buku perjalanan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/buku-perjalanan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 25 Mar 2023 14:44:49 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 buku perjalanan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/buku-perjalanan/ 32 32 135956295 Resensi: Jalan Panjang untuk Pulang https://telusuri.id/resensi-jalan-panjang-untuk-pulang/ https://telusuri.id/resensi-jalan-panjang-untuk-pulang/#respond Mon, 27 Mar 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37566 Sebagai penulis perjalanan kawakan, nama Agustinus Wibowo terkenal seantero Indonesia karena berhasil menuliskan Asia Tengah dan Selatan lengkap dengan nafas dan denyut nadi kehidupannya dengan apik dalam Selimut Debu, Garis Batas, dan Titik Nol. Kali...

The post Resensi: Jalan Panjang untuk Pulang appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai penulis perjalanan kawakan, nama Agustinus Wibowo terkenal seantero Indonesia karena berhasil menuliskan Asia Tengah dan Selatan lengkap dengan nafas dan denyut nadi kehidupannya dengan apik dalam Selimut Debu, Garis Batas, dan Titik Nol. Kali ini, serpihan-serpihan cerita lainnya kembali dituangkan dalam buku berjudul Jalan Panjang untuk Pulang. Kata “pulang” yang merupakan inti dari catatan-catatan perjalanan yang ia tuliskan sebelumnya, akhirnya berhasil menjadi judul utama buku sepanjang 461 halaman yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

Tulisan di buku ini dimulai dengan judul “Dunia di Mata Mereka yang Tidak Bepergian”. “Apa jadinya apabila suasana Kota Beijing abad ke-21 masih dipenuhi ingar-bingar Revolusi Kebudayaan, dan apabila tuan rumah Olimpiade 2008 ini menjadi surga Maois? Anda mungkin akan melihat gedung kantor pusat China Central Television (CCTV) yang futuristik itu akan dipuja oleh ribuan kamerad yang berpawai menggelorakan slogan sepanjang jalan. Atau para pekerja kantoran bekerja riang gembira dengan komputer di meja masing-masing, bersama dengan petugas kebersihan yang tersenyum, dikelilingi barisan pengunjung kelas pekerja yang semuanya berwajah penuh kebahagiaan sambil melambaikan bendera merah.”

Agustinus menceritakan bagaimana lukisan para seniman propaganda Korea Utara, menggambarkan kehidupan kota lainnya yang sejatinya belum pernah mereka lihat—China. Dari lukisan ini, Agustinus coba menerangkan bahwa orang-orang Korea Utara yang tidak sebebas kita dalam melakukan perjalanan mencoba menerka-nerka seperti apa Beijing hari ini.

Mungkin di benak mereka, kehidupan China sekarang sama seperti kehidupan di Korea Utara, dengan ideologi komunisme yang masih kuat. Padahal nyatanya, kehidupan China modern sudah jauh melesat seperti negara yang dimusuhi mereka, Korea Selatan. Tanpa perjalanan, mustahil bisa memahami masyarakat dan budaya yang sedemikian banyak, dan dengan perjalanan pun tidak sepenuhnya akan memahamkan kita pada kebudayaan setempat. 

Jalan Panjang untuk Pulang - Agustinus Wibowo

Tulisan lainnya berjudul “Para Pemburu Elang” Agustinus membawa kita ke tengah-tengah padang rumput yang sudah menguning di Mongolia untuk menemui para pemburu elang dari etnis Kazakh. Pemburu elang adalah tradisi berburu menggunakan elang sebagai senjata, yang turun menurun diwarisi oleh para lelaki Kazakh. Agustinus menyaksikan Golden Eagle Festival dan menemui beberapa orang untuk menggali informasi bagaimana elang ini diambil dari sarangnya dan kemudian dipelihara. Salah satunya adalah Atamurat, lelaki berusia 43 tahun dari Dusun Tsengel. 

“Elang milik Atamurat sudah setinggi lutut. Posturnya tidak jauh berbeda dibandingkan dengan elang-elang yang dimiliki pemburu lain. Ternyata bayi elang itu bertumbuh sangat pesat pada tahun pertama usianya, tetapi setelah mencapai ukuran standar, ukuran tubuh elang tidak banyak berubah lagi hingga akhir hayat.” Perburuan menggunakan elang adalah penggambaran sempurna lelaki Kazakh; kecintaan pada alam, ketangguhan lelaki pengembara, dan kebanggaan suku bangsa padang rumput.

Dari padang rumput Mongolia beranjak ke Desa Panjrud, sebuah desa asal Rudaki sang penyair dimakamkan dalam “Tersekat Gunung dan Batas”. Agustinus menapaki Tajikistan, sebuah negara “Stan” di Asia Tengah yang merupakan hasil pecahan dari Uni Soviet. Agustinus yang pernah mengunjungi Tajikistan pada 2006, kembali mengulang perjalanannya di tahun 2015. Agustinus menceritakan permasalahan negara-negara “Stan” ini begitu rumit: mulai dari sejarah, pencarian akan kebanggaan bangsa, perbatasan yang begitu njelimet, hingga politik identitas yang membangun kerumitan hubungan antar suku bangsa.

“Di hadapan saya yang orang asing ini, mereka bahkan terkadang sengaja menunjukkan bahwa Kirgiz dan Tajik akur bersaudara, seolah tidak pernah terjadi masalaha apa-apa di antara mereka. Tetapi dalam percakapan mendalam secara terpisah dengan penduduk di sini, saya tetap menemukan sentimen yang sama: orang Tajik mengatakan ‘Hati-hati dengan orang Kirgiz, mereka berbahaya’ dan orang Kirgiz mengatakan hal yang sama.”

Sebuah renungan kemudian Agustinus curahkan dalam “Garis Batas di Atas Kertas” kala dirinya melakukan penerbangan ke Belanda melalui Thailand. Ia mendapatkan perlakuan yang agak kera dari petugas karena belum menentukan kapan tanggal kepulangan dari Belanda. Pemegang paspor Indonesia kerap kali dicurigai ketika ingin memasuki Eropa. Hampir saja ia ketinggalan pesawat jikalau tidak ada kedutaan Belanda yang ikut memeriksa kelengkapan dokumennya. Di akhir cerita, ia bertemu Hussain, seorang pemuda Irak yang sudah memiliki paspor Belanda namun tetap mendapat perlakuan seperti warga Irak.

“Nasib kita memang ditentukan oleh garis-garis batas berwujud kertas yang kita pegang dan bawa ke mana-mana. Tetapi bahkan ketika kertas yang kita pegan ini berubah, tetap ada bagian dari diri kita yang tidak akan serta-merta turut berubah karenanya.”

Lain lagi dalam “Darah dan Nasionalisme”, Ia menyoroti soal “asal garis keturunan” yang sering dipermasalahkan orang banyak. Agustinus menuliskan persoalan kebangsaan bukanlah semata-mata garis keturunan tetapi juga gaya hidup, budaya, kebiasaan, hingga pemikiran. Tampilan fisik yang mirip tidak serta merta membuat Agustinus hidup dengan nyaman di Tiongkok. Dirinya secara administratif ditolak sebagai “warga Cina” walaupun dirinya secara fisik 100% serupa. “Justru ketika berada di Cina, saya pertama kali menyadari betapa Indonesianya saya.”

“Kecinaan saya juga berbeda dengan kecinaan mereka. Saya tidak bisa mengerti bahasa Mandarin yang mereka gunakan, sedangkan mereka menganggap bahasa Cina yang saya terlalu aneh dan ketinggalan zaman. Saya tidak berbagi  penghormatan mereka terhadap partai komunis dan kebencian mereka terhadap Jepang. Saya tidak mewarisi luka batin mereka karena Revolusi Kebudayaan. Saya tidak punya kebiasaan yang sama dengan mereka dalam hal bersantap, melaksanakan ritual keagamaan, maupun berkomunikasi.”

Buku ini adalah catatan-catatan yang terbuat dari pemikiran tentang gagasan “pulang” dalam arti yang lebih luas dari definisi yang kita kaitkan tentang pulang itu sendiri, bercampur dengan pengalaman perjalanan yang telah melanglang buana ke daerah-daerah yang bagi kita terasa asing dan bahkan hanya terdengar sesekali. Meskipun buku ini bukanlah suatu cerita panjang yang saling bertautan satu sama lain seperti buku-buku Agustinus sebelumnya, setidaknya tulisan ini menjadi penyegar lara akan kita yang selalu haus akan tulisan-tulisan perjalanan yang memukau.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Resensi: Jalan Panjang untuk Pulang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/resensi-jalan-panjang-untuk-pulang/feed/ 0 37566
Lara Tawa Nusantara: Indonesia dari Kacamata “Tidak Biasa” https://telusuri.id/lara-tawa-nusantara/ https://telusuri.id/lara-tawa-nusantara/#respond Sat, 04 Feb 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36523 Indonesia tidak semata bisa terdefinisikan lewat carut-marut politik di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Tidak. Indonesia adalah juga pelosok, daerah-daerah terpencil dan terlupakan walau di atlas dan Google Map namanya terpampang, tetapi...

The post Lara Tawa Nusantara: Indonesia dari Kacamata “Tidak Biasa” appeared first on TelusuRI.

]]>
Indonesia tidak semata bisa terdefinisikan lewat carut-marut politik di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Tidak. Indonesia adalah juga pelosok, daerah-daerah terpencil dan terlupakan walau di atlas dan Google Map namanya terpampang, tetapi kita tidak tahu banyak tentangnya. Indonesia, juga adalah wilayah-wilayah yang kini seakan asing, pulau-pulau terpencil yang jauh dari radar Jakarta, yang kerap dianaktirikan oleh pembangunan, tempat-tempat yang jarang diberitakan media, yang tidak terdengar dan tidak bersuara, wilayah-wilayah yang terdepak dan kerap disebut sebagai “Indonesia yang merana”.

Kita mengenal Jakarta dengan baik. Setiap sudut kotanya banyak diceritakan sebagai tragedi atau prestasi. Kita juga tahu bagaimana kondisi politik di Jakarta meskipun terpisah ratusan pulau. Tapi apakah kita mengenal dengan baik wilayah lainnya dari negeri yang luasnya sampai belasan ribu pulau, dan apakah mereka mendapat porsi yang sama layaknya Jakarta?

  • Lara Tawa Nusantara
  • Lara Tawa Nusantara

Lara Tawa Nusantara adalah sebuah jendela Indonesia dalam kacamata “tidak biasa” dan berusaha mengangkat daerah-daerah di Indonesia yang luput dari perhatian dalam pementasan bangsa. Buku setebal 349 halaman ini merupakan buku ketiga hasil karya Fatris MF dalam mengamati dan menjelajahi Nusantara, berisikan cerita perjalanan Fatris MF mengarungi tempat-tempat di Indonesia: Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Lombok, dan Bali; baik di pedalaman maupun pesisir. Fatris coba menangkap segelintir kisah kehidupan orang-orang yang tinggalnya jauh dari sorotan, dan mengajak para pembaca untuk merenungi apa saja permasalah bangsa ini.

Kalimantan adalah persinggahan pertama yang akan para pembaca temui kala membuka permulaan bab buku ini. Fatris mendesak masuk ke pedalaman Kalimantan Tengah dari Kota Pangkalan Bun, dari situ ia kemudian menuju sebuah perkampungan bernama Lopus, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau. Belum sampai di tempat tujuan, Fatris sudah mengajak kita untuk berpikir dan merenung. 

“Bayangan saya tentang hutan Kalimantan yang hijau, sirna. Saya hanya melihat dataran mahaluas yang dijejali oleh perkebunan sawit, begitu rapi, begitu membuat decak kagum: masa kejayaan perkebunan yang agung telah dimulai kembali setelah pemerintah kolonial hengkang kaki dari Nusantara.”

“Sepi bergelantungan di pokok-pokok tahun kelapa sawit yang membuat Borneo berubah dari ‘tertinggal’ sekarang telah ‘maju’. Entah maju ke arah mana, tidak satu kitab suci pun yang bisa menjelaskan perkara ini.”

Di Lopus, Fatris menemui orang-orang Dayak yang bernama unik–yang mungkin kita sering dengar tapi tidak terbayangkan menjadi nama orang—sebut saja Mesin, Ponten, Yamaha, dan Arab. Ia melihat rumah-rumah panggung dan menari bersama mereka, juga melihat keterikatan yang terjadi antara Beradu dan Fatris dalam sebuah mitologi yang diceritakan turun temurun oleh orang-orang Dayak Tomun.

Lara Tawa Nusantara

Beralih ke daerah Kalimantan Tengah lainnya, kali ini di Camp Leakey, melihat kehidupan di Camp Leakey yang menganut sistem hukum rimba. Kisah tragis hidupnya Kusasi dan perjalanannya menjadi raja camp, serta pertarungannya melawan Tom.

“Kusasi lahir di tengah belantara hijau di Palangkaraya… Sebuah tragedi telah membuatnya yatim piatu. Seluruh keluarganya tewas, mungkin dibunuh atau diculik. Atau mungkin juga telah menjadi arang, hangus terbakar… Bukankah kayu-kayu besar telah menjadi perkebunan , dan hasilnya disedot ke Jakarta sana? Bukankah di Jakarta orang-orang membutuhkan tisu untuk menyeka air mata dan ingus, bahkan belahan pantat mereka?”

Menyeberang ke Sulawesi, Fatris pergi ke pesisir-pesisir, mencari jawara lautan yang sudah kadung kesohor sedunia. Namun, yang didapatinya adalah kenyataan bahwa kapal legenda pinisi sudah habis masanya, ditelan oleh mesin dan solar. 

“Amanagappa, itu pinisi terakhir. Setelah itu tidak ada lagi yang namanya pinisi,” ujar Haji Safaring yang menerangkan kepada Fatris masa perahu angin sudahlah habis. Pada pelayaran Amanagappa itulah menurut Safaring, pinisi terakhir yang mengarungi samudera dengan angin. Selain pinisi, perahu tanpa mesin tercepat di dunia, sandek, juga mengalami masa-masa yang kurang mengenakkan selepas tenaga angin tidak terlalu dibutuhkan. Juga, cerita mengenai tradisi pemakaman mahal ala Toraja dan asa Mamasa yang bertahan dalam ajaran lama, Aluk Tomatua.

“Dulu, saya ingin masuk agama, diam-diam saya mengintip mereka sembahyang ke gereja. Ada yang tertawa, ada yang bicara, ada yang melihat telepon. Padahal pendeta mereka sedang memimpin doa. Mereka sedang sembahyang. Saya saja tidak suka melihat mereka sembahyang seperti itu, apalagi Tuhan.”

“Dan, satu kali saya pernah ke masjid. Suara dari masjid begitu merdu saya dengar saban pagi. Itu, di balik lapis sana, ada masjid. Saya turuni lembah, saya datangi rumah ibadah orang Islam. Sesampai di sana, saya lihat tidak ada orang. Hanya ada tape yang diberi pengeras suara. Apa orang Islam menyembah tape? Bagaimana cara menyembah tape?”

Lara Tawa Nusantara

Komentar jenaka dari para narasumber yang Fatris temui kadang mengundang gelak tawa, menahan seringai kecut bibir, menampar hati, dan menjadi bumbu penyedap cerita yang membuat para pembaca berpikir “ada benarnya juga”. 

Penjelasan Fatris tidak terbatas hanya apa yang ia lihat dan rasakan selama perjalanan, tetapi juga menyertakan catatan-catatan para pengelana terdahulu. Misalnya di Aceh ia menuliskan sedikit tentang ekspedisi militer Belanda ke Aceh yang tidak pernah tembus sampai akhirnya Snouck Hurgronje masuk dan merusak dari dalam. Tentang G.M. Veer Spyck, seorang pembantai yang takjub akan keindahan Danau Toba, atau tentang Tome Pires yang mencatat kerajaan kuno di Barus.

Catatan ini menjadi sebuah memoar perjalanan yang sempurna, yang tidak hanya menyirat soal tempat-tempat yang memang sudah kadung populer, tetapi juga mencoba melihat permasalahan yang terjadi di sekitarnya sebagai olok-olok. Sindiran, kritikan, satir, dan uneg-uneg adalah hal yang akan kita sering jumpai lembar demi lembar, baik dari Fatris ataupun orang-orang yang ia temui sepanjang perjalanan. Buku ini adalah sebuah manifestasi dari kelucuan, kegalauan, keseriusan orang-orang yang tidak terekspos di negeri ini, yang jika kita semakin tahu maka akan semakin mempertanyakan “kemanusiaan” dalam diri kita.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lara Tawa Nusantara: Indonesia dari Kacamata “Tidak Biasa” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lara-tawa-nusantara/feed/ 0 36523
Resensi: Interval, Esai-Esai Kritis Tentang Perjalanan dan Pariwisata https://telusuri.id/resensi-interval-esai-esai-kritis-tentang-perjalanan-dan-pariwisata/ https://telusuri.id/resensi-interval-esai-esai-kritis-tentang-perjalanan-dan-pariwisata/#respond Sat, 26 Nov 2022 16:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36273 Apa jadinya kalau berwisata adalah perjalanan jiwa dan pikiran? Apa jadinya hasil dari jalan-jalan adalah pengamatan yang lebih cemerlang tentang sekitar? Begitulah mungkin yang ingin Sarani Pitor Pakan sampaikan kepada para pembaca dalam buku yang...

The post Resensi: Interval, Esai-Esai Kritis Tentang Perjalanan dan Pariwisata appeared first on TelusuRI.

]]>
Apa jadinya kalau berwisata adalah perjalanan jiwa dan pikiran? Apa jadinya hasil dari jalan-jalan adalah pengamatan yang lebih cemerlang tentang sekitar? Begitulah mungkin yang ingin Sarani Pitor Pakan sampaikan kepada para pembaca dalam buku yang berjudul Interval: Esai-Esai Kritis Tentang Perjalanan dan Pariwisata. Pitor mengajak para pembaca terlibat dalam melihat pariwisata dan lika-liku di dalamnya dalam kacamata yang tidak biasa.

Buku setebal 140 halaman ini adalah kumpulan esai-esai yang pernah ditulis oleh Pitor di berbagai media daring seperti TelusuRI, Traveler Kaskus, Geotimes, studipariwisata.com, dan blog pribadinya. Dalam pengantar yang ia tulis, Pitor menceritakan bagaimana pengalamannya sebagai jurnalis—pejalan—akademisi membentuk pola pikir kritis soal pariwisata, yang tidak hanya melekat pada perpindahan tempat dan bersenang-senang, tapi juga sebagai reflektif dan proses belajar.

Tulisan di buku ini dimulai dengan sebuah esai yang berjudulPerjalanan: Menemukan Bhinneka, Memperbarui Keindonesiaan”, Pitor menerangkan kenapa perjalanan bisa membentuk kita lebih “Indonesia” dan lebih “bhinneka tunggal ika”. Dalam sekolah maupun pidato-pidato kebangsaan, kata  bhinneka tunggal ika populer didengungkan untuk menegaskan bahwa perbedaan dalam tubuh bangsa ini adalah suatu keniscayaan yang harus kita jaga, dan itulah yang ditanamkan dalam setiap benak putra-putri bangsa. Apa jadinya kalau falsafah yang ditanamkan justru terasa asing dalam perilaku ataupun perangai kita sebagai masyarakat?

Mengapa kemudian perjalanan—yang kemudian banyak dimaksudkan untuk bersenang-senang dan ajang pamer—menjadi salah satu cara yang efektif untuk menerapkan kebhinekaan? “Perjalanan menciptakan semacam proses dialog di dalam kepala kita. Kita mengevaluasi, menimbang, dan menginterpretasi ulang cara pandang yang kita miliki. Pada akhirnya, laku-laku reflektif dan hermeneutik itu memperkaya pandangan kita,” tulisnya.

Pitor lalu mengajak pembaca untuk menjadi orang lokal dalam konteks tempat wisata “Apa Rasanya Menjadi ‘Lokal’”. Pengalaman Pitor yang hidup di luar negeri seketika berubah saat sekembalinya ia ke Depok, yang sudah dipenuhi ojek daring. Ia menilai perubahan aktivitas di depan rumahnya yang tiba-tiba ramai ojek daring, sama seperti perubahan sekitar lingkungan yang menjadi objek wisata. Kita yang sering berwisata mungkin sadar, perubahan-perubahan yang terjadi pada tempat wisata tidak hanya dari aspek lingkungan saja, tetapi juga pola pikir warga sekitar.

Ada juga tulisan menyoal slow traveling. Gaya hidup serba cepat pada era modern ini telah membuat banyak orang hasil yang instan dalam waktu yang relatif singkat, hal itu turut mempengaruhi cara bepergian orang-orang yang menginginkan banyak spot wisata dalam rentang waktu yang sedikit. Slow travel menjadi sebuah solusi untuk menghadirkan sebuah perjalanan yang lebih bermakna dan juga go green.

Kritik tentang machoisme dalam pariwisata juga dituliskan Pitor dengan lugas. Bagaimana backpacking dipandang sebagai sesuatu yang mengandung elemen “macho” karena pendefinisiannya yang cenderung melebih-lebihkan sebagai sesuatu yang “tangguh”, “keren”, “petualang”. Menurutnya, masalah machoisme ini berasal dari siklus patriarki yang memandang lelaki sebagai “kiblat dunia”. Alhasil, perjalanan-perjalanan jadi lekat dengan penaklukan dan penjelajahan, dan lagi-lagi lelaki diasosiasikan sebagai aksi dan kekuatan, alih-alih perempuan yang hanya dilabeli dengan kepasifan.

Interval: Esai-Esai Kritis Tentang Perjalanan dan Pariwisata

Di banyak tulisannya, Pitor mengkritik tentang eksotisme yang begitu lekat dengan tempat-tempat kunjungan wisata. Bagaimana suatu tempat harus bertahan seperti asalnya tanpa bisa berjalan organik untuk mengalami perubahan seperti tempat lainnya. Eksotisme adalah label yang terus bertahan pasca kolonialisme yang cukup panjang di negara ini dan terus diumbar dalam upaya mendatangkan banyak devisa negara, tapi apakah sesuatu yang tampak “eksotis” tersebut tidak boleh berubah dan harus terus menerus tetap pada “kekunoan dan keunikannya”? 

“Yang lebih pelik dari itu adalah kebanggaan sebagai “yang eksotis”. Agak mengerikan kalau upaya promosi pariwisata Indonesia ke wisatawan mancanegara masih memakai istilah “eksotis”. Jualan sih, boleh. Tapi, ya, mbok nggak gitu juga. Tapi nyatanya itu kerap terjadi,” tulis Pitor dalam sebuah narasi yang berjudul “Eksotisme?”.

Satu hal yang saya suka dari pemaparan yang disampaikan Pitor adalah penelusuran yang  dibungkus dengan kata-kata yang ringan namun penuh pertanyaan dan menelisik. Kelimpahan turis dan tempat wisata adalah sebuah kesyukuran, namun apalah arti kelimpahan tanpa pemaknaan yang memadai mengenai pariwisata dan perjalanan? 

Pitor juga banyak mengutip hasil penelitian maupun pendapat para ahli dan kemudian disandingkan dengan pendapatnya tentang permasalahan pariwisata, yang kemudian berakhir dengan sebuah kesimpulan atau kembali menjadi sebuah pertanyaan untuk para pembaca.

Tulisan-tulisan ini adalah sedikit pencerahan akan makna dari pariwisata yang sudah kadung banyak diterima kepala banyak orang sebagai sarana bersenang-senang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Resensi: Interval, Esai-Esai Kritis Tentang Perjalanan dan Pariwisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/resensi-interval-esai-esai-kritis-tentang-perjalanan-dan-pariwisata/feed/ 0 36273
Fatris MF dalam Hikayat Sumatra https://telusuri.id/fatris-mf-dalam-hikayat-sumatra/ https://telusuri.id/fatris-mf-dalam-hikayat-sumatra/#respond Thu, 03 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34960 Rimba bagi orang-orang Sumatra adalah supermarket yang menyediakan segala hajat hidup. Sandang, pangan, papan, hingga obat-obatan. Tapi itu dulu, sebelum tanaman industri mengambil alih lahan yang disebut rimba sembari berkampanye mengenai manfaatnya secara ekonomi, yang...

The post Fatris MF dalam Hikayat Sumatra appeared first on TelusuRI.

]]>
Rimba bagi orang-orang Sumatra adalah supermarket yang menyediakan segala hajat hidup. Sandang, pangan, papan, hingga obat-obatan. Tapi itu dulu, sebelum tanaman industri mengambil alih lahan yang disebut rimba sembari berkampanye mengenai manfaatnya secara ekonomi, yang konon mampu menghidupi jutaan orang. Lantas pada siapakah kita berpihak?

Keniscayaan tentang Sumatra adalah, di pulau ini sawit tumbuh mengepung rimba raya Sumatra, mengubahnya menjadi monokultur sawit yang didengungkan sebagai sumber devisa negara. Kali ini, Fatris MF mengajak pembaca untuk menjelajah Sumatra sekaligus melihat lebih dekat kehidupan di pulau yang dijuluki oleh bangsa India sebagai swarnadwipa atau pulau emas. Buku setebal 187 halaman ini berjudul Hikayat Sumatra ini adalah buku catatan perjalanan ke-5 dari Fatris MF setelah sebelumnya menuliskan beberapa judul seperti Merobek Sumatra, Kabar dari Timur, Lara Tawa Nusantara, dan Jurnal Banda.

Hikayat Sumatra
Hikayat Sumatra/M. Irsyad Saputra

Sembari menikmati pisang goreng hangat, saya menikmati imajinasi berputar, seakan saya yang mengalami semua pengalaman yang diceritakan Fatris. Guratan tangan seorang pesilat, dan bagaimana itu bisa menjadi masalah bagi polisi Belanda yang menganggap mereka yang ingin merdeka sebagai berandal. Pada bab Legiun Pendekar, diterangkan bagaimana pesilat-pesilat tangguh asal Minang, silih berganti menjadi buronan yang bikin geleng-geleng kepala para opsir. Sosoknya ditakuti, jurusnya mematikan, namun sayang di masa sekarang pencak silat kehilangan magisnya dan beralih seperti barang komoditi.

Tidak cukup hanya singgah ke Kota Padang, Fatris juga membawa para pembaca menikmati pedalaman Mentawai, tepatnya di Pulau Siberut. Cerita tentang sikerei—penghubung alam roh dengan dunia nyata dalam suku Mentawai, yang harus kehilangan tajinya di masa modern. Talepon Salakkirat bersikeras menolak meneruskan pekerjaan Aman Lepon, ayahnya, sebagai sikerei. Menjadi sikerei berarti juga harus belajar dan mengikuti proses penobatannya, yang berarti juga harus mempunyai tato ala Mentawai.

Dari rimba Mentawai, kita akan dibawa menjalar jauh ke Sawahlunto, kota tambang peninggalan Belanda yang menjadi tempat berkumpulnya berbagai budaya menjadi suatu kebudayaan baru karena perkumpulan para pekerja tambang yang berasal dari berbagai daerah. Sawahlunto yang kini relatif sepi, dulunya pernah menjadi mercusuar di tengah hutan Sumatra berkat penambangan batu baranya. 

Jambi, ternyata menyimpan sejarah kuno yang cukup dalam, terutama di Muara Jambi. Dengan jumlah situs yang diperkirakan ada 82 buah berupa candi-candi yang terbuat dari bata merah dengan ukuran wilayah 7,5 kilometer, diperkirakan bahwa daerah Muara Jambi dulunya adalah daerah tempat pembelajaran agama Budha yang menjadi persinggahan yang ramai oleh peziarah dari berbagai penjuru.  

Yang saya suka dari buku ini adalah caranya Fatris menggambarkan suatu lingkungan dengan sudut pandang si penulis, kemudian diiringi oleh pandangan-pandangan orang-orang lokal yang ditemuinya. Penceritaan alur di buku ini juga menyertakan sumber-sumber tertulis sekunder untuk memperkaya suatu pandangan. Tulisannya juga dilengkapi dengan foto-foto terkait, menambah kesan dramatis perjalannya, meski hanya sebatas hitam putih.

Kadang kala, Fatris menyelipkan berbagai pertanyaan yang akan mengusik rasa manusiawi kita sebagai pembaca dalam melihat modernitas telah merubah banyak hal yang berkaitan dengan cara hidup manusia Sumatra. Bagaimana rimba yang diubah demi masa depan yang (katanya) lebih baik, bagaimana melihat dukun beranak dianggap sebagai profesi yang lekat dengan praktik hitam, alih-alih sebagai profesi tradisional yang banyak membantu persalinan. Pandangan-pandangan kritis mengenai jalan hidup kita sehari-hari, coba dikritisi oleh Fatris untuk menumbuhkan rasa empati dan simpati dari pembaca.

Rasa-rasanya, bagi penggemar tulisan perjalanan, sulit untuk melewatkan buku yang satu ini untuk dikoleksi. Harganya yang cukup murah untuk sebuah buku perjalanan. Meski tidak terlalu tebal, buku ini cukup untuk menuntaskan dahaga akan cerita di salah satu pulau besar ini. Sebagai penggemar, saya rasa tulisan-tulisan dari Fatris memang layak untuk ditunggu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Fatris MF dalam Hikayat Sumatra appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/fatris-mf-dalam-hikayat-sumatra/feed/ 0 34960
Menyusuri Sulawesi lewat Buku “Cerita yang Datang dari Pulau Berkaki Empat” https://telusuri.id/cerita-yang-datang-dari-pulau-berkaki-empat/ https://telusuri.id/cerita-yang-datang-dari-pulau-berkaki-empat/#respond Wed, 06 Oct 2021 09:46:40 +0000 https://telusuri.id/?p=30796 Sulawesi, bagi saya sendiri masih menjadi misteri meski pulau ini hanya bersampingan dengan pulau saya. Entah kenapa menuju Sulawesi lebih sulit daripada menuju Jawa. Dahulu saya sering sekali mengasosiasikan bentuk Pulau Sulawesi dengan huruf K,...

The post Menyusuri Sulawesi lewat Buku “Cerita yang Datang dari Pulau Berkaki Empat” appeared first on TelusuRI.

]]>
Sulawesi, bagi saya sendiri masih menjadi misteri meski pulau ini hanya bersampingan dengan pulau saya. Entah kenapa menuju Sulawesi lebih sulit daripada menuju Jawa. Dahulu saya sering sekali mengasosiasikan bentuk Pulau Sulawesi dengan huruf K, imajinasi saya membayangkan pulau-pulau besar di Indonesia dalam berbagai bentuk. Mengobati rasa penasaran saya akan mengunjungi pulau ini, saya membaca sebuah buku yang menggambarkan perjalanan menjelajahi Sulawesi. Cerita yang Datang dari Pulau Berkaki Empat karya Ahmad Yunus merupakan sekelumit catatannya ketika mengunjungi Sulawesi dalam tiga kali kesempatan.

Prolog buku ini menceritakan bagaimana Ahmad Yunus berhasil menghidupkan imaji masa kecilnya mengenai Sulawesi yang dulu hanya bisa dia lihat melalui peta. Kunjungannya dalam beberapa ekspedisi seolah tidak menghilangkan rasa penasarannya akan pulau ini. Bulukumba, Buton, Banggai, Togean adalah nama-nama yang semakin akrab di telinganya selepas menjelajah Sulawesi. Penulis juga menceritakan mengenai Wallace yang sering dilihatnya di Museum Geologi Bandung sewaktu kecil. Wallace juga yang akhirnya menjadi salah satu pemicu dia untuk berani menjelajahi alam Indonesia.

Cerita yang Datang Dari Pulau Berkaki Empat
Cerita yang Datang Dari Pulau Berkaki Empat

Ahmad Yunus sempat menyambangi Palu pasca terjadi gempa besar di penghujung tahun 2018, dia menggambarkan kondisi Palu masih rapuh dengan pemberesan sisa-sisa puing gempa. Sulawesi yang masuk ke dalam ring of fire membuatnya rawan gempa sekaligus unik karena Sulawesi terbentuk oleh proses endogen.

Kisah dari Makassar membuka lembaran cerita di buku ini di Sulawesi Selatan. Penulis menyaksikan teater pertunjukkan I La Galigo. Pengalamannya bertemu seorang bissu yang merupakan pendeta laki yang berjiwa perempuan. Klasifikasinya merupakan gender tersendiri dalam masyarakat Bugis. Namun, sungguh tragis nasib para bissu yang dianggap menyalahi kodrat dan diburu hingga akhirnya mereka menjadi minoritas dalam masyarakatnya sendiri. Yunus juga menikmati berjalan-jalan di sekitar Benteng Rotterdam yang bersejarah dan melihat ruangan -salah satunya ruang pengasingan Pangeran Diponegoro- dan berbicara dengan Zaenal, seorang pelukis yang menggunakan tanah liat sebagai medianya. 

Dalam Genderang Semangat Daeng Serang menceritakan Daeng Serang, seorang seniman musik tabuh yang sudah berusia tua namun tetap enerjik. Daeng selalu bermimpi agar kesenian daerah bisa terus lestari dengan mengajarkannya kepada generasi muda. Daeng juga sudah berkeliling dunia untuk menampilkan keahliannya menabuh gendang. Secangkir Pagi di Pelabuhan Paotere menampilkan kisah Yunus menyambangi Pelabuhan Paotere, satu-satunya pelabuhan tradisional yang masih ada di Makassar. Aneka ragam kapal tradisional terlihat hilir mudik memasuki area pelabuhan. Yunus juga menceritakan bagaimana perdagangan hiu yang masih merajalela padahal hiu adalah salah satu hewan yang sudah dieksploitasi berlebihan.

Cerita yang Datang Dari Pulau Berkaki Empat
Cerita yang Datang Dari Pulau Berkaki Empat

Pada bab selanjutnya Yunus mulai berpindah ke provinsi lainnya, Sumatra Tenggara. Selama di sini Yunus mengunjungi Pulau Muna dalam cerita Pulau Muna: Layangan Rasa Ubi Hutan. Bersama Lahada, sang pengrajin layangan tradisional, Yunus diajak untuk membuat layang-layang dari bahan alami. Tradisi bermain layangan di Pulau Muna disebut Kaghati dan menurut Wolfgong Bick, merupakan permainan layang-layang tertua di dunia. Lanjut ke Pulau Buton, melihat bahasa Ciacia yang berakasra Hangul membuat Yunus takjub padahal keduanya terpisah sangat jauh.

Sulawesi Tengah, Yunus kembali dibuat takjub oleh Danau Poso, Madagaskar di Jantung Sulawesi. Berlanjut ke Gorontalo ada Danau Limboto yang semakin kering, menyusuri Taman Nasional Takabonerate, wisata bahari di Wakatobi, hingga ke Pulau Miangas. Perjalanan-perjalanan tersebut Yunus tuangkan ke dalam kisah demi kisah yang merajut keutuhan cerita Sulawesi.

Cerita-cerita pendek dalam buku ini merangkai satu kesatuan sebagai cerita “Sulawesi”. Kadang saya masih merasa tidak mengikuti perjalanannya secara utuh, terasa hanya sekedar siluet dari perjalanan panjang Ahmad Yunus. Saya sendiri merasa kurang puas dengan cerita yang ditampilkan, rasanya masih terasa di permukaan, mungkin ini karena keterbatasan halaman yang menjadikannya harus lebih singkat.  Mungkin ini juga yang membuat buku ini ada keterangan sketsa pengembaraan di Sulawesi.  Sebagai sketsa, setidaknya dari buku ini kita bisa melihat bagaimana Yunus begitu menikmati pengembaraannya ke berbagai penjuru Sulawesi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Sulawesi lewat Buku “Cerita yang Datang dari Pulau Berkaki Empat” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-yang-datang-dari-pulau-berkaki-empat/feed/ 0 30796