birdwatching Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/birdwatching/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 12 Jun 2025 11:36:08 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 birdwatching Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/birdwatching/ 32 32 135956295 Papua: Taman Bermain Burung-Burung https://telusuri.id/papua-taman-bermain-burung-burung/ https://telusuri.id/papua-taman-bermain-burung-burung/#respond Wed, 15 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45341 Ternyata, melihat burung-burung liar secara langsung di habitatnya memberi pengalaman dan pelajaran yang jauh berbeda. Meski mengalami keterbatasan, rasanya sudah seperti candu. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri Kami...

The post Papua: Taman Bermain Burung-Burung appeared first on TelusuRI.

]]>
Ternyata, melihat burung-burung liar secara langsung di habitatnya memberi pengalaman dan pelajaran yang jauh berbeda. Meski mengalami keterbatasan, rasanya sudah seperti candu.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Papua: Taman Bermain Burung-Burung
Hutan kecil di tengah Pulau Um, Malaumkarta, Sorong. Ruang hidup bagi kelelawar, camar, dan beberapa burung yang bermigrasi dari Australia/Deta Widyananda

Kami berangkat ke Papua berbekal fakta: tutupan hutan di pulau ini paling luas di Nusantara. Lebih dari 30 juta hektare, mencakup 30 persen dari total luas hutan Indonesia. Hutan dan seisinya menjadi tempat menggantungkan hidup bagi masyarakat adat. Sejumlah aturan adat diberlakukan untuk menjaga sumber kehidupan pemberian Tuhan tersebut.

Bicara Papua tak bisa lepas dari cenderawasih, burung endemis Papua yang sering disebut burung surga. Laiknya manusia, cenderawasih juga menggantungkan hidupnya pada ekosistem hutan yang asri. Kemolekan burung ini mengundang banyak turis lintas negara berkunjung dan rela blusukan ke pelosok rimba tropis untuk melihatnya bernyanyi dan menari. Tak mengherankan ketika pada 1970-an kakak-beradik Lawrence dan Lorne Blair dari Inggris melakukan ekspedisi gila keliling Nusantara dalam program Ring of Fire, yang salah satunya demi mencari dan merekam cenderawasih bersama suku lokal.

Papua: Taman Bermain Burung-Burung
Sefnat Magablo, salah satu tokoh adat Moi Kelim di Kampung Malagufuk, menunjukkan pohon merbau berusia tua yang biasa dijadikan tempat singgah dan bernaung banyak burung. Peran masyarakat adat sangat penting dalam memastikan kelestarian hutan di Papua/Deta Widyananda

Tempat-tempat yang kami datangi, dari Sorong sampai Jayapura, ternyata bukan hanya jadi rumah aman bagi cenderawasih, melainkan juga burung-burung lain yang tidak kalah menarik. Sisi lain yang paling penting dalam perjalanan Arah Singgah, di antaranya mengajarkan kami tentang penghormatan manusia—masyarakat adat—pada alam dan makhluk hidup yang berdampingan secara harmonis dalam mengisi hari-harinya.

Dan inilah hasil pengamatan kami—di tengah keterbatasan alat, tenaga, dan waktu—selama keluar masuk hutan Papua. Kami merasakan nuansa alam yang menjadi ruang hidup sekaligus taman bermain burung-burung cantik itu.

The post Papua: Taman Bermain Burung-Burung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/papua-taman-bermain-burung-burung/feed/ 0 45341
Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura https://telusuri.id/melihat-cenderawasih-potensi-ekowisata-baru-kampung-berap-jayapura/ https://telusuri.id/melihat-cenderawasih-potensi-ekowisata-baru-kampung-berap-jayapura/#respond Tue, 14 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45325 Di pedalaman hutan sebelah utara Kampung Berap, cenderawasih kuning-kecil silih berganti menghinggapi pucuk-pucuk ranting pohon laban tua. Meski baru merintis, masyarakat perbukitan utara Lembah Grime itu tengah melirik peluang ekowisata baru selain Kali Biru. Teks:...

The post Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura appeared first on TelusuRI.

]]>
Di pedalaman hutan sebelah utara Kampung Berap, cenderawasih kuning-kecil silih berganti menghinggapi pucuk-pucuk ranting pohon laban tua. Meski baru merintis, masyarakat perbukitan utara Lembah Grime itu tengah melirik peluang ekowisata baru selain Kali Biru.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Tidak hanya vanili, pengembangan ekowisata juga menjadi prioritas BUMMA Yombe Namblong Nggua. Lokasi utamanya di Kampung Berap, Distrik Nimbokrang, yang sudah lama dikenal dengan destinasi wisata Kali Biru. Sungai berair jernih ini mengalir dari hulu melewati wilayah lima marga di Kampung Berap, yaitu Tarkuo, Kasse, Buwe, Yosua, dan Manggo. 

Kali Biru terbilang cukup populer, khususnya bagi wisatawan domestik dari Kota Jayapura dan sekitarnya. Kebanyakan pengunjung datang saat akhir pekan untuk susur sungai dengan ban (tubing), atau sekadar mandi dan berenang di sungai yang panjangnya mencapai 10–12 kilometer tersebut. 

Di samping itu, ternyata Kampung Berap punya permata lain, yaitu burung cenderawasih. Wisata minat khusus ini benar-benar belum dipoles sama sekali. 

Aliran Kali Biru di permukiman marga Manggo, wilayah paling hilir di Kampung Berap. Tampak di sisi kanan jalan cor penghubung Distrik Nimbokrang menuju Distrik Demta, pesisir utara Kabupaten Jayapura/Deta Widyananda

Menembus hutan dan menyusuri sungai demi cenderawasih

Sebenarnya hutan Nimbokrang telah lama masuk radar para pegiat pengamatan cenderawasih dan burung-burung endemis lainnya di Papua. Seperti halnya di Raja Ampat, Sorong, dan Pegunungan Arfak. Di Nimbokrang, kegiatan birding dirintis oleh Alex Waisimon, pendiri dan pengelola Isyo Hills, Kampung Rhepang Muaif. Ia telah memandu banyak tamu dan memetakan spesies-spesies cenderawasih yang terlihat di hutan yang terletak di belakang penginapan Isyo Lode miliknya. 

Seperti di Hutan Klasow Malagufuk, Sorong, setidaknya ada lima spesies cenderawasih yang sudah terpantau: cenderawasih kuning-kecil (Paradisaea minor), cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), cenderawasih raja (Cicinnurus regius), cenderawasih mati kawat (Seleucidis melanoleucus), dan toowa cemerlang (Ptiloris magnificus). Dalam katalog eBird, platform basis data temuan spesies burung endemis buatan Cornell Lab of Ornithology, ada beberapa spesies cenderawasih lainnya, di antaranya cenderawasih belah rotan (Diphyllodes magnificus), cenderawasih panji (Pteridophora alberti), dan burung paruh sabit atau kuakalame paruh-putih (Drepanornis bruijnii). Semuanya dilindungi undang-undang negara.

Sementara di Kampung Berap, sudah lama orang-orang kampung tahu kalau banyak cenderawasih yang hilir mudik di hutan-hutan lebat belakang rumah mereka. “Setiap pagi dan sore, terdengar itu suara-suara burung cenderawasih di hutan,” Humas BUMMA, Zet Manggo (51) bercerita.

Wacana pengembangan ekowisata khusus pengamatan burung di Berap memang tengah mengemuka belum lama ini. Dalam satu tahun belakangan, tercatat baru ada dua kali survei kecil-kecilan sebagai tindak lanjut pendirian BUMMA, yang juga diikuti oleh Mitra BUMMA dan Samdhana Institute—lembaga nonprofit yang mendampingi BUMMA. Pemetaan potensi ekonomi tersebut bertujuan memberi destinasi birdwatching alternatif selain Isyo Hills yang sudah masyhur. 

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Mesak Manggo, pemandu kami/Rifqy Faiza Rahman

Namun, baru ada satu orang yang tahu persis lokasi pertama pemantauan burung itu, yaitu Mesak Manggo. Pria berusia 54 tahun tersebut juga merupakan pemandu lokal yang ikut mengawal kegiatan survei BUMMA beberapa waktu lalu. Dialah perintis jalur trekking yang menembus lebatnya belantara Ktu Ku, yang terletak sekitar 10 kilometer dari pusat pemerintahan Kampung Berap ke arah Distrik Demta. Ruas jalan ini juga menjadi lintasan utama truk-truk pengangkut kelapa sawit dari Demta ke Jayapura.

Namun, jarak sejauh itu tidak sepenuhnya ditempuh dengan jalan kaki. Rinciannya, delapan kilometer ditempuh dengan kendaraan bak terbuka milik Ishak Yosua ke pintu hutan, sisanya benar-benar bergantung pada kekuatan langkah kaki.

Tidak ada patokan yang jelas sebagai penanda gerbang masuk hutan. Hanya Mesak yang tahu. Zet cukup sering masuk belantara ini untuk mencari bahan makanan hutan, tetapi ia belum pernah sampai ke titik pengamatan burung yang ditemukan Mesak. Yang jelas, rumus perjalanan untuk melihat cenderawasih selalu sama, yaitu harus bergerak sedari pagi—bahkan sebelum hari benar-benar terang. 

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Mesak Manggo (paling depan) dan Zet Manggo memandu tim Ekspedisi Arah Singgah Papua 2024 menyusuri aliran kali kecil menuju lokasi baru pengamatan cenderawasih/Mauren Fitri

Treknya bisa dibilang tidak terlalu mudah. Tutupan vegetasinya cukup rapat dan lembap khas hutan tropis. Jalan setapak yang tertutup belukar penuh lumpur sehabis hujan deras semalam. Kami harus memakai sepatu bot agar lebih mudah melangkah. Sesekali dengan parang Mesak menebas ranting dan daun yang rebah menutup jalur. Kondisinya jelas sudah lama belum dilewati manusia. Kami, tim TelusuRI bersama seorang jurnalis Tempo, adalah rombongan ketiga yang masuk hutan ini untuk melihat cenderawasih, setelah survei terakhir BUMMA di awal tahun ini.

Medan yang kami lalui bervariasi. Mulai dari melawan arus kali kecil yang penuh batuan berlumut, hingga meniti tanjakan curam dengan tanah gembur dan licin. Perjalanan turun lebih sulit karena bergantung pada akar atau dahan pohon untuk menjaga keseimbangan tubuh. Tidak ada petunjuk jalur yang jelas, entah itu berupa papan informasi atau string line, karena memang masih benar-benar murni.

Setelah berjalan hampir dua jam atau kurang lebih dua kilometer dari pinggiran jalan Berap–Demta, kami tiba di lokasi pengamatan. Ada satu tempat datar agak terbuka luasnya kira-kira seukuran lapangan futsal, yang dikelilingi pohon-pohon menjulang. Termasuk di antaranya adalah pohon laban setinggi belasan atau mungkin puluhan meter dengan diameter batang yang tidak cukup dipeluk satu orang. Kepala kami mendongak nyaris 90 derajat karena saking tingginya. Di pucuk pohon tahan api dan biasa dimanfaatkan sebagai bahan baku furnitur itulah cenderawasih kuning-kecil terlihat silih berganti datang dan pergi. Mereka menari-nari dan melompat dari satu dahan ke dahan lainnya.

  • Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
  • Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura

Mesak menginstruksikan bersembunyi di antara semak-semak agar kami tidak terlihat burung-burung. Sebab, indra cenderawasih sangat sensitif pada aroma dan gerak-gerik manusia. Deta, fotografer dan videografer tim ekspedisi, tiada henti merekam burung dengan ciri khas warna dasar bulu kuning dan putih itu dengan lensa tele 50–400mm. Burung jantan memiliki warna hijau zamrud pada bulu lehernya, dengan ekor berwarna kuning lebih pekat dan panjang daripada betina. Adapun burung bertina yang berukuran lebih kecil memiliki dada berwarna putih tanpa bulu-bulu hiasan. 

Pemandangan menakjubkan itu sesekali diiringi kicau burung lainnya. Berdasarkan pengalaman di Malagufuk, di Ktu Ku kami mendengar setidaknya ada dua jenis suara yang familiar dan sama-sama lantang, yaitu taun-taun atau julang papua (Rhyticeros plicatus), dan toowa cemerlang. Si julang sempat kami lihat terbang cukup tinggi di atas pohon laban, tapi tidak sempat terpotret. Sementara burung toowa tidak menampakkan diri.

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Cenderawasih kuning-kecil jantan/Deta Widyananda

Birdwatching sebagai mitigasi perburuan liar

“Lokasi ini sebenarnya juga jadi tempatnya para pemburu [cenderawasih] ilegal,” sebut Mesak. Ia menunjukkan titik jejak kaki manusia dan bekas pemasangan jebakan. “Biasanya mereka pasang jaring yang tinggi buat menangkap cenderawasih.”

Tidak hanya burung, orang-orang itu kadang juga membalak kayu secara ilegal di luar wilayah adatnya. Pelaku bisa jadi oknum warga setempat atau masyarakat dari luar kampung. Melihat lokasi yang jauh dari kampung dan begitu terpencil, sulit sekali untuk melakukan pengawasan apalagi penindakan tegas dengan hukuman. 

Dengan kata lain, BUMMA dan pengelola pariwisata Kampung Berap berkejaran dengan waktu. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Manajer Ekowisata BUMMA Yombe Namblong Nggua Octovianus Manggo mengakui ada peluang ekonomi restoratif dari kegiatan pengamatan burung atau birdwatching. Bersama pengelola pariwisata kampung, mereka masih akan memetakan potensi lokasi pengamatan lainnya, menyiapkan infrastruktur agar pemantauan burung lebih nyaman untuk tamu atau para birder.

Suasana pengamatan burung cenderawasih yang sedang bertengger di pucuk pohon laban. Tempat baru ini berada di area hutan tropis Gunung Ktu Ku, Kampung Berap, Jayapura/Rifqy Faiza Rahman-Mauren Fitri

Sejumlah ruang pengembangan yang bisa dilakukan antara lain pembuatan rumah pohon sebagai anjungan pandang. Tujuannya agar memudahkan tamu melihat cenderawasih lebih dekat. Rumah pohon itu nantinya disamarkan dengan daun-daun atau ranting sebagai kamuflase, sehingga tidak terlihat oleh cenderawasih. 

Jalur trekking juga perlu dipoles agar aman dilewati. BUMMA dan masyarakat perlu mengukur jarak perjalanan, memilih rute yang menarik dengan tetap memerhatikan keamanan pengunjung, sampai dengan rencana evakuasi jika ada keadaan darurat. 

“Bisa juga membuat rute trekking yang bervariasi, tidak seperti tadi kita berangkat dan pulang lewat jalur yang sama,” usul Zet pada Mesak dan Octo setibanya di kampung. Ia menyebut jalur berangkat bisa melewati areal air terjun yang lebih landai dan istirahat sejenak di sana, baru pulang menyusuri kali.

Sampai sekarang, belum ada kepastian kapan birdwatching di Berap akan dibuka secara resmi sebagai paket wisata. Bagaimanapun, masyarakat Kampung Berap telah memahami, selain dari segi ekonomi, kontribusi ekowisata birdwatching ternyata juga bisa mencegah aktivitas ilegal yang bisa mengancam kelestarian cenderawasih dan burung-burung endemis lainnya.

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Simon Manggo (kiri), ketua kelompok sadar wisata (pokdarwis) Kampung Berap didampingi Octo membahas rencana pengembangan ekowisata Kali BIru dan pengamatan burung cenderawasih/Rifqy Faiza Rahman

Integrasi program ekowisata dan konservasi hutan

Pada 3 Oktober 2024 lalu, BUMMA merilis uji coba paket wisata baru bernama river trip atau susur sungai dengan rakit. Nicodemus Wamafma atau Niko (49), General Manager BUMMA, menyebutkan tur akan berlangsung sekitar 45–60 menit, dengan harga paket sekitar Rp150.000 per orang. Dalam satu perahu rakit berisi maksimal tamu tiga orang, yang ditemani seorang pemandu dan juru mudi. Selama perjalanan tamu akan dijelaskan keanekaragaman hayati yang ditemui, baik itu flora maupun fauna. 

Kelak akan ada wacana memperpanjang jalur dari kawasan hulu, Enggam, sampai ke daerah muara yang bernama Sungai Grime, kali besar yang membelah wilayah adat suku Namblong. Tantangannya adalah menjaga kebersihan ekosistem sungai, yang akhir-akhir ini tercemar eceng gondok dan aneka sampah plastik, seperti sabun cuci dan kemasan bekas makanan-minuman. Untuk melakukan ini, BUMMA dan kelompok pengelola pariwisata setempat akan bekerja sama dengan masyarakat lima marga yang wilayahnya dilalui Kali Biru.

Octo mengatakan, pihaknya akan berusaha memadukan paket wisata Kali Biru dengan kegiatan pengamatan burung cenderawasih. Selain mempersiapkan infrastruktur jalur birdwatching secara bertahap, ia bersama jajaran pengurus BUMMA juga akan melakukan sosialisasi dan melibatkan masyarakat lima marga di Berap agar mendapat manfaat ekonomi.

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Mauren (depan), ketua tim ekspedisi, mencoba perahu wisata menyusuri Kali Biru didampingi Zet Manggo dan Simon Manggo. Aneka vegetasi nipah, sagu, dan tumbuhan sekitar menjadi daya tarik tambahan untuk integrasi paket ekowisata susur sungai dan birdwatching di Kampung Berap/Deta Widyananda

Di sisi lain, Bernard Yewi selaku Manajer Kehutanan BUMMA juga punya tanggung jawab yang tak kalah penting. Riwayat perburuan liar di hutan Ktu Ku jelas mendorong pria yang ikut kami melihat cenderawasih hari itu untuk segera melakukan konservasi hutan. 

“Karena akan ada rencana perdagangan karbon, kami akan melakukan pemetaan potensi dan memperbanyak pohon-pohon dengan potensi penyerap karbon tertinggi selain sagu,” jelasnya. Langkah ini akan mendukung pengembangan ekowisata pengamatan burung, sekaligus menjaga habitat satwa di dalamnya. Kuncinya, komunikasi dan kerja sama dengan para marga pemilik hak ulayat di kawasan tersebut.

Niko mengakui, jalan pengembangan ekowisata pengamatan burung di Kampung Berap masih panjang. Tapi, setidaknya masyarakat Berap memiliki alternatif daya tarik yang segar dan baru untuk wisatawan, melengkapi Kali Biru. (*)


Foto sampul:
Cenderawasih kuning-kecil betina terbang meninggalkan cenderawasih jantan yang masih bertengger di pohon usai menari/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-cenderawasih-potensi-ekowisata-baru-kampung-berap-jayapura/feed/ 0 45325
Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit” https://telusuri.id/ekowisata-malagufuk-menjaga-rumah-cenderawasih-bukan-cenderasawit/ https://telusuri.id/ekowisata-malagufuk-menjaga-rumah-cenderawasih-bukan-cenderasawit/#respond Wed, 08 Jan 2025 09:00:44 +0000 https://telusuri.id/?p=45214 Masyarakat Gelek Kalami dan Magablo di Malagufuk memilih ekowisata sebagai jalan hidup untuk keseimbangan ekonomi dan ekologis. Bertekad menjadi benteng terakhir hutan adat Moi di Papua Barat Daya, baik untuk manusia maupun segala keanekaragaman hayati...

The post Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit” appeared first on TelusuRI.

]]>
Masyarakat Gelek Kalami dan Magablo di Malagufuk memilih ekowisata sebagai jalan hidup untuk keseimbangan ekonomi dan ekologis. Bertekad menjadi benteng terakhir hutan adat Moi di Papua Barat Daya, baik untuk manusia maupun segala keanekaragaman hayati di dalamnya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Fasilitas menginap tamu yang berkunjung untuk birdwatching di Malagufuk. Terdapat pondok tamu untuk briefing dan tempat makan (paling kiri), lalu homestay dan glamping/Rifqy Faiza Rahman

Ada satu kawasan gabungan yang mencakup lima kampung adat suku Moi Kelim di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Namanya Malaumkarta Raya. Terdiri dari Malaumkarta sebagai kampung induk, diikuti tiga kampung lain yang juga terletak di pantai utara Distrik Makbon, yaitu Suatolo, Sawatuk, dan Mibi. 

Kemudian satu kampung lagi bernama Malagufuk. Kampung ini mulanya berstatus kampung persiapan, sehingga usianya paling muda se-Malaumkarta Raya. Berbeda dengan empat kampung lain yang berada di pesisir, Malagufuk “tersembunyi” di dalam hutan lebat. Jalan poros Sorong–Tambrauw–Manokwari memisahkan kawasan hutan itu dengan kawasan pesisir. 

Dari pinggir jalan, permukiman kecil Malagufuk belum bisa langsung terlihat mata. Di atas dataran lapang lapang seluas 2–3 kali lapangan futsal, “sambutan” bagi para tamu yang hendak berkunjung ke kampung hanya ada dua papan informasi—yang memuat nama kampung dan keanggotaan Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI)—serta sebuah salib kayu bercat putih berkalungkan pita kain berwarna ungu yang berdiri tegak di atas tanah. Kemudian terdapat bangunan seperti rumah—atau mungkin mirip kantor kelurahan—di sebelah timur, yang lebih sering tertutup rapat kecuali ada keperluan. Ada satu-dua sepeda motor yang tersimpan di dalamnya, milik warga Malagufuk.

Di latar belakang, kerimbunan belantara tropis penuh pohon besar menjulang seperti mengundang siapa pun untuk masuk. Jembatan kayu tampak kukuh di mulut hutan, bersanding gemericik kali kecil dengan air sebening kaca. Dari sanalah, lorong alam Hutan Klasow akan mengantar langkah kaki menuju sebuah tempat di mana manusia berharmoni dengan alam. Tempat cenderawasih-cenderawasih menari dan bernyanyi dengan nyaman.

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Gerbang masuk menuju Kampung Malagufuk. Pintu hutan berada di bagian kanan foto ini/Rifqy Faiza Rahman

Ketenangan di pedalaman Hutan Klasow

Perlu usaha ekstra untuk mencapai Kampung Malagufuk. Sebenarnya hanya perlu 3,5 kilometer saja dengan jalan kaki dari pintu hutan ke permukiman terpencil yang dihuni kurang dari 20 kepala keluarga tersebut. Rinciannya, 3,3 kilometer meniti jembatan kayu selebar dua meter, sisanya menapak jalan tanah berselimut rumput ke rumah keluarga sekaligus kantor Kepala Kampung Amos Kalami.

Kata Torianus Kalami (47), tokoh Moi dan ketua Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM), pada 2021 Museum Rekor Indonesia (MURI) mencatat jembatan berbahan kayu besi (pohon merbau) itu sebagai salah satu jembatan kayu terpanjang di Indonesia. Pengerjaan jembatan mencapai 17 bulan, didukung penuh oleh Pemerintah Kabupaten Sorong, yang saat itu dipimpin Bupati Johny Kamuru. 

Alih-alih membuka akses atas nama pariwisata dan memanjakan kendaraan bermotor, pembangunan jembatan kayu justru memenuhi kaidah ekowisata berkelanjutan karena ramah lingkungan. “Papan-papan kayunya saja tidak berasal dari Malagufuk, tapi dari hutan di tempat lain,” kata pria yang akrab dipanggil Kaka Tori itu.

Jembatan panjang tersebut dibuat sekitar semeter lebih tinggi dari permukaan tanah yang lembek. Saat hujan deras, tanah akan becek dan berlumpur, bahkan tergenang di beberapa titik. Nuansa alami dan penuh petualangan terasa kental. Begitu memulai langkah kaki pertama, serasa terisap ke dimensi yang berbeda. Senyap, tiada kebisingan selain kicau burung dan suara-suara serangga hutan. Teriknya jalan beraspal Sorong–Manokwari lenyap seketika tatkala berjalan semakin jauh, semakin dalam memasuki rimbunnya belantara yang disebut Hutan Klasow oleh warga Malagufuk. Kami juga melewati satu-dua aliran kali (sungai kecil) berair jernih yang bisa digunakan untuk sekadar membasuh muka. 

Butuh waktu tempuh hampir satu jam untuk tiba di kampung. Kaki-kaki orang lokal tentu jauh lebih lincah dan kuat, meski harus mendorong troli merah berisi barang bawaan tamu berkilo-kilo beratnya. Sebab, mereka terbiasa berjalan tanpa alas kaki di hutan, sehingga telapak kaki seperti lengket begitu saja tanpa khawatir terpeleset.

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Mauren, ketua tim ekspedisi, menyusuri jembatan kayu terpanjang menuju Kampung Malagufuk/Deta Widyananda

Sesekali saya mengecek lokasi terkini lewat aplikasi Google Maps di ponsel. Sinyal hilang timbul, tentu saja. Dari satelit, jembatan kayu ini tidak terlacak sebagai akses jalan. Tertutup hutan lebat seolah-olah tak tertembus. 

“Nanti di kampung sinyal bagus, kaka. Ada tower di kampung,” celetuk Gustap, pemuda Malagufuk yang juga bekerja sebagai pemandu dan porter. Ia dan Lamber, kerabatnya, ikut pulang menumpang mobil kami dari jalan poros Sorong-Makbon di Klawuyuk, setelah mengantar tamu ke bandara. Belakangan saya tahu menara sinyal itu bantuan dari program BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Letak pemancar Base Transceiver Station (BTS) bertenaga surya itu berada di ujung timur kampung, dekat pondok tamu. 

Jembatan kayu itu akhirnya menemui ujung seiring terbukanya vegetasi hutan. Sebuah gapura lebar yang terbuat dari batang-batang pohon menyambut. Di sebelah kanan tertulis “Eco Village Malagufuk” dan ukiran kriya berbentuk burung cenderawasih kuning-kecil. Di sebelah kiri, terpampang informasi potensi burung cenderawasih di habitat aslinya serta larangan perburuan liar dan perusakan hutan. Pada bagian atas, deretan kata berbahasa Moi menempel pada sebuah papan kayu bertuliskan Bok Feden Paw Malagufuk: Selamat Datang di Kampung Malagufuk. 

Informasi visual tersebut merupakan bentuk penegasan kepada siapa pun yang datang. Dalam satu dekade terakhir, ekowisata birdwatching atau pemantauan burung dipilih sebagai jalan hidup untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat marga (gelek) Kalami dan Magablo di Malagufuk. Tidak hanya berbasis masyarakat, tetapi juga berkelanjutan. 

  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”

Dari bukan siapa-siapa, kini mendunia

Berkah Tuhan karena kegigihan menjaga hutan dan menjaga rumah cenderawasih. Kiranya demikian ungkapan yang tepat melihat perkembangan ekowisata berkelanjutan di Malagufuk beberapa tahun terakhir. Kampung termuda di kawasan Malaumkarta Raya, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong itu jadi tujuan para pengamat burung (birder) dari seluruh dunia. 

Charles Roring adalah salah satu nama yang sangat berperan dalam pengembangan ekowisata birdwatching di Malagufuk kurang dari sedekade lalu. Pemandu spesialis pengamatan burung berdarah Manado yang tumbuh besar di Manokwari itu mereplikasi kesuksesan serupa di Kampung Kwau, Pegunungan Arfak sebelumnya. Padahal, konsep pariwisata atau ekowisata belum pernah ada dalam kamus kehidupan masyarakat Malagufuk

“Dulu Malagufuk belum ada rumah-rumah panggung seperti sekarang, apalagi penginapan. Beberapa keluarga itu kumpul dalam satu-dua tenda terpal di pinggir hutan, yang sekarang dibangun jadi dapur umum untuk mama-mama menyiapkan makanan tamu,” kenang Charles. Saat itu, jembatan kayu belum dibangun seperti sekarang. Hanya titian kayu sederhana yang membentang di atas tanah. Saat hujan deras, langkah kaki akan berat karena terbenam lumpur.

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Charles Roring hendak mengamati burung dengan spotting scope atau teropong bidik milik tamu asing yang ia pandu ke Malagufuk/Mauren Fitri

Titik balik Malagufuk mulai terjadi pada pengujung 2014, ketika ia membawa tamu dari Eropa dan mulai mengenalkan Malagufuk kepada dunia. Amos Kalami, yang sedari awal sudah menjadi kepala kampung, seperti diungkap Charles, kaget ketika mengetahui lambat laun kampung kecilnya mulai ramai turis dengan peralatan fotografi lengkap dan lensa-lensa berukuran besar. 

Popularitas Malagufuk mencapai puncak setelah Charles mendampingi tamu dari Prancis. Ia adalah jurnalis foto dari Agence France-Presse (AFP), kantor berita internasional yang bermarkas di Paris. Jurnalis tersebut ingin meliput potensi ekowisata dan bahaya deforestasi akibat rencana ekspansi perusahaan kelapa sawit yang mengancam keanekaragaman hayati endemis di hutan Malagufuk.

Foto-foto dan hasil liputan AFP pun menyebar ke seluruh dunia. Di sisi lain, Charles juga cukup rutin menulis tentang tur ekowisata birdwatching di Papua melalui blog pribadinya wildlifepapua.com, yang dikunjungi ribuan orang per bulannya. Sampai-sampai ia punya tamu-tamu langganan pegiat birdwatching yang tertarik pergi ke Papua untuk melihat cenderawasih, karena membaca blog Charles dan paket wisata yang ia tawarkan. Sorotan dunia melalui informasi jurnalistik tersebut membuat orang-orang—terutama pemerintah setempat dan masyarakat Moi—lambat laun menyadari pentingnya menjaga Hutan Klasow sebagai habitat cenderawasih dan satwa-satwa endemis Papua tersebut.

Sebagai tanggung jawab moral, secara bertahap Charles membina dan mendampingi masyarakat Malagufuk tentang cara mengelola ekowisata berkelanjutan. Khususnya kepada anak-anak muda. Ia mengajari cara memandu, melayani tamu, dan melakukan pemetaan lokasi-lokasi burung maupun satwa endemis lain di hutan. 

Saat ini manajemen ekowisata di Malagufuk dipercayakan ke Opyor Jhener Kalami alias Opi (28), putra kedua pasangan Amos Kalami dan Batseba Mobilala. Opi, dibantu orang muda Malagufuk yang sebenarnya masih memiliki hubungan keluarga, mengelola pelayanan kepada tamu yang datang dan pergi, mengatur reservasi, memandu, sampai dengan promosi di media sosial. Tidak terhitung berapa kali mereka bolak-balik Sorong–Malagufuk (55 km) untuk menjemput dan mengantar tamu domestik maupun asing. Perputaran uang dari penjualan paket tur pengamatan burung bisa mencapai ratusan juta rupiah per tahunnya.

Kiri: Antre menunggu giliran pengamatan burung cenderawasih raja di anjungan pandang sederhana. Tampak pemandu muda Gustap (dua dari kiri), ditemani Brampi (paling belakang) ikut mengobrol dengan kami saat menunggu rombongan tamu dari Cina yang sedang memotret di atas. Kanan: Opi membantu mengarahkan Deta membidik gambar cenderawasih raja/Rifqy Faiza Rahman

“Soal keahlian bahasa Inggris itu bisa sambil jalan pelan-pelan. Yang penting selalu saya tekankan untuk jangan silau dengan uang yang banyak dari hasil memandu tamu,” tegas Charles. Ia juga mengarahkan Opi dan teman-teman membatasi jumlah kunjungan tamu per harinya, agar ada jeda bagi mereka dan alam untuk beristirahat.

Pernyataan itu mengingatkan bahwa pengembangan ekowisata berkelanjutan membutuhkan kolaborasi banyak pihak. Terbangunnya pondok tamu, homestay, glamping, dan fasilitas lain yang memoles citra Malagufuk sebagai eco-village juga hasil dari kolaborasi lembaga perbankan, organisasi nirlaba, pemerintah, dan banyak lagi. Semua pemangku kepentingan harus bersinergi agar terjadi keseimbangan kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan di Malagufuk.

Kini, di Papua, Malagufuk diperhitungkan sebagai destinasi utama birdwatching selain Raja Ampat, Pegunungan Arfak, dan Jayapura. Sebab, hanya di pulau besar di timur Indonesia inilah (dan sedikit di Halmahera) burung surga itu bisa terlihat dengan mudah di hutan. Biasanya, para tamu akan sekalian berkunjung setelah menyelam atau melihat burung di Raja Ampat. 

Terutama saat musim kawin cenderawasih sepanjang Juni–Oktober. Ratusan hingga ribuan fotografer datang berbondong-bondong. Mereka rela berjalan menempuh berkilo-kilometer di jalur berlumpur, memanggul kamera dan lensa sapu jagad demi momen mahal seumur hidup. Bahkan jika gagal mendapatkan momen itu dalam satu hari, mereka akan menginap beberapa hari lagi di Malagufuk sampai misinya berhasil. 

Saat ini kurang lebih ada sekitar lima spesies cenderawasih yang terlihat di Malagufuk: cenderawasih kuning-kecil (Paradisaea minor), cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), cenderawasih raja (Cicinnurus regius), cenderawasih mati-kawat (Seleucidis melanoleucus), dan toowa cemerlang (Ptiloris magnificus). Selain cenderawasih, beberapa burung endemis lainnya yang kerap ditemui antara lain taun-taun atau julang papua (Rhyticeros plicatus), aneka cekakak atau dikenal dengan sebutan kingfisher, dan kasuari.

Sebagai informasi, biasanya Opi dan kawan-kawan akan mengajak tamu melihat cenderawasih dalam dua sesi, yaitu pagi dan sore. Tidak hanya cenderawasih. Terkadang tamu juga meminta ditemani trekking malam untuk melihat satwa-satwa nokturnal, seperti kanguru tanah, kanguru pohon, burung hantu, sampai dengan ekidna atau nokdiak (biasa disebut landak semut atau babi duri). Tamu-tamu ini rela merogoh kocek dalam-dalam demi pengalaman berharga tersebut.

  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”

Sejumlah satwa yang menghuni Hutan Klasow Malagufuk. Secara berurutan, terdapat cenderawasih kuning-kecil, cenderawasih raja, toowa cemerlang, ekidna, dan katak jantan Platymantis paepkei sp.

Ekowisata untuk menjaga masa depan anak cucu

Charles menjelaskan, ekowisata dengan minat khusus seperti pengamatan burung merupakan ceruk ekonomi potensial, tetapi belum digarap secara serius di Indonesia. Padahal, Indonesia merupakan rumah bagi lebih dari 1.700 spesies burung (nyaris 17% persen burung di dunia) yang memikat para penggemar burung.

Menurut data Grand View Research, nilai jasa industri ekowisata pengamatan burung global diperkirakan mencapai USD 62,73 miliar pada 2023 lalu. Mulai tahun ini sampai 2030 diproyeksikan nilainya tumbuh sebesar 6,2%. Kawasan Amerika Utara—di dalamnya terdapat Kanada, Amerika Serikat, dan Meksiko—menyumbang pangsa sebesar 27,79% dari total pendapatan global tersebut. 

Tampaknya, ada peningkatan terhadap kesadaran lingkungan, konservasi, dan perlindungan keanekaragaman hayati di hutan, sehingga mendorong orang ingin melakukan perjalanan ekowisata untuk mendapatkan pengalaman baru. Sumbangsih dari perjalanan tersebut dapat mempromosikan upaya pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik dan mengapresiasi ekosistem yang terbangun antara manusia dan alam.

“Bayangkan di Amerika saja bisa segitu [pendapatan ekowisata]. Padahal, [keanekaragaman burung endemis] Indonesia lebih kaya, khususnya Papua,” ujar Charles. Namun, ia mengingatkan tantangan klasik yang masuk daftar teratas dalam menghambat peluang tersebut. Ia menilai, “Di Indonesia ini [terutama Papua], birokrasi pengelolaan kawasan konservasi dan pengakuan hutan adat terlalu berbelit-belit. Banyak aturan tumpang tindih.”

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Opi mendorong gerobak atau troli penuh muatan barang milik tamu di jembatan kayu. Selain memandu, umumnya pemuda Malagufuk juga bisa bekerja merangkap sebagai porter/Rifqy Faiza Rahman

Di banyak tempat, seperti jamak diketahui, kapitalisme berkedok investasi atas nama pembangunan kerap mencerabut hak ulayat, peran, dan keberdayaan masyarakat hukum adat. Tak terkecuali kelapa sawit. Puluhan ribu hektare tanah adat Moi di Kabupaten Sorong telah beralih fungsi menjadi lahan konsesi perkebunan sawit. 

Berita terhangat tentu saja ketika masyarakat suku Moi Sigin melawan rencana PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin di Distrik Segun, Kabupaten Sorong. Suku Moi melakukan aksi demo di Jakarta bersama suku Awyu dari Boven Digoel, Papua Selatan, yang menyuarakan keresahan serupa atas upaya perebutan tanah adat oleh perusahaan sawit. Sebelumnya PT SAS telah memegang konsesi seluas 40 ribu hektare (ha) di Distrik Segun, Klawak, dan Klamono. Namun, Bupati Sorong Johny Kamuru mencabut izin perizinan PT SAS pada 2021, yang diperkuat pencabutan izin pelepasan kawasan dan izin usaha oleh pemerintah pusat pada 2022. PT SAS menggugat balik pemerintah ke PTUN Jakarta karena tidak terima dengan keputusan tersebut.

Selain PT SAS, ada tiga perusahaan kelapa sawit lainnya yang dicabut izinnya oleh Johny Kamuru pada tahun yang sama. PT Cipta Papua Plantation di Distrik Mariat dan Sayosa dengan lahan seluas 15.671 ha, PT Papua Lestari Abadi di Distrik Segun dengan luas lahan 15.631 ha, dan PT Inti Kebun Lestari di Distrik Salawati, Klamono, dan Segun dengan luas lahan 34.400 ha.

Masifnya ekspansi sawit di Sorong terdengar sampai telinga Opi. Ia tidak ingin Malagufuk bernasib sama. Opi menyebut, tidak sedikit di antara spesies burung cenderawasih yang ada di Malagufuk saat ini, sebelumnya berasal dari wilayah adat kampung lain di Sorong yang—sayangnya—hutannya sudah hilang akibat sawit.

“Jadi, itu yang saya takut sebenarnya, kalau misalnya ada kelapa sawit masuk,” ungkap Opi khawatir. Sebab, Hutan Klasow telah menjadi rumah aman bagi cenderawasih. Dan cenderawasih adalah salah satu burung yang membawa dampak peningkatan ekonomi kampungnya lewat ekowisata. “Jangan sampai anak cucu kami tidak melihat cenderawasih lagi, tetapi nanti mereka [hanya] melihat ‘cenderasawit’.”

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Opi dengan kostum adat suku Moi. Generasi muda sepertinya mengemban tanggung jawab besar untuk menjaga hutan agar ekowisata Malagufuk bisa berkelanjutan/Deta Widyananda

Opi menegaskan, masyarakat Malagufuk akan mati-matian menjaga Hutan Klasow (nama lain hutan Malagufuk). Ia tidak ingin Malagufuk tersentuh industri ekstraktif—seperti sawit atau tambang—sejengkal tanah pun. Jika ada yang nekat masuk hutan berburu burung atau merambah lahan ilegal untuk kepentingan bisnis, itu sama saja memicu genderang perang.

Masyarakat Malagufuk telah lama mewarisi kemampuan nenek moyang dalam memanfaatkan sumber daya hutan seperlunya, lalu memakai hasil hutan tersebut secukupnya. Mulai dari mencari bahan makanan dan minuman, meramu obat-obatan tradisional, sampai dengan menggunakan kayu untuk membangun rumah, gereja, dan gedung sekolah.

Bagi orang Moi, hutan adalah tam sini, yang berarti hutan itu ibu atau mama. Mama sang pemberi segala sumber kehidupan, yang harus dihormati dan diwariskan pengetahuannya secara turun-temurun sampai generasi-generasi selanjutnya. Seorang anak memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga hutan, sebagaimana yang dilakukan orang tuanya.

Selanjutnya, bagaimana nasib Malagufuk di masa depan tergantung pada komitmen dan konsistensi bersama para gelek Kalami-Magablo dalam menjamin keberlanjutan itu. Yang jelas, orang Moi punya rumus hidup seperti kata Opi, “Ko jaga alam, alam akan jaga ko nanti.”


Foto sampul:
Toowa cemerlang, spesies burung pengicau yang termasuk dalam keluarga cenderawasih/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ekowisata-malagufuk-menjaga-rumah-cenderawasih-bukan-cenderasawit/feed/ 0 45214
Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (2) https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-2/ https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-2/#respond Tue, 10 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39901 Di bawah naungan akasia, kami memarkir motor. Kami meniti pematang. Di kanan-kiri, teratai dan kembang kangkung mengapung di permukaan rawa. Kawasan lahan basah itu dikepung padang lembang. Di ujung pematang, kami berhenti dan duduk. Tapak...

The post Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Di bawah naungan akasia, kami memarkir motor. Kami meniti pematang. Di kanan-kiri, teratai dan kembang kangkung mengapung di permukaan rawa. Kawasan lahan basah itu dikepung padang lembang. Di ujung pematang, kami berhenti dan duduk. Tapak itu buntung.

“Tengok arah pukul tiga,” bisik Asief. Rambut ikalnya tertiup angin sepoi. Aku menuruti perintahnya. “Itu burung layang-layang batu.” Hewan mungil itu betah bertengger di sebilah bambu yang tertancap di tepi rawa. Jaraknya sekitar lima meter dari posisi kami. Ketika terbang, burung itu akan kembali hinggap di situ lagi.

“Apakah burung layang-layang sama dengan sriti dan srigunting?” Pertanyaanku dijawab “tidak”. Aku baru tahu, ketiganya berbeda.

Dari timur, seorang pria paruh baya muncul. Sepertinya ia akan turun ke ladang. Ia memanggul satu sak sesuatu.

“Mau bedil, ya?” Ia mengira kami akan menembak burung. Kami menjawabnya dengan sesimpul senyum.

Dua Penyaru di Imperium Burung-Burung

“Ayo berkamuflase,” ucap Asief sambil mengurai selembar jala saru dari kantong bekas tas helm. “Enggak kelihatan mencolok itu penting,” tambahnya. Itulah mengapa ia mengenakan kaus cokelat pudar lengan panjang, celana parasut kelabu, dan sandal gunung hitam. (Agak mengecewakan, sebenarnya. Padahal, aku sudah membayangkan ia berkostum safari seperti Nigel di serial The Wild Thornberrys dan mati heroik setelah bergulat sengit dengan seekor buaya).

Aku buru-buru melepas jaket berwarna Golkar—tapi agak tua—dan menjejalkannya ke dalam ransel. “Burung enggak buta warna. Makanya, warna bulu mereka semarak. Beda sama mamalia. Di mata kebanyakan hewan menyusui itu, dunia ini miskin warna. Kecuali primata. Penglihatan kita lebih berwarna.”

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Asief Abdi di balik jaring kamuflase/Royyan Julian

Selembar jaring berbobot ringan dibentangkan. Jala itu berwarna daun. Aku takjub. Motif dan kelirnya akan menyatukan kami dengan tekstur alam. Kami jadi seperti Harry Potter dan Ronald Weasley berkemul selubung mimikri. Sebentar lagi kami akan menyelonong ke kamar rahasia yang dihuni seekor ular naga jelmaan Lord Voldemort.

Di dalam selimut kamuflase Asief berkata, “Jaring ini harganya cuma enam puluh ribu. Atau tujuh puluh. Aku lupa,” sambil mengeset kamera. Lalu kami telungkup berjajar.

Asief menunjuk seekor tikusan di kaki-kaki lembang. Agak jauh di sisi kanan kami. Tiba-tiba seekor burung yang lain muncul dari kedalaman semak.

“Astaga, itu kareo padi. Aku belum pernah mendapatkan gambar apik burung itu.” Ia mengarahkan kamera. “Tapi itu terlalu jauh. Lensaku enggak mampu. Tolong putarkan suara pikat kareo padi.” Aku bergegas membuka Youtube dan membunyikan kicau burung itu. “Mestinya aku membawa speaker,” keluhnya. 

Setelah dua burung itu lenyap, seekor kipasan dan kapasan menggantikan posisi mereka. Kedua burung yang ukurannya sebelas-dua belas itu melompat-lompat mencari makan. Jika tikusan dan kareo pada mencari mangsa di genangan air, kapasan dan kipasan berkitar di tanah agak kering.

“Sepertinya kita perlu membetulkan posisi,” tukas Asief, “kamu dapat banyak jatah selimut. Kakiku enggak ketutup penuh.”

Ke arah jam dua belas, Asief menunjuk titik jauh setelah kami berselubung kembali. “Lihat burung itu.” Aku mencari-cari titik itu. Di sana, hewan kecil berbulu biru bertengger di ranting. “Itu jenis raja udang. Kamu tahu namanya?” Aku menggeleng.

“Cekakak suci.” Puitis sekali.

“Kenapa harus suci?” tanyaku menginterogasi. 

“Sebenarnya aku enggak tahu pasti. Tapi aku pernah baca, konon, masyarakat Polinesia percaya bahwa cekakak suci bisa mengendalikan badai.”

Pandanganku tidak akan sedramatis itu. Namun, hal semacam ini mestinya tidak membuatku heran. Suku-suku dari dunia lama yang masih lestari bahkan tetap mempertahankan kultus kepada binatang totem. 

Asief merekam burung itu ketika sedang mengunyah mangsa. Seekor biawak melata dari arah persembunyian, berharap si burung lengah. Meski sedang asyik menikmati kudapan, cekakak suci tetap waspada. Ketika kadal itu mendekat, sang burung terbang ke dahan yang lebih tinggi. Saat situasi kembali aman, cekakak pindah ke ranting semula.

“Kenapa dia balik ke tempat itu lagi?” Pertanyaanku mengusik kawanku yang sedang sibuk merekam.

“Mereka punya teritori. Kayak burung layang-layang tadi. Kecuali burung-burung migran.”

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Tikusan mencari mangsa/Asief Abdi

Dua jam berselang, kami keluar dari penyamaran dan terkejut mendapati seorang pria duduk di belakang kami.

“Dapat banyak?” Ia bertanya. Kami menangkap maksud pertanyaannya.

“Kami cuma lihat-lihat saja, Pak,” jawab Asief mengulum senyum. Seperti pria sebelumnya, bapak ini mengira kami sedang berburu burung. Padahal kami tidak memegang senjata apa pun.

“Apa kita punya tampang pembunuh?” bisikku di telinga Asief ketika si bapak turun ke rawa. Kedua betisnya ditelan lumpur.

Sebenarnya aku sudah ingin menggaruk betisku sejak di dalam jaring. Sepertinya beberapa ekor semut merayap ke dalam celana. Asal bukan ular sawah, aku masih tahan. Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku tidak selemah yang Asief kira.

“Mungkin kita bisa melihat burung lebih banyak seandainya debit airnya tidak berkurang,” tukas Asief. “Agustus memang puncak kemarau dan rawa ini surut. Atau jangan-jangan kita datang kurang pagi. Jam-jam segini, burung-burung sudah kelar mencari makan dan sekarang istirahat.”

Masa Depan Burung-Burung

Ketika sedang menikmati matahari duha yang bersinar terang, di kejauhan, sayup-sayup suara kirik-kirik-kirik-kirik terdengar. Asief menyadarkanku akan kedatangan suara tersebut. Indra pendengarannya telah terasah. Bahkan, kendatipun burung-burung itu cuma berbisik, mungkin ia bisa mendengarnya.

“Aku sudah bertahun-tahun berjibaku dengan aktivitas kayak gini,” ucapnya saat aku memuji sensibilitas pendengarannya. Namun, aku heran kenapa kulitnya yang cerah tidak kunjung gosong.

Kami memandang angkasa. Seekor burung melesat di latar biru langit bersaput gumpalan awan. Warna hijau dan sedikit jingga yang menyapu bulu-bulunya tampak samar di ketinggian.

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Asief Abdi mengeset kamera/Royyan Julian

“Itu burung kirik-kirik laut,” terang Asief. 

“Kirik-kirik laut,” sahutku. “Berarti ada kirik-kirik darat?

“Enggak ada. Yang ada kirik-kirik senja.” Seperti sudah bisa memahami pertanyaan yang siap kulontarkan, buru-buru Asief melanjutkan, “Mereka suka nongkrong saat senja.”

Apakah burung itu juga hobi mejeng di Capak?

Dari utara, tiga ekor burung terbang. Asief menunjuk ketiga hewan yang sedang menuju selatan tersebut. “Itu kowak malam.”

“Kenapa keliaran siang-siang begini?”

“Mungkin habis kelar ngopi.” Asief mengedipkan mata sipitnya.

Sementara dari timur laut, seekor burung jumbo terbang menuju barat daya. “Kalau itu…“ kalimatnya tersekat. “Oh, tunggu. Ya Tuhan! Itu bukan seperti yang kita lihat di Capak tadi.” Asief nanap dan aku tidak tahu mengapa ia nanap.

“Kenapa?” Aku tak sabar.

“Enggak ada merah di lehernya. Tapi aku enggak yakin. Aku belum pernah melihat dia di sini.”

Cara Asief berkata ‘dia’ untuk burung itu seperti terperangah memergoki mumi Firaun Tutankhamun bangkit dari peti mati dan bergentayangan di Madura.

Kini burung tersebut melayang-layang sebentar di atas padang lembang, mengepakkan sayap-sayapnya yang terentang hampir dua meter sebelum merasuk ke rimbun belukar itu.

“Jadi, itu apa?” desakku.

“Cangak abu.” Pandangannya menerawang ke ufuk barat bagai tertegun usai dijatuhi wahyu.

“Apa?” tanyaku sekali lagi.

“Cangak abu.”

Oke, cukup. Terlalu banyak nama burung dengan bunyi ‘k’ yang ditampung otakku hari ini. Cangak, kowak, kirik-kirik, kuntul, kipasan, kapasan, blekok, tikusan, tekukur, perkutut, cekakak, kutilang, kareo. Satu kali lagi ia menyebut burung dengan bunyi ‘k’, aku bakal semenderita membaca novel Gabriel Garcia Marquez, Seratus Tahun Kesunyian, yang punya banyak sekali tokoh bernama hampir sama dan harus kuingat satu per satu.

Namun, aku senang menjadi saksi ia menerima momen eureka. Itu artinya, aku pembawa keberuntungan. Jadi, tidak ada alasan lagi baginya untuk enggan mengajakku ke perjalanan semacam ini. Membicarakan alam di alam jauh lebih menyenangkan ketimbang membincangkannya di kafe. Di sini, aku bisa belajar banyak karena Asief akan menunjuk contoh-contohnya secara langsung.

Kini, Asief tengah berusaha membidik seekor dara laut yang melayang-layang di hadapan kami. Ketika seekor anak nila mencaplok anggang-anggang yang berselancar di permukaan air, burung itu menukik dan mematuk sang ikan. Yang memangsa akan dimangsa. Sebuah gambar rantai makanan yang sempurna.

“Susah sekali memotret burung terbang.” Asief mendesah. “Sebenarnya dulu aku punya foto dara laut yang bagus, tapi diambil dosenku buat buku pelajaran.”

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Cangak abu terbang di angkasa/Asief Abdi

Waktu menerabas pukul sepuluh. Asief menginjak patok kepemilikan tanah di pematang buntung itu. Lalu ia berkata dengan masygul, “Cepat atau lambat, kawasan ini akan sepenuhnya menjadi ladang. Bahkan, kita belum tahu, kehidupan macam apa yang bersemayam di relung semak lembang itu.” Aku jadi ikut pilu. “This wetland, Dude, is the last sanctuary for those birds.”

Suaka penghabisan, ramal Asief. Entah ke mana burung-burung tersebut akan pergi. Mungkin ke mata angin akhir zaman. Kepunahan niscaya yang senantiasa mengintai keberadaan satwa-satwa liar. Aku berusaha menghalau bayangan duka yang berputar-putar dalam pikiranku. 

“Makan soto Keppo kayaknya enak.” Kurasa Asief juga sedang melenyapkan gundah dengan kalimat itu.

Memang tak ada ide yang lebih baik daripada sarapan terlambat dengan semangkuk soto bertabur suwir daging ayam. Ayam pedaging yang sulit disentuh ancaman kepunahan. Namun, berkah keberlangsungan spesies harus mereka tebus dengan hidup yang begitu singkat dan menderita.

Lalu, perasaan lega mengalir saat aku sadar bahwa burung-burung di sini tidak bernasib sengsara sebagaimana ayam-ayam yang terhidang di meja makan manusia. Tak ada yang bisa menerka, ke mana takdir akan membawa burung-burung itu. Namun, setidaknya aku tahu, mereka pernah bahagia.


Foto sampul: Burung layang-layang batu bertengger di sebilah bambu (Asief Abdi)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-2/feed/ 0 39901
Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (1) https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-1/ https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-1/#respond Sat, 07 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39896 “Tak ada burung yang tak menarik,” tukas Asief agak berteriak ketika suatu malam kami berdua sedang nongkrong di kedai kopi. Kata-katanya bertabrakan dengan deru kendaraan. Juga bersaing dengan suara Didi Kempot dari pengeras suara yang...

The post Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
“Tak ada burung yang tak menarik,” tukas Asief agak berteriak ketika suatu malam kami berdua sedang nongkrong di kedai kopi. Kata-katanya bertabrakan dengan deru kendaraan. Juga bersaing dengan suara Didi Kempot dari pengeras suara yang tergantung di dinding: Manuke manuke cucak rowo, cucak rowo dowo buntute, buntute sing akeh wulune, yen digoyang ser-ser aduh pnake.

“Apa yang mengesankan dari burung?” aku penasaran. 

“Banyak, tapi yang paling menarik adalah tantangannya. Mereka terbang. Enggak mudah menjadi seorang pengamat burung.” Pria 32 tahun itu terdengar setengah bangga.

“Kurasa ikan juga sulit diamati, tapi kamu enggak tertarik.” 

“Menyelam adalah aktivitas yang enggak mungkin kulakukan,” tanggapnya santai, “itulah kenapa aku cuma suka memancing.”

“Jadi, kapan kamu mau mengajakku melihat-lihat burung?”

“Kamu enggak bakal tahan bergeming berjam-jam,” tukasnya meremehkan. Jawaban serupa juga kerap Asief lontarkan saat aku ingin ikut memancing.

“Bung, memancing itu aktivitas kontemplatif,” ujarnya rada menggurui. “Enggak penting seberapa sering kailmu tersangkut mulut ikan. Yang penting, seberapa suntuk kamu menunggu waktu. Bagiku, esensi memancing adalah pelajaran hidup tentang ketabahan.”

Yang benar saja. Ia kira aku tidak sabar? Jangan salah. Aku pernah ikut sesi meditasi vipassana di Lapangan Kenari di kompleks Borobudur. Dituntun Bante Santachitto. Lulusan Myanmar. Buddha Theravada. Di tengah banyaknya peserta yang menyerah, aku bertahan sampai selesai. Perkara konsentrasi atau tidak, lain urusan. 

“Tapi kamu meditasi cuma tiga puluh menit,” cecarnya, “mengamati burung, kamu bakal telungkup sampai tiga jam.”

Apa susahnya? Aku bisa tidur selama delapan jam.

Sebenarnya aku penasaran dengan aktivitas kawanku itu. Empat tahun silam, kepadaku ia memperkenalkan diri dengan nama ‘Asep’. Kupikir ia bukan orang Madura. Kita cuma akan menjumpai nama ‘Asep’ di KTP orang-orang Sunda. Ternyata, itu cuma nama kecilnya. Namun, tetap saja, meski terdengar kearab-araban, untuk generasinya nama Asief Abdi tak lazim digunakan di Madura. Di sini, orang menggunakan nama Arab yang cukup familiar. Katakanlah Saiful Rohman. Masalahnya, kawanku itu juga tidak cocok menyandang nama Saiful Rohman. Ia terlihat sangat tidak Saiful Rohman.

Khazanah Burung di Ladang Basah

Maka, di Minggu pukul enam yang gigil, kami berangkat ke Capak yang berjarak lima belas kilometer ke arah timur dari pusat kota Pamekasan. Kampung itu masyhur di kalangan anak-anak muda jamet dan pencinta senja. Rasanya kurang afdal jika Instagram mereka tak memajang foto-foto dengan latar jalur Capak yang terapit tambak luas bertepi barisan pohon kuda.

Namun, pagi itu tak ada abege. Hanya orang-orang dewasa yang tengah jogging dan menghabiskan vakansi. Cahaya keemasan menyelimuti kayu-kayu jaran dan jatuh di permukaan tambak yang tenang. 

“Lihat itu.” Sambil mengemudi, Asief menunjuk sisi kiri. Ke ufuk timur. “Itu dara laut.” Burung itu melayang-layang di atas permukaan air.

Kupikir dara laut satu keluarga dengan merpati, tekukur, atau perkutut. Ternyata tidak. Burung yang didominasi warna putih itu lebih mirip camar. Setidaknya menurut mata awamku.

“Kita akan mencari wetland.”

“Apakah lahan basah menjadi satu-satunya lokasi yang bisa diharapkan para pengamat burung di Madura?” responsku di belakang punggungnya. 

“Beruntung kita masih punya rawa-rawa. Setidaknya kita masih punya berbagai burung air. Hutan-hutan di Jawa menjadi habitat burung-burung dengan ornamen lebih kaya, dengan warna bulu lebih semarak. Di sini, sulit mencari burung semacam itu. Paling cuma kutilang yang mengoceh seharian. Mereka ada di mana-mana.”

“Warna ‘itu-itu saja’ burung-burung di sini mungkin disepuh kontur lanskap alam Madura yang monoton. Karakter burung mengikuti habitatnya.”

“Itulah kenapa ada jargon yang terkenal di antara para pengamat burung: kenali burungmu, kenali negerimu.”

Di dekat sebuah genangan, motor kami parkir. Ketika kaki kami melangkah, kawanan kuntul terbang berhamburan menjauhi tepi dan mendarat di sisi yang lain, di jarak yang tak mungkin kami jangkau.

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Sekawanan kuntul sedang berkumpul/Asief Abdi

“Semua burung sensitif. Mereka enggak mau dekat-dekat manusia,” Asief menjelaskan. “Ayo bergerak pelan-pelan. Tundukkan pandanganmu. Kontak mata bakal bikin mereka buyar.”

“Kenapa begitu?”

“Kita punya mata predator, Bung. Mereka akan merasa terancam.”

Kita adalah ‘wajah yang lain’ bagi makhluk-makhluk itu. Namun, mungkin istilah ‘wajah yang lain’ juga tak tepat. Emmanuel Levinas, filsuf Lithuania itu, sepertinya tidak bermaksud menggunakan metafora ‘wajah’ sebagai renungan etis yang ditujukan kepada hewan nonmanusia. Bukan kesadaran, mungkin kepekaan kontak mata tersebut merupakan insting tajam yang telah diasah waktu.

Yang jelas, reaksi burung-burung itu sudah tepat. Salah satu faktor kesintasan dan prestasi evolusi suatu spesies bergantung pada rasa takut. Spesies-spesies bonek berpotensi punah. Rasa gentar adalah sikap pragmatis, sedangkan keberanian kadang membunuh. 

Itulah mengapa Asief merangkak di balik belukar untuk merawat rasa aman para kuntul. Aku mengendap-endap di belakangnya. Ketika berhenti, ia merogoh seperangkat Canon dari dalam tas, lalu membidikkan mata kamera ke kawanan satwa itu dari celah semak.

“Burung-burung itu satu flock,” Asief menjelaskan sekelompok kuntul yang sedang mencari makan. “Yang besar namanya kuntul besar, yang kecil namanya kuntul kecil. Kuntul kebo paruhnya kuning, tapi di situ enggak ada.”

“Kalau yang leher pendek itu?” timpalku dengan telunjuk yang menunjuk.

“Blekok sawah. Kayak bambangan.”

“Bedanya dengan blekok?”

“Bambangan lebih langka.” Benar-benar jawaban yang tidak memuaskan. “Ya, mereka satu keluargalah.” Sepertinya dia bisa membaca pikiranku.

“Di sini aku merasa bebas,” ucap Asief sambil menghirup udara dengan kaki selonjor seusai memotret. Wajahnya semringah, tetapi tidak berlebihan. “Bagiku, ini momen transendental.” Terdengar sangat new age. Mungkin sebentar lagi ia overdosis jamur halusinogen, tetapi tercerahkan. “Kita pindah ke Polagan.”

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Asief Abdi memotret kuntul di balik semak-semak/Royyan Julian

Dicari: Persaudaraan Pengamat Burung Madura

Menuju desa itu, kami melaju di pematang ladang tembakau yang hijau pekat dan subur. Aku mesti menghindari dahan-ranting semak beluntas dan widuri yang berjejer di sisi kanan-kiri. Di seutas kabel tiang listrik, seekor raja udang biru bertengger. Asief berhenti. Hewan itu terbang.

“Burung itu enggak bakal kabur kalau kita enggak berhenti dan enggak menatapnya. Nalurinya peka dan kita dianggap pemangsa,” ucap Asief sembari melanjutkan perjalanan.

“Sebenarnya apa tujuan kalian mengamati burung?” Aku bertanya dengan daftar penasaran yang sudah kususun.

“Para profesional melakukannya untuk tujuan riset. Fotografer bisa menjual gambar burung ke situs-situs komersial kayak Shutterstock atau Dreamstime. Tapi orang kayak aku mengamati burung cuma hobi.”

Dan hobi mengamati burung memang gayung bersambut dengan latar studi Asief. Ia hafal banyak spesies lengkap dengan nama latinnya. Dahulu, cowok ramping ini belajar biologi di Universitas Negeri Malang dengan konsentrasi botani. Sejak 2012, ia suka keluyuran di hutan, kebun raya, taman nasional, dan cagar alam untuk mengamati anggrek. Namun, beberapa tahun terakhir ia memperluas hobinya dengan memantau burung. Maka untuk menarik para pengamat burung di Madura, ia membuat akun Instagram Madura Birdwatching. 

“Sayang, di sini aku enggak punya saudara seiman, orang-orang yang juga memiliki kegemaran yang sama denganku,” ratapnya. Mungkin karena akun Madura Birdwatching gagal menyatukan persaudaraan itu. 

Untuk merawat hobi, selain tetap rutin jalan-jalan di alam, Asief juga berkorespondensi dengan pengamat burung lainnya di media sosial. Namun, belakangan ia lebih banyak melakukan aktivitasnya sendiri. Hanya sesekali ia mengontak kawan-kawannya saat tak tahu jenis burung yang baru dijumpainya.

“Para pengamat burung melakukan pertemuan tahunan. Tahun ini mereka ketemuan di Bali. Temanku juga pernah ikut lomba mengamati burung di sana dan juara satu.”

“Lomba mengamati burung?” tanyaku sedikit terkejut. Setahuku, kompetisi yang berkaitan dengan burung cuma balap merpati dan adu kicau. 

“Para kontestan mencatat burung-burung yang mereka temukan. Juga ada sesi presentasi dan tanya-jawab.”

“Tapi aku bisa menjadi saudara seimanmu,” godaku, berusaha mengembalikan keluh kesahnya di awal perbincangan. “Aku suka alam liar beserta isinya.”

“Iya, sih…” lalu senyap. Lidahnya macet. Ia tampak memikirkan sesuatu untuk diucapkan. “Tapi kamu penyair, Bung!” Akhirnya ia berkata dengan rasa bersalah yang tegas. Pipinya bersemu merah. Aku bisa melihatnya dari kaca spion.

“Omong kosong,” sahutku meringis. Aku tahu sebenarnya ia ingin berkata: Enggak. Kamu bukan pencinta alam, bukan pencinta burung, dan enggak pantas.

Namun, tidak apa-apa. Justru karena berjuang sendirian di pulau yang tampak tidak menjanjikan ini, seluruh apa yang ia kerjakan jadi masuk akal untuk disebut eksentrik. Belajar-mengajar biologi dan menekuni makhluk-makhluk liar. Ketika anak-anak muda Madura saling berlomba mengejar karier polisi, tentara, dan profesi “Halo, Dek” lainnya, Asief mengendus bunga bangkai hingga ke rimba Bengkulu serta giat menulis perkawinan antara alam dengan budaya.

Aku berani bertaruh, pemuda 170 senti ini adalah satu-satunya naturalis yang hidup di Madura.

(Bersambung)


Foto sampul: Rawa-rawa di Polagan (Asief Abdi)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-1/feed/ 0 39896
Kebun di Saporkren, Bantu Bertahan Hadapi Pandemi https://telusuri.id/kebun-di-saporkren-bantu-bertahan-hadapi-pandemi/ https://telusuri.id/kebun-di-saporkren-bantu-bertahan-hadapi-pandemi/#respond Sat, 05 Dec 2020 04:09:08 +0000 https://telusuri.id/?p=25717 Masa pandemi di Saporkren, membuat wisatawan pengamat burung tak banyak berkunjung. Kebun kecil jadi penyemangat untuk terus bertahan.

The post Kebun di Saporkren, Bantu Bertahan Hadapi Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Tulisan “Rarama Bebye Ro Rumfarkor Ine” di gapura kayu yang sudah mulai berlumut menyambut kami saat memasuki kompleks SD YPK Getsemani, Kampung Saporkren, Raja Ampat. Deretan kata itu berasal dari bahasa Biak Betew yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Kamu yang Datang ke Sekolah Ini.”

SD YPK Getsemani menjadi satu-satunya sekolah di Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Sekolah itu memiliki 90 orang murid dan 10 pengajar. Ada enam kelas dalam kompleks yang terdiri dari dua bangunan itu.

Menurut penuturan Darius Ap, seorang guru di sekolah SD YPK Getsemani, proses kegiatan belajar mengajar berubah semenjak COVID-19, meskipun tak banyak. Walaupun wilayah itu masih dikategorikan sebagai zona hijau, kegiatan belajar mengajar harus mengikuti protokol COVID-19. Waktu belajar digilir. Satu hari adalah waktu belajar bagi kelas 1, 3, dan 5. Hari berikutnya giliran kelas 2, 4, dan 6. Tiap kelas pun dibagi menjadi dua demi menjaga jarak. 

“Anak-anak di sini, sih, masih biasa saja dengan COVID-19. Mereka tahu (tentang COVID-19) karena kami juga sering informasikan. Tapi (pandemi) tidak menjadi hal yang menakutkan bagi mereka,” ungkap Darius.

Jika dari sisi pendidikan tidak banyak yang berubah dari Kampung Saporkren, kondisi wisata memantau burung (birdwatching) beda cerita.

Menyusuri hutan Saporkren

Hutan Saporkren dikenal sebagai habitat dari lima spesies burung endemik Pulau Waigeo, di antaranya cendrawasih pohon atau cendrawasih merah (red bird-of-paradise), cendrawasih belah rotan (cendrawasih Wilson), Raja Ampat pitohui, gagak hutan (brown hooded crow), dan spice imperial pigeon (merpati yang memiliki mahkota). Semuanya hidup bebas, bahkan terkadang sampai masuk kampung.

Homestay Saporkren

Homestay Saporkren/M. Syukron

Semaraknya wisata memantau burung Saporkren berimbas pada okupansi penginapan-penginapan (homestay) di kampung itu. Karena lazimnya pengamatan dilakukan di pagi hari, para birdwatcher lebih senang menginap di homestay yang jaraknya tak jauh dari hutan Saporkren ketimbang menyewa kamar di tempat lain. Tapi itu dulu, sebelum pandemi datang.

Sony Rumbino, salah seorang peserta kegiatan penyuluhan pertanian yang ternyata juga seorang pemandu wisata berkata bahwa sejak Februari tidak ada lagi tamu yang datang ke Saporkren. Pandemi membuat rutinitas Sony dan warga kampung berubah. Kondisi begini adalah anomali. Sejak 2004 ketika Sony dan beberapa orang warga mulai memandu wisatawan dari dalam dan luar negeri melihat burung di Saporkren, baru sekali ini situasi begini terjadi. 

Tentu pengaruhnya besar sekali bagi kondisi perekonomian penduduk Saporkren yang hidupnya bergantung pada pariwisata. Sony merespons situasi dengan membuka lahan dan berkebun sejak Mei kemarin. Ia perlu melakukan sesuatu untuk menghidupi istri dan empat orang anaknya.

Menyusuri Hutan Saporkren

Menyusuri Hutan Saporkren/M. Syukron

Sony berbaik hati mengajak kami ke hutan untuk melihat kebunnya. Lokasinya tak seberapa jauh dari permukiman. Hanya perlu sekitar 10 menit berjalan kaki dari rumah terakhir, lewat jalan setapak tak mulus. Tanah basah dan licin, namun Sony berjalan santai tanpa alas kaki sambil menenteng kamera DSLR Canon—pemberian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)—yang ia gunakan untuk memotret satwa.

Hutan sudah menjadi arena bermainnya. Aktif dalam kelompok tani hutan yang mengawasi kawasan Saporkren (2.000 ha)—dan beberapa kali menangkap pemburu liar yang masuk hutan untuk menembak burung—membuat kakinya kebal menapaki hamparan batugamping khas bentang alam karst. Santai sekali ia berjalan. Sementara itu, kami yang meskipun sudah memakai alas kaki, kepayahan menjaga keseimbangan agar tidak terpeleset.

Kebun Kecil di Hutan Saporkren

Kebun kecil di hutan Saporkren/M. Syukron

Kebun kecil Sony Rumbino

Setelah melewati rintangan berupa semak belukar dan pohon-pohon roboh, kami pun tiba di lahan Sony. Kebun seluas sekitar 50×60 meter itu ia tanami kasbi, betatas, sirih, dan jagung yang bibitnya masih bisa ia cari dengan mudah di hutan. Agar tidak dirusak oleh babi hutan, Sony melindungi kebunnya dengan pagar kayu setinggi setengah meter. Sambil menunggu panen pertamanya, ia kini sedang mempersiapkan bibit-bibit tanaman lain untuk ditanam.

Bagi Sony, kendala dalam berkebun adalah soal modal awal untuk membiayai pengadaan alat dan bahan untuk pembibitan dan merapikan lahan. Pengetahuan yang ia dapat dalam penyuluhan ketahanan pangan oleh tim EcoNusa COVID-19 Response Expedition, serta bantuan peralatan pertanian yang diberikan, rasa-rasanya bisa mengangkat sedikit beban di pundak Sony dan warga Saporkren yang sedang berjuang bertahan di masa pandemi.

Wah, jadi rindu bercocok tanam di Pulau Kapoposang!


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id. 

The post Kebun di Saporkren, Bantu Bertahan Hadapi Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kebun-di-saporkren-bantu-bertahan-hadapi-pandemi/feed/ 0 25717