boyolali Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/boyolali/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 16:02:38 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 boyolali Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/boyolali/ 32 32 135956295 Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala https://telusuri.id/jejak-sejarah-di-sekitar-kita-pertemuan-dengan-arca-tak-berkepala/ https://telusuri.id/jejak-sejarah-di-sekitar-kita-pertemuan-dengan-arca-tak-berkepala/#respond Fri, 02 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46826 Di Desa Banyudono, Boyolali, kisah Kerajaan Pengging menjadi epos yang sangat epik dan dibanggakan. Mitos Bandung Bondowoso—cerita rakyat tentang pembangunan seribu candi dalam semalam—yang diceritakan berasal dari Kerajaan Pengging acap diturunkan ke anak-anak di Banyudono....

The post Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Desa Banyudono, Boyolali, kisah Kerajaan Pengging menjadi epos yang sangat epik dan dibanggakan. Mitos Bandung Bondowoso—cerita rakyat tentang pembangunan seribu candi dalam semalam—yang diceritakan berasal dari Kerajaan Pengging acap diturunkan ke anak-anak di Banyudono.

Tak jarang saya mengunjungi jejak peninggalannya yang masih bisa dijumpai hingga sekarang. Kerajaan yang berdiri kurang lebih pada tahun 979 Masehi—masih menjadi perdebatan—ini meninggalkan pemandian, arca, masjid, hingga makam orang-orang penting, seperti R. Ng Yosodipuro

Umbul Sungsang adalah salah satunya. Tempat ini populer bagi masyarakat untuk kungkum atau ciblon. Sebelah barat Umbul Sungsang terdapat Masjid Cipto Mulyo. Usianya telah menginjak 120 tahun, tapi masih sangat terawat dengan arsitektur Jawa kunonya. Jalan lurus ke arah selatan sekitar 200 meter, kita dapat menemui Umbul Pengging, salah satu jejak peninggalan Pakubuwono X. Meski dibangun pada masa yang tidak berbarengan, bangunan ini menjadi saksi bisu peradaban Pengging. 

Di era sekarang, tempat-tempat tadi seakan mulai luntur nilainya. Mereka “kalah bersaing” dengan hal-hal modern yang lebih menarik perhatian masyarakat. Peninggalan bersejarah ini hanya dimaknai selayaknya fungsi pragmatisnya saja. Meninggalkan nilai, juga mengubah pemaknaannya terhadap tempat tersebut. 

Dalam beberapa kunjungan saya ke Umbul Sungsang, misalnya, tempat ini digunakan sebagai tempat meminum minuman keras, bahkan asusila. Tak jarang saya melihat coretan dinding yang tak berhubungan sama sekali dengan tempat ini. Merusak pemandangan dan nilai prestisiusnya.

Kerajaan Pengging, atau bahkan peradaban sebelumnya meninggalkan nilai tak terkira bagi masyarakat sekitar bahkan sejarah nasional. Secara pragmatis, tempat tersebut dapat dimonetisasi sebagai objek wisata. Namun, lebih jauh lagi, peninggalan pengetahuan akan identitas pendahulu kita menjadi nilai yang tak dapat diukur, bahkan dapat menjadi “ruang” mengembangkan arah kebudayaan. 

Jika ditelisik, banyak peninggalan Kerajaan Pengging yang masih berada di tempat yang tak terduga. Dulu sempat ada yang menemukan sebuah arca di makam saat menggali kubur, ada juga yang menemukannya saat hendak ke petirtaan. Keduanya diduga menjadi peninggalan Kerajaan Pengging. 

Pencarian menjadi kata paling dekat dengan kebenaran. Kebenaran mesti terus dicari. Salah satunya lewat kepingan-kepingan warisan sejarah. 

Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala
Tampak samping pabrik rokok yang sudah tak terpakai/Aldino Jalu Seto

Berawal dari Dongeng 

Ngomong-ngomong soal sejarah, beberapa waktu lalu saya memikirkan “mitos” sebuah arca di sebelah barat bekas pabrik rokok di Banyudono. Kabarnya, Kraton Pengging memiliki banyak arca yang tersebar di desa-desa sekitarnya, salah satunya bernama Ketaon. Saya ingat mitos dan sejarah sering kali dicampuradukkan, “Kenapa tidak saya cari saja kebenarannya?” pikir saya. 

Mulanya, cerita tentang arca itu sampai pada saya semasa kecil; kira-kira sekolah dasar (SD). Tak sedikit orang tua yang bercerita bahwa dulunya di sebelah barat pabrik rokok ini terdapat sebuah arca. Orang sekitar biasa menyebut reca (dibaca dalam bahasa Jawa: reco)

Masih menurut cerita masyarakat sekitar, reca ini terbuat dari batu yang dipahat. Bentuknya serupa manusia yang bersila. Ada yang mengatakan jika hanya sebagian orang yang beruntung yang dapat bertemu dengan reca. Jika pertemuan itu terjadi, maka apa yang diinginkan (mungkin) akan tercapai. Begitu kurang lebih ceritanya. 

Ingatan ini sangat akrab bagi saya dan masyarakat sekitar. Tak dijelaskan siapa pembuat reca tersebut, dan tahun berapa reca tersebut dikisahkan ada di sana. Juga, entah siapa yang pertama kali memulai cerita ini. 

Pertanyaan itu selalu timbul di benak saya yang belum pernah melihat bentuk dari reca itu sejak lahir, hingga usia saya sudah menginjak kepala dua. Bagi kami warga sekitar yang belum melihat langsung, kami hanya menganggap cerita itu sebagai dongeng belaka. 

Saya bersekolah tak jauh dari lokasi pabrik rokok yang tak beroperasi itu. Sekitar 200 meter ke arah timur, dari perempatan jalan penghubung Dukuh Gatak dengan Dukuh Ketaon. Waktu pelajaran Pendidikan Jasmani dan Olahraga, kami sekelas diminta jogging untuk mengelilingi areal persawahan, termasuk mengelilingi pabrik mati itu. Tak pernah sekalipun kami menemui reca di sana.

Tentu kami sudah tahu tentang cerita reca, tapi tak satu pun dari kami yang pernah menemuinya. Malah sering kali, karena saking tak pernah menemukannya, kami percaya dengan dongeng yang diciptakan masyarakat sekitar. 

Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala
Jalur menuju lokasi penemuan reca tak berkepala/Aldino Jalu Seto

Menjadi Realitas

Kini, setelah sekian lama saya percaya terhadap dongeng reca tersebut, besar keinginan saya untuk melihat benda itu secara langsung. Berangkat dari pertanyaan sederhana, “Apakah benda itu benar ada?”

Seolah pertanyaan tersebut ingin memberikan tantangan, bahwa “dongeng” tentang keberadaan reca yang telah lama dikonsumsi ini, dapat dipatahkan menjadi kebenaran setelah reca ditemukan. Pertanyaan tadi membawa rasa optimis akan menemukannya. 

Sebelum terjun ke lapangan, saya mencoba mencari data tentang areal pabrik tersebut. Sayang, informasi tentang jejak peninggalan Hindu-Buddha tak ketemu. Saya mencoba menyusuri sebuah jalan penghubung antara Desa Danyangan dengan Gatak yang terletak di area persawahan. Hasilnya nihil.

Beberapa bulan kemudian, kembali saya menyusuri areal tersebut. Di sepanjang jalan pabrik mati terdapat pertigaan jalan. Pada ekspedisi kedua ini saya mengambil jalan ke arah barat. Saya menggunakan sepeda motor, berjibaku dengan tanah yang basah bekas hujan. Kadang kala, ban motor saya yang tidak diatur untuk area lumpur tergelincir. 

Saya mencoba mencari jalan yang belum pernah saya lalui sebelumnya. Harapannya, saat melewatinya ada sesuatu yang dapat ditemukan. Sekitar 200 meter terdapat jembatan kecil yang menghubungkan antarparit. Terdapat sebuah bangunan yang menonjol di parit tersebut, masyarakat Jawa biasa menyebutnya buk (tembok rendah). Dari situ saya ambil jalan ke arah kanan masuk di kebun sengon sekitar 20 meter, kemudian belok kanan. 

Dari jauh samar terlihat seonggok batu yang berada di tengah jalan. Lambat laun, batu itu terlihat semakin besar ketika didekati. Ternyata ia tertanam di tanah. Setelah diperhatikan lebih lama, ternyata terdapat tangan menyerupai bentuk tangan manusia di batu tersebut. “Perjalanan berbuah manis,” kata saya dalam hati.

Batu itu tak berbentuk bulat, melainkan seperti badan manusia yang menancap di tanah. Bahkan jika dibandingkan, lebih besar dari badan saya—tinggi saya 166 cm dan berat badan hampir 60 kg. “Tak dapat diragukan lagi, itu dia,” saya melanjutkan penelusuran.

Ia duduk bersila, tangannya menengadah di pangkuannya. Sepertinya tak berbaju hingga dadanya terlihat seperti laki-laki telanjang. Sebagian kakinya masih ada di dalam tanah. Belum dapat diketahui seberapa besar reca ini. Yang pasti kondisinya miris. sebagian tangan kanannya sudah patah dan hilang, serta sudah tak punya kepala. 

Di bagian punggungnya sudah terdapat tanda. Kurang jelas bertuliskan apa, tapi sepertinya “60”. Karena saya bukan seorang sejarawan atau arkeolog, pertanyaan tentang reca ini—dari mana asalnya, siapa pembuatnya, dari agama apa, bagaimana sejarahnya—tak bisa saya jawab, malah hanya berputar di kepala saya.

Yang sangat disayangkan lagi, saya tak bisa langsung mengetahui bagaimana wajah dari reca ini karena kerusakannya. Minimnya informasi valid mengenai keberadaannya menjadi kendala buat saya menerangkannya. 

Beberapa bulan sebelumnya, saya sempat singgah di Rumah Arca Boyolali. Kata penjaga tempat wisata tersebut, memang banyak arca atau reca yang ditemukan di daerah Ketaon, Banyudono. Bahkan sebagian besar koleksi di tempat itu bisa dibilang ditemukan di wilayah tersebut. 

Namun, kadang terdapat sebuah kepercayaan untuk tidak memindahkan arca dari lokasi penemuannya karena masih dipercaya sebagai barang yang sakral oleh masyarakat. Atas dasar itu, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah memindahkannya. Sayang sekali sangat sedikit bahan bacaan yang bisa dibagikan kepada pengunjung tentang benda-benda bersejarah di sana. 

Sulitnya informasi mungkin membuat masyarakat tidak mengetahui seberapa berharga pusaka, reca, bangunan cagar budaya, atau peninggalan bersejarah lainnya. Sehingga perusakan seperti yang ada di Umbul Sungsang menjadi wajar bagi para oknum. 

Banyudono menjadi potensial untuk menggali epos-epos tentang kerajaan, agama, identitas masyarakat lokal—setidaknya bagi wilayah sekitarnya. Pencarian yang saya lakukan hanyalah hal kecil. Sangat disayangkan sekali pertemuan dengan reca yang sudah dicari dua puluhan tahun ini berujung pada pertemuan dalam kondisi mengenaskan. Seolah kehilangan kegagahan masa lalunya.

Tapi, mau tak mau, reca ini tetap menjadi benda penting. Penting dalam melengkapi kepingan-kepingan sejarah Banyudono yang belum terangkai secara utuh. Penting sebagai pengetahuan untuk mempertahankan identitas tempat ini. Bahkan, penting dalam merekonstruksi pemikiran tanah kelahiran banyak orang. 

Di sisi lain, secara pribadi, perasan puas telah menemukan reca ini menjawab kegelisahan saya selama puluhan tahun. Akhirnya dongeng itu tak hanya menjadi dongeng belaka, tetapi menjelma menjadi realitas dalam sebuah usaha membentuk narasi kebenaran sejarah yang utuh.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-sejarah-di-sekitar-kita-pertemuan-dengan-arca-tak-berkepala/feed/ 0 46826
Museum Pertama di Boyolali (2) https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-2/ https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-2/#respond Wed, 02 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46514 Dedikasi Prof. Dr. Soeharso, pahlawan nasional dari Boyolali yang dijadikan diorama di Museum R. Hamong Wardoyo, masih banyak. Pada tahun 1954 Prof. Dr. Soeharso mendirikan sekolah fisioterapi, kemudian tahun 1955 diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi...

The post Museum Pertama di Boyolali (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Dedikasi Prof. Dr. Soeharso, pahlawan nasional dari Boyolali yang dijadikan diorama di Museum R. Hamong Wardoyo, masih banyak. Pada tahun 1954 Prof. Dr. Soeharso mendirikan sekolah fisioterapi, kemudian tahun 1955 diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi pemimpin Lembaga Orthopedi dan Prothese. Sempat pula ia menjadi penggerak berdirinya Yayasan Koperasi Harapan. Atas usahanya yang ulet, daerah aktivitasnya pun semakin luas.

Dua tahun setelahnya, yakni 1957, ia mendirikan sheltered workshop penyandang disabilitas prothese di Surakarta. Di situ tidak hanya membuat alat-alat saja, tetapi juga menampung para kaum difabel, yang nantinya mereka diberi kesempatan bekerja dan melatih diri sesuai kemampuan masing-masing. Upaya tersebut menunjukkan Prof. Dr. Soeharso telah berbuat baik bagi psikologi mereka, sehingga mereka akan merasa masih berguna dan layak untuk hidup. Pada tahun 1962, Prof. Dr. Soeharso juga merintis pendirian Yayasan Pembina Olahraga Penderita Cacat (YPOC)1. Sesuai dengan namanya, yayasan itu digunakan untuk mendidik dan memberi latihan olahraga bagi para individu difabel agar badannya sehat.

Tidak berhenti di situ, tahun 1967 didirikan juga Yayasan Balai Penampungan Penderita Paraplegia di Surakarta. Hampir bersamaan, pada tahun 1968 didirikan pula Dana Skoliosis Resser di Surakarta yang diketuai Prof. Dr. Soeharso. Selain aktif di bidang kesehatan, Prof. Dr. Soeharso juga aktif di bidang kebudayaan dan kesenian Jawa2.

Begitulah beberapa andil perjuangan Prof. Dr. Soeharso yang sangat berguna bagi masyarakat. Tentu masih banyak lagi jasa lainnya yang belum saya sebutkan di sini.

Museum Pertama di Boyolali (2)
Abdul Rochim berjalan di antara galeri arsip foto untuk turun dari lantai dua ke lantai satu/Danang Nugroho

Diorama Kebudayaan Boyolali

Selanjutnya diorama budaya yang ada di Boyolali juga ditampilkan. Misalnya, tradisi ngalap berkah apem kukus keong mas di Pengging, Banyudono, dan tradisi sedekah gunung di Lencoh, Selo.

Selain itu, ada juga cagar budaya yang ada di daerah saya, Cepogo, yang belum lama dibuatkan dioramanya di museum, yakni Candi Lawang, Candi Sari, dan Pesanggrahan Pracimoharjo. Cagar budaya lainnya adalah Loji Papak di Juwangi dan Umbul Pengging di Banyudono.

Di samping itu, tak hanya diorama, terdapat juga peninggalan-peninggalan lain yang ditampilkan di lantai satu, seperti foto-foto bupati Boyolali dari masa R. Hamong Wardoyo dan seterusnya. Ada juga arsip foto sejarah Presiden Sukarno dan Soeharto yang pernah datang ke Boyolali, koleksi batuan klasik pindahan dari Rumah Arca di Taman Sono Kridanggo—yang digusur menjadi pom bensin—kereta kencana, meriam, keris, beberapa pusaka peninggalan Pakubuwono X, dan masih banyak lagi peninggalan bersejarah lainnya.

Ketika saya dan Abdul Rochim naik ke lantai dua, kami melewati lorong berbentuk spiral untuk mencapainya. Di sini tersaji arsip foto-foto bersejarah di Boyolali pada tembok lorong, yang menemani perjalanan pengunjung agar tak bosan sekaligus menambah pengetahuan. Ketika kami mencapai lantai dua yang beratap kaca itu, ternyata ruangan seperti auditorium itu kosong. Setelah itu, kami bergegas turun menemui Mas Pepi untuk mengobrol di bagian registrasi.

  • Museum Pertama di Boyolali (2)
  • Museum Pertama di Boyolali (2)

Sejarah Berdirinya Museum R. Hamong Wardoyo

Atas ide dari bupati ke-23 Boyolali Seno Samodro, tahun 2015 didirikan museum pertama di atas lahan bekas gedung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Boyolali. Operasional pertama pada awal 2016.

“Alasan Pak Seno mendirikan museum itu apa, Mas?” tanya saya.

“Bapak Seno itu punya ide untuk memperkenalkan Boyolali ke masyarakat, baik masyarakat sekitar maupun [masyarakat] luar Boyolali, bahwa di sini itu ada museum yang bisa memperkenalkan Boyolali,” ujar Mas Pepi.

Banyak yang menyebut bentuk bangunan ini mirip Museum Louvre di Paris. Jadi, sejarahnya, sebelum jadi bupati Pak Seno pernah bekerja menjadi koresponden beberapa media cetak Indonesia di Prancis, seperti Bola, Merdeka, dan GO. Maklum jika bekerja di Prancis, karena ia adalah lulusan Sastra Prancis UGM. Meski menamatkan kuliah selama 7,5 tahun, siapa sangka dialah yang menjadi pelopor berdirinya museum pertama di Boyolali. Ia kembali ke Indonesia tahun 20003.

“Setelah pulang ke Boyolali [Bapak Seno itu] punya angan-angan [kurang lebih], ‘Oh, suk ning Boyolali tak buatkan museum seperti yang ada di Paris, Prancis’, begitu,” ungkap Mas Pepi.

Begitulah alasan mengapa Museum R. Hamong Wardoyo mirip Museum Louvre di Paris, Prancis. Adapun nama R. Hamong Wardoyo diambil dari bupati ke-10 yang memimpin Boyolali pada 1947.

Museum Pertama di Boyolali (2)
Potret wajah Bupati Boyolali periode 1945-1948 R. Hamong Wardoyo/Danang Nugroho

Rencana Selanjutnya di Lantai dua

Ternyata, lantai dua itu walaupun kosong tetap digunakan untuk kegiatan pertemuan, sarasehan, atau peminjaman tempat dari orang luar. “Mungkin ke depannya kami buatkan bioskop mini,” ungkap Mas Pepi.

Ia juga menambahkan, “Ada rencana mau minta file Joglo Wisata tentang terjadinya proses erupsi Merapi untuk dibawa ke sini. Ada juga rencana film tentang asal usul Boyolali,” tambahnya.

“Di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Boyolali itu ada film dokumenter tentang Boyolali, Pak. Mungkin bisa dikoordinasikan,” celetuk saya.

Walaupun lantai dua dari atap kaca, tetapi ada rencana pembuatan bioskop mini itu. Tentu harus ada desain pembuatan ruang khusus agar cahaya dari luar yang tembus melalui atap kaca itu tidak masuk ke ruang bioskop mini. Entah nantinya terlaksana atau tidak, tentu hal itu menjadi nilai plus sebagai daya tarik wisatawan.

Selain itu, beberapa orang tentu ada yang memiliki gaya belajar audiovisual. Jika memang rencana itu terealisasi, misal kurang memahami bagian museum di lantai satu, mereka tentu dapat merasakan dampaknya melalui media bioskop mini di lantai dua, sehingga pesan-pesan sejarah, budaya, dan pembelajaran pada benda-benda mati itu bisa tersampaikan kepada para pengunjung.

  • Museum Pertama di Boyolali (2)
  • Museum Pertama di Boyolali (2)

Sarana Pembelajaran Masyarakat dan Bekal Pulang

“Kalau outing class itu giliran, Mas. Sering. Misal minggu ini dari sekolah A, [kemudian] besok sekolah B. Makanya mereka itu kalau berkunjung kirim surat dulu yang isinya akan berkunjung hari apa, tanggal berapa, dan jumlah siswa berapa, gitu,” jawab Mas Pepi menyambung pertanyaan-pertanyaan saya sebelumnya.

Museum ini tentu menjadi sarana pembelajaran bagi masyarakat luas. Tidak hanya mereka yang bersekolah saja, tetapi juga bagi semua kalangan, baik di wilayah Boyolali maupun luar Boyolali.

Dari anak sekolah, seringnya yang berkunjung adalah anak-anak PAUD, TK, SD, dan SMP. Kalau anak SMA biasanya ke sini untuk tugas video kelompok atau individu. Bertepatan juga dengan Kurikulum Merdeka yang memiliki P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila), yaitu program yang ada kegiatan di luar kelasnya. Tentu pada saat guru memilih tema kearifan lokal, para siswa bisa diajak berkunjung ke Museum R. Hamong Wardoyo agar lebih mengenali Boyolali dan sejarahnya.

Mas Pepi mengungkapkan, kalau yang berkunjung itu tidak hanya sekolah di Boyolali saja, melainkan dari luar Boyolali juga, seperti pengunjung umum. Ramainya museum terjadi pada masa liburan atau tanggal merah. Sementara anak sekolah, selain kegiatan outing class tadi, biasa berkunjung sepulang sekolah.

Namun, ada juga ironisnya. “Kalau untuk pengunjung umum harian itu masih sepi. Sampai sehari tidak ada pengunjung itu sering,” kata Mas Pepi.

Saya pun agak heran karena ada hari-hari tanpa kunjungan itu. Kemudian saya tanyakan harapan Mas Pepi dari museum ini. “Harapannya, ya, semoga banyak orang berkunjung ke museum. Intinya, ya, meningkatnya wisatawan yang pergi ke Boyolali, khususnya ke Museum Hamong Wardoyo, [agar] mereka mengenal lebih dalam tentang sejarah atau apa yang ada di Kabupaten Boyolali, yang masyarakat [sekitar dan luar] belum tahu tentang sebagian kecilnya,” pungkasnya.

Saya lantas mengucap terima kasih dan membawa bekal pulang ‘pertanyaan’ dari perkataan Mas Pepi sebelum memungkasi wawancara itu. “Apakah museum ini perlu menjelma bupati ke-10 Boyolali itu sebagai manusia hidup lagi untuk berteriak dikunjungi supaya sehari-harinya tidak sepi?”


  1. Pada nama lembaga bagian ‘Penderita Cacat’ alangkah baiknya diganti cara membaca/pada saat Anda menulis (misal bukan sejarah nama lembaga yang paten) dengan Difabel, Kaum Difabel, Penyandang Disabilitas, atau Kaum Penyandang Disabilitas seperti yang tertulis dalam Arif Maftuhin, “Difabel dan Penyandang Disabilitas”, Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga, September 2014, http://pld.uin-suka.ac.id/2014/09/difabel-dan-penyandang-disabilitas.html. ↩︎
  2. Poliman, “PROF. DR. R. SUHARSO”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1983-1984, https://repositori.kemdikbud.go.id/10582/1/PROF.DR.R.SUHARSO.pdf. ↩︎
  3. Taufiq, “Mengenal Lebih Dekat Seno Samodro: Membuat Boyolali Tersenyum dengan Pertumbuhan Ekonomi Tertinggi di Indonesia”, Kagama.co, 5 November, 2018, https://kagama.co/2018/11/05/mengenal-lebih-dekat-seno-samodro-membuat-boyolali-tersenyum-dengan-pertumbuhan-ekonomi-tertinggi-di-indonesia/3/. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Museum Pertama di Boyolali (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-2/feed/ 0 46514
Museum Pertama di Boyolali (1) https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-1/ https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-1/#respond Tue, 01 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46513 Memang ada apa di Boyolali? Adakah tempat wisata pembelajaran atau ruang kebudayaan di Boyolali selain susu sapi? Begitulah kiranya pertanyaan-pertanyaan yang kadang muncul di benak seseorang yang belum mengetahui soal Boyolali. Tidak hanya terkenal dengan...

The post Museum Pertama di Boyolali (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Memang ada apa di Boyolali? Adakah tempat wisata pembelajaran atau ruang kebudayaan di Boyolali selain susu sapi?

Begitulah kiranya pertanyaan-pertanyaan yang kadang muncul di benak seseorang yang belum mengetahui soal Boyolali. Tidak hanya terkenal dengan sebutan Kota Susu, Boyolali kini tampak lebih maju. Salah satu kemajuan itu terlihat dari berdirinya museum pertama bernama Museum R. Hamong Wardoyo.

Cuti bersama Tahun Baru Imlek (28/1/2025) memancing hasrat saya untuk pergi bermain di kota sendiri. Awan kelabu yang terlihat menggumpal di Cepogo, daerah saya yang terletak di lereng Gunung Merapi, tak mengurungkan niat saya untuk mengunjungi Museum R. Hamong Wardoyo.

“Ayo, jadi apa tidak? Tapi mendung cuacanya,” ajak Abdul Rochim, teman saya dalam bahasa Jawa.

“Oke, gas! Santai, bagian kota tampak cerah. Otw (dalam perjalanan ke) rumahmu,” celetuk saya.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Tampak depan Museum R. Hamong Wardoyo Boyolali/Danang Nugroho

Perjalanan ke Museum

Seperti biasanya, daerah pegunungan memang lebih sering mendung dan hujan, tetapi tidak dengan daerah perkotaan. Sebab, dataran pegunungan lebih tinggi, sehingga saya bisa melihat cuaca di dataran rendah yang lebih cerah. Sinyal hijau cuaca di daerah bawah akhirnya mengantarkan kami bergegas menuju museum.

Kami mengendarai sepeda motor ke museum. Jarak dari Cepogo cuma 12 km, hanya memakan waktu 20 menit perjalanan. Lokasi museum terletak di Jl. Pandanaran No. 19, Tegalmulyo, Siswodipuran, Boyolali, Jawa Tengah. Setelah memarkir kendaraan, kami berjalan masuk ke bangunan yang mirip dengan Museum Louvre di Rive Droite Seine, arondisemen pertama di Paris, Prancis. Museum ini berbentuk segi enam dan atap dari kaca serupa piramida.

Kami mengisi daftar hadir. Tidak ada biaya masuk alias gratis. Tampak beberapa wisatawan yang berkunjung hari ini. Pada saat pengisian itu, saya sempat mengobrol sejenak dengan penjaga museum bernama Farid Purnomo atau akrab disapa Mas Pepi. Kami pun janjian untuk wawancara dengannya setelah mengitari museum.

Di dalam gedung museum, tampak lorong melingkar di lantai satu dan lorong spiral untuk naik ke lantai dua. Kami menelusuri bagian bawah terlebih dahulu.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Abdul Rochim sedang mengisi daftar hadir disaksikan Mas Pepi/Danang Nugroho

Cerita Rakyat tentang Asal Usul Nama Boyolali

Awalnya kami disuguhkan sebuah diorama seorang bekas bupati Semarang pada abad XVI, Ki Ageng Pandan Arang atau yang lebih dikenal dengan nama Tumenggung Notoprojo—ada juga yang menyebutnya Sunan Tembayat—yang sedang beristirahat di sebuah batu besar yang berada di tengah sungai. Konon, ia diramalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai wali penutup menggantikan Syekh Siti Jenar. Hal itu berkaitan dengan sejarah nama Boyolali.

Menurut cerita rakyat yang hidup di sini, Ki Ageng Pandan Arang kala itu terkenal dengan wataknya yang suka pada harta dan melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Kemudian, berkat dakwah Sunan Kalijaga, ia disadarkan akan sangkan paraning dumadi, sehingga ia dengan tulus ikhlas meninggalkan harta, jabatan, dan kedudukannya di Semarang. Sunan Kalijaga menugaskannya pergi ke Gunung Jabalkat di Tembayat, Klaten, untuk syiar agama Islam diikuti istri dan anak.

Selama perjalanan sufi tersebut, ia mengalami berbagai rintangan dan ujian. Ia berjalan cukup jauh meninggalkan istri dan anak—yang tertinggal karena tergoda harta dunia dan belum ikhlas untuk meninggalkan. Sambil menunggu anak dan istrinya, Ki Ageng Pandan Arang beristirahat di atas batu besar yang berada di tengah sungai (sekarang belakang Gedung Sonosudoro Theater). Dalam istirahat dan penantiannya itu, ia berucap, “Boya wis lali wong iki (sudah lupakah orang ini?”. Dari ucapan itu maka jadilah nama ‘Boyolali’. 

Perjalanan sufi Ki Ageng Pandan Arang berlanjut ke Gunung Jabalkat di Tembayat, Klaten. Ketika sang istri atau Nyi Ageng dan anaknya sampai di batu tersebut dan mengetahui kalau sang suami sudah tidak ada, Nyi Ageng berkata, “Kiai, boya wis lali aku teko ninggal wae.” Kemudian mereka menyusul Ki Ageng Pandan Arang.

Begitulah cerita rakyat singkat yang masih hidup tentang asal usul nama Boyolali. Kabupaten Boyolali berdiri pada 5 Juni 1847, ditandai dengan surya sengkala “Kas Wareng Woh Mojo Tunggal.” Nama Boyolali diambil dari rangkaian kata “Boya” dan “Lali” yang berarti jangan lupa; selanjutnya menjadi semboyan rakyat Boyolali, terutama para pemimpin-pemimpin di sini untuk selalu patuh, taat, penuh rasa tanggung jawab, serta penuh kewaspadaan dalam melaksanakan tugasnya1. “Sungguh, sejarah nama yang menampar diri bagi para pemimpin untuk selalu berkontemplasi,” batin saya.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Abdul Rochim sedang membaca desskripsi diorama Asal Mula Kabupaten Boyolali/Danang Nugroho

Diorama Erupsi Merapi dan Pahlawan Nasional dari Boyolali

Perjalanan kami menelusuri museum berlanjut. Sejajar dengan diorama Ki Ageng Pandan Arang tadi, terdapat diorama-diorama lain yang memperlihatkan tragedi, perjuangan, budaya, dan cagar budaya yang ada di Boyolali. Tentang tragedi, museum menampilkan diorama erupsi Gunung Merapi. Mengapa terdapat diorama tragedi erupsi Gunung Merapi?

Boyolali terletak di lereng gunung Merapi, sehingga ketika erupsi besar terjadi, kami juga terkena dampaknya. Periode 3000—250 tahun yang lalu, Gunung Merapi tercatat mengalami sekitar 33 letusan, dengan letusan terparah pada 4 Agustus 1672. Kemudian abad ke-19 merupakan periode Merapi baru. Waktu itu tercatat 80 kali letusan pada tahun 1768, 1822, 1849, dan 1872. Setelahnya, Merapi mengalami letusan lagi pada tahun 1930, 1954, 1961, 1998, 2001, 2006, 2010, 20212, dan 2024.

Semasa kecil, saya pernah mengalami letusan hebat saat 2010. Kala itu saya yang berada di Cepogo diguyur abu vulkanik yang begitu tebal, sehingga perlu mengungsi ke daerah yang lebih aman.

Terdapat sebutan aktivitas vulkanik pada Gunung Merapi yang masih saya ingat hingga kini, yakni wedhus gembel. Penamaan wedhus gembel diartikan sebagai awan panas yang keluar saat erupsi terjadi. Wedhus gembel dalam bahasa Indonesia berarti ‘kambing atau domba berbulu gimbal’, selaras dengan visualisasi awan panas yang keluar bergumpal-gumpal berwarna abu-abu keputihan seperti bulu domba. Hingga kini, Merapi masih aktif mengeluarkan guguran lava dan ditetapkan statusnya menjadi Siaga.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Diorama erupsi Gunung Merapi/Danang Nugroho

Sementara di kaki Gunung Merbabu, lahir seorang anak laki-laki bernama Soeharso pada 13 Mei 1912 di Desa Kembang, Ampel, Boyolali. Anak itu kelak menjadi salah satu pejuang kesehatan dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Perjuangan Prof. dr. R. Soeharso menjadi salah satu diorama yang ditampilkan di museum.

Soeharso memiliki enam saudara. Di keluarganya, Soeharso termasuk anak yang cerdas. Pada masa itu, masih sedikit sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda. Sebab, Indonesia masih dalam masa penjajahan dan keculasan kolonial, yang sengaja membuat sebagian besar rakyat Indonesia untuk tetap bodoh agar Belanda tidak kesulitan untuk terus menjajah.

Hanya di kota-kota besar saja ada sekolah. Soeharso harus pergi ke Salatiga untuk menempuh pendidikan dengan jalan kaki. Sebuah keberuntungan ia bisa diterima di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Salatiga. Singkat cerita, selama menempuh pendidikan dari sekolah dasar hingga sarjana, Soeharso dapat menunjukkan hasil yang memuaskan tanpa pernah tinggal kelas sampai meraih gelar profesor. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah diperoleh, Prof. dr. R. Soeharso mengabdikan dirinya kepada masyarakat dengan bekerja di bidang kesehatan.

Soeharso merupakan perintis dan perencana Rehabilitasi Centrum (RC) di Sala—Solo atau Surakarta sekarang—untuk menampung penyandang disabilitas akibat perang. Pada 1945 Soeharso mendirikan Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Surakarta dan menjadi pemimpin gerak cepat di garis depan Ambarawa dan Mranggen. Sekitar tahun 1945–1946, banyak pemuda yang kehilangan anggota tubuhnya dan menjadi penyandang disabilitas. Pada waktu itu, Soeharso dan Soeroto Reksopranoto sebagai tenaga teknik dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Jebres Surakarta mulai melakukan percobaan dalam menghasilkan tangan dan kaki tiruan.

Saat terjadi Agresi Militer Belanda I dan II (1947–1949), Soeharso memimpin pasukan gerak cepat PMI Cabang Surakarta. Tugasnya makin berat, karena ia juga menjadi dokter Palang Merah di Sukoharjo. Selama beberapa tahun tiada henti Soeharso berjuang untuk mengobati penyandang disabilitas. Karena jumlah penyandang bertambah, akhirnya didirikan rumah sakit darurat yang terletak di belakang RSUP Jebres.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Diorama perjuangan Prof. dr. R. Soeharso/Danang Nugroho

Sesudah tanggal 28 Agustus 1951, Rehabilitasi Centrum untuk pertama kalinya diperkenalkan ke masyarakat umum. Kemudian pada tahun 1953, Soeharso berhasil pula mendirikan Rehabilitasi Centrum (Rumah Sakit Ortopedi) di Surakarta hingga mendapat perhatian dari dunia internasional atas usahanya dalam bidang kesehatan.

Di bawah dukungannya, 10 cabang Yayasan Anak-anak Penyandang Disabilitas dapat didirikan. Masih di Surakarta, Soeharso juga mendirikan Sheltered Workshop Foundation dr. Soeharso3. Usahanya untuk memelihara dan merawat anak-anak penyandang disabilitas belum usai, tetapi masih ada kelanjutan kegiatan lainnya.

(Bersambung)


  1. Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Boyolali, “Laporan Akhir Identifikasi dan Pengelolaan Cagar Budaya di Kabupaten Boyolali Tahun 2020”, BI-SMART Boyolali, https://bi-smart.boyolali.go.id/uploads/riset/2020/rekomendasi_riset/a2730bfd0663f7ae4ed145c6b974f102.pdf. ↩︎
  2. Fathur Rachman, “Riwayat Letusan Gunung Merapi, Paling Parah Tahun 1930”, Tempo.co, 30 November, 2022, https://www.tempo.co/politik/riwayat-letusan-gunung-merapi-paling-parah-tahun-1930-244552. ↩︎
  3. Poliman, “PROF. DR. R. SUHARSO”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1983-1984, https://repositori.kemdikbud.go.id/10582/1/PROF.DR.R.SUHARSO.pdf. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Museum Pertama di Boyolali (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-1/feed/ 0 46513
Bertemu Heru, Penyandang Tunarungu-wicara di Desa Jelok Boyolali https://telusuri.id/bertemu-heru-penyandang-tunarungu-wicara-di-desa-jelok-boyolali/ https://telusuri.id/bertemu-heru-penyandang-tunarungu-wicara-di-desa-jelok-boyolali/#respond Thu, 05 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44365 November lalu, untuk menyambut Hari Difabel Internasional 3 Desember 2024, saya melakukan perjalanan ke Dukuh Gondang, Desa Jelok, Cepogo, Boyolali. Saya menyambangi Heru, salah satu anak tunarungu-wicara yang tinggal hanya bersama ibu dan seorang adik....

The post Bertemu Heru, Penyandang Tunarungu-wicara di Desa Jelok Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
November lalu, untuk menyambut Hari Difabel Internasional 3 Desember 2024, saya melakukan perjalanan ke Dukuh Gondang, Desa Jelok, Cepogo, Boyolali. Saya menyambangi Heru, salah satu anak tunarungu-wicara yang tinggal hanya bersama ibu dan seorang adik.

Tujuan saya tak lain ingin melihat kondisinya saat ini dan ikut memahami apa yang dia rasakan selama ini. Mengalami kondisi tuna rungu, bagi saya sudah sangat mengganggu. Namun, apalah daya, itu merupakan pemberian istimewa dari yang Mahakuasa.

Secara fisik tampak sempurna, tetapi ia tidak bisa mendengar suara sedikit pun. Bahkan untuk mengatakan satu kalimat saja kesulitan. Meski begitu, ia paham kondisi sekitarnya dalam keheningan yang menyelimuti. Bagi Heru, kehidupan di bumi sangatlah hening. Berbanding terbalik dengan apa yang kita rasakan.

Kedatangan saya ke rumah Heru didampingi ibu saya, seorang pensiunan guru sekolah dasar tempat Heru pernah menimba ilmu—selanjutnya ditulis sang guru. Tujuannya untuk mempermudah dan menyaksikan bagaimana cara berkomunikasi dengan anak tunarungu-wicara. Selama hidup, baru kali ini saya berbicara menggunakan bahasa isyarat langsung.

Ketika berbincang dengan orang lain, kita biasa menggerakkan refleks tangan untuk memperkuat penjelasan. Namun, berbeda jika gerakan tangan ditujukan untuk perbincangan lama. Tanpa bekal apa pun dan langsung menggunakan bahasa isyarat, sungguh bagi saya ini pengalaman luar biasa.

Sayangnya, tidak banyak komunikasi di antara kami. Sebab, ia malu tidak bisa berkomunikasi baik. Alhasil, ibu Heru dan sang guru menjadi mediator. 

Bertemu Heru, Penyandang Tunarungu-wicara di Desa Jelok Boyolali
Perjumpaan kembali antara murid dan sang guru setelah beberapa tahun/Ibnu Rustamadji

Sempat Mengenyam Pendidikan Dasar

Butuh waktu sekitar 10 menit berkendara dari kota menuju kediaman Heru. Hamparan perkebunan warga dan kemegahan sisi timur Gunung Merapi senantiasa menemani perjalanan.

Akhirnya, sampailah saya di depan rumah Heru. Ibunya menyambut hangat seraya mempersilakan masuk. Tidak saya duga, sang guru sudah datang terlebih dahulu. Ia lantas memperkenalkan saya kepada Heru dengan bahasa isyarat. Semua terdiam tanpa satu patah kata.

Hal yang saya rasakan pertama saat menyaksikan pembicaraan keduanya, seperti dunia hampa seketika. Hingga saya tidak kuasa mengatakan sesuatu, padahal pagi itu cukup ramai suara. Ketika saya di dalam rumahnya dan mencoba menelaah pembicaraan, tiba-tiba semua suara hilang entah ke mana.

“Ini (menujuk saya), namanya Benu. Pengin kenalan sama kamu,” ungkap sang guru dengan bahasa isyarat. Heru membalas dengan anggukan kepala dan mengajak berjabat tangan. 

Sang guru bilang, “Inilah yang dia (Heru) rasakan selama ini, tidak bisa mendengar apa pun, tetapi dia tahu siapa yang di sekitarnya. Dia bisa berjabat tangan. Cara inilah yang dia gunakan untuk mengenali.”

Bertemu Heru, Penyandang Tunarungu-wicara di Desa Jelok Boyolali
Ibu saya (tengah) berbincang dengan Heru dan sang ibunda/Ibnu Rustamadji

Heru sebenarnya masih memiliki sisa pendengaran, tetapi sangat sedikit. Dahulu sempat diajak terapi pendengaran dan menggunakan alat bantu dengar. Namun, karena kondisi, perawatan Heru dilakukan secara sederhana. Orang tuanya pun sempat kewalahan, sampai akhirnya mampu menerima dengan sabar melayani. Setiap hari, Heru beraktivitas layaknya anak normal. Hanya saja, lebih banyak terdiam karena memang tidak mendengar apa-apa.  

Pendidikan yang ia tempuh hanya sampai jenjang sekolah dasar (SD). Sekolahnya pun khusus, yakni sekolah inklusi. Ibu saya sendiri, Susilo Setyastuti, merupakan guru pendidikan inklusi di SD Negeri 1 Sukorame, Musuk, Boyolali. Peraih Juara III Lomba Guru Berprestasi Tingkat Nasional sebagai guru sekolah dasar penyelenggaran pendidikan inklusi tahun 2016 lalu.

Sang guru mengatakan sesuatu hal yang menarik. Saat SD, Heru belajar bersama murid normal lainnya. Mereka tetap belajar seperti biasa, hanya saja pelajaran yang diberikan kepada Heru tentu berbeda. Guru tidak bisa memaksakan harus mampu menguasai materi, tetapi menyesuaikan diri dengan kondisi mood atau suasana hati Heru.

“Heru ini termasuk anak berkebutuhan khusus, tidak bisa disamakan dengan anak lain. Harus pendampingan khusus. Kalau di sekolah, harus dibimbing guru pendidikan khusus. Tidak semua guru memahami itu,” jelasnya.

Kalau dia sudah merasa bosan, maka harus berhenti dan alihkan perhatiannya dengan kegiatan lain, seperti mengajak mengobrol atau bermain. Namun, semua itu ada batasan. Waktu Heru SD, ada kalanya ikut di dalam kelas reguler daripada kelas pendidikan khusus.

“Asalkan tidak saling mengganggu dan materi yang diajarkan sudah tentu berbeda. Heru saya ajak di kelas reguler, supaya mudah dalam pengawasan. Murid lain tidak ada masalah,” ungkapnya. 

Saya tidak menyangka. Heru adalah salah satu murid yang berhasil membawa ibu saya meraih gelar guru berprestasi. Satu-satunya guru SD penyelenggara pendidikan inklusi dari Kabupaten Boyolali. Latar belakang pendidikannya sebagai guru inklusi membuatnya sangat paham untuk mengurus anak berkebutuhan khusus seperti Heru.

Bertemu Heru, Penyandang Tunarungu-wicara di Desa Jelok Boyolali
Foto lama saat Heru belajar didampingi sang ibunda dan guru SD pendidikan inklusi yang lain/Ibnu Rustamadji

Semangat Hidup di tengah Keterbatasan

Sejatinya, semenjak lulus bangku SD, Heru sudah diarahkan untuk melanjutkan pendidikan formal SMP dan SMA inklusi di Kota Surakarta. Akan tetapi, karena faktor keluarga, cita-cita tersebut harus terpendam. Usia Heru kini sudah selayaknya bersekolah di perguruan tinggi. 

Namun, asa tinggallah asa. Ia tidak melanjutkan pendidikan dan membantu sang ibu di rumah. Malahan adiknya yang melanjutkan pendidikan kejuruan di kota Boyolali. Tulang punggung keluarga ada di pundak sang adik, sehingga setelah lulus diharapkan mampu meningkatkan derajat orang tua.

Meski begitu, Heru tidak tinggal diam. Ia belajar elektronik secara otodidak, berbekal handphone usang. Tanpa sepengetahuan ibunya, ia memiliki akun media sosial di Instagram dan Tiktok. Tidak ada yang membantunya, tetapi juga tidak asal tekan. Ia mahir menggunakan kedua media sosial itu, meski hanya untuk melihat isi konten tanpa bisa mendengar. Fakta yang saya dapat, ia mampu mengubah tampilan layar utama lebih menarik dari orang lain.

“Wah, ini seandainya mendapat beasiswa bisa kuliah teknologi informatika,” ucap saya.

Ternyata, anak-anak seperti Heru memiliki kemampuan khusus yang selama ini mungkin tidak dipahami. Mereka tidak mampu jika dituntut memahami materi pendidikan secara formal. Namun, mereka lebih cermat pada keterampilan dan teknologi. Mereka normal, tetapi terbatas.

Keseharian Heru membantu sang ibu mengurus rumah. Ia paham jika ada piring kotor segera dicuci. Begitu juga menyapu lantai. Tak jarang juga membantu menjemur daun tembakau, mengangkat barang hasil panen dari kebun belakang rumah. Semua dilakukan dalam kondisi diam seribu bahasa. 

Heru ternyata juga aktif di lingkungan sekitar. Tak jarang ia bertemu kawan sebaya maupun tetangga. Ia pun mampu berbelanja, meski dengan catatan yang diberikan sang ibu agar tidak salah beli barang. Tetangga sekitar sangat menerima kekurangan Heru dan keluarga, serta tidak mempermasalahkan kondisi tersebut.

Ketika seorang tetangga mengadakan hajatan, orang tua Heru pasti diundang sebagai anggota juru masak sampai acara selesai. Bahkan tempat tinggal Heru saat ini merupakan bantuan swadaya masyarakat desa. Meski masih sangat sederhana, tetapi sangat layak dan mewah bagi keluarga Heru. 

“Bisanya cuma seperti ini, yang penting pelan-pelan dan sabar. Punya rumah sederhana, sama merawat Heru saja sudah sangat mewah bagi saya,” ungkap sang ibu.

Rumah Heru dan keluarga sebelum dan sesudah renovasi (kanan)/Ibnu Rustamadji

Dari perjumpaan dengan Heru, saya mendapat pelajaran berharga. Mungkin, jika bisa saya ungkapkan, janganlah selamanya melihat ke atas. Ada kalanya melihat ke bawah. Hidup mewah tidak harus bergelimang harta, karena tidak selamanya membuat bahagia. 

Jika menikmati hidup dengan sederhana dan mensyukuri nikmat, tentunya akan terasa mewah. Hidup di desa tidak selamanya terbelakang. Asalkan ada niat untuk mengembangkan diri, niscaya derajat seseorang akan meningkat seiring berjalannya waktu. Selain itu, harus mampu mengimbangi perkembangan zaman. 

Waktu menunjukan pukul 16.20. Saatnya kami beranjak pulang. Sang guru memutuskan untuk mengakhiri obrolan kami dan melanjutkan perjalanan. Tak lupa kami berswafoto bersama di depan rumah Heru sebagai kenang-kenangan.

“Sehat terus, ya, kalian. Kapan-kapan saya main ke sini lagi,” ucap ibu saya mengakhiri perjumpaan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bertemu Heru, Penyandang Tunarungu-wicara di Desa Jelok Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bertemu-heru-penyandang-tunarungu-wicara-di-desa-jelok-boyolali/feed/ 0 44365
Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali https://telusuri.id/jejak-makam-belanda-tersisa-di-kampung-recosari-boyolali/ https://telusuri.id/jejak-makam-belanda-tersisa-di-kampung-recosari-boyolali/#respond Sat, 16 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43050 Saya berkesempatan pulang ke tanah kelahiran di Kabupaten Boyolali. Bagi saya, kurang rasanya kalau tidak menjelajah dan berbagi cerita tentang jejak makam Belanda atau Europese Begraafplaats di Kampung Recosari, Kelurahan Banaran, Kecamatan Boyolali. Kampung Recosari...

The post Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya berkesempatan pulang ke tanah kelahiran di Kabupaten Boyolali. Bagi saya, kurang rasanya kalau tidak menjelajah dan berbagi cerita tentang jejak makam Belanda atau Europese Begraafplaats di Kampung Recosari, Kelurahan Banaran, Kecamatan Boyolali.

Kampung Recosari berada di persimpangan Jalan Pandanaran, yang notabene merupakan jalan utama antara Semarang–Surakarta, serta Jalan Kutilang. Meski di pinggir jalan protokol, keberadaan Kampung Recosari sedikit lebih menjorok ke dalam dibanding jajaran ruko di depannya.

Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali
Gapura bekas kompleks makam Belanda yang kini menjadi Kampung Recosari/Ibnu Rustamadji

Patokan gamblang Kampung Recosari adalah gapura berwarna hijau pupus berinskripsi “Memento Mori 1939”. Gapura ini sejatinya bukan gerbang masuk perkampungan, melainkan pintu masuk Europese Begraafplaats atau makam Eropa Belanda. Makna inskripsi tersebut adalah “Ingatlah pada Kematian”. Selain di Recosari, ada makam Belanda lainnya di Boyolali, seperti kompleks makam keluarga milik Clara Hortense Juch di tengah kota dan Marius van Braam di Kampung Pambraman.

Sebelum menjelajah lebih jauh, saya sempat berpikir mengenai penamaan Kampung Recosari. Apakah “Recosari” diserap dari kata “reco” atau “arca” dalam bahasa Jawa, mengingat dahulu di dalam kompleks makam terdapat puluhan monumen kematian yang mungkin dianggap warga sebagai arca?

Dugaan saya karena munculnya Kampung Recosari yang bertepatan dengan pembongkaran seluruh makam pada medio 1970. Alasannya tidak lain dampak  perkembangan kota dan penataan kampung. Setelah pembongkaran, beberapa nisan dipindahkan ke kompleks TPU Sonolayu. Sisanya tidak diketahui rimbanya.

Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali
Jalan menuju bekas kompleks makam Belanda di Recosari/Ibnu Rustamadji

Riwayat Makam Belanda Recosari dan Wabah Pes

Saya menjelajahi kampung sekalian bersepeda pagi. Layaknya kampung pada umumnya, rumah warga berjajar di sepanjang jalan menjadi pemandangan setiap hari. Hanya saja, tidak ada sesepuh warga setempat yang bisa saya jumpai waktu itu. 

Alhasil, saya hanya bisa memotret kondisi kampung dan lokasi yang dahulu adalah tanah pemakaman—kini menjadi lahan kosong. Hanya ada satu ruas jalan utama di dalam kampung, sisanya jalan buntu dibatasi sungai. Jelas jika sungai dan pintu gapura di sisi barat membatasi luas wilayah kompleks makam.

Kompleks makam yang kini menjadi Kampung Recosari direnovasi sekitar tahun 1939, sebagai akibat peningkatan jumlah warga Belanda di Boyolali. Selain itu juga untuk mengakomodasi makam Belanda yang sudah penuh sesak di tengah kota, yang kini menyisakan makam Clara Hortense Juch dan Carel Simon. 

Di sisi utara kompleks makam Kampung Recosari terdapat kompleks makam Tionghoa yang menghadap ke Selatan. Saat ini hanya menyisakan dua bong atau makam Tionghoa milik sepasang suami istri yang tinggal di Jl. Merbabu, Kampung Singoranon, Boyolali.

Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali
Lokasi bekas pemakaman Belanda yang kini menjadi permukiman padat/Ibnu Rustamadji

Pemerintah kolonial Belanda di Boyolali kala itu, dalam membuka tanah pemakaman, sudah melalui beberapa pertimbangan, antara lain harus ada di pinggiran kota dan tidak boleh terlalu dekat dengan permukiman. Dasarnya adalah pertimbangan kesehatan dan kenyamanan warga. Tentu banyak hewan liar bersarang meski pemakaman terlihat mewah dan terawat, sehingga sangat rentan muncul wabah penyakit menular, seperti pes yang disebabkan bakteri Yersinia pestis atau dikenal dengan wabah hitam (Black Death).

Penularan pes berasal dari bangkai tikus yang hidup di sekitar pemakaman dan perkebunan. Tikus hidup di tempat kotor, lalu mati di areal pemukiman dan sangat cepat penyebaran infeksinya. Tak ayal pemerintah memutuskan membangun kompleks makam, seperti di Kampung Recosari Banaran saat ini, sedikit jauh dari permukiman dan pusat kota.

Merujuk informasi dari Hans Boers, kawan saya di Belanda, ditemukan satu laporan tahun 1892 mengenai pemakaman Dr. J.H.D.G. Sanger, seorang dokter umum kelahiran Boyolali yang tinggal di Klaten. Berdasarkan laporan tersebut, diketahui ia wafat tanggal 13 Agustus 1892, pukul 13.00 siang, tetapi baru ditemukan sore hari oleh asistennya.

Ia tidak menderita sakit sebelumnya. Namun, ia ditemukan tewas dengan sepucuk revolver dan surat wasiat di samping jasadnya. Ia murni tewas bunuh diri dengan cara menembak mati, diduga karena depresi. Hal itu diperkuat dalam laporan, meski tidak ditemukan di mana anak dan istrinya.

Malam harinya, jasad sang dokter dibawa ke Boyolali menggunakan kereta jenazah lalu dikubur di makam Eropa Belanda—kini Kampung Recosari—keesokan harinya. Upacara pemakaman sang dokter dilakukan sederhana sesuai permintaan keluarga di Boyolali.

Sayangnya, laporan tersebut tidak menyebut alamat kediaman keluarga. Terlebih tidak ada satu pun monumen atau batu nisan yang tersisa. 

  • Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali
  • Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali

Menemukan Mausoleum Terakhir di Boyolali

Selanjutnya saya menjelajahi bagian utara pemakaman. Makam Ringin, begitu kira-kira namanya. Saat melangkahkan kaki masuk, mata saya langsung tertuju pada dua makam unik di sisi selatan dan tengah. Pucuk dicinta ulam pun tiba; di hadapan saya adalah mausoleum

Hanya saja, keduanya tidak ada plakat batu nisan yang bisa saya identifikasi. Hans mengkonfirmasi itu Memang tiada informasi orang Belanda yang wafat dikebumikan di makam Ringin Kampung Recosari. Ada dugaan plakat dibongkar oleh keluarga untuk dikremasi, atau memang sengaja tidak dipasang.

Pada mausoleum di sebelah selatan, terdapat satu peti mati; sedangkan mausoleum di tengah memiliki dua peti mati. Uniknya kedua mausoleum itu membujur ke utara–selatan selayaknya makam Islam Jawa lain di sekitarnya. Bukaan pintu kedua mausoleum menghadap ke selatan, dengan ekspos batu bata berbentuk setengah lingkaran di bagian bawah. Ada dugaan bentuk tersebut merupakan sejatinya merupakan tempat plakat berada.

Meski begitu, saya merasa puas dan bangga masih bisa ikut menjaga mausoleum terakhir di pusat kota Boyolali. Puas memotret kedua mausoleum tersebut, penjelajahan berlanjut. Saya mencari kediaman peninggalan warga Belanda yang ada di Kampung Recosari.

  • Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali
  • Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali

Menelusuri Wisma Bhayangkari

Setelah berkeliling kampung selama 30 menit, tibalah di tujuan berikutnya, yakni  Wisma Bhayangkari. Gedung tinggi berwarna kekuningan ini terimpit deretan ruko, tepat di tepi Jalan Pandanaran. 

Sebenarnya gedung tersebut cukup menarik perhatian bagi siapa pun yang melintas di depannya. Hanya saja, tidak diketahui siapa pemilik awal Wisma Bhayangkari. Ada dugaan milik tuan tanah antara keluarga Juch, keluarga van Braam, keluarga Rademaker, atau keluarga Dezentje. 

Ketika masuk untuk mengabadikan lebih detail lewat lensa kamera, saya tiba-tiba terpikir kampung lawas Bledog, tempat tinggal keluarga Juch.  Kampung Bledog kemungkinan saat ini menjadi Kampung Ngledok, tepat di timur Kampung Recosari. Kedua kampung ini persis bersebelahan. 

Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali
Tampak depan Wisma Bhayangkari yang sempat menjadi hunian Belanda/Ibnu Rustamadji

Pada abad ke-18 hingga ke-19, sering terjadi salah penulisan nama tempat sehingga dapat dimaklumi. Lokasi gedung Wisma Bhayangkari tepat di depan kompleks makam Belanda (kini gapura Memento Mori Kampung Recosari).

Gedung ini paling megah di antara bangunan lain di sekitarnya, bahkan mungkin satu-satunya di Kampung Recosari. Tampak dari depan saja kemewahan sudah sangat kentara. Begitu menengok ke dalam, semakin mewah dengan ekspos hiasan kelopak bunga di ruang depan.

Hanya ada tiga kamar tidur utama di dalam, sisanya di paviliun timur gedung utama. Saat ini gedung Wisma Bhayangkari dipergunakan sebagai ruang rapat anggota polisi wanita Polres Boyolali. Meski begitu, tidak ada perubahan fisik secara signifikan.

Dari Wisma Bhayangkari, saya putuskan kembali ke rumah melalui jalan antarkampung di sekitar Kampung Recosari. Tujuannya melihat peninggalan lain yang terlewatkan sebelumnya. Beberapa saya temukan, tetapi mayoritas sudah berubah bentuk dan fungsi, menyisakan sedikit keaslian.

Sepanjang jalan kampung yang saya lewati, saya tidak menemukan lagi makam Belanda selain di Kampung Recosari. Kalaupun ada, makam tersebut berbentuk makam pada umumnya, karena beberapa pria Belanda yang tinggal di Boyolali memiliki istri Jawa. Ketika ia wafat, kemudian dimakamkan di pemakaman Islam Jawa sekitar tempat tinggal mereka. Ini lumrah terjadi. Tidak banyak makam keluarga Belanda di Boyolali.

Saya berharap, semoga keberadaan kompleks Europese Begraafplaats, mausoleum, dan Wisma Bhayangkari tetap terjaga di masa mendatang. Melindungi dari perusakan atau vandalisme, sudah termasuk ikut menjaga dan melestarikan warisan budaya. Warisan budaya negara lain yang ada merupakan bukti perkembangan zaman suatu wilayah. Apabila warisan tersebut terawat, tentu penduduk kampung mendapat nilai positif dari masyarakat luar. Hanya waktu dan kita yang bisa menjawab.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-makam-belanda-tersisa-di-kampung-recosari-boyolali/feed/ 0 43050
Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci https://telusuri.id/di-kampung-wisata-dangean-minggu-pahing-adalah-kunci/ https://telusuri.id/di-kampung-wisata-dangean-minggu-pahing-adalah-kunci/#respond Wed, 09 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42815 Sebagai penduduk asli Dukuh Dangean, Desa Gedangan, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, aku menjalani rutinitas yang berbeda ketika hari Minggu Pahing. Sebagai anak muda di sini, aku dan kawan-kawan lain tergabung dalam organisasi karang taruna Digdaya...

The post Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai penduduk asli Dukuh Dangean, Desa Gedangan, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, aku menjalani rutinitas yang berbeda ketika hari Minggu Pahing. Sebagai anak muda di sini, aku dan kawan-kawan lain tergabung dalam organisasi karang taruna Digdaya Muda. Para anggota karang taruna mengemban tugas untuk menjaga tempat parkir dan stan yang ada di Pasar Ngatpaingan.

Pagi itu (14/07/04), setelah memberi makan rumput ke beberapa sapi ternakku, aku berangkat menunaikan tugas kepemudaan karang taruna. Meski Pasar Ngatpaingan buka sejak pukul 07.00 sampai 12.00, kami dilatih disiplin untuk mempersiapkan beberapa hal terlebih dahulu sebelum acara dimulai. Tidak hanya kedisiplinan, tetapi juga untuk melatih kekompakan dan gotong royong.

Sehari sebelumnya, tugas para pemuda-pemudi untuk acara Pasar Ngatpaingan sudah dibagi oleh koordinator kami. Mulai dari menjaga karcis masuk parkir, tempat parkir mobil dan motor, portal jalan, dan stan di pasar. Karena setiap sektor ada beberapa anggota, ketika acara sudah dimulai, kami diperbolehkan satu atau dua kali menengok Pasar Ngatpaingan secara bergantian. Ketika jatahku tiba, aku pergi sejenak untuk mengunjungi pasar.

Nilai Kearifan Lokal di Pasar Ngatpaingan

Sperti biasa, aku melihat seni pertunjukan terlebih dahulu yang ditampilkan di Pasar Ngatpaingan. Aku datang di waktu yang tepat pada pukul 09.00, saat pertunjukan seni reog dimulai.

Ada beberapa acara di Pasar Ngatpaingan. Kegiatan senam ibu-ibu PKK pukul 07.30–08.15, lalu kesenian reog pukul 09.00–10.30. Pengunjung bisa membeli camilan di stan-stan pasar untuk dinikmati sembari menonton pertunjukan. Dagangan yang dijual beragam, di antaranya getuk, tiwul, mentho, wajik, jadah, soto, siomay, dan es campur. Untuk stan karang taruna berbeda, kami menyediakan kopi, gorengan, dan nasi bakar. Tidak hanya makanan dan minuman, beberapa stan juga menyediakan dolanan anak dan sayur segar. Untuk bertransaksi di Pasar Ngatpaingan, pengunjung bisa membeli koin terlebih dahulu seharga Rp5.000 per koin. Para pedagang sendiri sudah mengatur dagangannya seharga koin yang ditukarkan.

Setelah menikmati pertunjukan dan jajanan yang ada, para pengunjung juga bisa mengabadikan momennya di photo booth yang disediakan. Di situ juga terdapat lurik yang bisa dipakai sebagai kostum saat berfoto.

Banyak nilai kearifan lokal yang bisa diambil dari Pasar Ngatpaingan, seperti gotong royong dan kekompakan. Tidak hanya karang taruna, hal itu juga dilakukan warga desa yang menempati stan masing-masing di pasar. Sehari sebelum Minggu Pahing biasanya pemilik stan membersihkan pasar bersama-sama. Kemudian, saat acara sudah mulai, biasanya mereka saling bantu membawakan barang ke pasar.

Kami juga melestarikan budaya Jawa dengan mengenakan pakaian lurik. Nilai-nilai kearifan lokal lain juga tercermin dari pakaian lurik khas Jawa yang kami pakai. Lalu transaksi jual-beli layaknya pasar tradisional, terjadi interaksi sosial antarpengunjung dengan saling tegur sapa. Pertunjukkan reog sendiri juga menjadi nilai budaya yang tetap dipertahankan eksistensinya di sini.

Setelah pasar berakhir dan tugasku selesai, aku berencana mengitari desa. Aku menyambangi Candi Lawang dan melihat wujud kemandirian energi di desa ini.

  • Pertunjukan kesenian reog di Pasar Ngatpaingan/Danang Nugroho
  • Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci
  • Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci

Menilik Candi Lawang

Aku mengunjungi Candi Lawang bersama ketiga saudaraku, yaitu Iqbal, Fadhil, dan Putra. Mereka kuajak menilik kembali monumen sejarah yang ada di desa sendiri. Kondisi candi saat kami berkunjung bersih dan terawat. 

Menurut sejarah, Candi Lawang pertama kali dilaporkan oleh P. A. Hadiwijaya, Kepala Perkebunan Sukabumi di Paras pada 1919. Temuan candi kala itu terkubur di tengah area kebun kopi. Setahun kemudian dilakukan ekskavasi atau penggalian di tempat penemuan candi.

  • Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci
  • Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci

Kompleks candi terdiri dari candi induk yang dikelilingi lima candi perwara. Candi induk berbentuk bujur sangkar dan sudah tidak utuh lagi. Hanya terlihat sebagian saja yang tersisa, yaitu pondasi, kaki, tangga masuk, dan bingkai pintu. Terdapat yoni dan bingkai pintu yang menjadi ciri khas candi ini. Karena penampakan pintunya yang menonjol, candi ini disebut Candi Lawang. Dalam bahasa Jawa, lawang berarti pintu. Sayangnya, candi-candi perwara yang mengelilingi candi induk sudah tidak utuh atau rusak.

Pada bagian kiri pintu candi induk terdapat inskripsi yang dibaca “ju thi ka la ma sa ts ka” dengan keadaan sudah agak samar. Huruf yang dipakai pada inskripsi adalah aksara Jawa Kuna yang banyak digunakan dan berkembang sekitar abad IX–X Masehi. Candi dibangun pada masa kejayaan Kerajaan Mataram Kuno, di bawah pemerintahan raja-raja dari Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu.

Menghemat Biaya Listrik melalui Kotoran Sapi

Dari candi, kami menuju tempat pengolahan kotoran sapi (biogas) menjadi energi listrik. Jaraknya hanya 20 meter saja.

Biasanya, masyarakat di Dukuh Dangean dan sekitarnya memanfaatkan kotoran sapi hanya untuk biogas saja. Namun, kali ini berbeda. Tepat di belakang rumah Bapak Supomo, terdapat pendapa dan mesin generator sebagai tempat konversi energi biogas menjadi energi listrik pertama di Dangean.

Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci
Mesin PLT-Biogas di Dukuh Dangean/Danang Nugroho

Pada 2020, warga masyarakat Dangean gotong royong untuk membangun pendapa tersebut. Setelah pendapa jadi, Bapak Supomo dan rekan-rekan lain yang mengetahui tentang mesin generator konvertor itu mulai merakit dan memasangnya. Akhirnya, setahun kemudian Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLT-Biogas) bisa digunakan. 

Hingga kini, biogas yang berada di belakang rumah Bapak Supomo sudah bisa dimanfaatkan untuk menerangi 20 lampu jalan yang ada di bagian timur dukuh. Tentu inovasi ini mampu mengurangi biaya listrik tiap warganya. Sebelumnya lampu jalan terhubung ke listrik masing-masing rumah.

Rencananya, PLT-Biogas akan dipasang di beberapa titik lagi mengingat luasnya wilayah Dukuh Dangean. Semakin luas jangkauan, semakin terasa manfaat konversi energi ini. Dukuh-dukuh lain nantinya juga bisa meniru dan mencontoh implementasi Desa Mandiri Energi (DME) di Dangean.

Paket Lengkap di Minggu Pahing

Dukuh Dangean masih menjadi tempat yang asri dari dulu sampai sekarang, karena lokasinya yang terletak di lereng Gunung Merapi. Di setiap sudut jalan, ada majalah dinding (mading) yang memperlihatkan nilai-nilai kearifan lokal. Mading-mading tersebut mencantumkan tulisan-tulisan berbahasa Jawa yang maknanya begitu dalam, seperti “Sepi ing pamrih, rame ing gawe”, “Mulat sarira hangrasa wani”, Ajining diri gumantung ing lathi”, “Sirna dalane pati, nur sifat, luber tanpo kebek”, “Jer basuki mawa beya”, danAlon-alon asal kelakon”.

Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci
Papan informasi sejarah Dukuh Dangean/Danang Nugroho

Sebagai kampung wisata, selain acara Pasar Ngatpaingan, Dangean juga menawarkan paket outbound bagi siapa saja yang berminat. Reservasi bisa melalui Instagram @wisatadangean atau datang langsung. Dalam paket ini, tamu akan diajak memerah susu sapi, menanam dan mengambil sayuran, mengunjungi Candi Lawang, dan melihat kawasan DME.

Kemudian di pintu utama bagian timur dukuh, terdapat plang yang menginformasikan tentang profil Dukuh Dangean. Selain wisata, ada juga informasi terkait acara sadranan di dukuh ini. Sadranan atau nyadran berasal dari kata Sradha yang artinya keyakinan. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam dan tabur bunga oleh masyarakat Jawa. Puncaknya berupa kenduri di makam leluhur. Sadranan hanya dilakukan pada bulan Sya’ban atau Ruwah.

Menurutku, Minggu Pahing adalah waktu yang paling tepat bagi wisatawan yang berkunjung ke Kampung Wisata Dangean. Sebab, pengunjung bisa menikmati paket lengkap yang tersedia dalam satu hari yang sama, mulai dari Pasar Ngatpaingan, Candi Lawang, dan Desa Mandiri Energi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/di-kampung-wisata-dangean-minggu-pahing-adalah-kunci/feed/ 0 42815
Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-johannes-agustinus-dezentje-di-boyolali-dan-surakarta-2/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-johannes-agustinus-dezentje-di-boyolali-dan-surakarta-2/#respond Wed, 28 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42570 Perjalanan kami berlanjut di Kota Surakarta. Tepat pukul 07.55 WIB, kami menelusuri delapan titik di jantung kota, tepatnya di ruas Jalan Slamet Riyadi. Semua lokasi yang kami datangi memiliki hubungan dengan Johannes Agustinus (J. A.)...

The post Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan kami berlanjut di Kota Surakarta. Tepat pukul 07.55 WIB, kami menelusuri delapan titik di jantung kota, tepatnya di ruas Jalan Slamet Riyadi. Semua lokasi yang kami datangi memiliki hubungan dengan Johannes Agustinus (J. A.) Dezentje, sang tuan tanah asal Ampel, Boyolali.

Meski tidak secara langsung, J. A. Dezentje banyak berkontribusi dalam perkembangan Surakarta. Namun, sayang tidak semua warga dan pemerintah kota mengetahui. Hal ini dapat dimaklumi, tetapi bisa berakibat fatal jika tidak paham dan sok-sokan bercerita. Lebih lagi jika anak serta keturunannya masih hidup dan mendengar cerita yang jauh berbeda dari faktanya. 

Selama perjalanan dari hotel menuju tujuan pertama, Floris bercerita sesuatu yang tidak kami duga sebelumnya. Ia mengaku jika tujuannya menelusuri jejak keluarga Dezentje, D’Abo, dan Dirjkhuis adalah untuk melanjutkan silsilah keluarga yang terputus. Harapannya, setelah ia wafat nanti anak-anaknya mau melanjutkan penelusuran dan merekam semua yang ditemukan. Bersama sang paman, Floris mengawali niat baik menelusuri jejak ketiga leluhurnya di Jawa Tengah. Ia juga menambahkan, akan secara periodik menyambangi Jawa Tengah dan melacak jejak bersama kami.

  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)
  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)

Eksistensi Masa Lalu Keluarga Dezentje di Surakarta

Lalu lintas Jalan Slamet Riyadi cukup ramai di pagi itu. Pelan-pelan kami menyeberang jalan untuk menyambangi salah satu kediaman Dezentje. Kini menjadi rumah dinas wali kota Surakarta atau Loji Gandrung. Setelah mendapat izin pihak rumah tangga wali kota, kami manfaatkan waktu mengabadikan kediaman hingga bagian dalam.

Floris tak henti takjub dan tertegun melihat keindahan detail ornamen yang ada. Merujuk catatan keluarga yang ia miliki, Loji Gandrung awalnya didirikan sebagai hunian perempuan Belanda bernama Dorothea Boode, istri pertama Dezentje.

Tidak tercatat pasti sejak kapan rumah tersebut dibangun. Ada dugaan pembangunannya awal tahun 1800, lalu direnovasi seperti ini oleh Ir. Charles Prosper Wolf Schoemaker tahun 1910. Dezentje dan Dorothea memiliki sedikitnya tujuh anak. Tak ayal, mereka menempati kediaman ini untuk keluarga besar.

Sebagai anak laki-laki dari August Jan Caspar, seorang perwira militer pengawal pribadi keluarga raja, Dezentje cukup dekat hubungannya dengan putri keraton Kasunanan Surakarta. Tidak lama kemudian ia menjalin kasih dan menikahi putri Sunan Pakubuwana VIII, Raden Ayu (R.Ay.) Tjondrokusumo.

Pernikahan keduanya digelar mewah di keraton. Tamu dari Eropa dan kerajaan lain datang silih berganti. Sebagai hadiah pernikahan, sunan memberikan tanah kerajaan di Ampel untuk tempat tinggal sang putri dan Dezentje.

Dezentje dan R.Ay. Tjondrokusumo tidak menyia-nyiakan kesempatan dan memutuskan tinggal bersama di Ampel, serta menempatkan Dorothea di Loji Gandrung. Mereka tidak bercerai, justru menjalin hubungan yang harmonis. Jika Dorothea ingin anjangsana ke Ampel diterima hangat oleh Dezentje dan sang istri. Begitu juga sebaliknya.

Bahkan menjelang akhir hayat Dorothea, mereka setia menemani di Loji Gandrung. Dorothea wafat di rumah ini dan dimakamkan di Europeesche Graafplaats atau kompleks makam Eropa (Belanda) di Sangkrah.  

Iring-iringan pelayat dan karangan bunga memenuhi kediamannya. Simbol bahwa ia sangat dihormati dan disegani. Pascapemakaman, tercatat Loji Gandrung dihuni anak-anak hingga tahun 1942. Setelahnya mereka hidup berbeda negara, beberapa di antaranya kembali ke Belanda. 

Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)
Tampak depan Ndalem Doyoatmojo di timur Loji Gandrung/Ibnu Rustamadji

Menuju Ndalem Doyoatmojo dan Museum Radya Pustaka

Kami melanjutkan penelusuran di lokasi kedua, yakni Ndalem Doyoatmojo di timur Loji Gandrung. “Oh, Tuhan. Ini indah dan mewah sekali. Di Belanda dan Singapura tidak ada seperti ini,” seru Floris sambil bercanda.

Menurut cerita pemilik saat ini, Ndalem Doyoatmojo didirikan sekitar tahun 1880. Penamaan Doyoatmojo diambil dari nama keluarga besar Doyoatmojo yang notabene pengusaha jarik batik tulis Tiga Negeri.

Hanya saja, Ndalem Doyoatmojo di abad ke-19 sempat berpindah tangan ke keluarga pengusaha Tionghoa, Kwik Djin Gwan. Sebagai kediaman Tionghoa, lazim ada altar leluhur. Kediaman ini pun masih menyimpan altar leluhur Kwik hingga saat ini, meski hanya altar gaya oriental tanpa papan arwah atau foto keluarga.

Ndalem Doyoatmojo digunakan Kwik Djin Gwan cukup lama. Setelah Kwik wafat, barulah terbengkalai hingga kemudian menjadi kantor Kodim Kota Surakarta. Sempat beralih kepemilikan ke Setiawan Djody, sekarang kembali menjadi milik keluarga besar di bawah nama Nur Doyoatmojo.

“Saya tidak bisa menggambarkan dengan kata-kata betapa mewah dan penuh cerita rumah ini,” ujar Floris.

Puas mengabadikan keindahan Ndalem Doyoatmojo, kami berjalan kaki menuju museum tertua di Indonesia, Radya Pustaka. Menyadur informasi dari perpustakaan Radya Pustaka, diketahui jika bangunan ini pertama kali didirikan pada 28 Oktober 1890 di kompleks Kepatihan Surakarta (kini hilang) oleh Patih Sosrodiningrat IV dan Sunan Pakubuwana IX.

Gedung museum saat ini sejatinya merupakan tempat tinggal Kapten Infanteri KNIL Johannes Busselaar dan sang istri, Maria Louise don Griot. Patih Sosrodiningrat IV awalnya membeli rumah tersebut atas perintah Sunan Pakubuwana IX, bertepatan dengan pindah tugasnya Johannes Busselaar ke Jember. 

Tahun 1909 menjadi titik balik berdirinya Radya Pustaka di Sriwedari saat ini. Radya Pustaka pun berkembang sebagai pusat pengumpulan naskah kuno, arca Hindu-Buddha, hingga peninggalan Kasunanan Surakarta.

“Kemarin kita membicarakan Francois Deux di Ampel yang memiliki hubungan dengan Napoleon Bonaparte. Lihatlah porselen cendera mata dari Napoleon Bonaparte untuk Sunan Pakubuwana IX ini,” ungkap saya.

Jelas bahwa keluarga Dezentje dan R.Ay. Tjondrokusumo memiliki kekerabatan erat dengan penguasa Prancis tersebut. Beranjak semakin ke dalam, bertemulah dengan satu patung setengah badan dari Johannes Albertus (J. A.) Wilkens, penerjemah kepercayaan Raden Ngabehi Ronggowarsito di Surakarta.

Makam J. A. Wilkens ada di Jebres. Namun, sayang pada 1960 hingga 1970 seluruh kompleks makam dibongkar. Salah satu yang terselamatkan makam J. A. Wilkens. Patung setengah badan dan epitaf nisan sejatinya replika dari monumen makam. Tidak diketahui bagaimana nasib makam lainnya. 

Dari Keraton Kasunanan Surakarta ke Kampung Eropa

Puas di Radya Pustaka, perjalanan kami berlanjut ke keraton Kasunanan Surakarta. Kali ini kami dipandu abdi dalem untuk dapat menikmati halaman bagian dalam. Setelah berkeliling dan mendapat banyak cerita masa lalu keraton, tiba-tiba saya terpikirkan untuk kembali menyambangi pendhapa (pendapa) bersama Floris.

Kami segera beranjak menuju halaman dalam untuk menikmati keindahan pendapa dan panggung sanggabuwana. Tidak lama kemudian, kami keluar untuk memotret kondisi keraton saat ini dan melanjutkan perjalanan menuju bekas Verzorgingsgesticht atau sekolah dasar untuk anak pekerja perkebunan di Surakarta. Mereka tinggal di sini dengan fasilitas cukup lengkap. Dana didapat melalui lelang dan sumbangan sukarelawan pemilik perkebunan.

“Oh, ya. Verzorgingsgesticht didirikan J. A. Dezentje, namun atas nama sang istri, Dororthea Boode,” jelas Floris.

Puas memotret sembari menikmati es krim gelato, langkah kaki kami beranjak menuju ke Gereja Sangkrah, bekas Europeesche Graafplaats Sangkrah. Salah satu keluarga Belanda yang dimakamkan di sini adalah Dorothea dan kedua orang tuanya. Kini, keberadaan makam Belanda di Sangkrah hilang, tanpa menyisakan satu pun di areal halaman gereja. 

Menjelang siang, kami berjalan menuju Kampung Eropa di utara Gereja Sangkrah. Floris tak berhenti kagum melihat sisa eksistensi Kampung Eropa tertua di Surakarta tersebut. Berbekal foto lama kampung ini, ia mencoba mengabadikan kondisi sesuai tempat fotografer kala itu berada. Kami juga memotret tiga gang dan rumah indis yang tersisa.

  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)
  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)
  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)

Menutup Perjalanan di Pura Mangkunegaran

Jelang senja, selepas istirahat makan siang di RM Nini Thowong dan mengunjungi kerkop Jebres—kini pasar di depan Stasiun Jebres—kami melanjutkan penelusuran di Pura Mangkunegaran. 

Sampai di lokasi, kami dipandu oleh siswa magang dari sekolah pariwisata. Kami tidak keberatan, karena setiap tempat yang kami datangi memiliki aturan yang harus ditaati.

Penelusuran di dalam Pura Mangkunegaran dimulai dari halaman depan menuju pendhapa ageng dan ndalem ageng. Lalu berlanjut menuju halaman belakang, termasuk paviliun Gusti Nurul, ruang makan tamu kenegaraan, dan kembali lagi ke halaman depan. Selama penelusuran, kami mendapat banyak cerita dan ragam detail yang tidak banyak diketahui orang awam. 

Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)
Floris tengah mengabadikan detail patung singa penjaga pendapa Pura Mangkunegaran/Ibnu Rustamadji

Floris ternyata baru kali ini menginjakan kaki di Pura Mangkunegaran. Ia mengetahui bahwa leluhurnya, R.Ay. Tjondrokusumo, memiliki kekerabatan dengan Gusti Mangkunegara IV. Ia sempat meminta saya untuk membantunya melacak hubungan silsilah antara dua keluarga tersebut, dan berjanji akan kembali untuk penelusuran bersama.

Tentu butuh waktu untuk menyelesaikan misi tersebut. Rencananya bulan September 2024 ia akan kembali bersama dengan pamannya dari Belanda. Perjalanan merangkai simpul ingatan dari keluarga Johannes Agustinus Dezentje, di Kabupaten Boyolali dan Surakarta resmi kami akhiri di Pura Mangkunegaran.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-johannes-agustinus-dezentje-di-boyolali-dan-surakarta-2/feed/ 0 42570
Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-johannes-agustinus-dezentje-di-boyolali-dan-surakarta-1/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-johannes-agustinus-dezentje-di-boyolali-dan-surakarta-1/#respond Mon, 26 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42557 Perjalanan saya kali ini menelusuri jejak Johannes Agustinus (J. A.) Dezentje, tuan tanah sekaligus pengusaha kopi berpengaruh di Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali. Saya melakukan penelusuran bersama Floris Kleemans dari Belanda dan dua orang rekan...

The post Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya kali ini menelusuri jejak Johannes Agustinus (J. A.) Dezentje, tuan tanah sekaligus pengusaha kopi berpengaruh di Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali. Saya melakukan penelusuran bersama Floris Kleemans dari Belanda dan dua orang rekan dari Yogyakarta.

Pertemuan pertama kami didasarkan atas rasa penasaran Floris mengenai informasi di peta digital, yang menyebutkan nama J. A. Dezentje sebagai pemilik awal rumah dinas wali kota Surakarta, Loji Gandrung. Ia lantas menghubungi saya melalui pesan singkat untuk mencari jawaban.

Floris merupakan buyut dari Dezentje. Ia ingin mengunjungi Indonesia dan meminta bantuan kami melacak jejak leluhurnya, berdasarkan data keluarga yang ia miliki. Kami pun bersedia melakukan penelusuran bersama. 

Senin (10/6/2024) di kediaman saya, di Boyolali, menjadi awal pertemuan kami. Sebelum penelusuran, Floris ingin bertemu orang tua saya untuk bercengkerama. Ia lantas memperkenalkan diri dan menyampaikan, rela menempuh perjalanan jauh dari Belanda menuju Singapura dan Indonesia demi mencari jejak leluhurnya tersebut.

Ibu saya tertegun mendengarnya, karena berpikir tidak ada peninggalan Belanda di Boyolali. Setelah 50 menit mengobrol dan foto bersama, kami memulai perjalanan.

Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)
Bersama Floris Kleemans (kanan) dan ibu/Ibnu Rustamadji

Sisa Jejak Perkebunan Kopi Keluarga Dezentje di Boyolali

Tujuan pertama kami berada di Desa Cluntang, Kecamatan Musuk. Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit dari kota, tibalah kami di SDN 1 Sruni. Tempat ini dulunya pabrik kopi dan teh “Baros Tampir”. Ladang perkebunan warga dahulu merupakan perkebunan kopi dan teh.  Jejak yang tersisa berupa bak penampungan air, tepat di belakang SDN 1 Sruni.

Merujuk catatan keluarga Floris, pemilik pabrik kopi dan teh “Baros Tampir” adalah Dezentje. Jika dilihat dari jalan desa, reruntuhan pabrik tidak tampak. Kami harus berjalan melalui perkebunan warga untuk dapat menyaksikan secara utuh. 

Sesampainya di lokasi, Floris dan rekan kami sangat heboh melihat reruntuhan yang saya maksud. “Wow, amazing melihatnya. Akan saya abadikan, untuk keluarga saya di Belanda,” kata Floris menggunakan bahasa Inggris. 

Ada 12 bak air, masing-masing memiliki kedalaman sekitar tujuh meter. Fungsi awalnya diduga sebagai sistem pengairan perkebunan dan menyuplai kebutuhan air pabrik. Merujuk catatan Floris, pabrik kopi dan teh “Baros Tampir” di Cluntang diperkirakan sudah eksis sejak 1830.

Pabrik tersebut didirikan guna memproduksi teh dan kopi di lereng timur Gunung Merapi. Hanya saja sisa pohon kopi tidak banyak. Pohon tehnya malah hilang tak tersisa.

Gedung pabrik berorientasi ke timur, guna mempermudah proses pembersihan biji kopi arabika terbaik yang akan diekspor ke Belanda. Biji kopi pascapanen harus dibersihkan dengan air mengalir sebelum dimasukan ke dalam karung goni. Selanjutnya dilayarkan dengan kapal dagang menuju Belanda dan negara Eropa lainnya.

Perkebunan kopi Dezentje terbentang sangat luas, mulai dari lereng timur Gunung Merbabu di Salatiga hingga lereng timur Gunung Merapi di Boyolali. Rumah keluarganya ada di Kecamatan Ampel, Boyolali. Puas mengabadikan reruntuhan tersebut selama satu setengah jam, penelusuran kami lanjutkan ke Desa Tampir. 

  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)
  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)

Makam Belanda, Pabrik Pewarna Kain Indigo, dan Pabrik Serat

Kami membutuhkan 10 menit berkendara dari Cluntang ke Tampir. Selain reruntuhan struktur pondasi pabrik kopi “Baros Tampir”, kami juga menemukan satu Europeesche Graafplaats atau makam Belanda tanpa nama di Tampir.

Sesampainya di lokasi, rekan-rekan semakin takjub dengan temuan makam Belanda tersebut. Bagi mereka menarik karena makam itu berbentuk obelisk dengan hiasan broken column atau kolom patah bagian puncak.

Kolom patah bermakna terputusnya kehidupan seseorang. Tidak semua orang Belanda yang wafat di Indonesia—Hindia Belanda kala itu—memiliki makam seperti ini. Ada dugaan di dalamnya mendiang pengawas perkebunan atau pengawas pabrik kopi “Baros Tampir”. 

Sayangnya, tidak ada catatan pasti yang bisa kami identifikasi. Sembari mengobrol, kami membersihkan sedikit rumput liar yang menyelimuti fisik makam guna mencari relung yang tempo hari lalu saya temukan. 

“Nah, akhirnya ketemu [relung itu]! Tertutup runtuhan pilar patah. Ini ada relung dengan ekspos batu merah berbentuk setengah lingkaran,” ungkap saya.  

Kami menduga relung tersebut seharusnya tempat nisan makam. Nisan menghadap barat, dengan hiasan broken column pada bagian puncak. Sayang posisinya kini tertimbun tanah. 

“Saya penasaran dengan keberadaan D’Abo di Boyolali. Apakah ini makam dari D’Abo di ‘Baros Tampir’?” tanya Floris. Tidak kami duga sebelumnya, ternyata Floris mencari jejak keluarga Dezentje, D’Abo, dan Dirjkhuis.

Saya menyahut, “Kami tidak bisa menjawab, karena minim data di stamboom keluarga dan tidak ada nisan di sini.”

Kami pun beranjak turun menuju reruntuhan pabrik kopi “Baros Tampir” di Desa Tampir. Sekitar 150 meter dari lokasi makam. Tepatnya di perusahaan air minum Tirta Ampera. Setelah mendapat izin, kami lantas mengeksplorasi halaman belakang tepat di mana struktur pondasi berada.

“Oh, ini, ya, lokasi pabrik ‘Baros Tampir’ milik kakek buyut saya,” ujar Floris penuh semangat.

Merujuk catatan yang ia bawa, ada sekitar lima pabrik kopi milik Dezentje di Boyolali. Dua di antaranya “Madoesita” dan “Baros Tampir. Pabrik kopi “Baros Tampir” di Desa Tampir dibangun lebih muda, sekitar tahun 1890. Namun, sekarang tinggal reruntuhan pondasi, bak penampungan air, dan lantai pabrik. 

Kami lalu memutuskan melihat reruntuhan lain di seberang jalan. Satu jam berlalu tanpa kami sadari, kami sampai beranjak ke peninggalan ketiga yang tidak kalah epik di Dukuh Madu, Desa Sukorame, Musuk. Terdapat reruntuhan pabrik pewarna kain indigo, satu-satunya milik Dezentje selain kopi dan teh. 

“Luar biasa, kamu bisa menemukan reruntuhan seperti ini. Paman saya pasti senang bertemu kamu. Tolong ajak kami keliling kembali,” pintanya. 

Pabrik indigo ini dibangun sekitar awal 1903 sebagai pusat produksi warna kain sogan biru, untuk pewarna alami kain batik di Surakarta. Keberadaan bak air tentu sangat membantu perkembangan industri. Sumber air dari bendungan di Desa Wonorejo, Musuk, dialirkan melalui pipa air besi menuju pabrik.

Air yang dialirkan sangat terkontrol dari hulu hingga hilir. Bukaan kecil di setiap sudut bak mengindikasikan hal tersebut. Apabila air meluap, akan mengalir menuju selokan kecil di sekeliling bak hingga keluar di bak penampungan terbesar.

“Sekitar satu bulan lalu, ada warga yang menunjukan di barat desa ini ada bekas jembatan lori. Saya cek masih ada dua batang rel kereta menjadi bagian dari jembatan baru. Tetapi kalau makam Belanda tidak ditemukan,” jelas saya.

Kami melanjutkan penelusuran menuju Desa Tambak, Mojosongo. Ada cerobong asap pabrik serat milik Dezentje di sana.

“Kebetulan, saya ada foto lama pabrik serat tersebut dari Leiden. Nanti bisa kita bandingkan,” ungkap saya. 

Sampai di tujuan, kami lantas menyandingkan foto lama tahun 1930 dengan kondisi saat ini. Hasilnya, fisik pabrik sudah tidak berbekas. Hanya menyisakan satu cerobong asap. 

Kami menduga pabrik serat “Tambak” berdiri pada awal 1910, sebagai akibat dari perkembangan pabrik kopi dan pewarna yang ada di Musuk. Posisi strategis menjadikan pabrik ini berkembang cukup pesat. Namun, takdir berkata lain. Pascakemerdekaan tidak ada satu pun jejak kejayaan pabrik tersisa.

Tidak ada reruntuhan, tetapi pagar halaman warga di sekitarnya mengisyaratkan kenyataan lain. Struktur pabrik hilang menjadi pemukiman, sekolah, dan ladang. Kami lalu mendekati area cerobong asap. Berimajinasi seperti apa rupa pabrik serat kala itu dan mendiskusikan peninggalan lain Dezentje di Boyolali. 

Mengunjungi Makam dan Kediaman J. A. Dezentje

Kala terik matahari semakin berkilau, kami putuskan istirahat dan makan siang iga bakar Pak Wid. Lelah setelah seharian menapaki jejak perkebunan dan pabrik kopi Dezentje akhirnya terbayar. Satu jam kemudian, kami lanjutkan penelusuran menuju pemakaman dan kediaman J. A. Dezentje.

“Oh, iya. Ada sesuatu yang harus Anda lihat. Anda tahu siapa Francois Deux? Ini satu-satunya makam keluarga dengan epitaf nama Francois Deux,” tanya saya sambil menunjuk sebuah nisan di makam keluarga Dezentje. Setelah dibaca sedikit guratan epitaf yang ada, Floris segera menghubungi pamannya di Belanda untuk mencari tahu sosok Francois Deux.

Menurut informasi sang paman, keluarga Francois Deux memiliki ikatan kekerabatan dengan Napoleon Bonaparte dari Prancis. Dezentje, yang berdarah Prancis, menikah dengan orang Belanda bernama Dorothea Boode. Francois Deux merupakan keponakan Dezentje, yang menikahi salah satu anak Napoleon Bonaparte. Hanya itu informasi yang didapat, karena Francois Deux wafat sekitar tahun 1790.

Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)
Diskusi di dalam mausoleum keluarga Dezentje di Ampel/Ibnu Rustamadji

Puas mendapat sedikit jawaban, kami lantas memikirkan akses masuk ke makam keluarga ini di abad ke-18 lalu. Ada dugaan pintu masuk asli berada di barat daya makam, karena areal tersebut memiliki bukaan jalan cukup luas ketimbang sudut lain. 

Selama kami di sana banyak obrolan, tetapi tidak dapat banyak informasi, Mayoritas nisan makam sudah hilang dijarah pada 1970. Meski begitu kami bersyukur kondisi makam cukup utuh dengan beragam hiasan yang menyertai.

Setelah berziarah, kami menuju bekas kediaman keluarga Dezentje di Desa Candi, Ampel. Bermodal foto lama keluaran Leiden tahun 1925, kami langsung memosisikan diri di tempat fotografer kala itu berada. 

“Kita di gerbang masuk halaman. Timur kita adalah kediaman utama, sedangkan di barat kita (belakang kami) adalah alun-alun,” jelas saya.

Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)
Posisi kami berada tepat di tempat yang diduga dulunya pintu gerbang kediaman Dezentje di Ampel/Ibnu Rustamadji

Merujuk catatan pendeta Buddhig di laporan kematian Dezentje tahun 1850, kediaman Dezentje di Ampel layaknya keraton kecil, dengan tembok benteng dan empat menara bastion di setiap penjuru. Kini, kediaman dan alun-alun sudah tidak berbekas sama sekali. Meski begitu, Floris tetap merasa bahagia karena akhirnya bisa berada di kediaman leluhurnya.

Langit oranye mulai bergelayut. Kami kembali ke rumah saya untuk berpamitan dengan ibu saya dan merencanakan aktivitas di hari kedua. Satu rekan kembali ke Yogyakarta, sementara kami berdua pergi ke Surakarta untuk bermalam di Royal Heritage Hotel bersama Floris Kleemans. Penelusuran hari pertama kami tutup dengan makan malam ala sultan di Canting Londo Kitchen, Kampung Batik Laweyan.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-johannes-agustinus-dezentje-di-boyolali-dan-surakarta-1/feed/ 0 42557
Melacak Jejak Pesanggrahan Lawas Peninggalan Kasunanan Surakarta https://telusuri.id/melacak-jejak-pesanggrahan-lawas-peninggalan-kasunanan-surakarta/ https://telusuri.id/melacak-jejak-pesanggrahan-lawas-peninggalan-kasunanan-surakarta/#respond Tue, 23 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42385 Langkah kaki menuntun saya ke Kabupaten Boyolali dan Sukoharjo. Saya menyambangi dua pesanggrahan milik Kasunanan Surakarta (Solo), yaitu Pesanggrahan Pracimoharjo di Desa Paras, Cepogo, Boyolali; dan Pesanggrahan Langenharjo di Desa Langenharjo, Grogol, Sukoharjo. Pesanggrahan merupakan...

The post Melacak Jejak Pesanggrahan Lawas Peninggalan Kasunanan Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Langkah kaki menuntun saya ke Kabupaten Boyolali dan Sukoharjo. Saya menyambangi dua pesanggrahan milik Kasunanan Surakarta (Solo), yaitu Pesanggrahan Pracimoharjo di Desa Paras, Cepogo, Boyolali; dan Pesanggrahan Langenharjo di Desa Langenharjo, Grogol, Sukoharjo.

Pesanggrahan merupakan rumah singgah bagi keluarga raja setelah selesai anjangsana ke luar wilayah kerajaan. Boyolali dan Sukoharjo saat ini masuk wilayah bekas Karesidenan Surakarta (Solo). Kala itu, kedua kabupaten dipimpin bupati yang dibantu wedana, tetapi di bawah pengawasan sunan dan residen Eropa di Kota Solo.

Sebagai wilayah kerajaan, lazim didirikan rumah singgah untuk menjadi sekadar tempat istirahat dan sembahyang raja, atau menjamu tamu Eropa di luar keraton. Pesanggrahan Pracimoharjo dan Langenharjo memiliki fungsi dan gaya bangunan yang sama, tetapi berbeda kondisi. Letak kedua pesanggrahan tersebut cukup berjauhan. Keduanya memiliki gaya sama, yakni layaknya keraton dengan pendapa dan ndalem ageng, tetapi berskala kecil.

Kira-kira diperlukan waktu 45 menit untuk berkendara dari Boyolali ke Sukoharjo. Setibanya di kedua pesanggrahan, saya tidak terkejut dengan perbedaan kondisinya yang sangat kontras. Sangat disayangkan. Namun, di balik itu tentu ada cerita yang selama ini terpendam rapi dan menunggu untuk ditelusuri lebih dalam. Penelusuran saya kali ini ditemani Heri Priyatmoko.

Melacak Jejak Pesanggrahan Lawas Peninggalan Kasunanan Surakarta
Tampak depan Pesanggrahan Pracimoharjo/Ibnu Rustamadji

Pesanggrahan Pracimoharjo, Cita Rasa Eropa di Lereng Merapi

Tujuan pertama saya adalah Pesanggrahan Pracimoharjo di Paras Cepogo. Ekspektasi saya, setelah menyaksikan kemegahan gapura masuk, bangunan utama pendapa pesanggrahan bakal masih tampak utuh dan berwibawa. Namun, ternyata tidak.

Saat ini hanya tersisa reruntuhan tembok benteng dan gapura, fountain depan dan belakang, kolam air dangkal, loji utara dan ruang sembahyang raja di ndalem ageng. Akan tetapi, patut disyukuri saat ini pendapa sudah selesai dibangun meski hanya replika dengan bahan kayu baru.

“Ini [pesanggrahan] termasuk mewah di zamannya karena dilengkapi regol kayu di tiga penjuru, gapura gaya Romawi, dan dikelilingi tembok setinggi dua meter,” ungkap Heri.

Pesanggrahan Pracimoharjo didirikan sekitar tahun 1804 oleh Sunan Pakubuwana VI. Fungsinya sebagai rumah tetirah setelah anjangsana ke wilayah barat Solo dan keraton kecil di luar keraton kasunanan. Kondisi pesanggrahan kala itu masih sederhana hingga tahun 1894.

Puncaknya ketika Sunan Pakubuwana X naik tahta pada 1894, pesanggrahan direnovasi dan disempurnakan. Sebagai keraton kecil, pesanggrahan dilengkapi fasilitas mewah dan hiasan bergaya Eropa. Satu patung gaya Eropa masih terdapat di sana walau bentuknya sudah tidak utuh.

Seiring berjalannya waktu, pesanggrahan pun digunakan untuk menjamu tamu Eropa yang tengah anjangsana ke wilayah Solo. Dua jamuan yang terkenal antara lain kedatangan Gubernur Jenderal Jhr. A. C. D. de Graeff pada 1935 dan Raja Siam dari Thailand beserta keempat putrinya tahun 1937.

Kedatangan Jhr. A. C. D de Graeff didampingi sang istri, setelah sebelumnya diterima Sunan Pakubuwana X dan istri di keraton kasunanan. Mereka lantas beranjak menuju Pesanggrahan Pracimoharjo untuk menyaksikan gelaran rampogan matjan di alun-alun pesanggrahan, lalu menikmati alam pegunungan Merapi-Merbabu. Tidak ada catatan mengenai apa yang kedua pemimpin itu bicarakan. Entah murni pertemuan persahabatan atau politik, tidak diketahui pasti. Heri pun menyatakan hal yang senada.

Adapun maksud kedatangan Raja Siam adalah menghadiri undangan Sunan Pakubuwana X untuk menikmati jamuan di Pesanggrahan Pracimoharjo. Kunjungan keluarga Raja Siam disambut rampogan matjan, tari Srimpi, tari Wireng, dan ditutup jamuan rijstaffel. Beberapa pejabat pemerintah turut hadir, di antaranya G. A. Burgerhout (asisten residen Solo), Ernest Dezentje (anak J. A. Dezentje, tuan tanah Boyolali), dan keluarga Rademaker.

Sore harinya, rombongan tersebut kembali ke Solo untuk beranjangsana ke Pura Mangkunegaran. Setibanya di sana, mereka disambut pementasan wayang kulit dan rijsttafel dari Pangeran Hadiwijaya. Malam harinya mereka tinggal di Pesanggrahan Pracimoharjo selama semalam.

Ada yang menarik di balik perjalanan tersebut. Heri menceritakan, “Paginya, setelah puas anjangsana di Pesanggrahan Pracimoharjo dan Pura Mangkunegaran, Raja Siam anjangsana ke Bandung. Tetapi putri-putrinya memilih melanjutkan perjalan ke Sarangan (saat itu masuk Karanganyar) dan berakhir di Bali,” ungkapnya.

Pesanggrahan Pracimoharjo. dengan kisahnya yang luar biasa, tetap saja kalah dengan keadaan.  Kondisi saat ini disebabkan karena peristiwa bumi hangus tahun 1942. Bumi hangus berarti bukan sekadar dibakar, melainkan dirusak sampai tak berbentuk. Tujuannya agar pesanggrahan tidak jatuh di tangan musuh.

Pascaskemerdekaan, kondisi Pesanggrahan Pracimoharjo tidak terurus selama puluhan tahun. Pesanggrahan ini hanya digunakan untuk upacara hari tertentu, seperti malam 1 Suro dan Maulid Nabi.

Pesanggrahan Langenharjo, Eksistensi Keraton Kecil di Tepi Bengawan Solo

Puas melihat Pesanggrahan Pracimoharjo, kami bergeser ke Pesanggrahan Langenharjo. Setibanya di sana, perasaan saya campur aduk antara senang dan sedih setelah melihat kondisinya, meskipun masih jauh lebih baik daripada Pesanggrahan Pracimoharjo.

Posisinya yang tepat menghadap aliran Sungai Bengawan Solo, menjadikan Pesanggrahan Langenharjo juga digunakan sebagai sarana tirakat raja. Pesanggrahan ini didirikan semasa kepemimpinan Sunan Pakubuwana IX dan selesai pada 15 Juli 1931 di bawah kepemimpinan Sunan Pakubuwana X.

Menurut serat Jitna Hiswara beraksara Jawa yang Heri miliki, didapatlah cerita mengenai Sunan Pakubuwana IX. Diceritakan bahwa ia sering berkunjung ke Pesanggrahan Langenharjo untuk kungkum atau berendam di tepi sungai Bengawan Solo untuk berdiam diri. 

Tidak salah dan lazim terjadi. Bukan artian meminta, melainkan menyeimbangkan energi diri dengan alam. Aliran sungai yang sering kali bisa berubah tiba-tiba, tidak menjadi halangan bagi sunan untuk menenangkan batin. Heri menambahkan, selain untuk rumah tetirah juga kerap digunakan untuk menggelar pesta keluarga.  

Pesanggrahan Langenharjo juga merupakan tempat pertama terciptanya beschaafd Langenharjan atau beskap Langenharjan oleh Kanjeng Gusti Mangkunegara IV, ketika beliau menghadap raja di pesanggrahan. Beskap tersebut tercipta dari perpaduan jas Barat dengan jas Mangkunegaran.

Beskap Langenharjan digunakan hanya hari-hari tertentu oleh keluarga raja Pura Mangkunegaran, sebagai simbol perpaduan dua budaya negara yang berbeda. Pemakai beskap Langenharjan pun harus memahami filosofi kehidupan, ajaran, dan arti penting yang terkandung dalam satu beskap. Makna tersebut rumit untuk bisa segera dipahami, karena harus mampu menyeimbangkan alam pikiran dan perilaku.

Penggunaan jarit (jarik) pun tidak sembarangan, yakni sebagai upaya menahan diri agar tidak iri dan gegabah mengambil sebuah keputusan ke depannya. Keluarga raja yang menggunakan beskap Langenharjan dengan jarik, diharapkan mampu menjaga harkat martabatnya sebagai manusia. Memanusiakan manusia dan manunggaling kawula Gusti. Tatkala pesta selesai, pesanggrahan kembali digunakan tetirah para permaisuri untuk sekadar memerintahkan juru nembang menghibur mereka. 

Melacak Jejak Pesanggrahan Lawas Peninggalan Kasunanan Surakarta
Menara lantai dua Pesanggrahan Langenharjo/Ibnu Rustamadji

“Sejatinya apa keistimewaan pesanggrahan, selain lokasinya di tepi Bengawan, Mas?“ tanyaku penasaran.

Ternyata, bagian belakang pesanggrahan terdapat kolam sumber mata air panas.  Tidak lazim, tetapi faktanya demikian. Jika ditinjau dari kondisi geografis, sangat tidak mungkin terdapat aliran uap air panas, karena dekat Bengawan Solo. Jarak dengan pegunungan juga cukup jauh.

Namun, kolam itu ada dan masih berfungsi hingga sekarang. Hanya saja, setiap sore selalu dipenuhi warga yang memanfaatkan kolam untuk sekadar bercengkerama di sekitarnya. Fakta adanya kolam sumber air panas didukung dengan keberadaan kamar mandi keluarga raja yang digunakan setelah berendam. 

“Tahu menara sangga buwana Kori Kamandungan, kan? Di sini juga ada, tetapi lebih kecil,” ucapnya.

Menara yang dimaksud Heri, sejatinya ruang nyepi, ruang santai sekaligus tempat sembahyang sunan. Bukan seperti yang didengungkan liar, jika menara sangga buwana merupakan tempat bertemunya Sunan Pakubuwana X dan Ratu Pantai Selatan—yang sejatinya mitos semata. Raja tentu ingin menyaksikan lingkungannya tanpa harus keluar regol kori Kamandungan Lor/Kidul, menggunakan menara sangga buwana. 

Sama juga fungsi dari ruang menara di bagian belakang ndalem ageng Pesanggrahan Langenharjo. Tidak banyak rumah tetirah milik priyayi Jawa atau elit Belanda yang memiliki menara. Selain sebagai privasi, nilai estetis juga sangat diperhatikan.

Melacak Jejak Pesanggrahan Lawas Peninggalan Kasunanan Surakarta
Ruang utama di ndalem ageng pesanggrahan/Ibnu Rustamadji

Renungan di Pinggiran Sungai

Puas menikmati setiap sudut Pesanggrahan Langenharjo, langkah kaki kami beranjak menuju aliran sungai tepat di depan pesanggrahan. Ketika kami tiba di atas tanggul, baru saya sadari jika letak pesanggrahan jauh lebih rendah dari aliran sungai.

“Bukan pesanggrahan yang turun atau dibangun lebih rendah, tapi kali Bengawan yang mengalami pendangkalan dan tanggul tepi dibuat semakin tinggi,” jelasnya. 

Uniknya, warga yang ingin berkunjung ke pesanggrahan dari seberang sungai harus menggunakan perahu berjuluk jung dan bersandar di pelabuhan Langenharjo. Hanya saja, sekarang pelabuhan sudah tidak ada imbas peningkatan sedimentasi dasar sungai. Saat ini, jika ingin mengakses pesanggrahan harus melalui gerbang utara. Sampai di halaman depan, tampak pendapa menghadap tanggul sungai. Tanggul itulah lokasi gerbang awal pesanggrahan berada.

Langit senja mulai menggelayuti, kami pun memutuskan untuk menikmati wedangan lesehan. Sekadar melepas lelah setelah penelusuran dua pesanggrahan. Besar harapan kami, keberadaan Pesanggrahan Pracimoharjo dan Pesanggrahan Langenharjo dapat bertahan hingga tahun-tahun mendatang.

Perbaikan bangunan yang rusak, sejatinya bisa diselesaikan dengan sinergi pihak-pihak terkait. Kalaupun tingkat kerusakan cukup berat, alangkah baiknya dilakukan penyimpanan dan reproduksi sesuai aslinya. Hal ini dilakukan tidak lain untuk modal belajar anak muda seperti kami yang haus akan keindahan masa lalu.

Kalau peninggalan dihancurkan, anak cucu kita akan melihat apa? Apakah cukup dengan “katanya orang dulu” yang sangat diragukan kebenarannya? Hanya waktu dan kita yang bisa menjawab.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melacak Jejak Pesanggrahan Lawas Peninggalan Kasunanan Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melacak-jejak-pesanggrahan-lawas-peninggalan-kasunanan-surakarta/feed/ 0 42385
Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills https://telusuri.id/menikmati-kesegaran-alam-gunung-merbabu-dari-selosa-coffee-hills/ https://telusuri.id/menikmati-kesegaran-alam-gunung-merbabu-dari-selosa-coffee-hills/#respond Thu, 30 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42061 Bagi sebagian masyarakat perkotaan, hidup berdampingan dengan penuh sesak dan panasnya kota merupakan keseharian yang menyebalkan. Dingin serta sunyinya pegunungan menjadi pilihan tepat untuk melarikan diri dari pengap perkotaan.  Beruntung. Di Indonesia, kekayaan alam berupa...

The post Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi sebagian masyarakat perkotaan, hidup berdampingan dengan penuh sesak dan panasnya kota merupakan keseharian yang menyebalkan. Dingin serta sunyinya pegunungan menjadi pilihan tepat untuk melarikan diri dari pengap perkotaan. 

Beruntung. Di Indonesia, kekayaan alam berupa gunung tersebar hampir di setiap pulau. Tiap gunung memiliki ciri dan karakteristik tersendiri. Salah satu gunung yang memikat karena pemandangan alam yang masih asri adalah Gunung Merbabu. 

Gunung Merbabu terletak di tiga wilayah administratif, yaitu Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Semarang. Jika kita melihat pemandangan gunung ini dari daerah Boyolali bagian timur, seperti Kecamatan Banyudono, Teras, dan Mojosongo, kita akan melihat pemandangan dua gunung berdampingan: Merbabu dan Merapi. Mirip dengan lukisan pemandangan alam anak-anak sekolah dasar. 

Di lereng Gunung Merbabu, cukup banyak tempat yang bisa digunakan untuk sekadar ngopi atau menikmati alam. Dari sekian pilihan, saya memilih untuk berkunjung ke sebuah kafe bernama Selosa Coffee Hills. Letaknya tidak jauh dari Simpang PB VI Selo—warga sekitar menyebutnya Alun-alun Selo. Jika dari timur, sebelum simpang tersebut bisa berbelok ke arah kanan lalu mengikuti jalan naik. Nantinya akan ada plang petunjuk arah menuju lokasi parkir kafe tersebut. 

Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills
Pintu masuk Selosa Coffee Hills/Aldino Jalu Seto

Fasilitas dan Keunikan Selosa Coffee Hills

Selosa Coffee Hills terletak di atas bukit. Bagian depannya berhadapan langsung dengan Gunung Merbabu. Inilah yang menjadi ciri khas Selosa. Sepanjang mata memandang terlihat hijaunya pepohonan, tanah dan lahan yang subur ditanami sayur, serta pepohonan yang tinggi menjulang. Terlihat di atasnya keluarga bahagia dari burung ciblek gunung membuat rumah bersama anaknya. 

Jika melihat lebih luas, suasana asri tersebut berbanding terbalik dengan pemandangan kota yang terlihat samar. Tak hanya gedung yang membumbung tinggi, tetapi juga udara bermuatan debu polusi dari kendaraan bermotor. Dari kejauhan tampak kontras corak warna perkotaan menjadi lebih putih dan kuning, yang menandakan wilayah tersebut lebih panas. Selain itu, hampir tak terlihat hijaunya pepohonan di sana. 

Sementara hari masih cerah dan terasa sedikit panas, saya segera memesan segelas regal dingin dengan tambahan bakpao rasa ayam dan cokelat. Saya bertanya pada kasir, “Apakah kopinya bisa diberi wadah di gelas saja?”

Kasir tersebut menjawab, “Maaf, Kak. Untuk persediaan gelas kita terbatas, biasanya kita menggunakan gelas plastik [sekali pakai].”

Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills
Menikmati pemandangan lereng Gunung Merbabu ditemani segelas minuman dan buku yang saya bawa/Aldino Jalu Seto

Percakapan kecil itu jadi sentilan bagi saya pribadi. Di tempat yang dianggap sebagai paru-paru dari suatu daerah, ternyata masih memproduksi limbah anorganik yang akan menghancurkan keasrian tempat tersebut suatu hari nanti. 

Sayang sekali kesadaran kecil seperti itu belum terbentuk. Pemandangan tadi kembali mengalihkan perhatian saya. Dengan suasana setenang itu, saya berpikir untuk mengeluarkan sebuah buku. Tulisan Mas Marco Kartodikromo yang dibukukan menjadi pilihan saya. Bukunya berisi kritikan kepada pemerintah kolonial dengan gaya jurnalisme.

Selain kumpulan tulisan Mas Marco Kartodikromo yang sengaja saya bawa dari rumah, saya juga melihat koleksi buku dari Selosa Coffee Hillis. Menarik. Banyak buku bergenre cinta bertengger di rak buku itu. Kebanyakan hasil terjemahan dari novel luar negeri.

Namun, masih terdapat novelis indonesia, seperti Andrea Hirata. Ia terkenal dengan novel fiksi yang dipadupadankan dengan sains. Saya rasa, pemandangan alam akan sangat pas bila dikombinasikan dengan ketenangan membaca buku fiksi bergenre cinta. Perasaan seolah diaduk.

Bagi orang yang kurang suka membaca, Selosa menyediakan permainan yang bisa dimainkan bersama. Contohnya kartu UNO. Bila bosan pun, masih banyak opsi permainan lain yang bisa dicoba. Tak perlu repot untuk meminjam, permainan tersebut tersedia langsung di ruang semi outdoor, asal nanti dikembalikan seperti semula. 

Variasi Pilihan Tempat Nongkrong

Yang tak kalah menarik adalah keberadaan kamar mandi, sesuatu yang biasanya luput dari perhatian pengelola. Saya sendiri sering menemukan kamar mandi di tempat wisata yang kurang terawat sehingga kotor dan tak nyaman untuk dipakai. Di Selosa, saya menemukan kamar mandi yang terbilang estetis dan tidak “malu-maluin” jika difoto.

Selosa memberikan beberapa tempat nongkrong dengan desain yang berbeda. Pertama, ruangan indoor yang didesain secara modern. Dilengkapi kursi kayu, lampu, lukisan, cermin, serta kaca yang menghadap langsung ke pemandangan sekitar—daya tarik utama ruangan ini. Di dalamnya juga terdapat bar untuk memesan makanan dan minuman.

  • Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills
  • Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills

Kedua, semi outdoor, yang berada di sebelah ruangan indoor. Identik dengan angin dingin yang berembus langsung mengenai tubuh. Pada bagian yang lain saya masih menjumpai tempat yang benar-benar terbuka. Di atasnya terdapat pohon untuk memayungi pengunjung yang duduk di bawahnya dari panas dan hujan.

Pemandangan Merbabu dari Selosa memang memiliki daya tariknya sendiri. Jika berlibur ke sana, jangan melewatkan tempat tersembunyi di atas bukit. Bahkan kalau mau naik sedikit lagi, kita bisa mengunjungi Goa Raja. Gua ini merupakan tempat tapa brata atau semedi Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro. Menurut beberapa literatur, Goa Raja digunakan oleh keduanya untuk mengatur strategi melawan kolonialisme Belanda.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menikmati-kesegaran-alam-gunung-merbabu-dari-selosa-coffee-hills/feed/ 0 42061