bebunyian sound art festival Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bebunyian-sound-art-festival/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 13 Feb 2024 10:35:35 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 bebunyian sound art festival Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bebunyian-sound-art-festival/ 32 32 135956295 Rizki Lazuardi dan Proyek “Magnetic Syrinx” di Bebunyian Sound Art Festival 2023 https://telusuri.id/rizki-lazuardi-dan-proyek-magnetic-syrinx-di-bebunyian-sound-art-festival-2023/ https://telusuri.id/rizki-lazuardi-dan-proyek-magnetic-syrinx-di-bebunyian-sound-art-festival-2023/#respond Fri, 16 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41171 Rizki Lazuardi (41) dikenal sebagai seniman dan kurator Indonesia yang banyak berkarya di bidang gambar bergerak, seperti film dan instalasi expanded cinema. Selain praktik pribadinya, ia bersama sejumlah kawan-kawan di kota Bandung juga menjalankan inisiatif...

The post Rizki Lazuardi dan Proyek “Magnetic Syrinx” di Bebunyian Sound Art Festival 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
Rizki Lazuardi (41) dikenal sebagai seniman dan kurator Indonesia yang banyak berkarya di bidang gambar bergerak, seperti film dan instalasi expanded cinema. Selain praktik pribadinya, ia bersama sejumlah kawan-kawan di kota Bandung juga menjalankan inisiatif seni dan riset bernama Indeks.

Pada Bebunyian Sound Art Festival 2023, peraih gelar Master of Fine Arts (MFA) dari The Hochschule für bildende Künste (HFBK) University of Fine Arts Hamburg, Jerman itu turut mengisi deretan lini artis penampil selain Jin Sangtae, Muhammad Zeian, Utami Atasia Ishii, dan WAFT Lab. Acara ini memamerkan aneka pertunjukan unik, proyek-proyek instalasi seni, dan pengalaman aural untuk pengunjung.

Dalam festival yang berlangsung di Space K, Surabaya (26/11) tersebut, Rizki Lazuardi menampilkan video esai berjudul “Magnetic Syrinx”. Melalui wawancara tertulis, ia menjelaskan proyek yang erat dengan kaset rekaman kicau burung itu kepada TelusuRI.

Rizki Lazuardi dan Proyek “Magnetic Syrinx” di Bebunyian Sound Art Festival 2023
Rekaman lapangan burung-burung di alam direkam pada vinil untuk sesi turntablist battle di Bebunyian Sound Art Festival 2023/Agid Antaris

Kami tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang proyek video esai Anda, “Magnetic Syrinx”. Bisakah Anda memberi tahu kami tentang asal usul proyek ini? Kapan Anda pertama kali menemukan rekaman kicau burung dan menyadari dampaknya terhadap pasar dan industri rekaman Indonesia?

Proyek “Magnetic Syrinx” bermula dari rasa penasaran saya sejak sekolah dasar. Saya dulu sering menghabiskan waktu di toko kaset. Di antara sejumlah kaset dari para musisi yang menarik perhatian saya, justru kaset kicau burung yang membuat saya penasaran. Kaset itu selalu memenuhi salah satu rak. Selalu saja ada rilisan baru. Saya penasaran siapa pembelinya? Bagaimana pembeli ini tertarik isi rekamannya? Bagaimana kaset ini direkam? Setelah saya dewasa, saya baru tahu kalau pendengar kaset ini bukan manusia. Pola produksi dan konsumsinya berbeda dari normalnya kaset musik.

Kami tahu bahwa Anda sangat tertarik dengan proses katalogisasi industri rekaman dan perbedaan kaset kicau burung dengan cara katalogisasi rekaman musik biasa. Bisakah Anda ceritakan sedikit tentang hal itu dan apa yang menurut Anda paling menarik dari metode tersebut?

Ketertarikan saya atas praktik katalog ini berakar dari kekaryaan saya sebelumnya yang biasa bekerja dengan arsip. Arsip lebih dari sekadar artefak. Yang menjadikannya arsip adalah metadata, yang dalam skala lebih luas tersusun dalam sistem katalog.

Dalam industri rekaman, sistem katalog yang hadir dalam sistem pemasaran kaset umumnya didasarkan pada genre musik. Dan sistem ini memasukkan semua spesies dan ordo burung dalam kategori yang sama. Menariknya, burung sebagai makhluk hidup, sudah memiliki sistem katalog berdasar taksonomi. Saya tertarik untuk melihat secara kritis bagaimana sistem klasifikasi ini bergeser seiring dengan tereduksinya agensi natural kicauan burung menjadi token estetik sesuai standar manusia.

Kita memahami bahwa produk-produk kaset sudah tidak populer lagi saat ini. Menurut Anda apa yang menyebabkan menurunnya popularitas kaset?

Pastinya pola konsumsi di era digital memberikan pendengar opsi lebih banyak daripada membeli dan menyimpan produk rekaman fisik. Tapi ‘kan kini kaset tidak benar-benar mati. Menurun drastis sih, iya. Skala produksinya dirasionalisasi menjadi lebih terbatas dan kini kaset dilihat sebagai objek collectible. Yang lebih menarik disoroti adalah pola konsumsi kaset burung. Burung tidak memiliki kultural kapital yang sama layaknya musisi untuk hasil rekamannya menarik dikoleksi. 

Rizki Lazuardi dan Proyek “Magnetic Syrinx” di Bebunyian Sound Art Festival 2023
Rekaman lapangan burung-burung di alam yang direkam pada vinil untuk sesi turntablist battle, kaset-kaset burung kicau Indonesia, dan bendera yang digunakan untuk kompetisi kicau burung, juga dikenal sebagai “Gacor”/Agid Antaris

Meskipun industri rekaman sudah tak lagi populer, pelatihan burung dan kompetisi kicau burung masih sangat populer. Apa pandangan Anda mengenai hal ini?

Ini tidak aneh. Industri rekaman kaset burung ‘kan hanya menumpang popularitas pasar burung berkicau dan kompetisinya. Kultur memelihara burung sudah ada sejak periode prakolonial di Indonesia. Perdagangan dan kompetisinya saja yang marak di era modern. Tanpa industri rekaman dan peredaran kaset, akses ke suara burung jauh lebih mudah saat ini. Ini sama saja seperti penjualan CD [compact disc] yang menurun, tapi minat bermain musik dan musisi baru tetap saja ada.

Pertunjukan yang Anda buat untuk Bebunyian merupakan perpanjangan dari video esai Anda. Apa yang ingin Anda capai dari pertunjukan ini? Bisakah Anda ceritakan sedikit tentang ide Anda dan bagaimana ide tersebut dikembangkan oleh para pemainnya? Apakah ada hasil yang tidak diharapkan dari pertunjukan ini?

Saya melihat adanya kemiripan antara kompetisi suara burung dan hip hop turntablism—selanjutnya di sini kita sebut sebagai DJ (disc jockey) battle. Manusia melihat kemungkinan estetika aural dari keduanya. Baik suara burung dan scratch turntablist mengalami manipulasi sonik. Burung dilatih untuk memiliki vocabulary yang kaya dan berlanjut lebih panjang dari karakter alaminya. Bedanya, pada DJ battle, manusia sendiri yang berlatih dan secara langsung melakukan manipulasi suara.

Vinyl [vinil] yang digunakan pada eksperimen DJ battle ini adalah soundbank atau field recording suara burung yang direkam di alam terbuka. Artinya, kicauan burung ini merupakan suara asli burung di habitat alaminya tanpa intervensi manusia. Vinil semacam ini cukup mudah dan murah didapat di marketplace Eropa atau Amerika. Target awalnya adalah para bird enthusiast, watcher, atau editor film dan radio sebagai sampel atau media pembelajaran. Menurut saya, scratching pada field recording suara burung ini sama seperti memanipulasi suara burung tanpa mengintervensi langsung organismenya. Dan jika manusia yang menentukan standar estetika pada suara burung, kenapa tidak manusianya saja yang berkompetisi? Ini adalah proposal bagi “skena” kompetisi burung berkicau yang tidak terlalu antroposentris. 

Apakah ada rencana eksplorasi lebih lanjut yang ingin Anda jelajahi dalam subjek dan konteks yang sama? Dan jika iya, bisakah Anda memberi tahu kami lebih banyak tentang ini?

Saya ingin bekerja bersama sejumlah DJ dan merilis album turntablism burung berkicau. Baik album burung berkicau dan hip hop turntablism adalah hal yang umum di industri rekaman. Kenapa tidak dengan keduanya?

Apakah Anda punya kesan akhir mengenai hubungan kita (manusia) dengan burung, atau tentang minat budaya kita terhadap hewan dan persaingan dengan hewan?

Riset untuk proyek ini membawa saya pada pengetahuan baru seputar hubungan interspesies. Saya baru tahu kalau burung cenderung bereaksi pada suara kicauan sesama spesiesnya saja.

Ketika berkunjung ke laboratorium ornitologi di Widyasatwaloka Cibinong, saya baru tahu etika untuk tidak sembarangan memutar rekaman suara burung di alam terbuka. Dan ini baru pengetahuan seputar burung, ya. Pada industri rekaman, saya menjumpai cukup banyak juga trivia menarik seputar perekaman burung yang berbeda dengan workflow perekaman musik.

Rizki Lazuardi dan Proyek “Magnetic Syrinx” di Bebunyian Sound Art Festival 2023
Dari kiri ke kanan: Turntablist DJ Dellen, Rizki Lazuardi, kurator Bebunyian Sound Art Festival Ayos Purwoaji, juri kompetisi kicau burung Yohanes Canary, dan Turntablist DJ Shortkutz/Agid Antaris

Bagaimana Anda mengukur dampak dari proyek yang Anda kerjakan untuk penonton?

Sampai saat ini saya lebih sering menghadirkan karya ini di ekosistem seni rupa. Saya ingin lebih banyak melibatkan penggemar burung berkicau. Buat saya akan lebih penting untuk mendapatkan respon mereka atas capaian manipulasi suara yang dihadirkan oleh DJ.

Seberapa yakin Anda mengerjakan proyek-proyek serupa di masa depan? Bagaimana prospeknya?

Saya belum memikirkan proyek serupa lagi. Buat saya proyek ini bahkan belum selesai dikembangkan. Saya ingin menyelesaikan versi final film esainya, tampil lebih banyak dengan para turntablist DJ dan merilis rekaman bersama mereka. Pastinya mendapat tanggapan dari para pegiat burung berkicau.


Foto sampul:
Rizki Lazuardi (tengah) memandu DJ battle di Bebunyian Sound Art Festival 2023 bersama DJ Dellen dan DJ Shortkutz/Agid Antaris


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Rizki Lazuardi dan Proyek “Magnetic Syrinx” di Bebunyian Sound Art Festival 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rizki-lazuardi-dan-proyek-magnetic-syrinx-di-bebunyian-sound-art-festival-2023/feed/ 0 41171
The Art of Listening: Unveiling Surabaya’s Pasar Keputran through the Sound Walk https://telusuri.id/the-art-of-listening-unveiling-surabayas-pasar-keputran-through-the-sound-walk/ https://telusuri.id/the-art-of-listening-unveiling-surabayas-pasar-keputran-through-the-sound-walk/#respond Sat, 27 Jan 2024 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41035 What happens when we start to pay attention to the overlooked sounds in our everyday environment? Story by Zarani RisjadPhotographs by Benny Widyo In today’s fast-paced, visually-driven world, the concept of a sound walk offers...

The post The Art of Listening: Unveiling Surabaya’s Pasar Keputran through the Sound Walk appeared first on TelusuRI.

]]>
What happens when we start to pay attention to the overlooked sounds in our everyday environment?

Story by Zarani Risjad
Photographs by Benny Widyo


In today’s fast-paced, visually-driven world, the concept of a sound walk offers a unique and immersive experience, redirecting attention to the often-overlooked sounds in our everyday environment. This practice, popularized in recent years, involves individuals or groups embarking on guided or self-guided walks with a primary focus on actively listening to the surrounding auditory landscape.

The roots of sound walks can be traced back to the work of Canadian composer R. Murray Schafer, who organized “Soundscapes for the Third Ear” in 1974, featuring guided walks that encouraged participants to engage with their auditory environment. Since then, the idea has evolved into a diverse range of experiences, from artist-led walks to community-based projects, all aimed at exploring and appreciating the sonic environment.

I had the opportunity to participate in a sound walk during the Bebunyian Sound Art Festival fringe event in Surabaya in November 2023. Led by cultural activist and walking advocate Anitha Silva, this particular sound walk provided a unique twist by incorporating a mobile phone recording workshop, in which participants create a collective sound art composition, led by Korean artist Jin Sangtae.

The Art of Listening: Unveiling Surabaya’s Pasar Keputran through the Sound Walk
Sound artist Jin Sangtae (dotolim) introduces the mobile phone workshop to participants at C2O Library/Benny Widyo

Exploring Pasar Keputran

At our meeting point, C2O Library & Collabtive, participants were invited to join a pre-walk exercise to practise recording various man-made sounds on their mobile phones, emphasizing the devices’ ability to capture subtle, ambient sounds. After the 15-minute practice, we set out for the walk with Anitha.

Anitha takes us to Pasar Keputran via a route that I assume is only known to locals. We walk through pedestrian-only lanes, historic wrought iron gates, and locally made signage through terraces of private homes and mosques, passing children playing and women doing household chores like dinner prep and laundry, all while chatting with neighbours on their terraces.

Anitha explains that we are now in Pasar Keputran, formerly a traditional market but has since been supplanted by a modern building complex. Walking through a bustling throng of buyers and sellers, we enter the top floor of the market building to get a birds-eye view of the market as well as the urban landscape surrounding it. Participants are encouraged to spend a further 20 minutes individually conducting field recordings of the sounds produced by the market’s inhabitants.

  • The Art of Listening: Unveiling Surabaya’s Pasar Keputran through the Sound Walk
  • The Art of Listening: Unveiling Surabaya’s Pasar Keputran through the Sound Walk

Collaboration in symphony

We return to the C2O Library to share the recordings. Sangtae explains that we will create a sound composition together by simultaneously playing our individual field recordings. Sound artist Eri Rukmana is our conductor, and he explains the three hand signals he will use silently to indicate when we should turn our phone volume up, down, pause, or muffle its sound. Following a brief rehearsal, the 13 participants are led through 15 minutes of a composition that could be titled The Symphony of Keputran at 4 p.m., which captured the vibrant chaos of the market. The symphony takes us straight to the core of Keputran, including the sounds of humans and children, the sharpening of a knife, the whirring of an exhaust fan, and the voice of a seller hocking his wares.

The result is as interesting as the process of the sound walk. Immediately, participants understand that in exploring the landscape through sound, it is impossible to ignore the sound generated by the omnipresent human and his or her activities, which is frequently overlooked in our daily lives. It was interesting to note the differences between participants sound recordings. Some participants recorded more drones or hums, and some chose to record louder sounds like radio sounds or sirens.

We are in a complex sonic exchange with our environments, making, muting, altering, and auditing sound. The workshop’s participants shared their individual findings, including what they found intriguing, what they learned, and what they liked or disliked. The conversation then broadened to discuss cultural norms, ideas on personal sonic space, audio pollution, and comparing the urban sonic landscape of Indonesia in comparison to other countries.

The Art of Listening: Unveiling Surabaya’s Pasar Keputran through the Sound Walk
Sound artist Eri Rukmana (WAFT Lab) conducting participants into a collective composition, with their mobile/Benny Widyo

Ends in a positive outcome

Reflecting on this experience, I realise that sound walks have the potential to be an embodied creative practice. The combination of listening and walking resulted in a dynamic, embodied experience that connected the body to the surrounding space and influenced how sounds were perceived throughout the multisensory journey. The walk promotes increased sensory awareness, emphasizing both what is heard and how it is felt in the body. Sensory stimuli influence our walking speed and direction, resulting in a very different walking experience that is more in tune with the nuances of sound and atmosphere, as well as more embodied.

Listening is one of the main perceptual relationships we have with the world around us, with information about space, people, and objects flooding in from all directions. Far from being a passive experience, there are many levels of attention with which we attune our ears. We can hone in on sounds that are important or blend [filter?] others out. Intentional listening deepens our relationship with the environment, fostering a keen ‘sense of place.’

The experience was transformative. I learned about Pasar Keputran not only from Anitha’s extensive knowledge, but also from my own keen senses. Paying attention to the subtle nuances in my auditory world allowed me to be fully present in the present moment, promoting a reflective state despite the noisy market environments. I felt connected not only to my surroundings, but also to the other participants as we shared our sonic experiences, combining the various elements we encountered to create a unique symphony, and then sharing our observations and discoveries.

In conclusion, a sound walk transcends a mere stroll; it is a creative practice that engages both mind and spirit. By tuning into the rich tapestry of everyday sounds, we foster a deeper connection to our surroundings, reaping the numerous benefits of this immersive experience. Sound walks provide a simple yet profound way to reconnect with oneself and the world, offering a reflective and transformative journey through intentional listening.

Cover photo:
Participants making field recording inside Pasar Keputran, Surabaya/Benny Widyo


Get to know your Indonesia better through our Instagram and Facebook Fanpage.
Interested in sharing your story? Come on, submit your writing.

The post The Art of Listening: Unveiling Surabaya’s Pasar Keputran through the Sound Walk appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-art-of-listening-unveiling-surabayas-pasar-keputran-through-the-sound-walk/feed/ 0 41035