bentara budaya yogyakarta Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bentara-budaya-yogyakarta/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 03 Dec 2024 13:09:27 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 bentara budaya yogyakarta Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bentara-budaya-yogyakarta/ 32 32 135956295 Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo https://telusuri.id/belajar-mencapai-cita-cita-melalui-pameran-tunggal-nugrahanto-widodo/ https://telusuri.id/belajar-mencapai-cita-cita-melalui-pameran-tunggal-nugrahanto-widodo/#comments Sat, 30 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44244 “Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya.” — Paulo Coelho, Sang Alkemis (2005) “Suatu saat saya ingin: kapan, ya, saya bisa pameran tunggal di sini?” kenang Nugrahanto Widodo dengan...

The post Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo appeared first on TelusuRI.

]]>

“Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya.” — Paulo Coelho, Sang Alkemis (2005)

“Suatu saat saya ingin: kapan, ya, saya bisa pameran tunggal di sini?” kenang Nugrahanto Widodo dengan raut wajah mengingat masa lalu. Saya mewawancarainya di pintu masuk gedung Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) pada Selasa (15/10/2024).

Itulah idealisme atau cita-cita Nugrahanto Widodo sejak masa kuliah dulu yang terealisasi tahun ini. Nugrahanto Widodo, atau akrab disapa Totok Kontil, akhirnya bisa tampil di BBY dengan pameran tunggalnya yang bertajuk “Kembali”.

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Suasana galeri di hari terakhir pemeran tunggal Mas Totok/Danang Nugroho

Mas Totok cerita, ia dulu kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Kalau menonton pameran dulu biasanya di Purna Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM). Zaman dulu bus kota hanya sampai pukul lima sore. Jadi, kalau pulang habis nonton pameran itu biasanya malam hari dan jalan kaki. Ia selalu melewati BBY karena sudah tidak ada angkutan. Berawal dari sinilah keinginan untuk pameran tunggal di BBY bermuara.

Pameran ini dibuka hari Selasa, 8 Oktober 2024. Dibuka oleh Nasirun, dikuratori Kuss Indarto, dan diberi pengantar esai oleh Alexander Supartono. Pameran berlangsung pada 9–15 Oktober 2024.

Sebelum perbincangan hangat saya dengan Mas Totok itu terjadi, saya sempat masuk pameran terlebih dahulu. Saya menilik karya demi karya seni lukis Mas Totok yang berjumlah 42. Ketika saya selesai menyelami pameran dan hendak keluar, saya berjumpa Mas Totok. Ia sedang duduk dan melukis di depan pintu masuk gedung BBY. Di situlah ia menceritakan perjalanan dan tema “Kembali” kepada saya.

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Saya foto bersama Nugrahanto Widodo (kiri) di depan karya berjudul Dodol Balon di dalam gedung pameran BBY/Danang Nugroho

Perjalanan Totok Kontil dan Tema “Kembali”

Mas Totok lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Kini tinggal di sebuah gang buntu di Jalan Kayu Manis, Kelurahan Pondok Cabe Udik, Pamulang, Tangerang Selatan. 

Dulunya, setelah lulus SMA, Mas Totok sempat kuliah Ilmu Arsitektur selama tiga tahun di ITN Malang. Setahun berikutnya ia berhenti, tidak mau kuliah. Akhirnya, karena desakan orang tua, Mas Totok melanjutkan studinya di jurusan Seni Lukis ISI Yogyakarta. Ia masuk pada 1992 dan lulus satu dekade kemudian. Saat mengerjakan skripsi, ia pernah menggelar pameran tunggal di Warung Senja, daerah Taman Sari.

“Kalau di ISI itu ada dua tugas akhir, yaitu skripsi karya atau skripsi penelitian. Saya memilih tugas akhir skripsi karya minimal 20 lukisan. Akhirnya saya pemeran tunggal [skripsi karya] pertama di Warung Senja dekat alun-alun kidul. Waktu itu saya cukup bangga, walaupun belum masuk galeri, saya bisa menampilkan di warung-warung supaya karya saya bisa dinikmati orang-orang,” ucap Mas Totok tersenyum.

Pada 1998–2005, ia juga sempat mengikuti Komunitas Taring Padi. Setelah itu, Mas Totok pergi ke Jakarta sebagai guru paruh waktu dan mengajar di beberapa sekolah, mulai dari Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, hingga Pondok Cabe di Tangerang Selatan.

Bagi Mas Totok, Jakarta waktu itu tidak mudah. Maksudnya, perjalanan mengajar di sana sangat menyita waktu. Dulunya angkutan umum sulit dicari. Perjalanan ke sekolah pun antara 1–2 jam baru sampai. Kelelahan psikis juga terjadi, lantaran banyak siswa di sana yang jika ditegur lapor orang tua. Faktor ini menghambat Mas Totok berkarya di depan kanvas ataupun medium lain.

“Karena hal itu, saya tidak punya waktu untuk menggambar,” ungkapnya.

Setelah menjadi guru tetap di salah satu sekolah di Jakarta, Mas Totok masih merasa mandul dalam berkreasi. Dalam setahun, ia hanya menghasilkan satu atau dua karya saja. Bahkan pernah tidak sama sekali.

Ia lalu mencoba coretan-coretan di kertas ukuran A3 untuk melatih kembali kreativitasnya. Hasilnya kemudian dipamerkan di Survival Garage (pameran tunggal kedua). Karena merasa kurang maksimal, menjelang tidak lagi bekerja sebagai guru, selama dua tahun terakhir semangatnya dalam berkreasi kembali menggebu. Mas Totok berusaha mengasah kembali kreativitasnya melukis menggunakan media kertas.

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Seorang pengunjung mengamati karya-karya Mas Totok. Hasil kreativitas yang kembali tumbuh setelah lama vakum/Danang Nugroho

“Saya pensiun [tahun ajaran] 2023/2024, ya, di situ saya aktif menggambar dengan media kertas. Supaya apa? Supaya bisa saya bawa ke mana-mana. Dengan pulpen dan kertas, di mana pun bisa saya coret-coret,” jelasnya.

Semangat yang menggebu itu akhirnya bermuara pada pameran ini. “Kembali” sebagai sebuah proses kreatif dan ia bawa ke Yogyakarta, agar bisa diapresiasi kembali oleh masyarakat atau seniman di daerah istimewa tersebut. 

“Saya mengambil tema ‘Kembali’ karena saya memang ingin menampilkan kembali karya-karya saya, setelah vakum dari 2005 sampai 2024 tidak pernah menampilkan karya saya di publik Yogyakarta. Pameran kedua saya di Survival Garage itu kurang maksimal, karena saya merasa tempatnya pada waktu itu masih kecil dan belum dikenal banyak orang, jadi masih minim apresiasi. Akhirnya saya memilih di BBY ini,” tutur Mas Totok.

Pameran tunggal “Kembali” menjadi pameran ketiga Mas Totok. Perjalanan dan tema “Kembali” Mas Totok juga bisa ditilik melalui kanal Youtube Bentara Budaya berjudul “KEMBALI Sebuah Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo” dan katalog elektronik di situs web bentarabudaya.com.

Berkarya dengan Jujur

Usai membicarakan perjalanan dan tema “Kembali”, saya mencoba mengulik karya-karya Mas Totok yang dipamerkan. Karya-karya yang saya lihat banyak menggambarkan masyarakat kelas bawah. Namun, ada juga karya yang timbul dari pengalaman pribadi Mas Totok.

Karya Jangan Mudah Berjanji, misalnya. Lukisan ini memperlihatkan Jokowi yang tengah membawa keranda yang bertulis SIPON, disertai tameng, dedaunan rimba, dan kawat berduri di depan gambar sosok Presiden ke-7 Indonesia itu. 

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Karya Jangan Mudah Berjanji yang mengkritik Jokowi/Danang Nugroho

Mengutip dari artikel “Kilas Balik Janji Presiden Jokowi Cari Wiji Thukul” yang dimuat di TEMPO (7/6/2023), saat menjadi calon presiden semasa Pilpres 2014, Jokowi pernah berjanji akan mencari Wiji Thukul yang belum ditemukan sejak peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Sipon atau Siti Dyah Sujirah, istri sang penyair, awalnya merasa salut dengan keberanian Jokowi mengucapkan janji tersebut. Namun, setelah berbagai upaya yang Sipon lakukan, hasilnya selalu nihil. Sipon pun mulai meragukan janji Jokowi.

“Tapi Pak Jokowi, maaf kalau dengar atau baca ini, pesan saya jangan mudah berjanji,” kata Sipon kepada Tempo (15/5/2018). 

Hal itulah yang diamini Mas Totok dalam karya Jangan Mudah Berjanji. Dengan wajah prihatin, Mas Totok berkata, “Saya berkarya tidak bisa bohong. Waktu itu saya baru aja baca koran tentang Pak Jokowi saat periode pertama pernah berjanji pada istrinya Wiji Thukul, Sipon, bahwa pernah akan mencarikan jasad suaminya. Tapi sampai Sipon meninggal [5 Januari 2023] tidak terlaksana. Saya cuma mengingatkan saja, orang itu gampang mengucapkan, namun sukar untuk melaksanakan.”

Selain itu, ada lukisan lain yang berjudul Transaksi di Bawah Meja. Karya ini memperlihatkan dua orang yang tengah memberikan kertas bertulis “PAJAK” di atas meja dan transaksi uang di bawah meja.

“Karya itu menceritakan keadaan di sebagian besar perusahaan besar. Kebetulan itu juga [terjadi] di perusahaan [tempat kerja] saya tentang pembayaran pajak. Jadi, kadang pajak yang dipotong tidak sesuai dengan yang diomongkan—maksudnya bisa dimanipulasi. Manipulasi itu antara pemilik perusahaan dan pegawai pajak,” ungkap Mas Totok.

Kedua ide karya tersebut merupakan hasil dari pengalaman pribadi Mas Totok. Pertama, setelah membaca koran, lalu yang kedua dari perusahaan tempat kerjanya. Memang benar, Mas Totok tak bisa berbohong pada karyanya. Ia tak banyak merenung dulu untuk berkarya, tetapi langsung mengeksekusi jika perlu dan penting untuk dituangkan sesuai fakta.

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Lukisan Transaksi di Bawah Meja yang dihasilkan dari pengalaman kerja Mas Totok/Danang Nugroho

Gambaran Masyarakat Kelas Bawah melalui Karya Seni Lukis

“Saya biasanya seneng jalan, Mas. Ada sesuatu yang menarik akan saya gambar,” ujar Mas Totok.

Cerita dari Mas Totok belum usai. Perbincangan hangat terus kami lakukan. Saya mengulik karya-karya lain yang Mas Totok pamerkan, terutama yang menggambarkan masyarakat kelas bawah dengan suasana kegembiraan. Hal itu juga yang diungkapkan Ilham Khoiri pada esainya di e-katalog “Kembali”.

Ilham mengungkapkan bahwa gambaran Mas Totok serupa catatan harian yang memotret pernak-pernik kehidupan warga di sekitarnya. Karya Mas Totok cenderung menangkap keramaian aktivitas masyarakat bawah, ada orang-orang nongkrong, jual beli di pasar, keluarga lagi berpiknik di tempat wisata, atau warga bepergian dengan naik kendaraan yang melaju di jalanan.

Seperti karya berjudul Pasar Loak Beringharjo. Mas Totok cerita, itu adalah gambaran keramaian pasar. Tentu pasar barang bekas itu menjadi incaran utama bagi masyarakat kelas bawah.

Kemudian, karya berjudul Uyek-uyekan. Diceritakan bahwa di daerah Babadan, lereng Gunung Merapi, pada waktu 2004 belum ada angkot. Sehingga ketika mereka bepergian harus bareng-bareng dan “uyek-uyekan” menggunakan mobil pikap. Hal ini memang terbukti, karena saya juga tinggal di lereng Merapi, tepatnya Kecamatan Cepogo, Boyolali. Semasa saya kecil, jika ada salah satu tetangga yang sakit dan dirawat di rumah sakit, kami membesuk bersama dengan mobil pikap. Di beberapa daerah pun masih ada yang seperti itu sampai sekarang.

Tak terasa, perbincangan saya dengan Mas Totok dipungkasi malam yang semakin larut. Pukul 21.00 pameran harus ditutup. Sebelum saya pamit, kami menyempatkan foto bersama.

Sebagai pemungkas, kita perlu “kembali” pada kutipan dari buku Sang Alkemis karya Paulo Coelho dan kutipan wawancara dengan Mas Totok yang saya cantumkan di awal naskah. Seharusnya, ada pembelajaran yang bisa kita ambil. Apakah idealisme atau cita-cita kita akan kalah oleh keadaan? Atau, justru kita akan bisa mencapainya seperti cita-cita Mas Totok pada pameran “Kembali” ini?

Panjang umur perjuangan! Salam.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/belajar-mencapai-cita-cita-melalui-pameran-tunggal-nugrahanto-widodo/feed/ 1 44244
Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta https://telusuri.id/perayaan-dan-perenungan-42-tahun-bentara-budaya-yogyakarta/ https://telusuri.id/perayaan-dan-perenungan-42-tahun-bentara-budaya-yogyakarta/#respond Mon, 04 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42976 Berdiri sejak 26 September 1982, Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) tahun ini kembali merayakan ulang tahunnya yang ke-42. BBY menggelar pameran seni rupa dengan tema “Tarik Tambang”, menampilkan karya seni rupa yang sesuai dengan realitas sosial...

The post Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Berdiri sejak 26 September 1982, Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) tahun ini kembali merayakan ulang tahunnya yang ke-42. BBY menggelar pameran seni rupa dengan tema “Tarik Tambang”, menampilkan karya seni rupa yang sesuai dengan realitas sosial di Indonesia. Konsistensi BBY dalam merayakan ulang tahunnya ini tentunya juga untuk melestarikan dan memperkenalkan seni tradisi dan seni modern kepada masyarakat, agar eksistensinya tidak terkikis zaman. 

Pameran ini dibuka pada Kamis (26/9/2024), yang dimeriahkan oleh Elisha Orcarus Allaso dan Campursari Grapyak Semanak Yogyakarta. Pameran berlangsung sampai 4 Oktober 2024, dibuka pada pukul 10.00–21.00 WIB.

Pada Jumat sore (4/10/2024), saya bersama teman saya, Afrinola, mengunjungi gedung BBY yang beralamat di Jalan Suroto 2, Kotabaru. Cukup mudah menemukan lokasi BBY, karena di atas gerbang pintu masuk terdapat plang bertuliskan “KOMPAS”. Grup Kompas Gramedia memang ikut mendirikan dan menyokong dana pembangunan BBY.

Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta
Tampak depan gedung Bentara Budaya Yogyakarta/Danang Nugroho

Mengenang Sejarah dan Tradisi Masyarakat Indonesia

Saya datang sekitar pukul 17.15, menjelang azan Magrib tiba. Saya tidak sempat bertemu kurator di sana untuk saya wawancarai. Saya hanya menemui penjaga registrasi pameran. Saya lalu memperkenalkan diri dan mencoba bertanya-tanya.

“Maaf, Kak. Karena sudah malam [di luar jam kerja], para kurator sudah tidak ada di sini. Saya tidak ada wewenang memberikan informasi karena takutnya salah dengan informasi sebenarnya. Nanti Anda bisa gali ulasan karya via Instagram Bentara Budaya Yogyakarta dan ‘e-katalog’-nya saja,” tuturnya.

Dilansir dari reels Instagram @bentarabudayayk, Romo Sindhunata, salah satu kurator BBY, mengemukakan bahwa Bentara Budaya, sebagai lembaga yang selalu mengenang sejarah dan tradisi, selalu berusaha untuk menemukan tema-tema yang dekat dengan kehidupan rakyat sehari-hari.

“Tarik tambang itu pasti ada di setiap pikiran orang [Indonesia], karena ini berkenaan dengan proklamasi [kemerdekaan Indonesia] setiap kali peringatan ulang tahun. Sebagai realitas, ini [atraksi tarik tambang] ada, dan mengena,” tutur Romo Sindhunata.

Jika mengulang kembali perayaan 17 Agustus-an, peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), tentu frasa “tarik tambang” tidak akan jauh dan relevan dengan masyarakat Indonesia. Biasanya pada beberapa tempat, entah itu padukuhan, desa, sekolah, tempat kerja, ataupun tempat-tempat lainnya, mengadakan lomba-lomba untuk semarak kemerdekaan. Salah satunya lomba atraksi tarik tambang.

Maklum, sebagai hiburan masyarakat, atraksi tarik tambang biasanya tak mengunggulkan kemenangan di atas kekalahan. Peserta yang kalah dan yang menang akan tertawa bersama. Begitu pula dengan para penonton yang menyaksikan. Hal itu dikarenakan mereka sedang merayakan kegembiraan bersama menyambut kemerdekaan. 

Akan tetapi, alih-alih menyoroti tradisi ultah kemerdekaan itu. Tarik tambang juga berkaitan dengan kondisi sosial-politik yang belum lama ini menjadi perbincangan bagi masyarakat Indonesia, yaitu terkait konsesi tambang bagi ormas keagamaan.

  • Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta
  • Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta

Karya-karya yang Selaras dengan Polemik di Indonesia

Sebelumnya, menyambut kedatangan pemerintah baru, BBY mengundang para perupa, baik pelukis maupun pematung, untuk berpartisipasi dalam pameran ini. Sebanyak 33 perupa ikut terlibat. Hasilnya, para perupa tidak menyoroti “Tarik Tambang” sebagai atraksi saja, tetapi menjadi alegori bagi tarik-menarik kekuasaan, yang sesuai dengan polemik sosial-politik di Indonesia.

Jika direnungkan, setelah Pemilu 2024, seakan penguasa politik Indonesia sudah tidak peduli lagi dengan fungsi dan keluhuran kuasanya. “Tarik Tambang” bukan seperti atraksi pada 17 Agustus-an lagi, bukan lagi kegembiraan yang mewarnai, melainkan hasrat akan kekuasaanlah yang mendominasi. Mereka tarik-menarik di antara satu dengan yang lainnya, tanpa memerhatikan keprihatinan terhadap masalah-masalah yang dialami rakyat.

“Maklum, karena begitu mendengar kata tambang, walaupun asosiasi kami sebenarnya lebih terkait [atraksi] tarik tambang. Orang teringat akan policy pemerintah yang sempat menjadi polemik, justru di akhir pemerintahannya memberi konsesi kepada ormas keagamaan untuk bersedia mengelola tambang,” ucap Romo Sindhunata.

Tema “Tarik Tambang” ternyata menjadi pemantik teman-teman seniman untuk mencurahkan keresahan mereka pada karyanya. Mereka juga mengkritisi polemik konsesi tambang yang diberikan pemerintah kepada ormas keagamaan tersebut. Bagaimana tidak resah? Sebelumnya ormas-ormas kelihatan malu-malu untuk menerima tawaran itu. Akan tetapi, kemudian sebagian menerimanya. Hanya sebagian kecil yang menolaknya.

Karya Hermanu, misalnya, berjudul “UNTUNG DUNIA MASIH BERPUTAR (TERJERAT TAMBANG)”, yang memperlihatkan dua simbol ormas keagamaan terbesar; bintang, bumi, berwarna biru dan hijau, yang ditarik oleh tambang (tali yang besar). Ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah ormas keagamaan itu perlu ke sana? Karena jika direnungi, tambang dan agama itu dua bidang yang berbeda.

Kemudian, karya Alit Ambara “TUG OF WAR”, yang memperlihatkan sebuah bumi terikat tali tambang dan terperas hingga bentuknya menyerupai angka delapan. Jika dibayangkan, tentu itu merupakan simbolik pemerasan yang sangat destruktif, apa saja yang diperas dari bumi hingga bentuknya tidak bulat lagi.

Di karya foto, Ferganata Indra membawa judul “(SI)JI (LO)RO (TE)LU”. Gambar itu memperlihatkan keserakahan pengerukan tambang pasir, sampai-sampai truk itu perlu ditarik dengan tali yang besar secara beramai-ramai. Hal itu memperlihatkan bagaimana sebagian orang masih saja membantu keserakahan oknum yang menambang pasir.

Selain tiga karya itu, masih ada 30 karya lain yang juga menampilkan sebuah seni rupa. Karya-karya ini juga berkaitan dengan atraksi tarik tambang dan kritik pada polemik konsesi tambang bagi ormas keagamaan di Indonesia. Karya-karya itu dapat dilihat melalui katalog elektronik di situs web bentarabudaya.com.

  • Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta
  • Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta

Menyisihkan Perhatian pada Masyarakat Pinggiran

Setelah saya mengamati semua pameran ini, saya cukup puas dan mengapresiasi BBY yang masih peduli terhadap polemik di Indonesia. Pameran ini memperlihatkan bagaimana perayaan ulang tahun itu bukan hanya untuk kegembiraan saja. Akan tetapi, pemeran ini mengajak masyarakat untuk lebih peka lagi terhadap kondisi sosial-politik di Indonesia yang memprihatinkan.

Kepekaan yang saya maksud adalah melihat orang-orang pinggiran yang selalu saja dibiarkan menderita. Karya Ledek Sukadi, yang berjudul “HAI SANG PENGUASA”, menggambarkan seorang pejabat atau penguasa sedang mengendalikan rakyat kecil dengan gerobak yang bertulis “GERBONG DERITA”. Penguasa yang serakah menjadi jalan derita bagi mereka masyarakat pinggiran.

Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta
Karya Ledek Sukadi yang memperlihatkan keserakahan pejabat dan membuat rakyat menderita/Danang Nugroho

Pameran ini adalah dinamika bangsa yang digambarkan melalui karya-karya seni rupa. Masih ada kepedulian dan perhatian BBY beserta para seniman yang terlibat terhadap masyarakat pinggiran. 

Seperti ungkapan Romo Sindhunata dalam Instagram BBY, “Saya menjadi teringat seorang di Kalimantan mengatakan: ‘kalau semua hutan di Kalimantan digunduli dan orang beramai-ramai ke sana mengeruk tambang, tidak mustahil Kalimantan yang rimba raya ini menjadi padang gurun yang luas di masa depan’.”

Selain pernyataan itu, saya juga teringat pada postingan channel Youtube Watchdoc Image yang menayangkan film dokumenter SEXY KILLERS. Film ini mempersoalkan permasalahan tambang dan masyarakat pinggiran yang terkena dampaknya. 

Lewat perayaan ke-42 BBY, tentu kita sebagai masyarakat Indonesia diajak untuk merenung dan mempertanyakan lagi, apakah kegembiraan masyarakat masih menjadi prioritas? Atau justru kepentingan segelintir orang saja yang lebih diutamakan?

Belajar dari tulisan guru saya, Pak Eko Triono, dalam buletin Mimesis 2024 yang dicetak Divisi Susastra Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta (KMSI UNY), cerita yang baik tidak memberi kesimpulan. Cerita yang baik memberikan kesan, juga beban pada pikiran pembaca, dan saya juga mencoba melakukannya di akhir tulisan ini. Jadi, silakan dijawab dan disimpulkan sendiri. Tabik.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perayaan-dan-perenungan-42-tahun-bentara-budaya-yogyakarta/feed/ 0 42976