Bojonegoro Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bojonegoro/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sun, 25 Aug 2024 08:31:47 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Bojonegoro Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bojonegoro/ 32 32 135956295 Menyusuri Waduk Pacal Bojonegoro, Bangunan Warisan Belanda Sejak 1933 https://telusuri.id/menyusuri-waduk-pacal-bojonegoro-bangunan-warisan-belanda-sejak-1933/ https://telusuri.id/menyusuri-waduk-pacal-bojonegoro-bangunan-warisan-belanda-sejak-1933/#respond Fri, 30 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42582 Waduk Pacal seolah memiliki magnetnya tersendiri, bahkan sebelum saya berkunjung. Cerita mitos dan sejarahnya yang menyelimuti hingga kini, menjadi dominasi kuat sebagai salah satu destinasi menarik di Bojonegoro.  Tetangga dan saudara saya bahkan tidak berani...

The post Menyusuri Waduk Pacal Bojonegoro, Bangunan Warisan Belanda Sejak 1933 appeared first on TelusuRI.

]]>
Waduk Pacal seolah memiliki magnetnya tersendiri, bahkan sebelum saya berkunjung. Cerita mitos dan sejarahnya yang menyelimuti hingga kini, menjadi dominasi kuat sebagai salah satu destinasi menarik di Bojonegoro. 

Tetangga dan saudara saya bahkan tidak berani berkunjung ke tempat tersebut. Alasannya pun beragam, salah satunya karena tempat ini angker. Dulunya saat waduk dibangun, banyak warga setempat dipekerjakan secara paksa, hingga berujung meninggal dunia.

Namun, terlepas dari cerita dan berbagai mitos yang beredar di masyarakat, Waduk Pacal menjadi tujuan wisata yang paling membuat saya penasaran. Saya bersama keluarga pun langsung pergi ke waduk yang dibangun pemerintah Hindia Belanda pada 1927 dan diresmikan tahun 1933 tersebut.

Menyusuri Waduk Pacal Bojonegoro, Bangunan Warisan Belanda Sejak 1933
Perbukitan hijau yang mengelilingi Waduk Pacal/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Perjalanan Menuju Waduk Pacal 

Kami berangkat hari Jumat pagi waktu itu. Perjalanan terbilang sebentar, hanya setengah jam saja dari rumah. Sepanjang perjalanan menuju Waduk Pacal tidak terasa membosankan. Kondisi jalan sudah beraspal atau cor.

Jalanan menuju Waduk Pacal melewati hutan jati dan tebing-tebing yang digunakan sebagai ladang oleh masyarakat setempat. Tidak banyak warga yang tinggal di daerah yang dilalui. Ini terlihat dari jumlah rumah di sepanjang jalan yang bisa dikatakan tidak terlalu padat. 

Sesampainya di waduk, kami membayar tiket masuk Rp5.000 per orang dan parkir roda empat sebesar Rp5.000. Terbilang cukup murah untuk kawasan objek wisata. Menurut juru parkir, tempat ini biasanya akan ramai pengunjung pada hari Sabtu dan Minggu saja. Selebihnya, hanya nelayan dan pemancing yang berkunjung dari dalam maupun luar kota. 

Kami harus sedikit berjalan kaki sedikit menanjak ke area waduk yang berlokasi di Dusun Tretes, Desa Kedungsumber, Kecamatan Temayang itu. Bagi orang tua maupun lansia, bisa menyewa tukang ojek yang ada di area parkir dengan membayar Rp5.000 sekali jalan menuju lokasi tepat di depan waduk. 

Menyusuri Waduk Pacal Bojonegoro, Bangunan Warisan Belanda Sejak 1933
Sudut pohon di tepi waduk tempat nelayan bersiap memancing/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Dibangun Sebelum Indonesia Merdeka

Waduk ini dibangun untuk menampung air dari Sungai Pacal, dan menjadi bendungan beton pertama di Indonesia pada tahun 1933. Dibangun sebelum Indonesia merdeka.

Pembangunan waduk terjadi pada masa malaise, yakni situasi dan kondisi di mana depresi ekonomi sedang melanda Indonesia. Dimulai pada tahun 1929 hingga 1930–an akhir. Pada masa tersebut juga kesengsaraan dan kelaparan terjadi karena daya beli masyarakat semakin melemah akibat krisis ekonomi. 

Oleh sebab itu, saat pembangunan waduk, pemerintah Belanda mengerahkan banyak tenaga kerja dari masyarakat sekitar agar bisa meningkatkan sumber penghasilannya. Sebagai bangunan bersejarah peninggalan kolonial, waduk ini masih berfungsi hingga kini sebagai irigasi lahan pertanian di Bojonegoro. Bahkan, air dari waduk ini bisa mengalir hingga jembatan Kedungjati yang berlokasi di Kecamatan Temayang.

Menyusuri Waduk Pacal dengan Perahu

Keindahan alam di sekitar waduk menjadikannya lebih dari sekadar tempat penampungan air semata. Pepohonan rindang dan perbukitan kecil yang mengelilingi waduk ini menambah suasana asri dan kesejukan bagi para pengunjung. 

Kami duduk di depan warung yang berada di dekat waduk sembari menikmati suasana. Udara segar menyeruak, kami melepaskan penat sejenak. Tak lama seorang bapak menawarkan jasanya pada kami untuk menyusuri waduk menggunakan perahu miliknya yang tengah bersandar. Tanpa pikir panjang, kami bersedia. Cukup membayar Rp10.000 per orang, kami bisa menyusuri Waduk Pacal lebih dekat.

Mengunjungi Waduk Pacal pada pukul 10 pagi terbilang panas. Namun, akhirnya tetap menjadi pilihan tepat karena langit sedang cerah. Terlihat beberapa pemancing melemparkan kail mereka ke waduk setelah memasang umpan. Ada juga beberapa nelayan yang memancing dari atas perahu, sambil menjelajahi lokasi-lokasi potensial untuk mendapatkan ikan. Sementara jaring-jaring nelayan terlihat dengan adanya botol plastik sebagai pelampung untuk memberi tanda lokasi perangkap ikan berada.

Para pemancing bisa menyewa perahu milik warga dengan tarif sekitar Rp20.000 selama setengah hari. Sementara nelayan biasanya mulai berdatangan ke waduk setelah subuh. Sebelum berangkat dengan perahunya, mereka memastikan memantau kondisi air terlebih dahulu. Jika kondisi air tenang, maka para nelayan memutuskan untuk mencari ikan.

Menurut Pak Samin, pemilik perahu yang kami sewa, banyak pengunjung memanfaatkan Waduk Pacal ini untuk memancing. Terutama ikan nila, dengan menggunakan umpan lumut. Jika menggunakan umpan cacing, kemungkinan besar yang didapat adalah ikan bloso atau betutu. 

Selain dua jenis tersebut, ikan lainnya yang biasa ditangkap oleh para nelayan di waduk ini antara lain wader dan udang. Para nelayan biasanya menjual hasil tangkapan mereka ke pengepul yang terletak di sisi selatan waduk, atau langsung menawarkannya ke warung makan sekitar waduk.

Menyusuri Waduk Pacal Bojonegoro, Bangunan Warisan Belanda Sejak 1933
Kuliner khas di warung sekitar Waduk Pacal/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Mencicipi Kuliner Khas Waduk Pacal

Setelah berkeliling dengan perahu, kami pun bergegas untuk mencicipi ikan bloso yang menjadi kuliner khas dari Waduk Pacal. Kami memutuskan untuk mampir ke Warung Makan Ikan Kali. Lokasinya tidak jauh dari area waduk.

Selain bloso, beragam menu lainnya antara lain ikan wader, udang, dan nila. Ada pilihan nasi putih dan nasi jagung yang bisa diambil sesuai porsi yang diinginkan. Untuk harga seporsi berkisar Rp25.000 sudah termasuk paket nasi, ikan, tempe, tahu, dan sambal. 

Daging ikan bloso terkenal dengan tekstur lembut dan tidak berserat. Sebenarnya saya sendiri sedikit kurang suka. Padahal ikan ini memiliki kandungan protein yang tinggi. Untungnya, masih ada pilihan ikan wader yang gurih dan crispy dipadu dengan sambal tomat matang.

Mengunjungi Waduk Pacal menjadi momen berkesan saya saat berada di Bojonegoro. Terlepas dari cerita mitos yang beredar turun-temurun hingga sekarang, waduk ini memiliki daya tarik tersendiri, termasuk kisah sejarahnya, yang akan tetap abadi.


Referensi:

Kemdikbud. Malaise. Ensiklopedia Sejarah indonesia. Diakses pada 27 Juni 2024, https://esi.kemdikbud.go.id/wiki/Malaise.
Putri, J. R. (2019). Pembangunan Waduk Pacal dan Pengaruhnya Terhadap Perekonomian Masyarakat Bojonegoro Tahun 1927–1998. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. https://lib.unnes.ac.id/35453/1/3111413014_Optimized.pdf.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Waduk Pacal Bojonegoro, Bangunan Warisan Belanda Sejak 1933 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-waduk-pacal-bojonegoro-bangunan-warisan-belanda-sejak-1933/feed/ 0 42582
Kerupuk Klenteng Bojonegoro, Warisan Legendaris yang Tetap Eksis Sejak 1929 https://telusuri.id/kerupuk-klenteng-bojonegoro/ https://telusuri.id/kerupuk-klenteng-bojonegoro/#respond Sat, 18 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29279 Saat berada di Kota Bojonegoro, saya sempat heran, kenapa ada begitu banyak kerupuk yang rupa-rupa warnanya seperti nyanyian “Balonku Ada Lima”? Sebab kerupuk ini identik dengan warna merah muda, hijau, kuning, dan putih. Saya sering...

The post Kerupuk Klenteng Bojonegoro, Warisan Legendaris yang Tetap Eksis Sejak 1929 appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat berada di Kota Bojonegoro, saya sempat heran, kenapa ada begitu banyak kerupuk yang rupa-rupa warnanya seperti nyanyian “Balonku Ada Lima”? Sebab kerupuk ini identik dengan warna merah muda, hijau, kuning, dan putih. Saya sering menjumpainya pada hidangan ibu-ibu pengajian, hidangan pendamping sarapan, maupun acara tasyakuran. 

“Oh, mungkin masyarakat di sini begitu mengidolakan kerupuk berwarna rupa-rupa,” batin saya penasaran. 

Saya pun berusaha mencari tahu apa penyebabnya. Melalui penelusuran Google, saya mencari tahu “kerupuk berwarna Bojonegoro” yang ternyata memiliki nilai sejarah panjang sejak 1929 hingga sekarang tetap bertahan. Tanpa pikir panjang, saya pun berkunjung ke lokasi di mana kerupuk Klenteng ini diproduksi. 

Kerupuk warna-warni/Annisa S

Kerupuk Klenteng d/h Tan Tjian Liem ini letaknya di pusat kota Bojonegoro, sehingga sangat mudah untuk ditemukan. Lokasinya pun tak jauh dari Klenteng Hok Swie Bio, tepat di depan lampu lalu lintas dan pangkalan becak di Jalan Jaksa Agung Suprapto 132 (Timur Klenteng), Banjarejo, Kecamatan Bojonegoro, Kabupaten Bojonegoro. 

Untuk memastikan keaslian Kerupuk Klenteng tersebut, biasanya masyarakat setempat menyebutnya “kerupuk bangjo” karena lokasinya memang tepat di lampu lalu lintas. 

Sekilas tentang kerupuk Klenteng - Annisa S
Sekilas tentang kerupuk Klenteng/Annisa S

Sudah ada sejak tahun 1929 

Kerupuk yang sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka tepatnya pada tahun 1929 ini memiliki sejarah cukup panjang, wajar jika masyarakat Bojonegoro maupun luar kota mengidolakannya. Bertahan hingga 92 tahun, tentu sudah melewati berbagai rintangan, namun kerupuk Klenteng ini mampu bertahan hingga sekarang. Usaha ini milik pasangan suami istri Tan Tjian Liem dan Oci Hay Nio yang merintis usaha pembuatan kerupuk tradisional. Kini, Usaha produksi kerupuk dikembangkan oleh generasi ke-4 dari pasangan tersebut.  

Setiap hari kerupuk selalu produksi, karena memang kerupuk ini selalu ramai dibeli. Baik dari orang Bojonegoro, maupun warga luar kota yang membeli sebagai oleh-oleh. Saat saya berada di lokasi, hilir mudik orang-orang berdatangan untuk membeli. Wajar jika masih pagi pun sudah antri pembeli. Buka jam 06.00 – 19.00 WIB, tempat ini sudah bisa melayani pembeli, mulai dari yang membeli secara langsung, maupun online melalui berbagai aplikasi.

Memiliki cita rasa yang begitu khas, tidak terlalu gurih, kerupuk ini berhasil membuktikannya kepada para pelanggan. Tanpa campuran bahan pengawet seperti borax, maupun formalin. Ada hasil uji laboratorium yang terpampang jelas di lokasi pabrik, oleh sebab itu pembeli bisa merasa yakin dengan kerupuk yang akan dibeli.

Hasil uji laboratorium kerupuk
Hasil uji laboratorium kerupuk/Annisa S

Menjadi kerupuk khas Bojonegoro

Terjawab sudah rasa penasaran saya mengenai kerupuk berwarna merah muda, hijau, kuning, dan putih ini. Wajar jika masyarakat Bojonegoro menyukai kerupuk ini, saya sendiri juga menyukainya. Kerupuk Klenteng bisa dibeli di pasar tradisional, namun untuk memastikan keasliannya, beberapa pembeli memilih membelinya secara langsung dari pabrik sebab banyak jenis kerupuk Klenteng yang beredar di pasaran.

Kerupuk ini cocok untuk cemilan karena rasanya yang gurih alami, maupun hidangan saat makan nasi. Nampaknya kerupuk Klenteng memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Bojonegoro. 

Kerupuk Klenteng kerap ditemukan dalam acara-acara kemasyarakatan. Di pengajian, kerupuk ini biasanya dihidangkan bersama asem-asem daging khas Bojonegoro yang begitu lezat. Daun kedondong muda, irisan cabai, dan daging yang sudah dipotong dadu, serta renyahnya kerupuk Klenteng selalu menghiasi toples-toples besar saat pengajian. Di tasyakuran, biasanya kerupuk ini dibawakan oleh orang-orang dalam kemasan plastik untuk dibawa pulang bersama berkat yang sudah dibagikan. 

Pembeli kerupuk
Pembeli kerupuk/Annisa S

Digoreng secara tradisional 

Di pabrik ini tempat penggorengan dan pembelian menjadi satu, para pengunjung yang datang sekitar pukul 10.00 WIB akan melihat bagaimana proses penggorengannya. Ada tungku besar yang terbuat dari batu bata ditata rapi, serbuk kayu digunakan sebagai bahan bakar utama. Wajan penggorengan ada dua, satu untuk memanaskan kerupuk menjadi setengah matang, lalu pindah ke wajan dua untuk mematangkan kerupuk hingga mengembang sempurna. 

Setelah itu ditiriskan minyaknya, dan kerupuk akan dimasukkan di plastik-plastik berukuran besar untuk stok esok harinya. Dari kerupuk itu pun masih dipilih berdasarkan kualitasnya, kerupuk yang mengembang lebih bagus akan dipisahkan di plastik tersendiri. Terlihat para Ibu-ibu sibuk memilih kerupuk mana saja yang kualitasnya bagus dengan cepat.

Petugas yang siap melayani pembeli - Annisa S
Petugas yang siap melayani pembeli – Annisa S

Harga Kerupuk Terjangkau

Untuk 1 kg kerupuk dibandrol dengan harga Rp35.000. Jumlahnya terlihat banyak sekali, satu plastik besar. Bisa juga membeli hanya 1/4 atau 1/2 kilo. Umumnya, orang-orang biasanya membeli 1/2 – 1 kilo dan ada yang lebih, untuk stok di rumah atau dibawa untuk oleh-oleh keluar kota.

Kerupuk Klenteng juga dikemas dengan aman menggunakan plastik berwarna putih dengan kualitas bagus, tidak mudah robek.  Adanya logo kerupuk Klenteng dan bertuliskan  “Sejak Dulu Disukai karena Rasa” menjadikan keunikan dan bukti kepercayaan bagi masyarakat Bojonegoro terhadap kerupuk Klenteng  yang satu ini. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kerupuk Klenteng Bojonegoro, Warisan Legendaris yang Tetap Eksis Sejak 1929 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kerupuk-klenteng-bojonegoro/feed/ 0 29279
Berdansa di Antara Anugerah dan Musibah https://telusuri.id/berdansa-di-antara-anugerah-dan-musibah/ https://telusuri.id/berdansa-di-antara-anugerah-dan-musibah/#respond Mon, 06 Apr 2020 15:21:59 +0000 https://telusuri.id/?p=20743 Agama dan keyakinan merupakan garda terdepan dalam memberikan rasa aman dan ketenteraman bagi masyarakat Indonesia. Agama juga tidak dapat dipisahkan dari praktik peribadatan di rumah Tuhan. Lebih dari sekadar media penghubung manusia dengan Tuhan, gereja,...

The post Berdansa di Antara Anugerah dan Musibah appeared first on TelusuRI.

]]>
Agama dan keyakinan merupakan garda terdepan dalam memberikan rasa aman dan ketenteraman bagi masyarakat Indonesia.

Agama juga tidak dapat dipisahkan dari praktik peribadatan di rumah Tuhan. Lebih dari sekadar media penghubung manusia dengan Tuhan, gereja, masjid, candi, dan pura serta tempat peribadatan lainnya telah menjadi pot percampuran untuk beragam aktivitas sosial, misalnya bercengkerama dengan sanak saudara dan tetangga. Masyarakat Indonesia berjejalan memasuki rumah Tuhannya ketika panggilan Tuhan dikumandangkan. Berdoa, meminta ampunan dan keberuntungan serta kasih sayang Tuhan memberikan makna pada kehidupan.

Hubungan antara Sang Khalik dan manusia Indonesia ini menjadi pelik semenjak datangnya wabah pandemik. Di antara jejalan manusia di gereja dan masjid, corona semakin giat mengintai, berlompatan dari satu manusia ke manusia lainnya, berada di tengah-tengah manusia dan Tuhannya.

Petugas PMI menyemprot disinfektan untuk cegah penyebaran COVID-19 di kawasan Katedral Santo Petrus, Bandung, Jawa Barat, Jumat, 20 Maret 2020 via TEMPO/Prima Mulia

Di Prancis, sebanyak 2.500 orang terinfeksi corona setelah melakukan kegiatan agama di gereja (lihat Reuters). Sejumlah 15 orang Pakistan telah dinyatakan positif corona setelah melakukan ibadah salat berjemaah (lihat The Wall Street Journal). Melihat dua kasus ini, Amerika, dengan jumlah pasien corona sebanyak 273.000 orang dengan jumlah kematian 7.000 orang, melarang kegiatan agama di gereja dan menggantinya dengan kegiatan keagamaan berbasis panggilan video daring (lihat Washington Post). Ini dilakukan untuk mencegah penyebaran corona di gereja sekaligus memberikan kesempatan bagi umat Kristiani agar dapat tetap mendengarkan ceramah nasihat dari pastor atau pendeta mereka.

Lalu, apakah Indonesia dapat mencontoh Amerika? Selama musim corona, rakyat Indonesia semakin resah dan gundah, takut apabila corona dapat membunuh diri dan anggota keluarga mereka. Akan tetapi, keresahan terhadap corona ini dikalahkan oleh keinginan mereka bertemu Tuhannya. Upaya demi upaya dilakukan agar mereka tetap khusyuk bertemu Sang Khalik.

Di Bojonegoro, salah satu kota kecil di Jawa Timur, misalnya, masyarakat telah meningkatkan higienitas dan sanitasi di berbagai masjid. Masyarakat di kota ini telah berinisiatif menyemprot disinfektan dan memberikan sabun cuci tangan serta padasan (gentong) untuk melindungi jemaah masjid dari penyebaran virus corona. Ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kota tetangga, Jombang dan Surabaya, telah memperoleh gelar zona merah, rawan corona. Meskipun seperti itu, pada akhirnya masjid tetap dibanjiri lautan manusia di hari ibadah salat Jumat. Ini menunjukkan bahwa di Indonesia keyakinan terhadap Tuhan mengalahkan ketakutan terhadap keganasan pandemi corona.

Pemerintah kota juga telah mengimbau agar masyarakat tetap di rumah dan mengurangi kegiatan yang bersifat berkerumun dan riuh. Larangan ini termasuk untuk tahlilan. Tahlilan sendiri adalah kegiatan agama yang lazim dijalankan oleh masyarakat Indonesia yang beragama islam, suatu kegiatan mulia untuk mendoakan mendiang—ayah, anak, ibu, dan anggota keluarga lainnya—yang telah menghadap Ilahi terlebih dahulu. Dikarenakan kemuliaan tahlilan tersebut, banyak yang kemudian membangun pemikiran bahwa kita tidak boleh takut akan corona. Pak Kyai menyatakan, “Mati dan hidup adalah kehendak Allah; meninggal dikarenakan corona saat tahlilan insya Allah syahid.” Syahid dapat diterjemahkan meninggal dengan cara mulia, mendapatkan pahala, dan memperoleh jaminan surga di sisi Tuhannya.

Petugas gabungan melakukan penyemprotan desinfektan dalam rangka pencegahan penyebaran virus corona Covid-19 di Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat, 13 Maret 2020 via TEMPO/Subekti

Pemikiran ini menyemangati masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan peribadatan seperti sebagaimana mestinya. Bahkan mereka rela secara sembunyi-sembunyi melakukan tahlilan. Dulu, tahlilan harus menggunakan pengeras suara. Tetapi, sekarang, takut jika Satpol PP akan melarang kegiatan tahlilan tersebut, masyarakat memilih untuk tidak menggunakan pengeras suara. Ini merupakan cara ampuh untuk menghindari inspeksi Satpol PP, tim yang mencegah penyebaran corona di kota dan desa. Selesai tahlilan, masyarakat berdoa, berjabat tangan, dan berbagi makanan untuk dibawa pulang. Sebuah kelaziman dimaklumkan oleh masyarakat kebanyakan. (Lagipula, data penyebaran corona masih simpang siur. Kurangnya informasi yang akurat dan terbatasnya sarana-prasarana deteksi dini corona pada akhirnya membuat masyarakat semakin yakin bahwa semua akan baik-baik saja apabila kita rajin berdoa.)

Masyarakat selama pandemi corona seakan-akan berdansa di antara anugerah dan musibah. Anugerah karena Sang Khalik memberikan rasa aman dan tenteram melalui keyakinan beragama beserta kegiatan ibadahnya. Musibah dikarenakan corona tidak dapat menahan diri dalam menularkan infeksi penyakitnya melalui udara, jabat tangan, dan kontak fisik lainnya; musuh tak kasatmata yang tidak disadari telah berada di tengah-tengah manusia dan Tuhannya. Namun, ketakutan dan kekhawatiran terhadap pandemi corona ini terkalahkan oleh pahala utama dalam ibadah berjemaah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berdansa di Antara Anugerah dan Musibah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berdansa-di-antara-anugerah-dan-musibah/feed/ 0 20743