banyuwangi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/banyuwangi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 20 Jun 2025 09:46:10 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 banyuwangi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/banyuwangi/ 32 32 135956295 Ritual Adat Seblang Olehsari: Sebuah Usaha Manusia Hidup Bersama https://telusuri.id/ritual-adat-seblang-olehsari-sebuah-usaha-manusia-hidup-bersama/ https://telusuri.id/ritual-adat-seblang-olehsari-sebuah-usaha-manusia-hidup-bersama/#respond Fri, 20 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47502 Siang itu, aku terpaku pada sebuah poster di Instagram bertuliskan Banyuwangi Traditional Ritual Syawal. Di atasnya, terselip kalimat “Kisah leluhur dalam doa, tarian, dan sebuah janji yang tak tergoyahkan”. Tiga nama menonjol di sana, yaitu...

The post Ritual Adat Seblang Olehsari: Sebuah Usaha Manusia Hidup Bersama appeared first on TelusuRI.

]]>
Siang itu, aku terpaku pada sebuah poster di Instagram bertuliskan Banyuwangi Traditional Ritual Syawal. Di atasnya, terselip kalimat “Kisah leluhur dalam doa, tarian, dan sebuah janji yang tak tergoyahkan”. Tiga nama menonjol di sana, yaitu Seblang Olehsari, Barong Ider Bumi, dan Puter Kayun Boyolangsu Culture Festival. Namun, satu yang paling menyita rasa penasaranku: Seblang Olehsari. Tarian sakral yang dibawakan oleh gadis terpilih secara supranatural.

Hal yang membuatku semakin tergerak, ritual ini berlangsung selama seminggu penuh, 4–10 April 2025, dimulai pukul 14.00 WIB, dan dilaksanakan tepat pada hari keempat Lebaran Idulfitri. Mengapa bisa selama itu? Apa yang ingin dijelaskan melalui tarian ini? Mengapa hanya satu perempuan yang menari? Dalam foto-foto lama yang beredar, sang penari tampak menari dengan mata terpejam—seakan tubuhnya menjadi medium yang disinggahi suara dari masa lalu.

Aku pun memutuskan menyusuri jejak rasa ingin tahu ini, dari Jakarta ke Banyuwangi. Lokasi pagelaran Seblang Olehsari bertempat di Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, di lingkungan masyarakat Suku Osing. Setibanya di kabupaten paling timur Pulau Jawa, aku dan empat temanku berangkat ke lokasi dengan sepeda motor.

Kami tiba sekitar pukul tiga sore. Parkiran sudah padat. Langkah kami tersendat oleh kerumunan yang mengular di pintu masuk arena. Aku tertegun. Untuk sebuah tarian? Sebanyak ini orang berkumpul? Dalam dunia yang serba cepat ini, bagaimana bisa sebuah ritual bertahan? Di tengah keramaian, aku sempat berbincang ringan dengan beberapa pengunjung. Banyak di antaranya ternyata datang dari luar Banyuwangi.

Apa itu Seblang Olehsari?

Seblang adalah upacara ritual bersih desa atau selamatan desa yang diselenggarakan setahun sekali, dan kemungkinan dianggap sebagai pertunjukan tertua di Banyuwangi (Scholte, J., 1927:149–150; Wolbers, P.A., 1992:89; 1993:36). Masyarakat setempat percaya bahwa setelah melaksanakan kegiatan ritual, hidup terasa lebih tenteram, terhindar dari gangguan roh-roh halus, dan hasil panen pun menjadi lebih baik. Sebaliknya, jika upacara tidak diselenggarakan, diyakini akan terjadi disharmoni dan keseimbangan ekologi akan terganggu, seperti gagal panen atau serangan wabah penyakit (Anoegrajekti, 2003:258).

Seblang Olehsari bukan sembarang tarian. Hanya perempuan suci dari garis keturunan penari Seblang yang bisa membawakannya. Penari akan berganti setiap tiga kali pergelaran. Selama tujuh hari berturut-turut, ia menari dari siang hingga petang. Hari itu, aku menyaksikan rangkaian ritual ini hingga sekitar pukul 17.40 WIB.

Ia menari dalam keadaan trance (kesurupan), mata tertutup. Di sekelilingnya ada pengiring, asap dupa, mantra, sinden dan gamelan, serta hal lain yang belum kutahu rinci penyebutannya. Sekitar 30 menit setelah aku tiba, penari telah mulai mengelilingi panggung, lalu naik ke atas panggung kecil berbentuk meja panjang. Ia menari dengan gerakan kaki dan pinggul ke kanan-kiri, tangan melambai, kadang tegak, kadang membungkuk.

Busananya sederhana, tapi menghadirkan aura yang khas. Kalau kuingat, penari mengenakan sewek (kain) di bagian bawah, kemban di bagian atas, dilengkapi ikat pinggang, sampur, dan kaus kaki putih. Salah satu kakinya dipasangi krincing. Di kepala, ia memakai omprok—hiasan dari daun pisang muda zig-zag, janur, dan bunga segar. 

Awalnya, saat baru sampai, aku tak merasakan suasana sakral. Hiruk-piruk penonton membuat suasana hampir lebih mirip festival dibanding ritual. Tapi justru di sanalah hal menarik kutemui: hiburan bisa muncul dari ritual? Menariknya, dalam ritual ini terdapat sesi bernama tundik, yakni saat penari melemparkan sampur ke arah penonton secara acak. Siapa yang terkena, wajib naik panggung dan ikut menari. Jika menolak, konon penari akan marah. Inilah yang menjadi puncak keriuhan! Beberapa penonton terlihat berusaha menghindar, yang lain justru ada yang berharap terkena. Ketika seseorang akhirnya maju ke panggung, sorak-sorai pun membuncah. Teriakan, tawa, sorakan mengisi udara setiap kali sampur dilempar lagi. Sebuah energi kolektif yang tak bisa dibuat-buat.

  • Ritual Adat Seblang Olehsari: Sebuah Usaha Manusia Hidup Bersama
  • Ritual Adat Seblang Olehsari: Sebuah Usaha Manusia Hidup Bersama
  • Ritual Adat Seblang Olehsari: Sebuah Usaha Manusia Hidup Bersama

Wujud Religiusitas Masyarakat

Menjelang petang, suasana berubah. Langit berganti warna, matahari perlahan meluruhkan panasnya. Tak ada lagi lempar sampur, kerumunan mulai menipis. Tapi justru pada saat itulah aku bisa berdiri di barisan paling depan—dan baru mampu merasakan kekhusyukan. Kesakralannya menggema, menjadi sesuatu yang sulit dijelaskan, hanya mampu dirasakan.

Hal lain yang mencuri perhatianku adalah bentuk panggungnya. Arena Seblang bukanlah panggung megah, melainkan lingkaran di atas tanah lapang. Aku melihatnya sebagai simbol keutuhan dan keterhubungan, karena para penonton mengelilingi sepenuhnya. Meski peminat Seblang Olehsari banyak, bentuk panggung ini tak kehilangan nuansa ritualnya. Di bagian pinggir, panggung dipagari bambu yang mengelilingi arena, sebagai pembatas penonton. Di tengahnya, berdiri sebuah payung besar berwarna putih. Hingga petang, juga tak ada pencahayaan yang berlebihan.

Mulanya saat berada di barisan belakang, tampak anak-anak muda sibuk menjadi panitia. Penjual makanan dan minuman pun ramai berdagang. Namun di barisan depan, yang terlihat justru gotong royong yang menghangat—sebuah semangat menjaga ruang bersama.

Ritual Adat Seblang Olehsari: Sebuah Usaha Manusia Hidup Bersama
Tarian masih berlanjut hingga petang/Fiezu Himmah

Seblang adalah perwujudan kolektif: masyarakat berdoa bersama, ikut mengarak, bahkan ikut menari bila “terpanggil”. Semua menjadi bagian dari ritual. Sebagaimana dalam tulisan Vindriana, Simatupang, dan Richardus (2023:98), penyelenggaraan ritual juga menjadi salah satu wujud religiusitas masyarakat terhadap kekaguman batasan diri terhadap kekuatan-kekuatan di luar dirinya. 

Dari Seblang, aku melihat bahwa keselamatan adalah tanggung jawab bersama. Ia bukan semata ritual, melainkan soal kebersamaan, rasa hormat pada asal usul, dan keberanian menjaga yang dipercayai sebagai jalan hidup—meski dunia terus berubah.

Dari siang hingga petang, aku berdiri—mencoba memberi ruang untuk melihat, mendengar, dan memahami sesuatu yang terasa begitu hangat. Upaya manusia untuk hidup bersama, menjaga apa yang mereka anggap penting, dan memberi makna pada waktu yang terus berjalan.

Referensi:

Anoegrajekti, N. (2003). Seblang Using: Studi tentang Ritus dan Identitas Komunitas Using. Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 31, Nomor 2, Agustus 2003, pp. 253-
269.
Scholte, J. 1927. Gandroeng van Banjoewangie. Djawa, VII.
Wolbers, P. A. 1992. Maintaining Using identity through musical performance; Seblang and gandrung of Banyuwangi, East Java (Indonesia). [Ph.D. thesis, University of Illinois, Urbana.].
Wolberes, P. A. 1993. The seblang and its music; Aspects of an East Javanese fertility rite’, in: Bernard Arps (ed.), Performance in Java and Bali, pp. 34-46, London: School of Oriental and African Studies, University of London.
Vindriana, N. D., Simatupang, G. R. L. L., dan Richardus, C. (2023). ‘Festival’ Seblang Olehsari Banyuwangi 2018-2022. Jurnal Kajian Seni, Volume 10, Nomo 01, November 2023, pp. 94-115. DOI: https://doi.org/10.22146/jksks.80959.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ritual Adat Seblang Olehsari: Sebuah Usaha Manusia Hidup Bersama appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ritual-adat-seblang-olehsari-sebuah-usaha-manusia-hidup-bersama/feed/ 0 47502
Mengikuti Jambore Sastra di Banyuwangi https://telusuri.id/mengikuti-jambore-sastra-di-banyuwangi/ https://telusuri.id/mengikuti-jambore-sastra-di-banyuwangi/#respond Sun, 01 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44258 Rabu malam (23/10/2024), sekitar pukul 21.00 WIB, aku bersama istri dan enam orang teman berangkat dari Sumenep ke Banyuwangi dalam satu mobil. Tujuan kami menghadiri acara Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) yang ditaja Dewan Kesenian...

The post Mengikuti Jambore Sastra di Banyuwangi appeared first on TelusuRI.

]]>
Rabu malam (23/10/2024), sekitar pukul 21.00 WIB, aku bersama istri dan enam orang teman berangkat dari Sumenep ke Banyuwangi dalam satu mobil. Tujuan kami menghadiri acara Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) yang ditaja Dewan Kesenian Blambangan dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pada 24–26 Oktober 2024. Acara tersebut merupakan puncak kegiatan dari penerbitan antologi puisi “Ijen Purba: Tanah, Air, Batu” yang diisi 200 penyair setelah dikurasi oleh tim kurator. Kami termasuk di antaranya.

Angka 200 terlalu banyak untuk ukuran bunga rampai. Meski disaring dari 400 lebih pengirim puisi, bagiku tetap terkesan sebagai antologi keroyokan. Itulah mengapa, aku tidak cukup percaya diri atas keterlibatanku dalam buku itu. Sekalipun ada embel-embel “Asia Tenggara” di sana. Lagi pula, 95% penyair terpilih adalah orang dalam negeri.

Bagaimanapun, aku bersyukur. Berkat JSAT, aku bisa berpelesir ke Banyuwangi dan merayakannya bersama orang-orang sehobi. Tentu saja tidak sekadar selebrasi. Menemukan pengalaman-pengalaman baru jauh lebih penting dari sebatas hore-hore dan pamer gigi di depan kamera.

Menghadiri Jambore Sastra di Banyuwangi
Plakat registrasi wilayah adat Komunitas Masyarakat Adat Osing di depan rumah warga Kemiren, Banyuwangi/Daviatul Umam

Hari Pertama di Kemiren

Matahari hampir memerah di ufuk barat ketika kami menginjakkan kaki di halaman Rumah Budaya Osing (RBO) Kemiren. Mestinya kami bisa tiba beberapa jam lebih awal, seandainya mobil rombongan tidak terjebak macet panjang karena proyek jalan di Bangkalan. 

Di RBO, panitia menyambut hangat. Usai mengisi daftar hadir, kami menerima kaus seragam JSAT dan sekotak nasi. Lalu kami dibonceng oleh beberapa panitia ke tempat penginapan milik rumah warga Kemiren. Mereka menyebutnya homestay. Satu homestay berisi dua sampai empat orang sesuai kelompok. Aku berhasil satu kelompok bersama Helmy Khan—kawan karibku—setelah melakukan negosiasi dengan panitia.

Tuan rumah kami, Bu Ti’anah dan Pak Suroso, sangat ramah dan gaya bicaranya renyah. Pasutri berusia 60 tahunan tersebut hidup bersama seorang anak dan cucu perempuan. Sehabis membersihkan badan, sembahyang dan makan, kami disuguhi teh hangat dan sepiring aneka kudapan. Akan tetapi, belum sempat kami menghabiskan minuman dan kudapan itu, kami harus segera berangkat ke Pendopo Bupati Banyuwangi untuk mengikuti gala dinner.

Penampilan musik dan tari Sanggar Seni Joyo Karyo membuka acara perdana. Kemudian dilanjutkan dengan senarai acara inti, antara lain peluncuran antologi puisi “Ijen Purba: Tanah, Air, Batu”, sambutan bupati, pembacaan puisi oleh sejumlah tokoh, ramah-tamah, pembagian buku sekaligus pembagian tugas Penyair School Visit ke sekolah-sekolah sasaran.

Menghadiri Jambore Sastra di Banyuwangi
Suasana diskusi sastra di SMPN 1 Kalipuro/Daviatul Umam

Menyapa Para Siswa SMPN 1 Kalipuro

Pukul enam keesokan paginya aku dan Helmy sudah bersiap-siap pergi ke sekolah sasaran. Helmy mendapat tugas ke MA Mambaul Huda, sedangkan aku ke SMPN 1 Kalipuro. Ini agenda kedua dari JSAT. Sehabis menyantap hidangan yang disuguhkan Bu Ti’anah, kami berjalan kaki ke RBO agak tergesa-gesa. Sebab, kata panitia, mobil penjemputan dari pihak sekolah sudah menunggu cukup lama di sana. Di RBO, kami berpencar menemui pihak sekolah masing-masing.

Kanti Rahayu namanya. Seorang guru paruh baya yang ditugaskan menjemputku bersama dua peserta lainnya, Eki Thadan (Jakarta) dan Nor Faizah (Sumenep). Setelah berkenalan dan berbincang ringan, kami berempat menaiki mobil jemputan. Di kursi depan samping sopir, sudah ada Bu Nisa, kepala SMPN 1 Kalipuro. Mobil melaju. Obrolan ringan kembali bersambut di sepanjang perjalanan.

Cuma butuh waktu setengah jam dari Kemiren ke Kalipuro dengan kecepatan sedang. Ketika kami hendak memasuki halaman sekolah, selawat berkumandang diiringi tabuhan rebana. Personel hadrah itu tak lain para siswa SMPN 1 Kalipuro sendiri. Mereka beserta segenap guru berdiri sejajar di kiri-kanan, tampak sangat antusias menyambut kedatangan kami.

Lepas dari keriuhan itu, aku berkata pelan kepada Faizah, “Kayak baru datang umrah aja kita.” Faizah cengar-cengir. Bukan apa-apa. Di Madura, penyambutan semacam itu lumrahnya dipersembahkan untuk orang yang baru tiba dari tanah Haramain. Mendapati bentuk penyambutan yang sama untuk kedatangan penyair, terlebih penyair abal-abal sepertiku, sungguh bagai mimpi di siang bolong dan sukses bikin aku terharu sekaligus salah tingkah.

Di ruang diskusi, puluhan siswa-siswi sudah duduk tertib di atas bangku. “Waalaikum salam..,” jawab mereka serempak begitu kami beruluk salam di mulut pintu. Kami duduk di bangku depan. Berbagai jenis kuliner lokal tersaji di meja kami. Acara segera dimulai. Seni mendongeng, pembacaan puisi, dan penampilan musik tradisional menjadi pembuka yang manis.

Menurut sambutan kepala sekolah, SMPN 1 Kalipuro didirikan sejak 1996. Dengan rendah hati, beliau bilang sekolah ini terpencil.

“Ya, beginilah keadaannya. Mewah. Mepet sawah,” candanya diikuti ledak tawa seisi ruangan. Letak gedung sekolah memang berada di pinggir sawah. Meski begitu, SMPN 1 Kalipuro tak senasib sekolah-sekolah di kampungku yang krisis murid. Tiap tingkatan ada enam kelas. Itu pun, per tahunnya, tidak semua calon siswa baru ditampung.

Menghadiri Jambore Sastra di Banyuwangi
Para penyair JSAT foto bersama kepala sekolah dan para guru SMPN 1 Kalipuro/Daviatul Umam

Lebih lanjut, Bu Nisa membeberkan bakat-bakat yang dimiliki para siswa di bidang seni dan olahraga. Semua bakat itu terwadahi dalam kegiatan ekstrakurikuler, kecuali seni membatik. Seni yang satu ini mendapat perhatian khusus dan diunggulkan daripada keterampilan lain sehingga menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah. Tak hanya itu. Sebagai bentuk apresiasi dan kebanggaan tersendiri, kain batik hasil karya seorang siswa dijadikan seragam wajib pada hari tertentu.

Kemudian Faizah, aku, Pak Eki, dan Pak Suhandayana (asal Surabaya yang datang belakangan dari Kemiren), bergantian bicara di depan siswa. Intinya, kami memaparkan sekelumit pengetahuan dasar tentang sastra dan dunia tulis-menulis. Selebihnya kami menceritakan proses kreatif sebagai pemantik bagi mereka supaya punya ketertarikan untuk membaca dan menulis.

Selesai diskusi, kami diajak ke Geopark. Sebuah miniatur Watu Dodol dan beberapa situs lain di sudut halaman sekolah. Geopark ini dikerjakan dan dirawat oleh seorang lelaki gempal bernama Pak Mujianto dengan bantuan sejumlah siswa. Hal tersebut, kukira, menunjukkan betapa sangat intimnya hubungan orang Banyuwangi dengan alam. Adapun SMPN 1 Kalipuro sendiri memang berdiri di tengah panorama mooi indie. Selain mepet sawah sebagaimana kata Bu Nisa, ada aliran Kali Sumber Penawar membelah halaman sekolah. Puitis sekali, pikirku.

Bersama para guru, kami lantas menyantap nasi pecel rawon. Setahuku, pecel dan rawon adalah dua jenis masakan yang tidak punya hubungan kekerabatan. Baru kali ini aku menjumpai keduanya sekandung dalam satu piring. Irisan daging sapi bertemu sayur kangkung; kuah sup hitam berbaur sambal kacang. Sebuah kolaborasi yang guyub, langsung akrab di lidah dan bikin nagih. Apalagi dimakan dengan kerupuk udang, yang seakan memang hanya ditakdirkan menjadi pelengkap bagi makanan berkuah seperti rawon.

Menghadiri Jambore Sastra di Banyuwangi
Miniatur Watu Dodol di Geopark SMPN 1 Kalipuro/Daviatul Umam

Mampir ke Watu Dodol dan Pantai Cacalan

Di mana-mana, perpisahan pastilah menjadi konsekuensi dari pertemuan. Usai menerima kenang-kenangan dari Bu Nisa berupa kain batik karya para siswa, kami berpamitan. Namun, sebelum kembali ke Kemiren, Pak Mujianto dan Bu Kanti terlebih dahulu mengantar kami ke Watu Dodol dan Pantai Cacalan sebagai bagian dari kegiatan Penyair School Visit.

Watu Dodol merupakan objek wisata gratis yang relatif dekat dengan Pelabuhan Ketapang. Kurang lebih sama dengan miniaturnya di Geopark SMPN 1 Kalipuro. Maksud “watu dodol” tak lain batu hitam besar menjulang yang terjepit dua lajur jalan raya.

Tidak cukup lama kami di sana. Begitu selesai mengabadikan momen di bawah patung penari gandrung berlatar Selat Bali, perjalanan dilanjutkan ke Pantai Cacalan. Cahaya sore masih lumayan terik. Kami ngadem di pinggir rawa, berpayung pohon-pohon hias nan rindang. Dari bangku kayu yang kami duduki, di kejauhan tampak terbujur daratan Pulau Dewata.

Rawa itu amat terawat. Airnya jernih. Pengunjung bisa bersenang-senang dengan menyewa kano atau perahu karet seharga Rp10.000–20.000. Kami sendiri lebih memilih mengobrol saja sambil menikmati tahu walik dan es degan.

  • Menghadiri Jambore Sastra di Banyuwangi
  • Menghadiri Jambore Sastra di Banyuwangi

Seminar Sastra di Marina Boom

Sabtu pagi (26/10/2024), aku dan Helmy mengemasi barang-barang ke dalam tas. Saatnya kami pamit pulang ke Bu Ti’anah dan Pak Suroso sembari berterima kasih dan memohon maaf atas segalanya.

“Kapan-kapan main lagi, ya. Nginap di sini,” ujar Bu Ti’anah lalu menyodorkan dua kain mafela batik kepada kami. Kami hanya bisa membalas dengan ucapan terima kasih.

Kami tidak langsung pulang ke Sumenep, karena kami hendak mengikuti acara Seminar Sastra di Pantai Marina Boom. Setibanya kami di Gedung Juang, tempat seminar, acara sudah dimulai. Dipandu Dr. Tengsoe Tjahjono, acara bertajuk Revitalisasi Sastra Lokal Memperkaya Sastra Nasional itu mulanya diisi Riri Satria yang memaparkan materi tentang tantangan menulis di era kecerdasan buatan. Selanjutnya Sofyan RH. Zaid menyampaikan hasil bacaannya terhadap puisi-puisi dalam buku “Ijen Purba: Tanah, Air, Batu”, lalu disusul orasi sastra oleh D. Zawawi Imron. Sesi tanya jawab memungkasi seminar.

Itulah acara terakhir kami di JSAT Banyuwangi. Sejatinya kami ingin menonton pagelaran tarian Gandrung Sewu di pantai itu. Namun, kami harus segera pulang karena salah satu teman rombongan hendak mengejar acara lain di Gedung Cak Durasim, Surabaya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengikuti Jambore Sastra di Banyuwangi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengikuti-jambore-sastra-di-banyuwangi/feed/ 0 44258
Kala Telunjuk Raung Bermain Kata-Kata https://telusuri.id/kala-telunjuk-raung-bermain-kata-kata/ https://telusuri.id/kala-telunjuk-raung-bermain-kata-kata/#respond Thu, 04 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41600 Nasihat sering kali tidak sampai ke hati lantaran sebuah situasi dan kondisi yang tidak tepat. Pada beberapa kasus, nasihat justru lebih mudah diterima ketika disampaikan dalam keadaan yang menyenangkan. Misalnya saja, nasihat yang disampaikan oleh...

The post Kala Telunjuk Raung Bermain Kata-Kata appeared first on TelusuRI.

]]>
Nasihat sering kali tidak sampai ke hati lantaran sebuah situasi dan kondisi yang tidak tepat. Pada beberapa kasus, nasihat justru lebih mudah diterima ketika disampaikan dalam keadaan yang menyenangkan. Misalnya saja, nasihat yang disampaikan oleh tempat wisata yang disenangi.

Tentu saja ini akan sedikit membingungkan. Bagaimana bisa tempat wisata memberikan sebuah wejangan atau nasihat? Bukankah tempat wisata adalah tempat mencari kesenangan dan hiburan? 

Kebingungan para pembaca akan terobati saat menyempatkan waktu luangnya mengunjungi wisata air terjun Telunjuk Raung. Air terjun ini terletak di Desa Sumberarum, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi. Dari pusat kota Banyuwangi kira-kira berjarak 40 kilometer atau 1,5 jam dengan kendaraan bermotor.

Kala Telunjuk Raung Bermain Kata-Kata
Derasnya aliran air terjun Telunjuk Raung/Akhmad Idris

Oase di Pegunungan

Sebagaimana namanya, air terjun ini masih berada di wilayah lereng Gunung Raung, Banyuwangi. Sementara penggunaan nama “telunjuk” disebabkan oleh wujud aliran air terjun yang menyerupai bentuk salah satu ruas jari tangan manusia.

Tidak ada biaya tiket masuk khusus untuk menikmati salah satu destinasi wisata alam terpopuler di Bumi Blambangan tersebut. Pengunjung hanya perlu membayar tarif parkir Rp10.000 untuk mobil atau Rp5.000 untuk motor. Dari tempat parkir, selanjutnya hanya perlu berjalan kaki sejauh kurang lebih 600 meter untuk tiba di air terjun berdebit deras itu.

Bertualang ke air terjun Telunjuk Raung seakan menjadi oase atas hiruk piruk maupun kepenatan hidup di perkotaan. Di air terjun ini, terdapat hamparan hijau kawasan hutan khas pegunungan yang menyejukkan pikiran. Jernihnya air yang bergemuruh di atas kolam berbuih putih kebiruan juga menyegarkan tubuh.

Karena berada di wilayah pegunungan, tentu saja berada di sini bakal jauh dari kebisingan. Suasana hati akan menjadi lebih baik saat mendengarkan gemericik air hingga cuitan burung-burung yang hidup di sekitarnya.

Lalu, bagaimana cara Telunjuk Raung memberikan nasihat?

Quotes Unik sekaligus Mendidik di Telunjuk Raung

Quotes memiliki arti “kutipan”. Dewasa ini, lebih-lebih di era digitalisasi, quotes menjadi lebih populer karena digunakan sebagai bahan unggahan di media-media sosial dengan pelbagai fungsi. Mulai dari memberikan nasihat, ungkapan rasa—baik itu cinta, kasih, tersakiti, maupun sejenisnya—hingga untuk memberikan sindiran. Nasihat menjadi lebih teduh ketika disampaikan dengan kalimat yang baik dan estetis, apalagi dengan penggunaan template atau format yang juga menarik.

Sindiran menjadi lebih berkelas ketika diolah sedemikian rupa maupun dengan diksi yang berirama. Setidaknya menyindir tidak lagi hanya mencakup sisi emosi, tetapi juga menuntut olah kreasi. Sederhananya, media sosial akan bermanfaat di tangan orang-orang yang tepat. Saya menganalogikan, palu dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah di tangan ahli bangunan, sekaligus bisa menjadi alat pengantar untuk mendekam di jeruji besi bagi seorang pembunuh.

Di air terjun Telunjuk Raung, terdapat banyak quotes unik yang terkesan unik, tetapi sebenarnya mendidik. Satu di antaranya adalah quotes tentang kritik ekologis, yaitu seruan peduli terhadap lingkungan alam yang disampaikan dengan menggelitik. Contohnya seperti ini: “Jika Anda tidak mampu membuang sampah di tempatnya, maka telanlah makanan anda beserta bungkusnya.

Kalimat itu sejatinya merupakan nasihat kepada para pengunjung agar membuang sampah—biasanya berupa bungkus-bungkus makanan—di tempat sampah yang telah disediakan. Tempat alami yang masih bersih dan asri ini sudah seyogianya dijaga dari noda-noda sampah yang dapat merusak keberlanjutannya sebagai daya tarik wisata.

  • Kala Telunjuk Raung Bermain Kata-Kata
  • Kala Telunjuk Raung Bermain Kata-Kata

Di sisi lain, imbauan tersebut sejatinya merupakan buntut dari kebiasaan buruk sebagian masyarakat Indonesia. Tidak sedikit yang “gemar” merusuhi tanah airnya sendiri dengan membuang sampah sembarangan. Sampah-sampah berserakan di pelbagai tempat wisata, tak terkecuali destinasi-destinasi berkelas dunia.

Saya menemukan lagi quotes lainnya yang bertemakan wawasan ekologis. Kalimat nasihat itu berbunyi: “Belajarlah dari alam karena alam bisa memberikan pelajaran dan keindahan tak ternilai.

Lewat kutipan tersebut, Telunjuk Raung ingin menegaskan kembali ungkapan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara. Pendiri perguruan Taman Siswa itu menyatakan bahwa setiap tempat adalah sekolah.

Jika arti hakiki sekolah adalah tempat menerima dan memberi pelajaran, maka alam juga layak disebut sebagai sekolah. Manusia dapat banyak belajar dari alam lewat ketenangan, keindahan, dan kebersihannya. Manusia bisa belajar bahwa setiap hal yang tenang selalu jauh dari keramaian, setiap hal yang indah selalu dijaga sejak lama, dan setiap hal yang bersih diperoleh dari masyarakat yang peduli. Pada akhirnya, lewat kata-katalah manusia diharapkan mulai lebih peka terhadap lingkungan sekitarnya.

Kala Telunjuk Raung Bermain Kata-Kata
Siapa di antara kalian yang punya kenangan pahit dengan sang mantan/Akhmad Idris

Tak hanya nasihat peduli lingkungan, di air terjun ini juga terdapat quotes menggelitik lainnya tentang asmara. Misalnya yang tertulis pada salah satu papan kayu “Tempat menenggelamkan kenangan”.

Sungguh saya sampai tertawa terbahak-bahak setelah membaca kalimat tersebut. Makna yang tersirat agaknya tentang mengikhlaskan kenangan-kenangan menyakitkan; yang biasanya bersumber dari barisan para mantan kekasih. Semua kenangan menyesakkan itu, secara harfiah dianjurkan untuk dibuang di sebuah sungai kecil, yang mengalir di depan papan kayu yang melekat pada gubuk sederhana beratap terpal.

Begitulah sisi unik dan menarik di kawasan air terjun Telunjuk Raung. Pengunjung bisa berwisata sekaligus bermain kata-kata, bahkan mengimajinasikan quotes-nya sendiri sesuai suasana hati.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kala Telunjuk Raung Bermain Kata-Kata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kala-telunjuk-raung-bermain-kata-kata/feed/ 0 41600
Eksotisme Panorama Kawah Ijen https://telusuri.id/eksotisme-panorama-kawah-ijen/ https://telusuri.id/eksotisme-panorama-kawah-ijen/#respond Sun, 24 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40650 Kawah Ijen adalah salah satu destinasi wisata yang terletak di kawasan Geopark Ijen. Dapat diakses dari Bondowoso maupun Banyuwangi. Dengan ketinggian mencapai 2.386 meter di atas permukaan laut (mdpl), Gunung Ijen adalah tujuan pendakian yang...

The post Eksotisme Panorama Kawah Ijen appeared first on TelusuRI.

]]>
Kawah Ijen adalah salah satu destinasi wisata yang terletak di kawasan Geopark Ijen. Dapat diakses dari Bondowoso maupun Banyuwangi. Dengan ketinggian mencapai 2.386 meter di atas permukaan laut (mdpl), Gunung Ijen adalah tujuan pendakian yang ramah, bahkan untuk pemula yang belum pernah mendaki gunung sebelumnya. Perjalanan ke Kawah Ijen tergolong ringan dan aksesnya sangat mudah.

Dalam perjalanan kali ini, saya beserta delapan orang dalam satu rombongan memilih rute Bondowoso. Meskipun lebih panjang, tetapi lebih menantang dan kami lebih suka menggunakan sepeda motor daripada mobil. Total ada lima motor yang digunakan.

Kami memutuskan berangkat sore, dengan perkiraan sampai di Pos Paltuding sebelum pukul 20.00 WIB. Kemudian beristirahat di sana sampai loket pendakian dibuka pada pukul 02.00. Alasan kami memilih perjalanan malam adalah untuk menyaksikan fenomena blue fire di Kawah Ijen, yang hanya bisa dilihat pada dini hari hingga menjelang Subuh.

Eksotisme Panorama Kawah Ijen
Kami melakukan perjalanan ke Kawah Ijen melalui Kabupaten Bondowoso/Agus Miftahorrahman

Perjalanan ke Kawah Ijen via Bondowoso

Perjalanan kami dimulai dari pusat kota Bondowoso menuju Tapen dengan sepeda motor sekitar 30 menit. Setibanya di Tapen, kami berbelok kanan ke Jalan Ijen sampai tiba di minimarket terakhir. Letaknya di Desa Sumber Gading. Kami beristirahat sejenak dan membeli beberapa keperluan lain di minimarket tersebut. Setelah merasa cukup istirahat dan perbekalan kami lengkap, sekitar pukul 17.00 perjalanan kami lanjutkan menuju Pos Paltuding.

Kami mengambil belokan ke kiri di pertigaan minimarket Ijen, lalu mendaki jalan berkelok yang memakan waktu sekitar 45 menit. Jika Anda menggunakan sepeda motor, sebaiknya menggunakan sepeda motor bebek atau sport bike agar perjalanan terasa nyaman saat melewati tanjakan. Bagi yang menggunakan sepeda motor matic, disarankan membawa yang memiliki kapasitas mesin 150cc.

Perjalanan panjang menuju titik pemberhentian selanjutnya, yaitu Pos 1 Malabar terasa menyenangkan. Hijaunya pepohonan dan sinar senja dari ufuk barat menyertai perjalanan kami. Rute Bondowoso memang menawarkan lebih banyak destinasi tambahan dibandingkan dari arah Banyuwangi.

Matahari sudah terbenam dan suhu udara mulai menusuk tatkala kami tiba di Pos 1 Malabar. Untungnya, di sana ada api unggun yang selalu menyala setiap malam untuk menghangatkan badan. Saya yang sedang menyetir langsung menuju api unggun, sementara anggota rombongan lainnya mengisi buku tamu. Kami rehat sejenak 15 menit di sini

Bagi yang kehabisan bahan bakar kendaraan, tidak perlu khawatir. Di Pos 1 Malabar, Anda dapat membeli sebotol Pertalite dengan harga 10 ribu rupiah. Jadi, pastikan Anda memeriksa bahan bakar kendaraan sebelum meninggalkan pos tersebut.

Suasana pegunungan dan angin malam yang dingin benar-benar terasa. Tanpa pakaian hangat dan sarung tangan, kami merasa agak menggigil saat menyetir.

Usai melewati perkebunan kopi Jampit, kami tiba di Sempol. Kami menemukan permukiman warga yang unik dan menarik. Jalan satu-satunya ke Ijen diapit oleh rumah-rumah warga berdempetan. Di desa ini juga terdapat masjid, puskesmas, dan beberapa toko kelontong bagi yang ingin berhenti sejenak untuk membeli keperluan.

Selepas Sempol, Pos 2 Belawan jadi titik terakhir sebelum Paltuding. Sebenarnya, di semua pos yang kami lewati tidak perlu membayar biaya. Cukup mencatat nama rombongan di Pos 1 Malabar untuk menuju Paltuding.

Sekitar pukul 19.45 akhirnya kami menginjakkan kaki di Pos Paltuding. Kami segera memarkirkan sepeda motor dan mencari tempat mendirikan tenda. Ada biaya juga untuk “parkir” tenda sebesar 5.000 rupiah, sangat terjangkau.

Ketika mendirikan tenda, beberapa pedagang lokal menawarkan aneka aksesoris untuk naik ke Kawah Ijen. Ada sarung tangan 10 ribu rupiah per pasang, kupluk rajut 10 ribu rupiah, dan jas hujan plastik seharga 20 ribuan. Meskipun sedikit lebih tinggi dari harga biasa, kami putuskan buat beli jas hujan plastik karena lupa membawa dari rumah.

Kira-kira 15 menit kemudian tenda telah selesai dirakit. Kami membangun tenda dekat bangunan untuk menghindari hujan. Dan benar saja, beberapa saat kemudian gerimis turun dan membuat suasana Paltuding makin dingin.

Setelah kami mengisi perut dengan mi instan dan kopi, kami lekas tidur sembari menunggu loket pendakian buka. Kami menggunakan matras dan sarung untuk menangkal dinginnya malam.

Pendakian ke Puncak Kawah Ijen

Tidak terasa, dini hari tiba. Kami terbangun sekitar pukul 01.30. Salah satu kawan saya membangunkan anggota lainnya yang masih tertidur. Kami bangun setengah jam lebih awal dari jam buka loket supaya bisa mempersiapkan tubuh agar tidak kram selama pendakian. Beberapa dari kami bahkan menempelkan koyo ke hidung untuk mengusir dingin dan membantu pernapasan.

Setelah semua anggota rombongan siap, kami menuju loket pendakian yang sudah penuh pengunjung. Beruntung kami telah melakukan reservasi daring sebelumnya. Kami tidak perlu mengantre lama dan bisa langsung mendaki setelah mendapat tiket pendakian. Tarif tiketnya Rp20.000 per orang.

Biasanya, loket pendakian Taman Wisata Alam (TWA) Kawah Ijen buka mulai pukul 01.00. Kemudian berubah menjadi pukul 02.00 untuk menghindari penumpukan wisatawan.

Namun, Anda masih bisa memulai pendakian pada pukul 01.00, asalkan bersedia membayar biaya tambahan sekitar 2,3 juta rupiah per orang. Biaya tersebut diklaim oleh agen perjalanan untuk mengurus SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) sehingga bisa masuk kawasan lebih awal. Dalam paket ini, Anda juga akan mendapatkan fasilitas, seperti taksi troli, senter, jas hujan, dan pemandu yang membantu membawa barang selama pendakian.

Hal menarik lain yang kami temui di Kawah Ijen adalah taksi atau ojek troli. Ini adalah kendaraan berbentuk troli yang dimodifikasi dengan tempat duduk sofa dan dioperasikan tiga orang. Dua orang menarik troli dari depan, dan satu orang mendorong dari belakang. Bagi yang tertarik untuk mencoba naik troli, Anda harus merogoh kocek sekitar 500 ribu rupiah untuk naik dan 300 ribu rupiah untuk turun.

Namun, kami memilih berjalan kaki. Selama masih bisa melakukannya, mengapa tidak?

Rute pendakian ke Kawah Ijen sepanjang 3,4 kilometer dapat saya anggap cukup ramah. Meskipun selama pendakian menemui beberapa kelokan dan satu tanjakan panjang. Ritme pendakian kami di separuh awal pendakian cukup stabil, meskipun tidak secepat wisatawan asing yang kami temui. Beragamnya latar belakang wisatawan yang berkunjung menunjukkan Kawah Ijen sudah dikenal banyak orang.

Sekitar setengah perjalanan, ritme kami melambat. Kelelahan mulai terasa. Keringat mengalir deras, menghilangkan rasa dingin dini hari. Selain itu, jalur yang basah akibat hujan semalam membuat pendakian kian sulit.

Kami berhenti sejenak. Salah satu anggota rombongan merasa mabuk gunung dan perlu beristirahat. Dengan perlengkapan dan P3K yang kami bawa, ia bisa pulih kembali. Kami melanjutkan pendakian dengan ritme yang lebih pelan agar tidak terpisah satu sama lain.

Kami sampai di pos terakhir sebelum puncak tepat saat azan Subuh berkumandang. Kami mendengar deringnya dari ponsel salah satu anggota rombongan. Sinyal internet sepanjang pendakian memang cukup baik, terutama Pos Paltuding dan puncak.

Akhirnya pada pukul 05.00, setelah mendaki hampir tiga jam, kami tiba di puncak Kawah Ijen.

Panorama Pagi di sekitar Kawah Ijen

Pemandangan dari puncak Kawah Ijen sangat memukau. Bagi saya, Kawah Ijen memberikan pengalaman yang sangat berbeda daripada gunung-gunung lain.

Ketika tiba di puncak, kami melihat Gunung Raung menyambut di sebelah barat daya. Tak hanya itu. Selain vegetasi hijau yang tumbuh di pegunungan, terlihat juga pohon-pohon yang terbakar akibat hawa panas dari uap belerang Kawah Ijen.

Pemandangan pohon gosong memberikan nuansa yang sangat khas. Di sisi lain dari puncak kawah, terdapat sabana hijau kecil yang tampak kontras dan memiliki keindahannya tersendiri.

Meskipun kami tidak bisa melihat fenomena blue fire secara langsung, karena hujan dan pendakian yang berjalan lambat, pemandangan kolam belerang berwarna toska tetap memukau. Menikmati keindahan alam seperti ini adalah pengalaman yang luar biasa.

Bagi yang ingin membawa pulang kenang-kenangan, tidak perlu khawatir. Di area puncak, beberapa pekerja tambang menjual kerajinan tangan yang terbuat dari belerang. Harganya mulai dari 10 ribu rupiah. Anda dapat memilih aneka suvenir, seperti miniatur keranjang penambang belerang dan berbagai bentuk lainnya.

Jika ingin melihat kolam belerang lebih dekat, Anda dapat turun ke area penambangan. Pastikan untuk mengenakan masker pelindung terlebih dahulu. Jika tidak memiliki masker, Anda dapat menyewanya dari penduduk setempat.

Puas menikmati keindahan Kawah Ijen, kami pun turun kembali ke Pos Paltuding. Di Paltuding, kami istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke rumah masing-masing.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Eksotisme Panorama Kawah Ijen appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/eksotisme-panorama-kawah-ijen/feed/ 0 40650
Menyeberang ke Pulau Merah https://telusuri.id/menyeberang-ke-pulau-merah/ https://telusuri.id/menyeberang-ke-pulau-merah/#respond Fri, 08 Jul 2022 02:44:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34492 Banyuwangi terkenal dengan keindahan pantainya, di kota ini terdapat lebih dari 20 pantai. Salah satunya yang banyak dikunjungi wisatawan yaitu Pantai Pulau Merah, terkenal oleh kalangan wisatawan karena memiliki Pulau Merah. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata...

The post Menyeberang ke Pulau Merah appeared first on TelusuRI.

]]>
Banyuwangi terkenal dengan keindahan pantainya, di kota ini terdapat lebih dari 20 pantai. Salah satunya yang banyak dikunjungi wisatawan yaitu Pantai Pulau Merah, terkenal oleh kalangan wisatawan karena memiliki Pulau Merah. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi memperkenalkannya ke dunia internasional sebagai Merah Island Beach. Dulunya bernama Pantai Ringinpitu karena banyak pohon beringin di sekitar pantai, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Pantai Pulau Merah.

Pantai Pulau Merah terletak di Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran. 80 kilometer dari pusat Kota Banyuwangi. Baik dari Kota Banyuwangi maupun Jember, dari arah Jajag hingga perempatan lampu merah Jajag—yang ditandai dengan patung macan putih di tengahnya—setelahnya akan menjumpai banyak penunjuk arah menuju Pantai Pulau Merah. Diskominfo Banyuwangi, Dishub Banyuwangi, dan Disbudpar Banyuwangi menyediakan angkutan wisata gratis untuk pejalan yang tidak menggunakan kendaraan pribadi. Program ini diadakan beberapa kali setiap bulannya.

Deretan penginapan berupa homestay dan vila yang tak dapat dihitung dengan sepuluh jari tangan saya, berjajar di sekitar lokasi, 300 meter sebelum loket yakni mulai masuk Jalan Pantai Pulau Merah. Petugas menyambut kami di loket, di situ tertera harga tiket masuk Rp10.000 per orang, parkir kendaraan bermotor roda empat Rp5.000 dan Rp2.000 untuk kendaraan roda dua.

Geopark Nasional

Pulau Merah merupakan tiang batu (sea stack) yang terdapat sekitar 200 meter dari pinggir pantai berpasir putih. Dinamakan merah karena berasal dari batuan berwarna merah dari mineral yang mengandung besi. Batuan beku jenis diorit atau granodiorit yang disingkapkan Pulau Merah, mengalami alterasi (perubahan), dan terkekarkan dengan kuat karena diterobos berkali-kali oleh magma di bawah gunung api purba yang masih aktif 8-4 juta tahun yang lalu. Pada 3,2 juta tahun yang lalu aktivitas vulkanisme telah terhenti hingga sekarang.

Pada 2018, Komite Geopark Nasional menetapkan Situs Geologi Pulau Merah sebagai Taman Bumi atau Geological Park (Geopark Nasional) yang menjadilaboratorium geologi dunia.

Gapura Pulau Merah
Gapura Pulau Merah/Malikha Emayushita

Dari tempat parkir tampak gapura bertuliskan “Pantai Pulau Merah”, pulau seakan terbingkai dalam gapura. Untuk memotret, atau sekedar swafoto, saya harus antre dengan dua ibu berusia lebih dari setengah abad yang asyik dengan gawai masing-masing, mereka berulang kali mengambil potret diri karena merasa kurang puas dengan hasil foto yang sudah diambil. Saya akui,  pergi ke sini saat akhir pekan bukan pilihan yang tepat. Jumlah pengunjung lebih banyak dari hari-hari biasa.

Biota Laut pada Hamparan Koral

Pantai Pulau Merah memiliki hamparan pasir putih sepanjang 3 kilometer. Terkenal dengan ombaknya hingga setinggi 5 meter. Selain bermain dengan deburan ombak, pengunjung juga bisa menyeberang ke Pulau Merah, sebuah pulau dengan bukit kecil berwarna hijau setinggi sekitar 200 meter. Sore hari jika ombak tenang dan air laut surut hingga sebatas mata kaki, kita bisa menyeberang, menyusuri karang menuju pulau yang pasirnya berwarna kemerahan.

Jika dihubungkan, Pulau Merah merupakan fosil dari Gunung Ijen. Bongkah batu yang banyak mengandung besi menimbulkan pecahan koral, sehingga banyak hewan invertebrata menempati zona tersebut, seperti kima (Tridacnidae), tiram (Ostreidae), bintang rapuh (Frittle Star), teripang (Holothuroidea), cacing laut (Polychaeta), dan bulu babi (Echinoidea).

Sore itu ketika kami melintasi koral, air laut terlihat jernih, sehingga biota laut terlihat jelas. Saat itu yang kami jumpai pada hamparan koral hanya cacing laut, bintang rapuh, dan bulu babi. Saat tiba di pulau, saya memandang air beriak. Berkeliling menggunakan perahu nelayan.

Terdapat Pura Segara Tawang Alun dan Langgar Jogo Segoro

Di Kawasan Pantai Pulau Merah terdapat Pura Tawang Alun, pura ini berdiri tahun 1980, untuk mengenang Prabu Tawang Alun. Biasanya, pemeluk agama Hindu yang melaksanakan upacara Mekiyis di sini. Pura ini juga dikenal melalui upacara Melasti yang diadakan setiap menjelang Hari Raya Nyepi.

Kawasan yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyuwangi Selatan ini dilengkapi musala bernama Langgar Jogo Segoro, yang terletak di tepian pantai sebelah selatan, disediakan untuk umat muslim menunaikan salat . Langgar dalam bahasa Jawa yang artinya musala atau surau. Sehingga bagi para wisatawan muslim yang berkunjung ke Pantai Pulau Merah seharian tentunya merasa nyaman, karena keberadaan musala.

Bangunan tersebut dibangun pada 2 Februari 2020, digagas oleh Tanggung Ahmad Fauzy, yang dikenal dengan Abah Tanggung. Bila sebelumnya berbentuk kecil, lalu pada 16 Maret 2021 ada pembangunan lanjutan. Kayu-kayu sebitan atau kayu sisa tebangan, dan juga bebatuan pantai tampak menghias gapura musala.

Berkali-kali datang ke Pantai Pulau Merah, saya tak pernah bosan. Justru tiap kali ke sana ada saja hal baru yang menarik. Karena menikmati pantai ini tak hanya cukup dengan satu aktivitas saja dan menelusuri satu bagian saja.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyeberang ke Pulau Merah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyeberang-ke-pulau-merah/feed/ 0 34492
Merengkuh Keelokan Nan Mistis De Djawatan https://telusuri.id/merengkuh-keelokan-nan-mistis-de-djawatan/ https://telusuri.id/merengkuh-keelokan-nan-mistis-de-djawatan/#respond Fri, 07 May 2021 02:15:26 +0000 https://telusuri.id/?p=27851 Kawasan ujung timur Pulau Jawa selalu dikenal dengan kesan magis nan mistis. Keberadaan hutan belantara dan kehadiran salah satu taman nasional, menjadikan wilayah ini semakin dekat dengan unsur gaib. Belum lagi baru-baru ini, komunitas berisikan...

The post Merengkuh Keelokan Nan Mistis De Djawatan appeared first on TelusuRI.

]]>
Kawasan ujung timur Pulau Jawa selalu dikenal dengan kesan magis nan mistis. Keberadaan hutan belantara dan kehadiran salah satu taman nasional, menjadikan wilayah ini semakin dekat dengan unsur gaib. Belum lagi baru-baru ini, komunitas berisikan para dukun, yang menyebut dirinya sebagai Perdunu (Persatuan Dukun Nusantara) akan mengadakan Festival Santet. 

Ya, Banyuwangi yang dikenal sebagai Sunrise of Java, tidak hanya menyimpan keindahan alam khas pesisir pantai. Namun berbagai kekuatan spiritual dalam aktivitas keseharian masyarakatnya begitu erat kaitannya dengan Banyuwangi. Sehingga timbul keengganan dan kekhawatiran saya untuk mengunjungi sebuah hutan disana. Pikiran buruk terkait hutan, mulai dari angker dan banyak arwah bergentayangan terus menghantui. Hanya keyakinan dan tekad bulat yang pada akhirnya menjadi modal saya untuk memberanikan diri.

Bukan Taman Nasional Baluran atau Alas Purwo yang diduga sebagai latar belakang cerita KKN Desa Penari sebagai tujuan. Tetapi De Djawatan, lebih lengkapnya ialah De Djawatan Benculuk. Dari namanya saja, yang ada di benak saya adalah hutan dengan sentuhan modernitas khas Eropa. Sehingga kecurigaan mulai pupus digantikan oleh rasa penasaran.

Benar saja, ucapan rasa takjub tidak terasa terlontar begitu saja keluar dari mulut. Indah, segar, dan sejuk, tiga kata yang saya patut sandingkan untuk De Djawatan. Hutan ini membuat ingatan saya melalang buana kepada cuplikan Film Lord of The Rings, yaitu seperti Hutan Fangorn. Hutan ini dipenuhi rangkaian pepohonan trembesi yang tersusun rapi.

De Djawatan Benculuk

De Djawatan/Melynda Dwi

De Djawatan Benculuk terletak di Desa Benculuk, sesuai namanya, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi. Ditempuh dengan jarak sekitar 38 km dari Pantai Pulau Merah, salah satu pantai terkenal di Banyuwangi. Serta hanya merogoh uang sebesar Rp5 ribu, saya begitu dimanjakan dengan suasana ijo royo-royo .

Fasilitas yang ditawarkan pun cukup lengkap, mulai dari toilet, musholla hingga kantin. Alhasil ketakutan akan stigma negatif hutan Banyuwangi lenyap sudah. Karena Hutan De Djawatan telah dipermak sedemikian rupa sehingga patut dijadikan salah satu tempat wisata favorit.

De Djawatan Benculuk dinaungi langsung oleh Perhutani KPH Banyuwangi. Walaupun hutan lindung ini nampak tidak terlalu luas, hanya berkisar 3,8 hektar. Namun pesona sekitar 800-an pohon trembesi yang nampak kokoh nan gagah peninggalan zaman Belanda ini sangatlah memanjakan mata.

Bahkan wisatawan akan dibuai dengan beragam alternatif wahana, seperti delman dan mobil ATV. Dibangunnya jembatan dan rumah pohon juga menambah nilai estetika bagi pengunjung yang mengejar spot foto instagramable. Rerumputan yang tersaji di hamparan tanah juga terlihat rapi dan bersih. Sehingga banyak orang yang memanfaatkannya sebagai alas untuk menggelar tikar.

Pohon Trembesi/Melynda Dwi

Sebenarnya atmosfer mistis masih begitu kental di sini akibat tumbuhnya benalu jenis pakis-pakisan yang mengelilingi batang pohon trembesi hingga menjulur ke bawah. Suara kepakan sayap kelelawar semakin menambah suasana horor. Aroma tanah lembab, dedaunan berguguran, dan sarang kelelawar menjadi keunikan tersendiri. Apalagi jika pengunjung tiba saat matahari mulai kembali ke peraduan. Dijamin bulu kuduk mulai berdiri, tapi tenang, hutan ini selalu ramai kunjungan. Sayangnya, hutan ini hanya dibuka sampai pukul 17:00 WIB. Bagi penggemar jenis wisata yang memacu adrenalin, harus menelan kekecewaan karena tidak bisa merasakan suasana malam.

Dibalik keangkeran De Djawatan Benculuk, pohon trembesi menyimpan berbagai manfaat luar biasa. Sebagai tumbuhan yang memiliki masa pertumbuhan relatif cepat, 75 cm – 150 cm per tahun. Trembesi mampu menyerap karbondioksida (CO2) lebih tinggi dari jenis tumbuhan lainnya, yaitu sebesar 28,5 ton CO2/pohon/tahun. Tidak mengherankan apabila udara di De Djawatan sangatlah segar. Padahal di sekitar hutan ini terdapat riuh aktivitas perdagangan di Pasar Benculuk. Pohon Trembesi juga dikenal sebagai tumbuhan yang kuat karena mampu bertahan hidup pada berbagai musim dengan perubahan suhu ekstrim. Tumbuhan dengan nama latin Samanea Saman ini mampu tumbuh mencapai ketinggian 20 meter. Di Sunda, tumbuhan ini dikenal dengan nama Ki Hujan, karena mampu meneteskan air hujan dari tajuk pohonnya.

Jembatan Membelah Pohon Trembesi/Melynda Dwi

Konon katanya, De Djawatan Benculuk didirikan mulai tahun 1950-an, yang dulunya diperuntukkan sebagai tempat untuk menimbun kayu. Juga terdapat sisa rel kereta api di sekitar hutan ini, yang menandakan bahwa Benculuk pernah berjaya karena menjadi salah satu wilayah pusat ekonomi di Banyuwangi. Namun ketenaran De Djawatan sebagai lokasi penghasil kayu berkualitas telah meredup akibat penebangan kayu secara besar-besaran. Hingga pada akhirnya areal Djawatan tidak terurus, tetapi malah menambah nilai keeksotisannya.

Sungguh saya tidak menyesal telah mengunjungi De Djawatan Benculuk. Saat berpergian ke Banyuwangi, sempatkanlah mampir. Dengan biaya yang sangat terjangkau, tentunya tidak akan memberatkan dompet. Jadikan De Djawatan Benculuk sebagai salah satu tempat yang wajib didatangi di Banyuwangi. Karena menikmati pesona hutan tidak hanya sebagai cara untuk menyegarkan pikiran semata. Namun juga sebagai wujud kecintaan kepada alam Indonesia.

The post Merengkuh Keelokan Nan Mistis De Djawatan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merengkuh-keelokan-nan-mistis-de-djawatan/feed/ 0 27851