhan kami melihat Pulau Panaitan yang menjadi favorit para peselancar. Kami menyaksikan keseruan para peselancar bermain ombak. Panaitan dikenal memiliki ombak bagus yang sering disebut  kalangan para penikmat surfing sebagai “one palm point”.

Sore menyambut ketika kami tiba di Pulau Peucang. Perjalanan cukup melelahkan, tetapi terbayar kontan dengan keindahan yang tersaji di depan mata. Hamparan pasir putih yang lembut dan jernihnya air yang memperlihatkan ikan-ikan dengan beragam warna. Tak sabar rasanya untuk segera bermain-main di bersama mereka. Namun, kami menundanya terlebih dahulu. Tas dan barang harus segera diturunkan dari kapal.

Kami melangkah menuju dermaga. Dari kejauhan terlihat dinding ucapan “Selamat datang di Pulau Peucang”. Suasana damai dan tenang terasa sejak menjejakkan kaki di pulau mungil yang diteduhi pepohonan ini.

Pulau Peucang, yang mengambil nama dari hewan sejenis siput yang sering ditemukan di area pantai, memiliki luas 450 hektar. Terdapat aneka flora dan fauna yang kami temukan di sini. Saat menuju penginapan, kami bertemu dengan monyet-monyet berekor panjang yang asyik dengan makanannya. Kami tak perlu khawatir, karena mereka jinak dan tidak usil seperti kera-kera yang ada di Sangeh, Bali. Di sini juga ada rusa, kijang, merak, dan babi hutan.

  • Petualangan di Taman Nasional Ujung Kulon
  • Petualangan di Taman Nasional Ujung Kulon
  • Petualangan di Taman Nasional Ujung Kulon

Berburu Sunset di Karang Copong

Usai istirahat sejenak di penginapan, kami bersiap memburu sunset di Karang Copong. Tempat ini merupakan bukit koral besar yang terletak di dekat pantai. Copong dalam bahasa Sunda berarti bolong atau berlubang. Nah, di tengah bukit koral itu terdapat lubang besar akibat abrasi air laut. Uniknya, bukit ini seolah terpisah dari pulau ketika laut sedang pasang. Namun, begitu air surut kami dapat menyeberanginya bahkan bisa naik ke puncak karang. 

Untuk mencapai Karang Copong kami harus menempuh perjalanan sekitar satu jam menembus hutan dari Pulau Peucang. Kami melewati pohon-pohon yang sudah langka, seperti merbau, bungur, palahlar, trembesi, cerlang, dan kiara atau beringin pencekik yang konon usianya sudah 100 tahun.

Setelah berjalan sekitar satu jam menembus hutan dan menyusuri pantai, kami menemukan tempat tersembunyi yang menyuguhkan pemandangan laut dan Karang Copong di atas bukit. Air lautnya berwarna biru jernih, membuat kami mampu memandangi kehidupan bawah laut tanpa harus menyelam. Di atas bukit karang yang tepat menghadap barat tersebut kami menikmati pesona sang surya meluruhkan sinarnya.

Langit mulai redup tanda kami harus kembali ke penginapan. Kami kembali menembus hutan dengan senter di tangan sebagai pemandu. Setelah mandi dan makan malam kami tertidur pulas.

Padang Rumput Cidaon, Habitat Banyak Satwa

Keesokan harinya kami bersiap pulang ke Jakarta. Dalam perjalanan kami akan menyambangi tempat-tempat menarik lainnya yang ada di area Taman Nasional Ujung Kulon. Destinasi pertama kami adalah padang rumput Cidaon. 

Padang rumput Cidaon merupakan habitat bagi banyak satwa liar, seperti banteng, merak, rusa, dan ayam hutan. Cidaon merupakan padang penggembalaan buatan untuk menunjang mata rantai kehidupan fauna di Ujung Kulon.

Biasanya satwa-satwa liar itu beraktivitas mulai pukul 06.00 hingga 07.30 WIB dan sore hari sekitar pukul 16.00 WIB. Untuk menuju ke tempat ini bisa menggunakan perahu dari Pulau Peucang dan dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati hutan. Selain jalur laut, Cidaon juga dapat ditempuh melalui jalur darat.

Dari Cidaon kami melanjutkan perjalanan ke Cibunar, padang sabana luas yang menjadi tempat makan banteng-banteng liar. Padang sabana ini hanya dibatasi oleh bongkahan batu karang yang besar dari laut. Ada juga muara sungai air tawar dan hanya berjarak 10 meter dari bibir pantai.

Perjalanan pulang kami tempuh dengan berlayar kembali menuju daratan di Desa Sumur. Di sela-sela perjalanan, kami sempatkan berhenti untuk snorkeling jika menemukan lokasi yang bagus untuk melihat aneka biota di bawah laut. 

Kami tiba di Desa Sumur menjelang Asar. Kami pun menyempatkan diri untuk mandi dan berganti baju bersih. Bus yang akan mengantar kami ke Jakarta sudah siap di tempat.

Selamat tinggal, Ujung Kulon! Kenangan indah di sana akan selalu terpatri di hati kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Petualangan di Taman Nasional Ujung Kulon appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/petualangan-di-taman-nasional-ujung-kulon/feed/ 0 41217
Perjalanan Singkat di Pulau Merak Kecil https://telusuri.id/perjalanan-singkat-di-pulau-merak-kecil-banten/ https://telusuri.id/perjalanan-singkat-di-pulau-merak-kecil-banten/#respond Tue, 23 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41003 Ide perjalanan kami bermula dari sejumlah video Pulau Merak Kecil yang sering muncul di beranda media sosial kami. Video-video tersebut menayangkan warna air laut menyegarkan mata ditambah dengan pemandangan di sekitarnya yang beraneka macam. Saya...

The post Perjalanan Singkat di Pulau Merak Kecil appeared first on TelusuRI.

]]>
Ide perjalanan kami bermula dari sejumlah video Pulau Merak Kecil yang sering muncul di beranda media sosial kami. Video-video tersebut menayangkan warna air laut menyegarkan mata ditambah dengan pemandangan di sekitarnya yang beraneka macam. Saya dan seorang teman saya saling berkirim video itu, sebelum akhirnya kami mendapatkan tanggal yang cocok untuk pergi ke lokasi yang sudah lama viral di media sosial. 

Menurut informasi yang beredar di dalam video tersebut, setelah menempuh perjalanan KRL Jabodetabek dan dilanjutkan kereta api lokal tujuan Stasiun Merak, kami bisa menaiki angkutan umum untuk sampai tujuan. Dari Stasiun Merak kami berjalan hingga bertemu jalan raya untuk kemudian naik angkutan umum (sejenis angkot) berwarna merah. 

Saya tidak tahu pasti kode dan trayek angkotnya. Kami hanya mengikuti arahan dari video untuk bertanya langsung ke sopir angkot. Sebelum naik angkot, kami menyempatkan mampir ke minimarket untuk membeli bekal camilan sebagai “teman” menghabiskan waktu selama perjalanan.

Perjalanan Singkat di Pulau Merak Kecil
Perjalanan dengan angkot dari Stasiun Merak ke lokasi dermaga menuju Pulau Merak Kecil/Nita Chaerunisa

Menuju Pulau Merak Kecil

“Pak, mau ke Pulau Merak Kecil bisa?” tanya kami ke seorang sopir angkot berwarna merah. Kami hentikan lajunya dengan ayunan tangan dari pinggir jalan.

Setelah sopir mengiyakan, kami mulai masuk angkot. Saat itu di dalam angkot tidak ada penumpang lain. Rasanya seperti menyewa satu angkot hanya untuk kami berdua.

Saya cukup terkejut, karena saya kira akan menempuh perjalanan lama untuk tiba ke lokasi. Namun, belum sampai 15 menit angkot berjalan, sang sopir menginjak rem dan memberitahu bahwa kami sudah sampai. Angkot yang kami naiki berhenti tepat di depan sebuah gapura masuk menuju dermaga penyeberangan ke Pulau Merak Kecil, Mekarsari, Kota Cilegon. Tidak jauh dari Pelabuhan Merak, Banten, yang menghubungkan ujung barat Pulau Jawa dengan Lampung, Sumatra.

Dari gapura terlihat ramainya pengunjung dan kendaraan yang sedang pakir. Meskipun begitu saya tetap dapat melihat laut yang jaraknya kurang lebih 200 meter dari gapura. Terdapat beberapa perahu yang sedang berlabuh di tepiannya. Sepertinya tanpa harus menyeberang ke Pulau Merak Kecil, area pesisir Pantai Mabak di dekat gapura juga sudah dapat menjadi destinasi wisata karena banyak pengunjung yang asyik berkumpul di sini. 

Kami segera ke loket untuk membeli tiket penyeberangan ke Pulau Merak Kecil. Tarifnya sebesar Rp15.000 untuk sekali perjalanan pergi dan pulang. Usai mendapat tiket, kami langsung diarahkan di atas dermaga untuk mengantre giliran naik perahu.

Dalam satu perahu kecil—kira-kira seukuran perahu yang biasa digunakan nelayan—bisa memuat sekitar 6—10 orang. Jarak tempuh dari dermaga ke Pulau Merak Kecil hanya kurang dari lima menit saja. Dari tempat kami saja sudah terlihat pulau yang akan dikunjungi. Saya setuju dengan video yang beredar di media sosial, bahwa lokasi wisata ini benar-benar mudah dijangkau.

Menikmati Suasana Pulau di atas Selembar Tikar Sewaan

Waktu menunjukkan sekitar pukul 12.35 WIB setibanya kami di Pulau Merak Kecil. Saya juga membayar dua ribu rupiah untuk biaya kebersihan pulau kepada petugas yang berada di dermaga. Hal pertama yang saya dan kawan saya lakukan adalah bergegas mencari musala untuk salat Zuhur. 

Namun, ternyata ketersediaan air untuk wudu sedang menipis. Menurut keterangan petugas, air untuk wudu sedang diproses supaya bisa mengalir deras lagi. Akhirnya kami dan beberapa pengunjung lain memutuskan menggunakan sisa air yang tersedia, meski alirannya sangat kecil. 

Usai beribadah, tampak beberapa pengunjung tidak langsung beranjak pergi. Mereka  menggunakan musala di Pulau Merak Kecil untuk berteduh dari teriknya sinar matahari. Berbeda dengan kami, yang langsung mencari warung untuk memesan mi instan. Kami menikmati makanan yang kami pesan sambil duduk di pinggir pantai, di atas tikar yang kami sewa. Di sini memang banyak disediakan penyewaan tikar untuk pengunjung. Kami dapat memilih lokasi duduk sendiri.

Untuk warung-warung makanan dan minuman berada dalam satu area yang berdekatan. Makanan dan minuman yang dijual pun hampir semuanya serupa, seperti olahan mi instan, aneka nasi, makanan ringan, minuman kemasan, dan kelapa segar. Mungkin yang berbeda hanya ketersediaan stok. Jadi, pengunjung tinggal memilih warung mana yang bisa mengabulkan pesanannya. Adapun harga yang ditawarkan masih relatif normal seperti di tempat wisata pada umumnya. 

Makanan dan minuman yang dipesan juga bisa diantarkan langsung ke lokasi pengunjung duduk bersantai. Saat memesan di warung, pembeli langsung saja memberitahu kepada penjual tempat dia duduk, lalu tinggal menunggu pesanannya diantar. 

Bisa juga seperti kami, yang mengkonfirmasi dengan menelepon penjual karena saat memesan kami belum menemukan tempat yang pas untuk duduk. Meskipun luas pulau mungkin kurang lebih empat hektare, tetapi tidak sulit bagi para penjual untuk menemukan lokasi duduk para pembelinya. Tempat bersantai mayoritas pengunjung berada di tepian pantai.

Perjalanan Singkat di Pulau Merak Kecil
Banana boat dan feri yang berada di sekitar Pulau Merak Kecil/Nita Chaerunisa

Kami memilih menggelar tikar tidak jauh dari dermaga dan warung makan. Tepat berada di bawah rimbunan pohon. Dari atas tikar yang kami duduki, kami dapat menikmati suara deburan ombak kecil, melihat putihnya pasir putih, pemandangan bukit dan cerobong-cerobong asap industri di kejauhan.

Kami juga menyaksikan perahu-perahu kecil hilir mudik, tidak terkecuali feri dan kapal-kapal besar lainnya. Sesekali terdengar suara petugas memberikan informasi keamanan, menawarkan pengunjung keliling pulau dengan kapal hingga permainan air banana boat. Riuh dan lalu-lalang pengunjung menandakan kunjungan wisata hari itu lumayan ramai. Jelas saja, saat itu hari Minggu, waktu yang pas untuk berwisata.

Saya dan teman saya memutuskan tidak banyak berkegiatan di pulau. Kami hanya duduk santai menghabiskan waktu singkat yang kami miliki sembari menikmati camilan yang sudah kami beli sebelumnya di minimarket dekat stasiun dan camilan yang baru kami beli di pulau. Ketika ada penjual rujak tumbuk lewat di depan kami, saya pun membelinya. Rujak tumbuk yang pedas dan segar dimakan di tengah teriknya sinar matahari Pulau Merak Kecil, sungguh nikmat rasanya. 

Sekitar pukul 14.45 kami bangkit dari duduk untuk mengambil foto dan mengabadikan momen di sekitar pulau. Saat kami sedang memotret, beberapa kali kami diganggu oleh anak-anak kecil yang sedang main air di pinggir pantai. Mereka tampak iseng, tetapi tingkahnya lucu. Kami bukannya marah, melainkan polah anak-anak tersebut menjadi hiburan bagi kami. 

Memang pada saat itu mayoritas pengunjung yang bermain air laut adalah anak kecil dan beberapa orang dewasa yang menemani. Sisanya merupakan pengunjung yang hanya sibuk berswafoto. Mungkin karena cuaca masih cukup panas, lebih banyak pengunjung yang duduk di pinggiran pantai daripada bermain air. Rimbunnya pepohonan menjadi situasi yang pas bagi pengunjung. Menikmati pantai di siang hari sambil makan, bermain alat musik, atau sekadar bercengkerama bersama.

Perjalanan Singkat di Pulau Merak Kecil
Bendera merah putih di dermaga Pulau Merak Kecil/Nita Chaerunisa

Saatnya Pulang

Setelah dirasa cukup dengan foto-foto yang dapat diabadikan, kami langsung bergerak menuju dermaga Pulau Merak Kecil untuk pulang. Di atas dermaga yang terbuat dari kayu, dengan beberapa hiasan bendera merah putih di sekelilingnya, kami menunggu perahu yang akan menjemput kami kembali ke Mabak. Dermaga Pulau Merak Kecil tidak terlalu besar. Hanya bisa menampung beberapa orang di atasnya. Jadi, pengunjung harus bergantian dan tertib antre supaya bisa naik ke perahu.

Perahu yang mengantar kami untuk kembali ke Mekarsari sama seperti saat berangkat. Begitu pun jalur pulang, melewati perahu-perahu nelayan yang sedang bersandar. Kami juga melihat beberapa pengunjung yang sedang asyik naik banana boat. Sejumlah kapal feri yang berlayar melaju tak jauh dari perahu kami.

Sesampainya di dermaga Pantai Mabak, kami langsung mencari angkot yang bisa mengantar kami kembali ke Stasiun Merak. Untung saja kami memperhitungkan waktu dengan baik.

Ketika tiba di Stasiun Merak, kami salat Asar terlebih dahulu baru masuk stasiun. Waktunya pas sekali dengan suara pemberitahuan dari petugas bahwa kereta lokal yang tersedia sudah bersiap untuk berangkat. Kami pun langsung naik dan mencari kursi untuk duduk. Meskipun perjalanan kami di Pulau Merak Kecil cukup singkat, tetapi bagi saya mampu menghilangkan sejenak rasa penat dari hiruk piruk Kota Jakarta. 

Bagi warga Jakarta dan sekitarnya yang ingin pergi ke Pulau Merak Kecil dengan kereta api, saya sarankan berangkat menggunakan jadwal kereta paling pagi dan pulang dengan kereta terakhir. Tujuannya agar bisa lebih lama menghabiskan waktu di Pulau Merak Kecil. Jika tidak ingin merasa lelah setelah berwisata, pengunjung bisa mencari penginapan di sekitar Merak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Singkat di Pulau Merak Kecil appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-singkat-di-pulau-merak-kecil-banten/feed/ 0 41003
Q&A: Penggalian Arkeologi Banten Lama bersama Prof. Dr. R. Cecep Eka Permana https://telusuri.id/penggalian-arkeologi-banten-lama/ https://telusuri.id/penggalian-arkeologi-banten-lama/#respond Mon, 08 Nov 2021 12:54:39 +0000 https://telusuri.id/?p=31299 Kawasan Banten Lama merupakan kawasan Kota Tua Banten yang telah ada semenjak abad ke-16, dengan berbagai tinggalan seperti Keraton Kaibon, Keraton Surosowan, Benteng Speelwijk, Masjid Agung Banten, Vihara Avalokitesvara, dan Danau Tasikardi. Banten Lama menjadi...

The post Q&A: Penggalian Arkeologi Banten Lama bersama Prof. Dr. R. Cecep Eka Permana appeared first on TelusuRI.

]]>
Kawasan Banten Lama merupakan kawasan Kota Tua Banten yang telah ada semenjak abad ke-16, dengan berbagai tinggalan seperti Keraton Kaibon, Keraton Surosowan, Benteng Speelwijk, Masjid Agung Banten, Vihara Avalokitesvara, dan Danau Tasikardi. Banten Lama menjadi ikon wisata sejarah yang terkenal hingga penjuru Nusantara. Daya tarik sejarah Banten yang masih bisa disaksikan lewat sisa-sisa bangunan kesultanan diharapkan menjadi pelajaran bagi masyarakat dewasa ini. 

Penggalian arkeologi adalah salah satu cara untuk menampakkan temuan yang terpendam di bawah tanah. Baru-baru ini di Banten Lama diadakan penggalian arkeologi kerjasama BPCB Banten dengan Universitas Indonesia sebagai upaya revitalisasi dan pelestarian kawasan Banten Lama agar sisa-sisa tinggalan masih bisa diselamatkan. 

TelusuRI mewawancarai Prof . Dr. R. Cecep Eka Permana—seorang arkeolog dan juga pengajar tetap arkeologi di Universitas Indonesia—yang dalam penggalian ini berperan sebagai pengawas. Sebagai pengajar, beliau sudah berkecimpung di dunia arkeologi semenjak 1990 dan ikut serta dalam puluhan penelitian yang beberapa di antaranya sudah dibukukan. 

Prof . Dr. R. Cecep Eka Permana
Prof . Dr. R. Cecep Eka Permana/Istimewa

Penggalian kali ini dilakukan di mana dan dengan tujuan apa Mas? 

Penggalian dilakukan antara Danau Tasikardi dan Keraton Surosowan. Fokusnya kepada saluran air dari Tasikardi ke Surosowan. Di sana ada peninggalan arkeologi berupa pengindelan, bangunan untuk penjernihan air. Jaraknya sekitar 2 km dari Tasikardi sampai Surosowan.

Sepanjang 2 km tersebut terdapat 3 bangunan penjernihan air yakni pengindelan abang yang berada dekat danau, pengindelan putih di tengah-tengah, dan pengindelan emas yang berada dekat dengan benteng. Tujuan pendiriannya adalah untuk mengalirkan air dari danau ke keraton, selain itu juga untuk penjernihan air.

Berarti hipotesisnya adalah Danau Tasikardi sebagai sumber air bagi keraton?

Iya, salah satunya adalah sebagai sumber air bersih untuk keraton. Dalam keraton sendiri sebenarnya ada sumur-sumur tapi kan terbatas [jumlah airnya]. Nah, sumber lain lainnya selain sumur, ya dari Tasikardi ini.

Tasikardi dan keraton berjarak sekitar 2 km. Sepanjang itu membentang sawah dan juga jalan. Apakah proses penggaliannya melewati jalan raya?

Oh tidak [melewati jalan raya]. Tanah yang dilewati pengindelan dan saluran-saluran ini tertutup batu bata. Di dalamnya ada saluran semacam paralon gitu yang berasal dari terakota dengan diameter 25 cm. Fungsinya sama seperti paralon sekarang namun terbuat dari tanah liat. 

  • BPCB Banten
  • BPCB Banten

Ada temuan menarik apalagi Mas yang terdapat di sana?

Selain bata-bata yang ditemukan untuk melindungi saluran air tersebut, ada ditemukan beberapa keramik dan tembikar. Ada pipa gouda kalau orang-orang kolonial bilangnya, kalau sekarang namanya cangklong. 

Ada berapa tenaga kerja untuk penggalian kali ini?

Kalau untuk mahasiswa dan alumni dibuat 3 kloter, 1 kloter berjumlah 5 orang. Penggalian kan dari tanggal 1-30 Oktober, jadi ada yang dari tanggal 1-10, 11-20, 20-30. Disamping itu ada tenaga lokal, dan tenaga dari BPCB.

  • BPCB Banten
  • BPCB Banten
  • BPCB Banten Lama

Tujuan pelibatan mahasiswa dalam penggalian ini apa sih Mas?

Selain mereka mendapatkan pengalaman juga menerapkan teori-teori yang sudah diberikan saat perkuliahan, tentunya sambil membantu kegiatan perekaman dan [melakukan] analisis temuan-temuan. BPCB kan terbatas tenaganya dan tidak semua arekolog. Dengan melibatkan mahasiswa ini semoga semua pihak mendapat manfaat, baik dari BPCB ataupun mahasiswa.

Apakah ada kesulitan yang muncul dari penggalian kali ini?

Sulit sih tidak ya, karena secara teknis di sana merupakan daerah sawah pasti berair, ya paling hujan basah biasa lah itu aja. Untuk urusan dengan warga, mereka sudah tahu bahwa itu bukan tanah mereka, jadi tidak terganggu antar sawah dengan saluran air tersebut. Paling ada kerusakan yang terjadi [pada tinggalan arkeologi] secara alami saja. 

BPCB Banten
Tim penggalian ekskavasi pengindelan/BPCB Banten

Bagaimana hasil penggaliannya? Apakah sudah mencapai tahap akhir?

Hari ini, 30 Oktober selesai. Untuk pelaporan masih dalam proses. Selanjutnya, kami akan mengkaji [hasil penggalian] dalam seminar kecil yang rencananya akan diselenggarakan pada tengah atau akhir November untuk mendiskusikan hasil [penggalian] serta rencana kedepannya.

“Tujuan penggalian ini yakni dalam rangka pelestarian dan melindungi cagar budaya karena daerah sawah bahkan sebagian besarnya sudah menjadi pemukiman. Kalau tidak dilakukan penggalian, maka [cagar budaya tersebut] akan hilang.”

Prof. Dr. R. Cecep Eka Permana

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Q&A: Penggalian Arkeologi Banten Lama bersama Prof. Dr. R. Cecep Eka Permana appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/penggalian-arkeologi-banten-lama/feed/ 0 31299
Sisi Utara Benteng Surosowan https://telusuri.id/sisi-utara-benteng-surosowan/ https://telusuri.id/sisi-utara-benteng-surosowan/#respond Wed, 26 Aug 2020 18:11:49 +0000 https://telusuri.id/?p=23715 Arkeologi mungkin masih jadi sebuah jurusan kuliah yang acap kali dipertanyakan orang-orang. “Kerja apaan tuh nanti?” “Keren, ih, kayak di film-film” “Nyari-nyari fosil, ya?” dll. Arkeologi pada dasarnya adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan manusia dari...

The post Sisi Utara Benteng Surosowan appeared first on TelusuRI.

]]>
Arkeologi mungkin masih jadi sebuah jurusan kuliah yang acap kali dipertanyakan orang-orang. “Kerja apaan tuh nanti?” “Keren, ih, kayak di film-film” “Nyari-nyari fosil, ya?” dll.

Arkeologi pada dasarnya adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan manusia dari tinggalan-tinggalannya. Jadi, arkeologi akan membicarakan tinggalan, misalnya batu yang dulunya digunakan sebagai mata panah. Itu akan menjadi penunjuk bahwa benda tersebut sudah melalui tahap pemakaian oleh manusia dan sudah menjadi benda budaya.

Salah satu kekhasan ilmu arkelogi adalah penggalian atau ekskavasi. Ekskavasi dilakukan untuk melihat temuan yang ada di sekitar situs bersejarah, apakah ada artefak yang masih terpendam ataupun situs sejarah yang masih belum tampak. Sudah dua kali aku mengikuti penggalian arkeologi. Pertama di Muara Jambi dalam rangka Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang menjadi mata kuliah tersendiri di Arkeologi. Kedua saat magang selama dua minggu bersama BPCB Banten dalam penggalian Benteng Surosowan, Banten.

Salah satu sudut Benteng Surosowan/M. Irsyad Saputra

Tujuan penggalian keduaku itu adalah untuk menampakkan sisi utara Benteng Surosowan yang diperkirakan sebagai bekas pendopo kerajaan yang terhubung langsung dengan kanal-kanal di sekitarnya. Pihak BPCB Banten sendiri bekerja sama dengan Prodi Arkeologi Universitas Indonesia dengan meminta mahasiswa untuk terjun ke lapangan. Sekitar 40 mahasiswa menjalani magang tersebut, dibagi dalam sif-sif, selama tiga bulan. Aku dan tiga kawan mendapat giliran sif terakhir mulai pertengahan September.

Tugas kami dalam penggalian dibagi empat. Pertama, menggali. Tentu saja ini kewajiban utama kami dalam melakukan ekskavasi arkeologi. Penentuan lokasi kotak gali bisanya berdasarkan gejala permukaan atau penampakan pada kotak yang telah digali sebelumnya. Penggalian arkeologi tidak bisa asal-asalan. Kami menggunakan teknik penggalian yang telah dipelajari di kelas, seperti spit, layer, atau lot. Penggalian kali ini menggunakan teknik spit dengan bantuan warga sekitar situs yang sudah diberi pengarahan untuk membantu mempercepat proses penggalian.

Kedua, menggambar kotak gali. Seorang penggambar bertugas untuk menggambar semua kotak galian pada hari tersebut. Penggambaran harus detail, meliputi tampak awal serta tampak akhir dari penggalian kotak tersebut, termasuk mengukur apa saja penampakan temuan semisal struktur bata ataupun temuan lepas serta stratigrafi tanah apabila ada perubahan lapisan ketika penggalian dilangsungkan.

Foto udara lokasi penggalian/M. Irsyad Saputra

Ketiga, [membuat] laporan harian. Orang yang bertugas membuat laporan harian mesti mencatat keadaan pada hari penggalian, semisal berapa kotak galian yang dibuat pada hari itu, temuan apa saja yang didapat, jumlahnya berapa, kesulitan yang dialami, dll. Mirip-mirip bikin buku harian, namun dengan bahasa yang formal.

Keempat, bagian temuan. Divisi ini bertugas membersihkan, mencatat, dan mengklasifikasi, serta [membuat] dokumentasi temuan pada hari tersebut. Hal ini nantinya akan memudahkan proses inventarisasi temuan.


Temuan yang sangat menarik pada sif kami ini adalah beberapa anak tangga serta sumber air yang diperkirakan merupakan kanal yang dahulunya langsung melewati sisi utara benteng. Paling mencengangkan adalah ketika penggalian dilakukan banyak tumpukan sampah yang didapat pada lapisan tanah utara benteng. Artinya, lapisan tanah pada daerah tersebut sudah tercampur antara bawah dan atas. Memang, sepuluh tahun yang lalu sisi utara benteng sempat dijadikan tempat mendirikan warung-warung. Sampah-sampah tersebut menjadi tanda seberapa parah bumi kita terkontaminasi sampah plastik yang sulit terurai.

Proses ekskavasi/M. Irsyad Saputra
Temuan struktur kotak gali berupa tangga/M. Irsyad Saputra

Benda lain yang ditemukan antara lain koin VOC, koin Banten, keramik-keramik dengan berbagai bentuk dan warna—bahkan ada yang menggunakan aksara Jawa dan Belanda, juga tulang-belulang hewan.

Dari kiri ke kanan: koin VOC, pecahan keramik beraksara Jawa, koin kuno Banten/M. Irsyad Saputra

Setelah cerita sisi utara benteng mulai terkupas, juga merujuk pada analisis sebelumnya, menjadi lebih jelas bahwa sisi utara merupakan bekas pendopo kerajaan yang terhubung langsung dengan kanal-kanal di sekitarnya. Karena pada titik anak tangga terbawah yang kami temukan sudah keluar air yang deras, muncul asumsi bahwa dulunya di situlah batas langsung antara kanal dengan pendopo.


Usai penggalian-penggalian sore hari, kami menyempatkan jalan-jalan. Biasanya berkeliling di sekitar Benteng Surosowan, Benteng Speelwijk, Masjid Agung Banten, Keraton Kaibon, Danau Tasikardi, dan Vihara Avalokitesvara. Peninggalan-peninggalan bersejarah di sini, dari bangunan hingga makam, masih banyak yang terawat hingga kini. Banten Lama memang pusat dari Kerajaan Banten sebelum kemudian dikuasai oleh pemerintah kolonial.

Danau Tasikardi/M. Irsyad Saputra

Karena dekat dengan laut, banyak juga pantai di sekitar Surosowan. Namun kondisinya memang memprihatinkan. Airnya keruh dan sampah di mana-mana. Soal kunjungan wisata, masih kalah dari pantai-pantai yang ada di pesisir selatan Banten yang berair lebih jernih. Banten terasa lebih terik dari daerah lain, entah mengapa—padahal Bima memegang gelar sebagai kota terpanas di Indonesia. Nampaknya angin yang tidak bertiup ikut andil menjadikan Banten Lama daerah yang panas.

Meski panas, Banten Lama tetap menawan sebagai bekas pusat Kerajaan Banten dengan tinggalan arkeologis yang masih utuh dan bisa kita saksikan hingga hari ini.

The post Sisi Utara Benteng Surosowan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sisi-utara-benteng-surosowan/feed/ 0 23715
Menelusuri Masjid Kasunyatan, Saksi Bisu Penyebaran Islam di Tanah Jawara https://telusuri.id/masjid-kasunyatan-banten/ https://telusuri.id/masjid-kasunyatan-banten/#respond Sat, 01 Jun 2019 16:00:52 +0000 https://telusuri.id/?p=14223 “Berhenti di pinggir jalan ini saja, Pak. Nanti jalannya kecil, bis nggak bisa masuk.” Pak Edi, warga lokal yang hari itu jadi pemandu wisata masjid di Banten, memberi arahan pada supir bis. Setelahnya, saya dan...

The post Menelusuri Masjid Kasunyatan, Saksi Bisu Penyebaran Islam di Tanah Jawara appeared first on TelusuRI.

]]>
“Berhenti di pinggir jalan ini saja, Pak. Nanti jalannya kecil, bis nggak bisa masuk.” Pak Edi, warga lokal yang hari itu jadi pemandu wisata masjid di Banten, memberi arahan pada supir bis. Setelahnya, saya dan rombongan diminta turun agar bisa segera berjalan menuju tujuan berikutnya, yakni Masjid Kasunyatan.

Penuh batu, jalan tak beraspal itu jauh dari kata mulus. Setelah melangkah sejauh 300 meter menembus permukiman warga, akhirnya kami disambut oleh sebuah gapura putih yang jadi pintu masuk Masjid Kasunyatan, Banten Lama.

masjid kasunyatan
Gerbang Masjid Kasunyatan/Dewi Rachmanita Syiam

Masjid Kasunyatan terdiri dari beberapa bagian. Sebagian besar sudutnya kaya nuansa khas masjid kuno. Saat memasuki areal masjid, saya sudah langsung dapat melihat pemakaman di sisi utara dan timur yang jadi tujuan ziarah orang-orang dari berbagai penjuru. Lewat jalan yang berada di pinggir pemakaman itulah saya mengitari Masjid Kasunyatan.

Sebuah pintu kecil pembatas areal makam dengan sebuah areal yang lebih luas pun saya lewati. Kini yang di depan saya adalah sebuah bangunan dengan ghat seperti di pinggiran Sungai Gangga. Bentuknya segi empat dan dalamnya kira-kira 6,5 meter. Kolam itu dinaungi atap yang disangga oleh beberapa tiang berselimut lumut. Samar-samar, di bawah sana beberapa ekor ikan meliuk-liuk ke sana kemari.

masjid kasunyatan
Berjalan di samping pemakaman/Dewi Rachmanita Syiam

Itu adalah kolam yang dikeramatkan. Mata airnya tak pernah kering. Dari kolam, air dialirkan ke kamar mandi agar bisa digunakan oleh orang-orang yang hendak mandi kembang. Namun, meskipun sudah dilarang Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), masih tetap saja ada pengunjung nakal yang nekat mandi kembang langsung di kolam.

“Tahu-tahu sudah ada kembang aja di kolam,” ujar salah seorang anggota DKM Masjid Kasunyatan.

masjid kasunyatan
Pengunjung tidak diizinkan untuk mendi di kolam/Dewi Rachmanita Syiam

Dibangun di era Sultan Maulana Yusuf

Masjid Kasunyatan jadi tujuan peziarahan bukan tanpa alasan. Masjid yang dulu bernama Al-Fatihah yang berarti “pembuka” ini konon adalah masjid pertama di Banten. Pembangunannya dilakukan di masa kepemimpinan Sultan Maulana Yusuf, antara 1552-1570.

Selain menjadi masjid pelopor, Masjid Kasunyatan juga menjadi penanda datangnya syariat Islam di Banten setelah lama berada di bawah pengaruh kerajaan Hindu. Di masjid ini jugalah dulu para ulama dari penjuru Indonesia bertemu dan menimba ilmu pengetahuan. Maka, tak heran jika masjid sarat sejarah ini dijadikan sebagai cagar budaya.

masjid banten
Mimbar yang berdampingan dengan “grandfather clock”/Dewi Rachmanita Syiam

Menurut Alya Nadya (2017) dalam “Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di Banten,” nama Kasunyatan berasal dari kata “kasunyian” (tempat menyepinya sultan), “kasunatan” (tempat orang Islam yang disunat), “kanyataan” (tempat yang nyata bagi sultan-sultan), dan dari gelar yang disematkan pada Kyai Dukuh (Pangeran Kasunyatan) yang makamnya berada di kompleks masjid.

Berada di tanah wakaf seluas sekitar 2.544 meter persegi, bagunan utama Masjid Kasunyatan berbentuk segi empat yang menghadap selatan.

Pedang yang dulu kerap dibawa perang/Dewi Rachmanita Syiam

Begitu saya memasuki bangunan utama, gelap menyelimut. Meskipun matahari sedang tinggi, hanya sedikit saja cahayanya yang berhasil menerobos lewat celah-celah di atap masjid; tumpang tiga dengan mamolo di puncak yang disangga empat tiang dengan umpak oktagonal. Barangkali karena zaman dahulu jamaah belum terlalu banyak, ruangan utama Masjid Kasunyatan itu tak begitu besar.

Saya pun duduk di karpet yang tak begitu halus, menghadap lurus ke arah mihrab tempat imam memimpin salat. Objek yang paling mencolok mata adalah mimbar berwarna keemasan yang berdiri berdampingan dengan sebuah grandfather clock. Mimbar itu masih asli. Tiangnya terbuat dari kayu dan tangganya adalah semen berlapis porselen. Di sana dipajang sebuah pedang yang dulu sering dibawa perang.

masjid tertua di banten
Menara masjid yang masih asli/Dewi Rachmanita Syiam

Lalu saya bergerak ke luar menuju salah satu bagian masjid yang keasliannya masih terjaga: menara. Atap bangunan yang menjulang sekira 11 meter itu dilapisi genteng dan dipucuki mamolo. Bentuknya unik, serupa payung sedang dibuka.

Selama beberapa waktu saya berkeliaran di sekitar menara sambil menunggu rekan-rekan seperjalanan yang masih sibuk menyelami sejarah Masjid Kasunyatan. Pikiran saya pun melayang ke sana kemari membayangkan peristiwa-peristiwa apa saja yang pernah terjadi di masjid lintas zaman itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Masjid Kasunyatan, Saksi Bisu Penyebaran Islam di Tanah Jawara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/masjid-kasunyatan-banten/feed/ 0 14223
Melawat ke Masjid Agung Serang bareng “Wisata Sekolah” https://telusuri.id/masjid-agung-serang/ https://telusuri.id/masjid-agung-serang/#respond Tue, 28 May 2019 16:30:55 +0000 https://telusuri.id/?p=14145 Bis biru itu sudah terparkir di depan sebuah supermarket di daerah Lebak Bulus, Jakarta. Ojek online yang saya tumpangi segera menepi di depannya. Saya turun lalu menghampiri sekelompok perempuan berbaju merah bertuliskan “Wisata Sekolah.” Mereka...

The post Melawat ke Masjid Agung Serang bareng “Wisata Sekolah” appeared first on TelusuRI.

]]>
Bis biru itu sudah terparkir di depan sebuah supermarket di daerah Lebak Bulus, Jakarta. Ojek online yang saya tumpangi segera menepi di depannya. Saya turun lalu menghampiri sekelompok perempuan berbaju merah bertuliskan “Wisata Sekolah.” Mereka adalah para pemandu jasa tur yang akan mengantar saya keliling berbagai masjid di Banten selama seharian penuh.

Sebenarnya saya sudah jarang sekali jalan-jalan bersama agen wisata. Soalnya, terkadang saya merasa kurang bebas, terlalu diatur. Saat berwisata, yang saya cari adalah perjalanannya bukan destinasi wisatanya. Saya betah lama-lama duduk di kereta ekonomi sambil ngobrol ngalor-ngidul dengan orang yang baru saya kenal ketimbang menghabiskan berhari-hari di destinasi wisata instagenik hanya untuk swafoto atau berburu foto yang akan panen likes nantinya.

masjid-agung-serang
Gerbang Masjid Agung Serang/Dewi Rachmanita Syiam

Namun, akhir pekan kemarin, Minggu, 26 Mei 2019, saya tertarik untuk ikut perjalanan Wisata Sekolah. Pasalnya paket yang mereka tawarkan lumayan menarik, yakni tur keliling beberapa masjid bersejarah dan ikonis di Banten, dimulai dari Masjid Agung Serang yang berada di Jalan Veteran.

Tak lama setelah tiba di titik kumpul, saya naik bis dan berangkat menuju Serang. Selama perjalanan, saya habiskan waktu dengan mengobrol sama kenalan baru, sambil menyaksikan pemandangan di jendela yang berubah dari hiruk pikuk khas Jakarta menjadi suasana khas Banten yang lebih bersahaja. Becak-becak mulai tampak lalu-lalang di jalanan yang tak begitu lebar, berebut jalan dengan kendaraan-kendaraan pribadi.

masjid agung serang
Masjid Agung Serang tampak dari depan/Dewi Rachmanita Syiam

Mulai dibangun tahun 1870

Dua jam kemudian bis itu berhenti dekat Masjid Agung Serang. Masjid yang juga dikenal sebagai Masjid Ats-Tsauroh (Masjid Perjuangan) ini berada di pusat kota. Letaknya berdekatan dengan pusat perbelanjaan.

Pak Edi, sang pemandu lokal, bercerita bahwa saat hari raya jalanan ini bisa macet total. Kendaraan-kendaraan bisa saling beradu dan arus lalu lintas tak bergerak sama sekali. Melihat jalanan yang tak terlalu besar itu saya jadi memakluminya.

masjid banten
Suasana beranda masjid/Dewi Rachmanita Syiam

Kami dibawa melihat menara masjid setinggi sekitar 50 meter yang dibangun tahun 1956. Bagian atapnya unik, seperti dua menara yang bertumpukan dengan bagian bawah berbentuk oktagon. Kapurnya putih, cukup kontras dengan langit yang hari itu sangat biru. Rasa-rasanya menyenangkan sekali kalau bisa naik ke puncak untuk merasakan sensasi yang dialami muazin zaman dahulu setiap kali mengumandangkan azan.

Dari menara, kami beranjak menuju bangunan utama berupa pendopo dan selasar. Saat mengamati tiang-tiang masjid, saya baru menyadari bahwa umpak alias alasnya menarik sekali. Bentuknya seperti labu.

masjid agung serang
Suasana bagian dalam Masjid Agung Serang/Dewi Rachmanita Syiam

Bagian-bagian lain dari masjid itu, misalnya mezanin dan ruang perpustakaan, juga bikin Masjid Agung Serang makin menawan.

Usut punya usut, rumah ibadah yang dulu bernama Masjid Pegantungan ini pertama kali dibangun tahun 1870 semasa pemerintahan Bupati Serang Raden Tumenggung Basudin Tjondronegoro. Arealnya yang seluas sekitar 2,6 Ha berada di tanah wakaf dari sang bupati. Meskipun sejak didirikan sampai sekarang masjid ini sudah mengalami renovasi berkali-kali, bentuk aslinya masih terpelihara di beberapa sudut.

Usai mengelilingi masjid, kami berhenti dekat pendopo. Hanya beberapa langkah dari tangga, sebuah tenda besar penuh logo sebuah vendor sepeda motor hadir. Rupa-rupanya sedang ada acara yang venue-nya memakan sebagian ruang di halaman masjid. Hening yang sejak tadi kami pelihara kini terasa jadi tak berarti lagi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melawat ke Masjid Agung Serang bareng “Wisata Sekolah” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/masjid-agung-serang/feed/ 0 14145
10 Hal yang Harus Kamu Perhatikan sebelum Berkunjung ke Baduy Dalam https://telusuri.id/tips-dan-trik-traveling-ke-baduy-dalam/ https://telusuri.id/tips-dan-trik-traveling-ke-baduy-dalam/#comments Sun, 25 Mar 2018 03:09:19 +0000 https://telusuri.id/?p=7545 Meskipun udah lama masuk dalam radar pejalan, Baduy Dalam sampai sekarang masih bikin penasaran. Kayaknya masih banyak banget pejalan yang pengen ke sana melihat kehidupan sehari-hari orang Baduy Dalam. Jalan ke Baduy Dalam gampang-gampang susah....

The post 10 Hal yang Harus Kamu Perhatikan sebelum Berkunjung ke Baduy Dalam appeared first on TelusuRI.

]]>
Meskipun udah lama masuk dalam radar pejalan, Baduy Dalam sampai sekarang masih bikin penasaran. Kayaknya masih banyak banget pejalan yang pengen ke sana melihat kehidupan sehari-hari orang Baduy Dalam. Jalan ke Baduy Dalam gampang-gampang susah. Tapi tenang aja, Ika Soewadji yang sudah beberapa kali ke Baduy bakal membagikan hal-hal yang mesti kamu perhatikan sebelum berkunjung ke Baduy Dalam.

1. Transportasi untuk berkunjung ke Baduy Dalam

Untuk ke sana kamu bisa naik Commuter Line Tanah Abang-Rangkasbitung, kemudian sambung dengan angkot merah ke Terminal Aweh (Rp 5.000/orang). Dari sana, naik elf ke Ciboleger (Rp 25.000/orang). Yang harus kamu perhatikan, angkutan terakhir Terminal Aweh-Ciboleger berangkat pukul 14.30 dan, sebaliknya, Ciboleger-Terminal Aweh pukul 13.00.

berkunjung ke baduy dalam

Foto bersama di Ciboleger/Ika Soewadji

2. Di Ciboleger belum ada ATM

Di Ciboleger, tempat kamu mulai trekking ke Baduy Dalam, belum ada ATM. Jadi, mending kamu persiapkan uang tunai dari rumah. Kalau nggak mau bawa duit banyak-banyak dari rumah, kamu juga bisa cari ATM di Rangkasbitung.

berkunjung ke baduy dalam

Seorang anak Baduy/Ika Soewadji

3. Biaya registrasi untuk berkunjung ke Baduy Dalam

Biaya registrasinya ternyata masih terjangkau banget, yakni Rp 5.000/orang.

berkunjung ke baduy dalam

Papan peraturan Desa Kanekes/Ika Soewadji

4. Persiapkan kondisi fisik

Ini harus benar-benar kamu perhatikan, sebab Baduy Dalam letaknya lumayan jauh dari lokasi registrasi. Juga, nggak ada kendaraan bermotor yang bakal mengantarkan kamu ke tujuan. Satu-satunya cara bagimu supaya tiba di sana adalah jalan kaki selama 5-6 jam. Buat antisipasi, persiapkan juga obat-obatan pribadi.

berkunjung ke baduy dalam

Jembatan bambu/Ika Soewadji

5. Persiapkan bahan makanan

Kamu tentu perlu makan. Karena orang Baduy hidup secara subsisten, kemungkinan di sana nggak ada warung. “Terus, gimana cara beli bahan makanan kalau nggak ada warung?” Makanya persiapkan logistik dari rumah—atau minimal dari Ciboleger. Kamu bisa bawa beras, ikan asin, telur, dan lain-lain.

berkunjung ke baduy dalam

Perempuan Baduy sedang menenun/Ika Soewadji

6. Jangan lupa bawa baju ganti

Karena kamu nggak cuma satu-dua jam saja berkunjung ke Baduy Dalam—dan kamu juga harus trekking dan keringetan—kamu perlu bawa baju ganti. Nggak bawa baju ganti, tentu saja aroma nggak sedap bakal menguar dan kamu bakal garuk-garuk karena gatal. Selain menzalimi diri sendiri, kamu juga bakal menganiaya orang lain!

berkunjung ke baduy dalam

Permukiman Baduy dari jauh/Ika Soewadji

7. Jangan lupa bawa senter atau alat penerangan “portable” lain

Kamu mungkin sudah kenal kondisi fisikmu sendiri. Tapi kamu nggak akan pernah tahu gimana keadaan orang lain. Jadi, kamu mesti siap-siap seandainya trekking bakal berlangsung lebih lama dari yang seharusnya—mungkin sampai malam. Jadi, kamu mesti mempersiapkan alat penerangan seperti senter atau alat penerangan portable lainnya.

berkunjung ke baduy dalam

Aliran sungai kecil melintasi permukiman Baduy/Ika Soewadji

8. Malam hari di Baduy Dalam dingin banget

Namanya permukiman di pengunungan (Pegunungan Kendeng), tentu saja malam hari di Baduy Dalam dingin sekali. Karena bakal terlalu berat kalau kamu bawa pemanas ruangan, sebaiknya kamu bawa jaket dan kantong tidur (sleeping bag) saja. Pastikan pas kamu berkunjung ke Baduy Dalam penghangat-penghangat itu selalu dalam keadaan kering.

berkunjung ke baduy dalam

Jalan menanjak di permukiman Baduy/Ika Soewadji

9. Hormati dan patuhi adat istiadat dan kearifan lokal setempat

Kalau yang ingin kamu rasakan dari berkunjung ke Baduy Dalam adalah keelokan budaya, pasti kamu akan senang hati menghormati dan mematuhi adat istiadat dan kearifan lokal setempat. Hal yang harus kamu perhatikan: nggak boleh motret di Baduy Dalam, nggak mandi menggunakan bahan-bahan kimia (sabun, sampo, odol), dan pelihara sopan santun.

berkunjung ke baduy dalam

Dua orang anak Baduy sedang bermain/Ika Soewadji

10. Jangan buang sampah sembarangan

Kayaknya ini nggak cuma berlaku kalau kamu berkunjung ke Baduy Dalam. Ke mana pun kamu pergi, jangan buang sampah sembarangan! Selain nggak bagus di mata, sampah juga bakal menghasilkan aroma yang kurang sedap.

Gimana? Udah siap berkunjung ke Baduy Dalam?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 10 Hal yang Harus Kamu Perhatikan sebelum Berkunjung ke Baduy Dalam appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tips-dan-trik-traveling-ke-baduy-dalam/feed/ 2 7545
Kembali ke Baduy Dalam https://telusuri.id/perjalanan-ke-cibeo-baduy-dalam/ https://telusuri.id/perjalanan-ke-cibeo-baduy-dalam/#respond Sat, 10 Mar 2018 03:43:28 +0000 https://telusuri.id/?p=7214 Rasanya saya takkan pernah lelah menyusuri setiap sudut pertiwi. Selalu ada senyum di mana pun saya singgah, selalu saja ada sambutan yang ramah, misalnya ketika saya bertualang ke Baduy Dalam bersama tiga orang kawan hari itu....

The post Kembali ke Baduy Dalam appeared first on TelusuRI.

]]>
Rasanya saya takkan pernah lelah menyusuri setiap sudut pertiwi. Selalu ada senyum di mana pun saya singgah, selalu saja ada sambutan yang ramah, misalnya ketika saya bertualang ke Baduy Dalam bersama tiga orang kawan hari itu.

Sekitar setengah tujuh pagi saya sudah tiba di stasiun, menunggu Rasyid di sekitar peron nomor 5 dan 6. Sementara dengan dua kawan lagi saya berjanji bertemu di Stasiun Rangkasbitung, dengan Rasyid, teman dari Kediri, saya akan berjumpa di Stasiun Tanah Abang.

Tentang kawan Rasyid, Kelas Inspirasi Magelang adalah ajang yang mempertemukan kami. Kebetulan kami satu rombongan belajar (rombel). Kami juga sempat ngobrol banyak, salah satunya tentang impian Rasyid untuk mengunjungi Baduy. Saya pun berjanji menemaninya.

baduy dalam

Anak-anak Baduy Luar/Ika Soewadji

Rasyid mengabarkan via WhatsApp bahwa ia juga sudah tiba di stasiun dan bergerak ke tempat saya. Pagi itu stasiun sesak. Maklum, saat orang sibuk berangkat kerja, saya dan Rasyid malah meninggalkan pekerjaan untuk liburan ke luar Jakarta.

Kereta berangkat. Perjalanan Jakarta-Rangkasbitung dengan Commuter Line berlangsung sekitar dua jam. Persawahan hijau menghampar sepanjang jalur kereta.

Setiba di Stasiun Rangkasbitung jam 10.20 kami segera keluar mencari sarapan. Saya punya langganan warung Sunda yang makanannya enak dan harganya terjangkau, tak jauh dari stasiun.

baduy dalam

Foto bersama di Ciboleger/Ika Soewadji

Selepas makan saya memberi kabar ke Umar dan Dewi, dua kawan yang semestinya menunggu kami di stasiun. Ternyata Umar kesiangan—otomatis telat. Akhirnya saya dan Rasyid duduk di depan minimarket sambil menunggu zuhur. Jam setengah dua Umar dan Dewi berkabar bahwa mereka sudah tiba. Saya dan Rasyid langsung bergegas menemui mereka.

Perjalanan menuju Baduy Dalam

Kawan-kawan sudah lengkap. Kami buru-buru naik angkot merah dari samping rel menuju Terminal Aweh, sebab elf Aweh-Ciboleger terakhir berangkat pukul 14.30.

Tepat jam dua kami tiba di terminal. Benar saja, itu elf terakhir. Kalau telat, sebenarnya masih ada ojek ke Ciboleger. Tapi pasti mahal. Karena isinya baru empat orang, elf itu masih ngetem selama beberapa waktu. Namun tak berapa lama elf itu berangkat walaupun hanya berisi delapan penumpang. Terminal Aweh-Ciboleger sekitar 2 jam. Jalurnya naik-turun, berliku, dengan pemandangan khas pedesaan.

Ayah Idong dan Rasyid/Ika Soewadji

Setiba di Ciboleger, kami disambut Ayah Idong dan Sarim yang sudah menunggu kami dari pagi di rumah Pak Agus. (Untungnya saya sudah mengabarkan ke Pak Agus kalau kami akan telat datang.)

Menunggu kawan-kawan salat asar, saya melengkapi kebutuhan logistik untuk 3 hari 2 malam di Baduy Dalam. Beres packing, kami berkumpul dan berdoa terlebih dahulu untuk kelancaran perjalanan.

Kami pun mengayunkan langkah pertama dari perjalanan panjang ke Cibeo yang menempuh jarak 9,2 kilometer itu (5-6 jam perjalanan). Logistik dan beberapa bahan makanan dibawakan oleh Ayah Idong dan Sarim, sisanya kami bawa dengan ransel masing-masing.

baduy luar

Danau berpagar pohon-pohon rumbia/Ika Soewadji

Kami mesti melewati Baduy Luar untuk registrasi dan melaporkan akan berapa lama tinggal di Baduy Dalam.

Saya jalan paling belakang sambil mengawasi tiga kawan di depan. Bagi Umar dan Rasyid, trekking seperti ini sudah jadi hal biasa. Namun tidak bagi Dewi. Gadis Belitung yang sedang menyelesaikan skripsi di salah satu perguruan tinggi negeri di Ciputat itu belum terbiasa. Dari belakang saya menyemangatinya dan, juga, membantu membawakan ranselnya.

Menginap di rumah Ayah Idong di ladang

Hari mulai gelap dan headlamp saya nyalakan. Hawa dingin mulai datang ditiup angin kencang. Saya sempat berhenti untuk memakai jaket. Akhirnya kami melewati jembatan bambu, tanda bahwa kami akan segera menempuh tanjakan terjal ke Baduy Dalam.

Saat beristirahat, saya diberi opsi oleh Ayah Idong: melanjutkan perjalanan ke rumah di Cibeo atau menginap di rumah ayah yang lain, yakni di ladang selepas tanjakan ini. Saya dan kawan-kawan memilih tidur di ladang, sebab saat itu sudah gelap, angin lumayan kencang, dan kami juga sudah lelah.

baduy dalam

Foto bersama di jembatan bambu/Ika Soewadji

Tanjakan yang bikin ngos-ngosan itu—yang herannya tak bikin kapok meskipun sudah tiga kali saya melewatinya—berakhir. Di langit, bintang bertaburan. Akhirnya kami tiba di rumah Ayah Idong. Ambu, istri Ayah Idong, menyambut kami dengan ramah. Sanan, anak mereka, sudah tidur.

Saya ikut membantu ambu di dapur untuk menyiapkan makan malam. Tiga kawan lain mengambil air untuk salat isya. Tak berapa lama makan malam terhidang. Kami makan bersama dengan menu nasi, sayur, dan telur dadar. Sederhana, namun nikmat.

Selepas makan kami bercengkerama dengan ayah dan keluarga sambil menyeruput teh hangat dan menyantap pisang yang sengaja dipanen kemarin. Saat malam makin larut, saya minta izin untuk istirahat, mengumpulkan tenaga untuk ke Cibeo keesokan harinya.

baduy dalam

Menenun kain dari bahan alami/Ika Soewadji

Kokok ayam membangunkan saya. Hari sudah pagi. Jam di ponsel menunjukkan pukul 4.30. Karena sudah subuh, saya membangunkan Rasyid dan kawan-kawan untuk ambil air.

Melanjutkan perjalanan ke Cibeo

Di dapur, ambu sudah menyalakan api untuk menanak nasi yang akan kami santap sebelum berangkat ke Cibeo. Kemudian, bersama dua anak ayah dan ambu yang lainnya, Darnita dan Pulung, kami bersama-sama menikmati sarapan.

Perlu waktu satu jam bagi kami untuk mencapai rumah ayah di Cibeo. (Itu pun termasuk mampir ke ladang kakek, mertua Ayah Idong, yang sedang panen nangka.) Tuhan menganugerahi Baduy Dalam berbagai kekayaan alam. Makanan, semuanya ada.

baduy dalam

Perempuan Baduy sedang menumbuk padi/Ika Soewadji

Setelah mencicipi nangka, kami pamit dan melanjutkan perjalanan ke Cibeo. Tak berapa lama kami tiba di rumah ayah, menyimpan ransel, kemudian mandi. Tempat mandi laki-laki dan perempuan dibedakan. Perempuan di atas—yang ada pancuran—sementara laki-laki di sungai.

Buat saya, sensasi mandi di Baduy Dalam amat berbeda. Kenapa saya bilang begitu? Karena mandi di sini tidak memakai sabun dan sampo. Sikat gigi pun diganti siwak.

Selepas mandi badan terasa segar. Usai bersih-bersih, kami menuju balai rakyat untuk bersilaturahmi dengan warga Baduy Dalam lainnya yang sedang membuat atap dan bermain angklung. Mereka sangat ramah. Sayang sekali saya tak ingat nama mereka satu per satu, kecuali Juli Amir, Pulung, dan beberapa orang lainnya.

Cibeo, Cikertawarna, dan Cikeusik

Beranjak sore, kami pamit pulang kepada warga Cibeo. Dalam perjalanan kembali ke rumah ayah, kami menjumpai banyak buah-buahan hutan. Ayah mengambil duren dan buah kupa, sementara saya memetik nanas yang tumbuh di jalur trekking (tentu saja seizin ayah). Buah-buahan itu akan kami jadikan bekal untuk perjalanan pulang esok hari.

Tiba di sana, saya menikmati senja sambil membuatkan Sarim dan Sanan kapal-kapalan. Kami juga sempat main kejar-kejaran. Bermain bersama kedua anak kecil ini saya jadi merasa bahwa kebahagiaan itu sesungguhnya sederhana. Suasana seperti itulah yang selalu saya rindukan dari Baduy.

baduy dalam

Bulir-bulir padi/Ika Soewadji

Malam terakhir di Baduy Dalam, kami berdiskusi dengan ayah tentang urang Kenekes, sebutan bagi orang Baduy Dalam. Urang Kanekes cenderung menggunakan pakaian berwarna putih polos—tapi ada juga yang memakai warna hitam—yang disebut dengan jamang sangsang, merujuk pada cara baju tersebut dipakai.

Baju jamang sangsang dikenakan dengan cara disangsangkan ke badan, tak ada kancing maupun saku. Semua dijahit tangan. Bahannya dari alam, yakni pintalan kapas asli yang diperoleh dari hutan. Sebagai bawahan, orang Baduy Dalam memakai sarung warna hitam atau biru tua yang dililit di pinggang. Pakaian Baduy juga dilengkapi dengan ikan kepala dari kain putih sebagai pembatas rambut, yang disebut telekung.

baduy dalam

Padi sedang dijemur/Ika Soewadji

Ada tiga kampung di Baduy Dalam yang masih berpegang teguh pada adat dan tradisi, yakni Cibeo, Cikertawarna, dan Cikeusik. (Tentu saja di ketiga kampung Baduy Dalam tersebut pelancong tak diizinkan memotret dan menggunakan bahan-bahan kimia.) Namun, tiga kali ke Baduy, saya selalu menginap di Cibeo.

Belajar soal kehidupan dari “urang Kanekes”

Masyarakat Baduy Dalam hidup berdampingan dengan alam, gemar jalan (tanpa alas) kaki. Makanya orang Baduy Dalam ramping-ramping. Mereka tidak mengenakan perhiasan emas. Rumah mereka pun sederhana. Orang Baduy Dalam minum dengan gelas bambu dan makan dengan daun pisang tanpa sendok. Sebagai tambahan, mereka juga tidak makan daging kambing.

baduy dalam

Rumah khas Baduy/Ika Soewadji

Kepala suku Baduy Dalam disebut pu’un. Tugasnya menentukan masa tanam dan panen, menerapkan hukum adat, dan mengobati mereka yang sakit. Di Baduy Dalam ada masa ketika mereka tak boleh dikunjungi, yakni “kawalu.” Saat kawalu orang Baduy Dalam berpuasa dan menjalankan ritual, berdoa pada Tuhan agar negara ini tenteram dan aman. Kawalu berlangsung selama tiga bulan.

Sistem pertanian urang Kanekes juga unik. Kebetulan sekali pas saya ke sana sedang musim tanam. Mereka tidak banyak mengubah ladang, semua dilakukan secara sederhana.

Urang Kanekes bermukim di sekitar Pegunungan Kendeng (300-600 mdpl) di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten. Mereka berkomunikasi dengan bahasa Sunda, percaya Nabi Adam, dan memeluk Sunda Wiwitan yang merupakan ajaran turun-temurun dari leluhur.

baduy dalam

Kawan seperjalanan ke Baduy Dalam/Ika Soewadji

Pagi pun tiba. Saya bangun, membantu ambu memasak sarapan pagi, nasi goreng dan telur ceplok. Selepas sarapan kami akan diantarkan kembali ke Ciboleger. Saya sempatkan mengajak ambu untuk ke jembatan bambu buat foto bersama.

Perjalanan pulang terasa istimewa. Kami diantar seluruh anggota keluarga Ayah Idong kecuali Pulung. Saya juga diberi ambu sawi dari ladang sebagai oleh-oleh untuk dimasak di rumah.

Jalan-jalan ke Baduy Dalam mengajarkan saya banyak hal tentang kejujuran dan kesederhanaan hidup, bagaimana menyatu dengan alam, serta kearifan lokal.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kembali ke Baduy Dalam appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-ke-cibeo-baduy-dalam/feed/ 0 7214