bukit kaba Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bukit-kaba/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 29 Jun 2023 08:29:32 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 bukit kaba Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bukit-kaba/ 32 32 135956295 Jagat Sekala dan Niskala Bukit Kaba (2) https://telusuri.id/jagat-sekala-dan-niskala-bukit-kaba-2/ https://telusuri.id/jagat-sekala-dan-niskala-bukit-kaba-2/#respond Wed, 12 Apr 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38249 Kami keluar dari hutan. Perlahan, cahaya tak lagi tertutup kanopi. Di batas ini, vegetasi berubah drastis. Tiada lagi pohon-pohon besar, tak ada lagi liana. Bentang alam kini didominasi punggung-punggung bukit, bebatuan, paku-pakuan, dan pandan-pandan raksasa....

The post Jagat Sekala dan Niskala Bukit Kaba (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami keluar dari hutan. Perlahan, cahaya tak lagi tertutup kanopi. Di batas ini, vegetasi berubah drastis. Tiada lagi pohon-pohon besar, tak ada lagi liana. Bentang alam kini didominasi punggung-punggung bukit, bebatuan, paku-pakuan, dan pandan-pandan raksasa.

Kami melewati tenda para pendaki. Sebuah warung di sisi kanan jalan menjual makanan ringan dan kopi untuk para wisatawan. Saya baru ingat, Bukit Kaba memiliki dua jalur, satu menembus hutan—yang kami lewati—sedangkan rute lainnya lebih landai dan bisa dilintasi sepeda motor. Barangkali para pedagang lewat jalan itu. 

  • Bukit Kaba
  • Bukit Kaba

Tanah terus menanjak. Udara terasa lebih dingin karena tempat ini terbuka. Angin dengan bebas memukul kulit. Kami terus naik, mencari tanah datar untuk beristirahat. Setelah menemukan tempat yang cocok, kami berhenti. Tenda dibentang, kompor dinyalakan, air dijerang, kami pun selonjoran.

Kami berada di ketinggian Curup. Dari atas sini, Danau Mas Harun Bastari tampak kecil di bawah sana. Kabut merayap. Gumpalan asap putih bangkit perlahan dari kawah. Ia tengah menghembuskan napasnya. 

Kami kembali melangkah, menapaki kerikil yang berserakan. Daun-daun pandan menari dipukul angin. Bunga-bunga senggani menjelma titik-titik putih di tengah lanskap hijau. Suhu udara turun, bisa saya rasakan perubahannya yang menggigit. Saya kenakan jaket yang sejak tadi tersimpan dalam ransel. 

Bukit Kaba memiliki beberapa tempat menarik di puncaknya. Ada kawah hidup, kawah mati, dan Bukit Gajah. Ada pula danau yang menjadi tempat favorit para pendaki mendirikan tenda. Sayang sekali, karena kaki kami masih harus berjuang turun nanti sore, rasanya kami hanya bisa mengunjungi kawah hidup. Jalur terus menanjak hingga kami tiba di tangga sewu.

Bukit Kaba
Meniti tangga sewu/Asief Abdi

Entah bagaimana, tapi orang lokal memang menyebutnya demikian. Sewu adalah bahasa Jawa yang artinya “seribu.” Sejenak saya berpikir apakah benar saya sedang berada di Sumatra?—kelak saya tahu bahwa warga sekitar Bukit Kaba banyak berasal dari Jawa. Saya makin yakin karena desa di sekitar kaki gunung bernama Sumber Urip.

Tangga itu menjulang di hadapan kami, layaknya stairway to heaven. Kami menitinya untuk mencapai bibir kawah. Seorang teman menceritakan kisah bahwa jumlah anak tangga itu akan selalu berubah ketika dihitung saat naik dan turun. “Coba saja hitung,” katanya. Saya hanya tersenyum. Cerita soal jumlah anak tangga yang berubah-ubah sudah berulang kali saya dengar di berbagai tempat.

Sesekali kami berhenti. Angin bertiup. Beruntung aroma belerang tak menyerang. Baunya samar-samar. Sesekali kami berhenti. Merokok, minum, dan makan camilan. Kami melangkah lagi hingga tiba di anak tangga terakhir. Kami tiba di bibir kawah. Sebaris pagar membatasi para pengunjung agar tak terlalu dekat dengan kaldera vulkanik itu. 

Di dasar lubang, gumpalan asap putih naik ke udara. Kawah itu hidup. Demikian pula mite yang melingkupinya. Legenda yang hingga kini masih diyakini orang-orang. Kisah-kisah tak lazim, yang menjaga manusia tetap takzim kepada alam.

Bukit Kaba
Kawah hidup dan belerangnya/Asief Abdi

Seperti gunung-gunung pada umumnya, tempat ini juga tak lepas dari mite. Beberapa orang sesekali melakukan ritual bayar nazar di puncaknya. Mereka percaya itu mustajab. Jika janji tersebut terwujud, mereka akan membayarnya dengan melepas sepasang burung dara atau menyembelih kambing sebagai persembahan.

Dalam berbagai kebudayaan, gunung memang seringkali dikaitkan dengan tempat suci. Seperti orang Jawa mengenal Mahameru sebagai singgasana para dewa. Suku Masai di Afrika menyebut puncak Kilimanjaro sebagai ngaje ngai yang berarti “rumah tuhan”. Musa bertemu Tuhan di Gunung Sinai. Begitu juga Zeus yang bertahta di Olympus. Gunung tampaknya selalu diasosiasikan dengan entitas tertinggi, tuhan, dewa, hyang, atau apa pun sebutannya.

Bukit Kaba dianggap mistis. Bahkan, ada yang meyakininya sebagai tempat paling angker di Bengkulu. Selain menjadi rumah bagi hewan dan tumbuhan, gunung ini kabarnya juga dihuni makhluk tak kasat mata. Bangsa lelembut diyakini mendiami puncaknya. Malim Bagus dan Elang Berantai adalah dua sosok penunggu puncak Bukit Kaba. Beredar pula mite Muning Raib—konon adalah Malim Bagus—yang hingga kini masih menjadi momok bagi warga Dusun Curup, salah satu daerah di sekitar bukit.

Legenda Muning Raib adalah cerita hilangnya Muning, seorang bujang asal Dusun Curup, di Bukit Kaba. Dikisahkan, pemuda itu bersemedi di puncak bukit. Layaknya Arjuna yang didatangi bidadari saat bertapa, ia juga dihampiri sosok dewi tak kasat mata. Ada juga versi lain yang mengatakan bahwa anak muda itu bandel hingga diusir ayahnya dan minggat ke Bukit Kaba dengan membawa seruling kesayangannya. Di bukit itu, ia duduk dan memainkan serulingnya. Meniupnya dengan sepenuh hati. Melodi-melodi indah pun terdengar oleh sang dewi. Singkat cerita, mereka berdua akhirnya jatuh cinta.

Bukit Kaba
Menengok kawah dari tepian tebing/Asief Abdi

Suatu saat, si pemuda hendak kembali ke kampungnya. Sang dewi mengizinkannya, namun dengan satu syarat, yaitu orang-orang dusun tidak boleh memasak lema—makanan tradisional suku Rejang, terbuat dari rebung yang difermentasi—dan pakis saat hajatan. Muning mengiyakan permintaan kekasihnya. Ia pun pulang, kembali menjalani hidup seperti sedia kala. Setidaknya sampai hari itu tiba.

Sebuah hajatan digelar, orang-orang lupa. Mereka memasak lema dan pakis, lalai terhadap pantangan itu. Seperti janjinya, sang dewi datang dan membawa Muning kembali ke Bukit Kaba. Orang-orang dusun menyusulnya ke sana, mencarinya ke mana-mana. Namun tak ada gunanya mereka meneriakkan nama, pemuda itu telah pindah dunia. Muning telah raib—muning dalam Bahasa Rejang berarti “buyut.”  

Hawa semakin dingin seiring dengan tergelincirnya matahari ke sisi barat. Sesekali, angin bertiup kencang. Selagi teman-teman mengobrol, saya menengok ke sekeliling, kalau-kalau saya melihat sesuatu yang tak biasa. Akan tetapi, tak ada sang dewi, Muning, atau Elang Berantai. Tentu saja, mereka tak kasat mata. Namun, saya berharap, dalam eksistensinya sebagai entitas maupun mite, mereka tetap menjaga tempat ini. Melindunginya dari keserakahan manusia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jagat Sekala dan Niskala Bukit Kaba (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jagat-sekala-dan-niskala-bukit-kaba-2/feed/ 0 38249
Jagat Sekala dan Niskala Bukit Kaba (1) https://telusuri.id/jagat-sekala-dan-niskala-bukit-kaba-1/ https://telusuri.id/jagat-sekala-dan-niskala-bukit-kaba-1/#comments Tue, 11 Apr 2023 11:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38248 “Dewi pulang ke Bukit KabaMuning Raib ikut sertaDikatakanlah sampai sekarangCerita dahulu di dusun tuaKalau bujang dan gadis tidak mau celakaJangan pergi ke Bukit Kaba.” Muning Raib, lagu daerah Rejang Pada masa lalu, jauh sebelum anak-anak...

The post Jagat Sekala dan Niskala Bukit Kaba (1) appeared first on TelusuRI.

]]>

“Dewi pulang ke Bukit Kaba
Muning Raib ikut serta
Dikatakanlah sampai sekarang
Cerita dahulu di dusun tua
Kalau bujang dan gadis tidak mau celaka
Jangan pergi ke Bukit Kaba.”

Muning Raib, lagu daerah Rejang

Pada masa lalu, jauh sebelum anak-anak muda menggandrungi aktivitas pendakian dan meromantisasinya, para leluhur memaknai gunung dengan cara berbeda. Bukannya merangkai kata-kata bijak, mereka justru menganggap gunung sebagai tempat keramat. Tinggi dan suci, gunung diselimuti berbagai mite yang kadang masih membuat bulu kuduk pendaki merinding.

Sinar matahari terasa lembut di tengah udara dingin Curup, sebuah kota kecil di Bengkulu. Setelah digempur hujan selama beberapa hari, kami cukup beruntung pagi itu cerah. Zulni menjemput saya dengan mobilnya. Kami meluncur melewati jalanan kota yang tak terlalu ramai, meliak-liuk di gang-gang sempit, menjemput Oka di sebuah sudut kota. Kami hendak mendaki Gunung Kaba, sebuah gunung berapi aktif, atau yang lebih populer dikenal sebagai Bukit Kaba.

Lalu lintas kota lengang. Mobil meluncur tanpa hambatan berarti. Zulni memutar lagu Jawa yang ia sendiri tak mengerti artinya. Jalanan berkelok saat kami keluar area kota. Jalur di Sumatra penuh liku, tanjakan, dan turunan. Lepas Simpang Nangka, kami menuju Kecamatan Selupu Rejang, basecamp pendakian Bukit Kaba.

Bukit Kaba
Selamat datang di Bukit Kaba/Asief Abdi

Toyota Vios tua kami kewalahan di jalan menanjak. Beberapa kali, mesin mobil mati, takluk pada tanjakan yang coba kami lalui. Dengan cekatan, Zulni memundurkan mobil beberapa meter, memasang ancang-ancang maju, kakinya memberi lebih banyak tenaga pada mobil. Syukurlah, kami berhasil melintas.

Basecamp tampak ramai. Di area parkir, para pengunjung berdatangan. Saya baru ingat hari ini adalah akhir tahun. Sudah pasti banyak orang yang hendak merayakan malam pergantian tahun di puncak. Simaksi beres, mobil terparkir sempurna, kami melangkah ke pintu rimba.

Bukit Kaba
Menapaki jalur pendakian/Asief Abdi

Belantara Sumatra menyambut kami. Riuh rendah suara penghuninya terdengar dari berbagai penjuru. Lolongan siamang, cicit burung, dan derik serangga. Sesekali saya melihat beruk berlompatan di antara reranting yang silang sengkarut.

Kami berpapasan dengan beberapa pendaki. Di antaranya yaitu Bagus dan Dedek yang katanya dari Mukomuko—sebuah kabupaten di Bengkulu. Dalam sekejap, kami menjadi satu rombongan. Berbeda dengan kami, mereka berdua hendak bermalam di atas. 

Berkemah di gunung memang menyenangkan, tapi kami tak punya banyak waktu, jadi kami putuskan untuk tektok—sebutan para pendaki untuk pendakian bolak-balik sehari. Saya baru tahu kalau di sini para pendaki tidak menggunakan istilah itu, melainkan balik hari atau hiking. Bukit Kaba memiliki ketinggian 1937 mdpl, tak terlalu tinggi dan bisa ditempuh lebih kurang tiga jam perjalanan dari basecamp.

Sepanjang pendakian, kami berhenti beberapa kali. Selagi lainnya minum, makan camilan, atau merokok, saya menengok sekitar. Ini pengalaman pertama saya menginjak tanah Sumatra dan memasuki rimbanya. Mata saya dimanjakan oleh berbagai bentuk hidupan liar di sekeliling.

Belantara Sumatra benar-benar sehidup yang dituliskan Mochtar Lubis dalam novelnya, Harimau! Harimau! Saya pun teringat sesuatu dan bertanya apakah hutan ini ada harimaunya. ”Wah, mending jangan ngomongin itu, Bang,” jawab Oka. Belakangan saya mengetahui bahwa tabu bagi orang Rejang menyebut hewan itu di hutan—mereka menyebutnya nieniek atau sebie yang artinya “nenek”. Terlebih, beredar mite bahwa gunung ini dihuni Sebie Bujang Tunggal, sesosok harimau siluman. Saya tidak tahu jawaban Oka itu praktis atau mistis.

Suara burung takur terdengar. Saya mendongak, mencoba menemukan makhluk berbulu hijau itu, tapi pepohonan terlalu rapat. Tak hanya takur, banyak pula bunyi burung-burung lainnya yang tidak saya kenali. Ternyata, pada 1999, Bukit Kaba sempat dinyatakan sebagai Important Bird Area (IBA), yang menjadi suaka bagi berbagai jenis burung. Selain itu, gunung ini juga menjadi habitat Rafflesia, bunga bangkai ikonik Bengkulu. Namun, sayang sekali, tampaknya saat ini, Bukit Kaba tidak bisa lagi melaksanakan misi ekologis itu.

Bukit Kaba
Punggung-punggung Bukit Kaba/Asief Abdi

Rupanya, tak hanya para pemilik modal yang menggerogoti tubuh Sumatra. Dilansir dari sebuah situs berita nasional, beberapa kawasan hutan gunung ini rusak akibat perambahan yang dilakukan oleh warga. Mereka membuka lahan di area konservasi. Zona perlindungan itu dirusak dan dibuka menjadi perkebunan kopi. Tak heran jika tempat ini tak lagi bisa menjalankan fungsi alaminya sebagai surga bagi beragam hidupan liar, daya dukung lingkungannya merosot. Sepanjang pendakian, saya menengok sekeliling dan tak ada Rafflesia. Namun saya sudah cukup puas dengan beberapa jenis anggrek liar.

Berbagai jenis paku dan anggrek bergelantungan, menyapa para pendaki dari batang-batang pohon, melambai layaknya lengan-lengan peri. Di beberapa tempat, pohon tumbang—tampaknya diterpa badai. Batangnya yang melintang di tengah jalur memaksa para pelintas menunduk atau melangkahinya. Di beberapa titik, jalan benar-benar nyaris vertikal. Kami harus hati-hati memilih pijakan, hujan membuat tanah yang kami jejak licin. Setiap langkah harus diperhatikan. Beberapa kali saya harus berpegangan pada liana yang menjalar di mana-mana.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jagat Sekala dan Niskala Bukit Kaba (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jagat-sekala-dan-niskala-bukit-kaba-1/feed/ 3 38248