budaya Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/budaya/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 28 May 2024 06:55:45 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 budaya Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/budaya/ 32 32 135956295 Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan https://telusuri.id/pasar-kangen-yogyakarta-miniatur-zaman-berbasis-kebudayaan/ https://telusuri.id/pasar-kangen-yogyakarta-miniatur-zaman-berbasis-kebudayaan/#respond Tue, 28 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42039 Pasar Kangen Yogyakarta kembali hadir untuk mengajak masyarakat menilik miniatur zaman, merasakan nilai-nilai kearifan lokal, dan menjalin relasi intim kemanusiaan. Saya tuliskan “relasi intim kemanusiaan” karena ketika berkunjung kita bisa saling bertegur sapa dan transaksi...

The post Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan appeared first on TelusuRI.

]]>
Pasar Kangen Yogyakarta kembali hadir untuk mengajak masyarakat menilik miniatur zaman, merasakan nilai-nilai kearifan lokal, dan menjalin relasi intim kemanusiaan. Saya tuliskan “relasi intim kemanusiaan” karena ketika berkunjung kita bisa saling bertegur sapa dan transaksi jual beli layaknya pasar tradisional.

Sebagai pengantar, Pasar Kangen Yogyakarta adalah sebuah acara tahunan yang telah dimulai sejak 2007 di Kota Yogyakarta. Di festival tahunan tersebut, pengunjung dapat menikmati beraneka ragam jajanan khas, unik, dan barang antik yang langka. Acara ini biasanya diselenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Namun, pada tahun 2024, Pasar Kangen hadir di salah satu perguruan tinggi negeri di daerah istimewa ini, yaitu Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). 

Pasar Kangen yang diselenggarakan di UNY mengambil tema “Transformasi Budaya Kerja, Menguatkan UNY PTN-BH”. Kegiatan ini diadakan di area Taman Pancasila Kampus UNY, Jl. Colombo No. 1, Karangmalang, Yogyakarta. Pasar Kangen UNY berlangsung selama 17–19 Mei 2024 dengan jadwal operasional berbeda. Pada hari Jumat (17/5), pasar mulai buka pukul 15.00–22.00 WIB, sedangkan Sabtu dan Minggu pukul 07.00—22.00 WIB. 

Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan
Keramaian menyemut di pintu masuk Pasar Kangen UNY sisi utara Taman Pancasila/Danang Nugroho

Semangat dan Kreativitas Para Pedagang

Minggu malam (19/05), tepatnya pukul 19.00, saya berkunjung ke pasar tersebut karena saat itu merupakan hari terakhir pasar digelar. Lewat pintu masuk pasar bagian utara Taman Pancasila, saya dan para pengunjung lainnya berjumpa dengan stan tiap fakultas di UNY. Mengapa demikian? Sebab Pasar Kangen bekerja sama dengan kampus karena bertepatan dengan acara Dies Natalis ke-60 UNY.

Ketika saya berjalan lagi dan menilik tiap stan, semangat pedagang patut diacungi jempol. Mereka melayani dengan sepenuh hati siapa pun pembeli yang datang. Hal ini sesuai dengan pepatah yang dicantumkan di situs web pasarkangen.com: “Ora Cucul Ora Ngebul”, yang berarti manusia bergerak maka rezeki selalu hadir. Maksudnya, menjadi manusia yang rajin bekerja dan tak sekadar pasrah, sehingga keringat yang bercucuran akan berganti dengan rezeki dalam wujud apa pun.

Di sisi lain, terkait kreativitas, para pedagang memberdayakan stan masing-masing dengan dekorasi dan nama-nama yang unik. Tentunya hal tersebut untuk menarik para pengunjung agar mampir ke stan mereka. Contohnya, ada salah satu stan yang menjual dawet dengan jenama dawet ireng Jembut (Jembatan Butuh). Tidak hanya itu, di stan-stan lain juga menampilkan nama-nama unik pada produknya, seperti bir jawa, jeniper lupis, rempah suwuk, dan banyak lagi.

  • Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan
  • Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan
  • Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan

Aneka Jualan untuk Raga dan Jiwa

Para pedagang Pasar Kangen menawarkan berbagai jajanan khas yang unik dan langka yang pernah ada di Yogyakarta ataupun daerah lain, seperti rujak cingur, jadah tempe, es limon, gudek, sate kere, dan lento. Di stan lain, para pedagang ada yang menawarkan berbagai pernak-pernik macam aksesoris, lukisan, make up, dan barang-barang antik. Tak hanya itu, tersedia pula stan yang membuka jasa pijat di tempat tersebut. Kesemuanya itu yang dimaksud dengan jualan untuk raga.

Di sisi lain, tidak hanya raga, tetapi para pedagang juga menawarkan makanan untuk jiwa, yaitu buku. Beberapa stan menjual buku-buku lama yang masih layak jual dan baca. 

Dengan makanan yang higienis dan bergizi, raga manusia akan sehat. Dengan membeli dan membaca buku, cakrawala pengetahuan manusia akan bertambah dan tahu akan arah yang dituju. Pasar Kangen telah memberi penawar raga dan jiwa yang baik bagi para pengunjung.

Miniatur Zaman bagi Manusia Postmodernisme

Dapat dikatakan Pasar Kangen UNY merupakan miniatur zaman bagi masyarakat postmodern. Pasalnya postmodern ini mencerminkan masyarakat yang memiliki rasa keterasingan, rasa tidak aman, dan ketidakpastian mengenai identitas dirinya.

Karena hal tersebut, Pasar Kangen hadir untuk meredakan perasaan-perasaan itu agar para individu kembali pada fitrahnya. Dengan berkunjung dan menikmati suasana pasar, para pengunjung akan terbawa suasana tempo dulu dan menjalin interaksi dengan pedagang ataupun dengan pengunjung lainnya. 

Berkaitan dengan postmodernisme, ternyata ada satu hal unik di Pasar Kangen UNY. Terdapat salah satu stan yang menawarkan jasa peramalan melalui kartu tarot. Tentunya para individu postmodern yang memiliki perasaan akan “ketidakpastian” banyak yang memakai jasa tersebut. Para pengunjung itu tentunya ingin memiliki kepastian di kehidupannya, sehingga hari-harinya tidak gundah dan bingung. Unik bukan?

Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan
Stan yang membuka jasa pembacaan kartu tarot/Danang Nugroho

Berjalan, Membeli, dan Menikmati

Tiga kata yang diterapkan para pengunjung Pasar Kangen UNY, yaitu berjalan, membeli, dan menikmati. “Berjalan”, maksudnya mengitari semua stan dan melihat-lihat apa yang kira-kira menarik dan diinginkan. “Membeli”, berarti setelah mengitari stan yang ada di sana, para pengunjung mulai menjalin interaksi dengan pedagang, kemudian ada tawar-menawar dan transaksi jual beli. Terakhir adalah “menikmati”, usai para pengunjung membeli barang yang diinginkan, mereka tinggal duduk di pelataran Taman Pancasila UNY dan menikmati hiburan yang dipentaskan di panggung.

Beragam hiburan dihadirkan pada acara tersebut, beberapa penampilan seperti Yuliono Singsot, Damar Patung Pantonim, hiburan kesenian mahasiswa Fakultas Bahasa, Seni, dan Budaya (FBSB), penampilan dari beragam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan dari Himpunan Mahasiswa (HIMA) yang ada di lingkungan UNY. 


Daftar Pustaka

Adikara, G. (2024). Pasar Kangen UNY Hadirkan 200 Tenant Jajanan Nostalgia. Diakses dari https://www.uny.ac.id/id/berita/pasar-kangen-uny-hadirkan-200-tenant-jajanan-nostalgia pada 20 Mei 2024.
Situs Web Pasar Kangen (2023). Diakses dari https://www.pasarkangen.com/ pada 20 Mei 2024.
Wikipedia. (2023). Pasar Kangen Yogyakarta. Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pasar_Kangen_Yogyakarta pada 20 Mei 2024.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pasar-kangen-yogyakarta-miniatur-zaman-berbasis-kebudayaan/feed/ 0 42039
Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta https://telusuri.id/bandeng-rawa-belong-kekerabatan-budaya-betawi-dan-perayaan-imlek-di-jakarta/ https://telusuri.id/bandeng-rawa-belong-kekerabatan-budaya-betawi-dan-perayaan-imlek-di-jakarta/#respond Fri, 09 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41136 Walau bukan penganut salah satu agama dari kebudayaan Tionghoa, tetapi aku selalu menantikan Imlek dan Cap Go Meh setiap tahunnya. Kemeriahan suasana menjelang Imlek di Glodok ataupun pertunjukan Barongsai dan Tatung yang dilakukan oleh komunitas...

The post Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Walau bukan penganut salah satu agama dari kebudayaan Tionghoa, tetapi aku selalu menantikan Imlek dan Cap Go Meh setiap tahunnya. Kemeriahan suasana menjelang Imlek di Glodok ataupun pertunjukan Barongsai dan Tatung yang dilakukan oleh komunitas Tionghoa Krendang, Jakarta Barat ketika perayaan Cap Go Meh selalu menarik perhatianku.

Aku mulai mengacak tumpukan bukuku. Mencari bahan bacaan menarik bertemakan Imlek dan Cap Go Meh, selain tentang kemeriahan Glodok dan pertunjukan Barongsai. Di buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia karya Alwi Shahab—jurnalis senior dan pencerita terbaik tentang sejarah Betawi dan Jakarta—aku menemukan bacaan tentang tradisi membawakan ikan bandeng dan kue cina untuk calon mertua dari calon menantu sebelum Imlek.

Sementara di buku Kuliner Betawi Selaksa Rasa & Cerita dari tim Akademi Kuliner Indonesia, menceritakan tentang akulturasi budaya di kehidupan masyarakat Betawi yang multikultur dan berlangsung dalam kurun waktu lama sampai melahirkan tradisi lebaran gaya Jakarta yang “berwarna”. Sebutan “lebaran” sebagai perayaan agama membuat banyak lebaran di Betawi.

Di Islam, selain Lebaran Idulfitri dan Iduladha, ada juga Lebaran Anak Yatim di tanggal 10 Muharram. Di komunitas nonmuslim ada istilah Lebaran Serani yang merupakan sebutan untuk perayaan Natal. Istilah Serani mungkin berasal dari kata Nasrani. Begitu pun sebutan untuk pindang serani, yang merujuk pada pindangnya orang Nasrani. Makanan ini menjadi ciri khas pada saat Natal di komunitas warga Betawi keturunan Portugis di Kampung Tugu. Sementara untuk perayaan Imlek disebut Lebaran Cina dan pindang bandeng menjadi salah satu makanan yang wajib dihidangkan. 

Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta
Sampul depan buku karya Windoro Adi di situs Gramedia Digital/Gramedia

Jejak Kekerabatan Multietnis dari Seekor Bandeng

Membaca fakta itu aku mulai mencari lebih jauh tentang hubungan ikan bandeng dengan perayaan Imlek. Akhirnya aku menemukan kalimat “Sepekan menjelang Imlek tiba, pertigaan Rawa Belong ramai oleh pedagang dan pembeli ikan bandeng…” di buku Batavia 1740 — Menyisir Jejak Betawi tulisan Windoro Adi.

Aku pernah beberapa kali ke Rawa Belong yang terkenal dengan Pasar Bunganya itu. Terakhir ke sana, aku menyusuri daerah ini dari halte busway Slipi Petamburan 2 sampai ke Pasar Bunga Rawa Belong. Dari penelusuran itu aku mendapati beberapa bangunan tua berikut ini:

  1. Gedung Tinggi Palmerah. Bekas kediaman Andries Hartsinck, seorang pejabat VOC, yang sekarang menjadi kantor Polsek Palmerah. Gedung ini dibangun tahun 1790-an bergaya arsitektur Indische dengan ciri khas pilar besar di bagian depan, langit-langit yang tinggi, serta jendela dan pintu besar.
  2. SD Negeri Palmerah 07 Pagi. Bangunan yang dibangun tahun 1936 ini dulunya gedung sekolah Tionghoa, Kwa Ming School.
  3. Kelenteng Hian Thian Siang Tee Bio. Kelenteng yang telah ada dari abad ke-19 ini berdiri di dekat Pasar Palmerah.

Rawa Belong juga terkenal sebagai kampungnya para jawara. Istilah ini mungkin berawal dari zaman Andries Hartsinck menjadi tuan tanah di Palmerah sampai Grogol. Penyebutan Palmerah berasal patok (paal) berwarna merah sebagai penanda batas tanah dari Andries Hartsinck. Dengan tanah seluas itu, Andries Hartsinck membutuhkan penjaga yang disebut centeng dan mandor. Kampung di depan Gedung Tinggi dikenal dengan nama Kampung Kemandoran. Kemungkinan dahulu daerah itu menjadi tempat tinggal para mandor dan centeng, jawara-jawaranya Andries Hartsinck.

Si Pitung, tokoh legenda masyarakat Betawi pun diceritakan lahir di Rawa Belong. Bahkan makamnya bisa ditemukan di depan gedung Telkom, Jl. Palmerah No. 80. Di buku Iwan Mahmoed Al-Fattah, Pitung (Pituan Pitulung): Jihad Fi Sabilillah Para Pejuang Menyelamatkan Jayakarta, menjelaskan Pitung bukan nama orang, melainkan nama kelompok yang terdiri dari tujuh orang jawara yang membela kaum lemah dari penindasan kaum kafir penjajah. Salah satu aliran silat khas Betawi, Silat Cingkrik, juga berasal dari Rawa Belong dan makin menguatkan frasa kampung jawara di Rawa Belong.

Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta
Seorang ibu memilih bandeng yang akan dibeli di lapak bandeng Rawa Belong, Pamelah, Jakarta Barat/Daan Andraan

Mencari Bandeng di Rawa Belong

Tiga hari menjelang Imlek, dengan menumpang ojek daring, aku menuju ke Rawa Belong. Sehari sebelumnya aku telah mencari info tentang lokasi para penjual ikan bandengnya. Motor pun berhenti di pertigaan Jl. Rawa Belong dan Jl. Sulaiman. Lapak-lapak penjual ikan bandeng yang hanya ada ketika menjelang perayaan Imlek ini berjejer di sisi jalan. Lapak tersebut begitu sederhana. Hanya terbuat dari meja kayu yang di empat sudutnya ada tiang bambu sebagai penyangga atap yang terbuat dari plastik, dan di atas meja berderet-bertumpuk ikan bandeng.

Setelah berkeliling, aku berhenti di salah satu lapak. Pak Ujang, nama bapak penjual bandeng bercerita tentang tradisi “Nganter Bandeng”. Hantaran bandeng ini biasanya dilakukan oleh calon menantu kepada calon mertua. Bandeng yang dibawa dalam bentuk besar sebagai tanda keseriusan dan ketulusan. Bandeng ini kemudian dimasak pindang oleh calon menantu perempuan dan dihidangkan ke keluarga calon mertua laki-laki. Tradisi warga Betawi tersebut kemudian diadopsi oleh orang-orang Tionghoa waktu itu dan menjadikan bandeng sebagai sajian Imlek.

Mengutip dari warisanbudaya.kemendikbud.go.id, J. J. Rizal mengatakan sajian ikan bandeng untuk Imlek hanya ada di Indonesia dan tidak ada di Tiongkok. Orang Tiongkok di Batavia pada saat itu menyerap bandeng dari kultur Betawi sejak abad ke-17. Dalam jamuan makan tatkala Imlek, bandeng disajikan di akhir sebagai lambang dan harapan rezeki berlimpah di masa mendatang. Makin besar ukuran ikan, maka makin besar pula rezeki yang akan diperoleh di masa mendatang.

Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta
Seorang calon pembeli dari atas motornya mengamati tumpukan bandeng jumbo di salah satu lapak Rawa Belong/Daan Andraan

Tradisi “Nganter Bandeng” Kini

Seorang Ibu yang sedang membeli ikan pun ikut nimbrung di percakapan kami. Zaman dahulu apabila ada ikan bandeng yang digantung di pagar rumah, itu menandakan ada seorang gadis yang belum menikah di rumah tersebut dan siap dipinang. Apabila bandengnya hilang, berarti ada seorang pemuda yang tertarik dengan sang gadis. Di masa sekarang, kalau ada yang menggantung ikan di pagar bukan diambil oleh pemuda yang akan datang melamar sang gadis, tetapi dicomot oleh kucing oren yang kelaparan, cerita sang ibu sambil terkekeh.

Tradisi “Nganter Bandeng” untuk menyenangkan hati mertua pun mulai pudar. Namun, ibu itu menambahkan pandangan menarik. Membeli dan memasak pindang bandeng pada saat Imlek, yang kemudian dimakan bersama-sama atau diberikan kepada keluarga yang lebih tua, masih menjadi tradisi yang mengakar di masyarakat Betawi di Jakarta.

Hal paling unik di lapak para penjual bandeng ini adalah ukuran bandeng yang jumbo. Pak Ujang mengatakan, ikan-ikan ini memang dipelihara sampai berukuran besar dan dipanen untuk dijual menjelang Imlek. Tambak di daerah Cilincing dan Tangerang menjadi sentra pemasok bandengnya. Sementara di lagu Penjual Ikan yang didendangkan Lilis Suryani saja, penyanyi lawas tahun 1960-an, bercerita tentang penjual ikan bandeng yang mengambil ikannya di empang Muara Karang.

Aku pun membeli dua ekor bandeng jumbo seberat tiga kilogram dengan harga Rp240.000 di lapak Pak Ujang. Di atas ojek daring yang mengantarku pulang, anganku dipusingkan, akan ke mana ikan-ikan bandeng ini kuberikan. Pasangan saja tidak punya, apalagi calon mertua!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bandeng-rawa-belong-kekerabatan-budaya-betawi-dan-perayaan-imlek-di-jakarta/feed/ 0 41136
7 Festival Seni Budaya Bulan Juli dan Agustus yang Harus Kamu Tonton https://telusuri.id/7-festival-seni-budaya-bulan-juli-dan-agustus-yang-harus-kamu-tonton/ https://telusuri.id/7-festival-seni-budaya-bulan-juli-dan-agustus-yang-harus-kamu-tonton/#respond Mon, 03 Jul 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39193 Indonesia adalah gudangnya seni dan budaya yang beraneka ragam. Ratusan kelompok etnik dan ribuan suku bangsa yang tersebar di tanah air memiliki bentuk kesenian dan kebudayaan, bahkan bahasanya masing-masing. Mulai dari budaya spiritual, seni rupa,...

The post 7 Festival Seni Budaya Bulan Juli dan Agustus yang Harus Kamu Tonton appeared first on TelusuRI.

]]>
Indonesia adalah gudangnya seni dan budaya yang beraneka ragam. Ratusan kelompok etnik dan ribuan suku bangsa yang tersebar di tanah air memiliki bentuk kesenian dan kebudayaan, bahkan bahasanya masing-masing. Mulai dari budaya spiritual, seni rupa, tarian, busana, musik, dan lain sebagainya. 

Kekayaan seni dan budaya tersebut telah banyak terekam dalam pelbagai media sebagai bentuk pelestarian. Salah satunya penyelenggaraan festival-festival di tingkat daerah hingga nasional. TelusuRI merangkum tujuh festival seni budaya di bulan Juli dan Agustus yang layak banget buat kamu tonton.

1. ARTJOG 2023

Tanggal: 30 Juni—27 Agustus 2023
Lokasi: Jogja National Museum, Provinsi D. I. Yogyakarta

ARTJOG merupakan pameran dan festival seni kontemporer yang telah berlangsung sejak 2008. Sebagai bagian dari Festival Kesenian Yogyakarta, ARTJOG merupakan wadah interaksi para pelaku dan penikmat seni untuk menumbuhkan edukasi dan pengalaman kesenian terbaru. Tajuk pameran ARTJOG 2023 adalah “Motif: Lamaran”. Di situs resminya, makna tema tersebut merupakan upaya ARTJOG lebih dekat menjelajah bahasa motif dan cara para seniman mengerjakannya. ARTJOG mengajukan lamaran kepada para seninan untuk memamerkan berbagai khazanah motif karyanya.

Jangan lewatkan berbagai agenda main performance dalam pameran seni rupa tahunan ini. Kamu bisa membeli tiket, memilih, dan menonton beberapa pertunjukan utama yang telah dijadwalkan selama penyelenggaraan festival. Kamu akan melihat kiprah dan dedikasi para seniman dalam mengisi sejarah panjang kesenian di Indonesia.

2. Banyuwangi Ethno Carnival

Tanggal: 5—9 Juli 2023
Lokasi: Taman Blambangan dan kawasan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur

Di antara seabrek festival di Tanah Osing dalam satu tahun, semarak Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) tidak boleh kamu lewatkan. BEC 2023 mengambil tema “The Magical of Ijen Geopark”, dalam rangka menyambut pengakuan Geopark Ijen oleh UNESCO Global Geoparks. Rangkaian festival yang masuk dalam kalender Karisma Event Nusantara (KEN) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tersebut akan berlangsung selama lima hari, dengan acara parade puncak pada 8 Juli 2023.

Karnaval busana ini akan dimeriahkan oleh 75 peserta yang telah lolos seleksi. Mereka adalah pelajar dari tingkat SD hingga SMA di Kabupaten Banyuwangi. Para peserta akan menampilkan keragaman motif bertema taman bumi yang ada di Banyuwangi. Tema besar itu nantinya terbagi menjadi tujuh subtema sesuai kelompok umur. Kawah Ijen dan Pantai Sembulungan untuk anak-anak. Adapun untuk dewasa yakni Pantai Parang Ireng, Pantai Sukamade, Pulau Merah, Air Terjun Lider, dan Alas Purwo.

3. Tenggarong International Folk Art Festival

Tanggal: 9—15 Juli 2023
Lokasi: Kawasan pusat pemerintahan Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur

Mengangkat tema “Nusantara Namaku, Jaya Negeriku”, Tenggarong International Folk Art Festival (TIFAF) kembali hadir dan akan berlangsung hampir sepekan. Pemerintah setempat selaku panitia festival mengundang sembilan kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Timur, 11 tamu luar provinsi, dan enam negara untuk memeriahkan TIFAF. TIFAF tahun ini juga terintegrasi dengan penyelenggaraan Organization of Islamic Coorporation Cultural Activity (OICCA) 2023, yang mana Kalimantan Timur menjadi tuan rumah. OICCA merupakan forum moderasi beragama dan pengembangan budaya dengan anggota delegasi lebih dari 50 negara muslim.

TIFAF 2023 menggabungkan seni tradisional dan kontemporer, mencakup pertunjukan tarian, musik, karnaval, olahraga, hingga bazar. Selain menampilkan kesenian lokal khas Kutai Kartanegara (Kukar), TIFAF juga menyajikan seni dan budaya daerah lainnya di Indonesia bahkan mancanegara. Festival ini diharapkan memperkuat keberadaan Kukar sebagai “Kota Raja” sekaligus wilayah kerajaan tertua di Nusantara.

4. Festival Nasional Reog Ponorogo

Tanggal: 14—18 Juli 2023
Lokasi: Alun-alun Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur

Festival Nasional Reog Ponorogo (FNRP) merupakan rangkaian pesta kesenian rakyat dan peringatan Grebeg Suro yang berlangsung pada bulan Muharram. Festival tahunan ini terselenggara bersamaan dengan hari jadi Kabupaten Ponorogo. Puncak acara biasanya dilaksanakan pada malam 1 Muharram, atau sama dengan 1 Suro dalam kalender Jawa. Tahun ini, FNRP masuk ke dalam 10 besar Karisma Event Nusantara (KEN) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Peserta dan penonton tidak hanya dari tingkat nasional, tetapi juga internasional.

Daya tarik terbesar festival ini adalah penampilan kesenian tradisional khas Ponorogo, yaitu reog. Rego terkadang mengandung unsur magis, dengan penari utama mengenakan topeng berbentuk kepala harimau dan lembaran mahkota besar yang terbuat dari bulu merak. Kesenian ini memadukan tarian dan narasi cerita Panji yang dilakukan puluhan orang, seperti para penari bertopeng maupun penunggang kuda lumping, pemain musik, dan pengiring lainnya.

5. Jember Fashion Carnival

Tanggal: 4—6 Agustus 2023
Lokasi: Sepanjang jalan kota di Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur

Jember Fashion Carnaval (JEC), salah satu acara karnaval fashion legendaris di Indonesia akan berlangsung di awal Agustus 2023. Event gagasan Dynand Fariz yang telah digelar sejak 2003 itu bersiap kembali menampilkan beragam keseruan tren mode dunia. Mulai dari yang kekinian hingga tema busana nasional dari daerah tertentu.

Mengacu pada Instagram resmi JEC, terdapat setidaknya enam agenda utama yang akan tersaji:Wonderful Archipelago Carnival Indonesia, Pets Carnival, Artwear Carnival (Fashion Art), World Kids Carnival (WKC), Grand Carnival of Jember Fashion Carnaval, dan Stage Performing Art (Exhibition Area). Parade meriah JEC tidak hanya diisi oleh penampil lokal, tetapi juga peserta dari mancanegara.

6. Festival Budaya Lembah Baliem

Tanggal: 7—10 Agustus 2023
Lokasi: Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan

Setelah absen hampir tiga tahun karena pandemi Covid-19, Pemerintah Kabupaten Jayawijaya berencana menyelenggarakan kembali Festival Budaya Lembah Baliem (FBLB) tahun ini. Event ini merupakan festival unggulan Indonesia yang legendaris dan telah berlangsung lebih dari tiga dasawarsa. Selain itu juga menjadi ikon promosi pariwisata Papua yang mendunia.

Rangkaian penampilan kesenian dan budaya lokal yang tersaji antara lain pertunjukan kolosal perang antarsuku sebagai edukasi sejarah, tarian adat, karapan babi, kegiatan memasak ala tradisional, dan lain sebagainya. Tidak hanya penduduk lokal saja, wisatawan domestik maupun asing pun dapat terlibat memainkan salah satu atraksi kebudayaan yang dilombakan. Tahun ini, FBLB direncanakan terlaksana lebih meriah dibanding tahun 2019. Pemerintah setempat akan mengundang 40 distrik di seluruh Kabupaten Jayawijaya untuk bergabung.

7. Tomohon International Flower Festival

Tanggal: 8—12 Agustus 2023
Lokasi: Sepanjang jalan protokol Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara

Bunga memang menjadi ikon dan aset terbesar Tomohon. Sejak 2006, Tomohon telah menggelar pawai bunga sebagai perayaan hari jadi kota yang berjarak sekitar 26 kilometer dari Manado tersebut. Dua tahun kemudian, pemerintah kota untuk pertama kalinya menyelenggarakan Tomohon International Flower Festival (TIFF).

TIFF lebih dari sekadar parade seni lokal yang penuh riasan bunga. Festival berskala internasional ini juga telah menjadi atraksi wisata budaya sekaligus agribisnis, yang dapat meningkatkan taraf hidup para petani dan perajin rangkai bunga. Sebagai daerah yang terletak di antara dua gunung berapi, Lokon (1.580 mdpl) dan Mahawu (1.311 mdpl), kota ini berlimpah varietas bunga yang tumbuh subur. Lebih dari 20 varietas bunga seruni (krisan) beraneka warna, lili, mawar, hingga bunga endemik anggrek kelapa (Phajus thankervillae) membuat Tomohon tampak semarak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 7 Festival Seni Budaya Bulan Juli dan Agustus yang Harus Kamu Tonton appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/7-festival-seni-budaya-bulan-juli-dan-agustus-yang-harus-kamu-tonton/feed/ 0 39193
Ada Apa dengan Babi dalam Budaya Masyarakat Batak? https://telusuri.id/babi-dalam-budaya-masyarakat-batak/ https://telusuri.id/babi-dalam-budaya-masyarakat-batak/#respond Wed, 30 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36159 “Karena sejak lahir hingga mati, babi sudah jadi budaya di tanah Batak.” Beberapa hari lalu saat ada acara keluarga, saya mengunggah makanan yang ada di atas meja makan ke media sosial. Tentu saja ada lomok-lomok...

The post Ada Apa dengan Babi dalam Budaya Masyarakat Batak? appeared first on TelusuRI.

]]>
Karena sejak lahir hingga mati, babi sudah jadi budaya di tanah Batak.”

Beberapa hari lalu saat ada acara keluarga, saya mengunggah makanan yang ada di atas meja makan ke media sosial. Tentu saja ada lomok-lomok lengkap yang menjadi sajian wajib saat acara patio mata ni mual—acara yang dilakukan anak laki-laki pertama untuk minta izin kepada tulang, saudara laki-laki dari pihak Ibu, saat ingin menikah—diadakan.

Beragam komentar dari teman-teman hingga kolega pun menghampiri. Bagi mereka yang awam dengan acara tersebut, merasa kaget hingga tak percaya ternyata babi sangat disakralkan dalam adat masyarakat Batak.

Bagaimana tidak? Dari kelahiran, acara pernikahan, hingga upacara kematian, hewan bermoncong khas ini wajib ada keberadaannya, dan tentu saja memiliki arti tersendiri dari siapa yang memberi dan menerimanya. Hal-hal memberi dan menerima memang terlihat sederhana, tetapi tidak bagi mereka yang berdarah Batak, terlebih jika memberi makanan dari olahan babi.

Lantas, kira-kira ada apa ya dengan babi dalam budaya masyarakat Batak? Berikut ini merupakan ulasan singkat dari boru—perempuan—Batak asli yang bisa teman-teman TelusuRI sedikit pahami mengapa babi menjadi sangat identik dengan budaya Batak.

Daging babi
Daging babi yang diperjualbelikan/Ruth Stephanie

Mungkin saja setelah membaca tulisan satu ini, teman-teman sudah mengerti arti kode dari B2 hingga B1 jika ingin sesekali berkunjung ke lapo—restoran khas Batak, serta apa itu saksang dan BPK yang terkenal lezat dan gurih.

Ada Apa dengan Babi?

Perlu diketahui bahwa di Indonesia tidak hanya suku Batak yang mengonsumsi daging babi. Ada suku Toraja, Dayak, Manado, Papua, hingga Bali. Selain itu, daging babi juga sebenarnya telah diternak dan tentu saja dikonsumsi oleh bangsa Eropa dan Asia lebih dari ribuan tahun lalu. Kemudian, menjadi konsumsi umum di Nusantara sebelum masuknya ajaran Islam dari Timur Tengah.

Maka, jangan heran jika kawan ingin berkunjung ke rumah bolon—rumah panggung khas Batak—kemudian melihat kolong yang lapang dari rumah tersebut menjadi kandang babi. Karena pada dasarnya memang dari zaman dahulu suku Batak telah mengenal beternak babi. Terlebih babi adalah termasuk hewan yang perkembangbiakannya cepat dan sangat mudah untuk dirawat.

Sekadar informasi juga, bahwa hewan satu ini memiliki sifat prolifik, yakni bisa memiliki banyak anak dalam satu kelahiran. Dalam satu kali kelahiran, induk babi dapat melahirkan 8-14 ekor anak babi. Dalam satu tahun, induk babi bisa mengalami dua kali kelahiran. Jadi, di sini kawan bisa bayangkan bagaimana keuntungan memelihara babi di rumah bolon bagi orang Batak. Selain bisa menjadi cadangan makanan, pun juga bisa menjadi mata pencaharian yang menghasilkan uang.

Dalam bahasa Batak, babi biasa disebut dengan pinahan. Sementara untuk babi yang berumur di bawah tiga bulan biasa disebut dengan lomok-lomok.

Kemudian menurut beberapa ahli budaya Batak juga menjelaskan bahwa sebenarnya dalam kehidupan suku Batak terdapat empat hewan peliharaan yang sangat istimewa yang biasa digunakan dalam pesta-pesta adat. Keempat hewan tersebut adalah babi, lombu (lembu atau sapi), hoda (kuda), dan horbo (kerbau).

  • Lomok-lomok
  • Sop babi
  • patio mata ni mual

Dari sini, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa pada faktanya daging babi dapat dipandang sebagai level terendah daging yang bisa dikonsumsi dalam pesta-pesta adat Batak. Babi juga lebih ditonjolkan kepada daging termurah, yang dapat dibeli oleh berbagai lapisan masyarakat. 

Tetapi perlu dicatat juga, walau babi tidak mendapatkan perlakuan khusus pemeliharaan seperti halnya hewan kerbau dan kuda, namun hewan bermoncong ini tetaplah menjadi sebuah komponen adat. Salah satu alasan juga mengapa daging babi menjadi semacam makanan wajib pada pesta atau upacara adat Batak adalah untuk menyatukan komponen yang berbeda dalam satu ruangan yang sama.

Hak Pemberian dan Penerimaan atas Daging

Jika kawan sudah menonton film garapan sutradara Bene Dion Rajagukguk, Ngeri-Ngeri Sedap, pasti sangat hafal dengan adegan si bontot, Sahat, terheran-heran melihat seorang Ibu yang menyimpan daging berkali-kali di tasnya. Sontak adegan tersebut membuat penonton tertawa, terlebih untuk mereka yang bersuku Batak.

Adegan tersebut memang benar kerap dilakukan oleh para Ibu Batak saat pesta besar diadakan. Biasa disebut marpalas—membawa pulang makanan pesta dengan plastik. Tetapi, selain marpalas dalam adat Batak juga ada simbol khas yang biasa dikenal dengan jambar.

Budaya Batak menyebutkan ada tiga jenis jambar, yakni jambar juhut atau hak untuk mendapatkan mendapat bagian atas hewan sembelihan, jambar hata atau hak untuk berbicara, dan jambar ulaon atau hak mendapat peran atau tugas dalam pekerjaan.

Oleh karena itu, jika melihat dalam pertemuan-pertemuan adat Batak bukan hanya hasil pembagian hewan itu saja saja yang penting, tetapi juga proses pembagiannya. Proses pembagian jambar ini juga harus dilakukan dengan terbuka atau transparan serta melalui perundingan kesepakatan dari semua yang hadir, dan tentu saja tidak boleh dimonopoli oleh tuan rumah atau para tokoh.

Jika pesta sudah selesai, dan terlebih sudah mendapatkan jambar untuk di rumah, maka biasanya esoknya akan diolah menjadi masakan-masakan khas Batak. Sebut saja bisa diolah menjadi saksang—olahan daging babi khas Batak yang bisa juga dilumuri dengan darah babi, sup B2—B2 adalah kode untuk daging babi, dan B1 adalah untuk daging anjing—, hingga yang paling lezat adalah BPK—Babi Panggang Karo yang biasa dilengkapi dengan sambal andaliman.

Lapo
Makanan khas Batak yang tersedia di lapo

Percayalah, ketiga menu di atas tentu tersedia lengkap di lapo-lapo yang biasanya sudah tersebar di kota-kota besar di Indonesia.

Pada intinya, tiap suku di Indonesia memiliki keunikannya masing-masing dalam menjalankan budayanya. Babi bukan hanya sekedar hewan. Babi adalah penanda identitas yang memiliki arti penting di kehidupan orang Batak. Kelahiran, pernikahan, memiliki anak, memiliki rumah, hingga kematian, babi bukan hanya sekadar hiasan di sana.

Selain itu, saya juga sangat meyakini bahwa budaya dari tiap-tiap suku bukan hanya dijalankan saja, melainkan ada makna mendalam dalam prosesnya. Proses menjalani kehidupan yang sejatinya sudah tersimbolkan dalam ritual budaya, yang kini lambat laun seakan ditinggalkan karena modernisasi semata.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ada Apa dengan Babi dalam Budaya Masyarakat Batak? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/babi-dalam-budaya-masyarakat-batak/feed/ 0 36159
Menonton Tradisi Pasola di Kodi, Sumba Barat Daya https://telusuri.id/menonton-tradisi-pasola-di-kodi-sumba-barat-daya/ https://telusuri.id/menonton-tradisi-pasola-di-kodi-sumba-barat-daya/#respond Mon, 17 Oct 2022 16:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35313 Sumba, punya banyak hal untuk saya ceritakan. Selain mempunyai alam yang elok, Sumba menyimpan beragam kebudayaan yang tersimpan di desa-desa adat yang masih mempertahankan tradisi dan warisan para leluhur. Februari lalu, saya berkunjung ke Sumba...

The post Menonton Tradisi Pasola di Kodi, Sumba Barat Daya appeared first on TelusuRI.

]]>
Sumba, punya banyak hal untuk saya ceritakan. Selain mempunyai alam yang elok, Sumba menyimpan beragam kebudayaan yang tersimpan di desa-desa adat yang masih mempertahankan tradisi dan warisan para leluhur. Februari lalu, saya berkunjung ke Sumba untuk melakukan penelitian tugas akhir kuliah. Saya tinggal di rumah seorang kenalan yang juga turut membantu dalam penelitian. Lokasi rumahnya di Desa Ate Dalo, Kecamatan Kodi.

Di desa ini terdapat kampung adat yang berdasar tradisi lisan masyarakat Kodi merupakan kampung pertama di Kodi. Namanya adalah Kampung Bukubani. Di sini, terdapat puluhan rumah adat dengan tanah luas di tengahnya. Biasnya, masyarakat menggunakannya untuk melaksanakan ritual. 

Di Kodi, masyarakat tampak belum begitu terjamah oleh modernitas. Semua hal masih tampak tradisional, terlihat dari rumah-rumah adat yang masih berdiri kokoh hingga tradisi dan agama lokal—marapu, yang masih lestari.

Sumba sendiri terkenal dengan kebudayaan megalitikum yang masih lestari sampai sekarang. Di sekeliling kampung, rumah adat, dan di halaman tengah terdapat susunan bebatuan alam yang merupakan makam. Masyarakat setempat menyebutnya kubur batu. Beberapa di antaranya tampak tua. Ternyata, makam tersebut merupakan makam dari leluhur pertama orang Kodi.

Pasola Sumba
Warga menonton pasola di Lamboya, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur via TEMPO/Seto Wardhana

Ini adalah pengalaman pertama saya tinggal bersama masyarakat Kodi dan melihat secara langsung beragam tradisi serta kebudayaan mereka. Nah, salah satu pengalaman yang cukup berkesan untuk saya yakni saat mengikuti perayaan nyale dan ritual pasola. Dua tradisi dan budaya ini Perayaan nyale dan ritual pasola adalah tradisi tahunan yang juga banyak menarik minat wisatawan. Keduanya, dilakukan oleh masyarakat Kampung Bukubani sebagai ungkapan syukur atas panen.

Perayaan nyale merupakan momentum saat orang-orang akan pergi ke pantai untuk menangkap nyale atau cacing laut. Nyale dipandang sebagai simbol berkat dan kesuburan. Pasola sendiri, merupakan sebuah permainan adat  yang menggunakan lembing kayu yang digunakan untuk menjatuhkan lawan dari kuda yang ditunggangi. Mirip seperti “peperangan” berkuda antara dua kubu. Konon ritual ini memang merupakan sarana untuk latihan perang karena pada waktu itu perang suku cukup sering terjadi. Tombak asli digunakan pada waktu itu sebelum akhirnya dilarang oleh kolonial Belanda dan menggantinya dengan lembing kayu. Pasola tahun ini diadakan pada tanggal 25 Februari.

Perayaan nyale dan ritual pasola di Kodi dimulai sejak pagi hari. Sebelum fajar orang-orang berbondong-bondong ke Pantai Bukubani untuk menangkap nyale. Melalui nyale rato (tetua adat dan pemimpin religius Marapu) dapat melihat dan memprediksi hasil panen yang akan didapat. Jika nyale cukup berisi dan banyak akan ada berkat yang melimpah dari panen. Sebaliknya jika nyale kurus dan sedikit akan menjadi pertanda buruk seperti kemarau panjang dan musim lapar. Nyale yang telah ditangkap kemudian akan dibawa pulang untuk dimasak dan setelah ritual pasola akan dimakan bersama para kerabat.

Pasola Sumba
Pengendara kuda melempar lembing dalam permainan tradisional suku Sumba “Pasola”, di Kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT) via TEMPO/Seto Wardhana

Pasola adalah saat dimana orang-orang keturunan Kodi akan pulang di manapun mereka berada. Entah di perantauan sedang menempuh pendidikan atau bekerja orang Kodi akan menyempatkan waktu pulang, bertemu dengan sanak saudara dan merayakan sekaligus melaksanakan pasola. Jadi pasola memang merupakan momen yang dinantikan. Saya merasa momen ini seperti tradisi mudik setiap kali lebaran.

Saat hari pelaksanaan ritual pasola, rumah-rumah di Kampung Bukubani dipenuhi oleh kerabat dan tamu baik dari kenalan ataupun wisatawan. Orang Kodi akan senang hati mengajak dan menerima tamu. Saat saya bertamu ke salah satu rumah di Kampung Bukubani, saya dijamu dengan sirih pinang dan kopi. 

Sirih pinang sendiri merupakan jamuan utama bagi orang Kodi ketika bertamu. Ketika pasola, sirih pinang juga akan ditaruh di beberapa kubur batu sebagai jamuan kepada para leluhur. Saat bertamu di Kodi, seseorang akan dianggap tidak sopan dan tidak akan mendapat berkah kalau tidak memakan sirih pinang. 

Rasa sirih pinang ini terbilang cukup memabukkan dan membuat pusing bagi saya dan mungkin orang yang tidak biasa memakannya. Maka kalau memang tidak kuat untuk memakannya sebaiknya kita meminta izin kepada tuan rumah untuk tidak memakannya.

Pagi menjelang siang sudah terdapat banyak sekali kuda di halaman Kampung Bukubani. Penunggang kudanya ada yang lelaki dewasa, remaja, bahkan anak-anak. Mereka menggunakan pakaian adat berupa sarung atau kain. Warnanya ada yang merah, orange, kuning hijau. Kemudian beberapa menggunakan semacam mahkota yang terbuat dari kain dan kulit kayu. 

Kuda-kuda dihiasi dengan potongan-potongan kain dan lonceng yang diikat di leher atau di kaki. Saat mengendarai kuda, orang Kodi menggunakan cara tradisional, tidak menggunakan pelana. Saat pasola akan dimulai dan para penunggang bersiap menuju lapangan pasola, para rato terlebih dahulu menyanyikan syair adat untuk mengundang leluhur dan meminta berkat selama jalannya pasola

Orang-orang yang berada di Kampung Bukubani berbondong-bondong pergi ke lapangan untuk menyaksikan pertempuran pasola. Di lapangan pasola sudah dipadati oleh banyak penonton. Jumlahnya ratusan lebih. Terlihat di pinggir-pinggir lapangan ada tenda-tenda kecil yang terbuat dari bambu dan terpal sebagai tempat untuk berjualan makanan dan minuman. Tribun kecil  juga sudah sesak oleh para penonton yang berdesak-desakan. Di tengah teriknya matahari orang berdesak-desakan ingin berada di paling depan untuk bisa jelas menyaksikan pasola, mereka sampai rela memanjat pohon, pagar dan berdiri di atas mobil serta kubur batu untuk mendapatkan pemandangan yang jelas.

Pasola Sumba
Pengendara kuda melempar lembing dalam permainan tradisional suku Sumba “Pasola”, di Kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT) via TEMPO/Seto Wardhana

Pasola dibuka oleh Rato Nale, para peserta masih belum melakukan aksinya yang gagah. Mereka seakan melakukan pemanasan terlebih dahulu dengan mengitari lapangan sambil sesekali melempar lembing. Kedua kubu akan bergantian melempar lembing. Ada yang membawa satu bahkan ada yang lebih. Seiringan dengan para penunggang kuda yang melempar lembing, penonton mulai ikut memanaskan acara dengan berteriak dan bersorak. Tak kalah seru para penunggang juga bersorak layaknya orang Indian di film barat. Melalui gestur dan sorakan itu penunggang menantang lawan supaya terpancing. Semakin lama para peserta mulai menyerang lawan secara bergantian dengan cepat. Sesekali kedua kubu beristirahat dan menurunkan tempo lalu menaikannya lagi. Ketika ada yang berhasil menjatuhkan lawan, penonton akan semakin bersemangat bersorak dan berteriak. Matahari semakin panas tapi antusiasme penonton tak kalah juga. 

Ketika ritual pasola, cedera atau pertumpahan darah tidak bisa dihindari. Masyarakat Kodi percaya percikan darah selama pasola mendatangkan kesuburan. Ketika matahari semakin terik terlihat kuda sudah mulai kelelahan dan mulai sulit dikendalikan. Pengendara yang jatuh bisa saja terinjak-injak oleh kuda. Cedera seperti patah tulang, cedera leher, kebutaan sering terjadi. 

Saya sendiri menyaksikan ada penunggang kuda yang melempar lembing dan mengenai mata lawannya. Lukanya tampak cukup parah. Katanya kematian pun bisa saja terjadi, tetapi jarang. Kalaupun ada, konon itu karena penunggang kuda sering melakukan perbuatan yang dilarang adat.

Pasola berlangsung sekitar 3–4 jam. Siang sekitar jam setengah satu acara pasola ditutup oleh Rato Nale. Hal yang unik, orang-orang yang terluka selama pasola tidak dibawa ke rumah sakit tetapi akan diobati secara tradisional oleh Rato. Dipercaya luka-luka tersebut bisa langsung sembuh selama 2–3 hari saja.

Setelah pasola, saya mampir ke Kampung Bukubani dan ikut makan bersama di sana. Tuan rumah membakar ayam yang ternyata itu juga dipersembahkan kepada leluhur. Harum ayam bakar dan nyale keluar dari dapur yang ada di tengah rumah. 

Di beberapa rumah sekitar juga terlihat kepulan asap yang keluar. Ada juga yang memotong babi untuk dibakar dan dimakan bersama. Seperti biasa sebelum dijamu dengan makan sirih pinang serta kopi adalah hidangan utama. Kemudian saya bersama tamu-tamu yang lain dijamu dengan ketupat-ketupat serta ayam dan nyale.Perayaan nyale dan pasola merupakan perekat relasi persaudaraan masyarakat Sumba, wisatawan, dan semua yang terlibat. Ketika selesai bertamu mereka akan sangat akrab mengingatkan kita “Jangan lupa datang lagi tahun depan semoga berkat dari Kodi sampai juga ke rumahmu.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menonton Tradisi Pasola di Kodi, Sumba Barat Daya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menonton-tradisi-pasola-di-kodi-sumba-barat-daya/feed/ 0 35313
Festival Bocah Dolanan: Gelaran Rakyat Desa Sumbung Boyolali https://telusuri.id/festival-bocah-dolanan-gelaran-rakyat-desa-sumbung-boyolali/ https://telusuri.id/festival-bocah-dolanan-gelaran-rakyat-desa-sumbung-boyolali/#respond Thu, 13 Oct 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35182 Perjalanan kali ini saya pulang ke kampung halaman di Boyolali. Lebih tepatnya di Desa Sumbung, Cepogo, Boyolali. Di lereng timur Gunung Merapi. Kepulangan saya kali ini karena teman sesama penggiat fotografi mengadakan festival di Hari...

The post Festival Bocah Dolanan: Gelaran Rakyat Desa Sumbung Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan kali ini saya pulang ke kampung halaman di Boyolali. Lebih tepatnya di Desa Sumbung, Cepogo, Boyolali. Di lereng timur Gunung Merapi. Kepulangan saya kali ini karena teman sesama penggiat fotografi mengadakan festival di Hari Anak Nasional.

Saya tiba-tiba jadi teringat lagu tahun 1990-an. Ada yang tahu penggalan lirik lagu “yo prokonco dolanan neng njobo, padhang wulan padhange kaya rina..” ini? Generasi era 80-an dan 90-an pasti masih ingat, termasuk judulnya. Lagu ini biasa dinyanyikan waktu sekolah, tidak jarang juga dinyanyikan ibu-ibu. Judul lagunya Padhang Bulan, lirik lagu ini menggunakan bahasa Jawa. Orang Jawa menyebutnya lagu lawasan. Orang tua saya sendiri masih sering menyanyikannya. Saya juga bisa menyanyikan, biasa mendengar orang tua menyanyikan lambat laun bisa menirukan. 

Festival Bocah Dolanan
Salah satu adegan epik dalam tari gugur gunung/Ibnu Rustamaji

Sanggar Anagata Merapi, Mula Bocah Dolanan Ada

Setibanya di Boyolali saya mendapat kabar bahwa festival di Desa Sumbung, bernama Festival Bocah Dolanan. Awalnya bingung, “Bocah Dolanan ini, apaan lagi?

Tanpa pikir panjang, kami langsung berangkat menuju lokasi festival. 

Kami kira acaranya berada di tengah Kota Boyolali, ternyata di lereng Gunung Merapi. Berbekal lokasi yang dibagikan oleh penyelenggara secara digital, kami tiba di sana. 

Sanggar Anagata Merapi, Desa Sumbung, Kecamatan Cepogo, Boyolali menjadi lokasi terselenggarakannya Festival Bocah Dolanan. Awalnya saya bingung dengan lokasi ini. Saya kira tempat tersebut merupakan sanggar seni, ternyata rumah pribadi yang dimodifikasi untuk sanggar dan perpustakaan desa. Pemilik rumah dan sang istri-lah penyelenggara Festival Bocah Dolanan ini.

Adalah Sarsito atau Mas Toji panggilan akrabnya, pemilik Sanggar Anagata Merapi. Mas Toji, rekan saya juga sesama penggiat fotografi. Sudah lama tidak bertemu Mas Toji sempat bercanda, “Tak kirain kamu itu pak bupati, Bro!” Langsung saya jawab “Pensiunan bupati, Mas.”

  • Festival Bocah Dolanan
  • Festival Bocah Dolanan
  • Festival Bocah Dolanan
  • Festival Bocah Dolanan
  • Festival Bocah Dolanan

Bocah Dolanan Berawal dari Tari Padhang Bulan dan Cublak-Cublak Suweng

Tanpa pikir panjang, saya langsung menuju ke keramaian anak-anak di halaman. Melihat situasi sanggar yang terpikirkan pertama di benak saya adalah betapa luar bisa hebat kegiatan ini, rumah dijadikan sanggar, bikin acara pula. Tengah asyik berbincang, tiba-tiba terdengar alunan musik Padhang Bulan. 

“Udah mau mulai ini, Mas?”

“Tidak ada pembukaan, apa penutupan. Ya ini apa adanya saja, cuma buat senang-senang.” Jawabnya.

“Kan ‘Bocah Dolanan’, mana ini kok sepi lagi?”

Ternyata mereka baru persiapan di halaman depan, yang juga jadi lokasi pertunjukan.

“Ini bukan pertunjukan, namanya saja Bocah Dolanan. Jadi ya begini Bro, cuma mainan bareng, alat-alat pun seadanya,” lanjut Mas Toji.

Apa yang ia katakan benar adanya. Acara Bocah Dolanan sejatinya aktivitas anak-anak bermain bersama teman sebaya. Ya sudah, saya di halaman saja, nonton sekalian mengabadikan foto mereka. Awalnya karena saya penasaran mereka mainan apa, sedikit mendekat ke mereka  siapa tahu boleh ikut. 

Mereka malah langsung riuh. Bukan karena kedatangan saya, tapi karena mereka terkejut sosok saya. “Masnya ini loh, kaget aku!” Padahal saya hanya diam di belakang mereka tanpa bergerak.

Keriuhan semakin menjadi, ketika lagu Padhang Bulan terdengar. Langsung, salah satu dari mereka tiba-tiba berteriak, “Ayo teman-teman, mainan di sini!” Disahut teriakan dua anak lainya, “Ayo!” Ternyata, mereka mau menari bersama diiringi lagu Padhang Bulan dan Cublak-Cublak Suweng. 

“Wah menarik ini, ternyata kalian itu mau menari to?” Benar, tanpa aba-aba mereka langsung menari. Memang masih terlihat kaku, tapi patut diapresiasi tinggi. Karena era modern saat ini, anak-anak bermain dan menari bersama sangat langka. Meskipun banyak yang tanpa pelatihan khusus, tetapi beberapa diantara mereka ada yang mempelajari di sanggar lain. 

Properti yang mereka pakai pun sangat sederhana, seperti mainan jaran kepang, topeng wayang, egrang bambu, egrang tempurung kelapa, dan tali karet untuk lompat tali. Ada juga penari dengan membawa tambir bambu dan tangga bambu, untuk pertunjukan.

Menariknya lagi bagi saya, di sini tidak ada yang menggunakan teknologi seperti handphone. Baik anak-anak maupun orang tua mereka yang menonton. Tidak jarang juga di antara mereka saling menertawakan satu sama lain. 

Ada yang tidak bisa, ditertawakan dahulu baru dibantu. Tetapi mereka tidak ada yang marah, malah saling mendukung. Loh kok, malah ditertawakan, dibantu dong!” Ternyata mereka menjawab “Lha aku, juga belum bisa kok, Mas!” Alhasil, kami pun tertawa lepas.

Festival Bocah Dolanan
Drumband pemuda Desa Sumbung Cepogo/Ibnu Rustamaji

Pagelaran Bocah Dolanan di Sanggar Anagata Merapi digelar hanya satu hari, tepatnya Jumat, 22 Juli 2022 yang lalu pukul 13.00 hingga 17.00 WIB. Selama pagelaran, ada empat kategori permainan. Pentas tari, drum band, permainan anak tradisional, dan mendongeng bersama Kak Mujadi. Semua peserta merupakan warga Desa Sumbung Cepogo Boyolali, hanya Kak Mujadi yang berasal dari luar desa.

Saat saya datang, hiburan yang berlangsung adalah anak-anak yang asyik bermain bersama. Mereka seakan tak terganggu kedatangan orang luar desa, malah sudah dianggap saudara jauh. Tidak jauh dari saya mengabadikan mereka, ternyata terpasang baliho acara. Karena terlalu asyik mengabadaikan mereka, saya akhirnya tersadarkan akan sesuatu.

Ternyata ada baliho besar, terpampang “Festival Bocah Dolanan, Dalam Rangka Hari Anak Nasional 2022”.

Saya terus membidik mereka melalui kamera, tidak semua anak-anak mau difoto. Sekira 30 menit setelah saya membaca baliho, halaman semakin riuh karena pengisi acara mulai berdatangan. Karena bukan pagelaran besar dan hanya untuk senang-senang, jadi urutan pentas tidak kaku.

Ada empat orang fotografer yang memotret mereka, salah satunya Mas Toji yang masuk ketika pertengahan pentas.

Pentas pertama anak-anak bermain dakon, egrang bambu dan egrang tempurung kelapa. Saya sempat bercanda dengan istri Mas Toji, untuk menyiapkan mainan kelereng. Tapi karena halaman tidak memenuhi syarat, alhasil permainan ini tidak jadi digelar.

Selesai mereka bermain egrang dan dakon bergantian, tibalah pentas berikutnya, pentas tari gugur gunung. Disela-sela pentas, muncul kejadian tak terlupakan oleh saya. Salah satu rekan fotografer meminta mengulang salah satu adegan, ketika anak penari perempuan berdiri di atas tangga.

“Bro, bisa diulang nggak ya yang tadi adiknya (penari perempuan), naik tangga. Bagus posenya, alami.”

Permintaan tersebut langsung diiyakan oleh Mas Toji.

Pengambilan gambar seperti yang diinginkan pun sukses. Ketiga penari pun tidak keberatan, dan senang menunjukan ke kami. Semua pengisi pentas terdiri dari anak-anak, umur 7-10 tahun.

Pentas selanjutnya tarian adik manis, saya menyebutnya. Karena, tarian dibawakan oleh seorang penari cilik berparas manis, sang ibu memandunya dalam setiap gerakan. Anak-anak lain menyaksikan dengan duduk melingkari sang penari. Harmoni, seni dan budaya, itu pesan yang disampaikan dalam tarian ini.

Pentas selanjutnya drum band, remaja Desa Sumbung yang membawakannya. Awalnya saya kira mau persiapan wayangan, ternyata juga tampil mengisi acara.

Semua pengisi acara patut diapresiasi. Bukan cuma karena berani tampil, mereka anak muda yang masih mampu dan mau mewarisi budaya dan adat istiadat desa setempat. 

Seperti pepatah, “Ada kota-ada desa, tidak ada desa-kota mati, dan tidak ada kota-desa masih bisa hidup.”

Selama saya di Sanggar Anagata Merapi, keramahan warga desa dan keriuhan anak-anak bermain memberikan arti berbeda. Gotong royong, rukun, mewarisi adat istiadat dan budaya terlihat jelas di keseharian mereka. Hal ini jarang saya temui di daerah lain khususnya di kota besar. 

Senja semakin menggelayuti, hawa dingin semakin menjadi. Tapi warga masih tetap antusias menemani anak mereka mendengarkan dongeng dari Kak Mujadi. Mungkin Kak Mujadi dan Kak Seto, memiliki karakter yang sama yakni senang dengan anak-anak. Anak-anak begitu antusias mendengarkan, tetapi beberapa di antaranya masih bingung dengan beberapa yel-yel dari Kak Mujadi.

Hari Anak Nasional, Harapan yang Terwujud

Harapan besar untuk warga Desa Sumbung dan Sanggar Anagata Merapi, Festival Bocah Dolanan rutin digelar setiap tahunnya. Bukan hanya untuk memperingati Hari Anak Nasional saja, tetapi mendidik anak sedari kecil agar tidak ketergantungan terhadap gawai. Supaya mereka dapat tumbuh dan berkembang seperti lumrahnya anak seusia mereka.

Hari Anak Nasional memang sudah berlalu, tapi bagi saya memperingatinya tidak cukup hanya satu tahun sekali. Masih banyak anak diluar sana yang membutuhkan, dan mereka tidak mungkin memperingati Hari Anak. Tinggal bagaimana aksi kita untuk membantu mereka, kedepannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Festival Bocah Dolanan: Gelaran Rakyat Desa Sumbung Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/festival-bocah-dolanan-gelaran-rakyat-desa-sumbung-boyolali/feed/ 0 35182
5 Destinasi Budaya ‘Memorable’ ala Jovita Ayu https://telusuri.id/5-destinasi-budaya-ala-jovita-ayu/ https://telusuri.id/5-destinasi-budaya-ala-jovita-ayu/#respond Tue, 23 Nov 2021 11:03:01 +0000 https://telusuri.id/?p=31413 Bagi para pejalan, menjelajahi tempat-tempat yang berkesan akan selalu meninggalkan memori; budaya, adat-istiadat, kuliner, hingga cinta yang mengikat seseorang dengan suatu tempat tertentu., pastinya hal ini sulit untuk dilupakan dan selalu ingin mengunjunginya berulang kali. ...

The post 5 Destinasi Budaya ‘Memorable’ ala Jovita Ayu appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi para pejalan, menjelajahi tempat-tempat yang berkesan akan selalu meninggalkan memori; budaya, adat-istiadat, kuliner, hingga cinta yang mengikat seseorang dengan suatu tempat tertentu., pastinya hal ini sulit untuk dilupakan dan selalu ingin mengunjunginya berulang kali. 

Jovita Ayu, sebagai travel influencer, juga memiliki destinasi-destinasi favoritnya yang selalu meninggalkan kesan mendalam.  Mengelilingi Indonesia dengan beragam destinasi, ada beberapa tempat yang menurutnya mempunyai kenangan tersendiri. Bagi Jovita kenangan dan kesan inilah yang membuat dia jatuh hati dan berniat untuk mengunjunginya kembali. Berikut adalah destinasi budaya yang memorable ala Jovita Ayu, kamu tertarik ke sana juga?

Prosesi Garebeg Besar di Keraton Ngayogyakarta
Prosesi Garebeg Besar di Keraton Ngayogyakarta via Yovita Amalia/TEMPO

Yogyakarta

Pernah dengar lagu KLA Project yang berjudul Yogyakarta? Penggalan liriknya yaitu: Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna. Kayaknya kita banyak yang setuju dengan lirik tersebut ya, Sob!

Menyusuri Yogyakarta, pasti kalian familiar dengan Malioboro. Jajanan murah dipadu dengan ragam kerajinan dan kaos khas Jogja, menikmati ragam bangunan tua dan hilir mudik orang yang lalu lalang adalah kekhasan dari Malioboro yang melegenda. Diujung Jalan Malioboro, kamu juga bisa mendapati Keraton Kesultanan Yogyakarta yang megah berdiri dengan lapangan yang luas atau mengunjungi tempat pemandian raja-raja di Tamansari. Yogyakarta sarat kenangan bagi banyak orang.

Danau Sentani
Danau Sentani via TEMPO/Punta Yoga

Sentani 

Sebuah distrik yang berada di Timur Indonesia, tepatnya di Jayapura ini memiliki danau paling ikonik yang juga dikenal dengan nama Danau Sentani. Danau yang memiliki 9360 hektare ini berada di lereng Pegunungan Cyclops, berada pada ketinggian 75 mdpl.

Danau Sentani dulunya merupakan pusat peradaban megalitikum, banyak ditemukan gerabah-gerabah yang diyakini sebagai dari sisa-sisa peninggalan Austronesia pada 3000 tahun silam. Balai Arkeologi Papua, seperti yang dilansir dari situs National Geographic mengungkapkan budaya pembuatan gerabah hanya ada di beberapa tempat di Papua, salah satunya adalah Kampung Abar di Sentani, tak jauh dari Situs Yomokho. 

Kota Bukittinggi
Kota Bukittinggi via TEMPO/Nita Dian

Bukittinggi

Menyibak dari sejarahnya, Bukittinggi pernah menjadi benteng pertahanan pada masa Hindia Belanda dengan nama Fort De Kock, pernah menjadi ibu kota negara kita juga nih pada masa pemerintahan darurat yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara. Bukittinggi memang kota yang dikelilingi oleh Gunung Marapi dan Gunung Singgalang, menjadikannya kota yang memiliki pemandangan yang menyejukkan.

Ikon kota ini tentu saja Jam Gadang yang didirikan pada tahun 1926, berada tepat di tengah Kota Bukittinggi. Jam setinggi 26 meter ini merupakan tempat favorit warga untuk bersantai dan berkumpul bersama keluarga. Selain itu, berdekatan dengan jam gadang, ada beberapa spot yang bisa dikunjungi seperti Lubang Jepang yang dahulunya adalah tempat pertahanan tentara Jepang yang dibangun dengan mengerahkan tenaga Romusha, konon panjang terowongan mencapai 1400 meter.

Ada lagi yang spot wisata sejarah yang dekat Jam Gadang adalah rumah kediaman Bung Hatta yang sekarang menjadi museum untuk mengenang salah satu tokoh proklamator bangsa tersebut.

Pantai Walakiri
Pantai Walakiri, salah satu pantai yang terkenal dengan pohon berdansa via Zulfikar Flickr/Aleksandri

Sumba Timur

Sumba Timur menghadirkan imaji bukit-bukit kecil layaknya di film-film fantasi. Dari savana sampai pantai pasir putih, Sumba Timur adalah tempat yang cocok untuk mencari petualangan.

Bukit Warinding salah satu destinasi yang harus masuk daftar untuk dikunjungi di Sumba Timur. Hamparan bukit-bukit yang berjajar; berwarna hijau ketika musim hujan dan coklat ketika kemarau, mengingatkan pada salah satu adegan di film Marlina Pembunuh dalam Empat Babak.

Berlanjut ke ujung pulau, kita bisa mendapati pantai-pantai yang menawarkan pasir putih beserta hembusan angin lembut yang akan menerbangkan topi. Banyak pantai yang tersedia sebagai pilihan seperti Pantai Tarimbang, Walakiri, Puru Kambera. Sumba Timur tidak akan pernah membuatmu bosan akan pilihan alamnya!

Kota Tua Jakarta
Kota Tua Jakarta via TEMPO/Hilman Fathurrahman

Kota Tua Jakarta

Bagi orang-orang sekitaran Jabodetabek, mungkin sudah sering berkunjung ke Kota Tua Jakarta. Tempat bersejarah yang sering dijadikan orang-orang ibukota untuk  bersantai di akhir pekan. Salah satu ikon kota tua yang sering dijadikan orang untuk swafoto adalah Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah dulunya adalah bekas gedung balai kota yang dibangun pada 1707.

Sepanjang perjalanannya, gedung ini pernah juga dipakai oleh Jepang sebagai kantor logistik. Sekarang, pemanfaatan gedung ini adalah museum sejarah yang menceritakan perjalanan Jakarta dari masa Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, dan Jakarta.

Sekitaran wilayah Kota Tua juga terdapat berbagai museum lainnya seperti Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Wayang, Museum Bahari, Museum Mandiri, dan Museum BI. Kita bisa menyewa sepeda di sekitaran halaman untuk berkeliling sejenak. Menikmati kudapan tradisional yang dijual sekitar Kota Tua, menikmati kanal buatan Belanda yang sudah direvitalisasi. Sebagai maskot Batavia pada jaman kolonial, Kota Tua Jakarta menawarkan sensasi berkelana ke masa lalu dengan gedung-gedung tua yang masih dirawat dengan baik.

Tempat mana di Indonesia menurut kamu yang meninggalkan kesan mendalam ketika jalan-jalan? Apakah pilihan kamu sama dengan yang Jovita pilih?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post 5 Destinasi Budaya ‘Memorable’ ala Jovita Ayu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/5-destinasi-budaya-ala-jovita-ayu/feed/ 0 31413