bantul Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bantul/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 17 Mar 2025 10:49:02 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 bantul Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bantul/ 32 32 135956295 Demi Sebungkus Bubur Gudeg Mbah Reso https://telusuri.id/demi-sebungkus-bubur-gudeg-mbah-reso/ https://telusuri.id/demi-sebungkus-bubur-gudeg-mbah-reso/#respond Wed, 17 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42356 Sejujurnya saya agak malas kalau disuruh mengantre bubur krecek untuk sarapan orang rumah. Alasannya sederhana, saya jarang mendapati sayur krecek yang enak versi lidah saya. Sebagian besar bubur krecek yang pernah saya cicipi rasanya cenderung...

The post Demi Sebungkus Bubur Gudeg Mbah Reso appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejujurnya saya agak malas kalau disuruh mengantre bubur krecek untuk sarapan orang rumah. Alasannya sederhana, saya jarang mendapati sayur krecek yang enak versi lidah saya. Sebagian besar bubur krecek yang pernah saya cicipi rasanya cenderung hambar. Plus kuahnya terbilang agak encer.

Apalagi kalau ketambahan bungkus yang digunakan untuk mengemas bubur tidak diberi tambahan daun pisang yang agak layu. Lha wong diberi tambahan pelapis daun pisang saja kuah kreceknya bisa tembus sampai ke kertas makan, kok. Terlebih jika buburnya cuma dibungkus dengan kertas minyak  berwarna cokelat itu. Selain bubur akan langsung terkena lapisan plastik pada bungkus, bisa-bisa rembesan kuah kreceknya jadi lebih banyak. Kalau sudah begini, sesampainya di rumah, ada kemungkinan kuah sayur kreceknya bisa menyusut sampai habis. 

Meski terkesan sepele, tetapi hal-hal yang demikian membuat saya cukup malas untuk membeli bubur krecek sebagai menu sarapan. Apalagi kalau orang rumah maunya bubur yang masih panas. Mau makan di tempat, kok, kasihan sama simbah yang sudah pakai alat bantu jalan. Mau dibawa pulang harus sabar dengan antrean yang selalu mengular. Karena sering merasa sayang akan kuah krecek yang kerap merembes, biasanya saya membawa rantang empat tingkat.

Selain mengurangi produksi sampah harian, minimal kuah kreceknya tidak ada yang bocor. Namun, karena saya bisanya bawa sepeda motor, jadinya kalau beli bubur dengan rantang harus dibantu ibu. Sayangnya, ketidaksukaan saya untuk mengantre bubur terbentur pada kondisi nenek dan ibu yang kini tengah sakit. Jadi, perkara beli bubur untuk sarapan harus saya lakukan sendiri. dan belinya harus yang agak jauh dari rumah.

Mengapa demikian? Soalnya ibu dan nenek saya lebih menyukai bubur buatan Mbah Reso. Lebih tepatnya, ibu hanya berselera makan kalau buburnya didapat dari warung yang beralamatkan di di Jalan Bantul Km. 7,5, Sewon, Bantul, Yogyakarta itu. Mbah Reso sendiri merupakan nama pemilik kedai gudeg dengan menu andalan berupa bubur dan mangut lele tersebut.

  • Demi Sebungkus Bubur Gudeg Mbah Reso
  • Demi Sebungkus Bubur Gudeg Mbah Reso

Gudeg Mbah Reso, Andalan Warga Bantul

Ada yang penasaran kenapa namanya Gudeg Mbah Reso, tetapi menu utamanya malah bubur dan mangut lele? Nah, di sinilah letak keunikannya. Ternyata bubur buatan Mbah Reso ini menyediakan gudeg basah sebagai salah satu tambahan menu pendampingnya. Jadi, dalam seporsi bubur di kedai ini, selain diberi sayur krecek juga bisa minta tambahan gudeg basah. 

Awalnya saya merasa sedikit aneh, kok, bisa-bisanya bubur dikasih tambahan gudeg. “Apa enggak enek?” gumam saya ke ibu suatu pagi. Ternyata setelah dicoba, ya, enak-enak saja. Rasanya jadi seimbang antara gurihnya bubur, asin pedasnya sayur krecek, dan manisnya gudeg krecek. Selain tipikal bubur yang kental dan gurih, cita rasa sayur krecek di sini memang enak. Cocok buat pencinta cita rasa asin dan pedas yang agak kuat.

Menariknya lagi, seporsi bubur di sini hanya dibanderol dengan harga Rp5.000 saja. Memang agak mahal kalau dibandingkan bubur krecek di dekat rumah, yang seporsinya bisa dibawa pulang dengan tiga lembar uang seribuan saja. Akan tetapi, kalau sudah membandingkan rasanya, niscaya selisih dua ribu tak lagi jadi pertimbangan untuk memilih bubur yang terletak di kawasan Monggang ini.

Setelah beberapa kali mencicipi bubur kreceknya, ternyata perut saya lebih memilih untuk sarapan dengan nasi. Kalau cuma sarapan bubur, selang dua atau tiga jam ternyata rasa lapar sudah kembali mendera. Alhasil sebelum jam makan siang saya harus kembali memasak. Karena rasa malas kadang datang secara tiba-tiba, itulah sebabnya saat kembali ke Mbah Reso saya lebih memilih untuk membawa pulang sekalian mangut lelenya.

Sejak pertama kali berkenalan, mangut lele Mbah Reso menjadi favorit saya. Kalau teman-teman penggemar mangut lele pedas, kemungkinan besar akan cocok dengan mangut lele dari warung yang bangunannya bercat putih tersebut. Bumbu lele yang medok dan meresap, ditambah aroma smokey yang menguar pada lele membuat mangut buatan Mbah Reso terasa begitu nglawuhi. Bahkan, sisa kuahnya saja terasa enak. Tapi memang, cocoknya buat “teman” makan besar. Kalau hanya sekadar digado rasanya masih keasinan.

Menu Pelengkap Lainnya yang Harus Dicoba

Selain bubur krecek dan mangut lele, saya juga suka beli tambahan sayur untuk pelengkap bubur krecek. Biasanya saya memesan sayur krecek, gudeg basah, mi goreng, gorengan, dan kudapan baceman, seperti tahu bacem dan koro bacem. Kalau ibu saya lebih suka menyantap bubur dengan tambahan mi goreng, sedangkan bapak saya senang dengan tambahan gudeg dan baceman koronya.  

Sementara saya pribadi lebih menyukai tambahan kuah dan tahu plempung (tahu pong) yang terdapat dalam sayur kreceknya. Menyantap bubur hangat dengan kuah pedas menjadi kombinasi enak versi lidah saya. Apalagi kalau makannya ditambah dengan mendoan, maka bubur krecek akan jadi sarapan yang paripurna. Namun,kalau disuruh memilih, ya, saya tetap tim sarapan pakai nasi. 

Kalau teman-teman penasaran dengan bubur Mbah Reso, saran saya jangan datang lebih dari pukul tujuh pagi. Soalnya waktu segitu biasanya buburnya sudah habis. Saya pribadi kalau dapat titah untuk antre bubur, pukul 06.00 kurang sudah keluar dari rumah. Minimal biar masih kebagian semua incaran olahan tangan Mbah Reso. 

Oh, ya. Warung Gudeg Mbah Reso juga menyediakan tempat untuk ngiras, loh. Sebutan untuk langsung makan di sana. Bagaimana, ada yang tertarik mencicipinya juga?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Demi Sebungkus Bubur Gudeg Mbah Reso appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/demi-sebungkus-bubur-gudeg-mbah-reso/feed/ 0 42356
Melihat Potensi Minyak Kelapa dan Blondo dari Bantul https://telusuri.id/melihat-potensi-minyak-kelapa-dan-blondo-dari-bantul/ https://telusuri.id/melihat-potensi-minyak-kelapa-dan-blondo-dari-bantul/#respond Mon, 01 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42260 Ada pemandangan tak biasa yang saya dapati sewaktu mengantar ibu membeli camilan di warung tetangga. Pasalnya di samping warung tersebut berserakan kulit kelapa, lengkap dengan tumpukan daging kelapa tua yang ditempatkan dalam baskom berukuran cukup...

The post Melihat Potensi Minyak Kelapa dan Blondo dari Bantul appeared first on TelusuRI.

]]>
Ada pemandangan tak biasa yang saya dapati sewaktu mengantar ibu membeli camilan di warung tetangga. Pasalnya di samping warung tersebut berserakan kulit kelapa, lengkap dengan tumpukan daging kelapa tua yang ditempatkan dalam baskom berukuran cukup besar. Saya juga sempat melihat beberapa buah kentos yang satu di antaranya berukuran lebih dua kepalan tangan. 

Kentos merupakan sebutan untuk cikal bakal tunas kelapa. Kentos kadang ditemukan dalam daging kelapa yang sudah tua. Namun, tidak semua kelapa tua selalu ada kentosnya. Biasanya kelapa yang memiliki kentos adalah kelapa yang sudah tua, tetapi tidak langsung digunakan untuk memasak. Sayangnya, kelapa yang sudah keluar kentosnya itu daging buahnya akan menyusut sehingga tidak akan setebal kelapa yang belum ada kentosnya. 

Dulu, sewaktu saya masih kecil, saya sempat beberapa kali mencicipi bagian kelapa berwarna kuning gading ini. Tekstur yang empuk ditambah cita rasa yang manis membuat saya jarang menolak saat ditawari kentos oleh orang rumah. Maklum, masa muda ibu saya sempat diwarnai dengan kegiatan membuat minyak goreng sendiri. Kegiatan ini masih berlanjut hingga saya duduk di bangku sekolah dasar. 

Produksi Minyak Kelapa di Rumah Warga

Di era 90-an, saya masih menemui banyak pohon kelapa di sekitar rumah. Biasanya di setiap kebun milik warga itu ada pohon kelapanya barang satu atau dua pohon, tidak terkecuali di kebun simbah saya. Kalau sekarang paling hanya menemukan satu dua pohon saja yang biasa ditanam di tepian jalan. Beda dengan pemandangan di area Bantul yang agak selatan, di mana pohon kelapa masih banyak menjadi “peliharaan” warga.

Dulu sekali panen, simbah saya bisa mengangkut kelapa hingga dua kol. Meski sekali panen jumlahnya nggak banyak-banyak amat, selain untuk masak dan dijual di warung tetangga, kadang simbah menyisihkan sebagian hasil panen untuk dibuat minyak kelapa. Permintaan air kelapa muda waktu itu belum semasif sekarang. Jadinya, sebagian besar kelapa memang dipanen saat sudah tua. 

Karena itulah saat melihat daging kelapa yang cukup banyak tadi, saya langsung berpikir, jangan-jangan mau dibuat jadi minyak kelapa. Sebab sampai sekarang kawasan Bantul masih dikenal sebagai salah satu sentra penghasil minyak kelapa. Ditambah lagi sebelah warung yang dituju ibu saya tadi juga menyediakan stok minyak literan yang ditempatkan di etalase kayu.

Melihat Potensi Minyak Kelapa dan Blondo dari Bantul
Proses pencungkilan daging kelapa/Retno Septyorini

Bedanya, warung yang menjual minyak menyediakan sayur dan buah-buahan segar, sementara satunya menyediakan aneka jajanan tradisional. Warung minyak tadi milik seorang simbah yang saya lupa namanya, sedangkan warung sebelahnya milik sang menantu.

Jujur saja, deretan botol minyak goreng tersebut cukup menarik perhatian saya. Pasalnya saya juga sempat melihat pemandangan ibu penjaga warung camilan yang sedang menimbang blondo. Blondo merupakan sebutan untuk ampas bercita rasa legit yang merupakan ampas dari proses pembuatan minyak kelapa. Blondo yang tanak itu warnanya cokelat. Karena itulah ada istilah blondo cokelat dan blondo putih. 

Kalau teman-teman masih bingung tentang asal usul blondo, mungkin bisa memakai analogi seperti ini. Mudahnya, produk akhir santan yang diolah menjadi minyak itu ada dua. Ampasnya yang mengambang itu namanya blondo, dan sisanya adalah minyak kelapa. Hasil sampingan pada pembuatan minyak kelapa inilah yang nantinya diolah menjadi areh pada gudeg.

Butuh Kesabaran Ekstra

Tebakan saya ternyata benar. Ibu yang tadi tengah memecah buah kelapa bercerita bahwa daging kelapa tua tersebut memang akan diolah menjadi minyak kelapa. Ia membantu simbah pemilik warung untuk membuat minyak kelapa. Hanya saja minyak buatan simbah dikemas dengan botol bekas minyak kelapa sawit pabrikan.

Karena penasaran, saya pun bertanya pada ibu terkait pembuatan minyak kelapa. Secara garis besar, pertama kelapa harus diparut untuk dibuat menjadi santan kental. Selanjutnya santan ini dipanaskan dalam kurun waktu tertentu sampai mengeluarkan minyak. 

Melihat Potensi Minyak Kelapa dan Blondo dari Bantul
Perbedaan warna minyak kelapa sawit (kiri) dan minyak kelapa/Retno Septyorini

Lantas apa perbedaan minyak kelapa dengan minyak kelapa sawit? Kalau dilihat secara fisik, jika dibandingkan dengan minyak kelapa sawit, warna minyak kelapa cenderung lebih bening. Kalau minyak sawit berwarna lebih kekuningan. Meski demikian, dalam satu kali produksi, warna minyak kelapa juga tidak selalu sama. Biasanya tergantung pada suhu saat memasak santannya. Kalau masih pakai tungku berbahan dasar kayu, besar apinya bisa berbeda-beda. Karena itulah dalam satu kali pembuatan minyak, beda wajan bisa beda warna minyak.

Selain warna, aroma minyak kelapa dan minyak kelapa sawit juga berbeda. Pada minyak kelapa, aroma kelapanya terasa cukup kuat, sedangkan aroma pada minyak kelapa sawit cenderung netral.

Sebab minyak kelapa menghasilkan ampas berupa blondo, kadang blondo ini masih bisa terbawa meski minyak kelapa sudah melalui beberapa tahap penyaringan. Terkadang di dasar kemasan minyak kelapa terdapat endapan atau gumpalan berwarna cokelat. Beberapa kali beli minyak kelapa produksi simbah juga mendapati hal demikian. Namun, bagi saya pribadi tidak masalah karena tidak mengubah rasa minyak. 

  • Melihat Potensi Minyak Kelapa dan Blondo dari Bantul
  • Melihat Potensi Minyak Kelapa dan Blondo dari Bantul

Kembali Memasak dengan Minyak Kelapa

Di pasaran, harga minyak kelapa memang lebih mahal harga minyak kelapa sawit. Satu liter minyak kelapa biasanya masih berada di kisaran 30 ribuan rupiah, sedangkan seliter minyak kelapa sawit berkisar sepuluh ribu lebih murah. Kalau harga sedang turun, kadang malah bisa dapat di kisaran Rp19.000. Meski demikian, saya lebih suka memasak dengan minyak kelapa. Aroma yang keluar saat minyak kelapa mulai dipanaskan membuat saya lebih semangat untuk memasak.

Di lidah saya, hasil menggoreng dengan minyak kelapa juga terasa lebih gurih. Ibarat kata, pagi-pagi bikin telur dadar saja sudah bisa memperbaiki mood saya. Karena tidak hobi menggoreng makanan, biasanya satu liter minyak kelapa di rumah baru habis setelah satu bulan pemakaian. Paling banter cuma buat masak telur, ikan, atau sekedar menumis sayuran.

Kalaupun dipakai untuk menggoreng makanan, biasanya saya usahakan untuk tidak menyisakan terlalu banyak minyak. Sisa minyak yang ada biasanya saya gunakan untuk menumis sayur. Jadi, belum pernah ada cerita minyak kelapa di rumah sudah tengik sebelum digunakan.

Bagaimana dengan teman-teman, lebih suka memasak dengan minyak kelapa atau minyak kelapa sawit?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat Potensi Minyak Kelapa dan Blondo dari Bantul appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-potensi-minyak-kelapa-dan-blondo-dari-bantul/feed/ 0 42260
Sego Manten, Nostalgia Menu Resepsi Pernikahan Era 1990-an https://telusuri.id/sego-manten-nostalgia-menu-resepsi-pernikahan-era-1990-an/ https://telusuri.id/sego-manten-nostalgia-menu-resepsi-pernikahan-era-1990-an/#respond Mon, 17 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42163 Saya bukan tipikal orang yang datang ke tempat makan hanya karena viral di media sosial. Namun, tempat makan yang satu ini terasa berbeda. Pasalnya saat saya melihat kiriman di akun teman yang makan di kedai...

The post Sego Manten, Nostalgia Menu Resepsi Pernikahan Era 1990-an appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya bukan tipikal orang yang datang ke tempat makan hanya karena viral di media sosial. Namun, tempat makan yang satu ini terasa berbeda. Pasalnya saat saya melihat kiriman di akun teman yang makan di kedai ini, entah mengapa langsung timbul perasaan untuk ikutan mencicipi. Mungkin karena waktu itu saya sedang tinggal sendiri. Waktu melihat tempat makan yang mengusung suasana makan layaknya di rumah, saya merasa tergugah untuk segera singgah. 

Sempat beberapa pekan tinggal berjauhan dengan ibu membuat saya rindu masakan beliau. Kebetulan, Kedai Rukun—tempat yang saya tuju—ternyata juga menyediakan menu ramesan. 

“Wah, cocok!” batin saya dalam hati usai melihat akun media sosial tempat makan yang beralamatkan di Gang Darussalam, Kadipiro, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul tersebut. Sebuah tempat makan yang berlokasi di rumah seorang warga Kadipiro. Makanya dikenal pula dengan sebutan Kedai Rukun Kadipiro.

Saat menemukan akun Instagramnya (@kedairukun), saya agak kaget melihat sebuah menu yang ditulis pada papan berwarna putih tersebut. Hah, ada sego manten? Jadilah rencana mencicipi ramesan otomatis berganti usai menemukan menu lawas yang satu ini.

Sego Manten Kedai Rukun, Nostalgia Menu Resepsi Pernikahan Era 1990-an
Menu makanan dan minuman ditulis di papan tulis/Retno Septyorini

Keunikan Sego Manten

Sesuai namanya, sego manten merupakan menu utama yang disajikan di acara resepsi pernikahan gaya Jogja di era 1980 hingga 1990-an. Dulu kebanyakan resepsi pernikahan di kampung-kampung itu dilakukan dengan sistem piring terbang, bukan dengan model prasmanan seperti sekarang.

Dengan sistem piring terbang, semua menu dalam acara resepsi disajikan secara bergantian. Mulai dari kudapan dan segelas teh sebagai menu pembuka, lalu dilanjutkan sego manten sebagai menu utamanya. Bisa dibilang sego manten adalah gong pemuncak sajian makanan di acara pernikahan. Senang rasanya menemukan menu lawas tersebut di Kedai Rukun. Semacam jadi pengobat rindu pada kenangan saat diajak orang tua menghadiri acara resepsi pernikahan tahun 1990-an silam. 

Dalam bahasa Jawa, sego berarti nasi, sedangkan manten berarti pengantin. Dalam sepaket sego manten biasanya berisi nasi dengan lauk pauk yang ditata melingkar, terdiri dari kreni yang disajikan bersama kacang kapri utuh, semur telur, acar, dan kerupuk. Bedanya, di papan menu terdapat tambahan berupa sup rolade. 

Saat mengonfirmasikan ke ibu saya, sego manten yang sering beliau temui dulu tidak disajikan dengan sup. Saya sendiri lupa-lupa ingat. Namun, sependek memori saya, saat menghadiri pernikahan teman di Solo dan Sragen, sepertinya ada menu sup sebagai pelengkap sego manten tersebut. Pikir saya mungkin tergantung adat dan anggaran pernikahan. Dengan atau tanpa sup, saya tetap senang menemukan menu lawas yang lokasinya terbilang dekat dengan rumah. 

  • Sego Manten Kedai Rukun, Nostalgia Menu Resepsi Pernikahan Era 1990-an
  • Sego Manten Kedai Rukun, Nostalgia Menu Resepsi Pernikahan Era 1990-an

Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Persis jam makan siang, menu yang saya idam-idamkan sudah tersaji di atas meja. Saya senyum-senyum sendiri melihat nasi yang dicetak menyerupai bunga lengkap dengan beragam lauk yang ditata melingkar tersebut. Selain penyajiannya sama persis dengan sego manten yang pernah saya temui sewaktu kecil, semur telur di menu ini tidak hanya setengah, tapi disajikan utuh. Bedanya hanya dibelah dua saja.

Di lidah saya, semua lauknya terasa enak. Tekstur kreni ayam yang empuk, gurih pedasnya juga pas. Tidak berlebihan. Menu ini semakin terasa enak tatkala dinikmati dengan segarnya acar yang berisi timun, nanas, serta bawang merah dan cabai hijau. Nilai plus lainnya, semangkuk sup rolade pendamping menu dihidangkan dalam kondisi panas. Nuansa yang saya dapat persis seperti saat di kondangan manten zaman dulu. Bedanya kita cukup mengeluarkan uang sebesar Rp25.000 saja.

Bagi saya pribadi, sepaket menu sego manten yang dijual Kedai Rukun terbilang mengenyangkan. Pasalnya sup rolade juga disajikan dalam porsi yang cukup besar. Semacam menyantap dua menu dalam satu harga. Siang itu saya juga memesan es tape ketan hijau seharga Rp6.000. Catatan saya cuma satu: es tapenya agak kemanisan. Jadi, saya sempat minta tambahan es batu. Bagi yang kurang menyukai minuman manis bisa diakali dengan meminta gulanya setengah porsi saja. 

Variasi Menu Lainnya di Kedai Rukun

Menu di Kedai Rukun juga tidak monoton alias akan diganti-ganti setiap hari, seperti brongkos komplet, harang asem, ayam gepuk, bakmoy ayam hingga manut lele. Iya, namanya “manut lele” dan “harang asem”. Penamaan menu di sana memang begitu. 

Khusus sego manten yang saya ceritakan tadi hanya tersedia setiap hari Minggu saja. Selain sego manten dan sup rolade, menu favorit saya lainnya di sini adalah cumi cabe ijo. Bakmoy ayamnya juga enak. Rasanya yang ringan bisa jadi salah satu comfort food yang nikmat disantap kapan saja. 

Menariknya lagi, semua menu paket di sini sudah termasuk dengan seporsi nasi, yang penyajiannya bisa minta dipisah ataupun dicampur. Selain itu ada pula menu tambahan berupa ragam sayur dan oseng-oseng. Ada pula gorengan dan berbagai jajanan jadul, antara lain aneka kerupuk, ciki-cikian, wafer, wingko, dan yangko. Beberapa kali ke sini saya juga menemukan tape hijau yang dikemas dalam kotak plastik. 

Pilihan minuman di Kedai Rukun terbilang variatif. Tidak hanya air mineral saja, ada juga teh, jeruk, tape biasa, tape susu, aneka minuman kemasan lainnya hingga kombucha. Tinggal pilih sesuai selera. Kelebihan lainnya, bayarnya bisa nontunai atau QRIS. Tinggal beberapa kali klik dan beres. Oh, ya. Satu lagi. Kedai yang buka dari pukul 13.00 hingga 21.00 ini tidak menyediakan parkir mobil. Hanya ada parkir sepeda motor dan sepeda. 

Gimana, ada yang tertarik singgah di sini juga?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sego Manten, Nostalgia Menu Resepsi Pernikahan Era 1990-an appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sego-manten-nostalgia-menu-resepsi-pernikahan-era-1990-an/feed/ 0 42163
Sarapan Gatot dari Warung Bu Darmi Bantul https://telusuri.id/sarapan-gatot-dari-warung-bu-darmi-bantul/ https://telusuri.id/sarapan-gatot-dari-warung-bu-darmi-bantul/#respond Wed, 14 Jun 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38953 Suatu pagi, ibu saya membawa pulang beberapa bungkus makanan dari Warung Bu Darmi. Setelah saya lihat, ternyata isinya berbeda-beda. Ada yang berisi gatot, tiwul, dan tentu saja getuk. Sebagai anak yang kurang suka makanan bercita...

The post Sarapan Gatot dari Warung Bu Darmi Bantul appeared first on TelusuRI.

]]>
Suatu pagi, ibu saya membawa pulang beberapa bungkus makanan dari Warung Bu Darmi. Setelah saya lihat, ternyata isinya berbeda-beda. Ada yang berisi gatot, tiwul, dan tentu saja getuk.

Sebagai anak yang kurang suka makanan bercita rasa manis saja, saya memilih gatot sebagai santapan. Kudapan satu ini terbuat dari fermentasi singkong yang diolah sedemikian rupa, sehingga menghasilkan cita rasa legit dan samar-samar asam. Setidaknya itu yang terasa di lidah saya.

Sarapan Gatot dari Warung Bu Darmi Bantul
Dagangan makanan tradisional di Warung Bu Darmi/Retno Septyorini

Gatot, Kuliner Menul-menul dari Fermentasi Singkong

Gatot merupakan kuliner tradisional yang dulunya banyak orang jumpai di berbagai pasar tradisional maupun kedai yang khusus menjual tiwul. Kawasan Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di Yogyakarta yang terkenal sebagai penghasil singkong dengan kualitas bagus. Namun, seiring dengan perkembangan infrastruktur, kini gatot hadir di berbagai sudut Yogyakarta. Termasuk di sekitar tempat tinggal saya, Bantul.

Beberapa waktu lalu, saat berkendara di sisi selatan Bantul, tak sengaja saya melihat gaplek—sebutan untuk irisan singkong yang menjadi bahan baku pembuatan gatot—yang dijemur di pinggir jalan raya. Jangan kaget jika rupa gaplek tidak seindah bahan makanan pada umumnya.

Membuat gaplek relatif mudah, yakni dengan menjemur dan “menghujan-hujankan” singkong dalam kurun waktu tertentu hingga berjamur. Tenang, jamur pada gaplek ini tidak beracun, kok. Justru jamur-jamur inilah yang mengurai kandungan gizi singkong sekaligus menciptakan rasa asam yang enak pada gatot.

Yang saya tahu proses pembuatan gatot lebih rumit, karena perlu merendam gaplek selama beberapa hari sebelum meniriskan dan mengukusnya. Setelah matang, barulah mencampurnya dengan juruh—gula jawa yang yang telah dipanaskan hingga cair dan mengental. Karenanya, salah satu cara paling praktis mencicipi gatot adalah dengan membelinya di kedai atau pasar tradisional.

Sarapan Gatot dari Warung Bu Darmi Bantul
Tiwul gurih dan manis buatan Bu Darmi yang siap dijual/Retno Septyorini

Warung Gatot Bu Darmi: Alternatif Sarapan dan Teman Ngopi

Kalau sedang tidak ingin sarapan nasi, sesekali saya menggantinya dengan gatot. Warung Bu Darmi yang berada di Jonggrangan, Babadan, Bantul menjadi salah satu warung langganan saya untuk mencicipi hidangan satu ini. Warung ini buka setiap hari mulai pukul 06.30 WIB. Agak siang sedikit, antrean pembeli mengular. Jadi, pastikan datang lebih pagi jika tak mau menunggu lama.

Karena belum ada titiknya di Google Maps, salah satu cara termudah menuju ke sini dengan melewati Jalan Bantul. Kalau dari arah utara, tepat di perempatan rambu-rambu lalu lintas Lapangan Paseban belok ke kanan (barat). Selanjutnya hanya perlu mengikuti jalan sepanjang kira-kira satu kilometer, sampai bertemu dengan Warung Bu Darmi di sisi kiri (selatan) jalan. Tidak terdapat spanduk atau plang nama warung sebagai penanda.

Dari sekian menu, gatot-lah yang menjadi favorit saya di sini. Rasa manisnya pas. Tidak mendominasi. Rasa asam khas olahan fermentasi juga terasa meski tidak terlalu kuat. Namun, justru ini yang membuat saya begitu menyukainya. Perpaduan rasa yang pas.

Selain gatot, Warung Bu Darmi juga menyediakan tiwul. Ia menangkap dengan baik terhadap kesadaran akan beragamnya selera konsumen. Di sini, Bu Darmi menyediakan dua versi tiwul. Pertama, tiwul gurih—jenis tiwul rendah gula yang jarang saya temui di berbagai kedai tiwul pada umumnya. Pasalnya tiwul yang banyak dijual di luaran sana memang tiwul manis yang legit. Dan yang kedua, tentu saja tiwul manis yang juga menjadi favorit saya. Manisnya pas, cocok bersanding dengan kopi pahit saat santap pagi. 

Sebenarnya, ada pula tiwul yang dimasak tanpa tambahan gula sama sekali karena digunakan sebagai pengganti nasi. Orang menyebutnya dengan nama sego (nasi) tiwul. Umumnya kudapan satu ini dijual sepaket dengan lauknya, yakni rebusan sayur, ikan asin, sambal, dan kerupuk. Sayang, Bu Darmi tidak menjualnya.

Bagi saya pribadi, inovasi-inovasi kecil semacam ini menawarkan daya tarik tersendiri. Terlebih rasa manis memang mendominasi jajanan tradisional di Yogyakarta. Sebuah fenomena menarik dan berkaitan erat dengan catatan sejarah Yogyakarta, yang dulunya memiliki belasan pabrik gula.

Olahan singkong Bu Darmi juga cocok untuk bekal camilan usai joging di Lapangan Paseban. Ketika berolahraga di sana, saya biasanya hanya membawa bekal air putih. Sisanya, serahkan pada Warung Bu Darmi.

  • Sarapan Gatot dari Warung Bu Darmi Bantul
  • Sarapan Gatot dari Warung Bu Darmi Bantul

Kualitas Jadi Kunci Eksistensi Kuliner Tradisional

Suatu pagi, saya pernah menemukan bungkusan gatot yang ternyata ibu membelinya kemarin. Waktu saya cicipi ternyata masih enak, sehingga saya habiskan. Karena penasaran, saat kembali menyambangi Warung Bu Darmi. Saya menanyakan perihal awetnya gatot yang beliau buat.

“Singkongnya sengaja saya pilih yang dari Gunungkidul, Mbak. Kualitas singkong dari sana memang terkenal bagus,” ujarnya memulai cerita.

Saya mengangguk tanda setuju. Pasalnya saya pernah membuktikannya sendiri, kalau singkong dari kebun di kawasan sana rasanya lebih enak. Saya juga pernah bertemu juragan tiwul di Sleman menyatakan hal senada. Bahan bakunya juga berasal dari Gunungkidul.

“Saya ada langganan penjual singkong di Pasar Imogiri yang khusus nyetori singkong. Selebihnya saya ‘kan masaknya masih pakai tungku, sehingga hasilnya jadi lebih tanak. Juruh-nya pun saya masak dulu sampai tanak. Saya juga menggunakan parutan kelapa yang matang. Karena itulah olahan singkong buatan saya ini bisa tahan sampai dua hari. Beli hari ini bisa tahan sampai besok sore,” imbuhnya.

Bu Darmin menambahkan bahwa ada satu kendala dalam usahanya. “Ada kalanya bahan bakunya kosong. Kalau sedang begini, otomatis saya libur jualan.”

Pengalaman selama 20 tahun sebagai pelestari kuliner tradisional berbahan singkong tidak disia-siakan ibu paruh baya ini. Beliau sadar betul bahwa hanya dengan kualitaslah dagangannya mampu bertahan, khususnya di tengah gempuran jajanan kekinian yang banyak viral di media sosial.

Usai berbincang, saya pulang dengan membawa gatot yang harga seporsinya hanya Rp2.500. Pun, sebagai pembeli, kita bisa mencampur isi dalam satu bungkus jajanan ini. Tinggal pilih antara gatot, tiwul, atau getuk.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sarapan Gatot dari Warung Bu Darmi Bantul appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sarapan-gatot-dari-warung-bu-darmi-bantul/feed/ 0 38953
Rupa-rupa yang Gentar dan Gemetar https://telusuri.id/pameran-rupa-rupa-yang-gentar-dan-gemetar/ https://telusuri.id/pameran-rupa-rupa-yang-gentar-dan-gemetar/#respond Mon, 21 Jan 2019 15:15:50 +0000 https://telusuri.id/?p=11442 April lalu Djaduk Ferianto hadir di Rumah Banjarsari Solo dalam diskusi berkenaan proses kreatif Bagong Kussudiardja, khususnya menyoal seni tari. Itulah mula perkenalan saya dengan sosok Bagong. Perkenalan terlambat yang saya nikmati, seperti halnya perkenalan-perkenalan...

The post Rupa-rupa yang Gentar dan Gemetar appeared first on TelusuRI.

]]>
April lalu Djaduk Ferianto hadir di Rumah Banjarsari Solo dalam diskusi berkenaan proses kreatif Bagong Kussudiardja, khususnya menyoal seni tari. Itulah mula perkenalan saya dengan sosok Bagong. Perkenalan terlambat yang saya nikmati, seperti halnya perkenalan-perkenalan lain dengan “orang-orang besar” yang baru terjadi seusai mereka tutup usia.

Kendati tidak bisa bertemu untuk menuai kuncup-kuncup pengetahuan langsung darinya, informasi tentang sosok dan karya Bagong terdokumentasi dengan sangat baik. Ini tampak ketika saya menghadiri pameran arsip bertajuk Ruang Waktu Bagong Kussudiardja. Pameran berlangsung pada 29 September-3 November 2018 di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK), Bantul, Yogyakarta.

Pameran arsip itu menjadi demikian penting untuk mengetahui dan, lebih jauh lagi, mempelajari kesungguhan Bagong dalam berkesenian. Salah satu sumber primer pameran arsip itu adalah arsip pribadi Bagong. Artinya, Bagong memiliki kesadaran akan perlunya kegiatan mengarsip. Ia mencoba mendisiplinkan dirinya untuk melakukan kerja pengarsipan berkenaan dengan karya-karyanya, mulai dari surat-surat kerjasama, surat keputusan, surat undangan, foto-foto perjalanan atau peristiwa kesenian, foto pertemuannya dengan para tokoh dunia, catatan seminar, pola lantai karya koreografinya, dan sejumlah artikel/naskah untuk pertunjukan, untuk media cetak, maupun untuk buku.

Mengutip Suwarno Wisetrotomo, kurator pameran arsip Ruang Waktu Bagong Kussudiarja, bentangan arsip itu menunjukkan posisi Bagong dalam situasi: dilihat-melihat, dibaca-membaca, ditulis-menulis, dan difoto/direkam-memfoto/merekam.

Sosok Bagong yang dikenal sebagai seniman lintas skena itu kiranya mewujud dalam konsep PSBK. Kita melihat PSBK sebagai ruang berkesenian yang luwes merespon berbagai jenis kesenian—tari, musik, teater, rupa. Dus, perwajahan PSBK kini jelas tak bisa lepas dari semangat Bagong mengimani kesenian sebagai pilihan yang diupayakan dekat dan menjadi milik bersama masyarakat.

rupa-rupa yang gentar dan gemetar
“Deathline” karya Nurina Susanti/Rizka Nur Laily Muallifa

Dalam diskusi Public Lecture (27/10) lalu, diri ini, sebagai awam, mendapat cukup informasi mengenai persinggungan karya-karya Bagong dengan masyarakat. Beberapa tari ciptaan Bagong menjadi milik masyarakat di daerah-daerah tertentu, maksudnya diakui menjadi tarian daerah. Bagong tak pernah mempermasalahkan hal yang demikian. Ia justru senang ketika karyanya dapat diterima dan masih terus dipelajari dalam irama kehidupan bermasyarakat.

Seni tumbuh

Keinginan Bagong itu dengan mudah kita temui dalam kegiatan-kegiatan di PSBK, salah satunya ialah keberadaan program residensi seniman. Program hasil kerjasama PSBK dan Bakti Budaya Djarum Foundation itu setiap tahun membuka kesempatan bagi para seniman terpilih. Program tersebut jelas memberi ruang kepada masyarakat (dalam hal ini seniman dari berbagai daerah) untuk berproses seni bersama di PSBK.

Ihwal ini tidak bisa tidak bertaut dengan gagasan yang melatari Bagong menginisiasi padepokan seni. “Gagasan saya mendirikan padepokan ini muncul di benak saya ketika saya mengikuti pengambilan gambar film “Al-Kautsar” di sebuah pesantren. Saya benar-benar terkesan oleh kehidupan pesantren, hubungan antara yang mendidik dan yang dididik, keseharian para santri, kedisiplinannya, kerja keras mereka untuk mendapatkan ilmu dari para guru mereka, pengabdian mereka pada pesantrennya. Banyak. Di situlah saya mulai tergugah. Betapa baiknya pendidikan pesantren ini ditiru” (1993: 217).

PSBK kemudian menjadi ruang bertumbuhnya karya-karya para seniman. Salah satu kegiatan dengan tajuk Proyek Rupa Tumbuh 2018 menggagas pameran seni rupa karya para seniman residensi, yang secara puitis diberi judul “Menakar yang Gentar dan Gemetar.”

“Menakar yang Gentar dan Gemetar” dalam tujuh karya dari tujuh seniman

Dalam “Menakar yang Gentar dan Gemetar,” penikmat seni menjumpai tujuh karya dari tujuh seniman residensi yang berhasil bertahan. Konon, berdasar cerita dari salah seorang seniman, pada mulanya program residensi yang dimulai akhir tahun lalu itu diikuti oleh sepuluh seniman. Seorang di antaranya tidak dapat melanjutkan program tumbuh bersama di masa-masa awal, disusul dua seniman lain yang mundur atas pertimbangan-pertimbangan khusus oleh seniman yang bersangkutan. Tapi itu tak pernah jadi soal yang terlalu penting.

Tujuh karya yang dipamerkan demikian menarik keingintahuan penikmat seni. Pameran kali ini menarik justru bukan semata karena persoalan estetis atau keindahan karya yang terpajang, melainkan oleh apa-apa yang ada di balik lahirnya masing-masing karya.

Sampai di ruang pameran, saya disambut “Deathline” karya Nurina Susanti. Seniman rupa kelahiran Magetan ini bergelut dengan pandangan dan pengalaman diri dan orang-orang di sekitarnya—lebih banyak anak-anak muda—(serta yang diperolehnya ketika) mengalami hari-hari hiruk-pikuk berkarya dan/atau berkegiatan.

rupa-rupa yang gentar dan gemetar
Caping-caping Sri Kasih Hasibuan/Rizka Nur Laily Muallifa

“Deathline” lahir berkat hari-hari gamang saat “diburu” waktu untuk lekas menyelesaikan karya guna dipamerkan dalam Proyek Rupa Tumbuh; karya ini adalah hasil pengenalan dan pengalaman dirinya saat bersinggungan dengan ragam tenggat. Selesai dengan dirinya, ia hadir kepada teman-temannya, mula-mula memberi pertanyaan, menanggapi jawaban teman dengan pernyataan dan/atau gagasan berkenaan dengan karya yang ingin ia kerjakan. Di situ terjadi alih pengalaman personal dan diskusi. Dua hal yang saya pikir sangat mungkin mendasari penciptaan sebuah karya, apa pun itu.

Bergeser dari karya Nurina yang terasa begitu “muda”—atau justru “anak-anak”—yang bernuansa riang gembira, penikmat bertemu karya Wijil Sinang Purba Waluya. Sinang adalah penulis naskah, aktor, dan sutradara film. Dengan kata lain, Sinang bukan seniman rupa.

Karya itu ialah diri Sinang sendiri, yakni pakaian cokelat Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan nuansa rebel. Konon, orangtua Sinang ingin anaknya menjadi PNS. Sementara dalam diri Sinang, PNS itu karib dengan hal-hal formil. Maka ia mengambil satu yang mencolok, seragam. Seragam yang dipajang tampak riuh oleh pin-pin pertanda jabatan di salah satu lengan, sementara lengan lainnya dipenuhi pin-pin simbol kebebasan (untuk tidak mengatakan terkekang oleh aturan) ala Sinang. Beberapa hiasan lucu berwarna merah muda juga kita jumpai di karya Sinang. Barangkali Sinang ingin mengenalkan dirinya, bahwa ia seorang rebel yang hatinya lembut.

Sri Kasih Hasibuan, seniman tari dan teater asal Medan bermain dengan caping dan kain-kain dengan beberapa teknik seperti lilit dan rajut. Pilihannya menggunakan media caping berkelindan dengan kisah ibunya yang seorang petani. Sementara, kain-kain dengan teknik lilit dan rajut yang berwarna-warni ialah gambaran dirinya mengalami beragam hal dalam perjalanan berkesenian. Pilihan kain yang beragam warna boleh kita anggap sebagai jiwa Kasih yang berani.

Dari keceriaan dan keberanian Kasih, kita bertemu Regina Gandes Mutiary. Seniman musik dan teater asal Jakarta itu tampak berdiri di samping karyanya. Beberapa penikmat menghambur ke arahnya. Perbedaan latar belakang pengetahuan, tingkat literasi antarorang, wilayah tempat tinggal, dan banyak faktor lain merupa ketimpangan sosial yang tak terelakkan. Perbedaan pemahaman dalam menghadapi isu tertentu itu konon mesti dikelola dengan kesadaraan akan toleransi. Dengan begitu, kita tak lagi perlu mempermasalahkan perbedaan. Sebab, bagaimana pun juga, perbedaan itu sudah bersifat kodrati, “given,” akan selalu ada.

Kesadaran untuk menghadapi perbedaan laiknya suatu yang wajar itulah yang mendasari kelahiran karya Gandes. Ia mencampur minyak dan air—dua hal yang jelas berlawanan—dalam satu tabung transparan. Sisi-sisi tabung dikaitkan sehingga berbentuk persegi panjang. Ada dua rangkaian tabung berbentuk persegi panjang yang masing-masing berisi minyak dan air yang telah diberi warna, merah dan biru. Gandes merangkainya menjadi sepaket tuas pengungkit. Ketika tuas digerakkan, kentara betul bagaimana minyak dan air dalam tabung itu menuju penyatuan.

rupa-rupa yang gentar dan gemetar
Karya seni Istifadah Nur Rahma/Rizka Nur Laily Muallifa

Ada pula karya Istifadah Nur Rahma yang galau perkara jilbab di panggung pementasan. Bagi sebagian seniman teater perempuan, perkara jilbab ini kadang agak membingungkan. Kata Isti, jilbab itu kegalauan antara kepatuhan dan pilihan, hal yang lumrah dan terasa “biasa.”

Yang lumrah dan terasa biasa ini juga tampak dari karya Muhammad Tahta Gilang Anfasya Nasution, yang mengingatkan saya pada karya cukil kayunya Muhlis Lugis (2015). Muhlis menanggapi peristiwa sosial manusia-manusia gandrung ponsel di segala waktu. Manusia rekaan Muhlis tak punya kepala. Yang melekat di lehernya justru sebuah tangan, tentu saja yang menggenggam ponsel. Dua tangan lain juga tak alpa menggenggam ponsel yang di layarnya tampak penuh ikon aplikasi.

Pertautan ingatan dan pengalaman menikmati seni rupa di masa lalu rupanya cukup mengganggu saya mengenali karya Gilang. Di akhir tahun 2018, suara atau barangkali kegelisahan Gilang menghadapi dunia sosial gegar ponsel pintar tak lagi menghentak jiwa penikmat seni. Kegelisahan itu, kendati masih relevan, terasa biasa saja.

Sebelum menuruni tangga, penikmat bertemu karya Slamet Irfan. Dakron-dakron menyembul laiknya awan gemawan. Kain-kain lilit beragam warna menjuntai. Panjangnya berbeda-beda. Ada yang sangat pendek, ada pula yang sampai melingkar di lantai sebab terlalu panjang. Jika awan dari dakron-dakron itu ialah cita-cita atau mimpi, maka pendek-panjangnya kain itu tak lain ialah upaya menuju ke sana. Upaya itu juga bertaut kesediaan uang, pengetahuan, relasi sosial, dan lain-lain.

Kiranya, karya tujuh seniman residensi ini cukup berhasil merepresentasikan apa yang dilaik disebut Proyek Rupa Tumbuh. Tsah!

The post Rupa-rupa yang Gentar dan Gemetar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pameran-rupa-rupa-yang-gentar-dan-gemetar/feed/ 0 11442
Dalam Perjalanan ke Pantai Parangtritis, Kamu Bisa Singgah di Tempat-tempat Ini https://telusuri.id/pantai-parangtritis/ https://telusuri.id/pantai-parangtritis/#respond Sun, 09 Dec 2018 09:00:50 +0000 https://telusuri.id/?p=11199 Traveler kekinian yang ke Jogja pasti mikir berkali-kali sebelum main ke Pantai Parangtritis. Kenapa? Karena Pantai Parangtritis yang berpasir hitam itu nggak se-instagenik pantai-pantai berpasir putih di Gunungkidul. Makanya Pantai Parangtritis lebih kerap dikunjungi rombongan...

The post Dalam Perjalanan ke Pantai Parangtritis, Kamu Bisa Singgah di Tempat-tempat Ini appeared first on TelusuRI.

]]>
Traveler kekinian yang ke Jogja pasti mikir berkali-kali sebelum main ke Pantai Parangtritis. Kenapa? Karena Pantai Parangtritis yang berpasir hitam itu nggak se-instagenik pantai-pantai berpasir putih di Gunungkidul. Makanya Pantai Parangtritis lebih kerap dikunjungi rombongan study tour ketimbang pejalan-pejalan independen.

Meski demikian, ternyata kamu bisa dapat banyak hal kalau mau ke Pantai Parangtritis. Soalnya, dalam perjalanan menuju ke sana, kamu bisa singgah dulu ke atraksi-atraksi wisata menarik. Apa saja?

1. Museum Rumah Budaya Tembi

Dalam perjalanan ke Pantai Parangtritis, kamu bisa singgah sebentar di Museum Rumah Budaya Tembi yang berada di Jalan Parangtritis Km. 8,4 Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul.

Museum yang diresmikan tahun 2007 silam ini cocok banget buat kamu-kamu yang menggemari budaya Jawa. Koleksi-koleksi Museum Rumah Budaya Tembi banyak banget, dari mulai peralatan tradisional Jawa, seni gamelan, batik, foto-foto jadul, sepeda motor kuno, sampai naskah-naskah kuno yang jumlahnya mencapai ribuan.

2. Kedai Wedangan Watu Lumbung

Dari Tembi, kembalilah ke jalan utama menuju Pantai Parangtritis. Teruslah ke selatan sampai kamu tiba di daerah Kretek. Nah, di Kretek ini ada sebuah tempat bernama Kampung Edukasi Watu Lumbung.

Di sini ada sebuah kafe bernama Kedai Wedangan Watu Lumbung. Tempat ini cocok banget buat nongkrong sore-sore sambil menikmati suasana. Uniknya, kamu bisa dapat makanan dan minuman gratis kalau mendonasikan buku layak baca, merensi buku-buku yang ada di sana, atau mendeklamasikan puisi.

3. Pemandian Air Panas Parang Wedang

Kamu juga bisa mampir ke Pemandian Air Panas Parang Wedang. Konon, sumber air panas ini sudah sejak lama dijadikan pemandian, yakni sejak masa Sri Sultan Hamengkubuwono VI.

Uniknya, bau belerang di sumber air panas ini nggak terlalu menyengat. Tapi, kamu juga jangan terlalu lama berendam kalau nggak mau semaput. Pemandian Air Panas Parang Wedang buka setiap hari dari jam 7 pagi sampai 6 sore. Tiket masuknya murah banget, cuma Rp 4000.

4. Gumuk Pasir Parangkusumo

Kalau mau melihat gurun, kamu nggak perlu ke Timur Tengah atau Afrika sana. Di Jogja aja ada, kok. Dekat Pantai Parangtritis, ada sebuah tempat yang dinamakan Gumuk Pasir. Gumuk pasir ini adalah sebuah sand dune alias gurun pasir yang tercipta oleh sebuah proses geologi yang sudah terjadi sejak entah kapan.

Selain foto-foto, di Gumuk Pasir kamu juga bisa nyobain sandboarding. Kamu bisa sewa papan seluncur dan mencoba… meluncur dari puncak-puncak bukit pasir. Seru banget. Tapi, awas kecanduan.

5. Puncak Helipad

Bosan dengan sunset yang begitu-begitu saja? Kamu mesti cobain nongkrong sambil lihat matahari terbenam di Puncak Helipad. Dari Pantai Parangtritis, kamu terus saja berkendara menanjak sambil menemukan pertigaan di sebuah tikungan tajam. Nah, dari sana kamu tinggal belok kanan ke arah selatan.

Terus saja naik, kamu bakal tiba di Puncak Helipad. Puncak Helipad ini sebenarnya adalah lokasi buat terjun para atlet paralayang. Tapi, tiap hari pasti ada saja yang datang ke sini buat melihat matahari terbenam. Tapi, kalau ke sini kamu mesti hati-hati karena jalanan licin. Pastikan ban kendaraan kamu dalam keadaan bagus dan rem kamu berfungsi.

Banyak banget ‘kan yang bisa kamu lihat dalam perjalanan ke Pantai Parangtritis?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dalam Perjalanan ke Pantai Parangtritis, Kamu Bisa Singgah di Tempat-tempat Ini appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pantai-parangtritis/feed/ 0 11199
Melepas Sang Surya di Pantai Goa Cemara https://telusuri.id/pantai-goa-cemara/ https://telusuri.id/pantai-goa-cemara/#comments Sun, 14 Oct 2018 16:30:02 +0000 https://telusuri.id/?p=10650 Perjalanan kami mulai lepas tengah hari. Agar tidak terjebak macet, kami melipir lewat Ring Road yang lebih lengang ketimbang jalan protokol Kota Yogyakarta. Setiba di perempatan Jalan Parangtritis, kami berbelok ke selatan. Lalu-lintas menuju ke...

The post Melepas Sang Surya di Pantai Goa Cemara appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan kami mulai lepas tengah hari. Agar tidak terjebak macet, kami melipir lewat Ring Road yang lebih lengang ketimbang jalan protokol Kota Yogyakarta. Setiba di perempatan Jalan Parangtritis, kami berbelok ke selatan.

Lalu-lintas menuju ke arah Pantai Parangtritis lumayan ramai. Beberapa kali kami berpapasan dengan bis pariwisata yang baru kembali dari pantai legendaris itu. Untung saja tujuan kami bukan Pantai Parangtritis.

Selepas RS Rachma Husada, saya menghidupkan lampu sein kanan untuk memberikan tanda bahwa saya akan berbelok ke Jalan Ganjuran. Betapa terkejutnya saya mendapati bahwa jalan itu putus karena sedang ada perbaikan. Untung Nyonya sudah hafal daerah itu sehingga ia bisa memandu saya lewat jalan kampung.

goa cemara

Cemara-cemara yang menghiasi pantai/Fuji Adriza

Singgah sebentar di Ganjuran, dari sana kami terus ke Jalan Samas. Udara segar menyambut, begitu juga perbukitan hijau dan selokan besar di sebelah barat yang dipagari oleh beraneka ragam pohon. Kecuali sukun, saya tidak tahu persis itu pohon apa saja.

Di pertigaan sebelum loket penarikan retribusi Pantai Samas, saya mengarahkan motor ke arah barat, menuju salah satu ruas jalan yang paling saya suka di D.I. Yogyakarta. Jalan itu hanyalah sebuah jalan kecil di pesisir selatan Bantul yang baru-baru ini saja jadi semulus sekarang. Dari areal pesawahan yang sudah menguning—yang suasananya mengingatkan saya pada Kampung Kumbe di Merauke—kami berdua bergerak semakin dalam ke areal permukiman.

goa cemara

Pohon yang dibalut kertas warna-warni/Fuji Adriza

Rasa penasaran membuat saya enggak belok kiri di perempatan biasa. Alih-alih, saya terus melajukan motor ke arah barat. “Eh, ada buaya!?” Celetukan Nyonya membuat saya kaget. Semula saya kira benar-benar ada buaya—ternyata cuma patung. Pantas ada patung buaya, soalnya sebentar kemudian kami lewat sebuah dusun bernama Sorobayan.

Jalan sepi menuju Pantai Goa Cemara

Dari Sorobayan, kami ikut jalan aspal yang akhirnya berujung pada sebuah loket retribusi. Beberapa orang berseragam tampak berjaga di sekitar pos itu. (Entah kenapa loket itu mengingatkan saya pada adegan di Pos Lintas Batas Bulgaria-Rumania dalam film Im Juli.) Karena hari libur, kami menebus tiket dengan harga yang sedikit lebih mahal ketimbang hari biasa (Rp 10.000/orang).

Saya membawa motor ke jalan mulus, lebar, dan sepi yang menghubungkan Pantai Baru dan Pantai Samas itu; jalan paling pas untuk memacu longboard di sekitar Yogyakarta. Deretan kincir angin di Pantai Baru masih memesona seperti dulu, begitu juga jejeran cemara laut yang masih menciptakan kontras spektakuler dengan langit biru.

goa cemara

Menara SAR di Pantai Goa Cemara/Fuji Adriza

Pertama kali saya ke jalan ini adalah lima atau enam tahun yang lalu semasa kuliah. Waktu itu saya dan kawan-kawan sedang gemar-gemarnya bersepeda. Bersama seorang kawan yang “anak fixie,” saya memendam hasrat untuk nggowes ke Pantai Samas dan sekitarnya. Lama keinginan itu cuma jadi angan-angan.

Lalu, ketika mendengar sassus bahwa ada seekor paus yang terdampar dan dikeringkan di Pantai Baru Pandansimo, kami tidak membuang kesempatan itu. (Pantai Samas dan Pandansimo bisa dibilang berada dalam satu komplek.) Hanya saja, akhirnya kami ke sana naik sepeda motor butut, bukannya sepeda. Momen itu memang sudah lama lewat, namun foto-foto B/W saat kami ke sana masih tersimpan dalam akun Flickr saya.

Matahari terbenam di Pantai Goa Cemara

Sekitar tiga kilometer kemudian, kami berbelok ke selatan di sebuah perempatan. Setelah membayar karcis parkir Rp 3.000, kami menerobos lewat deretan kios menuju parkiran. Karena Sabtu, pantai itu lumayan ramai. Dari kejauhan, saya lihat ada beberapa tenda yang sudah didirikan di bawah naungan cemara-cemara pantai.

goa cemara

Bersantai sambil menunggu matahari terbenam/Fuji Adriza

Saya dan Nyonya bergandengan tangan menuju pantai. Semua sudah kami persiapkan. Dalam tas lipat sudah tersedia alas duduk, minuman, cemilan, dan buku untuk dibaca sambil menunggu matahari terbenam. Kami mengembangkan kain piknik dekat menara cum gazebo SAR di mana kami pernah duduk—juga melihat mahatari terbenam—sekitar satu atau satu setengah tahun yang lalu.

Sudah banyak orang yang berkumpul di atas pasir. Ada yang hanya duduk-duduk saja, ada yang mencelupkan kaki ke air laut, ada yang foto-foto, dan—ternyata—ada satu orang yang sedang mempraktikkan teknik-teknik memancing. Karena matahari sudah semakin condong ke cakrawala, mereka hanya tampak sebagai siluet—atau objek dalam lukisan Seurat.

goa cemara

Matahari terbenam di Goa Cemara/Fuji Adriza

Sambil menunggu matahari terbenam, saya membenamkan diri dalam buku sejarah yang sudah lama saya beli namun baru rampung setengah. Nyonya melanjutkan Crazy Rich Asians yang kemarin lusa dibelinya. Buku itu saya tutup sekitar lima puluh halaman kemudian ketika matahari sudah semakin turun dan memendarkan rona jingga. Sayang sekali sore itu mega menghalangi matahari tua untuk bersentuhan langsung dengan garis langit senja.

Akhirnya saat gelap mulai turun kami berdua segera beres-beres dan kembali ke arah parkiran. Untuk pulang, kami mengambil rute yang berbeda, yakni ke timur sebelum kembali ke utara di Jalan Samas, lewat perkebunan bunga matahari yang pasti akan tampak indah sekali ketika ditimpa cahaya keemasan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melepas Sang Surya di Pantai Goa Cemara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pantai-goa-cemara/feed/ 1 10650
Mengagumi Kawasan Wisata Imogiri https://telusuri.id/mengagumi-kawasan-wisata-imogiri/ https://telusuri.id/mengagumi-kawasan-wisata-imogiri/#respond Sat, 25 Aug 2018 05:30:35 +0000 https://telusuri.id/?p=10349 Membangun bersama-sama itu tidak mudah. Kita harus mengelola ego banyak orang, memiliki manajemen konflik yang baik, dan memastikan bahwa setiap anggota tim mendahulukan kepentingan bersama. Sebagian orang barangkali sudah khatam pelajaran soal kerja keras, bahwa...

The post Mengagumi Kawasan Wisata Imogiri appeared first on TelusuRI.

]]>
Membangun bersama-sama itu tidak mudah. Kita harus mengelola ego banyak orang, memiliki manajemen konflik yang baik, dan memastikan bahwa setiap anggota tim mendahulukan kepentingan bersama.

Sebagian orang barangkali sudah khatam pelajaran soal kerja keras, bahwa sukses membutuhkan proses yang panjang dan ketekunan. Namun “bab egoless” ternyata memerlukan “studi lanjutan.” Sungguh jauh berbeda rasanya ketika kita berjuang untuk kepentingan individu dan berjuang untuk kepentingan bersama.

Ngomong-ngomong soal itu, saya jadi terbawa kembali pada memori pelajaran PPKn ketika saya kelas satu SD dulu. Saya ingat betul ketika Bu Parmi, guru yang mengajar saya kala itu, menanamkan konsep untuk mendahulukan kepentingan umum di atas individu.

kawasan wisata imogiri

Sungai Oyo tampak dari Kebun Buah Mangunan/Fuji Adriza

Bu Parmi mengajarkan kami praktik bernegara pada level yang paling sederhana. Berbaris di dalam antrean, tidak berdiri di tengah pintu kelas, patuh pada rambu lalu lintas, bertanggung jawab pada jadwal piket kelas, dll.

Intinya, Bu Parmi menanamkan pemahaman pada kami bahwa setiap orang punya kepentingan. Supaya tertib dan tidak saling egois untuk mendahulukan kepentingan masing-masing, kita harus taat aturan. Dengan begitu semua orang akan diuntungkan dan kepentingan bersama dapat dicapai.

Membangun bersama-sama itu tidak mudah

Setelah kuliah semester satu dan mengikuti program Parlemen Muda dari Indonesian Future Leader, saya mengenal praktik bernegara pada level yang lebih kompleks.

kawasan wisata imogiri

Jembatan gantung di Kali Oyo/Fuji Adriza

Saya mengenal kegiatan kesukarelawanan dan mulai coba-coba membuat sekolah gratis bagi anak nelayan. Sampai akhirnya saya sadar bahwa saya butuh resource berkelanjutan agar sekolah yang kami bangun tetaplah berdiri.

“Kekepoan” saya untuk menyelesaikan masalah tersebut mengantarkan pada beberapa nama yang saya ikuti di media sosial, dari mereka saya belajar konsep pemberdayaan, model bisnis, dll.

kawasan wisata imogiri

Wisatawan domestik sedang menelusuri Hutan Pinus Mangunan/Fuji Adriza

Namun ternyata hal ini lebih kompleks lagi. Selain tujuan bersama, ada faktor uang yang harus dikelola dengan baik pada level ini. Karena tidak dipungkiri bahwa uang mengandung potensi konflik yang lebih besar lagi.

Di sinilah saya sadar bahwa membangun bersama-sama itu tidak mudah. Butuh visi yang kuat dan juga kesadaran egoless yang tinggi.

kawasan wisata imogiri

Biji pinus/Fuji Adriza

Belajar pada Kawasan Wisata Imogiri

Pagi itu di Lampung saya mendengar cerita teman saya tentang Kawasan Wisata Imogiri di Bantul yang semakin berkembang. Ceritanya cukup heboh. Makanya, ketika saya ke Jogja, Imogiri jadi satu destinasi yang tak ingin saya lewatkan.

Namun sebenarnya saya masih underestimate dengan kawasan wisata itu. Ya, paling gitu-gitu aja, seramai apa, sih? Begitu pikir saya kala itu.

Sesampai di sana saya kaget. Hal pertama yang membuat saya terkejut adalah ramainya jumlah pengunjung. Luar biasa. Barangkali sama dengan atraksi-atraksi wisata legendaris lain di Jogja seperti Candi Prambanan.

kawasan wisata imogiri

Rindangnya Hutan Pinus Mangunan/Fuji Adriza

Decak kagum saya bertambah ketika saya menelusuri satu per satu atraksi wisata yang ada di Kawasan Wisata Imogiri. Saya menemukan banyak spot foto yang antreannya panjang, wahana-wahana bermain, dan juga sederet gimmick lain yang menyokong “story telling” solid tempat wisata tersebut—Rumah Hobit contohnya.

Topografi seperti di Imogiri jamak ditemukan di wilayah lain di Indonesia, namun budaya kreatifnya tidak. Kekaguman saya semakin lengkap ketika teman saya bercerita bahwa kawasan wisata Imogiri itu dirintis dan dikembangkan oleh pemuda setempat. Wow! Two tumbs up!

kawasan wisata imogiri

Uniknya Rumah Hobbit/Day

Setelah gagal mendirikan sekolah pesisir dulu, saya beranggapan bahwa pemberdayaan adalah sebuah konsep yang utopis. Sulit mengelola banyak kepentingan; sulit mengelola uang secara bersama.

Namun persinggahan saya ke Kawasan Wisata Imogiri mematahkan semua sinisme pribadi saya terhadap pemberdayaan masyarakat. Di Imogiri, ada yang bisa mempraktikkan ajaran guru PPKn saya pada level yang lebih tinggi.

Mereka memiliki semangat bersama untuk mengembangkan kreativitas dan memecahkan masalah. Tak bisa dibantah lagi, praktik meletakkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi sekelompok anak muda di Imogiri itu sangatlah memesona!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengagumi Kawasan Wisata Imogiri appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengagumi-kawasan-wisata-imogiri/feed/ 0 10349
7 Destinasi Wisata di Bantul yang Terlalu Keren untuk Dilewatkan https://telusuri.id/7-destinasi-wisata-di-bantul/ https://telusuri.id/7-destinasi-wisata-di-bantul/#comments Thu, 08 Feb 2018 02:30:58 +0000 https://telusuri.id/?p=6372 Nama Bantul, salah satu kabupaten di DI Yogyakarta, kalah populer sama Kota Yogyakarta. Padahal Bantul punya banyak banget destinasi wisata yang menarik, entah wisata alam, budaya, maupun religi. Ini TelusuRI kasih 7 di antaranya: 1....

The post 7 Destinasi Wisata di Bantul yang Terlalu Keren untuk Dilewatkan appeared first on TelusuRI.

]]>
Nama Bantul, salah satu kabupaten di DI Yogyakarta, kalah populer sama Kota Yogyakarta. Padahal Bantul punya banyak banget destinasi wisata yang menarik, entah wisata alam, budaya, maupun religi. Ini TelusuRI kasih 7 di antaranya:

1. Pantai Goa Cemara—destinasi super-romantis

Destinasi wisata di Bantul ini pas banget buat kamu yang sudah jengah sama keindahan pantai-pantai berpasir putih. Ini pantai letaknya sederetan sama Pantai Samas, Pantai Pandansari, dan Pantai Baru Pandansimo.

Yang bikin pantai ini istimewa adalah pepohonan cemara yang tumbuh di bibir pantai. Saking banyak dan lebatnya, cemara-cemara yang berbaris ini seolah-olah membentuk terowongan atau gua panjang. Ada beberapa gazebo pula di sana. Pokoknya, romantis banget buat dijadiin destinasi traveling sama pasangan.

wisata di bantul

Matahari terbenam di Pantai Goa Cemara/Imam Rianto

2. Gumuk Pasir—“sandboarding” sekaligus belajar geologi

Sejak beberapa tahun belakangan, popularitas Gumuk Pasir Parangkusumo terus meningkat. Kalau belum pernah dengar, Gumuk Pasir parangkusumo adalah sebuah sand dune alias padang pasir mini satu-satunya di Asia Tenggara.

Destinasi wisata di Bantul ini jadi tempat buat berselancar di atas pasir (sandboarding). Kalau mau nyobain, kamu bisa menyewa papan di sekitar lokasi. Selain buat sandboarding, Gumuk Pasir juga jadi salah satu lokasi favorit buat ekskursi geologi, syuting film atau video klip … atau manasik haji.

wisata di bantul

Kontras warna di Gumuk Pasir/Gallant Tsany Abdillah

3. Kebun Buah Mangunan—menikmati pemandangan indah di pagi hari

Destinasi wisata di Bantul ini adalah kebun buah, seperti yang bisa kamu duga dari namanya. Tapi, kenyataannya Kebun Buah Mangunan malah lebih dikenal sebagai destinasi tempat kamu bisa melihat pemandangan bagus di pagi hari.

Pemandangannya memang keren banget di sini. Berdiri dari pinggir tebing, kamu bakal menyaksikan hamparan perbukitan. Di antara bukit-bukit itu sungai mengalir indah ke samudra. Istimewanya, kalau ke sana pagi banget, kamu bakal bisa melihat “sungai” awan. Seperti apa? Lihat aja sendiri, ya, kalau ke sana.

wisata di bantul

Pemandangan dari Kebun Buah Mangunan/Fuji Adriza

4. Rumah Hobbit Bantul—tapi nggak bakal ketemu Frodo

Ini bukan lokasi syutingnya film Lord of the Rings atau The Hobbits lho ya. Tapi lumayanlah buat pemanasan—siapa tahu kamu ntar punya rezeki buat ke Selandia Baru?

Lokasinya nggak jauh dari Hutan Pinus Mangunan. Sebelum hutan pinus kalau dari arah Kota Yogyakarta. Buat ke sana, kamu cuma perlu jalan sebentar dari parkiran. Nggak bakal bikin capek, kok.

Uniknya Rumah Hobbit/Day

5. Makam Raja-Raja Mataram Imogiri—tempat tokoh-tokoh dalam buku sejarah dimakamkan

Pernah dengar cerita-cerita soal betapa kerennya Sultan Hamengkubuwono IX? Nah, Raja Yogyakarta yang legendaris itu dimakamkan di sini, guys, sebagaimana pendahulu-pendahulunya yang sudah lebih dulu wafat. Makam Raja-Raja Mataram Imogiri ini adalah tempat trah bangsawan Mataram dimakamkan.

Buat sampai ke makamnya saja kamu mesti naik ratusan anak tangga. Tapi nggak usah khawatir. Sepulang dari sana kamu bisa menyegarkan diri dengan minum wedang uwuh di salah satu warung yang berjejeran di kaki lingkungan pemakaman.

Tangga menuju Makam Raja-Raja Mataram/Fuji Adriza

6. Sate Klathak “Pak Pong” Imogiri—kuliner legendaris

Pas mau kembali ke Kota Yogyakarta, jangan lupa mampir di Sate Klathak “Pak Pong” di Jalan Imogiri Timur. “Sate klathak? Apaan tuh?” Satu klathak itu adalah sate kambing muda. Banyak banget yang menjualnya di daerah Imogiri. Tapi yang paling legendaris yang satenya Pak Pong.

Harganya memang agak lebih mahal dibanding sate-sate yang biasa kamu temukan di kota. Tapi uang yang kamu habisin sebanding kok sama kelezatan yang bakal kamu rasakan.

wisata di bantul

Daging di Sate Klathak “Pak Pong” sedang dipanggang/Gallant Tsany Abdillah

7. Pasar Klitikan Niten—buat yang suka benda-benda lawas

Terletak strategis di pinggir Jalan Bantul, pasar yang ramai di malam hari ini jadi favorit para pemburu barang bekas atau lawas. Mirip-mirip Pasar Klitikan Pakuncen di Jogja, hanya saja Klitikan Niten lebih kecil.

Macam-macam yang dijual di sini. Kalau kamu pemburu buku-buku lawas, di sini ada beberapa kios yang khusus menjual buku-buku terbitan lama. Ada pula kios yang menjual kaset tape dan printilan-printilan lain yang bakalan susah kamu temukan di pasar-pasar biasa. Penggemar otomotif juga bisa menemukan onderdil-onderdil yang sudah nggak lagi diproduksi.

Jadi, mana destinasi wisata di Bantul yang paling bikin kamu penasaran?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Foto header: Gallant Tsany Abdillah

The post 7 Destinasi Wisata di Bantul yang Terlalu Keren untuk Dilewatkan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/7-destinasi-wisata-di-bantul/feed/ 1 6372