BBKSDA Riau Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bbksda-riau/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 24 Apr 2024 12:32:10 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 BBKSDA Riau Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bbksda-riau/ 32 32 135956295 Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling https://telusuri.id/melirik-ekonomi-alternatif-di-bukit-rimbang-bukit-baling/ https://telusuri.id/melirik-ekonomi-alternatif-di-bukit-rimbang-bukit-baling/#respond Sun, 17 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40541 Di luar kekhasan alam dan tradisinya, masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling punya potensi ekonomi ramah lingkungan, terutama ekowisata. Perlu dukungan berkelanjutan banyak pihak. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Selama ini, kegiatan...

The post Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling appeared first on TelusuRI.

]]>
Di luar kekhasan alam dan tradisinya, masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling punya potensi ekonomi ramah lingkungan, terutama ekowisata. Perlu dukungan berkelanjutan banyak pihak.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
Berkemah di Pulau Tonga merupakan salah satu daya tarik wisata andalan Tanjung Belit. Desa ini merupakan akses utama menuju desa-desa di dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling/Deta Widyananda

Selama ini, kegiatan ekowisata yang sudah berjalan di sekitar Bukit Rimbang Bukit Baling, Riau, kebanyakan terpusat di Desa Tanjung Belit. Wilayah yang jadi gerbang masuk menuju suaka margasatwa tersebut memang memungkinkan eksplorasi potensi wisata secara maksimal. Selain bukan sepenuhnya kawasan konservasi, Tanjung Belit adalah desa terakhir yang bisa dijangkau kendaraan bermotor, serta terhubung jaringan internet seluler dan listrik PLN.

Pengembangan ekowisata di Tanjung Belit mendapatkan bantuan pendampingan dan pelatihan dari sejumlah organisasi nirlaba, di antaranya para anggota konsorsium KERABAT—terdiri dari Yapeka, Forum Harimau Kita, dan Indecon. Salah satu hasilnya adalah keberadaan homestay warga dan penyediaan paket wisata berbasis masyarakat. 

Menurut Mansyur, bendahara kelompok sadar wisata (pokdarwis) Tanjung Belit, sebenarnya potensi wisata di Tanjung Belit banyak. ”Cuma yang di sini tampaknya agak bisa berjalan, [yaitu] potensi alami air terjun Batu Dinding dan perkemahan di Pulau Tong,” ungkapnya.

Sementara situasi di dalam kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling berbeda. Krusialnya fungsi ekologis hutan hujan dataran rendah dan Sungai Subayang untuk kelangsungan makhluk hidup di Riau dan Sumatra bagian tengah, menjadikan penerapan ekowisata secara terbatas harus dilakukan penuh kehati-hatian. 

Sejauh ini memang belum ada izin khusus dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (BBKSDA) Riau kepada pelaku atau operator khusus untuk mengelola potensi jasa lingkungan. Namun, Kepala BBKSDA Riau Genman Suhefti Hasibuan, S.Hut., M.M. (50), membuka pintu kesempatan itu sebagai salah satu upaya alternatif pemberdayaan masyarakat di dalam kawasan melalui kerja sama dengan organisasi nirlaba dan Pemerintah Kabupaten Kampar. Tentu dengan tetap memerhatikan rambu-rambu kawasan konservasi sesuai ketentuan yang berlaku.

Meskipun begitu, keterbatasan yang ada tidak menutup fakta yang sama pentingnya. Beberapa desa di dalam maupun luar kawasan memiliki potensi daya tarik ekowisata. Mulai dari sektor alam, budaya, kerajinan tangan, hingga kuliner. Selain inisiatif warga secara turun-temurun, program pelatihan dan pendampingan oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berperan penting menggali dan memetakan potensi ekonomi alternatif yang ramah lingkungan.

  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling

Ekowisata alam

Wisata alam adalah daya tarik terbesar di SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Baik di dalam maupun luar kawasan. Jika memasuki kawasan, perlu terlebih dahulu mengurus Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) di BBKSDA Riau. Di Muara Bio terdapat sebuah kantor resor yang biasanya melakukan pengecekan kunjungan wisatawan.

Tanjung Belit sebagai kawasan penyangga dan pintu masuk menuju SM Bukit Rimbang Bukit Baling, memiliki destinasi wisata alam unggulan, yakni air terjun Batu Dinding. Hanya perlu trekking selama 10—15 menit untuk tiba di air terjun utama. Air terjun ini berada di tengah hutan adat Tanjung Belit, yang vegetasinya cukup rapat. 

Indra Rius (30), dubalang pemuda Tanjung Belit, mengatakan bahwa keragaman burung di hutan tersebut cukup bagus. Ia sempat memotret sejumlah spesies, antara lain julang emas, kangkareng hitam, elang, dan burung-burung kecil. Bagi wisatawan penggemar birdwatching, hutan adat Tanjung Belit bisa jadi sasaran menarik untuk mengamati burung bersama pemandu.

Sementara di dalam kawasan, Desa Tanjung Beringin memiliki potensi ekowisata bernuansa petualangan di puncak Bukit Sakti. Menurut Bang Zul, salah satu warga, jarak pendakian ke bukit tersebut sekitar 2,5—3 jam jalan kaki dari kampung. Rutenya melewati makam Datuk Pagar dan Datuk Darah Putih yang menanjak. Sepulang dari berkemah di puncak bisa mampir ke Tumulun, sebuah kolam alami di Sungai Dekwak. Aliran sungai ini bertemu dengan Sungai Subayang di bawah jembatan desa. 

Jika bingung akan pergi ke desa mana, salah satu cara seru untuk menikmati alam sekaligus menguji adrenalin adalah dengan menyewa piyau. Susur Sungai Subayang dari Tanjung Belit ke arah hulu sejauh tak kurang dari 36 kilometer atau 3—4 jam perjalanan.

Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
Sejumlah warga Tanjung Beringin menaiki piyau untuk mengikuti prosesi sema rantau, tradisi leluhur yang bertujuan menolak bala dan memohon kepada Allah SWT agar kampung aman dari gangguan dan diberi keberkahan/Astin Atas Asih

Ekowisata budaya 

Seluruh desa di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling dahulu merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Gunung Sahilan, yang diperkirakan berdiri pada abad ke-17 atau 18. Desa Batu Songgan menjadi ibu kota Kekhalifahan Batu Songgan, yang membawahkan kenagarian-kenagarian (setara desa) di sekitarnya.

Unsur historis tersebut merekatkan adat yang diwariskan turun-temurun. Masing-masing desa memiliki ninik mamak (pemimpin atau pemangku adat) untuk menjaga kelestarian adat dari nenek moyang. Menurut Ajis Manto atau Datuk Pucuk (55), ninik mamak Desa Tanjung Beringin, ketentuan adat bisa menjadi pegangan masyarakat sehari-hari. Tujuannya agar tercipta harmoni antara manusia dan alam sekitar tempat mereka hidup.

Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
Seorang pria melempar jala dari atas piyau ke permukaan Sungai Subayang saat proses pembukaan lubuk larangan di Batu Songgan/Vita Cecilia Chai

Saat ini beberapa tradisi lokal telah menjadi kalender wisata rutin yang ditunggu-tunggu masyarakat. Baik dari daerah Kampar maupun di luar Riau. Salah satu tradisi yang masih terjaga dan ramai diburu warga dan wisatawan adalah pembukaan lubuk larangan yang dilaksanakan sekali dalam setahun di desa masing-masing. Lubuk larangan adalah tempat berkumpulnya ikan-ikan Sungai Subayang dan masyarakat dilarang mengambilnya selama periode tersebut. Panen raya, penangkapan tradisional, dan pelelangan baru dilakukan ketika sudah tiba waktunya sesuai kesepakatan ninik mamak dan masyarakat. 

Selain itu wisatawan juga bisa belajar kebudayaan yang ada di setiap desa. Contohnya, di Tanjung Beringin. Di desa ini ibu-ibu masih melakukan Batimang (menimang-nimang sebelum tidur) untuk anaknya yang baru lahir, serta memiliki calempong, perangkat musik semacam gamelan.

Marianum (kanan), warga Tanjung Beringin, mempraktikkan senandung Batimang/Deta Widyananda

Seni kriya pandan di Batu Songgan

Di Batu Songgan, ibu-ibu tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) Pulau Koto yang memproduksi kerajinan anyaman pandan. Dari 12 anggota aktif, TelusuRI menemui delapan orang yang berkumpul di rumah Rumiati. Saat itu tersedia beberapa produk jadi, antara lain topi, peci, tikar tidur, tikar sajadah, tas jinjing, dan gantungan kunci. Harganya bervariasi, tergantung jenis produk, ukuran, dan kerumitan motif. Misalnya, tikar untuk tidur Rp150.000, lalu topi berkisar Rp40.000—75.000.

Berdasarkan cerita Lenriani, salah satu anggota, pembuatan kerajinan anyaman rumbai atau pandan bermula karena keadaan susah dan serba terbatas yang dialami para orang tua zaman dahulu. Ketika berkebun atau bertani, terasa panas kena matahari karena tidak ada pelindung kepala. Lalu muncullah ide mengolah daun pandan menjadi topi. Begitu pun dengan tas kantung tempat ikan atau beras, dompet sebagai wadah uang atau barang, hingga tikar untuk alas tidur.

Produk kerajinan KWT Pulau Koto mengalami pengembangan setelah diberi pelatihan dari konsorsium KERABAT. Dari yang semula mencukupi kebutuhan sendiri, sekarang bisa dijual dan menghasilkan pendapatan untuk masyarakat. Mereka memanfaatkan bahan baku rumbai yang mudah didapat di hutan dekat rumah. Selain pandan, KWT Pulau Koto juga membuat produk dari rotan. 

Tantangan yang dihadapi beragam. Regenerasi pengrajin—tidak semua perempuan atau anak muda mau menganyam, faktor cuaca yang menghambat proses penjemuran daun pandan, dan lamanya pembuatan, karena menunggu motif sesuai keinginan pemesan. Kesibukan lain sebagai ibu rumah tangga juga menyita waktu membuat kerajinan.

Jelajah pangan lokal Tanjung Beringin

TelusuRI mencicipi kuliner lokal ketika tinggal dua malam di Tanjung Beringin. Kami menginap di rumah Tahtil yang bersebelahan dengan rumah Datuk Pucuk. Ia bersama suami dan anaknya tinggal seatap dengan Roainah atau Mak Dang, kakak Tahtil, dan suaminya.

Yang menarik, bahan-bahan penyusun masakannya diambil dari tanaman di sekitar hutan dekat kampung. Sayuran yang sering digunakan berupa tanaman pakis untuk lalapan, biasa diramban dari kebun liar sekitar rumah. Lauk utama masyarakat Tanjung Beringin adalah ikan air tawar yang banyak tersedia di Sungai Subayang. Jika ingin memasak daging ayam, tahu, atau tempe, maka harus belanja terlebih dahulu ke pasar di kecamatan. Atau, menunggu kehadiran pedagang pasar keliling pakai piyau yang datang sekali dalam seminggu ke arah hulu.

  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling

Salah satu menu yang sempat kami cicipi adalah ompok (asam padeh) buntut ayam. Masakan khas Kampar, Riau dari olahan buntut ayam. Penyajiannya buntut ayam dibakar, lalu ditambahkan bumbu cabai dan bawang goreng yang sudah digoreng dan diulek. 

Kemudian ada sigham, olahan dari bakaran ikan salai yang sudah kering. Bumbunya sederhana. Hanya dengan mengulek sedikit cabai, bawang putih, dan dicampurkan ke ikan salai, lalu digoreng dengan sedikit minyak. Sebagai pelengkap, disediakan pula sayur ubi rebus.

Dan masih banyak lagi. Menikmati pangan lokal di satu tempat saja rasanya memanjakan perut. Apalagi di desa-desa lain dengan ciri khas masing-masing. Kekayaan kuliner setempat bisa menjadi nilai tambah yang membantu perekonomian masyarakat.

  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling

Peluang optimasi energi terbarukan

Sampai sekarang desa-desa di dalam SM Bukit Rimbang Bukit Baling mengandalkan sumber energi terbarukan, karena tidak ada jaringan listrik PLN. Salah satu yang masih berjalan baik adalah pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMh) di Batu Songgan. 

Iwandra, pengurus PLTMh Batu Songgan, pemerintah pusat melalui pemerintah kabupaten memberikan bantuan PLTMh pada 2008. Akan tetapi, belum satu bulan sudah macet dan mati total selama tujuh tahun. Sampai kemudian 2015 diperbaiki dan berfungsi kembali.

Listrik menyala optimal tatkala air sungai sedang pasang, biasanya saat musim hujan besar. Dayanya lebih besar ketimbang PLTS, sehingga masyarakat bisa memiliki kulkas dan mesin cuci. Jika air sedang surut, maka penggunaan listrik dibatasi selama setengah hari dari petang sampai tengah malam. 

Biaya operasional PLTMh berasal dari iuran warga atau per kepala keluarga pemilik rumah yang dialiri listrik. Tarifnya Rp30.000 setiap bulan. Uang itu masuk kas PLTMh sebagai unit Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Hasilnya bisa diputar kembali untuk masyarakat dalam bentuk bantuan sosial maupun pembangunan sarana-prasarana kampung.

Salah satu kendalanya adalah letak PLTMh cukup jauh dari kampung. Jika terjadi masalah teknis pada turbin, masyarakat harus naik piyau ke lokasi. Pengurus berharap bisa dibangun jembatan gantung agar aksesnya lebih mudah dan penanganannya cepat. Selain itu Iwandra menitip pesan kepada masyarakat agar menjaga kedalaman Sungai Subayang, dengan cara merawat hutan agar tidak ada kayu terbuang dan bisa membuat sungai mengalami pendangkalan.

Tantangan pengembangan

Pengembangan potensi ekonomi alternatif ramah lingkungan di wilayah konservasi memang tidak segampang menyusun program di wilayah nonkonservasi. Apalagi kawasan dengan fungsi ekologis sepenting SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Jika mengikuti peraturan yang berlaku, maka akan menyadari rambu-rambunya cukup ketat.

Aksesibilitas yang hanya melalui jalur sungai bisa menjadi kendala mobilitas. Jauh dari mana pun. Sepenuhnya bergantung pada cuaca dan pasang-surut sungai. Namun, sisi baik dari kondisi ini bisa menyaring pengunjung—di luar warga setempat—agar tidak melebihi kapasitas daya dukung kawasan. Penduduk di dalam kawasan suaka margasatwa perlu menjalin koordinasi dengan masyarakat desa penyangga, Tanjung Belit dan Gema, agar sama-sama menjaga kawasan.

Ritme kolaborasi BBKSDA Riau selaku pemangku kawasan, pemerintah kabupaten, para organisasi nirlaba atau LSM lain seolah berkejaran dengan waktu. Sebab di saat yang sama aktivitas ilegal di dalam kawasan terus berlangsung, terutama pembalakan liar dan perambahan hutan.

Para pemangku kepentingan tidak bisa berjalan sendirian. Dalam perannya masing-masing, sesuai kewenangan yang dimiliki, perlu ada keselarasan visi di program atau kebijakan yang dikerjakan. Masyarakat lokal perlu pendampingan dan dukungan berkelanjutan. Terlalu sayang rasanya jika suara orang yang peduli hutan kalah dengan tetangga sekitarnya yang berkarakter sebaliknya. Walau untuk alasan ekonomi sekalipun.

Pendekatan ekowisata, kriya, dan pangan lokal sebagai sumber ekonomi alternatif ramah lingkungan hanyalah satu upaya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Khususnya di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Tujuan besar dari sebuah program pemberdayaan adalah kesadaran penuh masyarakat terhadap fungsi kawasan, serta kemauan untuk kreatif dan berdaya saing.

Kuncinya bukan tergantung di salah satu pihak semata. Kuncinya ada di semua pihak. Duduk bersama. Berpikir dan beraksi bersama untuk keseimbangan konservasi dan ekonomi SM Bukit Rimbang Bukit Baling. (*)


Foto sampul:
Astin Atas Asih (kiri), fasilitator lokal dari Indecon—anggota konsorsium KERABAT—mendampingi ibu-ibu Kelompok Wanita Tani (KWT) Pulau Koto Batu Songgan dalam pembuatan produk lokal unggulan di kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melirik-ekonomi-alternatif-di-bukit-rimbang-bukit-baling/feed/ 0 40541
Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling https://telusuri.id/senandung-bukit-rimbang-bukit-baling/ https://telusuri.id/senandung-bukit-rimbang-bukit-baling/#respond Sat, 16 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40528 Ekosistem hutan tropis dan sungai nan asri menjadi oase kehidupan di Sumatra bagian tengah. Mencari jalan tengah antara kebutuhan ekonomi dan konservasi. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Bagi sebagian orang, Riau...

The post Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling appeared first on TelusuRI.

]]>
Ekosistem hutan tropis dan sungai nan asri menjadi oase kehidupan di Sumatra bagian tengah. Mencari jalan tengah antara kebutuhan ekonomi dan konservasi.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Perahu tradisional atau piyau dan motoris (pengemudi piyau) menjadi pemandangan sehari-hari di lintasan Sungai Subayang. Piyau merupakan napas terpenting untuk konektivitas antardesa di dalam maupun luar kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Riau/Mauren Fitri

Bagi sebagian orang, Riau begitu lekat dengan kabut asap. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut paling parah terjadi pada 2015. Dampaknya sampai dirasakan negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Karhutla serupa tahun 2019 kian menjustifikasikan itu. 

Selain polusi udara, Riau juga dikenal sebagai salah satu provinsi terkaya di Indonesia. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2022 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita Riau mencapai 149,9 juta rupiah. Setiap orang di provinsi ini diperkirakan berpendapatan Rp 12,49 juta per bulan. Peringkat keempat setelah DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Industri manufaktur, pertambangan minyak bumi dan gas, serta perkebunan kelapa sawit jadi penopang terbesar.

Padahal di balik itu Riau punya satu kawasan hutan tropis yang jadi sumber kehidupan banyak orang, yakni Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling. Belakangan tempat ini sering disorot dan dibicarakan, karena geliat ekowisata dan panorama alamnya. Letaknya jauh nun di selatan Kabupaten Kampar, terhampar ratusan ribu hektare hutan belantara. Sungai jernih dengan banyak titik jeram membelah di antaranya. Kerbau yang berendam dan biawak yang sedang berjemur di pulau berbatu jadi pemandangan menarik sepanjang perjalanan.

Ketika TelusuRI masuk kawasan, makin ke dalam rasanya seperti berada di dimensi berbeda. Hutan di kanan dan kiri begitu membius. Udara sejuk dan kecipak air sungai menyegarkan. Batu-batu di dasar sungai terlihat jelas. Walau di sisi lain tidak bisa menyembunyikan ketegangan setiap piyau (sejenis sampan) menghantam jeram atau kandas karena sungai terlalu dangkal. 

Di dalam kawasan, orang-orang desa pedalaman bergantung pada sumber daya air dan hasil hutan. Bertahan hidup dengan keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, transportasi, dan kebutuhan rumah tangga. Mencoba berdamai dengan gejolak alam liar yang tidak terprediksi.  

Benteng terakhir Riau

Kawasan hutan dan sungai Bukit Rimbang Bukit Baling ditetapkan menjadi suaka margasatwa dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 3977/Menhut-VIII/KUH/2014. Luasnya 141.226,25 hektare. Cakupan area Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling terbagi ke dua wilayah administrasi, Kabupaten Kampar dan Kuantan Singingi. Kawasan konservasi yang berbatasan dengan hutan lindung di wilayah Sumatra Barat itu dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau. 

SM Bukit Rimbang Bukit Baling merupakan rumah bagi harimau sumatra beserta flora dan fauna endemik lainnya. Keanekaragaman hayatinya sangat beragam. Berdasarkan informasi dari situs resmi BBKSDA Riau, kawasan ekosistem hutan hujan dataran rendah ini merupakan habitat utama lima jenis kucing—termasuk harimau sumatra, ratusan jenis burung, lebih dari 100 jenis flora (di antaranya cendawan muka rimau atau Rafflesia hasseltii suringar), sampai dengan sejumlah primata dan mamalia lainnya.

Menurut Kepala BBKSDA Riau Genman Suhefti Hasibuan, S.Hut., M.M. (50), “Bukit Rimbang Bukit Baling adalah kawasan konservasi terluas yang tersisa dan relatif masih asri di Provinsi Riau,” jelasnya, “bisa kita sebut bagian dari benteng terakhir kawasan konservasi yang ada di Riau.”

Ia menambahkan, ada dua sungai utama yang mengalir di kawasan tersebut, salah satunya Sungai Subayang yang berhulu di kawasan hutan lindung perbatasan Sumatra Barat—Riau.

Selain sebagai satu-satunya akses transportasi masyarakat dengan piyau (sejenis sampan), peran sungai yang menjadi bagian dari DAS Kampar itu juga berperan sebagai penyuplai air untuk masyarakat. Terutama di Kampar, Pekanbaru, hingga Sumatra Barat. Sungai ini akan jernih dan dangkal saat musim kemarau, serta berwarna kecokelatan ketika musim hujan.

Dalam konteks harimau sumatra, Genman menilai Bukit Rimbang Bukit Baling adalah satu-satunya habitat terbaik di Riau bagi satwa loreng itu. Mengingat daya jelajahnya yang luas, menjaga kawasan hutan lindung perbatasan di Sumatra Barat juga tidak kalah penting.

“Saya kira sudah sepantasnya semua pihak setuju untuk menyelamatkan kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Karena kalau tidak, nanti akan mengancam kehidupan manusia dan satwa liar yang kita lindungi,” tegasnya.

Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Seorang warga Tanjung Beringin melempar jala di Sungai Subayang yang sedang dangkal. Selain menjadi jalur transportasi, sungai ini menyediakan aneka ikan air tawar untuk kebutuhan pangan masyarakat, khususnya di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling/Rifqy Faiza Rahman

Tekanan-tekanan untuk kawasan

Di dalam kawasan, ada delapan desa (kenagarian) di bawah wilayah adat Kekhalifahan Batu Songgan. Wilayah ini dulunya di bawah kekuasaan Kerajaan Gunung Sahilan. Secara berurutan dari arah hulu, yaitu Pangkalan Serai, Subayang Jaya, Terusan, Aur Kuning, Gajah Bertalut, Tanjung Beringin, Batu Songgan, dan Muara Bio. Mayoritas warganya mencari sumber penghidupan dari hutan dan sungai. Setiap desa memiliki potensi sumber daya alam dan keunikan tradisinya masing-masing. 

Meski tidak ada angka pasti, beberapa sumber menyebut masyarakat desa di dalam kawasan sudah menetap turun-temurun selama ratusan tahun. Karena sudah tinggal jauh lebih dahulu sebelum penetapan status kawasan suaka margasatwa, BBKSDA Riau tidak merelokasi permukiman.

Atas dasar nilai sejarah, BBKSDA menempatkan permukiman desa-desa adat Bukit Rimbang Bukit Baling ke dalam blok khusus seluas 17.348,50 hektare. Tidak hanya permukiman, delineasi luasan blok tersebut juga berdasarkan keberadaan lahan pemanfaatan untuk budidaya komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). 

“Tidak mungkin, misalnya, begitu [Bukit Rimbang Bukit Baling] ditunjuk jadi SM, mereka langsung dikeluarkan. Mereka diakomodasi untuk bisa hidup dan berkehidupan. Tentu berkehidupan secara tradisional dan tidak boleh dipindahtangankan secara komersial, [kecuali] kalau ada keturunannya yang melanjutkan.” tutur Genman.

Namun, jamak terjadi di kawasan konservasi lainnya di Indonesia, SM Bukit Rimbang Bukit Baling juga tidak lepas dari ancaman lingkungan karena faktor manusia. Pembalakan liar, perburuan satwa, dan perambahan hutan terus menekan eksistensi kawasan.

Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Sejumlah pemuda bercengkerama di tepian Pulau Tonga, Desa Tanjung Belit, Kampar. Tampak di kejauhan jejak perambahan hutan dan pembukaan lahan kelapa sawit menekan desa penyangga yang juga menjadi pintu masuk menuju kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling tersebut/Deta Widyananda

Mulanya, kebanyakan masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling menanam karet. Namun, seiring harga karet yang anjlok bahkan kurang dari Rp10.000 per kilogram, sebagian beralih membuka lahan bekas karet untuk ditanam kelapa sawit.

Bahkan saat pagi di Tanjung Beringin, terlihat asap menggelayuti pucuk-pucuk hutan di perbukitan. Sempat mengira kabut alami penyejuk pagi, ternyata itu kabut asap karena pembakaran lahan untuk membuka lahan perkebunan.

Tak sedikit juga yang bermain kayu. Selama perjalanan menyusuri Sungai Subayang dari Tanjung Belit ke Terusan, desa terjauh yang dituju, TelusuRI menyaksikan langsung sekelompok orang mengalirkan balok-balok kayu jenis meranti atau balam yang diikat ke sebuah piyau. Melintas seolah tak kenal waktu. Kayu-kayu yang diambil dari dalam hutan tersebut akan dibawa ke dermaga Tanjung Belit atau Gema. Di sana kayu akan dipindah ke truk atau mobil bak terbuka, dengan kapasitas setidaknya 10 meter kubik sekali angkut. Di beberapa titik saat menyusuri sungai, kadang terdengar suara senso meraung dari dalam hutan.

Ajis Manto atau Datuk Pucuk (55), salah satu ninik mamak atau ketua adat Desa Tanjung Beringin, tidak bisa memungkiri jika ada satu atau dua kelompok masyarakat yang menjadi pekerja kayu. Menurutnya, mereka berbuat seperti itu tanpa ada maksud memusnahkan hutan. Faktor ekonomi, terutama sejak era pandemi mendesak masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pemkab Kampar mencatat daerahnya merupakan kabupaten keempat termiskin di Riau, dengan jumlah penduduk di garis kemiskinan sekitar 15 ribu jiwa. Blok SM Bukit Rimbang Bukit Baling termasuk di dalamnya.

Dalam pandangan Genman, masyarakat yang melakukan pembalakan liar hanyalah suruhan. Bukan pelaku kunci. “Justru pelaku utamanya itu datang dari luar,” katanya.

Keterangan Teguh (22), motoris piyau yang membawa TelusuRI ke dalam kawasan, sedikit memperkuat pernyataan Genman. Pria asal Pangkalan Serai itu saat kecil sampai remaja sering menemani ayahnya menebang kayu berhari-hari di hutan Bukit Rimbang Bukit Baling. Hasilnya digunakan membiayai sekolah dan menghidupi keluarganya.

Ia bilang, ada pemodal atau pemain besar dari luar kawasan yang membiayai operasi pembalakan liar tersebut. Artinya, ada permintaan pasar yang besar. Entah dari Pekanbaru maupun kota-kota lain di sekitar Riau. Kini ayahnya sudah berhenti membalak, setelah beberapa tahun lalu kakinya patah karena tertimpa balok kayu di hutan.

Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Ajis Manto atau Datuk Pucuk, ketua adat Desa Tanjung Beringin. Keberadaan pemangku adat di setiap desa, khususnya di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling, berperan penting untuk menjaga kelestarian sungai dan hutan/Mauren Fitri

Mencari titik temu

Keterbatasan langkah di luar wewenang, personel pengawas di lapangan, dan pos anggaran untuk tanggung jawab pengelolaan dan upaya konservasi kawasan membuat BBKSDA Riau berada di posisi dilematis—jika bukan dibilang sulit. Di saat bersamaan tindakan-tindakan ilegal belum benar-benar berhenti, sementara masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling tetap harus bekerja untuk menyambung hidup.

Genman mengakui situasi tersebut. Ia mengungkapkan tiga cara atau strategi untuk mewujudkan perlindungan kawasan konservasi, sekaligus berupaya mengakomodasi kebutuhan dasar masyarakat. 

“Cara pertama itu persuasif,” terang mantan kepala BKSDA Aceh itu. Ia mengaku sudah banyak program diberikan. Baik oleh balai sendiri maupun kolaborasi dengan pemerintah kabupaten dan sejumlah lembaga masyarakat sipil. Salah satunya pemberian bantuan bibit jernang untuk dibudidayakan kelompok tani di setiap desa. Buah jernang dihasilkan dari tanaman jernang, yang merupakan komoditas HHBK. Dipercaya bernilai ekonomis cukup tinggi dan memiliki pasar ekspor.

Para kepala desa dan ninik mamak (pemimpin adat) juga diajak untuk terus mengedukasi masyarakat. Terutama yang membuka lahan kelapa sawit luasan kecil, yang ia anggap tidak menguntungkan. Ia yakin masyarakat hanya coba-coba karena tergiur orang-orang kaya dari berkebun sawit di luar daerah mereka.  

“Kemudian dari sisi preventif juga kami lakukan melalui kegiatan patroli oleh polisi kehutanan (polhut),” lanjut Genman menjelaskan strategi kedua.

Untuk mengatasi terbatasnya personel polhut, BBKSDA Riau bekerja sama dengan Yapeka, anggota konsorsium Kerabat—bersama Forum Harimau Kita dan Indecon—melatih masyarakat yang menjadi dubalang (pengawal hutan adat), agar ikut serta dalam pengamanan kawasan konservasi. Harapannya bisa merespons perubahan sekecil apa pun sejak dini untuk tindak lanjut berikutnya.

Langkah terakhir untuk mengamankan kawasan konservasi adalah cara represif. BBKSDA bertindak bersama Balai Penegakan Hukum (Gakkum KLHK) dan aparat penegak hukum, seperti unsur TNI dan polisi. Saat ini bersama Yapeka sedang didiskusikan cara menjerat pelaku kunci dari luar kawasan, khususnya penyokong dana pembalakan liar. Pengumpulan bukti masih menjadi kendala.

“Saya enggak bisa sendiri melakukan itu, karena keterbatasan kewenangan dan sumber daya manusia,” ujar Genman, “tapi saya yakin, dengan kebersamaan semua pihak pasti bisa [teratasi].”

Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Seorang pria mengemudikan piyau yang mengangkut bilah-bilah petai untuk dijual ke Desa Tanjung Belit atau Gema. Petai merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu yang cukup ekonomis di SM Bukit Rimbang Bukit Baling/Mauren Fitri

Meski berat, asa menjaga keseimbangan konservasi dan ekonomi itu masih ada. Sebagaimana senandung Batimang, lagu pengantar tidur bayi di Tanjung Beringin yang lestari sampai sekarang. Meniup doa Ibu, petuah, dan harapan besar kepada sang anak di masa depan.

Begitu pun semestinya Bukit Rimbang Bukit Baling, yang harus dijaga bersama. Jangan sampai auman harimau sumatra berubah jadi raungan kepedihan. (*)


Foto sampul:
Jembatan gantung membentang di atas Sungai Subayang di Desa Tanjung Beringin, salah satu dari delapan desa yang berada di kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/senandung-bukit-rimbang-bukit-baling/feed/ 0 40528