batik Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/batik/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 23 Mar 2023 00:39:19 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 batik Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/batik/ 32 32 135956295 Lenggak-lenggok Peraga Busana Berbatik di Sriwedari https://telusuri.id/lenggak-lenggok-peraga-busana-berbatik-di-sriwedari/ https://telusuri.id/lenggak-lenggok-peraga-busana-berbatik-di-sriwedari/#respond Thu, 16 Dec 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30889 Batik dan Kota Solo bisa dibilang seperti ikan dan air. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Kota Solo bahkan disebut-sebut sebagai the Capital of Batik alias Ibukota Batik. Selain ada museum batik, di Solo juga ada pasar...

The post Lenggak-lenggok Peraga Busana Berbatik di Sriwedari appeared first on TelusuRI.

]]>
Batik dan Kota Solo bisa dibilang seperti ikan dan air. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Kota Solo bahkan disebut-sebut sebagai the Capital of Batik alias Ibukota Batik. Selain ada museum batik, di Solo juga ada pasar khusus batik. Siapa yang tak kenal Pasar Klewer, yang lokasinya hanya sepelemparan batu dari Bundaran Gladak dan Keraton Surakarta. 

Dengan jumlah kios mencapai hampir 3.000 unit, Pasar Klewer kini menjadi pusat perdagangan kain batik terbesar di Indonesia. Aneka ragam motif batik bisa kita temukan di pasar ini, baik batik tulis maupun batik cap, dari mulai harga belasan ribu rupiah hingga yang ratusan ribu rupiah.

Dulu sekali, Pasar Klewer bernama Pasar Slompretan. Beberapa literatur menyebut di masa pendudukan Jepang, kawasan Klewer sempat menjadi tempat pemberhentian kereta api. Setiap kereta api yang hendak berangkat, biasanya membunyikan klakson terlebih dahulu yang bunyinya mirip terompet—yang dalam bahasa Jawa disebut sebagai slompret.

Pasar Klewer
Pasar Klewer/Djoko Subinarto

Di masa itu, sudah banyak pedagang yang menjajakan kain batik dengan cara menaruhnya di pundak mereka sehingga tampak menggelantung atau disebut kleweran, dalam bahasa Jawa. Nah, lambat laun, orang-orang pun kemudian menyebut Pasar Slompretan ini sebagai Pasar Klewer. Nama inilah yang lantas populer hingga sekarang.

Belanja batik di Solo tak selalu harus menyambangi pasar Klewer. Wisatawan bisa juga berbelanja batik, atau pun pernak-pernik yang berbau batik, di kampung-kampung batik yang ada di sekitar pusat Kota Solo. Misalnya di Kauman dan Laweyan. Di kedua kampung ini, kalian bukan hanya bisa berbelanja aneka produk batik, tetapi juga dapat mengetahui secara langsung ihwal pembuatan kain batik. Jika berminat, kalian juga bisa mencoba sendiri membuat kain batik dengan jalan dipandu oleh seorang instruktur.

Karnaval Batik

Khusus bagi para pecinta dan penikmat mode kontemporer, sejak tahun 2008, Kota Solo secara rutin menyuguhkan pagelaran busana kolosal serba batik yang digelar saban tahun dalam tajuk Solo Batik Carnival.

Pagelaran busana serba batik ini digelar setiap pertengahan tahun. Acara utamanya berupa aneka kreasi model busana batik yang dibawakan oleh para peraga busana dengan konsep fashion carnival, di mana ratusan peraga busana berlenggak-lenggok memamerkan aneka model busana batik dalam sebuah karnaval di jalanan Kota Solo. 

Sejak pertama kali digelar, saya telah berusaha untuk dapat menonton perhelatan Solo Batik Carnival ini. Namun, baru pada gelaran kelimalah saya baru bisa memperoleh kesempatan menyaksikannya. Itu pun hampir saja batal. Pasalnya, hingga H-2 sebelum penyelenggaraan, saya masih belum dapat tiket kereta. Semua tiket kereta api jurusan Bandung—Solo telah ludes dipesan. Maklum, bertepatan dengan musimnya orang liburan waktu itu.

Akhirnya, karena tak dapat tiket kereta, saya beralih berburu tiket bus. Dan beruntung, masih kebagian. Hingga akhirnya, Sabtu pagi, tanggal 30 Juni 2012, saya telah berada di Solo. Dari terminal bus Tirtonadi, saya menunggang becak menuju penginapan langganan di sekitar Jalan Rajiman. Lokasi penginapannya tidak berada persis di pinggir jalan Rajiman, melainkan masuk sedikit gang besar. Setiap ke Solo, saya memilih penginapan tersebut karena homy dan juga tidak bising.

Solo Batik Carnival
Solo Batik Carnival/Djoko Subinarto

Sampai di penginapan, mandi dan beres-beres sebentar, kemudian pesan makanan, dan lantas istirahat. Baru menjelang petang, saya bergegas menuju Stadion Sriwedari. Stadion ini merupakan salah satu stadion tertua di Indonesia, pernah menjadi tempat dilangsungkannya Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama, pada tanggal 9 September 1946. Tanggal 9 September kemudian dijadikan sebagai Hari Olahraga Nasional.

Sabtu itu, Stadion Sriwedari menjadi pusat penyelenggaraan Solo Batik Carnival. Begitu sampai depan stadion, saya lihat para peserta karnaval sudah memadati halaman stadion. Meski acara karnaval dimulai pada sekitar pukul 19.30 WIB, para peserta karnaval rupanya sudah stand by di lokasi sedari petang. Saya pun berkeliling stadion. Di sisi timur, saya lihat sebagian peserta sedang menyiapkan kostum mereka. Beberapa juru rias terlihat sibuk merias wajah para peserta karnival. 

Beranjak malam, Stadion Sriwedari makin ramai. Nyaris semua tempat duduk, baik yang di tribun tertutup maupun tribun terbuka, terisi. Dan momen yang ingin saya saksikan itu akhirnya tiba. Pukul 19.30. WIB lebih sedikit, acara Solo Batik Carnival dimulai. Begitu tarian pembuka acara usai, ratusan peserta—dari berbagai jenjang usia—langsung bergiliran memperagakan aneka kreasi model busana batik di tengah lapang Stadion Sriwedari yang malam itu disulap menjadi catwalk.

Lampu sorot aneka warna berkelap-kelip menyorot para peraga busana. Beres berlenggak-lenggok di stadion, para peraga busana itu kemudian berlenggak-lenggok di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, hingga ke Balai Kota Solo.

Tema Solo Batik Carnival tahun itu adalah Metamorphosis, yaitu pendeskripsian perjalanan atau tahapan proses pembatikan dari mulai pengerjaan awal yakni pemolaan motif pada kain putih atau mori, dilanjutkan pada proses pemalaman (penorehan lilin) pada motif-motif yang telah digambar, kemudian tahap pewarnaan dan terakhir adalah proses penghilangan malam (pelorodan).

Sayang, tahun 2020 dan tahun 2021, Solo Batik Carnival tak dapat digelar karena pandemi COVID-19. Solo Batik Carnival yang terakhir, sebelum pandemi mewabah, digelar pada Juli 2019. Temanya yakni Suvarnabhumi The Golden of ASEAN. Sesuai temanya, beberapa peserta dari negara ASEAN ikut ambil bagian dalam Solo Batik Carnival di tahun 2019 itu.

Ke depan, jika Solo Batik Carnival ini kembali dapat digelar, dan mengambil tema internasional, tak menutup kemungkinan partisipan dari negara-negara lain di luar ASEAN akan turut serta. Seperti diketahui, batik telah menjadi warisan budaya dunia. Sejak tahun 2009, UNESCO—Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membidangi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan—telah menetapkan batik dalam daftar yang disebut sebagai intangible cultural heritage. 

Sebagai salah satu produk budaya bangsa, warisan nenek moyang kita, yang telah diakui UNESCO, batik wajib kita pelihara dan lestarikan. Jangan sampai malah bangsa lain yang justru lebih getol memelihara dan melestarikannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Lenggak-lenggok Peraga Busana Berbatik di Sriwedari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lenggak-lenggok-peraga-busana-berbatik-di-sriwedari/feed/ 0 30889
Ibu Zie dan Warna-warni Alami Batik Kampung Malon https://telusuri.id/ibu-zie-kampung-malon/ https://telusuri.id/ibu-zie-kampung-malon/#respond Sat, 13 Jul 2019 09:00:52 +0000 https://telusuri.id/?p=15067 Ibu Zazilah, akrab dipanggil Ibu Zie, pindah ke Kampung Malon tahun 2010 lalu mendirikan Zie Batik. Sebelum itu, sejak 2006 perempuan asal Tegal ini mengembangkan batik di Kota Semarang. Ia bahkan juga pernah tinggal dan...

The post Ibu Zie dan Warna-warni Alami Batik Kampung Malon appeared first on TelusuRI.

]]>
Ibu Zazilah, akrab dipanggil Ibu Zie, pindah ke Kampung Malon tahun 2010 lalu mendirikan Zie Batik. Sebelum itu, sejak 2006 perempuan asal Tegal ini mengembangkan batik di Kota Semarang. Ia bahkan juga pernah tinggal dan mengajar di Kampung Batik Bubakan.

Kala itu, Kampung Malon yang berada di kaki Gunung Ungaran belum terlalu dikenal. Meskipun masih dalam Kota Semarang, belum banyak yang tahu soal kampung berhawa sejuk ini. Lampu sorot publikasi tentu saja tak begitu tertarik dengan wilayah yang mayoritas penduduknya bertani dan beternak.

kampung malon
Ibu Zazilah atau Ibu Zie/Istimewa

Dengan modal yang ia miliki, Ibu Zie lalu melatih ibu-ibu Kampung Malon untuk membatik. Kebetulan pula saat itu Pemerintah Kota Semarang sedang menjalankan Program Kampung Tematik. Harapannya, masyarakat Malon bisa berkarya dengan membuat batik khas dari Kampung Malon.

“Kami ingin masyarakat juga ikut merasakan efek yang baik dan dapat mengangkat taraf hidup mereka,” ujar Ibu Zie.

Memperkenalkan pewarna-pewarna alami pada perajin batik Malon

Menurut Ibu Zie, Kampung Malon adalah salah satu kawasan “sabuk hijau” dengan lingkungan yang masih asri. Di sini, kamu akan menemukan jalanan yang masih belum diaspal atau dibeton. Saat memasuki kawasan Kampung Malon, kamu akan disambut pepohonan rindang yang menjulang ke langit. Rumah-rumah warga pun dipagari tanaman teh-tehan (Acalypha siamensis).

batik malon
Kain baik dan mangkuk berisi bahan-bahan pewarna alami/Mauren Fitri

Namun ternyata bukan hanya lingkungan Malon saja yang “hijau,” batiknya juga. Berbeda dari batik kebanyakan, batik Kampung Malon menggunakan warna-warna alami yang diekstraksi—direbus atau difermentasi—dari bahan-bahan seperti indigofera, secang, tingi, jelawe, tegeran, dan limbah mangrove.

Hampir semuanya dibudidayakan di kebun milik masyarakat Kampung Malon, kecuali limbah mangrove tentunya. Untuk limbah mangrove, Ibu Zie mengambil dari beberapa kawasan pesisir sekitar Semarang.

malon
Penggunaan pewarna alami sekarang menjadi ciri khas batik Malon/Mauren Fitri

Meskipun sekarang penggunaan pewarna alami menjadi ciri khas batik Malon, menurut Ibu Zie tidak mudah untuk meyakinkan masyarakat untuk mewarnai membatik dengan bahan-bahan yang diperoleh dari alam. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mulai antusias. Untuk mendukung penggunaan warna alami, Ibu Zie pun mendorong petani untuk menanam tanaman seperti indigofera sehingga perajin tak perlu membeli dari luar.

Bangga dengan perkembangan positif Kampung Malon

Proses panjang yang dilalui Ibu Zie mulai membuahkan hasil. Kini, taraf perekonomian masyarakat sudah mulai meningkat sebab mereka sudah bisa menambah pemasukan dari membatik, entah batik cap, tulis, maupun kombinasi. Perubahan positif ini tentu saja membuat Ibu Zie sangat bangga.

kain batik
Batik Malon yang dihiasi dengan warna-warna cerah/Mauren Fitri

Kekhasan batik Malon membuat para penggemar batik tak ragu-ragu mengeluarkan uang antara Rp150.000 dan Rp2.000.000 untuk membawa pulang kain tradisional khas Jawa tersebut.

Namun, Ibu Zie sempat bertutur pula bahwa masih ada beberapa tantangan yang perlu dihadapi perajin batik Malon, misalnya proses pewarnaan yang masih begitu bergantung pada cuaca dan bahan baku produksi (seperti kain dan malam) yang masih harus didatangkan dari luar kota semisal Pekalongan, Jogja, dan Solo.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ibu Zie dan Warna-warni Alami Batik Kampung Malon appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ibu-zie-kampung-malon/feed/ 0 15067
Akulturasi Budaya Tionghoa dan Arab dalam Batik Indonesia https://telusuri.id/budaya-tionghoa-dan-arab-batik-indonesia/ https://telusuri.id/budaya-tionghoa-dan-arab-batik-indonesia/#respond Sat, 13 Jan 2018 02:30:32 +0000 https://telusuri.id/?p=5610 Sejak 2006 hingga 2013, industri batik Indonesia menunjukkan peningkatan cukup baik dalam beberapa aspek ekonomi. Berdasaran data Kementerian Perindustrian yang dilansir dari Tirto.id, nilai produksi batik pada tahun 2006 berada pada angka 394,64 miliar rupiah....

The post Akulturasi Budaya Tionghoa dan Arab dalam Batik Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejak 2006 hingga 2013, industri batik Indonesia menunjukkan peningkatan cukup baik dalam beberapa aspek ekonomi.

Berdasaran data Kementerian Perindustrian yang dilansir dari Tirto.id, nilai produksi batik pada tahun 2006 berada pada angka 394,64 miliar rupiah. Angka tersebut meroket tajam di tahun 2010 menjadi yaitu 1.223,93 miliar sebelum mengalami penurunan pada tahun 2011 dan 2012. Nilai produksi batik kembali naik tahun 2013 ke angka 1.116,70 miliar.

Namun dari segi nilai tambah, terjadi peningkatan yang cukup signifikan. Jika tahun 2006 nilai tambah batik 113,09 miliar, tahun 2013 angkanya menjadi 574,63 miliar rupiah. Artinya industri batik di Indonesia masih terus membawa angin segar yang ikut menopang perekonomian bangsa. Tak heran jika ke mana pun pergi kita akan bertemu dengan orang-orang yang memakai batik.

Pernah menjadi simbol feodalisme Jawa

Dilihat dari sejarah perjalanannya dari awal hingga sekarang, batik di Indonesia telah terjadi mengalami begitu banyak perubahan baik dari sisi seni maupun nilai guna sosial.

batik indonesia

Seorang pembatik di Desa Trusmi, Cirebon via instagram.com/efsaputra

Arsianti Latifah dalam makalah “Batik dan Tradisi Kekinian” menjelaskan bahwa batik pernah menjadi simbol feodalisme Jawa. Pada masanya membatik hanya boleh dipraktikkan di dalam keraton dan hanya diperuntukkan bagi raja, keluarga, dan para pengikutnya.

Batik pun menjadi sebuah budaya dalam keraton (budaya ageng). Melalui motif batik, muncullah pembedaan kasta (strata sosial) dalam keraton.

Padahal batik sendiri bukanlah berasal dari keraton. Menurut artikel “History of Batik” di batikguild.org.uk, bentuk-bentuk mula batik dari masa sekitar 2.000 tahun yang lalu telah ditemukan di Timur Jauh, Timur Tengah, Asia Tengah, dan India. Uniknya, tiap-tiap wilayah itu mengembangkan sendiri “batiknya” tanpa pengaruh dari budaya lain, misalnya lewat perdagangan.

batik indonesia

Proses pembuatan batik tulis via instagram.com/efsaputra

“Sejarah Batik Indonesia” di laman jabarprov.go.id mengisahkan bahwa batik “datang” pada masa Kerajaan Majapahit. Tradisi membatik kemudian diteruskan oleh Kerajaan Mataram, yang pada akhirnya pisah jalan menjadi Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta.

Pengaruh Tionghoa dan Arab dalam batik Indonesia

Fenomena migrasi para penduduk Tionghoa dari pesisir pantai selatan Tionghoa, Fujian, dan Guangdong ke Indonesia telah terjadi sejak abad ke-14. Menggunakan kapal jung, salah satu destinasi utama perantauan itu adalah Lasem, selain Batavia dan Semarang.

Masyarakat Tionghoa yang bermukim di Lasem kemudian menjadi bagian dari perkembangan batik Indonesia. Pada abad ke-15, Na Li Ni atau Si Putri Campa, yang merupakan istri dari seorang anggota ekspedisi Cheng Ho bernama Bi Nang Un, mulai memperkenalkan teknik membatik.

Masa kejayaan batik di Lasem dimulai pada pengujung abad ke-19, tepatnya di tahun 1860-an. Sekitar 6.000 orang dipekerjakan untuk memproduksi batik secara besar-besaran untuk dijual di Hindia Belanda serta diekspor ke Singapura dan Sri Lanka.

batik indonesia

Batik tulis sedang dikeringkan via instagram.com/efsaputra

Ironisnya, saat ini hanya tersisa enam rumah produksi batik bercirikan Tionghoa di Lasem yang terletak di pesisir utara Jawa Tengah itu.

Namun, ternyata tak hanya masyarakat Tionghoa yang membawa pengaruh dalam sejarah batik Indonesia. Kesultanan Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama dan terbesar di Pulau Jawa mengutus beberapa seniman dan saudagar batik Demak untuk batik besurek (bersurat) yang bermotif kaligrafi Arab ke Bengkulu, Cirebon, dan Jambi yang merupakan mitra dagang Kesultanan Demak.

Batik ini disebut “bersurat” karena berisi potongan-potongan surat dari Alquran. Semula batik besurek difungsikan sebagai kain pembungkus Alquran dan upacara adat. Makanya tidak dapat digunakan secara sembarangan karena kesuciannya dijaga dan dihormati.

Sementara, batik besurek yang digunakan secara bebas saat ini hanya berisi kaligrafi Arab yang tak memiliki makna, melainkan hanya hiasan. Seiring perkembangan jaman, kini batik besurek telah dimodifikasi dengan tambahan motif berupa bunga cengkeh atau tumbuhan lain.

Dalam perkembangan batik sebagai salah satu aset wastra (kain tradisional) Indonesia, telah terjadi ragam akulturasi budaya yang semakin memperkaya keunikan lokal Nusantara. Meskipun pada masa awal sempat memunculkan sekat-sekat sosial, kini batik telah menjadi kebanggaan yang dimiliki setiap warga negara Indonesia.

The post Akulturasi Budaya Tionghoa dan Arab dalam Batik Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/budaya-tionghoa-dan-arab-batik-indonesia/feed/ 0 5610