blitar Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/blitar/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 01 Nov 2022 05:41:15 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 blitar Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/blitar/ 32 32 135956295 ‘Camping’ Ceria di Hutan Pinus Loji Blitar https://telusuri.id/camping-ceria-di-hutan-pinus-loji-blitar/ https://telusuri.id/camping-ceria-di-hutan-pinus-loji-blitar/#respond Tue, 01 Nov 2022 08:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35452 “Mbak, kayaknya baru pulang dari event camping di Hutan Pinus Loji ya? Seru, ya, kayaknya,” tanya salah satu kawan. Bagi sebagian orang, camping menjadi hobi untuk lebih dekat dengan alam dan menepi sejenak dari segala...

The post ‘Camping’ Ceria di Hutan Pinus Loji Blitar appeared first on TelusuRI.

]]>
“Mbak, kayaknya baru pulang dari event camping di Hutan Pinus Loji ya? Seru, ya, kayaknya,” tanya salah satu kawan.

Bagi sebagian orang, camping menjadi hobi untuk lebih dekat dengan alam dan menepi sejenak dari segala rutinitas. Tetapi bagaimana dengan acara camping dengan tujuan belajar sambil bersenang-senang?

24 Agustus 2022, saya mengikuti camping ceria dalam rangkaian acara Selling on Village (SOV) 2022 di bumi perkemahan Hutan Pinus Loji, Desa Tulungrejo, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar Jawa Timur. Selling on Village 2022 diselenggarakan oleh komunitas anak muda di Blitar yang bertujuan mengenalkan potensi wisata Desa Tulungrejo, edukasi tentang kopi lokal, dan pertunjukan seni.

Acara ini bekerja sama dengan Dharma Nagari, kelompok sadar wisata yang mengelola objek wisata di Desa Tulungrejo termasuk Hutan Pinus Loji. Panitia menjelaskan bahwa kegiatan ini sudah direncanakan sebelum pandemi, namun karena adanya PPKM, maka harus tunda.

Seiring membaiknya situasi pasca pandemi COVID-19, mulai banyak event fun camp yang diselenggarakan di Blitar. Setelah menahan keinginan untuk berwisata di tempat umum, akhirnya saya memutuskan untuk ikut SOV 2022. Acara ini berlangsung selama dua hari.

Hutan Pinus Loji Blitar
Camping ceria SOV di Hutan Pinus Loji Blitar/Rizky Almira

Ada tiga paket yang ditawarkan oleh SOV 2022. Pertama, paket sharing seharga Rp75.000 dengan fasilitas tenda berkapasitas tiga orang bersama peserta lainnya secara acak. Kedua, paket private seharga Rp180.000 yang mendapatkan tenda dengan kapasitas dua orang. Ketiga, paket kolektif seharga Rp210.000 untuk peserta yang ingin mendapatkan tenda dengan kapasitas tiga orang. Semua paket tersebut, mendapat jatah makan sebanyak dua kali.

“Paket-paket yang mereka tawarkan tuh relatif murah, lho, dibanding dengan bawa peralatan ngecamp sendiri, apalagi acara ini ada kegiatan diskusi, hiburan musik, dan jalan-jalan pagi,” kata Agung, partner perjalanan saya.

Sekira bulan Juli, saya sempat camping di Hutan Pinus Loji bersama kawan-kawan. Sengaja memilih hari kerja untuk menghindari kepadatan pengunjung. Selain biaya masuk area wisata, kami juga dikenakan biaya mendirikan tenda untuk per kepala. Belum lagi, biaya sewa peralatan camping yang kami bawa. Jadi, saya antusias untuk ikut dan memilih paket private yang harus dipesan jauh-jauh hari sebelum acara.

Kawasan Hutan Pinus Loji berada di lereng kaki Gunung Kelud, jarak dari Kota Blitar sekitar 35 km yang bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor selama kurang lebih satu jam. Tidak tersedia angkutan umum dari kota ke Desa Tulungrejo. Saya, Agung, dan Arya—salah seorang kawan—berangkat bersama-sama dengan kendaraan pribadi.

Hari Pertama: Belajar sambil Bersenang-senang

Sesampainya di Hutan Pinus Loji, kami santai menunggu mulai acara yang dibuka sekitar jam 5 sore. Acara diawali dengan sambutan dari perwakilan Pokdarwis Dharma Nagari, Pemerintah Desa Tulungrejo, dan panitia SOV 2022. Lalu, berikutnya adalah sesi diskusi bersama Komunitas Patriawastra.

“Kain yang digunakan Patriawastra masih berbentuk selebaran yang belum digunting maupun dijahit,” kata Gading, peserta dari Komunitas Patriawastra.

Ternyata Patriawastra merupakan komunitas pemuda berkain yang berbasis di Blitar. Tidak hanya menjelaskan sejarah dan ragam kain dari berbagai daerah di Indonesia, mereka turut mengajak dan mengajari peserta SOV 2022 dalam menggunakan kain untuk gaya busana sehari-hari.

Selain Komunitas Patriawastra, terdapat sesi diskusi di bidang kopi. Malam itu, SOV 2022 mengundang dua narasumber. Pertama, Taufan Perdana pengelola De Classe—artisan gelato & coffee di Blitar—yang menceritakan tentang perjalanan bisnis dan pengalamannya dalam memperoleh sertifikasi Q Arabica Grader. Kedua, diskusi tentang penilaian rasa kopi menggunakan scoresheet dan apapun tentang kopi oleh Khoirul Umam—finalis Barista Innovation Challenge 2022 & pemilik Baratimur Coffee di Malang.

Selesai sesi diskusi dengan pegiat dan pelaku di industri kopi, agenda berikutnya adalah lomba seduh kopi filter satu lawan satu. “Kami menyebutnya ‘Sabung V60’ karena terinspirasi dari gulat satu lawan satu dari sebuah kelompok bela diri yang ada di Indonesia,” terang Deni, humas SOV 2022.

Tidak hanya menambah insight baru tentang industri kopi, peserta juga mendapatkan suguhan pertunjukan musik dari musisi lokal. Hawa dingin khas dataran tinggi bukan merupakan  halangan bagi saya untuk menikmati acaranya. Api unggun menjadi salah satu fasilitas dalam acara ini. Panitia menyediakan jagung manis yang boleh dipanggang oleh siapapun. Duduk santai melingkari api unggun, sembari ngemil jagung bakar, dan menyimak pertunjukan musik. Seru kan?

Hari Kedua: Jalan-jalan ke Kebun Kopi

“Nanti ikut jalan-jalan ke kebun kopi, nggak?” tanya Arif, ketua panitia SOV 2022.

“Ikut dong! Berangkat setelah ini, ya?” tanya saya.

“Kami ngekor di belakangmu aja, ya, Rif! Belum tau lokasinya di mana nih!” tambah Agung.

Acara ditutup begitu semua peserta selesai sarapan. Tetapi sebelum pulang, panitia mengajak peserta untuk menjelajahi salah satu sudut Desa Tulungrejo. Kami was-was nyasar, ditambah dengan kendaraan kami adalah satu-satunya kendaraan roda empat yang melaju ke kebun kopi. Peserta lain mengendarai kendaraan roda dua yang lebih leluasa jalannya.

Kami tetap setia di belakang motor Arif. Ia masih melaju dengan tenang. Tetapi di tengah jalan, Arif tiba-tiba saja berhenti dan gelagatnya seperti orang bingung. Tanpa ragu ia bertanya pada warga lokal yang sedang melintas. Dari jauh, seorang lelaki paruh baya memberi isyarat untuk jalan terus ke arah yang ia tunjuk.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Selang berapa lama, Arif menghentikan laju kendaraannya untuk bertanya lagi. Saya hitung sudah tiga kali Arif bertanya jalan pada warga lokal, meskipun ia juga sudah mengandalkan Google Maps.

“Putar balik, ya. Kita salah jalan. Pura yang kita tuju bukan di Desa Krisik ini, tapi yang ada di Desa Tulungrejo,” ajak Kiki—kawan kami yang juga ikut dalam rombongan.

Menurut arahan dari panitia, sebelum menilik kebun kopi milik warga, peserta diajak mengunjungi Pura Sapto Argo Sido Langgeng, Dusun Sumbergondo, Desa Tulungrejo. Akhirnya, saya dan kawan-kawan tiba di pura setelah tersesat ke tetangga desa.

Hutan Pinus Loji Blitar
Pura Sapto Agro Sido Langgeng di Desa Tulungrejo/Rizky Almira

Pura Sapto Argo Sido Langgeng menjadi salah satu destinasi wisata religi di Desa Tulungrejo, yang berdiri sejak tahun 1963 dengan konsep menggabungkan budaya dari tiga kerajaan besar di Nusantara. Penggunaan bata merahnya terinspirasi dari Kerajaan Majapahit. Bentuk gapura terinspirasi dari Candi Penataran yang merupakan peninggalan dari kerajaan Kediri. Bagian dalam ada bangunan yang menyerupai Candi Prambanan, terinspirasi dari Kerajaan Mataram.

“Arsitektur bangunan Pura Sapto Argo Sido Langgeng sangat unik karena mengambil tiga kerajaan besar yang ada di Nusantara, sebagai bentuk penghormatan leluhur tanah Jawa yang telah menganut Hindu terlebih dahulu,” terang Bagus Cipto Mulyo, pemangku umat Hindu setempat.

Pengelola pura mewajibkan pengunjung memakai kain jarik yang telah disediakan. Syarat lainnya, pengunjung wanita tidak boleh dalam keadaan sedang menstruasi. Setelah menyimak cerita tentang Pura Sapto Argo Sido Langgeng, saya menyadari bahwa pemeluk agama Hindu di desa ini masih cukup banyak. Selama perjalanan menuju ke pura, saya juga melewati beberapa kebun kopi yang dikelola oleh warga lokal.

Salah satunya adalah kebun kopi milik Pak Tris. Begitu sampai di rumah Pak Tris, kami diajak untuk menengok kebun kopinya yang terdekat. Ia menjelaskan secara singkat mengenai upayanya dalam mengolah kopi sirsah yang ditanam. Setelah dipanen, kopi akan dijemur di bawah matahari. Proses ini dinamakan natural. Setelah biji kopi dikupas, Pak Tris menyangrai kopi dengan cara tradisional, yakni di atas tungku kayu. 

Sebelum kami pamit, Pak Tris menyeduhkan kopi tubruk hasil olahannya. “Monggo incip kopi khas kampung dulu sebelum pulang,” kata Pak Tris mempersilakan.
Senang kali ini bisa camping tidak hanya untuk menyenangkan diri sendiri tetapi juga dapat ilmu dan pengalaman baru, ditambah bisa bertemu dengan orang-orang baru. Semoga bermanfaat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post ‘Camping’ Ceria di Hutan Pinus Loji Blitar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/camping-ceria-di-hutan-pinus-loji-blitar/feed/ 0 35452
Perjalanan ke Gunung Butak https://telusuri.id/perjalanan-ke-gunung-butak/ https://telusuri.id/perjalanan-ke-gunung-butak/#respond Fri, 03 Dec 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31514 Kedua kalinya saya mendaki, kali ini saya bersama teman-teman mendaki ke Gunung Butak yang terletak di antara Kabupaten Malang dan Blitar. Sebelumnya saya tidak ada rencana untuk trekking, karena sudah mau pulang ke kampung halaman....

The post Perjalanan ke Gunung Butak appeared first on TelusuRI.

]]>
Kedua kalinya saya mendaki, kali ini saya bersama teman-teman mendaki ke Gunung Butak yang terletak di antara Kabupaten Malang dan Blitar. Sebelumnya saya tidak ada rencana untuk trekking, karena sudah mau pulang ke kampung halaman. Tapi kapan lagi saya akan melakukan trekking jika tidak mengiyakan ajakan ini. Hampir saya menolak, tapi lebih banyak niat untuk mengiyakannya, kemudian saya melakukan negosiasi dengan orang tua. Barulah saya bergegas untuk ikut.

Rombongan kami berjumlah tujuh orang, tiga perempuan dan empat laki-laki. Kami berangkat dari Kota Malang dengan titik kumpul di daerah Tlogomas, rencana untuk kumpul ialah jam 06.30. Tapi seperti biasalah jam kami, adalah jam karet. Terdapat beberapa hal sehingga kami tidak tepat waktu, sehingga kami semua baru sampai di titik kumpul sekitar jam 08.30. Kemudian kami melakukan perjalanan untuk ke basecamp, dan tiba pukul 09.30. Sesampainya kami sampai di basecamp, kami melakukan pendaftaran dan packing ulang, karena ada beberapa barang yang harus di tata kembali. Tiket masuk untuk satu orang seingat saya adalah Rp15.000.

Pendakian dimulai kurang lebih pukul 10.00. Sebelum perjalanan mendaki kami melakukan doa bersama. Sebelumnya, tidak ada satupun dari kami yang pernah menuju Puncak Butak, sehingga kami masih buta tentang trek untuk menuju puncak dan kami mengandalkan peta yang sudah kami foto di basecamp.

Peta Gunung Butak
Peta Gunung Butak/Cindar Bumi

Ketinggian Gunung Butak 2.868 Mdpl, medan pertama yang kami lewati merupakan batuan kecil-kecil dan banyak pohon bambu, pisang dan sedikit tanaman pertanian, mungkin kurang lebih sekitar tiga puluh menit perjalanan kami nyasar. Ya, ini kesalahan kami memilih jalur kanan, yang harusnya ke kiri. Kami baru tahu kalau jalan yang kami lewati salah karena bertemu dengan seorang bapak-bapak sedang mengendarai motor dan membawa hasil ngarit rumput.

Beliau mengatakan bahwa “Mas-Mbak sampean nyasar kalau lewat sini, karena kalau lewat jalan ini, nanti tembusannya wisata Coban Rondo,” ketika kami tahu, bahwa kami salah jalan ya kami hanya tertawa dan mungkin semua ngebatin “Kok bisa sih, gimana ini yang baca peta?” Tapi tidak apa, rasanya juga sama semua mulai lelah, letih dan lesu. Tertawa lagi dan lagi sembari jalan putar balik, lanjut menelusuri jalan kesalahan untuk menuju jalan yang benar. Tidak ada yang bisa disalahkan di sini, ini konsekuensi pilihan kami.

Lanjut perjalanan saat itu matahari sedang terik-teriknya. Kami tetap harus menjaga semangat untuk sampai di puncaknya nanti, begitu juga turunnya. Menuju Butak terdapat empat pos, untuk menuju pos pertama estimasi waktu yang diperlukan adalah satu jam, namun kami menempuh dengan waktu dua jam, waktu terpotong karena sempat nyasar.

Perjalanan untuk menuju pos satu, semakin terik semakin terasa pula jauhnya, entah kenapa kami tidak sampai-sampai. Padahal kami terus berjalan, meskipun sering istirahatnya. Jargon atau motivasi kami untuk menuju pos satu adalah “semangat di depan ada es teh”.

Sesampainya kami di pos satu, disana kami melakukan makan siang dengan nasi pecel yang sudah dibawakan oleh salah satu anggota kami, setelah makan ada yang menunaikan ibadah dan menyeduh minuman saset rasa jeruk yang airnya berasal langsung dari sumber mata air. Suasana di pos satu, waktu itu tidak ramai oleh pendaki, hanya terdapat dua kelompok pendaki, mungkin kurang lebih satu kelompok berisi empat sampai lima personil, mereka juga akan melakukan perjalanan menuju Puncak Butak.

Di pos satu terdapat renovasi rumah-rumahan yang mungkin akan dijadikan tempat untuk persinggahan bagi para pendaki untuk melakukan istirahat. Saat kami istirahat di sana terlihat beberapa monyet yang sedang memperhatikan para pendaki, beberapa diantaranya duduk-duduk di atas pohon dan beberapa di pelataran pos satu.

Saat di pos satu kami diberitahu oleh salah satu penjaga warung bahwa jangan memberi makan monyet-monyet di sini, jika mau makan usahakan tidak ada monyet yang mengetahui, supaya makanan tidak direbut. Tujuan dari tidak diperbolehkannya memberi makan monyet adalah dikhawatirkan nantinya mereka akan mengambil atau menjadi terbiasa meminta makanan para pendaki. Di pos satu ini kami akhirnya menitipkan beberapa botol minuman, karena bekal air minum yang kita bawa terlalu banyak.

Gunung Panderman yang terlihat saat kami perjalanan
Gunung Panderman yang terlihat saat kami perjalanan/Cindar Bumi

Lanjut perjalanan menuju pos dua, belum ada lima belas menit kami berjalan. Terdapat dua teman saya yang kakinya kram, sehingga kami sering berhenti. Kram kaki mereka bisa jadi disebabkan oleh kebanyakan minum es, atau mungkin beban yang dibawa terlalu berat. Saat sampai di pos dua kami disini dapat melihat pemandangan Gunung Panderman.

Perjalanan menyusuri untuk sampai pos tiga merupakan perjalanan yang amat panjang, benar-benar panjang. Kami harus melalui Torong Dowo atau Hutan Lumut. Cahaya yang masuk di hutan lumut tidak begitu banyak, sehingga cahaya sedikit redup, redupnya cahaya ini semakin membuat hutan terlihat hijau namun gelap. Kanan-kiri banyak pepohonan dan bebatuan yang diselimuti oleh lumut, karena cahaya hanya sedikit yang masuk, rasa dingin sudah mulai terasa. 

Hari mulai gelap, sekitar pukul 17.30, kami masih belum sampai puncak atau sabana tempat yang merupakan destinasi untuk membangun tenda, estimasi yang kita gunakan sangat tidak tepat, alias meleset dari rencana. Semakin gelap, semakin lelah terasa, baru jalan dua menit, kami istirahat bisa menghabiskan lima sampai sepuluh menit, dan menurut saya medan semakin tinggi.

Kabut juga sudah mulai berdatangan, matahari mulai terbenam dan kami berjalan menggunakan senter dan flash ponsel masing-masing. Dalam benak saya yang benar-benar lelah “Saya bakal sampai puncak enggak ya?”

Lanjut berjalan, hingga kami memutuskan untuk membangun dua tenda di pos tiga, di sana yang laki-laki mulai melakukan pekerjaan domestic yaitu memasak makanan dan membuat minuman hangat. Sedangkan kami yang perempuan hanya berdiam diri di tenda. Ketika kami yang perempuan ingin membantu, mereka yang laki-laki bilang Udah nggak usah, di tenda saja!”

Menyenangkan, tapi agak merasa jadi beban juga, sebenarnya kami ingin melanjutkan lagi perjalanan sampai pos terakhir, tapi salah satu ketua pendaki veteran kita bilang “Udah besok saja, resikonya terlalu banyak, ini udah gelap, gerimis, dan kabut”. Oke tidak masalah, setelah kami makan malam, kami istirahat.

Keesokan harinya, saya merasa suhu udara sangat dingin, akhirnya saya menggunakan empat jaket, satu vest, tiga kaos kaki, dan sarung tangan tebal. Setidaknya ini membantu saya sedikit lebih hangat. Hari itu saya benar-benar ingin sekali matahari menampakan dirinya, agar saya merasakan hangatnya. Namun sayang sekali, mendung. Semakin mendekati puncak, angin semakin kencang. Saat menuju ke pos terakhir, saya benar-benar banyak berhentinya. Sampai akhirnya tas yang seharusnya menjadi kewajiban untuk saya bawa, dibawakan oleh rekan saya.

Bunga Edelweiss
Bunga Edelweiss/Cindar Bumi

Mau nangis rasanya saat benar-benar merasakan kedinginan, mungkin ini lebay, tapi memang dingin sekali.  Ada sesuatu yang membuat saya menjadi sedikit lebih semangat waktu itu, saya diberikan kesempatan oleh Tuhan melihat bunga edelweiss yang mulai bermekaran. Di sini saya baru tahu bahwa tanaman edelweiss ini bisa tinggi, mungkin tiga sampai lima meter. Entah kenapa rasanya senang saja, ketika melihatnya. Mood saya seketika membaik.

Sesampainya di puncak Cemoro Kandang atau Sabana sekitar pukul 09.00, kami membangun satu tenda untuk beristirahat. Menyalakan kompor untuk memasak sarapan sekaligus makan siang, lalu tak ketinggalan untuk mendokumentasikan perjalanan ini.

Sekitar pukul 12.00 kami mulai membereskan peralatan masak dan tenda. Sekali lagi sangat-sangat sayang, kami semua tidak ada yang summit menuju Puncak Butak, karena kami sudah terlanjur tepar terlebih dahulu. Kami juga menyimpan energi untuk turun ke basecamp.

Perjalanan turun memang lebih cepat nyatanya, tapi kami sampai di pos satu hari sudah mulai gelap. Saat itu juga, alam ini sedang kurang bersahabat ya dengan kami. Ketua pendaki kami selalu mengatakan “Sebentar lagi kita sampai basecamp, dengarkan ada suara adzan, lihat ada lampu, itu rumah penduduk, di sana ada warung!” Kalimat motivasi tapi sungguh menyebalkan. Karena kalau capek ya capek aja, tapi terima kasih ketua sudah memberi semangat kami. 

Meskipun tidak sampai puncak, tapi terima kasih telah membuat kenangan dengan perjalanan yang panjang meninggalkan kenangan manis.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Perjalanan ke Gunung Butak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-ke-gunung-butak/feed/ 0 31514
Pantai Pulodoro, Sebuah Kesunyian https://telusuri.id/pantai-pulodoro/ https://telusuri.id/pantai-pulodoro/#respond Thu, 10 Jun 2021 00:44:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28203 Mencari informasi mengenai Pantai Pulodoro di Google, akan tersaji sebuah berita terkait penemuan mayat tanpa kepala. Sungguh terdengar menyeramkan. Nama Pantai Pulodoro memang terdengar cukup asing di telinga para wisatawan bahari Malang Selatan apabila dibandingkan...

The post Pantai Pulodoro, Sebuah Kesunyian appeared first on TelusuRI.

]]>
Mencari informasi mengenai Pantai Pulodoro di Google, akan tersaji sebuah berita terkait penemuan mayat tanpa kepala. Sungguh terdengar menyeramkan. Nama Pantai Pulodoro memang terdengar cukup asing di telinga para wisatawan bahari Malang Selatan apabila dibandingkan dengan Pantai Sendang Biru, Pantai Tiga Warna, Pantai Balekambang, Pantai Goa Cina dan pantai terkenal lain di Kabupaten Malang. Tidak mengherankan apabila pantai ini layak dijadikan destinasi wisata favorit bagi orang-orang yang menghindari kerumunan pengunjung. Pantai Pulodoro berlokasi di Desa Banjarejo, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Kecamatan paling barat di Kabupaten Malang yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Blitar.

Pada awalnya, saya sendiri tidak pernah tertarik untuk mengetahui pantai-pantai di kawasan Kecamatan Donomulyo karena terlampau jauh untuk dijangkau dari Kota Malang. Akhirnya sebuah ajakan dari seorang teman, mampu menggoyahkan diri. Ia menjanjikan bahwa tidak hanya keindahan satu pantai yang terpampang, namun hidangan berupa keelokan beberapa pantai dalam satu kawasan di Pantai Pulodoro akan memanjakan. Saya pun dengan yakin mengiyakan tawaran tersebut.

Seperti pada umumnya ketika mengunjungi pantai di kawasan Malang Selatan. Suguhan pemandangan khas pedesaan dan hutan lindung begitu terasa. Karena bukan menjadi salah satu pantai favorit pengunjung. Rute perjalanan yang menghadang begitu membuat produksi hormon adrenalin meningkat. Melewati jalanan berbatu yang membelah hutan menjadi tantangan tersendiri selama kurang lebih tiga puluh menit lamanya.

Pantai Bantol/Melynda Dwi Puspita

Begitu sampai pada sebuah bangunan berbahan kayu, kami mengistirahatkan motor yang sedari tadi dipaksa menghadapi jalanan terjal berliku. Kami sodorkan uang beberapa puluh ribu dari dompet yang tersimpan rapi di dalam tas, kepada seorang pria yang nampak asyik bermain dengan kepulan asap rokok. Kemudian kami langkahkan kaki menuju gundukan pasir bebatuan kapur yang cukup menukik. Dengan sisa tenaga yang sedikit terkuras selama perjalanan, kami menerobos hambatan yang ada di depan mata. Sayup-sayup irama gempuran ombak membangkitkan semangat. 

Hingga tiba waktunya untuk kami dapat berdiri di atas luasnya hamparan pasir putih kecoklatan dengan batuan kecil yang menyebar. Pantai itu ialah Pantai Bantol, sebagai awalan dan penawar rasa lelah bagi kami. Bibir pantai cukup panjang sehingga bisa membuat kami merasa menjadi sosok mini yang hidup di dunia. Terjangan ombak pun hanya mencapai pulau karang yang tersedia jauh di depan mata. Tidak lama waktu yang kami habiskan, hingga akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Pantai Watu Seling Buceng/Melynda Dwi Puspita

Kebahagiaan kami segera sirna ketika harus melewati rawa-rawa dan kawasan hutan mangrove yang masih asri. Ia, hanyalah satu-satunya jalan yang harus diseberangi. Hening, selain hanya terdengar suara hewan-hewan asing yang menemani. Namun angan menikmati suasana Pantai Pulodoro menjadi pemicu kami untuk lanjut menelusuri. 

Sebaran batuan putih dengan ukuran lebih besar menyambut kami. Batu-batu karang juga tidak malu menampakkan dirinya. Air laut menjauh dari bibir pantai saat kami mencoba mendekati. Ia adalah Pantai Watu Seling Buceng, pantai kedua yang kami temui sebelum menuju tujuan utama. Tidak hanya kami berdua yang berusaha mengarahkan pandangan ke arah lautan. Namun juga terdapat beberapa orang bersenda gurau di dalam sebuah tenda berwarna jingga dengan pintu terbuka.

Pantai Kedung Celeng/Melynda Dwi Puspita

Melanjutkan perjalanan ke sisi barat, tidak hanya bentangan pasir pantai yang menyambut. Namun ada pula kumpulan tanaman waru yang mengering terkena sengatan sinar matahari. Terlihat juga sebuah penyekat, yaitu pulau karang di sebelah kanan. Gulungan ombak lebih besar dibandingkan dua pantai sebelumnya yang telah dilalui. Pantai Kedung Celeng menjadi penanda, petualangan hampir berakhir.

Beberapa hewan bercangkang hitam dengan duri-duri panjang juga hadir. Walaupun tak bernyawa lagi, cangkang Bulu Babi itu sempat mengingatkan kami akan beranekaragamnya ciptaan Tuhan. Terlihat pula sebuah batu karang yang telah memutih terseret ombak dan memutuskan menetap di pinggir pantai.

“Tinggal sedikit lagi,” suara-suara bermunculan di dalam pikiran. Segera kami berusaha mengeluarkan sisa energi demi menengok salah satu keajaiban alam. Dua pulau karang menyapa kami, ombak pun jauh dari jangkauan. Hanya ada kumpulan air asin tenang membentuk cekungan seperti setengah lingkaran. Bak sebuah kolam pribadi, banyak orang yang memanfaatkannya sebagai wahana untuk berenang ataupun sekadar membasahi raga. Air laut pun jernih berwarna kehijauan menambah kesejukan. Akhirnya kami mencapainya, Pantai Pulodoro, pantai keempat, sekaligus yang terakhir.

Tidak membawa bekal dan peralatan, sehingga kami memutuskan untuk bersandar pada sebuah pohon. Mengamati perilaku alam, ataupun menengok pengunjung lain yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Berusaha menghimpun lagi bahan bakar untuk modal mengakhiri perjalanan. Ingin rasanya menanti mentari kembali ke tempat peristirahatan. Sayang jarak dan waktu yang membatasi impian.

The post Pantai Pulodoro, Sebuah Kesunyian appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pantai-pulodoro/feed/ 0 28203
Merasakan Jatuh Bangun di Pantai Peh Pulo https://telusuri.id/merasakan-jatuh-bangun-di-pantai-peh-pulo/ https://telusuri.id/merasakan-jatuh-bangun-di-pantai-peh-pulo/#respond Thu, 20 May 2021 01:22:00 +0000 https://telusuri.id/?p=27893 Blitar tidak hanya dikenal dengan Museum Bung Karno dan Wisata Kampung Coklat-nya saja. Namun, salah satu kota di Jawa Timur yang berbatasan dengan kabupaten Malang ini juga menyuguhkan wisata pantai yang menarik untuk dikunjungi. Tidak...

The post Merasakan Jatuh Bangun di Pantai Peh Pulo appeared first on TelusuRI.

]]>
Blitar tidak hanya dikenal dengan Museum Bung Karno dan Wisata Kampung Coklat-nya saja. Namun, salah satu kota di Jawa Timur yang berbatasan dengan kabupaten Malang ini juga menyuguhkan wisata pantai yang menarik untuk dikunjungi. Tidak mengherankan apabila Blitar mendapatkan julukan “Seribu Pantai.”

Dengan menumpang kereta api lokal dari Malang, saya nekat untuk sambang ke indekos salah satu teman yang sedang berkuliah di sebuah kampus negeri di Kota Blitar. Perjalanan hanya memakan waktu kurang lebih dua hingga tiga jam. Sesampainya di Blitar, saya langsung disambut dengan pertanyaan, “mau ke pantai mana?” Saya yang baru pertama kali ke Blitar dibuat kebingungan.“Terserah, yang penting sepi dan ada tulisannya.”

Perjalanan dimulai keesokan harinya. Saya dan tiga orang yang lain sempat mampir ke sebuah kedai yang menjual sate tahu, salah satu makanan khas Kota Blitar. Makanan tersebut kami jadikan bekal untuk mengganjal perut saat telah tiba di pantai. 

Pantai ini terletak di Desa Sumbersih, Kecamatan Panggungrejo, Kabupaten Blitar. Dengan mengemudikan dua kendaraan bermotor, kami mencoba melalui jalan yang ditunjukkan oleh arah anak panah Google Maps. Kami juga melewati kawasan yang seluruhnya hutan, hanya dibelah oleh jalanan berbeton. Total waktu perjalanan kira-kira selama dua jam dari pusat Kota Blitar. Karena saat itu musim hujan, kami harus dihadapkan oleh jalanan setapak ekstrem penuh lubang dan berlumpur. Hingga motor teman saya harus terperosok ke dalam parit. Bukannya menolong, kami malah tertawa (jangan ditiru).

Setelah sempat bergulat dengan kondisi jalan yang sungguh menguras tenaga. Sayup-sayup terdengar suara deburan ombak menghantam karang. Tidak ada biaya masuk, hanya ada biaya parkir sebesar lima ribu rupiah. Selanjutnya kami menarik langkah kaki menuju sebuah gubuk kayu di pinggir pantai. Segera kami membuka pembungkus kertas sate tahu yang sedari tadi tersimpan rapi di dalam tas. Sungguh nikmat rasanya merasakan gurih dan manisnya bumbu kacang sate tahu sembari melemparkan pandangan ke arah lautan Samudra Hindia.

Pantai Peh Pulo/Melynda Dwi

Seperti halnya slogan yang tertempel pada papan kayu di bibir pantai ini. ‘Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak/mantan’, kami tidak lupa untuk segera membuang kertas pembungkus pada sebuah tempat berbentuk bundar berisikan beragam jenis sampah. Sungguh beruntung, karena hanya kami bertiga yang menjadi pengunjung. Nampak air laut meninggi menutupi batuan karang. Terhampar beberapa tebing batu karang, tidak mengherankan jika Pantai Peh Pulo disebut sebagai Raja Ampat-nya Blitar. Sepertinya pantai ini belum dikelola oleh Pemerintah ataupun swasta. Sehingga keasrian dan kealamiannya benar-benar masih terjaga. Namun jangan khawatir, karena sudah ada toilet dan musala.

Tidak ada aktivitas yang terlihat, hanya ada seorang nelayan yang tengah memperbaiki jala. Serta tampak dari kejauhan sebuah bangunan sederhana bertuliskan ‘warung’. Tanpa pikir panjang kami menghampiri pemilik warung untuk meminta membuatkan kami beberapa gelas es degan (kelapa muda). Saya yang sedari awal merasakan peluh terus mengucur, langsung saja memesan dua gelas sekaligus. Makanan dan minuman yang ditawarkan terhitung sangat terjangkau. Hanya dengan mengeluarkan uang sebesar tiga ribu rupiah, sudah bisa menikmati segelas es kelapa muda. Bahkan terdapat juga menu olahan seafood seperti ikan bakar yang ditangkap langsung oleh nelayan.

Foto Pemandangan dari Atas Bukit/Melynda Dwi

Setelah merasa stamina telah terkumpul, kami memutuskan untuk menikmati view dari atas bukit. Diawali dengan melewati jembatan bambu, kami harus menghadapi jalanan menanjak melawan gravitasi bumi dengan berjalan kaki. Kami disuguhkan dengan sebuah perkebunan jagung yang telah nampak menguning. Tidak melewatkan kesempatan, kami sempat untuk mengabadikan foto diantara rimbunnya pohon jagung. Terlihat pula sebuah tumpukan kayu bekas api unggun yang menandakan bahwa telah ada manusia yang camping disini sebelumnya. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan menuju sebuah tebing beralas tanah. Pemandangan gundukan pasir membentuk perbukitan sungguh memanjakan mata. Untuk beberapa menit kami mengamati pergolakan air laut dari atas. Namun tiba-tiba ombak menyambar tebing yang kami singgahi. Masih beruntung kami tidak mengalami suatu hal yang tidak diinginkan.

Foto Batu Karang/Melynda Dwi

Selanjutnya kami berkeinginan sejenak merasakan dinginnya air laut Pantai Peh Pulo. Saat mentari semakin terik, nampak air laut telah menjauh dari bibir pantai. Batu-batu karang tanpa ragu muncul ke permukaan. Bergegas kami menuruni bukit dan singgah sejenak ke sebuah warung yang tadi didatangi. Hanya saya yang membeli es kelapa muda lagi. Total ada tiga gelas es kelapa muda yang telah saya teguk dalam sehari. “Ya Allah, Mbak Mel, awas jadi sapi gelonggongan,” ucap seorang perempuan berkerudung navy panjang. Saya hanya membalasnya dengan tertawa kecil.

Saat menuju gugusan batu karang yang tertutup lumut. Kami menjumpai sosok kecil penghuni laut, semacam cacing yang terbawa oleh air pasang. Kami hanya menatapnya dari kejauhan karena merasa geli. Kami lebih tertarik untuk menikmati suara ombak dan hembusan angin yang terus menerpa.

The post Merasakan Jatuh Bangun di Pantai Peh Pulo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merasakan-jatuh-bangun-di-pantai-peh-pulo/feed/ 0 27893
Cara Candi Penataran “Mengawetkan” Hewan https://telusuri.id/cara-candi-penataran-mengawetkan-hewan/ https://telusuri.id/cara-candi-penataran-mengawetkan-hewan/#respond Wed, 30 Dec 2020 07:12:23 +0000 https://telusuri.id/?p=26069 Candi Penataran yang terletak di Blitar merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Jawa Timur dan terbesar kedua di Indonesia. Di sana, hewan-hewan juga "diawetkan".

The post Cara Candi Penataran “Mengawetkan” Hewan appeared first on TelusuRI.

]]>
Kota Blitar memang telah masyhur dengan sebutan kota sang proklamator karena Bung Karno dimakamkan di sana, namun terdapat ikon lain yang tidak bisa diabaikan begitu saja dari Blitar, yakni kompleks Candi Penataran.  Satu fakta menarik tentang Candi Penataran yakni kompleks ini merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Jawa Timur dan terbesar kedua di Indonesia setelah kompleks Candi Prambanan.

Kompleks Candi Penataran terletak di Desa Penataran, Nglegok, Kabupaten Blitar. Untuk memasuki kompleks candi pengunjung dikenakan biaya perawatan sebesar Rp3.000 pada hari kerja. Sementara saat akhir pekan, pengunjung dikenakan biaya Rp5.000 per orang. Kompleks Candi Penataran ini dibuka setiap hari, mulai pukul 08.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB.

Setiap candi selalu punya cerita istimewa karena tak ada sejarah yang biasa-biasa saja, namun ada dua hal unik dari kompleks candi Penataran ini. Yang pertama yaitu keberadaan relief bergambar hewan dan kedua yaitu keberadaan sumber mata air yang sangat jernihyang konon tak pernah sekalipun mengalami kekeringan.

Bulan September lalu, saya diberikan kesempatan untuk menapakkan kaki ke Candi Penataran bersama enam sahabat, tentunya setelah berziarah ke tempat peristirahatan terakhir Bapak Ir. Soekarno.

Candi Penataran Blitar

Candi Penataran Blitar

Belajar Menebak Hewan di Candi Penataran

Sebagian besar candi di Jawa kerap dilengkapi dengan ukiran relief pada dinding-dinding candinya (seperti Prambanan dan beberapa candi lainnya). Uniknya, di lantai dasar candi induk kompleks Penataran, terdapat relief yang berupa medalion hewan.

Perlu diketahui bahwa medalion menurut Sahid Teguh Widodo dalam karyanya yang berjudul Medalion: Ragam Hias Relief Candi Jawa adalah ukiran batu yang berbentuk bulat pipih (seperti medali) dan terbuat dari batu purba. Ukiran ini terdapat pada bagian dinding candi sebagai ornamen relief candi.

Jenis-jenis hewan yang menjadi ‘model’ medalion candi Penataran cukup bervariasi. Sebut saja seperti naga, anjing, angsa, ayam jantan, babi hutan, buaya, burung merak, burung bangau, burung hantu, itik, kadal, kerbau, landak, kuda, kucing, komodo, sapi, rusa, tikus, musang, dan harimau.

Candi Penataran Blitar

Pada akhirnya, medalion hewan di candi Penataran merupakan wujud upaya candi Penataran dalam “mengawetkan” hewan sejak abad ke-12 (ratusan tahun lalu). Jadi, hewan-hewan yang terdapat dalam medalion adalah hewan-hewan yang telah ada sejak abad ke-12 dan beberapa masih ada hingga saat ini.

Beberapa pakar sejarah mengungkapkan bahwa latar belakang “pengawetan” adalah simbolisasi dari kekuasaan Dewa Siwa yang menguasai segala jenis hewan. Dalam agama Hindu, Dewa Siwa adalah dewa yang paling pertama ada sekaligus sebagai pemimpin dari dewa-dewa yang lain. Oleh sebab itu, wajar jika di candi-candi Hindu ditampilkan sebuah perlambang tentang kehebatan Dewa Siwa.

Asyiknya lagi, pengunjung bisa bermain tebak-menebak hewan apa yang tergambar dalam medalion (sebab secara sekilas, bentuk babi seakan mirip dengan badak atau bentuk kadal yang seakan mirip dengan komodo). Atas dasar ketidakpastian tersebut, tebak-tebakan jenis hewan akan menjadi permainan yang menyenangkan sekaligus penambahan wawasan dengan tanpa menyentuh buku pelajaran.

Candi Penataran Blitar

Kejernihan dan kepercayaan di sumber mata air Candi Penataran

Tak jauh dari candi, hanya sekitar 100 meter di belakang, terdapat sebuah sumber mata air yang dihuni oleh pelbagai ikan dengan ukuran yang cukup besar. Sumber mata air ini sangat jernih, sehingga tampak berwarna biru dari jauh. Sumber mata air ini juga dipercaya sebagai tempat mengambil air suci yang akan digunakan dalam upacara dewa gunungketerangan ini agaknya sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan kesakralan sumber mata air ini

Candi Penataran Blitar

Konon, sumber mata air ini selama ribuan tahun tak pernah mengalami kekeringan. Mitos yang beredar tentang sumber mata air ini adalah keberadaan tulang belulang lele di dasar sumber yang dipercaya dapat menjanjikan kekayaan, pengabulan permintaan, dan wajah yang awet muda (harapan khas manusia Indonesia). 

Kini, tulang belulang ikan lele memang tak lagi terlihat, sehingga beberapa pengunjung biasa menggunakan air sumber ini untuk membasuh wajah dengan harapan awet muda. Sementara beberapa pengunjung sisanya melemparkan koin dengan cara memunggungi kolam. Jika koin berhasil masuk ke kolam, makamenurut kepercayaan masyarakat setempatpermintaannya akan dikabulkan. Tak jarang ditemui beberapa bekas sesajen berserakan, tanda bahwa tempat ini masih dipercaya menyimpan kekuatan tak kasat mata.

Ada pemandangan unik di area sekitar kolam, yakni sebuah relief yang berbentuk seseorang dengan tangan yang memegang kemaluan. Awalnya terkesan jorok, namun setelah direnungi dengan hati-hati agaknya relief ini merupakan isyarat tentang imbauan kepada pengunjung agar berhati-hati dalam menjaga kemaluannya di area kolam (tidak boleh kencing sembarangan).

Akhir kata, untuk kamu yang hatinya dirundung penasaran akan Candi Penataran, silakan berkunjung  ke sana.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cara Candi Penataran “Mengawetkan” Hewan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cara-candi-penataran-mengawetkan-hewan/feed/ 0 26069
Menelusuri Jejak Proklamator Indonesia di Museum Bung Karno https://telusuri.id/menelusuri-jejak-proklamator-indonesia-di-museum-bung-karno/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-proklamator-indonesia-di-museum-bung-karno/#respond Mon, 28 Dec 2020 11:39:57 +0000 https://telusuri.id/?p=26067 Segala kisah tentang Bung Karno selalu menarik untuk sekadar didengar atau diceritakan ulang. Mulai dari cerita perjuangan dalam memerdekakan bangsa Indonesia hingga cerita-cerita menarik lain seperti lukisan dan tempat peristirahatan terakhirnya. Tak jauh dari makam...

The post Menelusuri Jejak Proklamator Indonesia di Museum Bung Karno appeared first on TelusuRI.

]]>
Segala kisah tentang Bung Karno selalu menarik untuk sekadar didengar atau diceritakan ulang. Mulai dari cerita perjuangan dalam memerdekakan bangsa Indonesia hingga cerita-cerita menarik lain seperti lukisan dan tempat peristirahatan terakhirnya. Tak jauh dari makam beliau yang terletak di Jalan Ir. Soekarno nomor 152, Blitar, terdapat Museum Bung Karno yang menyimpan beberapa koleksi peninggalannya.

Di Museum Bung Karno kita bisa melihat benda-benda dengan nilai artistik tinggi; benda-benda unik; hingga sebuah lukisan yang menyiratkan pesan mistik. Untuk melihat semua itu, cukup dengan donasi seikhlasnya sebagai tiket masuk. Museum ini buka setiap hari, mulai pukul 08.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB.

Kabar terbaik dari sekian banyak ungkapan yang telah disampaikan sebelumnya adalah saya dan enam orang rekanyang sudah seperti keluarga sendiripada bulan September lalu berkesempatan untuk berkunjung ke sana. Dan, kali ini saya akan menceritakannya.

Museum Bung Karno Blitar

Deret lukisan para pejuang Indonesia di Museum Bung Karno/Akhmad Idris

Peninggalan Bung Karno yang Unik dan Artistik

Di museum Bung Karno, saya dimanjakan dengan pelbagai koleksi yang meliputi buku-buku tulisan Bung Karno; kisah hidup Bung Karno; koleksi lukisan, koleksi audio visual; hingga patung Bung Karno.

Karya tulis Bung Karno menjadi bukti bahwa beliau tak hanya memberikan arahan, namun juga menambah wawasan. Kumpulan buku tentang perjalanan hidup beliau juga diharapkan memberi motivasi terhadap generasi masa kini bahwa perjuangan tidak dapat dilakukan hanya dengan berpangku tangan sembari berharap keajaiban datang. Jajaran lukisan, baik lukisan wajah Bung Karno maupun wajah-wajah para pahlawan yang lain seolah memberikan imajinasi pada penikmatnya tentang kelekatan antara perjuangan dan pengorbanan.

Selain koleksi-koleksi tersebut, juga terdapat koleksi barang-barang pribadi Bung Karno. Terdapat baju putih peninggalan Bung Karno yang sudah tampak lusuh karena usia, namun upaya pengawetan pihak museum membuatnya tidak sampai rusak. Selain baju, juga terdapat koper tua berwarna hitam namun tetap memiliki kesan kewibawaan. Tak ketinggalan juga koleksi uang seri Bung Karno mulai dari tahun 1964. Dari koleksi-koleksi klasik ini manusia akan menyadari bahwa hal-hal yang ketinggalan zaman tidak selalu harus ditinggalkan, sebab kelak kenangan akan menjadi hal yang paling dicari ketika semuanya perlahan mulai pergi dan tak kembali.

Museum Bung Karno Blitar

Lukisan Bung Karno/Akhmad Idris

Pada akhirnya, semua benda-benda bersejarah ini seolah-olah mampu bercerita tentang perjuangan para pahlawan lewat jepretan-jepretan foto hitam-putih di masa penjajahan; tentang kegigihan merebut kemerdekaan lewat wajah-wajah pantang menyerah dari jajaran lukisan; dan tentang kedalaman wawasan pengetahuan lewat karya-karya tulisnya yang tetap saja abadi meski mati adalah satu di antara hal yang pasti.

Lukisan Bung Karno di sudut museum

Ada sebuah pemandangan menarik di sudut ruangan museum bagian barat, tepatnya di sebuah lukisan yang berbingkai kayu dengan corak keemasan. Banyak orang yang berkerumun mengamati lukisan tersebut dengan saksama. Ada yang berpindah dari sisi kiri ke kanan dan juga sebaliknya.

Lukisan dengan gambar Bung Karno yang sedang mengangkat tangan kanannya inilah yang menurut sebagian besar orang bahwa jantungnya seolah-olah sedang berdetak. Jika diperhatikan dengan teliti, memang pada area tengah lukisan tampak bergetar (entah karena angin, perbandingan panjang & lebar, atau memang karena faktor mistis).

Makam Bung Karno Blitar

Berziarah ke makam Bung Karno/Akhmad Idris

Konon sosok jin dari Gunung Kelud merasuk ke dalam lukisan tersebut sehingga membuatnya seakan-akan berdetak. Entahlah, namun satu hal yang pasti, lukisan ini menggambarkan pesan Bung Karno tentang perjuangan kemerdekaan yang harus terus dilanjutkan.

Berziarah ke Makam Bung Karno

Setelah puas melihat-lihat koleksi di museum, saya langsung menuju kompleks pemakaman Bung Karno. Berziarah adalah cerita perjalanan keabadian, bahwa satu-satunya perjalanan yang abadi adalah mati. Di hadapan sebuah batu besar dengan nama Bung Karno, para pengunjung bisa sejenak duduk takzim untuk menengadahkan tangan; menundukkan kepala; atau sekadar memejamkan mata demi sebuah doa yang dihaturkan untuk salah satu sosok yang membuat rakyat Indonesia kini bisa bernapas lega.

Di akhir kunjungan, pengunjung akan diarahkan menuju jalan keluar dengan melewati area semacam pasar oleh-oleh yang menawarkan pelbagai souvenir yang berhubungan dengan Bung Karno dan kota Blitar. Akhir kata, berziarah dan berwisata memang jelas dua hal yang sangat berbeda, namun melakukan dua hal tersebut dalam satu waktu adalah sebuah anugerah. Terima kasih untuk Bapak Ir. Soekarno atas jerih, kasih, dan gigih untuk kebebasan bumi pertiwi. Bermula dari kebebasan itulah, saya dengan leluasa bisa merampungkan barisan kata ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Proklamator Indonesia di Museum Bung Karno appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-proklamator-indonesia-di-museum-bung-karno/feed/ 0 26067
Nasibmu, Bung! https://telusuri.id/nasibmu-bung/ https://telusuri.id/nasibmu-bung/#comments Fri, 09 Jun 2017 18:00:43 +0000 https://telusuri.000webhostapp.com/?p=74 “Berapa orang, mas?” Tanya seorang petugas pria bertopi yang berjaga di balik meja resepsionis. Adegan ini terjadi dalam sebuah ruangan, semacam tempat penyambutan tamu, di kompleks Makam Bung Karno. “Sendiri, pak,” jawab saya. Pria itu...

The post Nasibmu, Bung! appeared first on TelusuRI.

]]>
“Berapa orang, mas?” Tanya seorang petugas pria bertopi yang berjaga di balik meja resepsionis. Adegan ini terjadi dalam sebuah ruangan, semacam tempat penyambutan tamu, di kompleks Makam Bung Karno.

“Sendiri, pak,” jawab saya. Pria itu menyuruh saya untuk langsung masuk saja, tanpa harus mengisi buku tamu. Jika datang beramai-ramai barulah pengunjung diperkenankan mengisi buku tamu, itupun hanya perwakilan saja.

Agak-agaknya pengisian buku tamu hanya penyamaran atas penarikan sumbangan. Tadi, ketika pengantre depan saya menanyakan mengenai bea masuk, sang petugas hanya menjawab, “seikhlasnya.” Jawaban yang elegan, namun membingungkan.

Betapa besar Bung Karno. Dalam keadaan bernyawa maupun tidak ia tetap memberikan manfaat pada masyarakat banyak. Dahulu ketika hidup, ia berjibaku melawan penjajah. Kerap ia diasingkan dan dibuang oleh Belanda dan Jepang. Sementara, oleh rekan sebangsa yang tidak sepaham, ia dihujat dan dituduh sebagai kolaborator Jepang. Semua ia terima demi mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Dan kemudian setelah kemerdekaan Indonesia ia proklamirkan dan rezim berganti, ia diasingkan dari rakyatnya sendiri.

Kini setelah ia wafat, para tukang becak, pedagang makanan, pedagang souvenir, sampai pengelola makamnya di Blitar, menggantungkan hidup pada nama besar beliau.

Duduk bersama di depan gerbang Makam Bung Karno/Fuji Adriza

Saya sengaja membawa sarung dari Jogja. Walaupun disebut sebagai tempat wisata, tempat ini tetaplah makam. Dan ketika berada di makam seseorang wajib menjaga sopan santun. Dengan sarung terlilit rapi saya masuk melalui gerbang raksasa yang memisahkan bagian dalam makam dengan bagian luar. Dari gerbang, saya dapat melihat cungkup makam berbentuk Joglo di mana makam Bung Karno berada. Cungkup makam itu diberi nama Astono Mulyo. Astono, yang berasal dari bahasa Jawa, berarti tempat terhormat bagi peristirahatan orang yang sudah wafat. Sementara kata Mulyo diambil dari nama lokasi makam ini dahulunya, yaitu Pemakaman Umum Karang Mulyo.

Di dalam sudah banyak orang yang sebagian besar berbusana muslim. Mereka duduk membentuk setengah lingkaran konsentris, berpusat pada Makam Bung Karno, sedang memanjatkan doa kepada Sang Pencipta demi keselamatan Sang Proklamator di alam baka.

Selain makam Bung Karno sebagai obyek utama, di luar pagar terdapat gedung yang difungsikan sebagai museum dan perpustakaan. Sebuah patung Bung sedang duduk diletakkan di sana. Dan di antara museum dan makam, terhampar sebuah ruang terbuka luas. Dindingnya dihiasi relief bernuansa perjuangan, tiang-tiang sebagai hiasan didirikan berjejer utara-selatan.

Makam Bung Karno terletak di tengah, diapit oleh makam Raden Soekeni Sosrodihardjo dan Ida Aju Njoman Rai, ayah dan bundanya. Ukuran makam Bung Karno terlihat lebih besar dibanding makam kedua orangtuanya. Di bagian kepala, sebuah nisan pualam hitam raksasa buatan Tulungagung berdiri gagah, dengan tulisan yang menyatakan bahwa jasad Soekarno, proklamator Republik Indonesia, terbaring di sana.

Makam yang selalu ramai oleh peziarah/Fuji Adriza

Yang membuat saya terkejut, di bagian kepala dan kaki makam Bung Karno pengelola menaruh sebuah wadah serupa kotak infak. Bedanya ini terbuat dari pualam putih berhias ukiran sederhana dan terbuka. Wadah itu penuh oleh uang kertas pemberian pengunjung. Setiap beberapa menit pengelola meraup dan memasukkan uang-uang tersebut ke dalam kantong kresek hitam. Entah selanjutnya akan dibawa ke mana.

Melihat itu amarah saya berkobar. Ini namanya penghinaan. Bung Karno seperti disamakan dengan jalan rusak; sementara diperbaiki, beberapa orang berdiri di tengah jalan sambil membawa kardus bertuliskan “sumbangan.” Seharusnya Pemerintah Kota Blitar tidak mengizinkan adanya permintaan sumbangan dalam bentuk apapun kepada pengunjung makam.

Kita harus sadar bahwa Bung Karno adalah seorang proklamator, seorang bapak bangsa yang ketika hidup dikenal memiliki harga diri tinggi. Ia dihormati oleh sementara pemimpin dunia. Adalah sebuah keniscayaan bahwa ia harus dihargai dan diperlakukan dengan patut, meskipun sudah meninggal. Dan rasa-rasanya mustahil ia akan mengizinkan makamnya dijadikan wahana untuk menangguk keuntungan. Terlebih dengan cara yang mengoyak harga diri serupa menaruh wadah infak.

Ruang terbuka di depan gebang makam Bung Karno

Ruang terbuka di depan gebang makam Bung Karno/Fuji Adriza

Menghargai pahlawan bagi kita baru sebatas memajang gambarnya di uang kertas, memajang fotonya di dinding kelas, menamai jalan dengan nama mereka, atau memberinya gelar Pahlawan Nasional. Apalah artinya itu semua jika kita tidak mengenal orang-orang yang kita sebut pahlawan. Bagaimana mereka hidup, bagaimana mereka meninggal, dan setelah meninggal di mana mereka dikuburkan; apakah ada yang menginjak-injak harga diri para pahlawan itu dengan meletakkan wadah infak di dekat tempat mereka berbaring untuk selama-lamanya?

Langkah saya gontai ketika berjalan turun ke arah stasiun. Rasa muak yang dihasilkan oleh perasaan terhina dan rasa pusing menyusuri labirin deretan toko penjual oleh-oleh membuat saya tidak begitu bersemangat untuk melangkahkan kaki. Saya jadi insyaf bahwa bangsa kita belum sepenuhnya menghayati arti menghargai pahlawan.


Sebelumnya dimuat di e-magz Backpackidea dan blog pribadi Fuji Adriza.

The post Nasibmu, Bung! appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/nasibmu-bung/feed/ 1 74