bukit rimbang bukit baling Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bukit-rimbang-bukit-baling/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 17 Sep 2024 16:18:59 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 bukit rimbang bukit baling Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bukit-rimbang-bukit-baling/ 32 32 135956295 Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara https://telusuri.id/sepasang-mata-piyau-dari-urusan-rumah-tangga-sampai-asmara/ https://telusuri.id/sepasang-mata-piyau-dari-urusan-rumah-tangga-sampai-asmara/#respond Tue, 19 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40605 Hubungan masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling dengan piyau sedekat urat nadi yang mengalirkan oksigen dan nutrisi ke tubuh mereka. Hidup mati bergantung pada lembaran-lembaran kayu dan mesin tempelnya. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan...

The post Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara appeared first on TelusuRI.

]]>
Hubungan masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling dengan piyau sedekat urat nadi yang mengalirkan oksigen dan nutrisi ke tubuh mereka. Hidup mati bergantung pada lembaran-lembaran kayu dan mesin tempelnya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Subayang, baik di dalam maupun luar kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling sangat bergantung pada piyau untuk mobilitas setiap harinya/Mauren Fitri

Dalam satu hari, nyaris tidak terhitung piyau hilir mudik melintasi Sungai Subayang. Sungai ini menjadi ruh utama akses masyarakat keluar masuk kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling. Dari Gema, ibu kota Kecamatan Kampar Kiri Hulu, menuju Pangkalan Serai, desa paling hulu. Begitu pun sebaliknya.

Sebagai satu-satunya alat transportasi, piyau telah “makan asam garam” di Sungai Subayang. Piyau menjadi tumpuan warga mencari ikan, berbelanja kebutuhan rumah tangga, pelesir atau berobat ke pusat kecamatan, hingga mengangkut bahan-bahan bangunan untuk membuat rumah di kampung.

Risiko terbesar yang mereka hadapi adalah kondisi perairan Sungai Subayang bisa berubah-ubah tergantung cuaca. Tidak bisa diprediksi. Jika air terlalu pasang, piyau rawan terhantam batu atau batang pohon yang tidak terlihat karena warna air sedang keruh kecokelatan. Biasanya terjadi saat puncak musim hujan Desember—Januari. Sebaliknya, jika terlalu surut atau dangkal, piyau yang membawa beban terlalu berat akan kandas.

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Piyau melintas di Sungai Subayang. Tampak jelas gradasi warna yang menunjukkan perbedaan kedalaman sungai. Seorang motoris harus mampu mengendalikan piyau ketika melewati jalur sungai yang dangkal dan berarus/Deta Widyananda

Tidak hanya saat keperluan belanja, sekolah, atau aktivitas lainnya, tetapi kondisi tersebut juga berisiko tinggi pada masyarakat yang berada dalam darurat kesehatan dan membutuhkan penanganan medis segera. Seorang ibu yang sedang hamil tua akan mengalami kegawatan jika sungai sedang banjir dan arus terlalu deras, sehingga tidak bisa dibawa ke ibu kota kecamatan.

Di sisi lain, jauhnya jarak antardesa dengan pusat kecamatan menyebabkan tingginya ongkos perjalanan piyau. Seumur hidup Ajis Manto atau Datuk Pucuk (55), ninik mamak Desa Tanjung Beringin pun tak luput dari pengalaman dengan piyau. Utamanya ketika hendak membangun tempat tinggal di kampung. Masyarakat di dalam kawasan harus pergi ke Gema, ibu kota Kecamatan Kampar Kiri Hulu, jika ingin berbelanja bahan bangunan.

“Untuk membuat satu rumah sederhana di Tanjung Beringin,” katanya, “tak terhitung [berapa kali] bolak-balik Gema.”

Meskipun proses pembangunannya tidak sampai satu tahun, biayanya amat tinggi. Menurut Datuk Pucuk, “Yang [bikin] mahal [karena] ongkos transportasinya, [biaya satu rumah] bisa dua kali lipat dari [bangun rumah] di Gema. Kalau di Gema cuma butuh 20 juta, di Tanjung Beringin bisa 40 juta.”

Sebagai gambaran, jarak dari Gema ke Tanjung Beringin sekitar 17—18 kilometer. Waktu tempuhnya dua jam. Makin ke arah hulu, ongkos minyak dan jasa motoris makin mahal. Jika nekat, satu piyau mampu mengangkut delapan sak semen dengan total bobot 400 kilogram.

Lika-liku masyarakat menjalani keseharian di Bukit Rimbang Bukit Baling juga dialami Teguh Ahmad Riyadi (22). Dia adalah motoris piyau yang membawa TelusuRI selama liputan di kawasan tersebut. 

Tidak semua orang bercita-cita jadi motoris

Pertemuan dengan Teguh, sapaannya, bisa dibilang sebagai takdir. Ketika hendak berangkat dan masuk kawasan, tidak banyak motoris yang bisa mengantar karena sudah memiliki agenda lain. 

Sampai akhirnya Indra Rius (30), dubalang muda Tanjung Belit, menemukan satu kenalannya yang tinggal di Desa Gema. Orang itu adalah Teguh, pemuda asal desa hulu, Pangkalan Serai. 

Meskipun masih muda, Teguh cukup berpengalaman. Ia sudah belajar menjadi motoris sejak kelas 2 SMP. Sebagai orang dari daerah hulu yang jalurnya terkenal sangat sulit, penuh jeram deras, dan banyak batu, bisa dibilang ia cukup mumpuni membawa piyau bermesin Kohler 15 PK milik Indecon yang kami pinjam. Seorang fasilitator Indecon, Astin, turut menyertai selama peliputan di Tanjung Belit, Batu Songgan, Tanjung Beringin, dan Terusan.

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Teguh, motoris muda asal Pangkalan Serai, dengan gaya santai dan tenang mengantar tim TelusuRI selama liputan di desa-desa dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling/Mauren Fitri

Sepanjang perjalanan menyusuri Sungai Subayang, memang beberapa kali sempat terjadi insiden menegangkan. Misalnya, sempat kandas di perairan Batu Songgan, nyaris terbalik di Aur Kuning, atau menyerempet tebing di dekat Gajah Bertalut. Penyebab utamanya karena arus kencang. Namun, Teguh mampu mengendalikannya dengan baik.

Putra dari Zamris dan Areni itu punya pengalaman romantis dengan piyau. Kisahnya terjadi sudah cukup lama, kira-kira sebelum kepindahan keluarganya dari Pangkalan Serai ke Gema beberapa tahun lalu. Cerita ini ia sampaikan ketika TelusuRI sedang menginap di Tanjung Beringin.

“Dulu mantanku orang Tanjung Beringin,” katanya.

Namanya anak muda zaman sekarang, Teguh dan sang mantan pun pernah mengalami enaknya pacaran. Namun, berbeda dengan anak-anak di kota, Teguh tidak mungkin berjumpa dengan pacarnya untuk nge-date dengan sepeda motor. Satu-satunya jalan penghubung antardesa di Bukit Rimbang Bukit Baling adalah Sungai Subayang. Satu-satunya alat transportasi yang dipakai adalah piyau.

Dari dua kesempatan nge-date dengan piyau, ada satu yang paling berkesan buat Teguh. Ia pernah secara sengaja menyempatkan diri mampir ke Tanjung Beringin. Idenya mengajak sang pacar jalan-jalan naik piyau ke salah satu pulau di sekitar Sungai Subayang.

Mereka pun pergi ke pulau tersebut. Berdua saja. Konsepnya memang serupa piknik. Selepas perahu ditambatkan ke batang pohon, Teguh mencari ikan sungai lalu membakarnya untuk disantap bersama-sama. Bayangkan suasana syahdu seperti ini. Menikmati waktu dengan orang terkasih, ditemani kecipak air sungai yang jernih, di tengah hutan belantara pula. 

Sayang, keindahan hubungan keduanya tidak bertahan lama. Namanya juga anak muda. Kami sempat berasumsi, jangan-jangan pengalaman itu pula yang membuat Teguh akhirnya enggan mencari uang dengan menjadi motoris piyau sepenuhnya.

Namun, ternyata ia punya jawaban lain, “[Saya] mulai meninggalkan dunia motoris, karena risikonya besar.”

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Raut lega Teguh ketika sudah keluar kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Di hari itu, sempat terjadi insiden menegangkan. Di perairan Sungai Subayang yang berarus deras dan dangkal dekat Batu Songgan, ia menceburkan diri dan menahan laju piyau agar tidak menabrak tebing dan piyau lain dari arah berlawanan/Rifqy Faiza Rahman

Teguh cukup kenyang dengan pengalaman tenggelam, tabrakan, mengalami luka, dan kehabisan minyak [bahan bakar] di tengah perjalanan dengan piyau. Ia merasa keahliannya sudah cukup dan hanya akan menjadi motoris untuk keluarganya saja. Alasan lain adalah karena seluruh keluarganya sudah pindah rumah di Desa Gema. Paling hanya satu atau dua kali dalam setahun mereka akan pulang kampung ke hulu. 

“Untuk ke depannya sih, pengin bikin rumah sendiri di Gema. Terus buka usaha sendiri, seperti kedai grosir [sehingga] yang dari atas [Bukit Rimbang Bukit Baling] bisa belanja ke rumah,” angan Teguh.

Mengenal sekilas Bogok, seniman piyau legendaris

Kisah-kisah unik yang berkaitan dengan piyau, tentu tidak lepas dari peran piyau itu sendiri dan sosok pembuatnya. Dari cerita Teguh, diketahui sebenarnya ada tiga desa pengrajin piyau di dalam kawasan Bukit Rimbang Bukit Baling. Namun, ia mengakui jika pengrajin yang terbaik dari yang terbaik ada di Desa Terusan. Di desa ini pelopor pembuatan kerajinan piyau adalah Nasaruddin atau Bogok (63). Ia merupakan salah satu dari tiga pengrajin di Terusan, yang tidak lain masih terhitung kerabatnya juga.

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Bogok sedang mengerjakan pesanan piyau di tempat kerjanya, Desa Terusan, kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Ia memotong balok kayu dengan senso untuk dijadikan bilah-bilah papan, sebelum direkatkan menjadi lambung atau badan piyau/Deta Widyananda

“Saya [mulai] membikin piyau tahun 1978,” kata Bogok, “yang mengajarkan kakek saya. Namanya Nenan.” Kini ia masih produktif bekerja membuat piyau, dibantu oleh putra menantunya, Atur dan cucunya, Reinaldi. 

Bogok memproduksi piyau berdasarkan pesanan. Ukurannya juga tergantung jenis mesin tempel yang akan dipakai sebagai sumber tenaga kemudi oleh pemesan. Di kalangan masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling, ada dua jenis piyau yang populer dan dikategorikan berdasarkan merek mesin tempelnya, yakni Robin dan Johnson. Meski sekarang kedua merek tersebut tidak lagi “monopoli” kancah permesinan kapal karena sudah ada alternatif lain, masyarakat masih sering menyebut namanya.

Piyau jenis Robin dengan kapasitas tenaga mesin di bawah 20 PK, atau mengacu ukuran standar Bogok berukuran panjang 8,5 meter, bisa mengangkut 3—5 penumpang. Di luar barang bawaan. Beban maksimalnya 300 kilogram. Bogok menjualnya di kisaran 5—6 juta rupiah. Meskipun daya tampungnya kecil dan lambat, piyau Robin lebih lincah saat melewati arus atau jeram di antara bebatuan. 

Sedangkan piyau Johnson berukuran lebih panjang dan lebar. Bisa mengangkut lebih banyak orang. Harganya berkisar 8—12 juta rupiah. Meski kapasitas mesinnya besar—mencapai 25 PK—dan lebih cepat, piyau Johnson tidak selincah Robin saat melewati jalur sempit dan dangkal. Biaya pembuatan kedua jenis piyau tersebut belum termasuk pemasangan aksesoris tambahan, seperti atap atau kursi.

Menurut Bogok ada sejumlah jenis kayu yang bisa dijadikan bahan baku piyau, antara lain medang, kempas, punjung, dan meranti. “Yang paling bagus medang,” katanya. Biasanya Bogok mengambil bahan kayu dari dalam hutan di sekitar Desa Terusan. Ia membutuhkan setidaknya enam sampai delapan batang kayu untuk satu piyau Robin. Namun, jika kesulitan bahan, ia mencari dan membeli kayu dari luar kawasan seharga Rp2,5 juta untuk membuat satu piyau. Dalam sebulan Bogok bersama menantu dan cucunya mampu membuat 2—4 piyau. Artinya, setiap piyau bisa selesai dalam waktu satu minggu.

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Bentuk dasar lambung piyau yang hampir jadi. Sehari-hari Bogok bekerja dibantu menantunya (paling kiri) dan cucunya (tengah). Piyau buatan Bogok terkenal berkualitas karena pilihan kayu, kerapian pahatan, dan daya tahannya terhadap air maupun benturan/Deta Widyananda

Usia pemakaian piyau tergantung perawatan. Rata-rata satu piyau bisa awet setidaknya 3—4 tahun, karena bagusnya kualitas kayu yang tahan air dan benturan. Walau terkadang belum sampai dua tahun mereka akan ganti piyau baru. 

Salah satu ciri khas piyau buatan Bogok adalah motif garis tegas di bagian lambungnya. Seperti ada goresan dalam dan diberi pewarna cat. Selain itu yang paling menarik adalah ornamen di bagian kepala atau disebut pompang. Seolah menjadi sepasang mata piyau ketika berjalan memecah arus sungai. Ukirannya menunjukkan karakteristik budaya Kenagarian Terusan. Desa pengrajin piyau lainnya juga memiliki ornamennya sendiri.

Menanggapi produksi piyau yang menggunakan bahan baku kayu dari hutan, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (BBKSDA) Riau, Genman Suhefti Hasibuan, S.Hut, M.M. (50) mengatakan, “Sepanjang piyau diproduksi secara tradisional untuk alat transportasi masyarakat yang ada di sana, maka hal tersebut dimungkinkan.”

Pihaknya terus berusaha melakukan pendekatan sosialisasi dan edukasi ke masyarakat pengrajin piyau. Sembari terus meminta dan mengawasi agar tidak sampai terjadi komersialisasi skala besar dan mengirim bahan baku ke luar kawasan.

Saat ini BBKSDA Riau sedang bekerja sama dengan lembaga masyarakat sipil, untuk mengatur kembali tata kelola blok khusus 17.348,50 hektare yang bisa digunakan masyarakat kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Termasuk memuat ketentuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. (*)


Foto sampul:
Piyau-piyau milik warga bersandar di pulau berbatu di pinggiran Sungai Subayang, Desa Tanjung Belit, Kampar, Riau/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sepasang-mata-piyau-dari-urusan-rumah-tangga-sampai-asmara/feed/ 0 40605
Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin https://telusuri.id/hidup-dikandung-adat-di-tanjung-beringin/ https://telusuri.id/hidup-dikandung-adat-di-tanjung-beringin/#respond Mon, 18 Dec 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40581 Selama ratusan tahun, norma adat menjadi acuan hidup turun-temurun masyarakat Tanjung Beringin. Pelestarian tradisi di masa depan jadi tantangan. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Sebagai salah satu desa di kawasan Suaka...

The post Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin appeared first on TelusuRI.

]]>
Selama ratusan tahun, norma adat menjadi acuan hidup turun-temurun masyarakat Tanjung Beringin. Pelestarian tradisi di masa depan jadi tantangan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


  • Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin
  • Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin

Sebagai salah satu desa di kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling, topografi kampung Tanjung Beringin cukup unik. Posisinya berada di sudut siku belokan ke arah hulu aliran Sungai Subayang. Di muka gapura desa, terhampar pulau penuh batu yang saat surut terlihat jelas. Menjadikan jalur piyau menyempit hampir sepertiganya. 

Perkampungan Tanjung Beringin terbagi menjadi dua lokasi. Kawasan paling padat terletak di sisi barat sungai. Masjid besar dan gedung sekolah dasar ada di sini. Sementara kantor kepala desa, lapangan sepak bola, dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berada di timur sungai. Saat ini sudah tersambung dengan jembatan gantung sepanjang 100 meter, bantuan dari Pemerintah Kabupaten Kampar.

Rata-rata penduduk Tanjung Beringin berprofesi sebagai petani sayur, karet, dan tanaman nonkayu lainnya, seperti petai. Sisanya menjadi wiraswasta, nelayan, pegawai pemerintah, tenaga pendidik, dan pedagang. Sebagian di antara mereka tidak bekerja di desanya sendiri, tetapi di pusat kecamatan maupun Bangkinang, ibu kota Kabupaten Kampar.

Tanjung Beringin merupakan bagian dari Kerajaan Gunung Sahilan, yang diperkirakan berdiri sekitar abad ke-17. Berdirinya Kerajaan Gunung Sahilan pun tidak dapat dipisahkan dari Kerajaan Pagaruyung, yang dahulu eksis di bagian tengah Sumatra. Sekarang wilayahnya menjadi Sumatra Barat, sebagian Riau, dan sisanya pesisir barat Sumatra Utara.

Salah satu jejak tersisa Kerajaan Gunung Sahilan saat ini adalah bangunan Istana Darussalam dengan arsitektur serba kayu dan semi panggung yang terletak di Dusun Koto Dalam, Desa Sahilan Darussalam, Kecamatan Kampar Kiri. Kini bekas tempat tinggal raja dan keluarganya itu berfungsi sebagai tempat musyawarah adat atau pesta rakyat. 

Di tengah keterbatasan, masyarakat Tanjung Beringin terbilang masih kuat memegang adat. Beberapa ritual atau tradisi pokoknya masih dilakukan sampai sekarang, bahkan menjadi salah satu daya tarik wisata.

Kenagarian Malako Kociak

Desa atau wilayah kenagarian Tanjung Beringin dipimpin oleh dua ninik mamak (pemimpin atau pemangku adat), yaitu Datuk Pucuk yang berkuasa dan mengurus wilayah darat dan Datuk Sinaro yang berkuasa dan mengurus wilayah sungai atau perairan. Di bawah Datuk Pucuk dan Datuk Sinaro, masih ada lima ninik mamak dari lima suku, yang terhitung masih keponakan dengan keduanya. Selain mengawal adat, Datuk Pucuk dan Datuk Sinaro akan membantu penyelesaian masalah masyarakat atau lingkungan, jika tidak ditemukan solusi dari kelima ninik mamak tadi.

Meski memiliki nama asli Kenagarian Malako Kociak, dahulu Tanjung Beringin sempat sempat lama menyandang nama Kenagarian Miring. Menurut ingatan Ajis Manto atau Datuk Pucuk (55), ninik mamak Datuk Pucuk Tanjung Beringin, yang diserap dari cerita warisan leluhurnya, makna miring berarti tidak sempurna dan tidak sehat lagi. 

Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin
Ajis Manto atau Datuk Pucuk, ketua adat Desa Tanjung Beringin. Keberadaannya berperan penting untuk menjaga norma bermasyarakat, keasrian sungai dan hutan dengan tradisi dan aturan-aturan adat/Mauren Fitri

Sebabnya dahulu masyarakat pernah menolak dan tidak menghormati kedatangan Raja Gunung Sahilan. Sang raja pun murka dan bersumpah, yang berakibat pada musibah berupa wabah penyakit dan menewaskan banyak warga. Kemudian di kunjungan berikutnya, raja melihat masyarakat tidak mampu lagi menyelamatkan diri sehingga ia memaafkan perlakuan rakyatnya di masa lampau. Meskipun begitu, nama Kenagarian Miring tetap bertahan selama beberapa dekade. 

Pada tahun 2017, Tengku Muhammad Nizar, dinobatkan oleh Raja Adat Gunung Sahilan sebagai raja ke-12 pewaris Kerajaan Gunung Sahilan di Istana Darussalam. Dia adalah putra langsung dari Tengku H. Ghazali, raja ke-11 yang sudah meninggal sejak 1975. Sudah 42 tahun takhta mengalami kevakuman. Tengku Muhammad Nizar selanjutnya menyetujui usulan para ninik mamak Tanjung Beringin. Ia mencabut nama Miring dan mengubahnya ke nama asalnya, yakni Kenagarian Malako Kociak.

Tidak hanya Tanjung Beringin, tetapi juga desa-desa di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling berada di bawah administrasi adat Kekhalifahan Batu Songgan. Desa Batu Songgan dan Tanjung Beringin bertetangga, dipisah oleh jalur sungai sejauh 4,8 kilometer atau hampir satu jam naik piyau (sejenis sampan). Di luar Batu Songgan, terdapat empat kekhalifahan lainnya adalah Kuntu, Ludai, Ujung Bukit, dan Kampar Kiri.

Meskipun sudah melebur ke dalam administrasi pemerintahan dan hukum sipil, para ninik mamak (pemimpin adat) masing-masing desa tetap melakukan pertemuan adat secara berkala selama satu kali dalam enam bulan. Khusus di kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling, segala persoalan tentang hutan, sungai, maupun keluhan masyarakat dibahas dalam pertemuan bersama yang dipimpin oleh ninik mamak di Batu Songgan. 

Lubuk larangan, sema rantau, dan hutan larangan

Menurut Datuk Pucuk—gelar sapaan Ajis Manto—pemberlakuan adat di setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat semata agar merawat harmonisasi dengan alam yang menjadi sumber penghidupan. “Kita pesan kepada masyarakat supaya menjaga hutan dan kemudian menjaga sungai,” ujarnya.

Sebagai upaya melestarikan tradisi dan alam, para ninik mamak dan penduduk setempat menetapkan sejumlah aturan adat. Salah satunya lubuk larangan.

Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin
Seorang pria melempar jala dari atas piyau ke dalam Sungai Subayang saat proses pembukaan lubuk larangan. Tradisi ini berlaku serentak untuk setiap desa di luar maupun dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling, termasuk Tanjung Beringin/Vita Cecilia Chai

Ditilik dari etimologinya, lubuk berarti bagian air dalam atau palung sedalam 3—5 meter di sungai, yang umum jadi tempat ikan bertelur dan berkembang biak. Kawasan lubuk tersebut hanya dibatasi dengan tali melingkar dan warga dilarang keras mengambil ikan selama masa lubuk larangan atau sebelum waktu panen yang ditentukan. Seperti menguji kejujuran warganya sendiri. Mereka tidak berani mencuri kesempatan karena takut terkena karma. 

Pembukaan lubuk larangan dilakukan selama satu kali dalam satu tahun. Tergantung kondisi cuaca. Lazimnya digelar pada musim kemarau tatkala air sungai sedang surut. “Tapi kalau seandainya cuaca kurang mengizinkan, kita tunggu sampai airnya dangkal,” katanya, dan harus berdasarkan kesepakatan ninik mamak dengan masyarakat.

Lubuk larangan adalah panen raya ikan dan pesta rakyat terbesar masyarakat di kawasan Bukit Rimbang Bukit Baling. Acara lubuk larangan biasanya diselenggarakan bergilir setiap desa dan dihadiri oleh pemerintah setempat. Para wisatawan juga dipersilakan bergabung untuk menangkap ikan atau disebut mancokau.

Alat yang diizinkan untuk menangkap ikan adalah peralatan tradisional, seperti jala, pancing, atau bahkan dengan tangan kosong. Ikan yang boleh ditangkap hanya yang berukuran besar, jika dapat yang kecil harus dikembalikan ke sungai. Beberapa jenis ikan lokal yang sering didapat dari lubuk larangan merupakan menu konsumsi utama, antara lain baung, selimang, salai, kapiek, dan ikan sungai air tawar lainnya. Ikan-ikan inilah yang kemudian dilelang dan dibeli oleh seluruh lapisan masyarakat. Terutama yang berasal dari luar kawasan, seperti turis, perangkat pemerintahan, pengusaha, dan lain sebagainya.

Datuk Pucuk mengakui, konsep festival wisata untuk prosesi pembukaan lubuk larangan menunjukkan kepada orang-orang bahwa tradisi tersebut masih ada, sekaligus sangat membantu menambah pendapatan desanya. “Boleh jadi tujuan dan maksud lubuk larangan itu terutama sekali kita manfaatkan hasilnya untuk pembangunan prasarana ibadah dan kegiatan pemuda di bidang olahraga,” jelasnya.

Lubuk larangan sekaligus menjadi momen berkumpulnya keluarga. Khususnya yang tinggal di luar desa atau perantauan di luar pulau. Mereka pulang ke kampung halaman, bersilaturahmi dan makan hasil tangkapan ikan bersama-sama.

Datuk Pucuk menambahkan, lubuk larangan dilaksanakan bersamaan dengan momen Sema Rantau Sema Nagari. Sema Rantau Sema Nagari merupakan tradisi warisan nenek moyang yang mengakar kuat dan tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat Tanjung Beringin. 

“Jadi, setiap tahunnya kita adakan pemotongan kerbau dan ziarah kubur,” ungkap Datuk Pucuk, “kita antarkan kepala kerbau itu kita antarkan dan kita masukkan ke dalam sungai [sambil didoakan], sampai di perbatasan Tanjung Beringin dengan kenagarian tetangga kita, yaitu Gajah Bertalut.” Jaraknya sekitar tujuh kilometer ke arah hulu dengan waktu tempuh satu jam naik piyau.

  • Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin
  • Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin

Tujuan ritual Sema Rantau Sema Nagari, mengutip pernyataan Datuk Pucuk, tak lain untuk menolak bala dan mencegah musibah. Memohon kepada Allah Swt. agar kampung aman dari gangguan. Pun ketakutan-ketakutan masyarakat tatkala masuk ke sungai dan hutan, yang jadi sumber penghidupan masyarakat. Di dalamnya memuat pula pesan supaya masyarakat tidak melanggar pantangan-pantangan adat yang ada, sekalipun dilakukan sembunyi-sembunyi. 

Adapun ziarah kubur yang dituju adalah makam Datuk Pagar dan Datuk Darah Putih. Sepanjang pengetahuan Datuk Pucuk, Datuk Darah Putih-lah yang diyakini tokoh pembuka kampung Tanjung Beringin. Sementara Datuk Pagar hidup di era setelahnya, yang tugasnya mengawal dubalang (penjaga hutan) alam, yaitu Datuk Belang. Kuburannya berada di utara kampung, terletak di lereng bukit menuju puncak Bukit Sakti.

Satu lagi aturan adat dan potensi Tanjung Beringin yang sedang digagas adalah hutan larangan. Meskipun sedang terkendala vakumnya aktivitas kelompok sadar wisata (pokdarwis), Datuk Pucuk menegaskan pasti akan ada penetapan hutan larangan dan sudah menentukan lokasinya.

“Kalau rencana kami, [lokasi] itu berdampingan dengan Bukit Sakti. [Tujuannya] untuk penjagaannya [hutan] lebih dekat, supaya masyarakat kita tidak berani lagi mengolah kayu di sana,” jelas Datuk Pucuk.

Menurutnya, jika ada kegiatan menebang dan mengolah kayu dengan senso akan terdengar oleh warga di kampung sehingga mudah ditangani. Sedangkan Bukit Sakit adalah lokasi potensial untuk rencana pengembangan ekowisata terbatas, baik itu trekking maupun camping, sehingga diharapkan bisa mengangkat perekonomian masyarakat.

Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin
Keasrian hutan Bukit Sakti berpotensi menjadi daya tarik wisata ramah lingkungan yang dikelola oleh kelompok sadar wisata (pokdarwis) Desa Tanjung Beringin, sebagai salah satu sumber ekonomi alternatif masyarakat/Rifqy Faiza Rahman

Memperluas jangkauan budaya Tanjung Beringin

Sampai saat ini, belum pernah terdengar konflik satwa harimau sumatra dengan manusia di Tanjung Beringin maupun desa-desa lain. Ini diperkuat oleh pihak Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau. 

Kepala Bidang Teknis BBKSDA Riau, Ujang Holisudin (46), menyatakan nihilnya kasus serangan harimau sumatra ke manusia bisa diartikan masih terjaganya tutupan hutan dan sumber makanan primernya. Masyarakat juga sudah bisa hidup berdampingan dengan satwa liar yang menghuni hutan maupun sungai.

Dalam pandangan Datuk Pucuk, “Kalau masalah hubungan manusia dengan hewan dan hutan, karena sebetulnya binatang-binatang itu juga adil sama manusia. Kalau seandainya masyarakat kita tidak ada yang melanggar hukum adat, pasti binatang [harimau] itu datang pun tidak akan merencanakan untuk membinasakan manusia.”

Terlepas dari perbuatan ilegal sekelompok orang di dalam kawasan, yang sebenarnya memiliki konsekuensi hukum adatnya sendiri, Datuk Pucuk menilai peraturan adat bisa menjadi rambu-rambu keseharian masyarakat. Baik saat bekerja maupun beribadah. 

Adat adalah warisan nenek moyang yang harus terus dijaga dan dilestarikan. “Kalau seandainya hutan kita rusak, sungai kita ganggu, dampaknya nanti kepada cucu dan keponakan kita turun-temurun,” ujarnya.

Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin
Ibu-ibu menjadi pemain gamelan tradisional khas Batu Songgan saat acara pembukaan lubuk larangan. Pada zaman Kerajaan Gunung Sahilan, Batu Songgan merupakan kekhalifahan bagi desa-desa atau kenagarian di bawahnya, termasuk Malako Kociak atau Tanjung Beringin. Hiearki adat ini masih berlaku dan harus dilestarikan sampai sekarang/Vita Cecilia Chai

Di sisi lain, meskipun adat masih melekat kuat, Datuk Pucuk mengaku menghadapi tantangan yang tidak mudah untuk melestarikan tradisi khas Tanjung Beringin di masa depan. Ia merasa perlu untuk melebarkan jangkauan informasi potensi seni dan budaya Tanjung Beringin.

Terutama penyelenggaraan Sema Rantau Sema Nagari. Ia memandang pentingnya pembentukan panitia atau lembaga khusus yang mengurus tradisi dan kekhasan Tanjung Beringin.

“Kita kan ingin, istilahnya, menunjukkan [kepada masyarakat luas] bahwa kita itu punya budaya, punya seni,” ujar Datuk Pucuk. Ia ingin saat Sema Rantau Sema Nagari ada rangkaian acara kebudayaan dan kesenian, misal pertunjukan batimang atau permainan calempong, sehingga masyarakat tidak hanya datang saja untuk melihat ritual wajib semata—mencakup potong kerbau dan ziarah kubur.

Tak hanya itu saja. Khazanah obat-obatan tradisional Tanjung Beringin juga perlu mendapat sorotan lebih, karena bagian tak terpisahkan dari adat. Ada ninik mamak yang memiliki keahlian sebagai dukun obat, sehingga masyarakat bisa memanfaatkannya sebagai pencegahan dan pengobatan.

Desa ini memiliki sebaran tanaman herbal liar yang bisa digunakan mengobati penyakit-penyakit tertentu. Daun kunyit hutan untuk panas dalam. Daun karuk (dalam bahasa Melayu kaduk) untuk keseleo, asma, sakit perut. Daun sambung nyawa untuk asam lambung—beberapa literatur menyebut bisa meredakan kanker, diabetes, dan hipertensi. Lalu ada juga peredam demam, flu, dan batuk dari daun capo, sidingin, atau kumpai; khusus untuk bayi bisa menggunakan daun bunga sepatu.

Secara implisit, keinginan Datuk Pucuk tersebut menunjukkan potensi ekonomi alternatif yang bisa menyadarkan sejumlah oknum masyarakat pembalak atau perambah. Ada jalan yang lebih baik tanpa harus melanggar peraturan adat maupun kawasan konservasi.


Foto sampul:
Foto udara permukiman Desa Tanjung Beringin di pinggiran Sungai Subayang. Desa ini termasuk dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling dan masih memiliki tradisi maupun aturan-aturan adat yang cukup kental/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hidup-dikandung-adat-di-tanjung-beringin/feed/ 0 40581
Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling https://telusuri.id/melirik-ekonomi-alternatif-di-bukit-rimbang-bukit-baling/ https://telusuri.id/melirik-ekonomi-alternatif-di-bukit-rimbang-bukit-baling/#respond Sun, 17 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40541 Di luar kekhasan alam dan tradisinya, masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling punya potensi ekonomi ramah lingkungan, terutama ekowisata. Perlu dukungan berkelanjutan banyak pihak. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Selama ini, kegiatan...

The post Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling appeared first on TelusuRI.

]]>
Di luar kekhasan alam dan tradisinya, masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling punya potensi ekonomi ramah lingkungan, terutama ekowisata. Perlu dukungan berkelanjutan banyak pihak.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
Berkemah di Pulau Tonga merupakan salah satu daya tarik wisata andalan Tanjung Belit. Desa ini merupakan akses utama menuju desa-desa di dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling/Deta Widyananda

Selama ini, kegiatan ekowisata yang sudah berjalan di sekitar Bukit Rimbang Bukit Baling, Riau, kebanyakan terpusat di Desa Tanjung Belit. Wilayah yang jadi gerbang masuk menuju suaka margasatwa tersebut memang memungkinkan eksplorasi potensi wisata secara maksimal. Selain bukan sepenuhnya kawasan konservasi, Tanjung Belit adalah desa terakhir yang bisa dijangkau kendaraan bermotor, serta terhubung jaringan internet seluler dan listrik PLN.

Pengembangan ekowisata di Tanjung Belit mendapatkan bantuan pendampingan dan pelatihan dari sejumlah organisasi nirlaba, di antaranya para anggota konsorsium KERABAT—terdiri dari Yapeka, Forum Harimau Kita, dan Indecon. Salah satu hasilnya adalah keberadaan homestay warga dan penyediaan paket wisata berbasis masyarakat. 

Menurut Mansyur, bendahara kelompok sadar wisata (pokdarwis) Tanjung Belit, sebenarnya potensi wisata di Tanjung Belit banyak. ”Cuma yang di sini tampaknya agak bisa berjalan, [yaitu] potensi alami air terjun Batu Dinding dan perkemahan di Pulau Tong,” ungkapnya.

Sementara situasi di dalam kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling berbeda. Krusialnya fungsi ekologis hutan hujan dataran rendah dan Sungai Subayang untuk kelangsungan makhluk hidup di Riau dan Sumatra bagian tengah, menjadikan penerapan ekowisata secara terbatas harus dilakukan penuh kehati-hatian. 

Sejauh ini memang belum ada izin khusus dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (BBKSDA) Riau kepada pelaku atau operator khusus untuk mengelola potensi jasa lingkungan. Namun, Kepala BBKSDA Riau Genman Suhefti Hasibuan, S.Hut., M.M. (50), membuka pintu kesempatan itu sebagai salah satu upaya alternatif pemberdayaan masyarakat di dalam kawasan melalui kerja sama dengan organisasi nirlaba dan Pemerintah Kabupaten Kampar. Tentu dengan tetap memerhatikan rambu-rambu kawasan konservasi sesuai ketentuan yang berlaku.

Meskipun begitu, keterbatasan yang ada tidak menutup fakta yang sama pentingnya. Beberapa desa di dalam maupun luar kawasan memiliki potensi daya tarik ekowisata. Mulai dari sektor alam, budaya, kerajinan tangan, hingga kuliner. Selain inisiatif warga secara turun-temurun, program pelatihan dan pendampingan oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berperan penting menggali dan memetakan potensi ekonomi alternatif yang ramah lingkungan.

  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling

Ekowisata alam

Wisata alam adalah daya tarik terbesar di SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Baik di dalam maupun luar kawasan. Jika memasuki kawasan, perlu terlebih dahulu mengurus Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) di BBKSDA Riau. Di Muara Bio terdapat sebuah kantor resor yang biasanya melakukan pengecekan kunjungan wisatawan.

Tanjung Belit sebagai kawasan penyangga dan pintu masuk menuju SM Bukit Rimbang Bukit Baling, memiliki destinasi wisata alam unggulan, yakni air terjun Batu Dinding. Hanya perlu trekking selama 10—15 menit untuk tiba di air terjun utama. Air terjun ini berada di tengah hutan adat Tanjung Belit, yang vegetasinya cukup rapat. 

Indra Rius (30), dubalang pemuda Tanjung Belit, mengatakan bahwa keragaman burung di hutan tersebut cukup bagus. Ia sempat memotret sejumlah spesies, antara lain julang emas, kangkareng hitam, elang, dan burung-burung kecil. Bagi wisatawan penggemar birdwatching, hutan adat Tanjung Belit bisa jadi sasaran menarik untuk mengamati burung bersama pemandu.

Sementara di dalam kawasan, Desa Tanjung Beringin memiliki potensi ekowisata bernuansa petualangan di puncak Bukit Sakti. Menurut Bang Zul, salah satu warga, jarak pendakian ke bukit tersebut sekitar 2,5—3 jam jalan kaki dari kampung. Rutenya melewati makam Datuk Pagar dan Datuk Darah Putih yang menanjak. Sepulang dari berkemah di puncak bisa mampir ke Tumulun, sebuah kolam alami di Sungai Dekwak. Aliran sungai ini bertemu dengan Sungai Subayang di bawah jembatan desa. 

Jika bingung akan pergi ke desa mana, salah satu cara seru untuk menikmati alam sekaligus menguji adrenalin adalah dengan menyewa piyau. Susur Sungai Subayang dari Tanjung Belit ke arah hulu sejauh tak kurang dari 36 kilometer atau 3—4 jam perjalanan.

Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
Sejumlah warga Tanjung Beringin menaiki piyau untuk mengikuti prosesi sema rantau, tradisi leluhur yang bertujuan menolak bala dan memohon kepada Allah SWT agar kampung aman dari gangguan dan diberi keberkahan/Astin Atas Asih

Ekowisata budaya 

Seluruh desa di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling dahulu merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Gunung Sahilan, yang diperkirakan berdiri pada abad ke-17 atau 18. Desa Batu Songgan menjadi ibu kota Kekhalifahan Batu Songgan, yang membawahkan kenagarian-kenagarian (setara desa) di sekitarnya.

Unsur historis tersebut merekatkan adat yang diwariskan turun-temurun. Masing-masing desa memiliki ninik mamak (pemimpin atau pemangku adat) untuk menjaga kelestarian adat dari nenek moyang. Menurut Ajis Manto atau Datuk Pucuk (55), ninik mamak Desa Tanjung Beringin, ketentuan adat bisa menjadi pegangan masyarakat sehari-hari. Tujuannya agar tercipta harmoni antara manusia dan alam sekitar tempat mereka hidup.

Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
Seorang pria melempar jala dari atas piyau ke permukaan Sungai Subayang saat proses pembukaan lubuk larangan di Batu Songgan/Vita Cecilia Chai

Saat ini beberapa tradisi lokal telah menjadi kalender wisata rutin yang ditunggu-tunggu masyarakat. Baik dari daerah Kampar maupun di luar Riau. Salah satu tradisi yang masih terjaga dan ramai diburu warga dan wisatawan adalah pembukaan lubuk larangan yang dilaksanakan sekali dalam setahun di desa masing-masing. Lubuk larangan adalah tempat berkumpulnya ikan-ikan Sungai Subayang dan masyarakat dilarang mengambilnya selama periode tersebut. Panen raya, penangkapan tradisional, dan pelelangan baru dilakukan ketika sudah tiba waktunya sesuai kesepakatan ninik mamak dan masyarakat. 

Selain itu wisatawan juga bisa belajar kebudayaan yang ada di setiap desa. Contohnya, di Tanjung Beringin. Di desa ini ibu-ibu masih melakukan Batimang (menimang-nimang sebelum tidur) untuk anaknya yang baru lahir, serta memiliki calempong, perangkat musik semacam gamelan.

Marianum (kanan), warga Tanjung Beringin, mempraktikkan senandung Batimang/Deta Widyananda

Seni kriya pandan di Batu Songgan

Di Batu Songgan, ibu-ibu tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) Pulau Koto yang memproduksi kerajinan anyaman pandan. Dari 12 anggota aktif, TelusuRI menemui delapan orang yang berkumpul di rumah Rumiati. Saat itu tersedia beberapa produk jadi, antara lain topi, peci, tikar tidur, tikar sajadah, tas jinjing, dan gantungan kunci. Harganya bervariasi, tergantung jenis produk, ukuran, dan kerumitan motif. Misalnya, tikar untuk tidur Rp150.000, lalu topi berkisar Rp40.000—75.000.

Berdasarkan cerita Lenriani, salah satu anggota, pembuatan kerajinan anyaman rumbai atau pandan bermula karena keadaan susah dan serba terbatas yang dialami para orang tua zaman dahulu. Ketika berkebun atau bertani, terasa panas kena matahari karena tidak ada pelindung kepala. Lalu muncullah ide mengolah daun pandan menjadi topi. Begitu pun dengan tas kantung tempat ikan atau beras, dompet sebagai wadah uang atau barang, hingga tikar untuk alas tidur.

Produk kerajinan KWT Pulau Koto mengalami pengembangan setelah diberi pelatihan dari konsorsium KERABAT. Dari yang semula mencukupi kebutuhan sendiri, sekarang bisa dijual dan menghasilkan pendapatan untuk masyarakat. Mereka memanfaatkan bahan baku rumbai yang mudah didapat di hutan dekat rumah. Selain pandan, KWT Pulau Koto juga membuat produk dari rotan. 

Tantangan yang dihadapi beragam. Regenerasi pengrajin—tidak semua perempuan atau anak muda mau menganyam, faktor cuaca yang menghambat proses penjemuran daun pandan, dan lamanya pembuatan, karena menunggu motif sesuai keinginan pemesan. Kesibukan lain sebagai ibu rumah tangga juga menyita waktu membuat kerajinan.

Jelajah pangan lokal Tanjung Beringin

TelusuRI mencicipi kuliner lokal ketika tinggal dua malam di Tanjung Beringin. Kami menginap di rumah Tahtil yang bersebelahan dengan rumah Datuk Pucuk. Ia bersama suami dan anaknya tinggal seatap dengan Roainah atau Mak Dang, kakak Tahtil, dan suaminya.

Yang menarik, bahan-bahan penyusun masakannya diambil dari tanaman di sekitar hutan dekat kampung. Sayuran yang sering digunakan berupa tanaman pakis untuk lalapan, biasa diramban dari kebun liar sekitar rumah. Lauk utama masyarakat Tanjung Beringin adalah ikan air tawar yang banyak tersedia di Sungai Subayang. Jika ingin memasak daging ayam, tahu, atau tempe, maka harus belanja terlebih dahulu ke pasar di kecamatan. Atau, menunggu kehadiran pedagang pasar keliling pakai piyau yang datang sekali dalam seminggu ke arah hulu.

  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling

Salah satu menu yang sempat kami cicipi adalah ompok (asam padeh) buntut ayam. Masakan khas Kampar, Riau dari olahan buntut ayam. Penyajiannya buntut ayam dibakar, lalu ditambahkan bumbu cabai dan bawang goreng yang sudah digoreng dan diulek. 

Kemudian ada sigham, olahan dari bakaran ikan salai yang sudah kering. Bumbunya sederhana. Hanya dengan mengulek sedikit cabai, bawang putih, dan dicampurkan ke ikan salai, lalu digoreng dengan sedikit minyak. Sebagai pelengkap, disediakan pula sayur ubi rebus.

Dan masih banyak lagi. Menikmati pangan lokal di satu tempat saja rasanya memanjakan perut. Apalagi di desa-desa lain dengan ciri khas masing-masing. Kekayaan kuliner setempat bisa menjadi nilai tambah yang membantu perekonomian masyarakat.

  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling

Peluang optimasi energi terbarukan

Sampai sekarang desa-desa di dalam SM Bukit Rimbang Bukit Baling mengandalkan sumber energi terbarukan, karena tidak ada jaringan listrik PLN. Salah satu yang masih berjalan baik adalah pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMh) di Batu Songgan. 

Iwandra, pengurus PLTMh Batu Songgan, pemerintah pusat melalui pemerintah kabupaten memberikan bantuan PLTMh pada 2008. Akan tetapi, belum satu bulan sudah macet dan mati total selama tujuh tahun. Sampai kemudian 2015 diperbaiki dan berfungsi kembali.

Listrik menyala optimal tatkala air sungai sedang pasang, biasanya saat musim hujan besar. Dayanya lebih besar ketimbang PLTS, sehingga masyarakat bisa memiliki kulkas dan mesin cuci. Jika air sedang surut, maka penggunaan listrik dibatasi selama setengah hari dari petang sampai tengah malam. 

Biaya operasional PLTMh berasal dari iuran warga atau per kepala keluarga pemilik rumah yang dialiri listrik. Tarifnya Rp30.000 setiap bulan. Uang itu masuk kas PLTMh sebagai unit Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Hasilnya bisa diputar kembali untuk masyarakat dalam bentuk bantuan sosial maupun pembangunan sarana-prasarana kampung.

Salah satu kendalanya adalah letak PLTMh cukup jauh dari kampung. Jika terjadi masalah teknis pada turbin, masyarakat harus naik piyau ke lokasi. Pengurus berharap bisa dibangun jembatan gantung agar aksesnya lebih mudah dan penanganannya cepat. Selain itu Iwandra menitip pesan kepada masyarakat agar menjaga kedalaman Sungai Subayang, dengan cara merawat hutan agar tidak ada kayu terbuang dan bisa membuat sungai mengalami pendangkalan.

Tantangan pengembangan

Pengembangan potensi ekonomi alternatif ramah lingkungan di wilayah konservasi memang tidak segampang menyusun program di wilayah nonkonservasi. Apalagi kawasan dengan fungsi ekologis sepenting SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Jika mengikuti peraturan yang berlaku, maka akan menyadari rambu-rambunya cukup ketat.

Aksesibilitas yang hanya melalui jalur sungai bisa menjadi kendala mobilitas. Jauh dari mana pun. Sepenuhnya bergantung pada cuaca dan pasang-surut sungai. Namun, sisi baik dari kondisi ini bisa menyaring pengunjung—di luar warga setempat—agar tidak melebihi kapasitas daya dukung kawasan. Penduduk di dalam kawasan suaka margasatwa perlu menjalin koordinasi dengan masyarakat desa penyangga, Tanjung Belit dan Gema, agar sama-sama menjaga kawasan.

Ritme kolaborasi BBKSDA Riau selaku pemangku kawasan, pemerintah kabupaten, para organisasi nirlaba atau LSM lain seolah berkejaran dengan waktu. Sebab di saat yang sama aktivitas ilegal di dalam kawasan terus berlangsung, terutama pembalakan liar dan perambahan hutan.

Para pemangku kepentingan tidak bisa berjalan sendirian. Dalam perannya masing-masing, sesuai kewenangan yang dimiliki, perlu ada keselarasan visi di program atau kebijakan yang dikerjakan. Masyarakat lokal perlu pendampingan dan dukungan berkelanjutan. Terlalu sayang rasanya jika suara orang yang peduli hutan kalah dengan tetangga sekitarnya yang berkarakter sebaliknya. Walau untuk alasan ekonomi sekalipun.

Pendekatan ekowisata, kriya, dan pangan lokal sebagai sumber ekonomi alternatif ramah lingkungan hanyalah satu upaya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Khususnya di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Tujuan besar dari sebuah program pemberdayaan adalah kesadaran penuh masyarakat terhadap fungsi kawasan, serta kemauan untuk kreatif dan berdaya saing.

Kuncinya bukan tergantung di salah satu pihak semata. Kuncinya ada di semua pihak. Duduk bersama. Berpikir dan beraksi bersama untuk keseimbangan konservasi dan ekonomi SM Bukit Rimbang Bukit Baling. (*)


Foto sampul:
Astin Atas Asih (kiri), fasilitator lokal dari Indecon—anggota konsorsium KERABAT—mendampingi ibu-ibu Kelompok Wanita Tani (KWT) Pulau Koto Batu Songgan dalam pembuatan produk lokal unggulan di kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melirik-ekonomi-alternatif-di-bukit-rimbang-bukit-baling/feed/ 0 40541
Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling https://telusuri.id/senandung-bukit-rimbang-bukit-baling/ https://telusuri.id/senandung-bukit-rimbang-bukit-baling/#respond Sat, 16 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40528 Ekosistem hutan tropis dan sungai nan asri menjadi oase kehidupan di Sumatra bagian tengah. Mencari jalan tengah antara kebutuhan ekonomi dan konservasi. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Bagi sebagian orang, Riau...

The post Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling appeared first on TelusuRI.

]]>
Ekosistem hutan tropis dan sungai nan asri menjadi oase kehidupan di Sumatra bagian tengah. Mencari jalan tengah antara kebutuhan ekonomi dan konservasi.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Perahu tradisional atau piyau dan motoris (pengemudi piyau) menjadi pemandangan sehari-hari di lintasan Sungai Subayang. Piyau merupakan napas terpenting untuk konektivitas antardesa di dalam maupun luar kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Riau/Mauren Fitri

Bagi sebagian orang, Riau begitu lekat dengan kabut asap. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut paling parah terjadi pada 2015. Dampaknya sampai dirasakan negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Karhutla serupa tahun 2019 kian menjustifikasikan itu. 

Selain polusi udara, Riau juga dikenal sebagai salah satu provinsi terkaya di Indonesia. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2022 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita Riau mencapai 149,9 juta rupiah. Setiap orang di provinsi ini diperkirakan berpendapatan Rp 12,49 juta per bulan. Peringkat keempat setelah DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Industri manufaktur, pertambangan minyak bumi dan gas, serta perkebunan kelapa sawit jadi penopang terbesar.

Padahal di balik itu Riau punya satu kawasan hutan tropis yang jadi sumber kehidupan banyak orang, yakni Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling. Belakangan tempat ini sering disorot dan dibicarakan, karena geliat ekowisata dan panorama alamnya. Letaknya jauh nun di selatan Kabupaten Kampar, terhampar ratusan ribu hektare hutan belantara. Sungai jernih dengan banyak titik jeram membelah di antaranya. Kerbau yang berendam dan biawak yang sedang berjemur di pulau berbatu jadi pemandangan menarik sepanjang perjalanan.

Ketika TelusuRI masuk kawasan, makin ke dalam rasanya seperti berada di dimensi berbeda. Hutan di kanan dan kiri begitu membius. Udara sejuk dan kecipak air sungai menyegarkan. Batu-batu di dasar sungai terlihat jelas. Walau di sisi lain tidak bisa menyembunyikan ketegangan setiap piyau (sejenis sampan) menghantam jeram atau kandas karena sungai terlalu dangkal. 

Di dalam kawasan, orang-orang desa pedalaman bergantung pada sumber daya air dan hasil hutan. Bertahan hidup dengan keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, transportasi, dan kebutuhan rumah tangga. Mencoba berdamai dengan gejolak alam liar yang tidak terprediksi.  

Benteng terakhir Riau

Kawasan hutan dan sungai Bukit Rimbang Bukit Baling ditetapkan menjadi suaka margasatwa dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 3977/Menhut-VIII/KUH/2014. Luasnya 141.226,25 hektare. Cakupan area Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling terbagi ke dua wilayah administrasi, Kabupaten Kampar dan Kuantan Singingi. Kawasan konservasi yang berbatasan dengan hutan lindung di wilayah Sumatra Barat itu dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau. 

SM Bukit Rimbang Bukit Baling merupakan rumah bagi harimau sumatra beserta flora dan fauna endemik lainnya. Keanekaragaman hayatinya sangat beragam. Berdasarkan informasi dari situs resmi BBKSDA Riau, kawasan ekosistem hutan hujan dataran rendah ini merupakan habitat utama lima jenis kucing—termasuk harimau sumatra, ratusan jenis burung, lebih dari 100 jenis flora (di antaranya cendawan muka rimau atau Rafflesia hasseltii suringar), sampai dengan sejumlah primata dan mamalia lainnya.

Menurut Kepala BBKSDA Riau Genman Suhefti Hasibuan, S.Hut., M.M. (50), “Bukit Rimbang Bukit Baling adalah kawasan konservasi terluas yang tersisa dan relatif masih asri di Provinsi Riau,” jelasnya, “bisa kita sebut bagian dari benteng terakhir kawasan konservasi yang ada di Riau.”

Ia menambahkan, ada dua sungai utama yang mengalir di kawasan tersebut, salah satunya Sungai Subayang yang berhulu di kawasan hutan lindung perbatasan Sumatra Barat—Riau.

Selain sebagai satu-satunya akses transportasi masyarakat dengan piyau (sejenis sampan), peran sungai yang menjadi bagian dari DAS Kampar itu juga berperan sebagai penyuplai air untuk masyarakat. Terutama di Kampar, Pekanbaru, hingga Sumatra Barat. Sungai ini akan jernih dan dangkal saat musim kemarau, serta berwarna kecokelatan ketika musim hujan.

Dalam konteks harimau sumatra, Genman menilai Bukit Rimbang Bukit Baling adalah satu-satunya habitat terbaik di Riau bagi satwa loreng itu. Mengingat daya jelajahnya yang luas, menjaga kawasan hutan lindung perbatasan di Sumatra Barat juga tidak kalah penting.

“Saya kira sudah sepantasnya semua pihak setuju untuk menyelamatkan kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Karena kalau tidak, nanti akan mengancam kehidupan manusia dan satwa liar yang kita lindungi,” tegasnya.

Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Seorang warga Tanjung Beringin melempar jala di Sungai Subayang yang sedang dangkal. Selain menjadi jalur transportasi, sungai ini menyediakan aneka ikan air tawar untuk kebutuhan pangan masyarakat, khususnya di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling/Rifqy Faiza Rahman

Tekanan-tekanan untuk kawasan

Di dalam kawasan, ada delapan desa (kenagarian) di bawah wilayah adat Kekhalifahan Batu Songgan. Wilayah ini dulunya di bawah kekuasaan Kerajaan Gunung Sahilan. Secara berurutan dari arah hulu, yaitu Pangkalan Serai, Subayang Jaya, Terusan, Aur Kuning, Gajah Bertalut, Tanjung Beringin, Batu Songgan, dan Muara Bio. Mayoritas warganya mencari sumber penghidupan dari hutan dan sungai. Setiap desa memiliki potensi sumber daya alam dan keunikan tradisinya masing-masing. 

Meski tidak ada angka pasti, beberapa sumber menyebut masyarakat desa di dalam kawasan sudah menetap turun-temurun selama ratusan tahun. Karena sudah tinggal jauh lebih dahulu sebelum penetapan status kawasan suaka margasatwa, BBKSDA Riau tidak merelokasi permukiman.

Atas dasar nilai sejarah, BBKSDA menempatkan permukiman desa-desa adat Bukit Rimbang Bukit Baling ke dalam blok khusus seluas 17.348,50 hektare. Tidak hanya permukiman, delineasi luasan blok tersebut juga berdasarkan keberadaan lahan pemanfaatan untuk budidaya komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). 

“Tidak mungkin, misalnya, begitu [Bukit Rimbang Bukit Baling] ditunjuk jadi SM, mereka langsung dikeluarkan. Mereka diakomodasi untuk bisa hidup dan berkehidupan. Tentu berkehidupan secara tradisional dan tidak boleh dipindahtangankan secara komersial, [kecuali] kalau ada keturunannya yang melanjutkan.” tutur Genman.

Namun, jamak terjadi di kawasan konservasi lainnya di Indonesia, SM Bukit Rimbang Bukit Baling juga tidak lepas dari ancaman lingkungan karena faktor manusia. Pembalakan liar, perburuan satwa, dan perambahan hutan terus menekan eksistensi kawasan.

Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Sejumlah pemuda bercengkerama di tepian Pulau Tonga, Desa Tanjung Belit, Kampar. Tampak di kejauhan jejak perambahan hutan dan pembukaan lahan kelapa sawit menekan desa penyangga yang juga menjadi pintu masuk menuju kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling tersebut/Deta Widyananda

Mulanya, kebanyakan masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling menanam karet. Namun, seiring harga karet yang anjlok bahkan kurang dari Rp10.000 per kilogram, sebagian beralih membuka lahan bekas karet untuk ditanam kelapa sawit.

Bahkan saat pagi di Tanjung Beringin, terlihat asap menggelayuti pucuk-pucuk hutan di perbukitan. Sempat mengira kabut alami penyejuk pagi, ternyata itu kabut asap karena pembakaran lahan untuk membuka lahan perkebunan.

Tak sedikit juga yang bermain kayu. Selama perjalanan menyusuri Sungai Subayang dari Tanjung Belit ke Terusan, desa terjauh yang dituju, TelusuRI menyaksikan langsung sekelompok orang mengalirkan balok-balok kayu jenis meranti atau balam yang diikat ke sebuah piyau. Melintas seolah tak kenal waktu. Kayu-kayu yang diambil dari dalam hutan tersebut akan dibawa ke dermaga Tanjung Belit atau Gema. Di sana kayu akan dipindah ke truk atau mobil bak terbuka, dengan kapasitas setidaknya 10 meter kubik sekali angkut. Di beberapa titik saat menyusuri sungai, kadang terdengar suara senso meraung dari dalam hutan.

Ajis Manto atau Datuk Pucuk (55), salah satu ninik mamak atau ketua adat Desa Tanjung Beringin, tidak bisa memungkiri jika ada satu atau dua kelompok masyarakat yang menjadi pekerja kayu. Menurutnya, mereka berbuat seperti itu tanpa ada maksud memusnahkan hutan. Faktor ekonomi, terutama sejak era pandemi mendesak masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pemkab Kampar mencatat daerahnya merupakan kabupaten keempat termiskin di Riau, dengan jumlah penduduk di garis kemiskinan sekitar 15 ribu jiwa. Blok SM Bukit Rimbang Bukit Baling termasuk di dalamnya.

Dalam pandangan Genman, masyarakat yang melakukan pembalakan liar hanyalah suruhan. Bukan pelaku kunci. “Justru pelaku utamanya itu datang dari luar,” katanya.

Keterangan Teguh (22), motoris piyau yang membawa TelusuRI ke dalam kawasan, sedikit memperkuat pernyataan Genman. Pria asal Pangkalan Serai itu saat kecil sampai remaja sering menemani ayahnya menebang kayu berhari-hari di hutan Bukit Rimbang Bukit Baling. Hasilnya digunakan membiayai sekolah dan menghidupi keluarganya.

Ia bilang, ada pemodal atau pemain besar dari luar kawasan yang membiayai operasi pembalakan liar tersebut. Artinya, ada permintaan pasar yang besar. Entah dari Pekanbaru maupun kota-kota lain di sekitar Riau. Kini ayahnya sudah berhenti membalak, setelah beberapa tahun lalu kakinya patah karena tertimpa balok kayu di hutan.

Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Ajis Manto atau Datuk Pucuk, ketua adat Desa Tanjung Beringin. Keberadaan pemangku adat di setiap desa, khususnya di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling, berperan penting untuk menjaga kelestarian sungai dan hutan/Mauren Fitri

Mencari titik temu

Keterbatasan langkah di luar wewenang, personel pengawas di lapangan, dan pos anggaran untuk tanggung jawab pengelolaan dan upaya konservasi kawasan membuat BBKSDA Riau berada di posisi dilematis—jika bukan dibilang sulit. Di saat bersamaan tindakan-tindakan ilegal belum benar-benar berhenti, sementara masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling tetap harus bekerja untuk menyambung hidup.

Genman mengakui situasi tersebut. Ia mengungkapkan tiga cara atau strategi untuk mewujudkan perlindungan kawasan konservasi, sekaligus berupaya mengakomodasi kebutuhan dasar masyarakat. 

“Cara pertama itu persuasif,” terang mantan kepala BKSDA Aceh itu. Ia mengaku sudah banyak program diberikan. Baik oleh balai sendiri maupun kolaborasi dengan pemerintah kabupaten dan sejumlah lembaga masyarakat sipil. Salah satunya pemberian bantuan bibit jernang untuk dibudidayakan kelompok tani di setiap desa. Buah jernang dihasilkan dari tanaman jernang, yang merupakan komoditas HHBK. Dipercaya bernilai ekonomis cukup tinggi dan memiliki pasar ekspor.

Para kepala desa dan ninik mamak (pemimpin adat) juga diajak untuk terus mengedukasi masyarakat. Terutama yang membuka lahan kelapa sawit luasan kecil, yang ia anggap tidak menguntungkan. Ia yakin masyarakat hanya coba-coba karena tergiur orang-orang kaya dari berkebun sawit di luar daerah mereka.  

“Kemudian dari sisi preventif juga kami lakukan melalui kegiatan patroli oleh polisi kehutanan (polhut),” lanjut Genman menjelaskan strategi kedua.

Untuk mengatasi terbatasnya personel polhut, BBKSDA Riau bekerja sama dengan Yapeka, anggota konsorsium Kerabat—bersama Forum Harimau Kita dan Indecon—melatih masyarakat yang menjadi dubalang (pengawal hutan adat), agar ikut serta dalam pengamanan kawasan konservasi. Harapannya bisa merespons perubahan sekecil apa pun sejak dini untuk tindak lanjut berikutnya.

Langkah terakhir untuk mengamankan kawasan konservasi adalah cara represif. BBKSDA bertindak bersama Balai Penegakan Hukum (Gakkum KLHK) dan aparat penegak hukum, seperti unsur TNI dan polisi. Saat ini bersama Yapeka sedang didiskusikan cara menjerat pelaku kunci dari luar kawasan, khususnya penyokong dana pembalakan liar. Pengumpulan bukti masih menjadi kendala.

“Saya enggak bisa sendiri melakukan itu, karena keterbatasan kewenangan dan sumber daya manusia,” ujar Genman, “tapi saya yakin, dengan kebersamaan semua pihak pasti bisa [teratasi].”

Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Seorang pria mengemudikan piyau yang mengangkut bilah-bilah petai untuk dijual ke Desa Tanjung Belit atau Gema. Petai merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu yang cukup ekonomis di SM Bukit Rimbang Bukit Baling/Mauren Fitri

Meski berat, asa menjaga keseimbangan konservasi dan ekonomi itu masih ada. Sebagaimana senandung Batimang, lagu pengantar tidur bayi di Tanjung Beringin yang lestari sampai sekarang. Meniup doa Ibu, petuah, dan harapan besar kepada sang anak di masa depan.

Begitu pun semestinya Bukit Rimbang Bukit Baling, yang harus dijaga bersama. Jangan sampai auman harimau sumatra berubah jadi raungan kepedihan. (*)


Foto sampul:
Jembatan gantung membentang di atas Sungai Subayang di Desa Tanjung Beringin, salah satu dari delapan desa yang berada di kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/senandung-bukit-rimbang-bukit-baling/feed/ 0 40528