batu katak Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/batu-katak/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 15 Jun 2023 08:21:35 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 batu katak Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/batu-katak/ 32 32 135956295 Menyusuri Gua Air di Batu Katak https://telusuri.id/menyusuri-gua-air-di-batu-katak/ https://telusuri.id/menyusuri-gua-air-di-batu-katak/#respond Thu, 19 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36907 Hujan turun ketika saya dan rombongan tiba di Bandara Kualanamu, Medan sore itu. “Hujan nih, besok ‘kan kita akan memasuki gua basah, mungkin rencana itu kita urungkan saja!” ujar Hannif, salah satu rekan saya dalam...

The post Menyusuri Gua Air di Batu Katak appeared first on TelusuRI.

]]>
Hujan turun ketika saya dan rombongan tiba di Bandara Kualanamu, Medan sore itu. “Hujan nih, besok ‘kan kita akan memasuki gua basah, mungkin rencana itu kita urungkan saja!” ujar Hannif, salah satu rekan saya dalam perjalanan kali ini. Ucapan Hannif serentak menggetarkan rasa khawatir pada diri saya yang belum pernah menginjakkan kaki ke dalam gua. Namun, rasa penasaran begitu membumbung tinggi. Sembari menuju Batu Katak, saya terus memupuk harapan supaya cuaca esok hari cerah. Pun, jarak yang sudah saya tempuh dari Jawa hingga Sumatra membuat tekad ini semakin bulat. Jika kondisi memungkinkan, setidaknya saya harus ke di Gua Air. 

gua air
Kondisi Gua Air di Batu Katak/Firra Kholisha

Gua Air terletak di Batu Katak, sebuah dusun yang menjadi kawasan penyangga di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Untuk tiba di sana, kami menempuh sekitar tiga hingga empat jam perjalanan menggunakan kendaraan roda empat dari Bandara Kualanamu, Medan. Cukup lama, tp sepadan dengan perjalanan menyenangkan yang sudah menghadang di depan mata.

***

Pagi harinya, semesta mendukung. Cuaca begitu cerah! “Aman kok kita bisa masuk ke dalam gua dengan cuaca seperti ini. Itu juga ada rombongan mau jalan ke sana.” Pak Darma, pemandu lokal yang akan menemani perjalanan kami selama di Batu Katak menyampaikan informasi yang membuat jantung saya tiba-tiba berdegup kencang.

Melihat ada rombongan lain yang juga sedang menuju Gua Air, rasa khawatir saya berkurang. Malah tiba-tiba berganti menjadi semangat untuk menyaksikan secara langsung pesonanya. Rombongan tersebut jalan duluan ke sana, sembari saya dan yang lain mempersiapkan peralatan serta perbekalan yang akan kami bawa.

Kami, rombongan kedua, mulai memasuki hutan dan menyusuri jalur setapak, lalu melewati dua jembatan. Jembatan pertama, terdapat bebatuan di atasnya. Lalu jembatan kedua, terbuat dari bambu. Jembatan ini kami gunakan untuk menyeberangi sungai. Sejenak, kami tiba di Jungle River—sebuah rumah makan, penginapan, dan penyedia safety equipment seperti helm maupun pelampung.

“Untuk keamanan dan menghindari hal yang tidak diinginkan, mari kenakan helm dan pelampung,” ujar Pak Darma sembari menuju lokasi penyewaan alat keselamatan.

penjelajahan
Untuk sampai ke mulut gua, pengunjung harus melewati hutan dan jalan yang berliku/Firra Kholisha

Karena barang bawaan cukup banyak—ada helm, pelampung, dan peralatan pribadi masing-masing orang—membuat kami tak cukup nyaman saat trekking. Oleh karenanya, kami meneruskan perjalanan dengan menyewa jasa porter untuk membawa seluruh barang tadi.

Sedikit tips dari saya untuk kamu yang akan menelusuri Gua Air di Batu Katak, hal utama yang perlu dipersiapkan yaitu stamina fisik, karena perjalanan dari starting point sampai ke ekor gua membutuhkan waktu sekitar dua jam perjalanan, dengan jalur menanjak dan menurun. Selain itu, karena hutan yang kami lalui mempunyai topografi basah serta lembab, sebaiknya pejalan menggunakan pakaian tertutup seperti celana dan kaos panjang, kaos kaki, dan membawa semprotan anti nyamuk yang dapat digunakan untuk menghalau pacet jika tergigit olehnya.

Melanjutkan perjalanan menyusuri hutan, kami ditemani oleh Belo—si anjing pintar yang biasa menemani warga, para pemandu, dan wisatawan yang hendak melakukan trekking di Batu Katak. Kali ini ia menemani kami selama perjalanan menuju Gua Air. Menyusuri setiap tanjakan dan turunan, juga aliran sungai. Pun, kami melewati jalur yang tertutup pohon tumbang. Dengan sigap, Pak Darma mengeluarkan golok untuk memangkas bagian pohon tersebut supaya kami bisa melewatinya.

Butuh waktu hingga satu setengah jam menyusuri hutan untuk tiba di ekor Gua Air. Kami itirahat sejenak sembari mengisi perut yang mulai tergetar memasuki waktu makan siang. Pak Darma yang sangat sigap lalu mengeluarkan nasi goreng dari dalam tas yang ia bawa. Nasi goreng tersebut merupakan olahan warga sekitar.

Perut kenyang, saatnya bersiap mengenakan mengenakan helm dan pelampung. Sebelum jalan memasuki gua, kami melingkar untuk berdoa. Tentunya tak lupa memeriksa kelengkapan personil. Satu personil, Belo, ternyata harus kembali, ia tidak ikut serta memasuki Gua Air.

“Sudah biasa dia [Belo] ikut kami ke hutan gini. Nanti, dia bisa pulang sendiri,” Pak Darma berkisah sembari menuju ekor Gua Air.

Seperti jendela kecil, kami mengantri bergantian memasuki ekor gua. Hening, gelap, dan dingin, begitulah suasana yang saya rasakan. Kaki kami terus melangkah menyusuri gelapnya sungai bawah tanah dengan ketinggian air sedalam 30 cm hingga 70 cm. Gua Air ini memiliki panjang 997 m, dikelilingi dengan dinding batuan stalaktit dan stalagmit yang masih aktif meneteskan air.

gua air
Sesuai dengan namanya, gua ini memang berair, yang menetes dari stalaktit dan stalagmitnya/Firra Kholisha

“Ini kita berada di bawah puluhan kelelawar kecil,” Pak Darma mengarahkan jari ke atas langit-langit gua.

Semua serentak mengikuti arah jari Pak Darma. Pantas sejak tadi tercium bau sangit menyengat, ternyata kami berdiri tepat di bawah puluhan kelelawar kecil. Pun, kami bertemu dengan laba-laba dan jamur yang dapat menyala jika terkena cahaya.

“Di sana ada batuan yang bentuknya seperti mahkota, tapi patah kemarin terseret air waktu gua ini banjir.” lanjutnya.

Pak Darma juga menceritakan bahwa ada batang potong cukup besar yang tersangkut di antara dinding gua, berada sekitar 3 meter diatas kami berdiri. Cerita tersebut menggetarkan kembali rasa khawatir saya yang semula memudar. Terasa sunyi dan begitu mencekam. Lebih lagi, kami sudah menempuh waktu satu jam perjalanan menyusuri Gua Air, namun tak kunjung menemukan jalan keluar.

“Kita masukan semua peralatan ke kantung ikan, nanti di depan, kita akan berenang,” terang Pak Darma.

Sesuai arahan Pak Darma, kami kinggah sejenak dan memasukan barang-barang elektronik ke dalam plastik besar yang diikat dengan tali ban karet. Berjarak 200 meter di depan pemberhentian kami, mulut Gua Air yang juga menjadi pintu keluarnya mulai tampak.

Melanjutkan perjalanan menuju mulut Gua Air, kami harus berenang karena kedalaman air mencapai 3 meter. Inilah pentingnya ketika menyusuri gua, kita semua harus mengenakan helm untuk melindungi kepala berbenturan dengan bebatuan dan juga pelampung untuk berjaga bila pijakan kaki cukup dalam.

“Akhirnya, kita menemukan sinar matahari!” ujar Alif—salah seorang rekan yang turut menyusuri Gua Air bersama saya—dengan gembira. Setiba di luar gua, rintik hujan menyambut. Kami pun segera bergegas kembali trekking menuju lokasi river tubing.

Start point aktivitas river tubing berlokasi di Kuala Bandar Setia dan finish point berada di Sungai Bekail, dekat dengan perkampungan Batu Katak. Waktu tempuh tubing sekitar 20–25 menit, mengikuti deras dan tidaknya jeram sungai. Tubing di sini cukup menarik. Peralatan yang digunakan yakni ban berukuran besar dan kecil yang dirakit manual menggunakan tali, serta tongkat bambu kecil yang memiliki panjang sekitar 2,5–3 meter. Tongkat ini berfungsi sebagai pengendali arah “perahu” ban. Kami terbagi menjadi dua kelompok pada aktivitas ini.  “Pengemudi” pun duduk pada bagian depan dan belakang perahu ban.

Air sungai berwarna hijau kebiruan kami lewati. Di sisi kanan dan kiri, bebatuan yang meliuk memantapkan suasana jadi makin asri. Terdengar dari kelompok sebelah, mereka menyanyikan lagu menggunakan nada “Jingle Bell” dengan penyesuaian lirik. Membuat kami tambah semangat.

“See the monkey, see the bird, see the orangutan. Hey… Hey… Jungle trek… Jungle trek… in Batu Katak. See the flower… See the tiger… Everybody ruuuuuuuumnnnsss…”

Perahu lalu menepi, menandakan usai sudah kegiatan tubing. Kami menyempatkan untuk berfoto bersama sebagai kenangan perjalanan kali ini. Lalu menutupnya dengan bercengkrama sembari mengambil barang-barang elektronik yang semula dikumpulkan dalam plastik besar.

Rintik hujan masih menemani sore kami. Saatnya pulang kembali menuju penginapan untuk membersihkan diri.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Gua Air di Batu Katak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-gua-air-di-batu-katak/feed/ 0 36907
Batu Katak dan Amorphophallus yang Mekar (2) https://telusuri.id/ke-batu-katak-untuk-melihat-amorphophallus-yang-mekar-2/ https://telusuri.id/ke-batu-katak-untuk-melihat-amorphophallus-yang-mekar-2/#respond Sat, 05 Nov 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36036 Lepas mata air, saya mendapati vegetasi hutan yang mulai rapat. Pohon-pohon menjulang tinggi, jenis tanaman beraneka ragam. Dan di sini pula, kali pertama saya berjumpa dengan Amorphophallus titanum yang masih berbentuk pohon. Usianya kira-kira sekitar...

The post Batu Katak dan Amorphophallus yang Mekar (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Lepas mata air, saya mendapati vegetasi hutan yang mulai rapat. Pohon-pohon menjulang tinggi, jenis tanaman beraneka ragam. Dan di sini pula, kali pertama saya berjumpa dengan Amorphophallus titanum yang masih berbentuk pohon. Usianya kira-kira sekitar 5 tahun, pohonnya menjulang tinggi, hijau, dengan cabang-cabang penuh daun. Awalnya, saya tidak mengira bahwa ini merupakan Amorphophallus mengingat rupa bunganya saat mekar tak memiliki daun.

Masyarakat Batu Katak menyebut Amorphophallus dengan nama “bunga”. Iya, hanya bunga. Bunga sudah merepresentasikan bahwa tanaman tersebut merupakan Amorphophallus, apapun jenisnya.

Dari informasi yang saya dapatkan dari Bang Zuah, Amorphophallus titanum merupakan jenis Amorphophallus terbesar di dunia. Yang paling kecil, namanya Amorphophallus prainii, rupanya seperti A. titanum tetapi ukurannya jauh lebih kecil. Satu lagi, yakni Amorphophallus gigas yang berbentuk seperti mahkota. Ketiganya merupakan jenis bunga bangkai, namun berbeda dengan Rafflesia arnoldii. Di Sumatra, jenis A. titanum dan A. gigas menjadi bunga unggulan karena secara ukuran sama-sama besar. Sedangkan A. prainii, ukurannya hanya sebesar botol air mineral 1500 ml.

Saya sedikit harap-harap cemas karena sekitar tiga puluh menit berjalan, kami belum bertemu dengan satwa apapun. Kecemasan tersebut kemudian berlalu begitu saja saat saya kembali menemukan bunga. Kali ini, masih berbentuk batang bunga, tampak seperti pohon rebung.

“Yang pendek itu akan menjadi bunga,” Bang Darma yang juga pemandu kami menjelaskan kepada saya sambil menunjuk dua bakal bunga di seberang. Membutuhkan waktu kurang lebih sekitar tujuh tahun untuk si bakal bunga menjadi bunga, dan mekar. Siklus hidupnya mulai dari tumbuh batang sekitar empat hingga lima tahun, mati, baru kemudian muncul bakal bunga dan menjadi bunga tunggal, mati lagi, baru keluar bunganya. “Nah, ketika mulai saat mekar (blooming) hingga layu, bunga hanya membutuhkan waktu maksimal 36 jam saja,” terang Bang Zuah.

Tentu, hal ini menjadi magnet untuk menarik wisatawan datang ke sini. Berjumpa dengan bunga yang membutuhkan waktu tujuh tahun untuk mekar, dan hanya memiliki waktu mekar sekitar tiga hingga tujuh hari saja.

Berbeda dengan Rafflesia arnoldii, Amorphophallus tumbuh menyebar, bahkan lokasinya bisa berpindah dari lokasi tumbuh bunga yang pertama. Masyarakat Batu Katak pernah mencoba menanamnya, namun tidak berhasil tumbuh. Jadi, kalau ingin melihat bunga harus trekking ke dalam hutan. Itu pun, belum tentu beruntung bisa bertemu dengan si bunga. 

Saya kemudian teringat cerita seorang kawan yang dua minggu sebelumnya datang ke sini. Hannif bersama rekan-rekan DESMA Center mendadak punya agenda menyusuri hutan lebih dalam, dan beruntung sekali mereka mendapati bunga yang sedang mekar. Padahal, tiga hari sebelumnya mereka sudah survei menyusuri hutan namun hanya bertemu bakal bunga saja. Hari itu, entah, keberuntungan macam apa yang ia dapatkan, membuat saya pada akhirnya iri padanya.

Dari lokasi kami berdiri pula, di atas tebing ada dua batang bunga yang tumbuh besar di sela-sela jurang. Saya melongok ke atas untuk mengamatinya lebih detail. Tak jauh dari situ, Bang Darma kembali meminta kami melongok lebih ke atas lagi, ke sisi sebelah kiri kami berdiri. Kali ini ia memperlihatkan sarang orang utan. Bentuknya seperti sarang burung, tetapi ukurannya jauh lebih besar. Empunya sarang sendiri, entah sedang di mana. Bang Darma juga menunjukkan pohon Ficus, salah satu pohon yang menjadi tujuan orang utan, siamang, dan juga Thomas leaf monkey saat musim buah tiba. “Paling sedikit ada dua orang utan datang kalau pas musim buah,” ujarnya.

Di dalam hutan, cahaya matahari tak banyak masuk. Meski tidak panas, tapi keringat terus mengucur dari kepala hingga menetes ke punggung. Kadang, untuk menaiki bukit, dengkul saya harus bertemu dengan jidat saking tingginya pijakan. Lumayan sekali sebagai permulaan.

Beruntungnya, sepanjang perjalanan belum ada pacet yang menggigit bagian tubuh. Perjalanan lalu kami lanjutkan, kali ini trek bebatuan besar dan kasar ada di hadapan. Saya sendiri cukup kesulitan untuk melewatinya karena selain menanjak, jalurnya juga tidak terlalu kelihatan.

Setelah satu jam perjalanan, kami berhenti sebuah sungai kecil. Airnya bening, dan dingin. Di tengah sungai, terdapat gundukan tanah dan bebatuan, di atasnya terhampar beragam jenis buah segar seperti semangka, pisang, jeruk, rambutan, dan tak lupa nanas! Tentu saja, saya langsung mengambil satu potong besar nanas Medan yang menjadi buah favorit sejak tiba di Langkat. Rasanya asam manis, meski tidak dingin, tapi lebih dari cukup untuk menjadi pemadam dahaga.

“Jika sudah selesai makan, mari kita lanjutkan perjalanannya. Setelah ini kita akan melewati hutan kering.” ucap Pak Hepi.

Saya mengganti sepatu dengan sandal sebelum berjalan kembali, rasa parno akan gigitan pacet memang menggelayuti, membuat saya memakai sepatu, dan mengganti sandal cadangan untuk digunakan saat tubing. Merepotkan dan mempersulit diri sendiri memang. Tapi ya sudahlah.

Kami sudah berjalan sekitar dua puluh menit, lepas dari sungai. Tanah yang kami tapaki masih sama, kering. Vegetasi juga tak serapat sebelumnya. Peacock fern banyak tumbuh di sini, warna daunnya agak berbeda dari yang sebelumnya saya temu di hutan tadi. Kali ini hijau dan biru. Mungkin karena cahaya matahari yang masuk ke sini jauh lebih banyak daripada di dalam hutan. Bang Darma memetik beberapa lembar, lalu mengusap-usapkannya ke tangan. “Ini bisa jadi penangkal nyamuk, lho!” katanya sembari terus mengusapkannya hingga lengan.

Baru sekitar 100 meter berjalan, Kak Ely—yang juga salah seorang peserta famtrip—memberitahu saya beberapa anggrek hutan yang kami temui di pinggir jalur. Ada dua jenis, warnanya kuning dan ungu. Sayang, saya tak mengetahui lebih banyak tentang keduanya. 

Beberapa pohon tumbang menghadang kami setelahnya. Tidak terlalu banyak, namun membuat kami harus membungkuk dan berjalan perlahan hingga pemberhentian selanjutnya yakni bawah pohon kepeng—yang begitu menarik perhatian Ray, Febrian, dan Kak Ely.

  • Buah Kepeng Batu Katak
  • Buah kepeng

Dari jauh, tampak buahnya melekat pada batang pohon, menggerombol seperti anggur, namun ukurannya jauh lebih besar. Nyenengke! Warna buah yang masih mentah yakni hijau, sedangkan yang mulai matang berwarna kuning kecoklatan, mirip kelengkeng. Karena ikut penasaran, saya meminta Ray melemparkan satu buah untuk saya coba. Bang Joe, yang kebetulan membawa pisau, memetik satu untuk saya. Ia mengopernya kepada Ray, sebelum akhirnya berakhir di mulut saya.

Dari dekat, buah kepeng lebih mirip dengan manggis baik dari tekstur buah hingga bijinya, meski ukurannya tak sebesar manggis. Cara mengupasnya pun juga berbeda. Karena tak bisa membelahnya, saya asal mengupasnya dan buru-buru melahapnya. “Berrrrrrr,” reaksi saya saat memakan buah kepeng. Ray bilang, rasanya asam dan ada manisnya. Namun yang saya rasa, hanya asam, sekali. Tapi tetap enak, masih bisa saya nikmati.

Dua ekor Millipede menyambut kami di titik start tubing yang berada di pertemuan antara Sungai Sikelam dan Sungai Berkail. Salah satu binatang yang paling lambat saat berjalan ini mencuri perhatian kami lagi, berpindah dari satu tangan ke tangan lain sebelum melepaskannya kembali ke hutan.

“Wah, wah, wah! Tolong saya, Bang. Tolong,” saya berteriak panik menuju Bang Joe. Beberapa pacet tanpa saya sadari menempel di ujung kaki, hingga paha bawah saya. Mereka seolah menari-nari, menggerakkan badan, meliuk-liuk dan bersiap menghisap darah. Saya sempat kibas-kibaskan kaki ke sungai, namun pacet-pacet itu tak kunjung lepas hingga Bang Joe mencabutnya satu per satu. Akhirnya, di ujung perjalanan trekking ini, saya kena pacet juga. Pasrah.

Semua peserta kemudian bersiap tubing, satu per satu mengenakan life jacket, memasukkan barang-barang ke dalam dry bag, dan duduk manis di atas ban. Selama dua puluh menit, kami menyusuri Sungai Berkail yang hari itu airnya begitu jernih dan arusnya tak begitu besar. Meski begitu, saya tetap terjatuh dari atas ban setelah rombongan kami menabrak rombongan di depan yang tersangkut batu. Sah, basah kuyup.

Usai menyusuri Sungai Berkail, kami tiba di Jungle River—titik akhir dari pengarungan. Di sini, makan siang dengan lauk khas Karo bernama tasak telu menyambut raga lelah karena keseruan trekking dan tubing. Kali ini, tasak telu tersaji bersama ayam bumbu pedas, lalapan daun singkong, labu kukus, serta sambal goreng kentang. Perpaduan yang pas. Kata Bu Lorisma, bumbunya hanya tiga macam.

Sekilas, rupa tasak telu seperti serundeng. Warna coklat mudanya tidak begitu pekat. Serabut-serabut dagingnya tampak seperti kelapa parut. Nyemek, dan empuk. Rasanya pun tidak pedas meski dibumbui dengan cabai merah. Gurih sekali dan terasa sangat enak di lidah.

Batu Katak
Ibu Nurmayanti/Mauren Fitri

Sebagai hidangan penutup, saya mencicipi cimpa dan es kelapa muda selasih. Ini kali pertama saya makan cimpa. Dari luar terlihat seperti lepet, tetapi ternyata isinya jauh berbeda. Cimpa terbuat dari tepung pulut yang diuleni hingga lembek lalu diisi dengan gula merah dan kelapa. Pada adonannya ditambahkan sedikit merica. Daun singkut—daun yang mirip dengan daun pandan, tetapi ukurannya lebih lebar—menjadi pembungkusnya sebelum mengukusnya di atas tungku. Bu Nurmayanti-lah yang memasak sajian cimpa siang hari itu, di tengah kesibukannya, ia masih sempat menceritakan proses pembuatannya kepada saya dan Fani dengan cepat dan semangat.

Semua hidangan tadi saya nikmati di pinggir Sungai Berkail, tepatnya [masih] di Jungle River. Jika datang pada waktu tepat, satwa endemik bisa kita lihat dari sini. Hari itu, kami cukup kesiangan untuk jalan sehingga tidak bertemu dengan satwa, waktu makan mereka sudah lewat begitu penjelasan yang saya dengar dari Bang Zuah. Jika berangkat lebih pagi, sebelum pukul sembilan, dan jika beruntung, kita bisa mendengar suara monyet dan melihat mereka bergelantungan. Lalu, jika meninggalkan Jungle River terlalu sore, sekitar pukul lima hingga pukul enam, satwa juga akan menampakkan diri. Beberapa di antaranya yakni Black handed gibbon dan Yellow handed gibbon yang lumayan langka. Nah, kalau cuaca sedang hujan, biasanya ada biawak besar yang menyeberang.

“Setidaknya kami bisa melihat lingkungan, jalur jalan dan makan dulu lah sebelum bertemu langsung dengan satwanya,” gumam saya.

Para stakeholder, termasuk DESMA, selalu memberikan edukasi, dan masyarakat sepakat tidak ada feeding kepada satwa untuk memancing mereka datang saat ada kunjungan wisatawan. Jadi, kalau memang ke sini, jauhkan ekspektasi bertemu satwa karena menurut saya itu menjadi bonus dari perjalanan menyusuri Batu Katak.

Karena sepanjang jalur trekking kami tidak bertemu dengan bunga yang sedang mekar, malam harinya Bang Zuah memperlihatkan kepada saya dokumentasi Amorphophallus titanum dari gawainya. “Sekilas kayak bunga palsu, ya? Nggak seperti tanaman. Ini ukuran mini memang segitu besarnya, bukan karena efek kamera atau angle pemotretan, ya!” ujar Bang Zuah.

“Ke Batu Katak itu nggak cukup satu hari, Mbak,” kata Bang Zuah menutup obrolan malam itu.


Pada 22-25 September 2022 lalu, TelusuRI mengikuti kegiatan Familiarization Trip Ekowisata Batu Katak, yang diselenggarakan oleh DESMA Center sebagai tindak lanjut dari kegiatan Digitalisasi dan Promosi Ekowisata serta Penguatan Kapasitas Pelaku Ekowisata di Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Header foto: Insan Wisata/Hannif Andy


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Batu Katak dan Amorphophallus yang Mekar (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ke-batu-katak-untuk-melihat-amorphophallus-yang-mekar-2/feed/ 0 36036
Batu Katak dan Amorphophallus yang Mekar (1) https://telusuri.id/ke-batu-katak-untuk-melihat-amorphophallus-yang-mekar-1/ https://telusuri.id/ke-batu-katak-untuk-melihat-amorphophallus-yang-mekar-1/#respond Fri, 04 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36035 “Di sini, ada itu yang namanya Batu Katak. Tapi batu ini tidak setiap saat bisa terlihat. Mistik, lah! Batunya ada, tapi kalau kita ke sana, nggak kelihatan. Ada hari-hari tertentu untuk bisa melihat batu tersebut....

The post Batu Katak dan Amorphophallus yang Mekar (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
“Di sini, ada itu yang namanya Batu Katak. Tapi batu ini tidak setiap saat bisa terlihat. Mistik, lah! Batunya ada, tapi kalau kita ke sana, nggak kelihatan. Ada hari-hari tertentu untuk bisa melihat batu tersebut. Itu pun harus bersama juru kunci.” Pak Bahagia, seorang pemandu di Ekowisata Batu Katak, menjawab rasa penasaran saya mengenai asal usul nama Batu Katak.

Iya, namanya Bahagia. Orang di sini memanggilnya dengan nama Pak Hepi (Happy), lebih mudah diucapkan. Kami bertemu kembali di perjalanan saat trekking di Gunung Kapur karena saya berjalan cukup lambat dan tertinggal oleh rombongan. Ia menjadi sweeper para peserta yang berada rombongan paling akhir hari itu. Kami tak berbincang banyak, karena saya kemudian berjalan lebih cepat untuk mengejar teman-teman lain di depan dan minggel dengan pemandu lain. Saat briefing sebelum trekking mulai, ia sempat memaparkan beberapa hal terkait Ekowisata Batu Katak.

Awalnya saya kira, nama Batu Katak diambil dari nama batu yang menyerupai katak. Sederhana. Karena memang penamaan tempat di Indonesia kerap kali berdasarkan temuan, atau hal-hal identik yang ada di tempat tersebut. Misalnya saja, Jatingaleh yang mendapatkan nama dari cerita bahwa dulunya ada dua pohon jati yang berpindah. Ngaleh, dalam bahasa Jawa artinya pindah. Atau, Pantai Siung yang namanya diambil dari sebuah tebing mirip dengan siung (taring) binatang. Ada juga kisah Surti yang penuh kasih sayang merawat anaknya yang sakit-sakitan menjadi latar belakang penamaan Pantai Siung (akronim dari kasih biyung; dalam bahasa Indonesia kasih sayang ibu).

Ekowisata Batu Katak
Ekowisata Batu Katak/Mauren Fitri

Pagi itu, setelah melakukan perjalanan kurang lebih 30 menit dari Bukit Lawang Ecolodge—tempat menginap—saya dan rombongan tiba di kawasan Ekowisata Batu Katak yang terletak di Dusun Batu Katak, Desa Batu Jongjong, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Mengutip dari laman resmi Taman Nasional Gunung Leuser, secara pengelolaan, kawasan ini terletak di Resor Bukit Lawang SPTN Wilayah V Bahorok,  BPTN Wilayah III Stabat.

Kawasan ini memiliki potensi hutan yang menjadi “ladang” Amorphophallus atau bunga bangkai, dan juga rumah untuk beberapa satwa endemik seperti orang utan, gibbon, serta siamang. Dari informasi yang saya dapat, ada lebih dari 10.000 bunga Amorphophallus tumbuh di sini. Kebanyakan tumbuh di kawasan Gunung Kapur. Sedangkan untuk bunga Rafflesia arnoldii, tumbuh di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.

biring manggis
Penari biring manggis/Mauren Fitri

Suara musik mulai terdengar sesaat sebelum pembukaan kegiatan familiarization trip. Empat orang perempuan mengenakan pakaian khas Karo berwarna merah berdiri di ujung pendopo Orchid Bungalow. Sebelum mereka menampilkan tarian biring manggis, kami berbincang sejenak sambil menikmati sirup asam gelugur.

“Apa arti biring manggis, Dek?”

“Hitam manis, Kak!” jawab salah satu dari mereka.

Sirup asam gelugur ini cenderung berasa manis. Tak seperti buahnya yang asam.  Sirupnya berwarna kuning kecokelatan, tapi setelah diolah menjadi minuman, warnanya berubah menjadi kuning seperti warna buahnya. Menyegarkan, seperti sirup-sirup pada umumnya. Apalagi saat tersaji bersama es batu. Sayangnya, butuh waktu cukup lama untuk masyarakat percaya diri bahwa asam gelugur merupakan potensi yang bisa dikembangkan menjadi produk oleh-oleh unggulan. Untuk mereka, produk-produk olahan seperti ini terkesan “biasa”, padahal menurut saya justru ini yang menjadi ciri khas karena jarang ada di tempat lain.

Masyarakat di Langkat biasa menggunakan buah gelugur sebagai pengganti asam jawa saat memasak. Kalau dikeringkan, si asam gelugur bisa jadi pengawet alami. Belakangan, potensi ini dikembangkan menjadi salah satu produk UMKM pilihan. 

Mejuah-juah, mejuah-juah…”

Salam khas masyarakat Karo ini menjadi pembuka yang terucap oleh Zuah Bangun, Program Officer, DESMA Center. Masyarakat di sini biasa menggunakannya sebagai kata ganti halo. “Kalau di Medan kata sapaannya horas, kalau di sini mejuah-juah,” lanjutnya. “Kalau di Langkat, ahoi,” ucap Ibu Lorisma yang berada di sebelah saya menjelaskan lebih detail.

Saya baru kali pertama menginjakkan kaki di Langkat, penasaran dengan suku Batak yang ternyata ada banyak. Tampak dari bahasa sapaannya saja, cukup beragam. “Di Tapanuli Utara itu [sukunya] Batak Toba, kalau Parapat menuju Medan, tepatnya di kawasan Simalungun ada Batak Simalungun. Di sini ada Batak Karo, sama dengan di Berastagi, ada Batak Toba, Batak Mandailing, juga Pakpak yang dia berbatasan dengan Aceh Singkil (Aceh Tenggara). Lalu Tapanuli Selatan, perbatasan antara Sumatera Utara dan Sumatera Barat, punya bahasa yang berbeda meski sama-sama suku Batak,” lanjut Bu Lorisma.

Tak hanya bahasa, ternyata adat, kain, makanan, hingga motif tenun di masing-masing suku Batak ini juga berbeda satu sama lain. Mungkin ini karena berdasarkan benda-benda alam yang ada di sekitar tempat tinggal masing-masing. Namun satu hal yang cukup menarik, ada satu kesamaan di antara seluruh suku Batak yang ada yakni simbol binatangnya. Semuanya sama, yakni cicak.

“Ray itu kan punya biro perjalanan yang namanya Boraspati. Nah, boraspati ini binatang yang sangat diagungkan oleh orang Batak pada umumnya karena melambangkan kemakmuran dan kesuburan. Di semua orang Batak ada.”

Belum selesai kami berbincang, biring manggis hadir menjadi pengantar hari yang bersemangat.

Menurut Bang Zuah, Batu Katak menjadi salah satu tempat terbaik untuk get lost, karena selain tidak ada sinyal selular, orang-orang yang datang ke sini bisa lepas dari pekerjaan. Kebanyakan wisatawan yang ke sini punya kehidupan hectic yang serba cepat, makanya mereka datang untuk lepas dari segala hal tersebut, bukan untuk mencari tempat yang ter-cover wifi dan sebagainya.”

Ia menegaskan, “Sulit untuk seseorang ter-distract sesuatu di sini.”

“Hampir semua wisatawan yang ke Batu Katak, memang mencari hal yang seperti itu. Bukan seperti di Bukit Lawang yang sudah ada treknya. Mereka [wisatawan] lebih suka kegiatan seperti bird watching, mengamati dan melihat yang ada. Kalau dapat melihat satwa ya itu rejeki, kalau nggak ada, dibuat fun aja!” lanjutnya.

Selain trekking di Gunung Kapur, ada beberapa aktivitas seperti trekking Goa Air, camping, tubing Sungai Berkail dan Sungai Sikelam, serta caving ke Goa Sibanyak yang bisa wisatawan jajal ketika berkunjung ke sini.

Agenda saya dan rekan-rekan lainnya hari itu adalah short trekking melintasi hutan Gunung Kapur dengan estimasi waktu kurang lebih dua jam dan tubing di Sungai Berkail. Jika beruntung, di sepanjang jalur trekking kami akan bertemu dengan satwa endemik hingga melihat bunga endemik Amorphophallus yang sudah mekar. Jantung saya berdegup lebih kencang, ini kali pertama kembali trekking semenjak pandemi.

Lubuk larangan
Lubuk larangan di Batu Katak/Mauren Fitri

Usai pembukaan, kami beranjak menuju jalur trekking. Kami berjalan berlawanan arah dengan aliran sungai. Dari atas, airnya tampak bening berwarna hijau. Beberapa orang tampak sedang memancing sembari berbincang satu sama lain. Masyarakat Batu Katak sepakat untuk menerapkan lubuk larangan—salah satu bentuk kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya perikanan perairan sungai—yang mana masyarakat tidak boleh mengambil ikan di sungai, selain dengan cara memancing.

“Bahkan menangkap ikan dengan menggunakan tangan pun tidak diperkenankan. Jika menangkap dengan sarung tangan, orang bisa mendapatkan ikan cukup banyak, sedangkan memancing, jumlah ikan dapat dihitung,” terang Zuah. Oleh karena itu, lubuk larangan menjadi wujud prinsip konservasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap sumber daya perikanan perairan sungai.

Beberapa tahun lalu, ada program pelepasan 3.000 ikan jurung di Sungai Sikelam dan Bekali. Ikan jurung terkenal sebagai ikan seserahan para raja, karena langka dan tidak bisa dibudidayakan. Satu kilogram, harganya bisa mencapai Rp900.000. Nah, di Batu Katak, hanya dengan memancing, kita bisa mendapatkan ikan jurung. 

“Mancing di sini tidak berbayar, nggak ada rate-nya sama sekali. Masyarakat setiap sore boleh memancing, dan itu tidak dilarang sejauh mereka tidak menyetrum, meracuni, menjala, atau menangkap ikan menggunakan tangan.”

Sebelum masuk hutan, saya melewati jembatan besi, lalu bebatuan menyerupai stalaktit goa yang menyambut di sisi kanan. Warnanya krim, kecokeletan, di beberapa sisi berwarna hijau penuh dengan tumbuhan lumut. Di bawahnya, ada beberapa genangan air sisa hujan semalam, namun tak banyak. Di sisi kiri, air jernih sungai masih tampak dari pandangan. Jarak trekking kami hari itu tidak terlalu panjang, hanya sekitar 3-4 km saja, namun karena trek berliku, banyak tanjakan dan turunan, jadi terasa berjalan lebih dari 10 km.

Kami kemudian memasuki kawasan hutan basah. Vegetasi masih belum begitu rapat, pohon-pohon tinggi belum banyak saya temui. Daun kering menempel pada tanah yang masih basah. Sampai akhirnya saya mulai terperangah. Belum ada 15 menit perjalanan, kami bertemu mata air. Di sini, Pak Hepi mulai menceritakan tentang Gunung Kapur kepada saya dan Pak Johan yang saat itu berada di barisan paling belakang.

Dulunya Gunung Kapur merupakan hutan masyarakat. Hingga pada tahun 1997 sebuah perusahaan membeli lahan di sini sebesar 210 hektare untuk menjadikannya pabrik semen. Karena Gunung Kapur terletak di Batu Katak, masyarakat mengambil kesimpulan jika kawasan berubah menjadi pabrik semen, maka kampung akan hilang. “Ada kemungkinan kampung akan mendapatkan relokasi, entah di mana.”

Menjadikan Batu Katak sebagai kawasan wisata menjadi salah satu cara untuk menyelamatkan kampung. Nilai tambahnya, masyarakat sudah lama menghentikan perburuan dan penebangan liar. Mereka juga berkomitmen untuk bersatu melestarikan hutan kembali. Tahun 2013, Wisata Batu Katak resmi buka. Hingga kini, tak ada pembangunan pabrik semen dan pihak perusahaan mendukung penuh program ekowisata yang masyarakat gagas. Hutan Gunung Kapur pun, beralih fungsi menjadi hutan konservasi dengan kepemilikan tetap di pabrik semen tersebut.


Pada 22-25 September 2022 lalu, TelusuRI mengikuti kegiatan Familiarization Trip Ekowisata Batu Katak, yang diselenggarakan oleh DESMA Center sebagai tindak lanjut dari kegiatan Digitalisasi dan Promosi Ekowisata serta Penguatan Kapasitas Pelaku Ekowisata di Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Batu Katak dan Amorphophallus yang Mekar (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ke-batu-katak-untuk-melihat-amorphophallus-yang-mekar-1/feed/ 0 36035