bogor Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bogor/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 27 Jun 2025 07:55:03 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 bogor Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bogor/ 32 32 135956295 Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor https://telusuri.id/dari-kopi-hingga-tradisi-mengenal-perhutanan-sosial-di-kampung-kampung-bogor/ https://telusuri.id/dari-kopi-hingga-tradisi-mengenal-perhutanan-sosial-di-kampung-kampung-bogor/#respond Fri, 27 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47558 Hari itu, embun masih menggantung di ujung daun, dan suara ayam kampung membelah pagi di kaki Gunung Salak. Seorang mahasiswa dari Singapura tampak berhenti sejenak, menatap sawah yang menghampar di hadapannya. Di tangannya, sebilah daun...

The post Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor appeared first on TelusuRI.

]]>
Hari itu, embun masih menggantung di ujung daun, dan suara ayam kampung membelah pagi di kaki Gunung Salak. Seorang mahasiswa dari Singapura tampak berhenti sejenak, menatap sawah yang menghampar di hadapannya. Di tangannya, sebilah daun singkong sebentar lagi akan diubah menjadi wayang. Di sekelilingnya, tawa orang-orang di kampung bersahut-sahutan, bercampur aroma bandrek yang mengepul dari dapur kayu di pendopo kampung adat.

Bagi sebagian orang, belajar mungkin identik dengan ruang kelas, layar presentasi, atau tumpukan buku. Tapi bagi mereka yang ikut dalam perjalanan ini, belajar justru dimulai saat kaki menjejak tanah, saat tangan kotor oleh lumpur sawah, saat cerita-cerita dari warga desa menyelinap perlahan ke dalam kesadaran, mengubah cara pandang tentang hutan, pangan, dan hidup itu sendiri.

Inilah yang disebut experiential learning, sebuah pendekatan belajar yang tumbuh dari pengalaman langsung. Bukan sekadar mendengar teori, tapi turut mengalami dan merasakan napas kehidupan masyarakat yang menggantungkan harap pada hutan dan tanah. Di kawasan social forestry (perhutanan sosial atau sosial forestri), proses belajar menjadi sesuatu yang hidup, konkret, dan bermakna.

Perhutanan sosial di Indonesia bukan hal baru. Di banyak kampung, hubungan masyarakat dengan hutan telah berlangsung jauh sebelum istilah itu diperkenalkan. Hutan bukan hanya sumber kayu atau hasil kebun, melainkan juga ruang spiritual, warisan nenek moyang, dan pondasi ekonomi keluarga. Di sinilah nilai-nilai kemandirian, gotong royong, dan keberlanjutan dijalankan hari demi hari, dalam diam namun penuh kekuatan.

Selama tiga hari, mahasiswa dari Singapore University of Social Sciences (SUSS) diajak menyelami kehidupan di tiga kampung perhutanan sosial di Bogor. Mereka belajar tentang agroforestri kopi, ikut menanam padi, memasak dengan alat tradisional, bahkan mencicipi kopi hasil kebun rakyat yang ditanam tanpa pupuk kimia. Di balik setiap aktivitas itu, tersimpan pelajaran tentang relasi manusia dengan alam relasi yang dibangun bukan dengan dominasi, tapi dengan saling jaga.

Dan dari sana, kita mulai memahami: bahwa pendidikan sejati tak selalu lahir dari papan tulis atau sertifikat, tapi dari pertemuan. Pertemuan antara rasa ingin tahu dan kearifan lokal, antara pemuda dan petani, antara generasi yang datang dan pengetahuan yang diwariskan. Semua dimulai dari keberanian untuk pergi, mendengar, dan mengalami.

Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor
Mahasiswa membuat wayang dari daun singkong sebagai bagian dari pengenalan nilai budaya Sunda (14/6/2025)/Annisa Aliviani via LATIN

Hari Pertama: Menyulam Tradisi di Sindangbarang

Perjalanan dimulai dari Kampung Budaya Sindangbarang, Tamansari, kampung adat tertua di Bogor yang masih menjaga kuat warisan budaya Sunda. Para mahasiswa disambut dengan alunan musik Angklung Gubrag dan segelas bandrek hangat, seolah mengantar mereka masuk ke dimensi waktu yang berbeda.

Di sini, mereka tak hanya belajar tentang filosofi hidup masyarakat Sunda, seperti Tri Tangtu di Buana yang mengajarkan keseimbangan antara manusia, alam, dan leluhur, tapi juga ikut ambil bagian dalam aktivitas budaya sehari-hari: menumbuk padi dengan lesung, membuat wayang dari daun singkong, memasak nasi dalam aseupan, dan menanam padi di sawah secara gotong royong.

Ritual Marak Lauk, tradisi syukuran atas hasil bumi dan air menjadi puncak dari hari itu. Kegiatan ditutup dengan permainan rakyat seperti rengkong dan parebut seeng, yang menyiratkan makna kebersamaan dan kerja kolektif.

Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor
Mahasiswa mencicipi hasil kebun seperti pisang dan kelapa di area agroforestri Patani Coffee, Leuwiliang (15/62025)/Annisa Aliviani via LATIN

Hari Kedua: Mengenal Kebun Rakyat di Leuwiliang

Keesokan harinya, peserta beranjak ke Patani Coffee di Leuwiliang, kebun kopi rakyat seluas 4,5 hektare yang dikelola dengan pendekatan agroforestri. Di bawah rindangnya pohon pelindung, mahasiswa menyusuri kebun yang tak hanya ditanami kopi, tapi juga pisang, singkong, kelapa, dan berbagai tanaman pangan lainnya—semuanya dikelola tanpa pupuk kimia.

Mereka ikut memberi pakan kambing, mengenal tanaman tumpangsari, hingga menyimak cerita petani tentang bagaimana kebun menjadi penyangga pangan keluarga saat harga kopi turun. Tak hanya itu, mahasiswa diajak melihat langsung proses pascapanen kopi: dari penyortiran biji, penjemuran, hingga menyeduh kopi dengan metode bamboo drip dan kopi tarik.

“Kopi ini bukan hanya soal rasa. Ini tentang bagaimana kami bertahan,” ujar Pak Arifin, penggagas Kopi Patani.

Mahasiswa mengamati demplot kopi (kiri) dan wisata edukatif di Cibulao, kawasan hulu Puncak (16/6/2025)/Annisa Aliviani via LATIN

Hari Ketiga: Melihat Harapan Baru dari Cibulao

Hari terakhir berlangsung di Cibulao, kampung kecil yang terletak di tengah kawasan hutan lindung Puncak. Dulu, desa ini nyaris terisolasi, terimpit di antara lahan HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan teh, dan sebagian besar warganya menggantungkan hidup sebagai buruh harian. Kini, wajah Cibulao perlahan berubah.

Melalui skema perhutanan sosial, warga membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) dan mengembangkan agroforestri kopi sebagai bentuk diversifikasi mata pencaharian. Tak hanya mengurangi ketergantungan pada pekerjaan buruh, inisiatif ini juga memulihkan hutan yang dulunya rusak dan gundul.

Para mahasiswa ikut menanam pohon di lahan kritis, menyusuri jalur agroforestri, mencicipi kopi Cibulao yang telah memenangkan kontes kopi nasional, hingga belajar tentang pengembangan wisata edukatif berbasis komunitas. Di akhir kunjungan, mereka mengikuti sesi cupping, mencicipi kopi hasil panen petani yang diolah secara mandiri.

Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor
Kegiatan penanaman pohon di lahan konservasi Cibulao sebagai bentuk kontribusi peserta terhadap keberlanjutan (16/6/2025)/Annisa Aliviani via LATIN

Social Forestry, Ruang Belajar dan Harapan Masa Depan

Program ini merupakan bagian dari Akademi Sosial Forestri, inisiatif Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) untuk memperkuat transfer pengetahuan lintas generasi dan membangun empati ekologis di kalangan muda. Melalui pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman, sosial forestri atau perhutanan sosial tak lagi dipahami sekadar sebagai kebijakan, melainkan sebagai cara hidup yang konkret, adaptif, dan penuh makna.

Di tengah ancaman krisis iklim dan ketimpangan sosial, perhutanan sosial hadir sebagai jalan tengah yang menjawab kebutuhan ekologis sekaligus sosial. Ia merawat hutan sambil merawat kehidupan. Dan generasi muda seperti para mahasiswa ini adalah bagian penting dari masa depan itu. Mereka bukan hanya pengamat, melainkan juga pelaku yang bisa menjaga, meneruskan, dan menyuarakan cerita-cerita dari akar rumput.

Sebab, seringkali belajar yang paling membekas bukan yang kita catat di buku, melainkan yang kita alami sendiri di tengah hutan, di ladang, di rumah-rumah sederhana yang menyambut kita dengan cerita dan secangkir kopi hangat.


Teks dan foto oleh Annisa Aliviani, koordinator komunikasi di Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-kopi-hingga-tradisi-mengenal-perhutanan-sosial-di-kampung-kampung-bogor/feed/ 0 47558
Memaknai Spiritualitas dan Cinta Sejati Di Lembah Cawene Bogor https://telusuri.id/lembah-cawene-bogor/ https://telusuri.id/lembah-cawene-bogor/#respond Mon, 03 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45510 Pesan dari Novita masuk beberapa minggu lalu, menanyakan kapan aku dan Mia punya waktu libur. Setelah waktu yang cocok diputuskan, akhirnya Rabu paginya pukul 07.00 kami melakukan perjalanan—akhirnya bisa jalan-jalan juga.  Dua minggu sebelumnya, Novita...

The post Memaknai Spiritualitas dan Cinta Sejati Di Lembah Cawene Bogor appeared first on TelusuRI.

]]>
Pesan dari Novita masuk beberapa minggu lalu, menanyakan kapan aku dan Mia punya waktu libur. Setelah waktu yang cocok diputuskan, akhirnya Rabu paginya pukul 07.00 kami melakukan perjalanan—akhirnya bisa jalan-jalan juga. 

Dua minggu sebelumnya, Novita sempat bilang destinasi kami adalah Lembah Cawene di kaki Gunung Salak. Katanya, kami akan mengunjungi tempat milik sepasang suami-istri. Jujur saja, kami belum punya gambaran sama sekali tentang lokasi itu, apalagi tentang apa yang akan dilakukan di sana.

Setelah sekitar tiga jam lebih perjalanan, akhirnya kami sampai di Pamijahan, Bogor. Rupanya Lembah Cawene berada di dalam kawasan wisata Gunung Salak Endah. Suasananya mengingatkanku pada Puncak dengan vila-vila dan pemandangan hijau yang memanjakan mata.

Melalui ponselnya, Bu Ratih mengarahkan kami menuju lokasi parkir Telaga Biru Cawene. Perjalanan membawa kami ke sebuah tempat bernama Padepokan Sangga Buana Taman Loka, dengan bangunan utama berupa pendopo. Di sana, seorang kakek dengan penampilan sederhana sudah menunggu—ternyata beliau adalah suami Bu Ratih.

Kami menaruh tas serta perlengkapan menginap di sudut pendopo. Oh, ya, Novita rupanya membawa berbagai perlengkapan masak, seperti kompor dan bahan makanan yang cukup untuk satu hari. Pendopo ini terasa luas dengan lebar sekitar sepuluh meter, dilengkapi teras dan dikelilingi pepohonan rindang. Di dekatnya ada aliran sungai yang gemerciknya menambah suasana syahdu siang itu—apalagi gerimis ikut menemani. 

Namun, kesyahduan itu mendadak pudar saat aku melihat sebuah poster besar ditempel di dinding bilik bambu. Pada poster itu terpampang logo dan tulisan besar: Ikatan Dukun Nusantara (IDN).

Memaknai Spiritualitas dan Cinta Sejati Di Lembah Cawene Bogor
Bentang alam Lembah Cawene di kaki Gunung Salak, Bogor/Novita

Jawaban tentang spiritualitas di Lembah Cawene

Pertanyaan langsung menggantung di benakku: ‘Sebenarnya ini apa?’ dan ‘Kenapa Novita mengajak aku dan Mia ke tempat seperti ini?’ Keresahan mulai bermunculan. Di tengah kebingungan, lima mangkuk mi tersaji, siap menemani obrolan sore kami. 

Kakek dan Bu Ratih mulai bercerita. Mereka menjelaskan tujuan mengundang Novita ke Lembah Cawene. Sementara itu, Novita serta Ari, suaminya, memperkenalkan diri mereka. Aku dan Mia hanya mendengarkan dengan bingung sambil tetap merenungkan keberadaan kami di tempat ini dan mencoba memahami apa itu IDN. Rupanya, hari itu Ki Darul yang merupakan ketua IDN dijadwalkan datang menemui kami, tetapi beliau berhalangan karena ada kegiatan lain.

Melalui obrolan ringan hingga informasi dari beberapa sumber, kami mulai memahami sedikit tentang IDN. Ternyata, IDN merupakan organisasi yang berdiri sejak tahun 2000 dengan fokus melestarikan budaya lokal. Bertempat di Desa Gunungsari, kawasan ini bahkan jadi pusat bagi pelaku budaya yang sering disalahpahami karena stigma negatif istilah “dukun.” Ki Darul sendiri pernah menjelaskan di TribunnewsBogor.com edisi Kamis (8/8/2024) bahwa istilah “dukun” dalam organisasi ini berarti duduk tekun hidup rukun, sebuah makna yang menitikberatkan pada konsistensi menjaga nilai-nilai tradisi leluhur.

Mengutip salah satu wawancaranya di InilahNews.com, Sabtu (6/2/2021), Ki Darul menjelaskan bahwa IDN tidak hanya berkutat soal hal-hal mistis atau klenik semata. Sebaliknya, IDN justru berkomitmen untuk menjadikan budaya lokal sebagai alat pembelajaran yang dapat memberikan pemahaman akan kehidupan bermasyarakat serta nilai-nilai religius, seperti yang tercantum dalam Pancasila hingga filosofi luhur lainnya.

Kegiatan mereka bukanlah sekadar hal spiritual semata, melainkan juga bentuk keprihatinan terhadap makin tergerusnya tradisi bangsa. Dalam salah satu programnya, IDN berupaya menggali kembali budaya lokal untuk dijadikan sarana edukasi sekaligus sarana mempertahankan identitas nasional.

Memaknai Spiritualitas dan Cinta Sejati Di Lembah Cawene Bogor
Foto bersama Kakek dengan latar spanduk logo Ikatan Dukun Nusantara/Novita

Jadi, ketika teman-teman bertanya kenapa tiba-tiba kami “main ke tempat dukun”, jawabannya ternyata jauh lebih dalam dari sekadar itu. Ini bukan tentang dukun dalam makna sehari-hari yang sering dipandang sebelah mata. Di sini kami diperkenalkan kepada sebuah upaya besar untuk memelihara warisan leluhur agar tetap relevan di zaman modern, sembari menyisipkan nilai-nilai positif di dalamnya.

Menjelang senja ketika hujan mulai mereda, Bu Ratih mengusulkan agar kami mengunjungi Telaga Biru, yang letaknya tak seberapa jauh dari padepokan—hanya selemparan batu saja. Tempat ini dulu dikenal dengan sebutan Leuwi Orok, karena bentuknya menyerupai rahim ibu, dan konon sering dijadikan lokasi ritual supranatural. Orang-orang datang ke sini dengan membawa hajat atau harapan, lalu menjalani ritual mandi dengan keyakinan agar keinginan mereka terkabul. 

Seiring berjalannya waktu, ritual itu ditinggalkan dan Telaga Biru kini menjadi salah satu destinasi wisata. Namun, bagi Bu Ratih, tempat ini tetap punya makna mendalam. Ia mengibaratkannya sebagai simbol awal kehidupan. Usai mandi atau berendam di sana, diharapkan tubuh dan jiwa kita terasa bersih dan segar, seperti bayi yang baru lahir.

Telaga Biru Cawene termasuk salah satu destinasi wisata baru di kawasan Gunung Salak Endah. Untuk mencapainya, dari pintu masuk kita harus menuruni sekitar seratus anak tangga dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Meski sedikit menantang, perjalanan ini layak ditempuh.

Sebetulnya, yang disebut telaga ini adalah bagian dari aliran sungai kecil dengan sebuah air terjun mungil di ujungnya. Air terjun itu membentuk kolam alami dengan gradasi warna kebiruan yang memukau mata. Namun, saking dinginnya air, kami hanya mampu merendam kaki; kulit kami yang terbiasa dengan panasnya polusi ibu kota tak mampu bertahan lebih lama. Meski begitu, suasana tenang dan damai di tempat ini sudah cukup untuk menyegarkan jiwa.

Memaknai Spiritualitas dan Cinta Sejati Di Lembah Cawene Bogor
Novita dan Ari berfoto dengan latar belakang aliran telaga jernih/Novita

Pertunjukan Cinta di Lembah Cawene

Saat malam tiba, kami duduk bersama di lantai kayu beralaskan karpet sederhana yang penuh kehangatan. Hidangan nasi liwet dengan telur dadar dan ikan sarden menjadi sajian malam yang terasa begitu istimewa di tengah kesederhanaan hidup Kakek dan Bu Ratih. Siapa sangka, di balik kehidupan mereka yang tenang dan jauh dari hiruk piruk duniawi, tersimpan cerita yang pernah penuh dinamika.

Kakek dulunya seorang dokter lulusan Universitas Kristen Indonesia, sedangkan Bu Ratih adalah seorang seniman jebolan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Kini, mereka memilih menjalani apa yang sering disebut dengan istilah slow living—hidup dalam ritme yang lebih lambat, menikmati setiap momen sederhana, dan bersyukur atas segala hal kecil.

Memaknai Spiritualitas dan Cinta Sejati Di Lembah Cawene Bogor
Makan bersama dengan menu sederhana bersama Kakek dan Bu Ratih/Novita

Hari itu, aku belajar banyak sekali hal luar biasa. Mulai dari cara memaknai spiritualitas melalui kata “dukun”, betapa agungnya anugerah alam Lembah Cawene yang memperbarui energi raga dan jiwa, hingga kisah romantis pasangan sepuh ini yang begitu mencerminkan cinta sejati.

Bu Ratih merawat Kakek dengan penuh kelembutan hati, begitu pun Kakek yang tak pernah absen menunjukkan perhatian manis pada istrinya. Saat memijat pundak Bu Ratih, ia berseloroh ringan, “Ibu tidak sakit, kok, badannya. Cuma pengin nempel aja.”

Aku terdiam sejenak—dan jujur saja, aku merasa iri.

Mereka menjadi contoh nyata dari konsep cinta sejati yang dirumuskan oleh Robert Sternberg dalam Triangular Theory of Love—intimasi, hasrat, dan komitmen. Bahkan, mereka tampaknya hidup dalam apa yang bagi banyak orang adalah impian: sakinah, mawadah, warahmah—ketenteraman dalam kasih sayang yang tak berbatas.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memaknai Spiritualitas dan Cinta Sejati Di Lembah Cawene Bogor appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lembah-cawene-bogor/feed/ 0 45510
Berkemah di Sudut Kebun Teh Gunung Luhur Bogor https://telusuri.id/berkemah-di-sudut-kebun-teh-gunung-luhur-bogor/ https://telusuri.id/berkemah-di-sudut-kebun-teh-gunung-luhur-bogor/#comments Thu, 09 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41876 Kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat merupakan destinasi wisata yang cukup favorit bagi warga Jabodetabek dan sekitarnya. Selain karena jaraknya yang mudah dijangkau, lokasinya juga dekat dengan kaki Gunung Gede-Pangrango. Udara sejuk khas pegunungan pun menjadi...

The post Berkemah di Sudut Kebun Teh Gunung Luhur Bogor appeared first on TelusuRI.

]]>
Kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat merupakan destinasi wisata yang cukup favorit bagi warga Jabodetabek dan sekitarnya. Selain karena jaraknya yang mudah dijangkau, lokasinya juga dekat dengan kaki Gunung Gede-Pangrango. Udara sejuk khas pegunungan pun menjadi daya tarik masyarakat untuk berkunjung.

Kling! Sebuah notifikasi masuk dari grup WhatsApp. “Ayo, kita camping-lah sebelum puasa, nih.” Sebuah ajakan datang dari salah satu teman saya untuk berkemah. 

“Di mana, ya, enaknya?” tanya saya. 

“Kita ke Smart Camp Gunung Luhur aja, yuk!” jawab teman saya. Singkat cerita kami berlima dalam grup tersebut menyetujui rencana camping ke tempat tersebut. 

Kami memilih berangkat saat weekday untuk menghindari penuhnya lokasi camping. Empat orang dari kami berangkat pada Selasa pagi (5/3/2024) dengan titik kumpul Tugu Sentul, Bogor. Satu teman lagi menyusul berangkat siang harinya karena dia belum tidur dari kerja shift malam.

Berkemah di Sudut Kebun Teh Gunung Luhur Bogor
Saya (dua dari kiri) dan tiga orang teman yang berangkat terlebih dahulu ke Smart Camp Gunung Luhur/Gilang Rachmat Riyadi

Perjalanan Berliku ke Smart Camp Gunung Luhur

Rute yang kami lewati pasti sudah tidak asing lagi bagi pengendara roda dua, yaitu melalui Sentul–Bukit Pelangi–Raya Puncak. Jalur ini menjadi favorit untuk menghindari macetnya Kota Bogor. Selain itu, rute ini juga bisa memangkas waktu tempuh perjalanan dari Jakarta.

Sekitar pukul 11.00 siang kami beristirahat sebentar di salah satu SPBU jalur Puncak. Percaya dengan bantuan teknologi, kami berempat mengikuti arahan Google Maps menuju lokasi. Tiga motor matik itu pun beriringan dengan komando dari kawan yang berboncengan paling depan. Di satu titik, Google Maps mengarahkan kami belok kiri memasuki jalan perkampungan. Kami mampir sejenak di sebuah warung kelontong membeli beberapa logistik untuk perbekalan.

Jalan yang kami lewati mulai berkelok dan menanjak agak curam. Sesampainya di sebuah persimpangan, sinyal GPS hilang-timbul sehingga kami ragu arah mana yang benar. Akhirnya saya mencoba bertanya pada seseorang.

“Wah, jalan sebenarnya bukan lewat sini. Harusnya masuknya lewat Telaga Saat,” jawab pria itu. Sontak kami berempat kaget karena sejak tadi kami hanya mengikuti arahan Google Maps. Mengingat jalur yang telah dilewati sudah cukup jauh dan kontur jalan curam berliku, kami bertanya lagi kemungkinan jalur tercepat tanpa kembali ke jalan raya. Orang yang kami tanyai terlihat bingung.

Berkemah di Sudut Kebun Teh Gunung Luhur Bogor
Kondisi jalan yang harus kami lalui setelah mengikuti arahan Google Maps/Gilang Rachmat Riyadi

Di tengah kebingungan, datanglah seorang pria paruh baya menghampiri kami dengan mengendarai motor Honda Verza. Ia berhenti sejenak untuk menyapa dan menanyakan tujuan kami. Setelah menyebutkan tujuan, pria itu pun menjawab hal yang sama seperti pria sebelumnya. Ia menambahkan, banyak orang yang salah jalan seperti kami karena mengikuti arahan Google Maps. 

Si bapak menawari mengantarkan kami melintasi kawasan perkebunan teh tempatnya bekerja. Namun, untuk dapat memasuki perkebunan kami dikenakan biaya masuk sebesar Rp25.000 per orang. Kami setuju.

Perjalanan berlanjut. Jalan yang tadinya aspal dan cor beton kini berubah menjadi batu yang cukup terjal di kawasan perkebunan teh. Beberapa saat kemudian, hujan turun dengan tiba-tiba hingga kami memutuskan untuk berteduh sejenak di sebuah gubuk.

Tak berapa lama, hujan berhenti. Namun, si bapak ternyata hanya bisa mengantar sampai gubuk tempat kami berteduh. Beliau memberikan arahan pada kami untuk mengikuti jalan makadam ini sampai bertemu SDN Cikoneng, lalu terus naik ke arah atas. Kami pun berpisah dengan beliau.

Jalan berbatu semakin parah dan terus naik tanpa ampun. Sesekali tanjakannya sangat curam hingga teman saya yang berboncengan harus turun agar motornya kuat menanjak. Meskipun terjal, pemandangan di kanan-kiri kami benar-benar memanjakan mata. Hamparan perkebunan teh, pepohonan hijau, dan perbukitan membuat kami tetap semangat.

Setelah perjalanan panjang yang cukup melelahkan, sampailah kami di Smart Camp Gunung Luhur sekitar pukul 14.00. Lokasinya tepat di ujung perkebunan teh yang luas ini. Di pintu masuk tertulis imbauan yang perlu dipahami demi keselamatan. Salah satunya dengan tidak menghidupkan data seluler handphone bila terjadi cuaca buruk, seperti hujan petir atau badai. Area berkemahnya cukup dekat dengan tempat parkir motor. Jadi, kami tidak perlu capek-capek trekking untuk ke sana.

Harga tiket untuk berkemah di sini sebesar Rp25.000 per malam dan parkir motor Rp10.000. Fasilitas yang tersedia antara lain toilet yang cukup banyak, musala, dan tempat penampungan air bersih. Ada juga warung dan kafe, tetapi karena kami berkunjung ketika hari kerja, keduanya tidak beroperasi. Ah, sayang sekali. Padahal kami berharap warungnya buka agar bisa membeli tambahan logistik.

Berkemah Dikepung Angin dan Kabut

Kami meletakkan tas carrier dan semua perlengkapan di saung dekat papan imbauan. Saya dan seorang teman saya langsung mencari lokasi untuk mendirikan tenda. Kontur camping ground-nya berundak. Ada beberapa tingkatan yang bisa dipilih.

Setelah mempertimbangkan jalur air bila hujan turun dan arah angin bertiup, kami memutuskan membangun tenda di salah satu spot yang dikelilingi pohon pinus yang cukup besar. Kami bergegas karena kabut yang turun terkadang membuat hujan gerimis. 

Kami berdua mendirikan tenda tanpa kendala. Namun, tidak dengan dua teman lainnya. Mereka berdua kerepotan. Saya melihat dari kejauhan mereka berdebat saat memasang frame tenda. Kadang frame-nya terbalik, atau frame-nya salah masuk lubang. Kesalahan-kesalahan itu malah jadi bercandaan agar suasananya seru. Pada akhirnya tenda-tenda kami berdiri dengan kokoh. 

Ternyata perdebatan belum usai. Saat memasang flysheet (atap kain untuk menahan hujan), mereka terlihat kebingungan. Flysheet berwarna cokelat itu terlihat asal dipasang. Sontak saya berinisiatif membantu memasangnya dengan benar. 

Berkemah di Sudut Kebun Teh Gunung Luhur Bogor
Kerja sama tim mendirikan tenda/Gilang Rachmat RiyadI

“Kalau pasangnya seperti itu, yang ada air hujan akan menetes ke dalam tenda,” celetuk saya. Mereka hanya nyengir dan malah ketawa. 

Saya cari beberapa batang pohon untuk dijadikan tiang flysheet. Setelah itu saya ikatkan tali pada ujungnya dan tarik dengan pasak agar flysheet terpasang kuat. “Nah, kalau kaya gini kan kuat. Air hujan juga tidak akan masuk ke tenda,” ujar saya ketika flysheet terpasang dengan kokoh. Kedua teman saya senyum-senyum sambil berterima kasih.

Hari itu kami kurang beruntung. Kabut cukup tebal sehingga pemandangannya tidak begitu terlihat. Pun dengan angin dingin yang bertiup terus-menerus. Kami yang sejak awal memilih lokasi camp di antara pohon pinus supaya bisa menghalau angin, ternyata tetap saja dihantam angin kencang karena kontur yang berbukit. Kami berharap besok pagi kabut pergi dan cuaca cerah datang. 

Menjelang petang, teman saya yang menyusul sampai juga dengan selamat. Ia datang menggunakan motor trail. Meski demikian, tetap saja jalur yang terjal membuat motornya mengalami kendala. Ia bercerita sempat terjatuh dari motor karena jalan menikung terlalu tajam. Untungnya tidak mengalami luka yang serius, hanya memar pada kakinya.

Berkemah di Sudut Kebun Teh Gunung Luhur Bogor
Angin kencang dan kabut tebal menyelimuti sore itu/Gilang Rachmat Riyadi

Malam pun tiba. Kami semua berkumpul dengan beralaskan footprint tenda. Bercerita tentang banyak hal sambil diiringi suara angin dan serangga hutan. Kami semua mengumpulkan logistik yang kami bawa di salah satu tenda. Logistik tersebut mencakup kopi, teh, beras, kentang, ayam fillet, bumbu masakan, dan yang pasti perbekalan standar saat camping tidak lain dan tidak bukan ialah mie instan. 

Saya kebagian tugas memasak. Yang pertama saya lakukan adalah memasak air panas untuk menyeduh teh dan kopi. Minuman hangat cukup untuk menahan udara dingin yang masih sesekali berembus. Setelah itu saya mempersiapkan menu makan malam, yaitu ayam fillet bumbu teriyaki.

Teman saya bertugas mengupas kentang, sebagai pengganti karbohidrat dari nasi. Setelah dikupas, saya rebus kentang itu menggunakan nesting (panci kecil lipat). Saya mempersiapkan beberapa bumbu, yaitu irisan bawang bombay dan bawang putih, baru kemudian mulai memasak. Ketika matang, kami semua makan dengan lahap berteman lampu remang-remang yang dipasang di tenda. 

Malam yang Bersahabat dengan Pagi

Senda gurau melengkapi perut yang kenyang, dilengkapi secangkir teh melati hangat. Di atas bangku yang kami tempatkan di depan tenda, kami menikmati pemandangan malam itu. Terlihat kerlap-kerlip lampu kota dari ketinggian.

Tepat tengah malam, udara kian dingin. Kami menuju tenda dan mengenakan jaket tebal, lalu bergegas tidur.

Cuaca bersahabat berlanjut hingga keesokan paginya. Saya bangun sebelum matahari terbit, sementara yang lain masih tidur pulas. Langsung saja saya merebus air untuk membuat kopi.

Sambil mengumpulkan nyawa, saya menyeruput kopi sambil menikmati matahari pagi yang perlahan muncul di sela-sela punggungan Gunung Gede-Pangrango. Sinarnya yang hangat mulai menghapus tebalnya embun di perkebunan teh. 

Berkemah di Sudut Kebun Teh Gunung Luhur Bogor
Lanskap perkebunan teh berlatar Gunung Gede-Pangrango saat pagi/Gilang Rachmat Riyadi

Kami beruntung akhirnya mendapatkan cuaca yang sangat bagus. Pemandangan yang luar biasa disaksikan langsung tepat di depan tenda. Hamparan perkebunan teh yang luas berhadapan langsung dengan gunung yang berada di kawasan taman nasional tersebut. Rasanya sepadan dengan perjuangan motor matik saya saat melewati jalan makadam terjal, tanjakan curam, dan licin berlumpur kemarin siang.

Pagi ini, menu sarapan kami adalah nasi, mi instan goreng, dan sisa ayam teriyaki semalam. Lagi-lagi, saya yang bertugas memasak karena lainnya tidak ada yang bisa memasak.

Saat tengah hari, kami berkemas. Semua orang sibuk membongkar tenda kemudian memasukkan kembali semua peralatan ke dalam tas carrier masing-masing. Tak lupa kami mengumpulkan sisa sampah dengan kantung plastik lalu membuangnya di tempat yang telah disediakan pengelola. Sangat penting untuk selalu menjaga kebersihan di mana pun kita berkegiatan agar alam terjaga keasriannya.

Sekitar pukul 14.00, kami memulai perjalanan pulang. Kembali menyusuri perkebunan teh yang panjang dan berliku.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berkemah di Sudut Kebun Teh Gunung Luhur Bogor appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berkemah-di-sudut-kebun-teh-gunung-luhur-bogor/feed/ 2 41876
Trekking Sentul: Perjalanan ke Curug Leuwi Asih (2) https://telusuri.id/trekking-sentul-perjalanan-ke-curug-leuwi-asih-2/ https://telusuri.id/trekking-sentul-perjalanan-ke-curug-leuwi-asih-2/#respond Thu, 22 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41210 Perjalanan dilanjutkan menuju Curug Leuwi Asih. Salah satu trek yang kami lalui ternyata juga merupakan jalur motor trail, sehingga sering kali kami harus menepi ketika ada rombongan motor trail lewat. Tiba-tiba ada celetukan terdengar di...

The post Trekking Sentul: Perjalanan ke Curug Leuwi Asih (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan dilanjutkan menuju Curug Leuwi Asih. Salah satu trek yang kami lalui ternyata juga merupakan jalur motor trail, sehingga sering kali kami harus menepi ketika ada rombongan motor trail lewat.

Tiba-tiba ada celetukan terdengar di antara rombongan, “Saya mau ikut nebeng motor trail saja!”. Saking sudah lelahnya menghadapi jalur menanjak. Namun, tentunya ditanggapi dengan tawa oleh orang-orang lainnya.

Saat masih di area perbukitan terbuka langit semakin gelap. Para pemandu mulai mengeluarkan jas hujan dari tas mereka untuk dibagikan kepada peserta. Ya, salah satu benefit yang peserta dapat dari open trip ini adalah jas hujan yang disediakan oleh pemilik jasa.

Benar saja, tidak lama setelah itu air mulai turun dari langit. Jas hujan yang sudah dibagikan mulai kami pakai. Waktu itu beberapa di antara kami ragu untuk memakai jas hujan—termasuk saya—karena tetes air yang belum cukup deras. Namun, begitu makin deras akhirnya jas hujan dikenakan oleh semua peserta. Trekking pole akan menjadi semakin berguna untuk membantu menjaga keseimbangan tubuh saat menapaki jalan menanjak dan menurun.

Untungnya hujan berhenti saat kami memasuki kawasan yang didominasi kawasan perkebunan. Di area ini kami bertemu para petani singkong yang sedang memetik, mengupas, dan membawa hasil panen mereka ke dalam karung-karung. Tak jarang kami harus bergantian menggunakan jalan setapak dengan para pekerja kebun. 

Setelah melewati lahan singkong, kami menyusuri perkebunan sereh. Area ini letaknya lebih tinggi dari kebun singkong. Perpaduan antara bau tanah yang habis tersiram hujan dengan aroma yang khas dari daun sereh menciptakan suasana rileks dan menenangkan ketika melewati kawasan ini.

Rehat Sejenak di Warung Sebelum Melanjutkan Perjalanan

Saat sedang asyik berjalan sambil menikmati pemandangan dari lahan sereh, tiba-tiba terdengar suara kambing bersahutan. Ternyata kami sudah mulai memasuki wilayah permukiman penduduk. Melihat ada pendopo dan beberapa kursi kayu, rombongan memutuskan beristirahat sebelum ke Curug Leuwi Asih.

Dari sini pun sudah terdengar gemericik air. Tidak butuh berjalan jauh kami sudah menemukan aliran sungai dengan banyak batu besar. Kami makin berjalan ke arah hulu dengan menyusuri jalan setapak yang berada di samping alirannya. Tentunya jalur yang ditempuh pun lebih licin karena lebih dekat dengan aliran air. Di sepanjang jalur ini kami akan melewati gazebo di sebelah kiri dan aliran sungai di sebelah kanan.

Setelah menyeberang melalui jembatan kayu dan menyusuri puluhan anak tangga, tibalah kami di tujuan terakhir perjalanan sekitar pukul 13.00. Rombongan duduk dan berkumpul di salah satu gazebo dekat warung. Memang di lokasi ini banyak berdiri warung dengan gazebo untuk para pengunjung beristirahat. Pengunjung tinggal pilih, mau di gazebo yang terletak di pinggir aliran air atau di dekat anak tangga yang menuju air terjun Leuwi Asih.

Sebagian peserta open trip langsung menuju lokasi curug berada, sementara lainnya memilih untuk memesan makan terlebih dahulu. Saya bergabung dengan kelompok yang kedua. Teman saya yang dari awal berjalan bersama juga memiliki pilihan yang sama seperti saya.

Sebelum bermain air, rasanya saya harus mengisi tenaga terlebih dahulu, terlebih baru usai menempuh perjalanan trekking selama beberapa jam. Hanya beberapa saat saja saya perlukan untuk menghabiskan pesanan saya berupa semangkuk mi instan dengan satu telur ceplok dan irisan cabai.

Trekking Sentul: Perjalanan ke Curug Leuwi Asih (2)
Aliran air di Curug Leuwi Asih/Nita Chaerunisa

Bermain Air di Curug Leuwi Asih

Dari deretan warung, kami hanya perlu berjalan beberapa meter saja untuk sampai ke air terjun atau lokasi persis Curug Leuwi Asih. Tempat wisata ini dikelola dengan baik, terlihat dari pagar besi yang dibuat sepanjang jalan menuju curug dan jalur yang sudah disusun dengan batuan kecil di atas tanah. Tujuannya supaya pengunjung tidak mudah terpeleset saat berjalan di atasnya.

Curug Leuwi Asih bukan termasuk tipe air terjun yang mengalir tinggi dari tebing. Menurut salah satu orang yang saya temui di curug, air terjun ini berasal dari aliran sungai yang memecah bebatuan besar. Air yang turun dari curug bergabung bersama aliran sungai dari atas, lalu mengalir di antara batu-batuan. Saya juga tidak mengetahui hulu dari aliran sungai tersebut.

Tepat di dekat air terjun, terdapat dua batu besar di tengah aliran yang mengalir ke bawah. Di samping kanan dan kiri aliran juga terdapat batu besar. Banyak pengunjung yang biasa menjadikan batu-batu tersebut sebagai titik untuk melompat ke air. Bagi pengunjung yang tidak berani melompat dari ketinggian, juga bisa sekadar berfoto di sni.

Karena malas membawa pakaian basah saat pulang nanti, alhasil saya hanya asyik berfoto di antara batu-batuan saja. Lagipula saat itu Curug Leuwi Asih sedang ramai pengunjung, sehingga kami harus bergantian bermain di beberapa titik yang dianggap menarik oleh pengunjung. Namun, untuk pengunjung yang ingin bermain air, sudah tersedia banyak toilet yang letaknya cukup dekat.

Trekking Sentul: Perjalanan ke Curug Leuwi Asih (2)
Spot melompat dari atas batuan di Curug Leuwi Asih/Nita Chaerunisa

Kembali ke Lapangan Leuwi Asih

Waktu menunjukkan hampir pukul 15.00. Sudah nyaris enam jam kami trekking dan bermain air. Rombongan open trip segera bergerak pulang menuju Lapangan Leuwi Asih melewati pemukiman penduduk sejauh kurang lebih satu kilometer. Karena berada di permukiman penduduk, jalur yang dilalui tidak sulit seperti sebelumnya. Kami melewati rumah penduduk dan warung-warung milik mereka, serta kandang hewan ternak.

Saya baru mengetahui ternyata jarak antara Curug Leuwi Asih dan Lapangan Leuwi Asih tidak jauh. Mungkin bagi pencinta alam yang hanya sekadar ingin bermain air dan tidak ingin repot berjalan jauh, Curug Leuwi Asih bisa masuk daftar kunjungan. Perjalanan bisa dimulai dari Lapangan Leuwi Asih yang lokasinya juga tidak jauh dari jalan kampung. 

Setelah sampai di Lapangan Leuwi Asih, peserta open trip langsung diantar pulang kembali menuju meeting point. Jalur yang dilalui sama seperti perjalanan berangkat. Rasa lelah atas perjalanan seharian dan embusan angin sepoi-sepoi sore itu membuat beberapa peserta terlelap di atas mobil pick up yang mengantar kami. Dari titik kumpul, saya dan beberapa peserta yang menggunakan fasilitas antar jemput diantar kembali menuju Stasiun Bogor.

Pengalaman melakukan perjalanan trekking dengan menggunakan jasa usaha open trip ternyata jadi salah satu pilihan berwisata yang menarik. Selain bisa menambah teman, dengan bantuan pemandu, para pencinta alam tidak perlu takut tersesat saat memilih jalur menuju destinasi tertentu. Selain itu tentunya para pemandu juga bisa membantu mendokumentasikan perjalanan, sehingga kami tidak perlu takut kehilangan momen saat berada di jalur trekking.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Trekking Sentul: Perjalanan ke Curug Leuwi Asih (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/trekking-sentul-perjalanan-ke-curug-leuwi-asih-2/feed/ 0 41210
Trekking Sentul: Perjalanan ke Gua Garunggang (1) https://telusuri.id/trekking-sentul-perjalanan-ke-gua-garunggang-1/ https://telusuri.id/trekking-sentul-perjalanan-ke-gua-garunggang-1/#respond Wed, 21 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41201 Sebagai wilayah yang dikelilingi oleh gunung dan bukit, Sentul menjadi alternatif wisata bagi banyak orang yang tinggal di wilayah sekitarnya. Salah satu aktivitas wisata yang dapat dilakukan di Sentul adalah trekking. Banyak sekali rute trekking...

The post Trekking Sentul: Perjalanan ke Gua Garunggang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai wilayah yang dikelilingi oleh gunung dan bukit, Sentul menjadi alternatif wisata bagi banyak orang yang tinggal di wilayah sekitarnya. Salah satu aktivitas wisata yang dapat dilakukan di Sentul adalah trekking. Banyak sekali rute trekking di kawasan perdesaan yang berada di Kabupaten Bogor tersebut, khususnya rute untuk menuju destinasi tertentu seperti rute ke gunung, bukit, curug, gua atau tujuan wisata lainnya. 

Ternyata kondisi ini dimanfaatkan dengan baik oleh warga lokal. Banyak dari mereka yang membuka usaha open trip dengan menjadi pemandu (guide). Mereka juga menyediakan trekking pole dan beragam fasilitas lain. Open trip ini sangat membantu bagi yang belum terbiasa melakukan trekking, atau ingin trekking tetapi tidak memiliki teman, seperti saya dan satu teman saya.

Dari sekian banyak informasi open trip dengan berbagai rute trekking yang ada di media sosial, saya dan teman memilih rute Gua Garunggang—Curug Leuwi Asih. Pemilik open trip berhasil menjalankan teknik marketing-nya, karena membuat kami berdua penasaran dengan rute yang mereka sebut memiliki jalur yang santai dan tidak membosankan. Selain itu dengan fasilitas penjemputan dari Stasiun Bogor juga memudahkan kami berangkat dari Jakarta menggunakan KRL Commuter Line. Kami bersama beberapa peserta lainnya yang juga menggunakan fasilitas ini dijemput dari Stasiun Bogor menuju meeting point (titik kumpul).

Sentul Nirwana Jungleland ditunjuk sebagai tempat kumpul bagi 23 peserta open trip yang datang dari berbagai wilayah di sekitar Sentul. Dengan menaiki mobil pick up, peserta menuju lapangan Leuwi Asih yang merupakan lokasi awal trekking sekaligus tempat parkir kendaraan. Perjalanan menuju Lapangan Leuwi Asih hanya membutuhkan waktu 15 menit.Di Lapangan Leuwi Asih kami melakukan briefing, stretching exercises untuk meregangkan otot-otot, dan berdoa demi kelancaran perjalanan. Di lapangan ini juga kami melihat beberapa rombongan lain. Ada yang baru berkumpul dan ada pula yang sudah bersiap jalan lebih dahulu.

Memulai Trekking Menyusuri Sawah dan Hutan

Sekitar pukul 09.00 WIB, dengan dipandu oleh tujuh pemandu, peserta mulai menuruni jalan dari lapangan Leuwi Asih, lalu menyeberangi sungai melalui jembatan bambu menuju area persawahan. Katanya, ada banyak rute jalur yang dapat dipilih oleh para pencinta alam yang ingin melakukan trekking ke Gua Garunggang dan Curug Leuwi Asih. Baik untuk yang pergi dalam jumlah anggota kecil maupun rombongan besar seperti kami. Tinggal pilih saja mau lewat jalur yang mudah dan cepat atau yang banyak rintangan.

Perjalanan trekking waktu itu bertepatan dengan mulai masuknya musim hujan, sehingga jalur menjadi lebih becek dan licin. Matahari pun tidak berhasil menampakkan diri sepenuhnya untuk menemani perjalanan kami. Meskipun begitu, kami tetap dapat memotret lanskap alam yang memanjakan mata. Seperti pemandangan di awal perjalanan yang berupa persawahan yang indah, bukit dan aliran sungai yang penuh batu-batu besar.

Sebelum memasuki area hutan—yang merupakan trek setelah persawahan—rombongan beristirahat sejenak di dekat area camping. Beberapa orang sibuk jajan di warung yang berada di samping area camping ground Hutan Hujan Sentul. Sementara sebagian lainnya sibuk berswafoto dengan background lapangan luas dan beberapa tenda yang belum terisi orang. Sepertinya untuk camping di sini tidak perlu repot membawa tenda karena sudah disediakan oleh pengelola.

Dari sini saya merasa trekking yang sebenarnya baru dimulai. Rombongan menyusuri rimbunnya pepohonan hutan yang berdiri rapat dan menjulang tinggi, juga menapaki jalur yang semakin lembap. Suara burung pun beberapa kali terdengar saling bersahutan di antara gesekan daun yang terembus angin.

Sampai akhirnya trek berubah menjadi vegetasi yang lebih terbuka dengan pemandangan bukit-bukit dengan hiasan aneka tanaman. Tekstur jalan pun berubah menjadi lebih kering, mungkin karena akses sinar matahari lebih bisa langsung menyentuh tanah atau jenis tanahnya yang juga berbeda. Saya kurang tahu pasti penjelasan detailnya

Menikmati Batuan di Gua Garunggang

Sekitar pukul 10.35 rombongan sampai di destinasi pertama, yaitu Gua Garunggang. Destinasi wisata ini berupa kawasan luas yang terdiri dari tumpukan batuan alami bergaris-garis dengan warna gradasi yang didominasi warna cokelat. Beberapa batuan ini menjulang melebihi tinggi manusia. Di antara batuan tumbuh pohon bahkan akarnya ada yang menutupi sebagian batu. Hamparan batu-batu tersusun seperti membentuk labirin yang harus dilewati dengan jalan berliku.

Lokasi Gua Garunggang tepat berada di salah satu batu-batuan paling atas. Sembari menunggu bergantian dengan rombongan lain yang sedang masuk ke dalamnya, pemandu kami memberikan kebebasan kepada peserta untuk berkeliling gua. Beberapa orang sibuk mengabadikan momen di antara batu-batuan yang menjulang, ada pula yang hanya duduk di warung. Di sekitar kawasan ini memang terdapat warung yang menjual makanan dan minuman.

Saya pun tidak mau ketinggalan momentum. Saya mengabadikan foto di beberapa titik. Namun, saya tidak terlalu jauh berkeliling di kawasan ini, karena sibuk mengamati tekstur batu-batuan yang membuat saya kagum.

Bagaimana caranya batu-batuan ini terbentuk? Dengan warnanya yang cokelat kehitaman, apakah batu-batuan ini berasal dari tanah yang tergerus air secara terus menerus sehingga warnanya menjadi seperti itu? Lalu kemudian berubah jadi lebih pekat apakah karena faktor udara atau karena banyak akar pohon yang melingkar di batu-batuan ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berputar di otak saya.

Untuk masuk ke dalam Gua Garunggang yang berada di bawah tanah, kami harus menuruni tangga sejauh kurang lebih 100 meter. Mengingat kondisi gua yang dalam dan gelap, para pemandu menyarankan bagi peserta yang memiliki riwayat penyakit khusus atau trauma tertentu diimbau untuk tidak memaksa masuk ke gua.

Untungnya saya memiliki kesempatan untuk masuk ke gua, yang ternyata hanya bisa berisi maksimal 15 orang di dalamnya. Jadi, rombongan harus dipecah menjadi dua kloter untuk masuk dengan bantuan pemandu dan tim pengelola Gua Garunggang. Sepertinya Gua Garunggang memang dikelola oleh warga setempat. Terlihat ada beberapa warga lokal yang berjaga di kawasan ini.

Meskipun jalur masuknya sempit, tetapi kondisi di dalam gua cukup luas. Kami dapat menikmati gua dengan berjalan sejauh kurang lebih 50 meter saja. Namun, tetap harus berhati-hati saat berjalan di dalam gua. Terdapat aliran air di lantai gua sehingga jalan menjadi licin.

Kondisi di dalam gelap, ditambah cuaca di luar yang sedang mendung. Bahkan pencahayaan dari senter yang dibawa oleh pemandu pun rasanya kurang mencukupi kebutuhan cahaya saat susur gua. Saya sedikit kecewa karena tidak dapat melihat dengan jelas langit-langit gua dan kelelawar yang katanya masih banyak hinggap di sana. Saya hanya melihat samar-samar saja.

Trekking Sentul: Perjalanan ke Gua Garunggang (1)
Gapura wisata Geopark Gua Garunggung/Nita Chaerunisa

Melanjutkan Perjalanan ke Destinasi Berikutnya

Setelah semua kloter bergiliran masuk gua, sekitar pukul 11.30 rombongan melanjutkan perjalanan menuju Curug Leuwi Asih. Kali ini kita menyusuri perbukitan dengan jalur yang banyak menanjak. Untungnya tingkat kemiringan jalur tidak terlalu ekstrem sehingga aman dilewati, bahkan bagi orang yang belum terbiasa trekking, seperti beberapa orang di rombongan kami.

Setelah kurang lebih 45 menit berjalan di perbukitan, kami melewati papan kayu bertuliskan “Selamat Datang di Geopark Goa Garunggang”, tetapi dari sisi belakang. Ternyata menurut keterangan pemandu, rombongan kami menggunakan rute yang berlawanan dari rute utama. Memang banyak pilihan rute jalur yang dapat dipilih.

Di antara jalur bukit yang kami lalui, lokasi ini yang memiliki pemandangan paling indah. Kami dapat melihat deretan perbukitan lainnya di seberang lokasi kami berdiri. Di bawahnya juga banyak tumbuh tanaman. Sejauh mata memandang dominasi warna hijau tumbuhan sangat menyegarkan mata. Mungkin jika hari itu cuaca lebih bersahabat, maka hamparan hijaunya tumbuhan-tumbuhan itu akan lebih jelas terlihat tanpa kabut yang menutupi.

Rasanya ingin berlama-lama di sini, karena udaranya juga sangat mendukung untuk berdiam diri. Namun, kami harus tetap melanjutkan perjalanan menuju destinasi berikutnya.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Trekking Sentul: Perjalanan ke Gua Garunggang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/trekking-sentul-perjalanan-ke-gua-garunggang-1/feed/ 0 41201
Bersepeda Melibas Tanjakan Ciloto ke Warung Mang Ade https://telusuri.id/bersepeda-melibas-tanjakan-ciloto-ke-warung-mang-ade/ https://telusuri.id/bersepeda-melibas-tanjakan-ciloto-ke-warung-mang-ade/#respond Fri, 18 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39620 Mang Ade Puncak merupakan sebuah nama yang cukup familiar bagi kalangan pesepeda. Nama ini merujuk kepada sebuah warung nasi di kawasan Puncak Pas, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, yang menjadi posko para pesepeda gunung (MTB). Meskipun...

The post Bersepeda Melibas Tanjakan Ciloto ke Warung Mang Ade appeared first on TelusuRI.

]]>
Mang Ade Puncak merupakan sebuah nama yang cukup familiar bagi kalangan pesepeda. Nama ini merujuk kepada sebuah warung nasi di kawasan Puncak Pas, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, yang menjadi posko para pesepeda gunung (MTB).

Meskipun demikian, kini tak hanya pesepeda gunung yang singgah atau menyambangi Warung Nasi Mang Ade. Para pengguna sepeda balap (road bike), sepeda lipat, sepeda touring hingga BMX kerap singgah di Warung Mang Ade. Lebih-lebih pada hari Sabtu dan Minggu maupun hari-hari libur lainnya.

Di dinding depan Warung Mang Ade tertempel ratusan sticker komunitas sepeda dari pelbagai daerah. Pesepeda yang tergabung dalam komunitas sengaja menempelkan sticker komunitasnya sebagai tanda bahwa mereka berhasil muncak ke Warung Mang Ade, yang berada di ketinggian sekitar 1.700 meter di atas permukaan laut.

Bagi saya—dan mungkin juga kebanyakan para pesepeda lainnya—yang membuat Warung Mang Ade istimewa adalah karena proses perjalanan ke tempat ini. Menuju Mang Ade dengan cara mengayuh sepeda, bagaimanapun, perlu sedikit perjuangan, ketekunan, dan ketabahan. Pasalnya, mau menempuh dari arah Bogor ataupun dari arah Cianjur, kita mesti siap lahir batin menghadapi sejumlah tanjakan.

Bersepeda Melibas Tanjakan Ciloto ke Warung Mang Ade
Para pesepeda di Warung Mang Ade Puncak (Djoko Subinarto)

Kesempatan Ketiga ke Mang Ade

Saya sendiri sudah dua kali sepedaan ke Warung Mang Ade. Pertama, tahun 2019. Yang kedua, tahun 2021. Dalam dua kali kesempatan itu, saya menyambangi Mang Ade dari arah Cianjur dan kepayahan, terutama saat merayapi tanjakan di daerah Ciherang dan Ciloto. Namun, toh sama sekali tidak membuat menyesal, kapok atau jera. Buktinya, awal Mei 2023 lalu, untuk kali ketiga saya kembali menyambangi Mang Ade.

Sama seperti kunjungan kedua, saya menggunakan sepeda lipat roda 16 inci, yang saya beli dalam kondisi seken seharga Rp300.000. Sepeda ini model single speed dengan kombinasi gear depan dan belakang 44:16. Ini berbeda dengan kunjungan pertama, saya menggunakan sepeda lipat pinjaman dengan ban 20 inci, enam speed, dengan kombinasi gear depan-belakang 48:14–28.

Di kunjungan ketiga ke Mang Ade ini saya juga mengayuh dari arah Cianjur. Saya berangkat sekitar setengah tujuh pagi dari Pasar Gekbrong, Cianjur. Dari depan Pasar Gekbrong, saya meluncur ke arah utara memasuki daerah Padabeunghar, lantas menembus perkebunan teh Tegallega hingga masuk ke wilayah Tugu, Cugenang, dan keluar di Jalan Raya Cugenang–Cipanas.

Awalnya kayuhan masih terasa enteng. Maklum, tanjakannya masih tipis. Barulah saat mendekati daerah Taman Rindu Alam, Ciherang, kayuhan terasa mulai berat. Dari belakang, seorang pengendara RB dengan jersey hijau-hitam mendahului saya. “Ayo, Om!” sapanya. 

“Siap!” balas saya. Saya tak berniat mengikutinya, apalagi mendahuluinya. Sia-sia saja. Road bike yang beroda lebih besar tersebut tentu bukan tandingan sepeda lipat single speed, yang di tanjakan paling banter mampu melaju antara 5–6 kilometer per jam, seperti yang saya tunggangi. Lagi pula saya sudah mulai agak ngos-ngosan melahap tanjakan Ciherang. 

Dari depan Taman Rindu Alam ke arah barat, jalanan masih terus menanjak dan membuat saya makin kepayahan. Kayuhan kaki pun terasa semakin berat. Barulah saat memasuki wilayah Cipanas, jalanan agak melandai. Bahkan ada sedikit bonus turunan beberapa puluh meter. Lumayan, saya tak perlu kerja terlalu keras mengayuh pedal.

  • Bersepeda Melibas Tanjakan Ciloto ke Warung Mang Ade
  • Bersepeda Melibas Tanjakan Ciloto ke Warung Mang Ade

Menyiksa Diri di Tanjakan Ciloto

Lalu lintas di Jalan Raya Cipanas pagi itu belum begitu ramai. Saya sempatkan berhenti sebentar di depan Istana Kepresidenan Cipanas yang megah. Sekadar mengambil beberapa gambar dari luar pagar. Ingin rasanya bisa masuk dan melihat-lihat kondisi di dalam istana. Akan tetapi, mustahil bagi saya. Untuk dapat masuk ke istana sudah pasti perlu izin khusus dan juga harus memiliki tujuan serta kepentingan yang jelas.

Gerbang di samping timur dan gerbang tengah Istana Cipanas tampak tertutup rapat. Adapun gerbang sisi barat sedikit terbuka. Terlihat ada seorang penjaga yang tengah bertugas pagi itu.

Beres mengambil foto Istana Cipanas, saya kayuh lagi sepeda. Dari depan Pasar Cipanas hingga persimpangan menuju Kebun Raya Cibodas, jalanan tidak begitu menanjak. Baru setelah itu, tanjakannya mulai kian terjal. Terutama saat memasuki daerah Ciloto. Tanjakan tersebut bikin lutut cenat-cenut, napas Senin–Kamis, dan paha pegal linu.  Apa boleh buat. Pilihannya toh cuma dua. Jika mau terus ke Mang Ade, nikmati saja siksaan tanjakannya. Jika tidak, ya, tinggal putar balik saja. Kalau kata Gus Dur, gitu aja kok repot.

Dan saya ambil pilihan pertama, yakni menikmati siksaan tanjakan Ciloto agar bisa sampai ke Mang Ade. Demi menyiasati rasa payah saat harus terus menanjak, saya memainkan jurus: kayuh-berhenti-kayuh. Lewat jurus ini, saya paksa diri untuk mengayuh beberapa puluh meter sampai titik tertentu lalu setop beberapa saat. Mengatur napas dan melemaskan kaki, kemudian mengayuh lagi. Beberapa kali seperti itu. Akhirnya saya mampu juga lolos dari tanjakan Ciloto yang memayahkan. 

Dari penanda jarak yang terpasang di pinggir jalan, akhirnya saya ketahui, hanya tinggal dua kilometer lagi saya bakal sampai ke kawasan Puncak Pas. Saya terus kayuh perlahan pedal sepeda dengan sisa tenaga hingga ke tikungan Puncak Pas.

Saya lantas tuntun sepeda dan naik ke tebing Puncak Pas. Beberapa muda-mudi terlihat tengah asyik nongkrong di atas tebing. Beberapa lainnya tengah mengatur pose swafoto untuk mengabadikan diri mereka dengan latar belakang Jalan Raya Puncak nun di bawah sana.

Saya menikmati sejenak panorama Puncak Pas dari atas tebing. Setelah itu, saya turun dan kemudian gowes perlahan menuju Warung Mang Ade, yang jaraknya hanya sekitar 120 meter dari tikungan Puncak Pas.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bersepeda Melibas Tanjakan Ciloto ke Warung Mang Ade appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bersepeda-melibas-tanjakan-ciloto-ke-warung-mang-ade/feed/ 0 39620
Menelusuri Sejarah Bogor bersama Bogor Historical Walk https://telusuri.id/menelusuri-sejarah-bogor-bersama-bogor-historical-walk/ https://telusuri.id/menelusuri-sejarah-bogor-bersama-bogor-historical-walk/#respond Mon, 30 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36861 Dari keinginan untuk mengenal kota sendiri lebih dekat, Bogor Historical Walk telah berkembang menjadi sebuah komunitas sejarah kota yang tidak hanya belajar bersama, tapi juga sebagai ajang silaturahmi dan mendekatkan diri satu sama lain dengan...

The post Menelusuri Sejarah Bogor bersama Bogor Historical Walk appeared first on TelusuRI.

]]>
Dari keinginan untuk mengenal kota sendiri lebih dekat, Bogor Historical Walk telah berkembang menjadi sebuah komunitas sejarah kota yang tidak hanya belajar bersama, tapi juga sebagai ajang silaturahmi dan mendekatkan diri satu sama lain dengan kota tercinta.

Kota Bogor, sama seperti kota-kota lainnya di Indonesia; mempunyai kenangan dan juga sejarah bagi setiap insan yang pernah hidup di dalamnya. Kota ini memiliki banyak peninggalan sejarah, baik dari masa kerajaan kuno seperti Prasasti Batu Tulis atau peninggalan masa kolonial seperti Kebun Raya Bogor, Istana Bogor, Gereja Zebaoth, ataupun Gedung Balai Kota Bogor. Namun, kerap kali tinggalan sejarah tersebut banyak yang luput dari perhatian masyarakat sekitarnya; entah karena terlalu sibuk dengan urusan masing-masing atau karena memang kurang peduli akan sejarah kota. Untuk itulah, Bogor Historical Walk hadir merangkul segenap masyarakat Kota Bogor untuk lebih mengenal kota tempat tinggalnya.

TelusuRI berkesempatan mewawancarai Ramadhian Fadillah—salah satu pengurus Bogor Historical Walk—yang merintis dan memprakarsai jalan-jalan sejarah di Kota Bogor bersama teman-temannya. Bang Ian—sapaan akrabnya—yang juga seorang jurnalis ini mempunyai tekad bahwa orang Bogor harus mengenal Bogor itu sendiri.

Apa latar belakang pendirian Bogor Historical Walk?

Bogor Historical Walk sebenarnya dulu kegiatan iseng-iseng sambil ngasuh anak keliling Kota Bogor, ke tempat-tempat sejarah. Lama-lama, beberapa teman ikut kemudian teman ngajak temannya lagi dan lagi, dan kemudian mereka usul, “Kang, kok nggak dibuka untuk umum saja karena kan kegiatannya menyenangkan?”

Akhirnya dibuka untuk umum tanggal 19 November 2019. Karena kami seringkali kolaborasi dengan komunitas, pas pertama kali jalan ‘tuh sudah banyak yang ikut dan terus berkembang. Pas pandemi, terpaksa kita stop semua kegiatannya. Hampir dua tahun lebih tidak ada acara dan kegiatan baru mulai lagi pada Januari 2022. Eh, nggak lama kemudian ada Omicorn. Setelah lebaran baru mulai intens lagi dan bisa mulai berkolaborasi lagi dengan berbagai komunitas.

Kehidupan orang-orang sekarang serba cepat, kami justru mengajak mereka cooling down gitu lalu kita sama-sama jalan mengenali kota kita. Banyak orang kerja di Jadetabek, pagi-pagi sudah berangkat kerja, terus pulang malam, dan Sabtu–Minggu nggak tahu harus ngapain. Dengan kondisi seperti itu, sulit akan ada rasa memiliki untuk kota sendiri. Kami membangun awareness akan kecintaan pada suatu kota [Bogor]. Selain mengenalkan sejarah dan budaya, kita juga mengenalkan bahwa Bogor itu kota multikultural, yang sejak zaman dulu sudah banyak suku dan kepercayaan. Pengurus BHW sekitar 5-7 orang. Setiap kegiatan, kita buka untuk umum, dan siapapun yang sudah pernah ikut tur udah jadi keluarga besar Bogor Historical Walk.

Bagaimana kesan tur pertama saat dibuka untuk umum?

Responnya bagus dan menarik. “Bikin lagi dong yang lain,” itulah yang membuat kami semangat.

Tapi, karena baru pertama jalan pasti banyak kurangnya lah. BHW itu konsepnya selalu dekat, BHW itu ibarat anak kampung sini terus kayak ngajak temen kita main ke kampung kita. Terus ada masukkan dari teman-teman juga yang membuat BHW semakin berkembang, semisal pakai speaker ketika ngomong. 

Para peserta kebanyakan berasal dari mana dan usia berapa, serta apa yang mereka inginkan ketika mengikuti tur?

Rentang umur dari bayi sampai umur 81 tahun. Ada macam-macam motivasi mereka buat ikut tur ini, tapi saya tuh senang mereka tuh ingin mengenal kota. Ada juga yang karena iseng ikut teman terus akhirnya kecanduan.

Ada juga yang senang foto, ada juga yang ingin sekedar menambah ilmu, ada yang senang walking tour. Tapi yang dari saya simpulkan adalah ingin belajar sejarah dan ingin mengenal kotanya lebih baik lagi.

  • Dokumentasi perjalanan
  • vihara dhanagun
  • kebun raya bogor

Adakah peserta yang memiliki keunikan tersendiri? Misalnya, ternyata ada peserta BHW yang seorang ahli sejarah, atau punya koneksi dengan tempat yang dituju.

Sering. Misalnya kita cerita soal ini, tiba-tiba ada yang nambahin, ternyata dia adalah dosen. Kami senang bisa saling berbagi. Kami juga sering kalau ingin masuk ke bangunan-bangunan bersejarah, ternyata ada anggota BHW yang bekerja di situ sehingga mempermudah kita untuk izin masuk ke dalam gedung.

Yang menarik lagi, kita ada anggota yang punya rumah zaman kolonial gitu. Ia memperbolehkan kami masuk ke dalam rumahnya. Kalau ada warga senior yang ikut tur, itu pasti kami suruh buat cerita-cerita tentang Bogor tempo dulu. Cerita-cerita itu akhirnya yang memperkaya cerita kami. —dalam menjelaskan suatu tempat—jadi kami menyampaikan beberapa versi cerita dari suatu tempat.

Apa yang menjadi dasar pengambilan tema pada suatu tur? Apakah tur juga menyesuaikan minat yang sedang populer?

Saat ini BHW punya sembilan rute. Biasanya kita bikin polling di Instagram, biasanya kita pilih tiga teratas dari situ [polling]. Ada juga rute-rute yang tidak bisa kita buka tiap bulan karena izinnya susah karena kami tidak ingin hanya di luar pagar saja.

Alhamdulillah, orang-orang juga open karena kami bersurat dan berusaha tertib. Ada banyak pertimbangan sih.

Dalam penyampaian materi dari tempat-tempat yang dikunjungi, apakah setelah tur ada pembahasan lebih lanjut melalui media lainnya?

Nggak. Jadi, pada 2019 itu kita punya grup WA setiap habis kegiatan, jadi banyak yang nggak terawat. Kita komunikasi via DM saja jadinya.

Dari postingan instagram, sepertinya BHW seringkali mengadakan kerja sama menggelar kunjungan dengan berbagai komunitas, apa yang ingin dicapai oleh BHW dengan terjalinnya kerja sama antar komunitas?

Setiap komunitas itu menarik! Semisal dengan TelusuRI waktu itu: 10.000 steps for corals. TelusuRI ingin menciptakan perjalanan berkelanjutan yang nggak cuma datang dan pergi. Jadi, kami melihat komunitas itu sesuatu yang menarik Ada juga sama Bogor Runner, jadi kami nunggu para pelari di titik-titik yang bersejarah terus kami cerita, tapi kami nggak ikut lari, takut pingsan soalnya. Haha.

Kami berkolaborasi dengan setiap komunitas yang pertama, biar saling kenal. Yang kedua  banyak yang bisa dikerjasamakan. Semisal ada bencana, kita bisa galang bantuan dengan komunitas. Kami bisa belajar dengan komunitas tersebut, belajar manajemennya, belajar gerakannya, bisa menghadirkan ide-ide menarik yang secara tidak sengaja.

Saya percaya, kekuatan suatu kota itu terletak di komunitas. Makin solid komunitasnya, akan makin hidup kotanya.

Adakah hal-hal yang menjadi goals BHW, namun belum tercapai hingga saat ini? Apa saja kendala untuk mewujudkannya?

Bikin buku tentang sejarah Bogor. Itu salah satu keinginan kita yang belum tercapai. Mudah-mudahan tahun depan bisa tercapai. Kami berjejaring dengan komunitas literasi yang di Bandung, mereka tuh aktif menerbitkan buku tentang sejarah Bandung, budaya Bandung. Jadi ditulis independen, diterbitkan independen, dan dipasarkan juga sama mereka. Mereka menggelar diskusi kayak di warung kopi, dan cara pemasarannya seperti itu. Benar-benar gerakan yang dari bawah dan indie gitu.

Bagaimana kondisi pelestarian situs sejarah di Bogor secara umum dan apa harapan BHW kedepannya terhadap kelestarian bangunan bersejarah di Bogor? 

Alhamdulillah, cagar budaya dan bangunan-bangunan tua masih lumayan terjaga, dan kami bersyukur. Mudah-mudahan kedepannya semakin baik lagi. Katanya kawasan Empang mau ditata, dan alhamdulillah sudah ada perhatian dari pemerintah. Bogor ‘kan kota bersejarah dan bangunan bersejarahnya masih banyak, baik yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya ataupun belum. Harapan kami, semoga makin banyak bangunan bersejarah itu yang dilestarikan. Ada kawasan yang sudah ditata semisal di Surya Kencana, tapi banyak bau pesing di sana. Sayang kalau sudah ditata, tapi masyarakatnya belum sadar.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Sejarah Bogor bersama Bogor Historical Walk appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-sejarah-bogor-bersama-bogor-historical-walk/feed/ 0 36861
Kebun Raya Bogor dan Ingatan yang Tak Pudar https://telusuri.id/kebun-raya-bogor-dan-ingatan-yang-tak-pudar/ https://telusuri.id/kebun-raya-bogor-dan-ingatan-yang-tak-pudar/#respond Thu, 15 Sep 2022 05:03:56 +0000 https://telusuri.id/?p=35312 Subuh pada hari Sabtu. Kali ini saya harus menggerakkan sendi-sendi otot untuk bergegas mandi. Bukan untuk berangkat bekerja, tapi untuk merealisasikan wacana perjalanan bersama teman-teman kantor yang sudah dielu-elukan sedari November tahun lalu, namun baru...

The post Kebun Raya Bogor dan Ingatan yang Tak Pudar appeared first on TelusuRI.

]]>
Subuh pada hari Sabtu. Kali ini saya harus menggerakkan sendi-sendi otot untuk bergegas mandi. Bukan untuk berangkat bekerja, tapi untuk merealisasikan wacana perjalanan bersama teman-teman kantor yang sudah dielu-elukan sedari November tahun lalu, namun baru Juni kemarin kami lakukan. Gelar “sarjana wacana” memang cukup pantas disematkan pada kami, hanya sekedar pergi ke Bogor saja dari Jakarta membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Tentang perjalanan kali ini, dibilang liburan, juga tidak. Tapi kalau dikatakan enggan liburan juga tidak pas. Pikiran saya hanya ingin mewujudkan keinginan seorang teman bernama Diana yang sudah ngidam untuk melawat di Kebun Raya Bogor. Iya betul, lokasinya harus di Kebun Raya Bogor. Tidak mau hanya sekedar di Taman Kota Jakarta. Saya juga tidak tahu mengapa harus di sana. 

Saya tipikal orang yang kalau bepergian, tidak terlalu terpaku dengan waktu. Mengalir saja dengan menikmati setiap momen bersama. Namun, agak berbeda dengan Diana. Segala jadwal acara, menjahit kain untuk alas piknik, hingga briefing H-1 sebelum keberangkatan pun dilakukan. 

Bak kepanitiaan kampus mengadakan acara study tour, semua hal harus dipersiapkan dengan matang. Titik kumpul pun sudah ditentukan di Stasiun Manggarai. Kami rencananya berkumpul di sana pukul 06.00 WIB. Tapi, karena teman-teman saya berempat dari Clement, Alifah, Gita, dan Diana menjunjung tinggi budaya lokal jam karet, baru sekitar pukul 07.30 kami baru berkumpul semuanya, cukup on time

“KRL ke Bogor ada di peron 12,” ucap salah seorang petugas Stasiun Manggarai. Kami pun bergegas menuju ke sana. Nah, di sinilah kejadian seru mulai terjadi. Saya rasa kami semua sejak bangun tidur hingga naik KRL masih dalam keadaan setengah sadar, sleepwalking rasanya. Bagaimana tidak? Ketika menunggu kereta di peron 12, ada kereta yang datang kami langsung saja masuk tanpa memperhatikan informasi tujuan kereta tersebut. Ditambah lagi, ketika kami sudah masuk dan duduk. Kami langsung terhipnotis nyamanya kursi kereta hingga terlelap tidur. Hanya ada Diana yang masih membuka mata dan asyik membaca novel. 

Saya sedikit terbangun ketika kereta sudah sampai di Stasiun Pasar Minggu Baru. Aneh, kenapa saya malah mendengar kereta ini sedang menuju ke stasiun akhir Cibinong dan Nambo. Wah salah naik kereta nih! 

Nyasar di Stasiun Cibinong
Nyasar di Stasiun Cibinong/Dimas Purna Adi Siswa

Lalu, cobalah saya bicara dengan Mbak Gita yang memang asli tulen Jakarta, “Nggak mungkin salah kereta, gue anak KRL nih. Udah pasti ke Bogor ini, kalo ke Nambo mah transit lagi,” ucapnya. Saya berdebat ngalor-ngidul dengan Mbak Gita yang kekeh bahwa kereta ini pasti sampai di Bogor, tapi dalam benak hati saya tetap berpikir sepertinya kami salah naik kereta. 

Benar saja kereta ini bertujuan akhir di Nambo. Rencana awal sampai di Stasiun Bogor sekitar jam setengah sembilan menjadi molor karena harus kembali ke Stasiun Citayam untuk ganti kereta. 

Kami akhirnya tiba di Bogor meskipun sangat meleset dari jadwal yang kami rencanakan. Sebelum naik angkutan kota berwarna hijau, kami membeli sedikit kudapan. Diana yang sangat semangat untuk tetap on track sesuai jadwal agaknya sudah pasrah. Apalagi melihat teman saya Alifah yang kerjanya sepanjang jalan hanya tidur saat di kereta maupun angkot. Mungkin dalam pikirannya, ya sudah yang penting tidak lagi wacana untuk piknik. 

Tibalah kami di Kebun Raya Bogor, banyak pengunjung lain yang antri membeli tiket masuk menyambut kedatangan kami. Rencananya kami semua ingin mengelilingi Kebun Raya dengan menaiki sepeda, tapi melihat antrian yang cukup panjang kami urungkan niat tersebut. Coba beralih menaiki shuttle bus atau golf car ternyata harus menunggu sekitar 40–60 menit. Fix, kami salah tanggal. 

Kolam Kebun Raya Bogor
Kolam Kebun Raya Bogor/Dimas Purna Adi Siswa

Kami putuskan seketika, untuk langsung menuju inti acara. Piknik!

Setelah berkeliling mencari lokasi untuk menggelar tikar, akhirnya kami menemukan satu lokasi yang cukup luas dengan kondisi rumput yang kering, dan tentunya lokasi ini berada di bawah pohon yang cukup rindang. 

“Cocok nih!” ujar saya.

Langsung saja segera menggelar tikar dan menata satu per satu makanan yang sudah kami persiapkan sebelumnya. Bercengkrama bercerita satu sama lain sambil menikmati makanan. Saya mulai merasakan kehangatan yang sudah lama saya tidak rasakan.

Ingatan saya mulai muncul kembali akan kebiasaan keluarga saya dahulu yang cukup sering piknik bersama. Dari rumitnya persiapan berangkat, mencari spot untuk menggelar tikar, hingga makan bersama sambil bersenda gurau. Ternyata tanpa saya sadari, piknik bersama teman saya ini sangat membuat rindu akan keluarga yang saat ini sudah tidak utuh.

Tanaman Kebun Raya Bogor
Tanaman Kebun Raya Bogor/Dimas Purna Adi Siswa

Meskipun, hanya bersama teman-teman kantor, setidaknya hal ini cukup memberikan kehangatan dan kebahagiaan yang sudah lama tidak saya rasakan. Memang betul waktu bersama orang-orang yang kita sayangi sangat-sangatlah berharga hingga ada ucapan bahwa hadiah yang sangat berharga dari seseorang adalah waktu yang dia berikan kepada kita. Karena, dari waktu bersama tadilah muncul kenangan yang akan selalu terpatri dalam jiwa setiap manusianya. Apalagi kalau waktu bersama ini menyangkut kehangaan dan kebersamaan dengan keluarga.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kebun Raya Bogor dan Ingatan yang Tak Pudar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kebun-raya-bogor-dan-ingatan-yang-tak-pudar/feed/ 0 35312
Curug Leuwi Hejo, Destinasi Air Terjun Hijau Toska di Bogor https://telusuri.id/curug-leuwi-hejo-destinasi-air-terjun-hijau-toska-di-bogor/ https://telusuri.id/curug-leuwi-hejo-destinasi-air-terjun-hijau-toska-di-bogor/#respond Tue, 11 Jan 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31986 Bogor memang tidak ada habisnya kalau membahas soal curug, dari yang paling populer sampai yang masih sepi, semua ada. Salah satu yang cukup populer yakni Curug Leuwi Hejo yang berlokasi di Kampung Wangan, Cileungsi, Karang...

The post Curug Leuwi Hejo, Destinasi Air Terjun Hijau Toska di Bogor appeared first on TelusuRI.

]]>
Bogor memang tidak ada habisnya kalau membahas soal curug, dari yang paling populer sampai yang masih sepi, semua ada. Salah satu yang cukup populer yakni Curug Leuwi Hejo yang berlokasi di Kampung Wangan, Cileungsi, Karang Tengah, di Sentul, Bogor. Pamor curug ini sempat ramai diperbincangkan di dunia maya karena airnya berwarna toska (jika tidak hujan, tentunya) dan banyak pesohor yang berkunjung.

Pada akhir pekan, biasanya warga Jabodetabek berbondong-bongong memadati kawasan Curug Leuwi Hejo untuk sekedar menghabiskan hari dan bersantai. Maklum, curug ini juga berhasil dikenal oleh foto-foto dari pegiat media sosial yang memamerkan kebeningan aliran airnya. Oleh karenanya, kalau berniat mencari waktu kunjungan terbaik, datang saja pada hari kerja (Senin-Jumat).

Menuju Curug Leuwi Hejo

Waktu tempuh dari Jakarta ke Curug Leuwi Hejo bisa menyita waktu hingga 2 jam pada hari biasa, atau sekitar tiga jam pada akhir pekan.  Dari Jakarta, jarak tempuh menuju Curug Leuwi Hejo sekitar 50 km, untuk yang menggunakan kendaraan pribadi, kalian bisa langsung menuju Jalan Raya Bogor kemudian menuju ke Jalan Mayor Oking dan sampai ke Citeureup, ikuti Jalan Raya Citeureup hingga sampai ke Jalan Raya Tajur Leuwi Bilik; dari sini nanti kita akan mendapati plang yang akan membawa ke Jalan Cibadak Sukamakmur dan Jalan Kecil Badak.

Alternatif lainnya, dari Jalan Raya Bogor menuju Jalan Alternatif Sentul, kemudian lurus menuju Jalan Raya Citaringgul dan patokan yang paling mudah adalah JungleLand Adventure Bogor lurus terus hingga menuju Jalan Raya Babakan. 

Curug Leuwi Hejo juga berdekatan dengan curug-curug lainnya seperti Curug Leuwi Barong, Curug Leuwi Cepet, Curug Cibaliung, dan Curug Ciburial. Bahkan untuk menuju tempat yang lebih sepi, pengunjung dapat menuju curug yang lebih jauh sedikit namun masih satu kawasan yaitu Curug Hordeng dan Curug Mariuk. Biaya masuk satu curug adalah Rp15.000 per orang. Namun perlu diperhatikan, kadang ada kalanya pengunjung ditarik pungutan liar sebelum masuk ke kawasan.

Bermain Air

Sebelum memasuki kawasan, pengunjung akan sedikit trekking melalui jalan setapak yang di kiri kanannya menawarkan pemandangan hutan asri. Pada musim hujan, trek ini menjadi penuh dengan genangan air. Begitu pula dengan Curug Leuwi Hejo, airnya pun tercampur dengan tanah dan berubah warna menjadi coklat. Pada musim kemarau, air di sini tetap mengalir dengan lancar dan jernih

Salah satu kegiatan yang mengasyikkan di kala bermain air terjun adalah menikmati guyuran air. Meskipun tidak terlalu tinggi, Curug Leuwi Hejo kucuran air terjun yang mengalir sangat menyegarkan badan. Meskipun terlihat tidak berbahaya, curug ini mempunyai kedalaman sekitar 1,5 meter hingga 2 meter sehingga pengunjung harus tetap berhati-hati saat berenang. Kalau tidak mau berenang, pengunjung bisa bermain air di pinggiran curug. Namun tetap harus  hati-hati saat melangkah karena batu-batu yang licin.

Aliran air yang hanya setinggi 3 meter sebenarnya termasuk kategori air terjun “ramah”  dan tidak berbahaya, oleh karena itu Curug Leuwi Hejo menjadi destinasi curug favorit di Bogor. Ditambah pemandangan Gunung Gede dan Pangrango dari kejauhan, menambah kesan curug ini berada di tempat terpencil. 

Ada banyak warung di sekitar lokasi curug menyediakan kudapan untuk kamu yang merasa haus dan lapar. Harganya terjangkau. Ada juga tempat MCK untuk keperluan “mendadak” atau sekedar berganti baju usai bermain air.

Fasilitas dan Sampah di Sekitar Curug

Sayangnya, sampah-sampah dari pengunjung bertebaran di sepanjang jalan menuju curug maupun di sekitar curug. Entah kenapa masih banyak pengunjung yang suka membuang sampah sembarangan, padahal sudah ada himbauan untuk tidak membuang sampah sembarangan. Oleh karenanya, jangan lupa, setelah mengunjungi Curug Leuwi Hejo bersihkan sampah dan buang ke tempat yang seharusnya karena kebersihan adalah hal terkecil yang dapat kita lakukan untuk menjaga bumi.

Meskipun curug ini bagus, banyak pengunjung yang mengeluhkan pengelolaannya yang terkesan serampangan karena banyaknya pungutan liar selama menuju ke sana. Beberapa ulasan negatif pun datang dari pengguna Google Maps yang mengeluhkan kondisi tersebut. 

Mungkin ada momen-momen tertentu yang diincar para penarik liar ini, semisal momen akhir pekan atau libur panjang. Semoga kedepannya pengelola dan warga setempat berbenah untuk kualitas pelayanan yang lebih baik.

Curug Leuwi Hejo memang menjadi salah satu tujuan wisata alam yang diminati oleh kalangan muda dan keluarga, karena jaraknya yang relatif dekat dengan ibu kota membuatnya seringkali ramai pada akhir pekan. Leuwi Hejo juga berdekatan dengan curug-curug lainnya yang masih satu aliran air yang membuatnya bisa berpindah dari satu curug ke curug lainnya dengan mudah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Curug Leuwi Hejo, Destinasi Air Terjun Hijau Toska di Bogor appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/curug-leuwi-hejo-destinasi-air-terjun-hijau-toska-di-bogor/feed/ 0 31986