bengkulu Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bengkulu/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 29 Jun 2023 08:29:32 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 bengkulu Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bengkulu/ 32 32 135956295 Jagat Sekala dan Niskala Bukit Kaba (2) https://telusuri.id/jagat-sekala-dan-niskala-bukit-kaba-2/ https://telusuri.id/jagat-sekala-dan-niskala-bukit-kaba-2/#respond Wed, 12 Apr 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38249 Kami keluar dari hutan. Perlahan, cahaya tak lagi tertutup kanopi. Di batas ini, vegetasi berubah drastis. Tiada lagi pohon-pohon besar, tak ada lagi liana. Bentang alam kini didominasi punggung-punggung bukit, bebatuan, paku-pakuan, dan pandan-pandan raksasa....

The post Jagat Sekala dan Niskala Bukit Kaba (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami keluar dari hutan. Perlahan, cahaya tak lagi tertutup kanopi. Di batas ini, vegetasi berubah drastis. Tiada lagi pohon-pohon besar, tak ada lagi liana. Bentang alam kini didominasi punggung-punggung bukit, bebatuan, paku-pakuan, dan pandan-pandan raksasa.

Kami melewati tenda para pendaki. Sebuah warung di sisi kanan jalan menjual makanan ringan dan kopi untuk para wisatawan. Saya baru ingat, Bukit Kaba memiliki dua jalur, satu menembus hutan—yang kami lewati—sedangkan rute lainnya lebih landai dan bisa dilintasi sepeda motor. Barangkali para pedagang lewat jalan itu. 

  • Bukit Kaba
  • Bukit Kaba

Tanah terus menanjak. Udara terasa lebih dingin karena tempat ini terbuka. Angin dengan bebas memukul kulit. Kami terus naik, mencari tanah datar untuk beristirahat. Setelah menemukan tempat yang cocok, kami berhenti. Tenda dibentang, kompor dinyalakan, air dijerang, kami pun selonjoran.

Kami berada di ketinggian Curup. Dari atas sini, Danau Mas Harun Bastari tampak kecil di bawah sana. Kabut merayap. Gumpalan asap putih bangkit perlahan dari kawah. Ia tengah menghembuskan napasnya. 

Kami kembali melangkah, menapaki kerikil yang berserakan. Daun-daun pandan menari dipukul angin. Bunga-bunga senggani menjelma titik-titik putih di tengah lanskap hijau. Suhu udara turun, bisa saya rasakan perubahannya yang menggigit. Saya kenakan jaket yang sejak tadi tersimpan dalam ransel. 

Bukit Kaba memiliki beberapa tempat menarik di puncaknya. Ada kawah hidup, kawah mati, dan Bukit Gajah. Ada pula danau yang menjadi tempat favorit para pendaki mendirikan tenda. Sayang sekali, karena kaki kami masih harus berjuang turun nanti sore, rasanya kami hanya bisa mengunjungi kawah hidup. Jalur terus menanjak hingga kami tiba di tangga sewu.

Bukit Kaba
Meniti tangga sewu/Asief Abdi

Entah bagaimana, tapi orang lokal memang menyebutnya demikian. Sewu adalah bahasa Jawa yang artinya “seribu.” Sejenak saya berpikir apakah benar saya sedang berada di Sumatra?—kelak saya tahu bahwa warga sekitar Bukit Kaba banyak berasal dari Jawa. Saya makin yakin karena desa di sekitar kaki gunung bernama Sumber Urip.

Tangga itu menjulang di hadapan kami, layaknya stairway to heaven. Kami menitinya untuk mencapai bibir kawah. Seorang teman menceritakan kisah bahwa jumlah anak tangga itu akan selalu berubah ketika dihitung saat naik dan turun. “Coba saja hitung,” katanya. Saya hanya tersenyum. Cerita soal jumlah anak tangga yang berubah-ubah sudah berulang kali saya dengar di berbagai tempat.

Sesekali kami berhenti. Angin bertiup. Beruntung aroma belerang tak menyerang. Baunya samar-samar. Sesekali kami berhenti. Merokok, minum, dan makan camilan. Kami melangkah lagi hingga tiba di anak tangga terakhir. Kami tiba di bibir kawah. Sebaris pagar membatasi para pengunjung agar tak terlalu dekat dengan kaldera vulkanik itu. 

Di dasar lubang, gumpalan asap putih naik ke udara. Kawah itu hidup. Demikian pula mite yang melingkupinya. Legenda yang hingga kini masih diyakini orang-orang. Kisah-kisah tak lazim, yang menjaga manusia tetap takzim kepada alam.

Bukit Kaba
Kawah hidup dan belerangnya/Asief Abdi

Seperti gunung-gunung pada umumnya, tempat ini juga tak lepas dari mite. Beberapa orang sesekali melakukan ritual bayar nazar di puncaknya. Mereka percaya itu mustajab. Jika janji tersebut terwujud, mereka akan membayarnya dengan melepas sepasang burung dara atau menyembelih kambing sebagai persembahan.

Dalam berbagai kebudayaan, gunung memang seringkali dikaitkan dengan tempat suci. Seperti orang Jawa mengenal Mahameru sebagai singgasana para dewa. Suku Masai di Afrika menyebut puncak Kilimanjaro sebagai ngaje ngai yang berarti “rumah tuhan”. Musa bertemu Tuhan di Gunung Sinai. Begitu juga Zeus yang bertahta di Olympus. Gunung tampaknya selalu diasosiasikan dengan entitas tertinggi, tuhan, dewa, hyang, atau apa pun sebutannya.

Bukit Kaba dianggap mistis. Bahkan, ada yang meyakininya sebagai tempat paling angker di Bengkulu. Selain menjadi rumah bagi hewan dan tumbuhan, gunung ini kabarnya juga dihuni makhluk tak kasat mata. Bangsa lelembut diyakini mendiami puncaknya. Malim Bagus dan Elang Berantai adalah dua sosok penunggu puncak Bukit Kaba. Beredar pula mite Muning Raib—konon adalah Malim Bagus—yang hingga kini masih menjadi momok bagi warga Dusun Curup, salah satu daerah di sekitar bukit.

Legenda Muning Raib adalah cerita hilangnya Muning, seorang bujang asal Dusun Curup, di Bukit Kaba. Dikisahkan, pemuda itu bersemedi di puncak bukit. Layaknya Arjuna yang didatangi bidadari saat bertapa, ia juga dihampiri sosok dewi tak kasat mata. Ada juga versi lain yang mengatakan bahwa anak muda itu bandel hingga diusir ayahnya dan minggat ke Bukit Kaba dengan membawa seruling kesayangannya. Di bukit itu, ia duduk dan memainkan serulingnya. Meniupnya dengan sepenuh hati. Melodi-melodi indah pun terdengar oleh sang dewi. Singkat cerita, mereka berdua akhirnya jatuh cinta.

Bukit Kaba
Menengok kawah dari tepian tebing/Asief Abdi

Suatu saat, si pemuda hendak kembali ke kampungnya. Sang dewi mengizinkannya, namun dengan satu syarat, yaitu orang-orang dusun tidak boleh memasak lema—makanan tradisional suku Rejang, terbuat dari rebung yang difermentasi—dan pakis saat hajatan. Muning mengiyakan permintaan kekasihnya. Ia pun pulang, kembali menjalani hidup seperti sedia kala. Setidaknya sampai hari itu tiba.

Sebuah hajatan digelar, orang-orang lupa. Mereka memasak lema dan pakis, lalai terhadap pantangan itu. Seperti janjinya, sang dewi datang dan membawa Muning kembali ke Bukit Kaba. Orang-orang dusun menyusulnya ke sana, mencarinya ke mana-mana. Namun tak ada gunanya mereka meneriakkan nama, pemuda itu telah pindah dunia. Muning telah raib—muning dalam Bahasa Rejang berarti “buyut.”  

Hawa semakin dingin seiring dengan tergelincirnya matahari ke sisi barat. Sesekali, angin bertiup kencang. Selagi teman-teman mengobrol, saya menengok ke sekeliling, kalau-kalau saya melihat sesuatu yang tak biasa. Akan tetapi, tak ada sang dewi, Muning, atau Elang Berantai. Tentu saja, mereka tak kasat mata. Namun, saya berharap, dalam eksistensinya sebagai entitas maupun mite, mereka tetap menjaga tempat ini. Melindunginya dari keserakahan manusia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jagat Sekala dan Niskala Bukit Kaba (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jagat-sekala-dan-niskala-bukit-kaba-2/feed/ 0 38249
Jagat Sekala dan Niskala Bukit Kaba (1) https://telusuri.id/jagat-sekala-dan-niskala-bukit-kaba-1/ https://telusuri.id/jagat-sekala-dan-niskala-bukit-kaba-1/#comments Tue, 11 Apr 2023 11:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38248 “Dewi pulang ke Bukit KabaMuning Raib ikut sertaDikatakanlah sampai sekarangCerita dahulu di dusun tuaKalau bujang dan gadis tidak mau celakaJangan pergi ke Bukit Kaba.” Muning Raib, lagu daerah Rejang Pada masa lalu, jauh sebelum anak-anak...

The post Jagat Sekala dan Niskala Bukit Kaba (1) appeared first on TelusuRI.

]]>

“Dewi pulang ke Bukit Kaba
Muning Raib ikut serta
Dikatakanlah sampai sekarang
Cerita dahulu di dusun tua
Kalau bujang dan gadis tidak mau celaka
Jangan pergi ke Bukit Kaba.”

Muning Raib, lagu daerah Rejang

Pada masa lalu, jauh sebelum anak-anak muda menggandrungi aktivitas pendakian dan meromantisasinya, para leluhur memaknai gunung dengan cara berbeda. Bukannya merangkai kata-kata bijak, mereka justru menganggap gunung sebagai tempat keramat. Tinggi dan suci, gunung diselimuti berbagai mite yang kadang masih membuat bulu kuduk pendaki merinding.

Sinar matahari terasa lembut di tengah udara dingin Curup, sebuah kota kecil di Bengkulu. Setelah digempur hujan selama beberapa hari, kami cukup beruntung pagi itu cerah. Zulni menjemput saya dengan mobilnya. Kami meluncur melewati jalanan kota yang tak terlalu ramai, meliak-liuk di gang-gang sempit, menjemput Oka di sebuah sudut kota. Kami hendak mendaki Gunung Kaba, sebuah gunung berapi aktif, atau yang lebih populer dikenal sebagai Bukit Kaba.

Lalu lintas kota lengang. Mobil meluncur tanpa hambatan berarti. Zulni memutar lagu Jawa yang ia sendiri tak mengerti artinya. Jalanan berkelok saat kami keluar area kota. Jalur di Sumatra penuh liku, tanjakan, dan turunan. Lepas Simpang Nangka, kami menuju Kecamatan Selupu Rejang, basecamp pendakian Bukit Kaba.

Bukit Kaba
Selamat datang di Bukit Kaba/Asief Abdi

Toyota Vios tua kami kewalahan di jalan menanjak. Beberapa kali, mesin mobil mati, takluk pada tanjakan yang coba kami lalui. Dengan cekatan, Zulni memundurkan mobil beberapa meter, memasang ancang-ancang maju, kakinya memberi lebih banyak tenaga pada mobil. Syukurlah, kami berhasil melintas.

Basecamp tampak ramai. Di area parkir, para pengunjung berdatangan. Saya baru ingat hari ini adalah akhir tahun. Sudah pasti banyak orang yang hendak merayakan malam pergantian tahun di puncak. Simaksi beres, mobil terparkir sempurna, kami melangkah ke pintu rimba.

Bukit Kaba
Menapaki jalur pendakian/Asief Abdi

Belantara Sumatra menyambut kami. Riuh rendah suara penghuninya terdengar dari berbagai penjuru. Lolongan siamang, cicit burung, dan derik serangga. Sesekali saya melihat beruk berlompatan di antara reranting yang silang sengkarut.

Kami berpapasan dengan beberapa pendaki. Di antaranya yaitu Bagus dan Dedek yang katanya dari Mukomuko—sebuah kabupaten di Bengkulu. Dalam sekejap, kami menjadi satu rombongan. Berbeda dengan kami, mereka berdua hendak bermalam di atas. 

Berkemah di gunung memang menyenangkan, tapi kami tak punya banyak waktu, jadi kami putuskan untuk tektok—sebutan para pendaki untuk pendakian bolak-balik sehari. Saya baru tahu kalau di sini para pendaki tidak menggunakan istilah itu, melainkan balik hari atau hiking. Bukit Kaba memiliki ketinggian 1937 mdpl, tak terlalu tinggi dan bisa ditempuh lebih kurang tiga jam perjalanan dari basecamp.

Sepanjang pendakian, kami berhenti beberapa kali. Selagi lainnya minum, makan camilan, atau merokok, saya menengok sekitar. Ini pengalaman pertama saya menginjak tanah Sumatra dan memasuki rimbanya. Mata saya dimanjakan oleh berbagai bentuk hidupan liar di sekeliling.

Belantara Sumatra benar-benar sehidup yang dituliskan Mochtar Lubis dalam novelnya, Harimau! Harimau! Saya pun teringat sesuatu dan bertanya apakah hutan ini ada harimaunya. ”Wah, mending jangan ngomongin itu, Bang,” jawab Oka. Belakangan saya mengetahui bahwa tabu bagi orang Rejang menyebut hewan itu di hutan—mereka menyebutnya nieniek atau sebie yang artinya “nenek”. Terlebih, beredar mite bahwa gunung ini dihuni Sebie Bujang Tunggal, sesosok harimau siluman. Saya tidak tahu jawaban Oka itu praktis atau mistis.

Suara burung takur terdengar. Saya mendongak, mencoba menemukan makhluk berbulu hijau itu, tapi pepohonan terlalu rapat. Tak hanya takur, banyak pula bunyi burung-burung lainnya yang tidak saya kenali. Ternyata, pada 1999, Bukit Kaba sempat dinyatakan sebagai Important Bird Area (IBA), yang menjadi suaka bagi berbagai jenis burung. Selain itu, gunung ini juga menjadi habitat Rafflesia, bunga bangkai ikonik Bengkulu. Namun, sayang sekali, tampaknya saat ini, Bukit Kaba tidak bisa lagi melaksanakan misi ekologis itu.

Bukit Kaba
Punggung-punggung Bukit Kaba/Asief Abdi

Rupanya, tak hanya para pemilik modal yang menggerogoti tubuh Sumatra. Dilansir dari sebuah situs berita nasional, beberapa kawasan hutan gunung ini rusak akibat perambahan yang dilakukan oleh warga. Mereka membuka lahan di area konservasi. Zona perlindungan itu dirusak dan dibuka menjadi perkebunan kopi. Tak heran jika tempat ini tak lagi bisa menjalankan fungsi alaminya sebagai surga bagi beragam hidupan liar, daya dukung lingkungannya merosot. Sepanjang pendakian, saya menengok sekeliling dan tak ada Rafflesia. Namun saya sudah cukup puas dengan beberapa jenis anggrek liar.

Berbagai jenis paku dan anggrek bergelantungan, menyapa para pendaki dari batang-batang pohon, melambai layaknya lengan-lengan peri. Di beberapa tempat, pohon tumbang—tampaknya diterpa badai. Batangnya yang melintang di tengah jalur memaksa para pelintas menunduk atau melangkahinya. Di beberapa titik, jalan benar-benar nyaris vertikal. Kami harus hati-hati memilih pijakan, hujan membuat tanah yang kami jejak licin. Setiap langkah harus diperhatikan. Beberapa kali saya harus berpegangan pada liana yang menjalar di mana-mana.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jagat Sekala dan Niskala Bukit Kaba (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jagat-sekala-dan-niskala-bukit-kaba-1/feed/ 3 38248
Hikayat Aren di Tanah Rejang (2) https://telusuri.id/hikayat-aren-di-tanah-rejang-2/ https://telusuri.id/hikayat-aren-di-tanah-rejang-2/#respond Fri, 17 Mar 2023 04:00:16 +0000 https://telusuri.id/?p=37652 Layaknya Dafne yang berubah menjadi pohon dalam mitologi Yunani, menurut cerita rakyat Rejang, pohon aren juga merupakan perwujudan seorang perempuan. Bedanya, ini bukan kisah kasih tak sampai seperti Dafne dan Apollo.  Alkisah, dahulu kala hiduplah...

The post Hikayat Aren di Tanah Rejang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Layaknya Dafne yang berubah menjadi pohon dalam mitologi Yunani, menurut cerita rakyat Rejang, pohon aren juga merupakan perwujudan seorang perempuan. Bedanya, ini bukan kisah kasih tak sampai seperti Dafne dan Apollo. 

Aren di Tanah Rejang
Kabun aren dilihat dari ketinggian/Asief Abdi

Alkisah, dahulu kala hiduplah tujuh orang bersaudara, enam laki-laki, dan seorang perempuan bernama Putri Sedaro Putih. Mereka yatim piatu dan hidup sebagai petani di sebuah desa terpencil. Sebagai anak bungsu, si gadis sangat disayang oleh saudara-saudaranya. Hari-hari mereka damai hingga malam itu tiba.

Sedaro Putih terjaga dari tidurnya. Tubuhnya gemetar, napasnya terengah, detak jantungnya mengencang. Sebuah mimpi memaksanya membuka mata, memastikan yang dilihatnya tidaklah nyata. Esok dan beberapa hari setelahnya, ia tampak murung dan tak bersemangat. Sinar matanya redup, seakan kehilangan daya hidup. Tubuhnya pun mengurus tak terurus. Perubahan sikap sang adik tak luput dari perhatian kakak sulungnya.

Suatu hari, kakaknya menghampiri Sedaro Putih dan bertanya perihal apa yang terjadi. “Ada apa gerangan, Adikku? Apakah engkau sakit?” tanyanya. “Tempo hari aku bermimpi. Entah mengapa, aku menjadi resah,” jawab sang adik pilu. Tak sanggup menanggungnya sendiri, gadis itu pun menceritakan mimpinya.

Dalam mimpi, Sedaro Putih didatangi seorang lelaki tua yang mengaku sebagai kakeknya. Ia diberi tahu bahwa hidupnya tak akan lama lagi. “Ajalmu akan segera tiba. Kelak, setelah engkau mati, akan tumbuh sebuah pohon dari kuburanmu. Pohon itu akan memberi manfaat dan kehidupan bagi orang-orang,” kata pak tua itu.

Aren di Tanah Rejang
Buah aren alias kolang-kaling/Asief Abdi

Mendengar cerita itu, sang kakak pun mengerti musabab saudaranya bersedih. “Namun, jika memang benar dari tubuhku akan muncul pohon yang berguna bagi manusia, aku rela mati,” kata gadis itu terisak. Si sulung meyakinkannya bahwa itu cuma mimpi. “Bukankah mimpi hanya hiasan tidur?” hiburnya. Perlahan, Sedaro Putih mulai lupa, menganggapnya tanpa makna belaka. Sinar matanya kembali menyala dan hidup seperti sediakala. Akan tetapi, sayang sekali, mereka salah. 

Rupanya, takdir tidak main-main. Suatu malam, Sedaro Putih meninggal secara mendadak, tanpa sakit atau penyebab lazim lainnya—barangkali jika saat itu ada dokter, ia sudah divonis terkena serangan jantung. Saudara-saudaranya menangis, menyesal telah mengabaikan firasat yang dirasakan adiknya. Jasad si bungsu pun dikubur. Benar saja, tumbuh pohon tak dikenal dari pusaranya. Karena tumbuhan itu tak bernama, mereka menyebutnya pohon sedaro putih, seperti sang adik. Dan mereka merawatnya seakan pohon itu adalah reinkarnasi si gadis. Pohon itu pun tumbuh besar. Di sampingnya, hidup pula pohon kapung—diduga adalah Leucaena leucocephala—yang dianggap sebagai pelindung.

Suatu hari, seorang saudara Sedaro Putih berziarah dan beristirahat di bawah pohon jelmaan adiknya. Angin bertiup, diikuti desau dedaunan. Reranting pohon kapung memukul-mukul tangkai perbungaan pohon sedaro putih. Seekor tupai menggigit tangkai itu hingga putus lalu meminum cairan yang menetes. Ia mengamati binatang yang kehausan itu. Setelah hewan itu pergi, ia mendekat dan menadahi air yang menetes, lalu mencicipinya. Dia terkejut karena rasanya manis. Dengan muka berseri, ia pulang dan memberi tahu saudara-saudaranya. 

Mereka meniru apa yang dilakukan angin, ranting, dan tupai. Tangkai perbungaan digoyang-goyangkan, dipukul-pukul, lalu dipotong untuk disadap. Sebuah tabung bambu (tikoa) diletakkan guna menampung air manis itu. Makin hari, hasil sadapan bertambah. Mereka kewalahan menyimpannya sehingga rasanya pun menjadi asam karena fermentasi. Mereka mencari cara mengawetkan hasil sadapan. Cairan itu direbus hingga menggumpal dan mengeras, menghasilkan bongkahan-bongkahan yang kelak dikenal sebagai gulo aren.

Sang penggubah mengakhiri kisah itu dengan indah. Sebuah legenda dengan pesan mendalam tentang kegunaan pohon aren. Sayang sekali, cerita itu tampaknya kini tak banyak diketahui pemuda Rejang. Setelah mendengarnya sekilas, saya bertanya ke beberapa teman tentang detail kisah itu dan mereka tidak tahu—akhirnya saya harus mencarinya di buku cerita rakyat Bengkulu. Boleh jadi, suatu saat cerita itu benar-benar akan hilang dari ingatan orang. 

Kini, kita mengetahui bahwa aren adalah pohon yang baik. Tak hanya nira, bagian lain tumbuhan ini juga dapat dimanfaatkan manusia. Batang dan daun enau menghasilkan ijuk, yaitu serat ramah lingkungan. Buahnya, kolang-kaling,—yang sebenarnya adalah bagian biji—sangat laku dijual, lebih-lebih saat bulan puasa. Tulang daunnya digunakan untuk sapu lidi. Batang mudanya menghasilkan tepung. Daun enau juga bisa digunakan sebagai bahan atap rumah. Bahkan, dulu orang merokok menggunakan daun enau sebagai pembungkus tembakau. Nira yang difermentasi akan menjadi tuak, minuman keras tradisional. 

Aren di Tanah Rejang
Pak Asmawi memukul-mukul tangkai perbungaan aren/Asief Abdi

Begitu berguna pohon aren hingga wajar rasanya jika cerita rakyat tentangnya muncul di beberapa daerah Sumatra—Dewi Areni dan Beru Sibou di Sumatra Utara. Menariknya, kisah-kisah itu mengusung tema serupa, yaitu perwujudan seorang perempuan. Di sini, kita bisa melihat korelasi antara perempuan dan kesuburan. Perempuan, sang pemberi kehidupan, sang Dewi Agung.

Dewi Agung dikenal dengan berbagai nama—Isis, Ishtar, Inanna, Nut, Auset, Hathor—dan merupakan arketipe—gambaran lampau yang muncul dari ketidaksadaran kolektif—yang umum. Dialah simbol daya hidup feminin yang sangat terkait dengan alam dan kesuburan, sebagai pencipta kehidupan sekaligus sebaliknya. 

Pohon adalah salah satu lambang sakral sang dewi. Carl Gustav Jung dalam bukunya yang berjudul Empat Arketipe mengasosiasikan aspek kesuburan dan pohon sebagai manifestasi arketipe ibu. Mite dan dongeng merupakan ekspresi arketipe, sehingga pola-pola arketipal umum yang ada pada semua manusia menghasilkan kemiripan mitologi kebudayaan yang berbeda-beda. 

Dalam Goddesses in Everywoman, Jean Shinoda Bolen menulis bahwa Dewi Agung masih eksis sebagai arketipe dalam ketidaksadaran bersama manusia. Tampaknya, sang dewi juga hadir di alam pikiran masyarakat Rejang dan daerah-daerah lain di Sumatra, tentunya dalam aspeknya yang positif—yakni pemberi kehidupan—sehingga lahirlah legenda-legenda tentang pohon aren yang subur sebagai perwujudan dari seorang perempuan. Lagipula, bukankah kita semua mengenal Hawa, perempuan pertama dalam kitab suci agama abrahamik? Dalam bahasa Ibrani, “hawwāh” artinya “kehidupan”. Aren, dengan segala kegunaannya, barangkali memang layak dijuluki pohon kehidupan. Tumbuhan ini tak hanya penting bagi manusia, tapi juga untuk lingkungan.

Beberapa hewan menjadikan aren sebagai habitat dan sumber makanan, seperti monyet jambul (Macaca tonkeana), babi rusa (Babyrousa babyrussa), lebah (Apis cerana), musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus), dan orangutan Sumatra (Pongo abelii). Hubungan ini tidak berlaku searah, melainkan resiprokal. Artinya, aren juga membutuhkan hewan-hewan itu untuk menyebarkan bijinya secara alami. Bahkan, di banyak tempat, para petani percaya bahwa penanam aren terbaik adalah musang luwak. Meskipun demikian, propagasi oleh manusia berperan paling besar dalam distribusinya.

Selain menjadi habitat bagi penghuni hutan, akar-akar aren yang menancap ke dalam bumi memberikan kekuatan bagi tanah, melindunginya dari erosi. Tumbuhan ini juga bukan “anak manja” yang butuh banyak air, pupuk, dan pestisida. Aren adalah tumbuhan yang tangguh. Keberadaannya di hutan justru menyokong kondisi tanah. Kebaikan aren membuat seorang ilmuwan yakin bahwa tumbuhan ini bisa menyelamatkan hutan tropis Indonesia yang luasnya kian susut oleh sistem pertanian monokultur gila-gilaan.

Aren di Tanah Rejang
Mengobrol di warung/Asief Abdi

Willie Smits, seorang ilmuwan sekaligus konservasionis asal Belanda meyakini bahwa aren memang pohon kehidupan. Dia melihat aren sebagai komoditas yang tak hanya bernilai ekonomis, tapi juga ekologis. Saat ia dimintai mas kawin berupa enam pohon aren ketika menikahi seorang perempuan Sulawesi, tempatnya melakukan penelitian, ia pun makin yakin pada potensi aren. “Hal itu membuat saya tertarik mempelajari aren lebih dalam,” tulis dia.

Menurutnya, kita bisa menyadap energi dari tubuh tumbuhan itu dan mengolahnya menjadi etanol sebagai bahan bakar. “Nira tersusun utamanya dari air dan gula—terbuat dari hujan, cahaya matahari, karbon dioksida, dan itu saja. Pada dasarnya, kamu hanya memanen cahaya matahari,” jelasnya dalam sebuah artikel di situs National Geographic. Sekilas, memang terkesan tidak ada bedanya dengan kelapa sawit, tapi lelaki itu yakin aren lebih ramah lingkungan

Budi daya aren tidak bisa dilakukan secara monokultur. Tumbuhan ini justru tumbuh baik di lahan hutan yang masih sehat dan heterogen. Aren tak hanya memberikan dukungan ekonomis bagi masyarakat, tapi juga sokongan ekologis bagi lingkungan. Sangat antitesis dengan kelapa sawit yang destruktif. Dengan konsep energi terbarukan yang ia gagas, Smits percaya bahwa aren adalah spesies kunci bagi upayanya menyembuhkan rimba Indonesia yang sudah compang-camping.

Hujan turun mendadak. Rintik-rintik air memukuli atap. Beberapa pemotor berhenti untuk berteduh. Sesekali kami mengobrol sambil menunggu hujan reda, mencoba membuat suasana tetap hangat di tengah udara dingin. Tak lama, guyuran air dari langit berhenti. Kami berpamitan kepada pasangan pemilik warung. Sebelum beranjak, saya meminta Pak Asmawi untuk memotret saya di depan warungnya. Saya serahkan ponsel. “Bisa, kan, Pak?” tanya saya. Ia mengiyakan lalu berdiri beberapa meter di hadapan saya sambil menghitung. “Satu, dua, tiga,” serunya.  Kami berpisah. Di dalam mobil saya membuka ponsel dan melihat foto tadi. Ah, sayang sekali. Fotonya nge-blur.


Daftar Bacaan

Azhari, Muhammad Qosyim. 2017. Etnobotani dan Potensi Aren (Arenga pinnata merr.) pada Masyarakat Suku Rejang Desa Air Merah, Rejang Lebong Bengkulu. Repositoryipb.ac.id

Bolen, Jean Shinoda. 2021. Goddesses in Everywoman. Yogyakarta: IRCiSoD

Jung, Carl Gustav. 2020. Empat Arketipe. Yogyakarta: IRCiSoD

Lavelle, Marianne. 2011. A Rain Forest Advocate Taps the Energy of the Sugar Palm. National Geographic.com

Martini, Endri, dkk. 2011. Sugar palm (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) for livelihoods and biodiversity conservation in the orangutan habitat of Batang Toru, North Sumatra, Indonesia: mixed prospects for domestication. Agroforestry Systems November 2011.

Orwa, dkk. 2009. Arenga pinnata. Agroforestry Database 4.0

Syamsuddin, Z. A. (1993). Cerita Rakyat dari Bengkulu, Volume 1. Jakarta: Grasindo


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hikayat Aren di Tanah Rejang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hikayat-aren-di-tanah-rejang-2/feed/ 0 37652
Hikayat Aren di Tanah Rejang (1) https://telusuri.id/hikayat-aren-di-tanah-rejang-1/ https://telusuri.id/hikayat-aren-di-tanah-rejang-1/#respond Thu, 16 Mar 2023 04:00:18 +0000 https://telusuri.id/?p=37649 Bulan-bulan terakhir dalam setahun merupakan agenda rutin musim hujan. Angin muson barat bertiup dan menumpahkan titik-titik air yang dibawanya, membasahi tanah di bawahnya yang dahaga sepanjang kemarau. Berharap sehari tanpa hujan pada Desember rasanya sulit,...

The post Hikayat Aren di Tanah Rejang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Bulan-bulan terakhir dalam setahun merupakan agenda rutin musim hujan. Angin muson barat bertiup dan menumpahkan titik-titik air yang dibawanya, membasahi tanah di bawahnya yang dahaga sepanjang kemarau. Berharap sehari tanpa hujan pada Desember rasanya sulit, apalagi di dataran tinggi seperti Curup—sebuah kota kecil di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.

Udara dingin berembus, menembus jaket yang saya kenakan. Pagi itu langit mendung. Kabut pun merendah. Matahari tak menampakkan sosoknya, bersembunyi di balik gulungan awan. Angin membuat udara Curup semakin dingin. Meski hari murung, saya beruntung hujan tidak turun. Mobil kami melaju menjauhi keramaian kota. Jalanan mengecil. Hiruk pikuk kendaraan menghilang, permukiman pun kian jarang. Sisi kanan dan kiri jalan dipenuhi pohon aren yang berderet-deret. Kami berada di Desa Air Meles Atas.

Gula Aren Rejang Lebong
Pak dan Bu Asmawi di Kampung Aren miliknya/Aisef Abdi

Mobil berhenti di sebuah warung bertuliskan Kampung Aren. Asap mengepul dari atap, tampaknya sang penghuni sedang memasak sesuatu. Di belakang bangunan sederhana itu, terbentang kebun tempat pemiliknya menggantungkan hidup. 

Cuaca tak juga membaik—barangkali beginilah kondisi normal di sini. Mendung tak juga habis, bahkan sesekali gerimis. Kebun itu kian redup oleh dedaunan yang silang sengkarut, menghalangi cahaya dari atas. Saya berjalan memasuki kebun. Semoga tak terlalu buruk untuk menengok pembuatan gula aren.

Pohon itu menjulang di hadapan saya. Batangnya yang gelap ditumbuhi paku-pakuan. Sekilas, wujudnya menyerupai kelapa sawit, tapi lebih jangkung. Aren (Arenga pinnata) merupakan kerabat kelapa, siwalan, dan pinang, yang tergolong dalam suku palem-paleman, Arecaceae. Pohon ini bisa tumbuh hingga 20 meter dengan diameter batang sekitar 30-40 sentimeter. Diyakini, tumbuhan ini berasal dari hutan-hutan tropis Asia Tenggara dengan tingkat keragaman tertinggi di Sumatra, semenanjung Malaysia, dan Kalimantan. Masyarakat sekitar juga menyebutnya enau—ada sekitar 150 nama lokal aren di Indonesia. 

Lama saya mengamati pohon aren di depan saya dari atas sampai bawah. Batangnya kokoh, tajuknya rimbun, sesekali aroma harum tercium. Itu pasti nira! Saya menebak. Saya tahu bahwa gula aren dibuat dari nira tumbuhan ini. Akan tetapi saya penasaran dari mana dan bagaimana sari pati bisa mengucur keluar dari tubuhnya. Batang pohon itu mulus belaka, tidak ada luka bekas torehan pisau layaknya pohon karet yang disadap. Bagaimana para petani mengumpulkan cairan itu?

“Tok, tok, tok…” Terdengar suara pukulan berulang-ulang. Seperti ada yang sedang menggebuki sesuatu. Saya ikuti bunyi yang bertalu itu. Rupanya seseorang sedang berada di atas pohon aren. Di tengah rimbunnya tajuk, lelaki itu memukuli tangkai perbungaan dengan sebuah pemukul—belakangan saya mengetahui bahwa proses ini bertujuan memperlancar keluarnya cairan sadapan. Kawan saya menyapanya dengan bahasa Rejang yang tidak saya mengerti. Ia menjawab, lalu mengambil ancang-ancang turun.

Namanya Pak Asmawi. Dialah pemilik tempat ini. Kepadanya saya bertanya tentang proses penyadapan. Setelah menjelaskan sedikit, ia mengajak kami mendekati pohon lain yang sedang dideresnya. Dengan cekatan, kakinya memijak tangga bambu yang cuma sebatang, tangannya merengkuh erat setiap pegangan. Perlahan, tubuh lelaki itu menjauh dari permukaan tanah dan sudah berada di kanopi. Diambilnya wadah yang terikat pada tangkai perbungaan jantan—aren merupakan tumbuhan berumah satu dengan bunga jantan dan betina terpisah dalam satu pohon. Tangkai perbungaan yang disadap adalah yang jantan. Diturunkannya tabung penampung nira menggunakan tali. Kami menangkapnya dengan hati-hati, tak mau setetes pun nira terbuang sia-sia. “Coba cicipi saja,” seru Pak Asmawi. Kami menyesapnya. Rasanya encer dan manis. Lebih manis daripada legen—nira siwalan—di kampung saya. Ia pun turun dan mengajak kami ke warung. 

Warung itu sederhana saja. Sebuah bangunan berbahan kayu dan bambu yang bersahaja. Sambil minum nira, Pak Asmawi mengajak kami mengobrol, menceritakan tentang kebunnya. Sesekali saya bertanya tentang teknik penyadapan dan pembuatan gula. Selagi kami bercengkerama, Bu Asmawi—sebut saja demikian—sibuk di dapur. Bisa saya rasakan hawa panas menguar dari dapur, diikuti aroma wangi yang menguap di tengah pengap asap. Rupanya, ia sedang menggodok nira. Pak Asmawi mempersilakan kami masuk ke dapur, menengok proses final dari produksi komoditas unggulan Rejang Lebong itu.

  • Gula Aren Rejang Lebong
  • Gula Aren Rejang Lebong

Sebuah tungku besar memuntahkan api. Dengan rakus, lidah-lidah api menjilati kuali besar di atasnya. Di dalam wadah itu, mendidih nira yang sudah mengental dan berubah warna—kini warnanya coklat gelap. Rupanya, sejak tadi istri Pak Asmawi sibuk mengaduk nira, memastikannya tidak meluap atau gagal mengental. Bunyi gemeretak kayu yang dimakan api terdengar dari dalam tungku. Proses seperti ini bisa memakan waktu enam sampai tujuh jam. 

“Sehari bisa produksi berapa, Pak?” tanya saya usai mengambil beberapa foto.

“Maksimal bisa 25 kilogram, tapi ya bergantung cuaca dan musim. Kondisi angin juga sangat memengaruhi hasil sadapan,” jawab pria itu sambil mengamati cairan gula yang mendidih. Ia juga kesulitan saat persediaan kayu bakar habis. Biasanya, ia menderes dua kali sehari, yakni pagi dan sore. Selebihnya, proses dilakukan di dapur seperti ini. Gula aren buatannya dijual ke Bengkulu, Jambi, dan Palembang. Kini ia tergabung dalam kelompok tani Sari Aren yang menjadi salah satu produsen utama gula aren di Rejang Lebong.

Pak Asmawi mengaku sudah mengelola kebunnya sejak berusia 35 tahun dan sudah lebih dua puluh tahun dirinya berkutat dengan aren. Kebun itu milik keluarganya, luasnya lebih kurang satu hektar. “Dulu ado kopi, tapi karena kurang menghasilkan, akhirnya ganti aren semua,” kenangnya. Lahan yang dulu sekadar kebun itu kini ia kembangkan. Selain produksi, tempat itu sekarang juga memiliki fungsi edukasi.

Konsepnya sederhana, tidak norak seperti kampung-kampung kekinian yang malah menjadi destinasi wisata populer dan kehilangan orisinalitasnya. Kampung Aren milik pasangan ini unik karena autentik. Pengunjung yang datang bisa melihat dan belajar proses produksi gula aren mulai dari kebun hingga menjadi bongkahan-bongkahan.

Pak Asmawi dan istrinya juga tak memungut biaya kepada pengunjung. Misi mesianis keduanya, tampaknya, yaitu melestarikan pembuatan gula aren secara tradisional agar tak hilang dimakan zaman. Tujuan luhur itu saya pikir sudah tercapai dengan seringnya pasangan ini menerima pengunjung—baru saya sadari bahwa kita bisa melihat Pak Asmawi di beberapa video tentang gula aren di YouTube. 

Dengan cekatan, pasangan itu mengangkat kuali dari atas tungku. Rupanya, nira sudah cukup matang. Cairan yang tadinya encer itu kini kental seperti karamel—saya baru tahu prosesnya disebut karamelisasi. Tinggal didinginkan sambil terus diaduk. Setelah itu, sang suami menuangkan gula kental itu ke cetakan-cetakan dari batok kelapa, sementara istrinya menatanya di atas petak-petak bambu untuk didiamkan sampai mengeras dan siap dijual.

Ada juga yang akan diolah menjadi gula semut yang berbentuk serbuk. Dengan produksi rumahan seperti ini, mereka kerap tak bisa memenuhi setiap pesanan konsumen. Memang, gula aren merupakan komoditas andalan Rejang Lebong. Reputasinya soal kualitas dan rasa tak diragukan lagi. Di tengah tren gula aren, hal itu tentunya baik bagi petani lokal.

Sebenarnya, masyarakat Indonesia telah lebih dulu akrab dengan gula aren sebagai pemanis hingga Belanda menyingkirkannya, menggantinya dengan gula tebu. Dalam bukunya, The Malay Archipelago, Alfred Russel Wallace mencatat perjumpaannya dengan pohon aren saat mengunjungi Makassar pada 1857.  

”Hutan yang mengelilingiku terbuka dan bebas dari semak-semak berkayu, terdiri dari pokok-pokok besar, pohon-pohon aren tersebar dalam jumlah banyak, dari mana wine aren—tuak—dan gula dibuat… dan gula yang dibuat darinya merupakan pemanis yang bagus.”

Belakangan gula aren menjadi pemanis alternatif yang populer karena cita rasanya yang khas. Jika kita nongkrong di kedai kopi, hampir dapat dipastikan ada menu kopi gula aren. Saking terkenalnya, seringkali orang kebingungan membedakan gula aren, gula kelapa, gula siwalan, dan brown sugar yang kerap dikira sama, padahal berbeda—teman saya meyakini gula siwalan di desanya sebagai gula aren, padahal aren dan siwalan adalah spesies yang berbeda.

Perlu diingat juga bahwa gula aren merupakan bahan baku utama cuko pempek yang lumrah dijumpai di Sumatra—teman saya yang berjualan pempek enggan mengganti gula aren dengan gula kelapa yang lebih mudah didapat. Karena diproduksi secara konvensional dengan proses minimal, gula aren dianggap lebih baik daripada gula pasir pabrikan. Meskipun kalorinya tidak jauh berbeda, gula aren dinilai lebih bernutrisi daripada gula pasir.

Dengan demikian, peran aren sangat vital dalam menopang perekonomian lokal. Bukan hanya nira, hampir semua bagian pohon ini dapat digunakan manusia. Demikian status aren amat penting secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat Rejang. Tak berlebihan rasanya jika rasa hormat kepadanya mewujud dalam sebuah cerita rakyat tentang muasal tumbuhan ini. Kisah tentang seorang gadis yang beralih rupa menjadi sebuah pohon.


Daftar Bacaan

Haryoso, Anggit, dkk. 2020. Ethnobotany of Sugar Palm (Arenga pinnata) in the Sasak Community, Kekait Village, West Nusa Tenggara, Indonesia. Biodiversitas Volume 21, number 1, January 2020, pages: 117-128

Heryani, Hesty. 2016. Keutamaan Gula Aren dan Strategi Pengembangan Produk. Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press

Lingawan, Angelita, dkk. 2019. Gula Aren: Si Hitam Pembawa Keuntungan dengan Sugudang Potensi. Jurnal Pemberdayaan Masyarakat (JPM) Vol.1.No.1

Wallace, Alfred Russel. 1890. The Malay Archipelago. London, MacMillan and Co.Yulihartika, Rika Dwi. 2019. Analisis Usaha Pengolahan Gula Merah Aren dengan Metode Profitability Rasio di Desa Air Meles Atas Kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA), Volume 3, Nomor 1 (2019): 162-169


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hikayat Aren di Tanah Rejang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hikayat-aren-di-tanah-rejang-1/feed/ 0 37649
Sepenggal Kisah dari Tanah Rafflesia (2) https://telusuri.id/sepenggal-kisah-dari-tanah-rafflesia-2/ https://telusuri.id/sepenggal-kisah-dari-tanah-rafflesia-2/#respond Sat, 18 Feb 2023 04:00:33 +0000 https://telusuri.id/?p=37284 Momen terbaik dalam hidup tak datang begitu saja. Butuh lebih dari sekadar tekad untuk mencapainya dan merasakan setiap detiknya. Saya menyeberang jalan, memarkir motor, melepas jaket, dan siap mengalami salah satu momen sakral itu. Usai...

The post Sepenggal Kisah dari Tanah Rafflesia (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Momen terbaik dalam hidup tak datang begitu saja. Butuh lebih dari sekadar tekad untuk mencapainya dan merasakan setiap detiknya. Saya menyeberang jalan, memarkir motor, melepas jaket, dan siap mengalami salah satu momen sakral itu. Usai menyapa seorang lelaki penjaga parkir, saya bertanya ke mana arah menuju sang bunga. Lelaki itu memanggil temannya, menyuruhnya untuk mendampingi saya melihat bunga. Kami menjauh dari jalan raya, masuk ke dalam hutan.

Jalan setapak itu curam, sedikit licin karena beberapa hari lalu cuaca didominasi hujan. Sulit dipercaya, kami berada hanya beberapa meter dari jalan raya, namun rasanya sudah jauh sekali dari hiruk pikuk. Suara jalanan menghilang, berganti riuh bunyi para penghuni rimba. Dari kejauhan, lolongan siamang dan cicit burung terdengar bergantian. Belantara Sumatera menghembuskan nafasnya.

Cukup jauh kami berjalan, sekitar sepuluh menit. Sambil memperhatikan setiap langkah, saya mengajak sang pemandu mengobrol. Namanya Pak Ariyanto, warga sekitar Liku Sembilan. Dirinya bersama beberapa orang lainnya biasa membentangkan “banner” ala kadarnya di tepi jalan. Para pengendara yang melintas dapat melihatnya dengan mudah. Mereka tak menarik biaya dengan nominal tertentu kepada pengunjung yang ingin melihat Rafflesia mekar, cukup pemberian sukarela saja.

Rafflesia mekar di Bengkulu
Seorang warga membentangkan banner ala kadarnya/Asief Abdi

Kami berhenti. Tanah yang kami pijak masih miring. Ranting yang saya gunakan sebagai tongkat memudahkan saya menjaga keseimbangan. Pak Ariyanto menunjuk ke beberapa arah. “Itu yang masih kol,” katanya. Kol adalah istilah penduduk setempat untuk kuncup bunga Rafflesia yang belum mekar—dalam biologi disebut knop. Memang, bentuk kuncup itu menyerupai kol. Kuncup-kuncup seukuran kol itu dipagari—terutama yang besar. Selain untuk menandai, pagar-pagar itu dipasang guna mencegahnya terinjak oleh orang yang melintas. “Ada juga orang iseng yang merusak kuncup-kuncup itu,” tuturnya saat saya mengamati kol itu lebih dekat. 

Lelaki gondrong itu juga memperingatkan saya untuk tidak menyentuh kuncup-kuncup bunga. Konon, jika disentuh, kuncup-kuncup itu akan gagal mekar. Mati bahkan sebelum mereka terbangun dari tidurnya. Meski tidak percaya, saya menurut saja. Mitos-mitos semacam itu seringkali efektif untuk mencegah tangan-tangan jahil manusia. 

Pak Ariyanto menunjuk lagi ke suatu arah. “Itu bunga yang mekar, tapi sayang, sudah cukup lama,” katanya. Saya mengikuti arah yang ditunjuknya, memicingkan mata, mencoba mencari warna merah darah dengan bintik-bintik. Hidung saya mengendus-endus udara—kalau saja ada aroma daging busuk. Tak ada!

Kami mendekat. Hati saya yang tadinya merekah, bersiap untuk mekar, layu seketika saat melihat bunga Rafflesia di depan saya. Saya benar-benar sedang berhadapan dengan bunga bangkai secara harfiah. Bunga itu nyaris menjadi bangkai. Warna merahnya menggelap, kelopak-kelopaknya lemas meski tak lepas. Tak ada aroma busuk menguar dari rongga bunganya, ironis sekali.

“Yang itu sudah hari kedelapan—Rafflesia mekar selama tujuh hari—makanya sudah begitu,” jelas Pak Ariyanto. Saya bertanya kalau-kalau ada bunga lain yang mekar di sekitar kami. Saya bahkan rela meski harus menyusuri hutan lebih dalam lagi. Akan tetapi, lelaki itu hanya menggeleng. Tidak ada, tak ada bunga lain yang sedang mekar—kalau pun ada, pasti tersembunyi di rimbun pepohonan. Hanya kuncup-kuncup bunga yang siap mekar beberapa minggu dan bulan ke depan. Saya menghela napas. Barangkali ekspektasi saya yang terlalu tinggi. Saya tak bisa menyalahkan alam—apalagi Pak Ariyanto. Sepertinya, keberuntungan saya hanya sampai di sini.

  • Rafflesia mekar di Bengkulu
  • Rafflesia mekar di Bengkulu

Dengan mencoba tetap tersenyum, saya mengamati bunga yang sedang membusuk itu. Saya memang gagal merasakan apa yang Joseph Arnold alami sekian tahun silam, tapi bagaimanapun saya toh masih beruntung bisa berhadapan langsung dengan bunga terbesar itu. Saya menyentuhnya, seperti jamaah haji menyentuh ka’bah, menciumnya layaknya hajar aswad. Sudah saya bilang, ini adalah misi suci. Benar saja, diameter bunga ini nyaris satu meter.

Lolongan siamang masih menggema, mengisi udara di sekeliling. Demikian pula gemerisik dedaunan, cicit burung, dan suara berisik serangga. “Kalau orang sini bilang ini tumbuhan apa, Pak?” saya bertanya. “Ada yang bilang itu wadah sirih orang dulu,” jawabnya.

Bagaimanapun, Rafflesia adalah nama latin pemberian orang Eropa untuk tumbuhan ini, dan layaknya tumbuhan lainnya, saya yakin, bunga ini pasti punya nama lokal. Banyak orang mengenalnya sebagai bunga bangkai. Namun, nama itu hanya akan membuatnya rancu dengan bunga bangkai lainnya, yaitu Amorphophallus. Keduanya memiliki aroma busuk guna mengundang serangga penyerbuk.

Layaknya pohon beringin, Rafflesia juga memiliki mitos lokal. Menurut penuturan Pak Ariyanto, bunga ini memiliki roh penunggu. “Nah, si roh ini senang kalau ada orang yang melihat. Jadi, itulah kenapa kalau ada orang yang mau lihat, kami antar,” paparnya. Dirinya juga menceritakan bahwa beberapa waktu lalu ada pengunjung congkak yang menolak diantar karena mengaku sudah tahu lokasinya tapi akhirnya tersesat juga. 

Saya tidak tahu Rafflesia jenis apa yang ada di hadapan saya. Diperlukan pengamatan yang lebih teliti pada bagian-bagiannya untuk memastikan spesiesnya. Mungkin banyak orang hanya tahu Rafflesia arnoldii dan mengira hanya itu jenis bunga ini. Tidak, terdapat beberapa jenis Rafflesia di dunia—R. arnoldii merupakan yang terbesar, tersebar di hutan hujan Asia Tenggara, mulai dari perbatasan Myanmar dan Thailand, Indonesia, Malaysia, serta Filipina. Di Indonesia, persebaran bunga ini tidak hanya di Sumatera, tapi juga di Jawa dan Kalimantan. Dari 25 jenis Rafflesia di dunia, 12 di antaranya ada di Indonesia. Rimba Sumatera menyimpan 10 spesies tumbuhan parasit ini.

Bunga Rafflesia Mekar
Bunga Rafflesia sedang mekar/Gabrella Juli

Rafflesia adalah holoparasit, artinya, parasit seutuhnya. Tumbuhan ini telah kehilangan kemampuan berfotosintesis dalam perjalanan evolusinya. Alih-alih, Rafflesia lebih suka mengisap langsung nutrisi siap pakai dari inang yang ditumpanginya, layaknya benalu. Tumbuhan inangnya pun spesifik. Saat saya tanya Pak Ariyanto tentang batang tumbuhan ini, dengan polosnya dia menunjuk sulur-sulur kayu di bawah bunga. “Itu akarnya,” katanya. Akar yang dimaksud itu sebenarnya adalah tumbuhan lain yang menjadi inang Rafflesia, yaitu Tetrastigma, liana—tumbuhan kayu menjalar—dari keluarga anggur (Vitaceae). Biji-biji kecil Rafflesia masuk ke dalam batang tumbuhan inang, tumbuh di dalamnya layaknya hantu yang merasuki tubuh, menancapkan haustorium—sejenis akar pada tumbuhan parasit—dan mengisap nutrisi dari dalam. Suatu simbiosis parasitisme.

Begitulah Rafflesia hidup. Jutaan tahun evolusi telah membentuk mekanisme yang demikian aneh namun adaptif. Meskipun demikian, interaksi semacam ini membuatnya sangat bergantung pada keberadaan inang. Hal itu membuat hilangnya habitat Tetrastigma juga berarti musnahnya Rafflesia. Parahnya lagi, Tetrastigma—meski bukan parasitadalah tumbuhan menjalar yang juga butuh inang—yaitu pohon lain—untuk dipanjat. Dalam sebuah ekosistem, interaksi antarmakhluk hidup tak pernah berdiri sendiri, melainkan berhubungan dan kompleks. Demikian eksistensi bunga raksasa ini sangat rentan akan kepunahan.

Interaksi spesifik semacam ini juga menyulitkan upaya budidaya Rafflesia di luar habitatnya. Sofi Mursidawati, ahli botani Kebun Raya Bogor, mengakui bahwa menumbuhkan Rafflesia di luar habitatnya bukan hal mudah, sebab preferensi yang berbeda antara tumbuhan parasit dan inangnya. Dengan tingkat kematian kuncup yang tinggi, dirinya hanya bisa menumbuhkan 16 individu sepanjang sepuluh tahun terakhir. Secercah harapan untuk upaya konservasi Rafflesia. Namun, bukan hanya itu faktor yang mengancam kelestarian sang bunga raksasa dari muka bumi. 

Rafflesia adalah tumbuhan berumah dua, artinya alat reproduksi jantan dan betinanya terletak pada bunga yang berbeda. Sederhananya, ada bunga jantan dan betina. Sebuah bentukan jutaan tahun evolusi yang ironisnya kini justru mempersulit perkembangbiakannya. Jika dalam suatu populasi hanya terdapat bunga betina—atau sebaliknya—maka penyerbukan akan sulit terjadi. Terlebih jika bunga-bunga itu tidak mekar serentak atau malah gagal mekar.

Lebih dari itu semua, ancaman yang lebih nyata bagi Rafflesia—juga flora dan fauna lainnya—tidak lain adalah deforestasi dan alih fungsi lahan. Bagi saya, bentang alam Sumatera indah sekaligus menyedihkan secara bersamaan. Sistem pertanian monokultur mengancam ekosistem hutan hujan tropis Sumatera. Pastinya, kini lebih banyak kelapa sawit di Sumatera ketimbang Rafflesia yang tersisa. Lucu sekali jika kelak spesies ini punah dan hanya bisa kita lihat dalam bentuk karakter Pokemon Vileplume—Ruffresia, nama aslinya di Jepang.

Ada baiknya kita ingat kembali bahwa kepunahan bersifat selamanya—setidaknya sebelum para ilmuwan berhasil membangkitkan kembali spesies-spesies yang telah punah. Seperti yang dituliskan Elizabeth Kolbert dalam bukunya yang berjudul Kepunahan Keenam, bumi kini kembali memasuki masa kepunahan massal setelah sekian juta tahun, di mana biodiversitas di bumi menurun drastis. Semoga manusia menyadarinya sebelum bencana mengerikan itu menyapu bentuk-bentuk kehidupan di bumi.

Rafflesia mekar di Bengkulu
Pengunjung melihat Rafflesia/Asief Abdi

Pak Ariyanto juga mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah akan ikon Bengkulu itu. “Kami juga tidak diberi fasilitas oleh pemerintah untuk mengembangkan ekowisata ini. Ya kami upayakan sendiri,” katanya. Mereka bahkan hanya menggunakan karung bekas untuk membuat spanduk pengumuman bagi para pelintas. Sebenarnya, yang perlu dilakukan pemerintah sederhana saja, yakni mencegah deforestasi secara masif oleh para pemilik modal.

Saya pikir, warga bisa mengembangkan metode ekowisata secara mandiri. Menjaga ketersediaan hutan berarti melindungi keberadaan penghuninya. Lagipula, budidaya kelapa sawit—juga industri kertas dan tambang—besar-besaran sudah cukup membuat tubuh Sumatera compang-camping dan membuatnya monoton. Luas kebun kelapa sawit, boleh jadi malah lebih luas ketimbang hutan yang tersisa di Sumatera kini. Hutan Sumatera termasuk dalam sebelas wilayah di dunia yang berkontribusi terhadap lebih dari 80% deforestasi secara global hingga 2030.

Terdengar teriakan dari kejauhan. Tampaknya, rekan Pak Ariyanto memberi isyarat bahwa ada pengunjung lain yang hendak turun menengok bunga. Sepasang muda-mudi dari Kota Bengkulu datang dan berswafoto dengan bunga bangkai yang teronggok. Sesekali terdengar suara cekikikan mereka. Saya menyingkir, memberi ruang lebih untuk mereka lalu melihat sekeliling. Lolongan siamang makin nyaring, daun-daun berderai dipukul angin. Aroma dedaunan dan lembap rimba mengisi setiap ruang. Sesekali, serangga-serangga aneh merayap di lantai hutan. Saya hirup dalam-dalam udara sebelum berpisah dengan Tanah Rafflesia.

***

Daftar Bacaan

BBC News Indonesia. 2015. Hutan Sumatera dan Kalimantan Sumbang Deforestasi Global. bbc.com

Hidayati, Siti Nur dan Walck, Jeffrey. 2016. A Revief of the Biology of Rafflesia: What do We Know and What’s Next. Buletin Kebun Raya Vol. 19 No. 2

Kim, Shi En. 2021. Cutivating the World’s Largest, Stinkiest Flower is no Small Talk. National Geographic.com

Kolbert, Elizabeth. 2020. Kepunahan Keenam. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama

Royal Botanic Garden. Rafflesia arnoldii. powo.science.kew.orgSusatya, Agus. 2011. Rafflesia. Pesona Bunga Terbesar di Dunia. Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sepenggal Kisah dari Tanah Rafflesia (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sepenggal-kisah-dari-tanah-rafflesia-2/feed/ 0 37284
Sepenggal Kisah dari Tanah Rafflesia (1) https://telusuri.id/sepenggal-kisah-dari-tanah-rafflesia-1/ https://telusuri.id/sepenggal-kisah-dari-tanah-rafflesia-1/#comments Fri, 17 Feb 2023 04:00:48 +0000 https://telusuri.id/?p=37283 “… here I rejoice to tell you what I consider as the greatest prodigy of the vegetable world… to tell you the truth, had I should, I think I have been fearful of mentioning the...

The post Sepenggal Kisah dari Tanah Rafflesia (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
“… here I rejoice to tell you what I consider as the greatest prodigy of the vegetable world… to tell you the truth, had I should, I think I have been fearful of mentioning the dimensions of this flower, so much does it exceed every flower I have ever seen or heard of… now for the dimensions which are the most astonishing part of the flower. It measures a full yard across…” (Dr. Joseph Arnold)

Rafflesia mekar di Bengkulu
Jalanan basah Liku Sembilan saat saya melintas pertama kali/Asief Abdi

Hari itu hati saya patah. Pasalnya, saat melintasi jalan raya Liku Sembilan lepas Kepahiang menuju Taba Penanjung, tak ada satu pun tulisan Rafflesia mekar dibentang warga. Barangkali, sakit hatinya lebih dari ditinggal kekasih. Suasana makin sendu dengan hujan yang nyaris seharian. Bagi kalian, mungkin terdengar berlebihan, tapi bagi saya, melihat bunga langka itu menjadi salah satu misi suci saya berkunjung ke Bengkulu. 

Di tempat ini, bunga raksasa itu bukan sekadar flora langka dan dilindungi. Seperti totem suku-suku primitif, simbol-simbolnya bertebaran di mana-mana. Rafflesia menjadi nama perguruan tinggi, rumah sakit, bus, hingga warung makan. Rasanya menyedihkan jika saya hanya bisa melihat replikanya yang terbuat dari semen di pinggir jalan raya.

Hati saya semakin panas saat seorang teman menunjukkan foto Rafflesia tengah mekar yang ia tengok beberapa waktu lalu. Ah, tak bisa seperti ini. Saya sudah menempuh jarak Madura–Bengkulu dengan bus nyaris tiga hari perjalanan, rasanya akan sangat sia-sia perjalanan panjang ini. Bagaimanapun, dalam kunjungan singkat ke tanah Sumatra ini, saya harus melihat bunga agung itu, spesies yang pernah diperebutkan para penjelajah.

Rafflesia dalam Sejarah

Jika membaca kembali buku IPS atau Biologi, tumbuhan yang dikenal sebagai bunga bangkai ini bernama latin Rafflesia arnoldii. Fakta yang lebih umum dikenal orang yaitu bunga ini pertama kali ditemukan oleh dua orang Inggris, Thomas Stamford Raffless dan Joseph Arnold, di belantara Sumatera, tepatnya di Bengkulu pada 1818 silam.

Di sebuah sudut rimba, seorang buruh Melayu melihat suatu tumbuhan aneh yang berwujud bunga belaka. Temuan itu dilaporkannya kepada Joseph Arnold, seorang dokter dan penjelajah Inggris yang saat itu sedang melakukan ekspedisi di Sumatera. Penasaran, tim ekspedisi itu pun melibas hutan selama dua hari perjalanan, menyusuri Sungai Manna untuk melihat tumbuhan itu di suatu daerah bernama Pulo Lebbar. Saat melihatnya, Arnold terkejut dengan ukurannya yang tak biasa, begitu besar dan menakjubkan—seperti kelak ia ceritakan dalam suratnya.

Bunga Rafflesia Mekar
Bunga Rafflesia sedang mekar/Gabrella Juli

Busuk tapi indah. Barangkali dia tak terlalu peduli dengan bau bangkai yang menyeruak dari rongga bunga itu, meskipun lalat-lalat berdengung di sekitarnya. Bunga itu seperti hantu, tanpa daun maupun batang, hanya bunga yang mekar pada akar-akar menjalar. Mata sang dokter pasti terbelalak dan berbinar secara bersamaan, yakin bahwa dirinya telah menemukan misteri alam yang belum diketahui siapa pun. Dia yakin, dirinyalah sang penemu spesies adiluhung nan ajaib itu. Saat dipublikasikan nanti, mata dunia akan tertuju padanya. Akan tetapi, di sisi lain kepulauan Hindia Timur, seseorang telah melihatnya lebih dulu.

Pada 1797, dua dekade sebelum Arnold terkesima dengan temuannya di Bengkulu, seorang penjelajah berkebangsaan Prancis, Louis Auguste Deschamps melakukan ekspedisi ke Pulau Nusakambangan. Di sana, Deschamps bertemu dengan bunga sejenis, tapi lebih kecil. Boleh jadi, Deschamps sama takjubnya dengan Arnold saat berhadapan langsung dengan bunga tersebut. Matanya memicing, abai dengan bau busuk yang menyeruak. Sang penjelajah mencatat dan mengumpulkan spesimen koleksinya selama masa ekspedisi. 

Setahun kemudian, Deschamps pulang ke negerinya. Akan tetapi, saat memasuki perairan Inggris, kapalnya dicegat. Pihak Inggris yang saat itu tengah berperang melawan Prancis merampas semua catatan dan koleksi Deschamps, termasuk bunga tersebut. Setelah melihat temuan dan catatan Deschamps, para botanis Inggris sadar bahwa penjelajah Prancis itu telah menemukan keajaiban alam, sebuah mukjizat evolusi yang barangkali, lebih pantas menjadi temuan Inggris alih-alih negeri lainnya. Nahas bagi orang Prancis itu, semua koleksinya berakhir di tangan Inggris dan tersimpan di museum.

Nasib baik seolah berpihak pada Inggris. Meskipun Arnold akhirnya meninggal  karena malaria tak lama usai penemuannya yang fenomenal itu, Inggris toh tetap beruntung. Tugas Arnold di Sumatera diambil alih oleh William Jack, yang juga seorang dokter dan penjelajah. Dengan segera, ia menyelesaikan draf deskripsi temuan pendahulunya itu. Dia sadar bahwa tulisannya akan mengukir sejarah dunia, di mana negerinyalah yang akan menjadi sang penemu. Dirinya tahu, meskipun Deschamps telah kehilangan semua catatannya, orang Prancis itu bisa saja mengungkapnya terlebih dahulu kepada dunia. Apalagi beredar rumor bahwa Prancis akan segera menerbitkan temuan Deschamps. Di masa lalu, di mana waktu berjalan lebih pelan, suatu kompetisi ilmiah tengah berlangsung.

Perlombaan usai pada 1820 ketika Robert Brown—seorang botanis Skotlandia terkemuka—mengumumkan nama spesies tumbuhan itu. Bunga raksasa yang dicatat Arnold di pedalaman Bengkulu akhirnya diberi nama Rafflesia arnoldii, diambil dari nama Thomas Stamford Raffles, gubernur jenderal Inggris di Bengkulu dan Joseph Arnold. Empat tahun kemudian, spesies yang ditemukan Deschamps di belantara Nusakambangan juga terbit dengan nama Rafflesia patma. Orang Prancis itu kalah juga dan harus tunduk pada nama Raffles. Sudah pasti sang gubernur senang namanya disematkan pada suatu genus tumbuhan—meskipun saya ragu dia pernah melihatnya langsung di rimba Sumatera dan hanya menumpang nama. Inggris telah memenangkan ajang ilmiah yang politis ini, mengukuhkan negeri itu sebagai pelopor di bidang sains.

Kembali Mencari Rafflesia

Hari pertama di tahun 2023 adalah kesempatan terakhir saya untuk menengok Rafflesia. Esok saya harus pulang dan itu artinya jika hari ini gagal, saya tak tahu lagi bagaimana harus menggambarkan perasaan saya. 

Setelah ngirup—makan pempek dengan cuko, kebiasaan baru saya selama di Bengkulu—saya meminjam motor teman untuk berkeliling. Honda Scoopy itu membawa saya melesat melintasi jalan raya Curup yang tak terlalu ramai. Hawa dingin bisa saya rasakan dari balik jaket. Sejuk namun tak menusuk.  

Sebelum berangkat, saya mencari informasi tentang keberadaan bunga itu. Saya ikuti beberapa akun instagram Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) di Bengkulu. Komunitas ini bergiat di bidang pelestarian sekaligus penggerak ekowisata Rafflesia dan Amorphophallus. Mereka rajin mengunggah foto dan informasi seputar bunga yang mekar di daerah masing-masing. Saran saya, bagi kalian yang ingin menyaksikan bunga raksasa itu, coba hubungi mereka terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk berangkat. 

 

Rafflesia mekar di Bengkulu
Yang memupuk harapan saya, Rafflesia mekar/Asief Abdi

Satu per satu saya kirimi pesan, siapa tahu mereka bisa memberi saya petunjuk. Akan tetapi, sepertinya keberuntungan masih jauh dari saya. Balasan mereka sebatas, ”Maaf, untuk saat ini belum ada yang mekar,” atau “Ado, Bang, tapi takutnyo sudah busuk.” Sayang sekali, sungguh menyedihkan. Namun, saya tetap berterima kasih kepada mereka dan mendukung upaya luhur mereka.  

Jalanan berubah sepi. Hiruk pikuk kendaraan hilang, kebun di kanan kiri kian panjang. Saya memasuki wilayah bernama Tebing Penyamun. Terbit was-was di kepala kalau-kalau di tengah jalan saya dibegal penyamun sungguhan. Jalanan menjadi semakin asing. Benar saja, saya kesasar. Jika seharusnya saya menuju Bengkulu Tengah, kini saya malah berada di jalur menuju Pagar Alam. Setelah menanyakan arah pada warga sekitar—yang bahasanya tidak terlalu saya pahami—saya memutar arah, kembali ke Kepahiang. 

Setelah berbalik arah sekitar 18 kilometer, akhirnya saya kembali ke jalur yang benar. Jalanan mulai berliku dengan hutan di sisi kanan dan kirinya. Saya memasang mata, lebih awas dari biasanya. Ini hari terakhir, tak boleh gagal. Benar saja, siang itu mata saya melihat sesuatu. Sebuah karung bekas bertuliskan Rafflesia Mekar terbentang. Saya tak bisa menggambarkan perasaan saya kala itu. Barangkali seperti peziarah yang tiba di tujuan. Semacam perasaan rindu yang tak terjelaskan, layaknya rindu orang beriman kepada sang nabi.

***

Daftar Bacaan

BBC News Indonesia. 2015. Hutan Sumatera dan Kalimantan Sumbang Deforestasi Global. bbc.com

Hidayati, Siti Nur dan Walck, Jeffrey. 2016. A Revief of the Biology of Rafflesia: What do We Know and What’s Next. Buletin Kebun Raya Vol. 19 No. 2

Kim, Shi En. 2021. Cutivating the World’s Largest, Stinkiest Flower is no Small Talk. National Geographic.com

Kolbert, Elizabeth. 2020. Kepunahan Keenam. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama

Royal Botanic Garden. Rafflesia arnoldii. powo.science.kew.org

Susatya, Agus. 2011. Rafflesia. Pesona Bunga Terbesar di Dunia. Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sepenggal Kisah dari Tanah Rafflesia (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sepenggal-kisah-dari-tanah-rafflesia-1/feed/ 1 37283
Ketulusan Alam dan Manusia: Cerita dari Hutan https://telusuri.id/ketulusan-alam-dan-manusia-cerita-dari-hutan/ https://telusuri.id/ketulusan-alam-dan-manusia-cerita-dari-hutan/#respond Tue, 14 Jul 2020 06:18:23 +0000 https://telusuri.id/?p=23062 Perjalanan menuju desa yang terletak di Bengkulu Selatan, Desa Air Tenam, menjadi hadiah awal tahun 2020 yang menyenangkan untuk saya, karena itu adalah kali ketiga saya bepergian ke daerah sebelum kebijakan PSBB dan larangan untuk...

The post Ketulusan Alam dan Manusia: Cerita dari Hutan appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan menuju desa yang terletak di Bengkulu Selatan, Desa Air Tenam, menjadi hadiah awal tahun 2020 yang menyenangkan untuk saya, karena itu adalah kali ketiga saya bepergian ke daerah sebelum kebijakan PSBB dan larangan untuk melakukan perjalanan ke luar kota diterapkan akibat wabah COVID-19 yang melanda Indonesia.

Desa Air Tenam adalah desa baru yang secara definitif mulai berdiri pada tahun 2016, di bawah administrasi Kecamatan Ulu Manna, setelah sebelumnya bergabung dengan dusun lain. Sejak banyak penduduk baru datang ke Air Tenam pada 1990-an untuk berladang, wilayah itu kemudian menjadi tempat persinggahan untuk beristirahat oleh orang-orang dari kampung lain yang ladangnya jauh dari tempat mereka tinggal. Karena alamnya yang sejuk dan nyaman serta subur, para penduduk kampung lain kemudian memutuskan untuk menetap dan tinggal hingga akhirnya membangun sebuah desa yang kini dikenal sebagai Desa Air Tenam.

Foto aerial Desa Air Tenam/Dian Setiawan

Kehangatan dan keramahtamahan penduduk Air Tenam terpancar jelas dari senyum semringah semua warga yang berkumpul di lapangan menyambut kami. Sejak datang kami sudah dianggap layaknya keluarga oleh mereka. Sore itu, kami disambut dengan tarian andun yang gerakannya menyampaikan pesan untuk membangun kebersamaan dan harmoni (namun, jika dilakukan pasangan laki-laki dan perempuan, tari ini untuk mencari jodoh atau pasangan hidup).

Ada suguhan camilan lokal yang menarik perhatian saya, yaitu pempek. Pempek yang disajikan spesial, terbuat dari ikan pelus, endemik di Sungai Ulu Manna. Rasanya agak berbeda dari pempek pada umumnya, lebih kenyal, ikannya lebih berasa, dan sangat enak. Rasa khas makanan lokal selalu membuat saya tertarik, bahkan sering saya rindukan setelah kembali ke kota. Sore yang sempurna itu kami tutup dengan meminum kopi lokal jenis robusta produksi warga Air Tenam menggunakan gelas bambu.

Sambutan masyarakat Desa Air Tenam/Dian Setiawan

Hari kedua kami mengunjungi hutan yang dikelola oleh masyarakat Air Tenam dan hutan lindung tempat pohon-pohon bisa diadopsi. Praktik adopsi pohon ini menarik. Caranya adalah dengan memberikan insentif kepada masyarakat yang akan menjaga dan merawat pohon dan hutan tersebut. Program adopsi pohon ini digagas agar pohon yang sudah tumbuh puluhan bahkan ratusan tahun di hutan tersebut bisa tetap berfungsi secara ekologis terhadap ekosistem di sekitarnya. Di Desa Air Tenam, program adopsi pohon oleh masyarakat ini didampingi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI.

Saya kemudian memutuskan mengadopsi satu pohon atas nama saya dan memberikan kompensasi berupa uang. Jumlahnya disesuaikan dengan biaya perawatan yang cukup untuk merawat pohon tersebut agar dapat berdiri tegak selama setahun—sampai kuat—di dalam hutan.

Sejuknya hutan yang masih terjaga dilengkapi senda gurau warga yang menemani kami membuat perjalanan selama tiga jam itu tidak terasa.

Kebetulan hari itu juga merupakan hari peluncuran program adopsi pohon di Desa Air Tenam. Pak Sarno, warga yang terlibat dalam program ini, menyambut program adopsi pohon dengan antusias karena merasa perjuangan mereka selama ini dalam menjaga hutan telah mendapatkan dukungan dari orang-orang yang tinggal di kota.

Sorenya kami bersama warga mengunjungi Air Terjun Air Tenam yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama empat puluh lima menit dari desa. Ketika sampai di air terjun, saya dan teman-teman tidak ragu melompat dan berenang ke kolam alaminya. Sejuknya air dan segarnya udara di hutan yang terjaga membuat kami merasa nyaman untuk menghabiskan sore bersama warga di sini. Sepulang dari air terjun, kami disuguhi buah durian yang masak di pohon. Rasa manis dan legitnya lebih enak dari durian yang biasa saya beli di kota.

Air Terjun Air Tenam/Dian Setiawan

Malamnya kami berkemah di hutan yang tidak jauh dari desa. Saya sempat berbincang dengan seorang nenek bernama Juriah dan seorang ibu bersama Susmi yang selalu menyiapkan makanan kami selama di Desa Air Tenam. Saya dianggap cucu dan anak angkat oleh mereka. Saya pun bercanda meminta mereka memasakkan makanan khusus untuk saya. Dan, benar saja, kedua perempuan baik hati itu membuat makanan spesial berupa sambal ikan sidat, endemik Sungai Ulu Manna yang hanya bisa hidup di sungai berair jernih dan tidak tercemar.

Foto bersama warga saat kemping di hutan/Dian Setiawan

Ketulusan mereka tidak hanya diucapkan melalui kata-kata, tapi sungguh-sungguh dicerminkan dalam tindakan. Saya selalu merasakan kehangatan ketika mengunjungi daerah-daerah di interior Indonesia, menjadi candu yang membuat saya merindukan tinggal di desa. Suasana kekeluargaan yang hangat di hutan bersama tim dan warga serta senda gurau kami malam itu masih terekam jelas dalam ingatan saya hingga saat ini.

Di hari ketiga kami menjelajahi Sungai Ulu Manna dengan arung jeram. Lagi-lagi saya terkesima melihat dinding batu alami di tepi sungai, pohon-pohon, dan tumbuhan dengan warna dan bentuk unik yang memukau mata. Saya betah untuk terus memandangnya. Kadang juga terlihat kera ekor panjang Macaca fascicularis yang duduk di tepi sungai mencari makanan dalam kelompok. Burung-burung pun tidak mau ketinggalan terbang mengitari kami. Meskipun kegiatan arung jeramnya sangat menantang, masyarakat Air Tenam sudah menyiapkan prosedur yang aman untuk pemula karena didampingi pemandu yang profesional.

Menjelajahi sungai dengan arung jeram/Dian Setiawan

Perjalanan empat hari tiga malam ke Desa Air Tenam membuat saya bersyukur, sebab bisa menyaksikan keelokan alam bebas—hutan yang masih terjaga dan udara segar—sebelum kembali ke kota serta mendapatkan keluarga baru yang hangat.

Bagi siapa pun yang membaca cerita ini, jangan lupa untuk menjadikan Air Tenam sebagai salah satu tujuan perjalanan kamu selanjutnya. Jangan takut untuk terus melangkah jauh menjelajahi Indonesia dan hutannya, untuk mengenali masyarakat. Dan jika kamu mengunjungi tempat mereka, jangan lupa untuk ikut menjaga alamnya. Alam dan hutan akan selalu menyertaimu ke mana pun kamu pergi dengan oksigen dan air bersih yang kamu nikmati setiap hari.

Hutan selalu menjadi tempat yang tepat untuk saya pulang, selain kampung halaman saya sendiri. Alam memang tidak pernah berdusta tentang ketulusannya dalam memberi; ini semakin mengasah kepekaan saya. Mendatanginya seolah candu yang tak ingin saya hilangkan. Candu ini membuat saya terus ingin berkontribusi menjaga alam dan hutan dengan berbagai cara.

The post Ketulusan Alam dan Manusia: Cerita dari Hutan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ketulusan-alam-dan-manusia-cerita-dari-hutan/feed/ 0 23062
Berkenalan dengan “Dol,” Alat Musik Tradisional dari Bengkulu https://telusuri.id/dol-alat-musik-tradisional-dari-bengkulu/ https://telusuri.id/dol-alat-musik-tradisional-dari-bengkulu/#respond Wed, 04 Sep 2019 07:48:50 +0000 https://telusuri.id/?p=16966 Ketika saya dan para travel blogger ibu kota tiba di halaman Fort Marlborough saat gelaran Festival Bumi Rafflesia 2017, sekelompok musisi sedang menabuh alat musik perkusi diiringi sorak-sorak khalayak yang menyemangati. Yang mereka mainkan adalah...

The post Berkenalan dengan “Dol,” Alat Musik Tradisional dari Bengkulu appeared first on TelusuRI.

]]>
Ketika saya dan para travel blogger ibu kota tiba di halaman Fort Marlborough saat gelaran Festival Bumi Rafflesia 2017, sekelompok musisi sedang menabuh alat musik perkusi diiringi sorak-sorak khalayak yang menyemangati.

Yang mereka mainkan adalah instrumen tradisional Bengkulu bernama dol.

Secara fisik, yang membuat dol unik adalah materialnya. Instrumen sakral ini terbuat dari kayu kelapa yang kuat tapi tidak terlalu berat. Bagian yang dipukul adalah kulit kambing atau kulit kayu. Diameter dol antara 70-125 cm, tingginya mencapai 80 cm. Untuk memukul instrumen perkusi seperti ini, perlu pemukul berdiameter 5 cm sepanjang 30 cm.

Proses pembuatannya tergantung ketersediaan bahan. Tapi, biasanya lumayan lama, mencapai tiga minggu.

Ada tiga teknik yang biasa digunakan saat memainkan dol—suwena, tamatam, dan suwari. Teknik suwena bertempo lambat sebab dimainkan dalam suasana duka. Tamatam cepat dan konstan, dimainkan dalam suasana riang gembira. Teknik suwari biasanya dimainkan saat mengiringi parade.

Perkembangan zaman membuat instrumen dol mengalami evolusi. Dalam makalah “Expansion of Value and Form ‘Dol’ Musicality as Ritual ‘Tabot’ in Bengkulu” (2018), Parmadi dan Sugiartha mengungkap bahwa sekarang sudah ada dol yang terbuat dari material fiber. Dibanding kayu kelapa, fiber jauh lebih ringan. Hanya saja, karakter suaranya juga jadi sangat berbeda. Dol dari fiber akan mengeluarkan suara lebih nyaring, sementara dol dari kayu kelapa lebih ngebass.

Mulanya, alat musik pukul ini hanya dimainkan pada perayaan-perayaan bernuansa spiritual semisal tabot yang digelar selama 10 hari di bulan Muharam untuk memperingati gugurnya Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib di Karbala, 10 Muharam 61 Hijriah (681 Masehi). Namun, sejak tahun 1990-an, saat kampanye wisata budaya Bengkulu makin gencar, dol mulai dimainkan untuk keperluan-keperluan lain, misalnya pariwisata.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berkenalan dengan “Dol,” Alat Musik Tradisional dari Bengkulu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dol-alat-musik-tradisional-dari-bengkulu/feed/ 0 16966