borobudur Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/borobudur/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 07 Oct 2024 00:40:06 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 borobudur Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/borobudur/ 32 32 135956295 Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari https://telusuri.id/berwisata-sembari-bermain-di-kampoeng-dolanan-pring-kebonsari/ https://telusuri.id/berwisata-sembari-bermain-di-kampoeng-dolanan-pring-kebonsari/#respond Sat, 05 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42788 Di Desa Kebonsari, bambu memiliki peran yang tidak kaleng-kaleng. Bukan hanya untuk bahan perabot rumah, melainkan juga sudah dijadikan sebagai pendamping hidup. Bambu bertumbuh lebat dan hijau, selalu ada di setiap sendi kehidupan masyarakat. Bambu...

The post Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Desa Kebonsari, bambu memiliki peran yang tidak kaleng-kaleng. Bukan hanya untuk bahan perabot rumah, melainkan juga sudah dijadikan sebagai pendamping hidup. Bambu bertumbuh lebat dan hijau, selalu ada di setiap sendi kehidupan masyarakat. Bambu menikah, dimakan, menari, bermain, menulis, bersuara, dan sebagai bambu sumber kehidupan. Begitu banyaknya makna bambu yang tumbuh di lingkungan Kebonsari, Kecamatan Borobudur, Magelang.

Ada banyak jenis bambu yang tumbuh lebat di Kebonsari. Seluruh bagian bambu dimanfaatkan masyarakat, seperti daun untuk membungkus makanan, batang dimanfaatkan sebagai kerajinan tangan, rebung atau tunasnya menghasilkan hidangan lezat, dan akarnya berfungsi menahan erosi tanah.

Dari banyak kegunaan bambu tersebut, ada satu sorotan yang hanya akan kita temukan di Kebonsari, yaitu bambu menari dan bambu bermain. Kita akan diajak menari dan bermain bersama bambu atau pring, juga dimanjakan dengan berbagai permainan (dolanan) yang dihasilkan dari bilah-bilah bambu. Bambu adalah dolanan yang menggembirakan di Desa Kebonsari. Tidak kalah pamor dengan game di gawai.

Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari
Lomba permainan anak-anak dengan alat-alat bambu di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari/Afifa Lestari

Keragaman dolanan membentuk citra atau ciri khas, yang membedakan Kebonsari dengan desa-desa lain di kawasan Borobudur. Jika desa lain menonjol karena kerajinan dan peninggalan bangunan bersejarah, Kebonsari melejit sebagai “Kampoeng Dolanan Pring”. Kebonsari menjadi desa wisata edukasi permainan tradisional bambu yang menawarkan pengalaman lain saat berwisata.

Kampoeng Dolanan Pring memiliki sebuah sanggar dolanan yang dibangun secara gotong royong oleh masyarakat. Sanggar ini berbentuk joglo terbuka dengan bambu sebagai struktur utama bangunannya. Masyarakat sukarela menyumbang bambu agar sanggar dapat berdiri dengan kokoh.

Terdapat sekitar 70 buah replika dolanan sebagai pengisi pajangan sanggar yang dibuat oleh masyarakat, yang sepertinya sudah digariskan sebagai perajin bambu sejak dini. Dolanan yang dibuat antara lain wayang siladan, layangan, bedil, panahan, angklung, blenderan, long bumbung, plintengan, blengkeran, egrang, plencungan, sontokan, sempritan, kumbangan, kitiran, gepyek bontosan, angkrek, pentongan, kecrek bambu, suling, tulup, getek, kendang, motor mabur, barongan, oncor, pedang, pecut, glindingan, tukmul, gangsingan, dan masih banyak lagi. Dari beberapa dolanan, ada dua jenis dolanan yang menjadi unggulan di Kebonsari, yaitu wayang siladan dan layang-layang.

Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari
Bentuk wayang siladan/Afifa Lestari

Dolanan Wayang Siladan

Wayang siladan menjadi dolanan pertama yang menarik perhatian, karena ini adalah wayang khas Kampoeng Dolanan Pring. Berbeda dari kebanyakan wayang lain yang berukuran lumayan besar, ukuran wayang ini lebih mungil, hanya sekitar 20 cm.

Wayang siladan berbahan dasar bambu jawa. Bambu jawa dipilih karena teksturnya yang lebih lentur dan mudah dibentuk, atau biasa disebut dengan gebes. Siladan sendiri istilah eratan bambu yang berbentuk bilah-bilah tipis, yang biasa digunakan untuk menganyam eblek, irik, dan tedo yang juga merupakan kerajinan khas Desa Kebonsari. 

Dalam perkembangannya, wayang siladan hanya mempunyai dua karakter, yaitu perempuan dan laki-laki. Perempuan disimbolkan dengan bentuk bulat di atas kepala, sedangkan laki-laki berbentuk segitiga. Untuk membuat wayang siladan ada dua versi. Pertama, wayang sederhana hanya menggunakan dua bilah siladan. Kedua, bentuk wayang yang agak rumit dengan menggunakan 4–5 siladan.

Cerita-cerita tua ikut andil dalam memperelok makna dari wayang mungil tersebut. Orang tua zaman dahulu, khususnya di Dusun Gunung Mijil, hampir semuanya adalah pengrajin eblek. Eblek adalah wadah berbentuk bulat sebagai tempat untuk bumbu dapur atau beras. Setiap harinya, apabila tidak pergi ke sawah atau kebun, masyarakat akan pergi ke pengirasan—tempat seperti gubuk untuk membuat eblek yang bisa dipakai 6–15 orang).

Dari keseharian itu, untuk menenangkan anak-anak agar tidak menangis dan mengganggu pekerjaan ketika di pengirasan, orang tua membuat wayang dari siladan bambu sebagai orang-orangan untuk bermain anak. Mereka juga menggunakan wayang siladan untuk menidurkan anak, lalu menyanyikan lagu Lelo Ledung sampai anak tertidur pulas. Para orang tua juga sering mengajak anak dan cucunya pergi ke sawah sekaligus bermain wayang siladan, menceritakan dongeng-dongeng penuh petuah sembari mengawasi padi mereka dari burung-burung yang usil.

Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari
Pementasan wayang siladan oleh dalang/Afifa Lestari

Layang-layang Bambu

Dolanan kedua ini memiliki bentuk yang bermacam-macam. Ada yang seperti hewan, tumbuhan, hingga tokoh-tokoh dalam sejumlah dongeng. Kita mengenalnya sebagai layang-layang atau layangan

Layangan di Kebonsari memiliki bentuk yang bermacam-macam. Biasanya dimainkan di Bukit Kukusan Kebonsari, pematang sawah, maupun sepanjang irigasi desa. Selain bentuknya yang beragam, keunikan layangan di desa ini adalah jampi-jampi yang dipakai untuk menerbangkan layangan. Anak-anak memiliki mantra-mantra ajaib atau sering disebut jampi-jampi, agar layangan tersebut dapat terbang tinggi.

Aneka jenis layangan di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari/Afifa Lestari

Jampi-jampi sudah ada sejak zaman dahulu. Ini bukan bermaksud memercayai suatu hal selain Tuhan, melainkan hanya sebagai pancingan untuk mengundang angin, hujan, dan unsur zat alam lainnya. Selain itu, jampi-jampi juga digunakan untuk menghibur anak-anak—misalnya yang jatuh saat bermain—agar menambah seru suasana, sebagai pelipur lara dan penyemangat saat bermain. Desa Kebonsari juga memiliki banyak jampi-jampi ikonis, salah satunya seperti ini:

Jejempa-jejempe undangno barat gede,
jejempa-jejempo undangno barat dawa
Jejempa-jejempe undangkan angin besar,
jejempa-jejempo undangkan angin yang panjang atau lama

Mantra ini dipakai untuk memanggil angin saat bermain layangan. Saat kata-kata tersebut diucapkan, tangan diangkat ke atas untuk mengetahui arah angin yang datang. Pada zaman dahulu, anak-anak yang mendendangkan mantra akan merasa bahwa angin muncul secara tiba-tiba dan layangan dapat terbang dengan tinggi. Entah benar atau tidak, nyatanya jampi-jampi menjadi andalan setiap bermain. Seolah-olah alam memberikan restu dengan mendatangkan angin dan menjemput sang layang-layang. Layangan memiliki tempat tersendiri di hati warga Kebonsari. Tidak hanya menjadi primadona ketika musim kemarau, tetapi juga dimainkan setiap pagi atau sore hari hari libur tiba.

Layang-layang mengandung nilai-nilai filosofis. Menurut para orang tua di Kebonsari, layangan yang diterbangkan harus memiliki keseimbangan. Ibaratnya, hubungan manusia juga harus seimbang dalam kehidupan di dunia dan dengan Sang Pencipta. Ekor layangan yang dekat dengan badan saat diterbangkan, akan diam atau hanya sedikit bergerak, sedangkan yang jauh akan terus bergerak. Jika manusia dekat dengan Sang Pencipta maka akan selamat hidupnya. Begitu pun sebaliknya, yang akan mudah tersesat jika menjauh.

Ketika menerbangkan layang-layang, cara yang digunakan adalah menarik ulur layangan supaya bisa terbang tinggi. Ulur berarti jika kita ingin maju, maka kita harus menggantungkan impian kita. Begitulah ujaran sesepuh desa Kebonsari.

Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari
Anak-anak bermain layang-layang dan wayang siladan di Bukit Kukusan/Afifa Lestari

Ragam Wisata Lainnya

Selain memainkan wayang siladan dan layang-layang, ada pula paket wisata dalam bentuk travel pattern dengan tema dolanan di setiap posnya. Pos pertama biasanya dinamakan Pos Apus. Di pos ini kita akan belajar membuat kerajinan dari siladan bambu menjadi wayang siladan, anyaman berbentuk persegi untuk dilukis, dan terakhir lomba eblek dan egrang.

Pos kedua adalah Pos Petung. Di sini kita akan bermain berbagai dolanan yang menguji ketangkasan, kecepatan, dan kekompakan, seperti panahan, gepyak bontosan, bedilan, dan bakiak. Semua dolanan ini dibuat seseru mungkin dengan panduan dari masyarakat lokal.

Pos ketiga bernama Pos Ampel. Di sini kita akan menari dan menyanyikan lagu-lagu dolanan tradisional dengan menggunakan alat musik dari bambu, seperti angklung, suling, pentongan, dan kendang.

  • Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari
  • Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari
  • Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari

Nama-nama unik pos tersebut berdasarkan jenis bambu yang digunakan sebagai bahan dasar membuat dolanan di setiap posnya. Apabila ingin memainkan layangan, kita bisa meminta tambahan waktu untuk menerbangkannya di Bukit Kukusan, sembari menikmati pemandangan hamparan persawahan kawasan Borobudur.

Mari berwisata ke Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari. Berwisata sembari bermain, menyanyi, menari, dan meraih bekal pitutur yang penuh dengan petuah hidup. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berwisata-sembari-bermain-di-kampoeng-dolanan-pring-kebonsari/feed/ 0 42788
Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf (2) https://telusuri.id/pekan-buku-magelang-upaya-agar-lebih-melek-huruf-2/ https://telusuri.id/pekan-buku-magelang-upaya-agar-lebih-melek-huruf-2/#respond Fri, 21 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42205 Sebagaimana lumrah terjadi di tempat lain, akhir pekan—Sabtu dan Minggu—menjadi waktu orang-orang meninggalkan rumah dan pergi ke suatu tempat yang menjadi sumber kesenangan. Rehat sejenak dari rutinitas pekerjaan Senin–Jumat. Tidak terkecuali acara Pekan Buku Magelang...

The post Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
Tur sepeda bersama Go4Tour keliling desa-desa di Borobudur/Rimi Go4Tour

Sebagaimana lumrah terjadi di tempat lain, akhir pekan—Sabtu dan Minggu—menjadi waktu orang-orang meninggalkan rumah dan pergi ke suatu tempat yang menjadi sumber kesenangan. Rehat sejenak dari rutinitas pekerjaan Senin–Jumat. Tidak terkecuali acara Pekan Buku Magelang di Melek Huruf. 

Sedari pagi (15/06/2024), Melek Huruf menyelenggarakan tur sepeda keliling desa bersama Go4Tour, sebuah operator wisata yang diinisiasi anak-anak muda lokal. Ifa, pengurus Desa Wisata Candirejo, didapuk sebagai pemandu tur. Para peserta diajak gowes menyusuri jalanan perdesaan dan mengunjungi tempat-tempat menarik di kawasan Borobudur. 

Rombongan dibawa menemui sosok-sosok inspiratif, di antaranya Lily Erwin, pemerhati gastronomi lokal dan pemilik homestay Omah Garengpoeng; dan Sony Santosa, seniman nyentrik berdarah Bengkulu pemilik galeri dan kafe Elo Progo Art House. Peserta tur juga turut mencicipi kreasi dapur lokal, mulai dari wedang rempah hingga kudapan pasar. Di pengujung tur, peserta kembali ke Melek Huruf untuk mencicipi aneka produk kopi khas Magelang yang dipandu M. Ariep Setiawan, kurator kopi dan pemilik kedai Callme Coffee Roaster.

Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
Mahfud Ikhwan (kiri) membahas isi buku terbarunya/Rifqy Faiza Rahman

Membicarakan dangdut bareng Mahfud Ikhwan

Selepas Duhur dan jam makan siang, sesi bedah buku pertama dibuka dengan kehadiran Mahfud Ikhwan. Seorang penulis produktif kelahiran Lamongan yang telah lama tinggal di Yogyakarta. Ia banyak menulis novel, esai, cerita pendek, hingga tulisan nonfiksi lainnya. 

Siang itu, dimoderatori oleh Cristian langsung, Mahfud mengaku beberapa tahun terakhir lebih fokus membuat buku esai yang lebih dekat dengan realitas sekitar. Jelas lebih ringan dibanding harus menulis novel yang prosesnya bisa berlangsung bertahun-tahun. Termasuk karya terbarunya, Kepikiran Dangdut dan Hal-hal Pop Lainnya (Januari 2024) terbitan Warning Books. Di buku ini, ia mencoba mengupas pergeseran gaya musik dangdut, yang pada eranya bahkan sampai sekarang memang sangat lekat dengan sang raja dangdut Rhoma Irama. Baginya, apa yang ditunjukkan biduan Inul Daratista hingga muncul variasi dangdut koplo dan sejenisnya bukanlah dangdut yang sesungguhnya; yang juga menjadi titik keresehan dirinya sebagai pengamat dan penikmat dangdut sejati.

Tak hanya dangdut, Mahfud juga menuangkan pikiran pada beberapa tulisan yang mengulas hal-hal populer. Ia turut membicarakan Didi Kempot, Sheila On 7, hingga justifikasi perempuan dalam lagu-lagu sedih. Termasuk mengkritisi lirik-lirik lagu yang cacat tata bahasa sampai dengan tren kover lagu orang. Gaya bahasanya cukup menggelitik dan mengajak kita untuk masuk ke kacamatanya sebagai “orang biasa” yang peduli esensi musik.

Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
Tiga pendiri klub baca buku Magelang berbagi cerita/Rifqy Faiza Rahman

Berbagi cerita dengan tiga klub baca buku Magelang

Tak jauh setelah acara bedah buku, Nina memandu sebuah gelar wicara yang memperkenalkan klub baca buku di Magelang. Ada tiga klub baca yang diberi kesempatan bicara, yaitu Kisti (Sundayreads Book Club), Ulfa Maula (Readaloud Magelang), dan Sodiq Amrullah (Magelang Book Party).

Setiap pendiri klub buku tersebut memiliki latar belakang berbeda, tetapi satu suara soal mengampanyekan literasi lewat buku. Seperti yang dilakukan Ulfa Maula. Melalui Readaloud Magelang, ia mengajak para orang tua mengajarkan baca buku kepada anak-anaknya. Ulfa menganggap buku sebagai bagian dari parenting agar anak-anak tumbuh mencintai buku.

Sementara Kisti dan Sodiq relatif memiliki semangat dan segmentasi yang sama. Komunitasnya mengakomodasi generasi pencinta buku di Magelang. Biasanya acara baca buku bareng diadakan saat akhir pekan. Sesi yang berlangsung mencakup silent reading dengan buku masing-masing atau pinjaman, lalu saling mengobrol untuk membahas buku yang telah dibaca.

  • Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
  • Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf

Lokakarya memori rasa bersama Tarlen dan Tiko

Pengalaman menarik lainnya dalam Pekan Buku Magelang adalah lokakarya “Mengingat Rasa yang Pernah Ada” pada Minggu (16/06/2024). Dalam lokakarya ini, sebanyak delapan peserta diajak menggali memori masa kecil dengan orang-orang terdekat yang memengaruhi dalam pembentukan profil atau palet rasa di lidah. Mentor sesi ini adalah Tarlen Handayani, seorang penjilid dan seniman buku, serta Tiko Sukarso, seorang tukang masak plant-based dan salah satu pendiri Eat Fit serta Kulatresna. Keduanya berkolaborasi membentuk klub masak Sirja yang berisi kegiatan kelas memasak, membuat olahan “susu” dari tumbuhan, keju kacang mete, dan penyedap rasa dari sayuran.

Dalam sesi icip-icip, Tiko dan tim menyediakan lima menu lokal yang hasil risetnya digali bersama Bu Lis, tetangga dusun Melek Huruf yang paham kuliner musiman khas Candirejo. Hidangan yang dicicipi antara lain rengginang magelang dengan topping fermentasi krim mete dengan juruh kental gula kelapa, rujak degan, klepon berbalut gula kelapa murni dalam lipatan sudi, ramesan singkong sawut, dan tape ketan. Di sela-sela itu, peserta ikut menceritakan memori rasa yang pernah muncul ketika menyantap penganan tersebut.

Di akhir program, Tarlen memandu peserta untuk menulis jurnal kecil di atas kertas yang nantinya dijilid dengan benang. Semacam “surat cinta” dan ungkapan terima kasih dari peserta kepada orang-orang yang berjasa mengenalkan atau menciptakan palet rasa saat masa kecil dulu. 

Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
Kalis Mardiasih (kiri) menceritakan isu kekerasan seksual berbasis gender dalam bedah buku terbarunya/Rifqy Faiza Rahman

Buku terbaru Kalis Mardiasih: Luka-luka Linimasa

Di bedah buku terbarunya yang dimediatori oleh Prima Sulistya—seorang jurnalis lepas, tampak Kalis Mardiasih begitu berapi-api menyuarakan keresahan tentang masifnya Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Istilah ini memiliki beberapa padanan. Komnas Perempuan menyebutnya sebagai Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG), sedangkan dalam UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dikenal dengan istilah Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KBSE).

Perhatian Kalis terhadap isu kekerasan seksual, baik di dunia maya dan nyata, erat kaitannya dengan pengalaman tidak mengenakkan di masa kecil. Di masa sekolah dahulu, kerap terjadi perundungan atau godaan dari kaum pria kepada perempuan, yang tanpa disadari sebenarnya merupakan bentuk dari pelecehan. Keresahan dan pemikiran atas problem tersebut coba diungkapkan Kalis lewat bukunya yang akan terbit, Luka-luka Linimasa (2024). Selain lewat buku, Kalis cukup intens bersuara dan mengawal masalah kekerasan seksual di media sosialnya.

Topik pembahasan dalam sesi tersebut mengundang cukup banyak atensi dari peserta. Terlihat dari dua atau tiga orang menceritakan pengalaman tidak mengenakkan, baik yang dialami sendiri maupun dialami temannya. Diskusi yang berlangsung memantik kesadaran betapa ruang dunia maya yang serba bebas dan nyaris tanpa sekat harus dikelola dengan hati-hati. Terlebih tindak lanjut dari pihak berwenang, seperti polisi atau kampus, kadang terkesan lambat dalam menangani masalah tersebut.

* * *

Empat hari penyelenggaraan edisi perdana Pekan Buku Magelang di Melek Huruf tampak berlalu begitu cepat. Suar antusiasme tampak memenuhi seisi ruang yang ada di taman baca di sudut desa itu. Sebuah indikator yang menggembirakan, bahwa masih banyak generasi muda yang peduli pada literasi agar lebih “melek huruf”.

Rasanya, tak sabar untuk menanti seperti apa keseruan Pekan Buku Magelang edisi berikutnya. Sampai bertemu di bulan Juli!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pekan-buku-magelang-upaya-agar-lebih-melek-huruf-2/feed/ 0 42205
Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf (1) https://telusuri.id/pekan-buku-magelang-upaya-agar-lebih-melek-huruf-1/ https://telusuri.id/pekan-buku-magelang-upaya-agar-lebih-melek-huruf-1/#respond Thu, 20 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42196 Siapa sangka, di sudut desa tak jauh dari Candi Borobudur, sebuah taman baca dengan konsep tak biasa mampu memikat orang-orang sefrekuensi dari berbagai daerah? Siapa mengira, di atas lahan 300 meter persegi yang diapit kebun...

The post Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
(Rifqy Faiza Rahman)

Siapa sangka, di sudut desa tak jauh dari Candi Borobudur, sebuah taman baca dengan konsep tak biasa mampu memikat orang-orang sefrekuensi dari berbagai daerah?

Siapa mengira, di atas lahan 300 meter persegi yang diapit kebun singkong, sebidang bangunan perpustakaan berisi 700-an judul buku dan kafe kecil bisa menghapus dahaga literasi?

Rasanya seperti itu pertanyaan-pertanyaan retorik di kepala saya, ketika melihat edisi perdana Pekan Buku Magelang yang diselenggarakan Melek Huruf pada Jumat–Senin, 14–17 Juni 2024. Kemeriahan yang bersahaja. Lingkup ruang yang tersedia tidak terlalu luas, tetapi justru itulah yang membuat interaksi lebih intim dan hangat.

Di antara program-program berupa bursa buku, gelar wicara, tur sepeda, dan lokakarya, Pekan Buku Magelang adalah tempat berekspresi dan berjejaring bagi siapa pun yang datang. Seperti kata Cristian Rahadiansyah (43), salah satu pendiri dan pemilik Melek Huruf, inisiatif agenda bulanan tersebut seakan menegaskan bahwa tidak perlu jauh-jauh ke Yogyakarta untuk berteman akrab dengan buku-buku dan dunia yang mengiringinya.

Magelang, kini tak hanya hidup dengan Borobudur maupun wisata-wisata lainnya, tetapi juga geliat literasi di sudut Pucungan, Desa Candirejo. Sebuah titik temu bagi mereka yang peduli dan antusias pada dialektika ilmu dan gagasan seputar kepustakaan.

Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
Cristian dan Nina memperkenalkan diri sebagai tuan rumah Melek Huruf saat membuka acara Pekan Buku Magelang di hari pertama. Tampak Kara, buah hati mereka, sibuk bermain mikrofon/Rifqy Faiza Rahman

Mengenal para pustakawan Melek Huruf

Semua itu berhulu pada “rencana pensiun” Cristian Rahadiansyah (43), seorang jurnalis dan pendiri Jakarta International Photo Festival (JIPFest) yang telah malang melintang di tujuh majalah berbeda dalam dua dekade belakangan. Terakhir, ia meletakkan posisi editor in chief majalah DestinAsian Indonesia yang sudah ditempati selama 2012–2023.

Beragam hiruk piruk kehidupan Jakarta ia tanggalkan pelan-pelan demi kehidupan baru di kaki Menoreh, Borobudur. Titik balik itu ada di usianya yang ke-40, ketika ia mempersunting sang pujaan hati, Nina Hidayat—juga berkiprah di JIPFest dan bidang seni budaya—untuk bersepakat membersamai alumni UGM tersebut mewujudkan cita-cita besarnya. Kesamaan frekuensi, jalan hidup, dan kepedulian pada buku membukakan jalan mereka pada berdirinya Melek Huruf. 

Pekan Buku Magelang adalah inisiatif besar pertama Cristian dan Nina untuk merayakan satu tahun Melek Huruf. Rekam jejak dan lingkaran jejaring yang hebat dari keduanya membuat nama-nama besar di dunia buku dan sastra mendekat tanpa ragu untuk berpartisipasi dalam acara tersebut. Jika tak ada halangan, Pekan Buku Magelang akan diselenggarakan rutin setiap bulannya.

Meski baru setahun, sinar Melek Huruf menyala begitu cepat. Konsepnya sebagai taman baca, warung—menjual kopi, teh, dan kudapan ringan, penginapan, dan ruang publik bersama disambut cukup antusias oleh masyarakat. Terutama bagi kalangan lintas generasi pencinta buku, kopi, dan fotografi. 

Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
Sejumlah pengunjung masih mendatangi bursa buku mendekati jam tutup acara Pekan Buku Magelang di Melek Huruf/Rifqy Faiza Rahman

Bursa buku-buku menarik

Tentu saja bursa buku menjadi salah satu daya tarik utama dari Pekan Buku Magelang pertama ini. Bursa buku terbuka untuk umum selama Pekan Buku Magelang dan berlangsung pukul 10.00–18.00 WIB. Dari katalog yang dipublikasikan lewat situs web Melek Huruf, terdapat 85 judul buku dari 24 penerbit dan pengarang. Baik itu penerbit mayor atau indie, genre fiksi maupun nonfiksi, semuanya menyatu rapi di dalam etalase buku Melek Huruf. Sebut saja Bentang Pustaka, Komunitas Bambu, Marjin Kiri, Partikular, hingga Warning Books.

Saya sempat membeli dua buku baru: Kepikiran Dangdut dan Hal-hal Pop Lainnya (2024) karangan Mahfud Ikhwan; dan Parade Hantu Siang Bolong (2020) karya Titah AW. Dua-duanya terbitan Warning Books, Yogyakarta. Mahfud kebetulan juga menjadi narasumber gelar wicara bedah buku terbarunya itu, sementara Titah AW merupakan jurnalis lepas yang sudah saya ikuti tulisan-tulisannya di sejumlah media, seperti Vice dan Project Multatuli.

Sayang, saya belum mampu membeli semuanya. Saya memilih bijaksana untuk menahan diri, daripada kalap menguras uang tabungan. Belanja buku juga perlu realistis. Namun, setidaknya saya telah mencatat judul-judul buku yang menarik dan masuk daftar beli suatu saat nanti.

Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
Diskusi membahas dapur penerbit independen oleh Wicahyanti Rejeki (kanan) dan Kurnia Yaumil Fajar (kiri), dipandu Diah Dwi Puspitasari sebagai moderator/Rifqy Faiza Rahman

Optimisme eksistensi penerbit independen

Gelar wicara pertama di Pekan Buku Magelang (14/07/2024)dibuka oleh diskusi tentang dapur penerbit independen. Diah Dwi Puspitasari dari Bentang Pustaka didapuk menjadi moderator, dengan dua narasumber kunci, yaitu Kurnia Yaumil Fajar (SOKONG! Publish) dan Wicahyanti Rejeki (TriBEE). 

SOKONG! Publish merupakan platform penerbitan independen berbasis fotografi yang berasal dari Yogyakarta. Kurnia Yaumil Fajar termasuk dalam salah satu pemrakarsa selain Danysswara, Deni Fidinillah, Moh. A. Ulul Albab, dan Prasetya Yudha. Sementara TriBEE adalah penerbit indie di Magelang yang didirikan oleh Wicahyanti Rejeki, yang juga telah menulis banyak buku anak.

Keduanya membedah perbedaan signifikan antara penerbit mayor dengan independen, sekaligus mengulas potensi besar dari keberadaan penerbit indie. Baik itu dari segi penyusunan naskah, penyuntingan, sampai pemasaran. Di tengah tantangan dan kendala yang tak mudah, Wicahyanti dan Kurnia tetap yakin dengan keberlanjutan penerbit independen. Salah satu semangat yang mereka usung adalah mendorong siapa pun, baik anak-anak maupun orang dewasa, untuk bisa membiasakan menulis dan menerbitkan bukunya. Buku bisa menjadi dokumentasi terbaik untuk merekam ingatan dan pemikiran. Keduanya pun sepakat jika setiap buku pasti memiliki pembacanya sendiri. 

Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf
Nuansa gayeng antara Paksi Raras Alit (kiri), Adimas Immanuel (tengah), dan Akata (moderator) saat mengenang kiprah Joko Pinurbo/Rifqy Faiza Rahman

Mengenang dan mendoakan Joko Pinurbo

Sesi diskusi kedua dilanjutkan dengan perenungan dan penyampaian kesaksian kepada jalan hidup Joko Pinurbo. Seorang penyair legendaris yang terkenal kepiawaiannya mengolah diksi berbalut humor, ironi, kadang-kadang absurd, dan mengandung refleksi. Kata-katanya pun sederhana, tetapi mampu menyenangkan, meneduhkan, bahkan menyayat hati.

Wafatnya penyair besar asal Yogyakarta itu pada 27 April 2024 lalu memang mengejutkan banyak orang, terutama mereka yang pernah beririsan atau bersinggungan langsung dengan Jokpin—sapaan akarabnya, baik dalam urusan pekerjaan atau informal. Tidak terkecuali yang dirasakan Paksi Raras Alit dan Adimas Immanuel, bahkan Akata (penulis) yang bertugas sebagai moderator.

Paksi, misalnya. Penulis sastra cum musisi asal Yogyakarta itu bersaksi pada kebaikan Jokpin saat berada dalam ikatan pekerjaan antara keduanya. Sementara Adimas, penyair dan novelis muda dari Solo, mengaku begitu terkesan dengan perhatian Jokpin pada sastrawan muda seperti dirinya. Paksi dan Adimas turut berbagi impresi pada puisi-puisi karya Jokpin yang dianggap paling melekat di benak masing-masing. Keduanya tak lupa mengajak peserta diskusi mendoakan mendiang sang pujangga sastra dan mengenang karya-karyanya.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pekan Buku Magelang: Upaya agar Lebih Melek Huruf (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pekan-buku-magelang-upaya-agar-lebih-melek-huruf-1/feed/ 0 42196
The Downside of Overtourism Following The Tourism Frenzy https://telusuri.id/the-downside-of-overtourism-following-the-tourism-frenzy/ https://telusuri.id/the-downside-of-overtourism-following-the-tourism-frenzy/#respond Tue, 13 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41143 Several major holidays throughout the year, like Eid, Christmas, and school breaks, consistently promote tourism activities. Beaches are always packed, mountains are teeming with climbers, and even public entertainment venues overflow with visitors. Based on...

The post The Downside of Overtourism Following The Tourism Frenzy appeared first on TelusuRI.

]]>
Several major holidays throughout the year, like Eid, Christmas, and school breaks, consistently promote tourism activities. Beaches are always packed, mountains are teeming with climbers, and even public entertainment venues overflow with visitors. Based on these diverse options and locations, we can classify tourist attractions into two categories: natural and man made.

The economic sector definitely benefits the most from such large influxes of business activities, but what about the impact on other sectors?

The Downside of Overtourism Following The Tourism Frenzy
Residents and tourists crowd the Bromo crater caldera during the peak of the Yadnya Kasada celebration at the top of Mount Bromo via TEMPO/Aris Novia Hidayat

A study by Claudio Milano and Joseph M Cheer defines overtourism as “excessive visitor growth leading to population density resulting from temporary or seasonal tourism peaks, which have forced changes in lifestyle, access to facilities, and general well-being.” Their further research identified this phenomenon as a global issue occurring in various places like Bali, Berlin, Kyoto, Paris, Palma, and others. This phenomenon is just as concerning as other issues we face today, lurking within the excitement of economic growth and ready to destroy what we cherish.

Looking in Indonesia, overtourism has haunted various tourist attractions for the past decade. This is especially true after the rise of social media, which showcases the most photogenic aspects of each location, leading everyone to compete for the sake of “checking in” at a trendy tourist spot. Bali is the most common example. Everyone knows Bali; in fact, the name Bali is often more recognized internationally than Indonesia itself.

As we know, the Island of the Gods is renowned for its diverse choices of tourism spots: majestic temples, breathtaking beaches, and beckoning mountains. However, behind its beauty, Bali’s tourism also bears open wounds.

The study History of Balinese Culture by Supratikno Rahardjo and Agus Aris Munandar summarizes the impact of tourism on socio-cultural aspects, drawing from various research sources. It states that eight aspects of Balinese life have changed negatively since the rise of tourism. Data presented by the IDEP Foundation is even more alarming: groundwater levels have dropped by 50 meters over the past decade, particularly in southern Bali. Sadly, this also impacts lake and river water levels due to overtourism.

The Manifestations of Overtourism in Indonesia
Borobudur Temple via TEMPO/Abdi Purnomo

Borobudur, the Indonesian tourism icon and one of the 7 wonders of the world, is not exempted from the problem of overtourism. With its unique characteristics as a temple monument amidst fertile countryside, Borobudur receives an average of 3-4.5 million visitors annually, placing a significant burden on the structure. The pandemic temporarily reduced visitor numbers, but its effects may be short-lived. According to a research journal by Supratikno Rahardjo, Borobudur’s main challenge lies in dispersing visitors around the temple area to lessen the pressure on the main monument.

Recently, Coordinating Minister for Direct Investment Luhut Pandjaitan visited Borobudur alongside the Minister of Tourism and Creative Economy, Sandiaga Uno, to assess the impact of visitor traffic on the temple’s decline. Concerned about the cultural heritage site’s capacity limitations, the government is planning visitor restrictions to prevent further damage.

There are inspiring examples that can be emulated to reduce overtourism. Nglanggeran Ancient Volcano Tourism is one such place that has successfully achieved a significant reduction in visitor numbers. Initially similar to other tourist attractions, this community-managed tourism site saw a gradual increase in visitors since 1999. By 2014, the number of visits peaked at 325,303 tourists, ultimately impacting the environment and disturbing the local community. Waste generation also reached a staggering 1.7 tons between 2014 and 2015.

They finally managed to escape the overtourism trap by implementing several methods: increasing entrance ticket prices, modernizing visitor management systems, and introducing lodging reservation management. More details can be found in the research journal titled Tourist Village Rejuvenation and Overtourism Management: The Nglanggeran Lifecycle Experience Tourism Village, Yogyakarta, Indonesia.

The impact of overtourism is severe enough that tourism initiatives are now proposing solutions like visit limitations, which is currently the most effective method for preventing capacity overload at tourist attractions. These restrictions are often combined with other ideas like ecotourism or good tourism management practices.

As humans, travel activities are part of our needs, whether for leisure or adventure. Overtourism is not inevitable; it simply requires good management and awareness among tourism stakeholders. Of course, our own awareness as visitors is equally crucial in preventing tourist attractions from being destroyed. Uncontrolled popularity, as Ranu Manduro illustrates with its once-pristine beaches now swamped by crowds, can irrevocably damage the ecosystem.

Written by M. Irsyad Saputra
Translated by Novrisa Briliantina


Cover photo:
Workers clean up rubbish at Kuta Beach, Bali (05/02/2017). The rubbish was carried away by the tidal waves and ended up littering the tourist area/TEMPO-Johannes P. Christo.


Get to know your Indonesia better through our Instagram and Facebook Fanpage.
Interested in sharing your story? Come on, submit your writing.

The post The Downside of Overtourism Following The Tourism Frenzy appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-downside-of-overtourism-following-the-tourism-frenzy/feed/ 0 41143
The Manifestations of Overtourism in Indonesia https://telusuri.id/the-manifestations-of-overtourism-in-indonesia/ https://telusuri.id/the-manifestations-of-overtourism-in-indonesia/#respond Tue, 06 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41097 Indonesia’s increasing focus in the tourism sector has brought with it the very real threat of overtourism. The environmental degradation caused by tourism activities are not just a hypothetical concern. Recently, there was much public...

The post The Manifestations of Overtourism in Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
Indonesia’s increasing focus in the tourism sector has brought with it the very real threat of overtourism. The environmental degradation caused by tourism activities are not just a hypothetical concern. Recently, there was much public discourse surrounding the government’s “super premium tourism” initiative targeting Komodo Island. This proposal sparked protests from various groups, raising issues such as the potential eviction of local residents and the shrinking habitat of the Komodo dragon. Additionally, popular tourist destinations like mountains experience overcrowding during peak seasons like the August 17th Independence Day celebration. This influx of visitors not only poses an environmental threat but also increases the risk of COVID-19 transmission.

Here are several tourist attractions in Indonesia currently experiencing overtourism:

1. Borobudur

The Manifestations of Overtourism in Indonesia
Borobudur Temple via TEMPO/Abdi Purnomo

This iconic Central Javanese monument is a favorite among cultural tourists. As one of Indonesia’s architectural masterpieces, it’s no surprise that Borobudur highly attracts both local and international visitors. In 2019, the annual number of visitors reached 4.39 million, which is equal to an average of 12,000 daily visitors.

Coordinating Minister for Maritime and Investment Affairs , Luhut Pandjaitan, expressed concern that the surge in visitors has negatively impacted the temple’s structure. As reported by TEMPO on March 21, 2021, Borobudur has implemented “quality tourism” measures in accordance with the 1979 master plan.

2. Mount Semeru

The Manifestations of Overtourism in Indonesia
Climbers at the peak of Mount Semeru via TEMPO/Fajar Januarta

Mountains in Indonesia are generally experiencing overcrowding due to the ever-increasing number of visitors. The allure of aesthetic mountain photos shared on social media entices new climbers to attempt the ascent. Semeru, the highest mountain on the island of Java, is no exception. Its popularity boomed after a film featuring young climbers was released. Since then, Semeru has become increasingly crowded with visitors.

Fortunately, the management has taken steps to address the surge by implementing an online booking system that limits climbing quotas. Regular and occasional closures also help manage visitor numbers and allow ecosystems to recover from the impact of climbing activities.

3. Komodo Island

The Manifestations of Overtourism in Indonesia
Tourists photograph Komodo dragons on Komodo Island, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) via TEMPO/Rully Kesuma

The sole habitat of the Komodo dragon, which is also part of the UNESCO World Heritage Site attracts tourists from all corners of the globe. However, the continuous rise in tourist arrivals poses a threat to this unique ecosystem.

The government’s declaration of Komodo Island as a super premium destination has sparked controversy. The massive construction of a “Jurassic Park”—themed development project is believed to disrupt the Komodo dragons’ habitat, which has already been negatively affected by the increasing popularity of the tourist attraction. Protests from various entities, including UNESCO, have called for a review of the potential environmental impact of this project.

4. Malioboro

The Manifestations of Overtourism in Indonesia
During the pandemic, Malioboro was still full of visitors via ANTARA/Andreas Fitri Atmoko

The icon of Yogyakarta is always bustling with tourists inevitably making a stop at Malioboro. Situated in the heart of Yogyakarta City, it has become a natural center for crowd gathering. While the economy thrives in this area, the excessive busyness has taken its toll. Malioboro suffers from issues like disorganized parking and numerous cases of stalls charging exorbitant prices due to fierce competition.

5. Bali

The Manifestations of Overtourism in Indonesia
Kuta Beach, Bali via ANTARA/Fikry Yusuf

Bali remains the top destination for both international and domestic tourists visiting Indonesia. Tourism businesses flourish here, and it is the primary source of income for many. However, this rapid growth has had negative consequences for local residents. Excessive resource consumption by the tourism industry has led to a decline in the quality and quantity of water throughout Bali. Land scarcity is another growing issue, as rice fields that were once abundant in urban areas have been converted into business centers. Moreover, coastal abrasion continues to threaten Bali’s beaches, causing them to erode at an alarming rate.

Written by: M. Irsyad Saputra
Translated by: Novrisa Briliantina


Cover photo:
Borobudur Temple in Magelang, Java Timur. Uncontrolled crowds of visitors can cause the temple to increasingly lose its capacity/TEMPO-Abdi Purnomo


Get to know your Indonesia better through our Instagram and Facebook Fanpage.
Interested in sharing your story? Come on, submit your writing.

The post The Manifestations of Overtourism in Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-manifestations-of-overtourism-in-indonesia/feed/ 0 41097
Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour https://telusuri.id/bersepeda-telusur-borobudur-bersama-go4tour/ https://telusuri.id/bersepeda-telusur-borobudur-bersama-go4tour/#respond Sun, 23 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39359 Cuaca bersahabat mengiringi kegiatan kolaborasi TelusuRI bersama Go4Tour dalam Telusur Borobudur: Pedal Kebaikan untuk Bumi Lestari (9/7/2023). Melecut semangat baru setelah beberapa hari sebelumnya langit Magelang kerap kelabu dan menurunkan hujan. Selama hampir setengah hari,...

The post Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour appeared first on TelusuRI.

]]>
Cuaca bersahabat mengiringi kegiatan kolaborasi TelusuRI bersama Go4Tour dalam Telusur Borobudur: Pedal Kebaikan untuk Bumi Lestari (9/7/2023). Melecut semangat baru setelah beberapa hari sebelumnya langit Magelang kerap kelabu dan menurunkan hujan.

Selama hampir setengah hari, tur ini mengajak peserta bersepeda menelusuri perdesaan di kawasan Borobudur. Dengan rute sepanjang 13 kilometer, terdapat kurang lebih enam titik pemberhentian untuk mengeksplorasi aktivitas lestari, seperti mengonsumsi produk lokal, membersihkan lingkungan, hingga edukasi pengelolaan sampah rumah tangga.

Dipandu oleh Amir dari Go4Tour, peserta berkumpul di halaman Joglo Cafe Borobudur pada pukul 7.30 WIB. Pemandu lokal asli dari Karangrejo, Borobudur, itu mengajak peserta melakukan pemanasan dan berdoa bersama. Setelah itu mengambil sepeda masing-masing yang tersedia di serambi rumah persewaan sepeda milik Pak Pramono, bergegas meluncur ke destinasi pertama dan berikutnya.

1. Sesi Hening dan Clean Up di Candi Pawon

  • Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour
  • Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour
  • Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour

Candi Pawon menjadi lokasi pemberhentian pertama yang hanya berjarak 350 meter ke arah timur dari titik kumpul. Selain mendengar cerita tentang sejarah Candi Pawon beserta relief Kinara dan Kinari yang terkenal, ada dua kegiatan lainnya yang peserta lakukan di tempat ini, yaitu sesi hening dan clean up.

Melalui sesi hening, Amir meminta peserta untuk memejamkan mata, berkontemplasi, serta menciptakan pikiran yang positif. Sementara dalam aksi clean up, peserta gotong royong memungut sampah anorganik yang terlihat berserakan di sekitar Candi Pawon. Peserta mengumpulkan sampah-sampah tersebut, seperti plastik, puntung rokok, hingga minuman kemasan ke dalam trashbag hijau yang telah panitia sediakan.

2. Desa Wisata Wanurejo

Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour
Amir (kiri) mengajak peserta berhenti sejenak di perkampungan Desa Wanurejo dan melakukan aksi clean up/Deta Widyananda

Tidak jauh dari Candi Pawon, sekitar 200 meter, peserta kembali berhenti di tengah perkampungan. Amir sedikit menjelaskan seluk-beluk Desa Wanurejo.

Sebagai salah satu desa wisata di Kecamatan Borobudur, Wanurejo memiliki sejumlah daya tarik dan fasilitas wisata yang cukup memadai. Banyak penginapan dengan beragam kelas, mulai dari homestay hingga hotel. Peserta juga menyempatkan diri mengambil sampah-sampah anorganik yang terlihat di pinggir jalan.

3. Menikmati Pemandangan dan Clean Up di Sawah Mandala

  • Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour
  • Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour

Sawah Mandala adalah istilah yang belakangan populer menyebut kawasan persawahan luas di Desa Wanurejo ini. Lanskap alam yang memukau, terdiri dari panorama Pegunungan Menoreh, area pertanian dengan tanaman padi dan aneka sayur yang menghijau, serta jalan cor seukuran mobil membelah di tengah-tengahnya. Jalur ini kerap viral di media sosial, karena menjadi jalur wisata untuk jalan kaki, bersepeda, maupun menggunakan mobil klasik VW. Selain menikmati pemandangan, peserta kembali melanjutkan aksi bersih-bersih sampah yang cukup banyak terlihat.

Menurut Amir, penyebutan “Mandala” merujuk pada Candi Borobudur yang terlihat di kejauhan dari sawah ini. Mandala merupakan sebuah sistem atau falsafah kosmologi yang terinterpretasi dalam bangunan candi yang simetris, memiliki tingkatan-tingkatan spiritual, dan terpatri dalam kehidupan masyarakatnya.

4. Jamur Borobudur

  • Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour
  • Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour

Destinasi keempat yang dituju adalah Jamur Borobudur. Puput Setyoko adalah pendiri dan pemilik tempat budidaya jamur yang kini juga menjadi tempat wisata tersebut. Dalam tur singkat itu, ia menjelaskan tentang budidaya jamur hulu ke hilir kepada peserta bersepeda Telusur Borobudur.

Menurut Puput, sebagian besar omzet yang ia dapat berasal dari penjualan oleh-oleh kuliner jamur. Sisanya tertopang dari pemasaran bahan baku dan baglog (media tanam) jamur. Di akhir sesi peserta sempat mencicipi aneka olahan jamur, seperti keripik jamur kuping dan tiram, maupun dimsum jamur.

5. Edukasi Pengelolaan Sampah di TPS 3R Desa Tuksongo

  • Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour
  • Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour

Sampah-sampah yang telah peserta kumpulkan selanjutnya diserahkan ke Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle (TPS 3R) Wisma Karya Gan Ji Ro, Desa Tuksongo, Borobudur. Peraih juara pertama Lomba TPS3R tingkat Kabupaten Magelang Tahun 2022 itu memang memiliki fasilitas yang makin memadai setelah mendapat bantuan dari Kementerian PUPR. Baik dalam mengelola sampah maupun mendanai kegiatan operasionalnya.

Peserta juga mendapat penjelasan edukatif dari pengelola tentang kiprah dan kinerja TPS tersebut. Bu Zuni, bendahara TPS 3R Wisma Karya Gan Ji Ro, mengungkapkan bahwa pihaknya mengupayakan agar tidak ada limbah yang terbuang sia-sia. Masing-masing jenis sampah, baik organik maupun anorganik, memiliki potensi ekonomi tersendiri. Tantangan terbesar ke depan adalah mengedukasi warga agar mau memilah sampah sendiri dari rumah, serta membatasi penggunaan sampah anorganik.

6. Warung Kopi-Kopi Borobudur

Tur bersepeda antara TelusuRI dan Go4Tour berakhir tepat di jam makan siang. Warung Kopi-Kopi Borobudur menjadi lokasi penutup Telusur Borobudur kali ini. Menu sederhana ala ndeso, seperti nasi, sayur, ayam goreng, sambal, dan dipungkasi teh atau kopi panas lebih dari cukup mengisi ulang energi setelah setengah hari bersepeda.

Usai makan siang, peserta bersama-sama kembali ke titik kumpul dengan fasilitas penjemputan mobil pick up dari Pak Pramono.

Tertarik untuk gabung tur bersepeda Telusur Borobudur di sesi berikutnya bersama TelusuRI dan Go4Tour? Pantau dan ikuti terus informasi terbaru di media sosial TelusuRI!


Acara tur bersepeda Telusur Borobudur: Pedal Kebaikan untuk Bumi Lestari merupakan kolaborasi antara TelusuRI dan Go4Tour


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bersepeda Telusur Borobudur bersama Go4Tour appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bersepeda-telusur-borobudur-bersama-go4tour/feed/ 0 39359
Waisak dan Lampion Borobudur dari Kacamata Konservasi https://telusuri.id/waisak-dan-lampion-borobudur-dari-kacamata-konservasi/ https://telusuri.id/waisak-dan-lampion-borobudur-dari-kacamata-konservasi/#respond Fri, 02 Jun 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38843 Candi Borobudur yang terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, kembali tersorot dunia. Warisan budaya wangsa Syailendra ini menjadi pusat utama penyelenggaraan Hari Raya Tri Suci Waisak 2567 BE/2023 secara nasional. Berdasarkan informasi dalam buku acara...

The post Waisak dan Lampion Borobudur dari Kacamata Konservasi appeared first on TelusuRI.

]]>
Waisak dan Lampion Borobudur dari Kacamata Konservasi
Peringatan Waisak di Candi Borobudur tahun 2012 via Flickr/Harun Harahap

Candi Borobudur yang terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, kembali tersorot dunia. Warisan budaya wangsa Syailendra ini menjadi pusat utama penyelenggaraan Hari Raya Tri Suci Waisak 2567 BE/2023 secara nasional. Berdasarkan informasi dalam buku acara Perayaan Tri Suci Waisak 2567 BE/2023 dari Walubi (Perwakilan Umat Buddha Indonesia), detik-detik puncak Waisak akan berlangsung pada pukul 10.41.19 WIB, 4 Juni 2023. 

Terlebih dengan adanya para bhikkhu peserta ritual thudong. Perjalanan puluhan bhikkhu gabungan dari Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia ke Candi Borobudur dengan jalan kaki tersebut menarik perhatian banyak orang. 

Sebelum ritual-ritual pokok, organisasi Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) menyelenggarakan kegiatan bakti sosial maupun layanan kesehatan gratis di Candi Borobudur pada 30-31 Mei 2023. Usai acara puncak nan sakral, festival penerbangan lampion yang akan terselenggara malam hari, 4 Juni 2023, jelas akan menjadi momen yang paling banyak orang nantikan.

Seperti di tahun-tahun sebelumnya, isu yang kerap bergulir saat perayaan Waisak di Borobudur adalah mengenai perlu atau tidaknya prosesi pelepasan lampion. Berbagai pertimbangan mendasari, antara lain dampak lingkungan hingga aspek spiritual. Pro dan kontra akan selalu ada, meskipun sejatinya saya percaya setiap hal maupun kebijakan pada acara-acara keagamaan, seperti Waisak kali ini, memiliki tujuan baik dan mulia.

Tentang Festival Lampion Waisak di Borobudur

Penerbangan lampion sebenarnya bukan termasuk dalam ritual pokok Tri Suci Waisak. Namun, banyak wisatawan umum yang menyengajakan diri datang ke Borobudur demi melihat festival lampion.

Di sisi lain, muncul kekhawatiran tentang dampak lampion terhadap lingkungan. Mengingat status Candi Borobudur sebagai warisan budaya dunia, yang selain bertujuan untuk atraksi wisata, juga merupakan situs yang perlu dijaga dan dilestarikan. 

Waisak dan Lampion Borobudur dari Kacamata Konservasi
Tradisi Pindapatta oleh Para Bhikkhu peserta ritual Thudong di Kota Magelang/Rifqy Faiza Rahman

Mengenai bahan yang digunakan saat acara Dharmasanti Festival Lampion, saya coba mencari konfirmasi dengan menemui YM. Bhikkhu Dhammavuddho Thera, Wakil Ketua DPP Walubi di beranda Kelenteng Liong Hok Bio, usai tradisi Pindapatta oleh 32 bhikkhu peserta ritual thudong di sepanjang Jalan Pemuda, Kota Magelang (31/5/2023).

Ketua Sangha Theravada Dhammayut Indonesia (STDI) sekaligus pembina Yayasan Maha Kassapa Thera itu mengungkapkan, “Bahan yang digunakan dalam festival lampion bukan bahan yang sembarangan. Bahan ini kita beli dan datangkan dari Thailand, kemudian nantinya bisa hancur atau terbakar habis di udara, sehingga tidak akan merusak apa pun, dan ketika turun (ke permukaan tanah dampaknya) relatif minim.”

Bhikkhu Dhammavuddho menambahkan, api yang menjadi elemen utama dalam lampion merupakan simbol penerangan. Seperti halnya ajaran Buddha, yaitu Dharma, yang berarti menerangi.

“Buddha itu pencerahan, jadi dharma mencerahkan semua makhluk di alam yang samsara, di mana makhluk-makhluk yang menderita (dan) mendapatkan dharma, dia menjadi sadar, insaf, dan pada akhirnya dia menjadi orang yang suci atau berbahagia,” terang Bhikkhu Dhammavuddho.

Sumber api dalam lampion tersebut berasal dari api abadi Mrapen, Grobogan, Purwodadi. Adapun air suci yang juga menjadi bagian ritus Waisak diambil dari Umbul Jumprit, mata air yang tak pernah kering di lereng Gunung Sindoro, Temanggung. Pihaknya juga memastikan sudah mengantongi izin dari otoritas kawasan, di antaranya pemangku kawasan Taman Wisata Candi Borobudur, TNI AU, pemerintah daerah, hingga kepolisian.

Alternatif Aksi Konservasi dalam Peringatan Waisak

Namun, tanggapan berbeda disampaikan oleh Suparatno atau Subharatano (43), juru rawat dan pengelola Catra Jinadhammo, pusat pendidikan dan pelatihan Buddha Dhamma di Desa Borobudur. Murid langsung dari mendiang Bhikkhu Jinadhammo Mahathera itu cukup keberatan dengan seremoni pelepasan lampion di malam hari usai prosesi puncak Waisak. 

“Saya sendiri sebagai umat Buddha dan masyarakat Borobudur, saya sebenarnya tidak suka dengan lampion,” kata bapak tiga anak itu. 

Waisak dan Lampion Borobudur dari Kacamata Konservasi
Ratno, juru rawat Catra Jinadhammo, Desa Borobudur/Rifqy Faiza Rahman

“Sekarang coba bayangkan kalau misalnya kita terbangkan, tiba-tiba dia turun masih nyala. Jatuh di genteng rumah orang, di hutan, lalu terbakar, ‘kan (jadinya) bukan harapan terang yang kita dapat, tetapi kegelapan yang kita terima,” keluh Ratno, sapaan akrabnya. Ia khawatir umat Buddhis menjadi pihak yang disalahkan, keliru, dan membawa petaka.

Di masa mendatang, Ratno meminta pihak berwenang mempertimbangkan kembali penggunaan lampion, lentera, atau sejenisnya sebagai simbol penerangan dan pencerahan saat prosesi Waisak di Borobudur. Ia mendorong untuk menggantinya dengan aksi konservasi, yang ia nilai lebih bermanfaat bagi makhluk. Misalnya, program pelepasan satwa endemik ke habitatnya ataupun menanam pohon. 

Rieke (33), seorang rekan penulis dari Semarang yang beragama Buddha, menyuarakan pendapat senada, “Saya sebetulnya kurang setuju dengan pelepasan lampion, karena bisa saja timbul masalah lain, misalnya sampah atau melukai hewan-hewan liar.”

Meskipun menjadi daya tarik tersendiri, baik bagi umat Buddha maupun masyarakat umum, ia menganggap tanpa lampion pun peringatan sakral Waisak tetap sah. Pelepasan lampion hanyalah sebuah simbolis untuk melepaskan hal-hal negatif di dalam diri, sekaligus berisikan doa-doa dan harapan yang lebih baik dalam kehidupan.

Borobudur dan Waisak untuk Semua Umat

Penulis sepemikiran dengan pernyataan Ratno malam itu (30/5/2023), ketika kami ngobrol hingga larut malam di sudut gazebo Catra Jinadhammo. Menurut dia, “Pada dasarnya, setiap ritual ibadah dalam agama apa pun membutuhkan keheningan dan fokus.”

Dari kacamata saya, perkataan Ratno berarti mengajak siapa pun, baik umat Buddha maupun agama dan kepercayaan lain, agar lebih bijak dan memaknai toleransi dengan sebenar-benarnya. Pada fase-fase sakral, menurut hemat saya, kita perlu memberi ruang umat Buddha menjalankan ibadah dengan khusyuk.

Bahkan jika perlu, menghormati dan menyambut Waisak tidak harus lelah-lelah membayar tiket masuk ke Candi Borobudur hanya demi ikut menyaksikan penerbangan lampion. Pelibatan masyarakat kala pra-Waisak, seperti pemberian dana makanan maupun minuman saat tradisi pindapatta, membantu persiapan acara di beberapa vihara, lebih-lebih ikut berkontribusi nyata pada lingkungan sekitar, bagi saya jauh lebih bermakna ketimbang prosesi lampion itu sendiri.

Namun, tentu bukan hak saya melarang pembaca untuk hadir dan menyaksikan prosesi Waisak secara langsung. Saya hanya bisa mengimbau untuk memahami dan menghormati batas-batas maupun peraturan yang berlaku.

Rieke punya saran yang baik dan bisa berlaku bagi siapa pun, “Alangkah baiknya ada aturan yang lebih selektif untuk umum. Misalnya, aturan untuk berpakaian sopan, tidak membuang sampah sembarangan, dan tidak memegang atau duduk-duduk di area yang ada stupanya. (Kita perlu) mengingat (bahwa) Candi Borobudur juga termasuk tempat ibadah.”

Saya berharap prosesi sakral Waisak berjalan khidmat dan lancar, tidak terhalang rintangan apa pun dan para bhikkhu maupun umat Buddha senantiasa sehat hingga acara berakhir. Semoga lampion benar-benar menjadi simbol penerangan dan tidak berdampak buruk pada lingkungan, sekalipun harapan ke depan pengelola waisak dan wisata Candi Borobudur bisa lebih mempertimbangkan aksi konservasi lainnya yang relatif berkelanjutan dalam jangka panjang. Esensi spiritual harus menjadi ruh utama di Borobudur itu sendiri.

Seperti termuat dalam warta Walubi (25/5/2023), Menteri BUMN Erick Thohir dalam acara briefing Festival Purnama di Candi Borobudur menyatakan, “Candi Borobudur akan terasa hampa apabila hanya menjadi sekadar destinasi wisata, tanpa memiliki unsur-unsur nilai spiritual.”

Selamat merayakan Tri Suci Waisak 2567 BE/2023. Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk hidup berbahagia. Sadhu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Waisak dan Lampion Borobudur dari Kacamata Konservasi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/waisak-dan-lampion-borobudur-dari-kacamata-konservasi/feed/ 0 38843
Mura Aristina dan Kisahnya di Candi Borobudur https://telusuri.id/mura-aristina-dan-kisahnya-di-candi-borobudur/ https://telusuri.id/mura-aristina-dan-kisahnya-di-candi-borobudur/#respond Thu, 26 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36951 Namanya Mura Aristina. Namanya mendadak jadi perbincangan masyarakat saat ia menjadi pemandu wisata Barack Obama ketika mengunjungi Candi Borobudur. Dengan lincahnya, Mura menjelaskan tiap panil relief yang dilewati Barack Obama meskipun dengan waktu terbatas. Selain...

The post Mura Aristina dan Kisahnya di Candi Borobudur appeared first on TelusuRI.

]]>
Namanya Mura Aristina. Namanya mendadak jadi perbincangan masyarakat saat ia menjadi pemandu wisata Barack Obama ketika mengunjungi Candi Borobudur. Dengan lincahnya, Mura menjelaskan tiap panil relief yang dilewati Barack Obama meskipun dengan waktu terbatas. Selain itu, dia pernah memandu Putri Kerajaan Thailand, Mantan Presiden Singapura, Mantan Perdana Menteri Australia, dan masih banyak lagi tamu-tamu VVIP lainnya. Perjuangan Mura untuk meraih posisi “pemandu spesial” tidaklah mudah. Perlu ketekunan dan keuletan tiada henti untuk berada di posisinya sekarang.

Mura lulus SMA tahun 1999 di usianya yang masih 16 tahun. Memang, sekolah di kampung kala itu lebih cepat selesainya karena tidak ada pendidikan kanak-kanak (TK). Ketiadaan biaya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang jauh lebih tinggi, ia mengikuti saran bapaknya untuk menjadi tukang sapu di Candi Borobudur.  Dari saran inilah yang membawa jalan hidupnya berubah.

Candi Borobudur yang sedari dulu sudah menjadi tujuan wisatawan seluruh dunia untuk berlibur, menjadi awal mula Mura belajar kehidupan yang mandiri. Ia bertemu banyak orang; wisatawan asing, wisatawan lokal, dan pemandu senior yang mulai menarik minatnya semakin dalam akan Candi Borobudur dan membentuk mentalnya menjadi tahan banting. 

Kurang lebih lima tahun dalam kurun waktu 1999-2004, ia menjadi tukang sapu. Selama menjadi tukang sapu, ia seringkali ditanya pengunjung letak-letak relief yang terpahat di Borobudur, yang membuatnya mau tidak mau, harus belajar. Pernah suatu ketika, ada seorang pengunjung yang meminta petunjuk kepadanya dan memberikan tip, dari sinilah dia berpikir bahwa pemandu adalah suatu pekerjaan yang luar biasa.

Kemudian pada 2004, setelah ada penerimaan posisi satpam, ia masuk dan menjadi satpam Candi Borobudur hingga tahun 2008. Barulah pada 2008 karirnya menjadi pemandu dimulai.

Menjadi Pemandu

Untuk menjadi pemandu, tentu dibutuhkan kecakapan yang memadai—terutama dalam bahasa Inggris. Ini yang membuat Mura belajar lebih giat untuk memperlancar bahasa Inggrisnya. Begitupun soal sejarah, makna, hingga fungsi Candi Borobudur yang ia pelajari dari senior pemandu dan buku.

“Pada waktu itu bahasa Inggris saya masih pas-pasan kemudian suatu ketika saya sudah bekerja di balai konservasi, saya disuruh memandu tamu. Padahal tamu itu tamu spesial dari Thailand,” tutur Mura sembari mengingat kembali pengalamannya.

Mura aristina
Mura Aristina siap memandu siapapun yang membutuhkan jasanya/Kompas.id

“Kemudian, saya belajar bahasa Inggrisnya harus segera. Singkat kata saya belajar, kemana-mana membawa kamus udah kayak orang gila, sampai masuk angin juga,” kenangnya. 

Selain banyak membawa tamu asing, ia juga kerap kali mendampingi tamu-tamu lokal yang memang tidak hanya tertarik dengan keindahan arsitektur Candi Borobudur, tetapi juga kisah dibalik relief dan pembangunannya. Anak SD, remaja tanggung, hingga orang dewasa mengantri untuk mendapatkan jasanya.

Selama menjadi pemandu, ada banyak hal unik yang dia temui. Salah satunya adalah pertemuannya dengan akademisi yang ahli soal Borobudur. 

“Ada sebuah situasi di mana saya pernah memandu Profesor Doktor Agus Aris Munandar, waktu itu beliau masih S2 mau S3. Beliau waktu itu mau ujian S3, ujiannya di Candi Borobudur, yang menguji waktu itu Profesor Doktor Hariyani Santiko. Jadi saya menang banyak! Bisa dibayangkan S3 relief Borobudur, pengujinya juga ada di situ. Akhirnya saya dapat jaringan dan jadi kenal Pak Agus Aris Munandar,” kenangnya.

Bagi publik, justru nama Mura menggaung kala ia mendampingi mantan presiden Amerika Serikat, Barack Obama ketika berkunjung ke bangunan ini 2017 silam. Ia menjadi tajuk utama pemberitaan media baik daring maupun cetak. Apa sebab kehebohannya?

“Teman-teman media itu mereka bisa berharap besar bisa dapat foto dari Obama, tapi jangankan media, paspampres Indonesia saja tidak boleh berada dalam ring Obama, anda bisa bayangkan. Saya termasuk orang spesial, karena hanya saya yang boleh dekat dengan Obama (secara fisik) ketika kunjungan waktu itu.”

Dari kunjungan Obama waktu itu, ia sempat melakukan kesalahan yang mengakibatkan kemarahan ajudan Obama. Telepon genggamnya sempat disita sang ajudan karena Mura yang mengambil foto Obama.. Tak lama, Obama pun mengetahui permasalahan mereka berdua

“Ada apa sih?” tanya Obama

“Ini sudah dikasi tau nggak boleh foto malah foto!” seru ajudannya.

“Yaudah, nggak papa, yuk selfie,” ajak Obama.

Mura tidak berani mengiyakan ajakan selfie mantan kepala negara tersebut. Menurutnya, hal ini kurang sopan untuk dilakukan kepada orang yang lebih tua. “Saya malah minta ajudannya yang marah ke saya itu untuk memotretkan. Akhirnya foto yang bisa saya kirim ke teman-teman media kan foto saya dirangkul Obama. Akhirnya saya diliput habis-habisan, diwawancara sana-sini.”

borobudur
Christine Lagarde kala mengunjungi Borobudur didampingi Mura/Borobudurpark.com

Pengalaman lainnya adalah sewaktu Mura membawa seorang gubernur dari Indonesia timur. Setelah tur selesai, dia bertanya ke Mura “saya harus bayar berapa ke kamu?” Mura kemudian menyebutkan harga standar pemandu di candi. 

“Saya mintanya rendah, dia malah mintanya tinggi. Baru kali ini saya menemukan tawar-menawar tapi kebalik. Waktu itu standarnya 30.000 rupiah, malah dikasih 300.000 rupiah. Rasanya tumpah ruah. Setelah saya renungi, ternyata menikmati pekerjaan itu luar biasa,” ungkapnya.

Ini pula yang akhirnya membuat Mura sering memberikan wejangan kepada juniornya tentang bagaimana para pemandu wajib melayani wisatawan yang datang dengan sepenuh hati. Teknik public speaking harus selalu diasah dan disesuaikan dengan latar belakang peserta, dan tentunya dalam memandu harus menggunakan hati dan totalitas.

Borobudur dan Pariwisata

Borobudur bukan hanya menyoal candi Budha termegah dan terbesar di dunia yang berasal dari masa lalu. Pariwisata kini mulai menyisakan beragam masalah pada bangunan candi semisal lantai candi yang semakin aus akibat pengunjung yang membludak karena jumlah kunjungan yang melebihi kapasitas. Satu hal yang Mura garis bawahi adalah sustainable tourism belum banyak dipahami masyarakat.

“Yang masih belum terbangun di masyarakat adalah sustainable tourism. Pariwisata itu harus benar-benar berkualitas, bukan sekedar naik candi, pegang patung, foto-foto, beli souvenir terus pulang.”

borobudur
Mura Aristina bersama Duta Besar Republik Ceko, Jaroslav Doleček/BUMN.go.id

Di sinilah letak pentingnya kenapa harus menggunakan pemandu. Menurut Mura, pemandu bisa menjelaskan banyak hal kepada pengunjung: menyebarkan pengetahuan dan juga menyebarkan pesan. Pemandu punya tugas mulia untuk menemani pengunjung berkeliling Borobudur sekaligus mengisi pengetahuan pengunjung dengan berbagai hal dari segala aspek dan sekiranya selepas dari kunjungan, orang-orang menjadi “tercerdaskan”.

“Masyarakat pariwisata secara umum sudah terbiasa dengan pariwisata massal yang mana ribuan orang datang tapi tentunya banyak situasi dan kondisi yang berbeda dengan itu [pariwisata massal].”

“Kadang ada yang datang hanya beberapa orang saja, tapi yang datang benar-benar berkualitas sehingga mereka ikhlas mengeluarkan uang dan sebanding dengan apa yang mereka dapatkan.“

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mura Aristina dan Kisahnya di Candi Borobudur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mura-aristina-dan-kisahnya-di-candi-borobudur/feed/ 0 36951
Bermain Angklung di Kampoeng Dolanan Nusantara Borobudur https://telusuri.id/bermain-angklung-di-kampoeng-dolanan-nusantara-borobudur/ https://telusuri.id/bermain-angklung-di-kampoeng-dolanan-nusantara-borobudur/#respond Thu, 29 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36760 Pagi itu belasan mobil VW Safari telah berjajar di area parkir Taman Rekreasi Mendut. Mobil-mobil ini menawarkan jasa berkeliling ke destinasi wisata yang berada di sekitar kawasan Candi Borobudur. Keberadaan VW Safari beberapa tahun belakangan...

The post Bermain Angklung di Kampoeng Dolanan Nusantara Borobudur appeared first on TelusuRI.

]]>
Pagi itu belasan mobil VW Safari telah berjajar di area parkir Taman Rekreasi Mendut. Mobil-mobil ini menawarkan jasa berkeliling ke destinasi wisata yang berada di sekitar kawasan Candi Borobudur. Keberadaan VW Safari beberapa tahun belakangan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke kawasan Candi Borobudur, karena selain mengunjungi candi, mereka juga bisa mengelilingi kawasan Borobudur dan singgah di berbagai destinasi wisata lain.

Salah satu yang mengelola jasa wisata VW Safari adalah Pak Basir. Ia mulai membuka usaha ini pada tahun 2016 dengan bermodalkan tiga mobil VW Safari. Perjalanannya tidak mudah. Bahkan dua tahun pertama sempat terseok-seok hingga ia sempat berpikir untuk menjual ketiga mobilnya. Namun, ia kemudian mengurungkan niat tersebut dan memilih terus mempromosikan jasa wisata yang saat itu belum memiliki banyak kompetitor. Kesabarannya pun berbuah manis. Bermodal promosi yang cukup gencar di sosial media, VW Safari miliknya kian terkenal di kalangan wisatawan.

vw borobudur
VW Borobudur/Rivai Hidayat

Pak Basir menawarkan beberapa rute yang bisa wisatawan pilih, rute tersebut mayoritas masih di sekitar kawasan Borobudur. Jumlah destinasi dan lamanya berkeliling, tergantung paket wisata yang wisatawan pilih. Hari itu, saya dan beberapa rekan menjajal salah satu rutenya, dan tujuan kami yakni Kampoeng Dolanan Nusantara.

Kampoeng Dolanan Nusantara terletak di Dusun Sodongan, Desa Bumiharjo, Kecamatan Borobudur. Berada di sebelah utara kawasan Candi Borobudur. Kampoeng Dolanan Nusantara pertama kali dibuka pada tahun 2013. Pak Abbet Nugroho, ialah sosok yang mendirikan dan mengelola tempat ini. Kampoeng Dolanan Nusantara berkonsep mengajak pengunjung bermain permainan tradisional dengan suasana pedesaan.

Di sini, saya melihat bermacam-macam permainan tradisional. Ada egrang, bakiak, gobak sodor, gasing, engklek, dakon, dan bekelan. Tidak hanya permainan tradisional, ada juga kelas menari, bernyanyi gending jawa, dan bermain alat musik seperti gamelan, juga angklung.

Siang itu Pak Abbet yang mengenakan baju lurik, blangkon berwarna hitam, dan kain sarung menyambut kehadiran kami. Usai bincang-bincang, beliau telah bersiap untuk memandu kami bermain angklung.

Pak Abbet memilih permainan angklung dengan nada harmonis. Jenis ini dipilih karena menghasilkan banyak nada dan sangat cocok dimainkan oleh banyak orang. Pak Abbet juga mengkombinasikan angklung dengan alat musik modern lainnya. Seperti gitar, drum, dan keyboard.

Sebelum memulai permainan, Pak Abbet memastikan semua peserta mendapatkan angklung sesuai dengan nomor atau kode angka yang tertera pada setiap angklung. Kode angka ini sesuai dengan nada yang akan dihasilkan oleh angklung tersebut. Mulai dari nada do, re, mi, fa, sol, la, si, hingga do tinggi.

Ia kemudian memberikan instruksi dengan kedua tangannya. Instruksi ini adalah tanda untuk peserta memainkan angklung sesuai dengan kode nomor yang ada di angklungnya. Instruksi inilah yang harus kami perhatikan selama bermain angklung.

Pak Abbet juga tidak lupa mengajarkan cara memegang dan memainkan angklung dengan benar. Hal ini perlu diajarkan agar angklung dapat menghasilkan nada dan suara yang sesuai. Peserta tidak langsung menyanyikan sebuah lagu, tetapi mulai dengan latihan kecil memahami instruksi yang ia berikan terlebih dulu.

Aku tidak langsung lancar dalam mengikuti setiap instruksi yang diberikan. Terkadang aku lupa dengan kode nomor yang ada di angklung. Jujur saja, ini merupakan pengalaman pertamaku memainkan alat musik yang berasal dari Sunda ini.

Setelah berlatih beberapa kali dan “cukup” lancar dalam mengikuti instruksi, Pak Abbet langsung mengajak kami untuk memainkan sebuah lagu. Siang itu kami berhasil memainkan beberapa lagu, salah satunya lagu Ojo Dibandingke ciptaan Abah Lala yang dinyanyikan oleh Farrel Prayoga. Lagu ini menjadi sangat terkenal ketika penyanyi cilik dari Kabupaten Banyuwangi itu menyanyikannya di depan Presiden Joko Widodo saat acara Peringatan HUT Ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara pada 17 Agustus 2022 lalu.

Acara jadi semakin seru ketika ada beberapa peserta yang ikut bernyanyi dan menari mengikuti alunan lagu dan nada yang dihasilkan. Semua orang larut dalam keseruan itu.

Di Kampoeng Dolanan Nusantara peserta tidak hanya berkunjung, tetapi juga diajak untuk belajar dan terlibat langsung dalam permainan tradisional dan kesenian yang ada. Ini sesuai dengan apa yang dikembangkan di Kampoeng Dolanan Nusantara, yaitu wisata berbasis edukasi.

Menurut Pak Abbet, “Dalam permainan atau dolanan tradisional banyak mengajarkan budi pekerti luhur. Selain itu, banyak nilai positif yang terkandung dalam permainan tradisional. Mulai dari keterampilan, kejujuran, empati, sportivitas, gotong royong, hingga kerjasama. Hal ini seperti ini tidak didapatkan dalam bangku sekolah. Hal ini perlu ditanamkan ke generasi muda. Dengan mengikuti permainan tradisional, anak-anak akan juga memiliki ketangkasan fisik, dan tubuh yang sehat.”

Pak Abbet memberikan beberapa contoh nilai positif dalam permainan tradisional. Misalnya dalam permainan dakon yang mengajarkan para pemainnya untuk sportif. Mereka hanya boleh memberi. Tidak boleh nguntit atau mencuri. Contoh lain adalah permainan gobak sodor (go back to dor) yang membutuhkan kerjasama tim untuk mengalahkan lawan.

“Sudah seharusnya permainan tradisional perlu dilestarikan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perkembangan anak.”

jajan di kampoeng dolanan
Jajan di Kampoeng Dolanan/Rivai Hidayat

Selain bermain angklung dan bernyanyi, aneka jajanan pasar menjadi sajian yang Pak Abbet suguhkan kepada kami. Semua tersaji dalam sebuah tampah berlapis daun pisang sebagai alas. Teh dan kopi menjadi pendampingnya.

Di halaman terdapat beberapa gazebo, meja, dan kursi panjang yang bisa digunakan untuk bersantai dan menikmati suasana khas pedesaan. Berada di Kampoeng Dolanan Nusantara seperti diajak balik lagi ke masa kecil. Masa dimana kami sering menghabiskan waktu dengan permainan tradisional.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bermain Angklung di Kampoeng Dolanan Nusantara Borobudur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bermain-angklung-di-kampoeng-dolanan-nusantara-borobudur/feed/ 0 36760