buku traveling Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/buku-traveling/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 25 Mar 2023 14:44:49 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 buku traveling Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/buku-traveling/ 32 32 135956295 Resensi: Interval, Esai-Esai Kritis Tentang Perjalanan dan Pariwisata https://telusuri.id/resensi-interval-esai-esai-kritis-tentang-perjalanan-dan-pariwisata/ https://telusuri.id/resensi-interval-esai-esai-kritis-tentang-perjalanan-dan-pariwisata/#respond Sat, 26 Nov 2022 16:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36273 Apa jadinya kalau berwisata adalah perjalanan jiwa dan pikiran? Apa jadinya hasil dari jalan-jalan adalah pengamatan yang lebih cemerlang tentang sekitar? Begitulah mungkin yang ingin Sarani Pitor Pakan sampaikan kepada para pembaca dalam buku yang...

The post Resensi: Interval, Esai-Esai Kritis Tentang Perjalanan dan Pariwisata appeared first on TelusuRI.

]]>
Apa jadinya kalau berwisata adalah perjalanan jiwa dan pikiran? Apa jadinya hasil dari jalan-jalan adalah pengamatan yang lebih cemerlang tentang sekitar? Begitulah mungkin yang ingin Sarani Pitor Pakan sampaikan kepada para pembaca dalam buku yang berjudul Interval: Esai-Esai Kritis Tentang Perjalanan dan Pariwisata. Pitor mengajak para pembaca terlibat dalam melihat pariwisata dan lika-liku di dalamnya dalam kacamata yang tidak biasa.

Buku setebal 140 halaman ini adalah kumpulan esai-esai yang pernah ditulis oleh Pitor di berbagai media daring seperti TelusuRI, Traveler Kaskus, Geotimes, studipariwisata.com, dan blog pribadinya. Dalam pengantar yang ia tulis, Pitor menceritakan bagaimana pengalamannya sebagai jurnalis—pejalan—akademisi membentuk pola pikir kritis soal pariwisata, yang tidak hanya melekat pada perpindahan tempat dan bersenang-senang, tapi juga sebagai reflektif dan proses belajar.

Tulisan di buku ini dimulai dengan sebuah esai yang berjudulPerjalanan: Menemukan Bhinneka, Memperbarui Keindonesiaan”, Pitor menerangkan kenapa perjalanan bisa membentuk kita lebih “Indonesia” dan lebih “bhinneka tunggal ika”. Dalam sekolah maupun pidato-pidato kebangsaan, kata  bhinneka tunggal ika populer didengungkan untuk menegaskan bahwa perbedaan dalam tubuh bangsa ini adalah suatu keniscayaan yang harus kita jaga, dan itulah yang ditanamkan dalam setiap benak putra-putri bangsa. Apa jadinya kalau falsafah yang ditanamkan justru terasa asing dalam perilaku ataupun perangai kita sebagai masyarakat?

Mengapa kemudian perjalanan—yang kemudian banyak dimaksudkan untuk bersenang-senang dan ajang pamer—menjadi salah satu cara yang efektif untuk menerapkan kebhinekaan? “Perjalanan menciptakan semacam proses dialog di dalam kepala kita. Kita mengevaluasi, menimbang, dan menginterpretasi ulang cara pandang yang kita miliki. Pada akhirnya, laku-laku reflektif dan hermeneutik itu memperkaya pandangan kita,” tulisnya.

Pitor lalu mengajak pembaca untuk menjadi orang lokal dalam konteks tempat wisata “Apa Rasanya Menjadi ‘Lokal’”. Pengalaman Pitor yang hidup di luar negeri seketika berubah saat sekembalinya ia ke Depok, yang sudah dipenuhi ojek daring. Ia menilai perubahan aktivitas di depan rumahnya yang tiba-tiba ramai ojek daring, sama seperti perubahan sekitar lingkungan yang menjadi objek wisata. Kita yang sering berwisata mungkin sadar, perubahan-perubahan yang terjadi pada tempat wisata tidak hanya dari aspek lingkungan saja, tetapi juga pola pikir warga sekitar.

Ada juga tulisan menyoal slow traveling. Gaya hidup serba cepat pada era modern ini telah membuat banyak orang hasil yang instan dalam waktu yang relatif singkat, hal itu turut mempengaruhi cara bepergian orang-orang yang menginginkan banyak spot wisata dalam rentang waktu yang sedikit. Slow travel menjadi sebuah solusi untuk menghadirkan sebuah perjalanan yang lebih bermakna dan juga go green.

Kritik tentang machoisme dalam pariwisata juga dituliskan Pitor dengan lugas. Bagaimana backpacking dipandang sebagai sesuatu yang mengandung elemen “macho” karena pendefinisiannya yang cenderung melebih-lebihkan sebagai sesuatu yang “tangguh”, “keren”, “petualang”. Menurutnya, masalah machoisme ini berasal dari siklus patriarki yang memandang lelaki sebagai “kiblat dunia”. Alhasil, perjalanan-perjalanan jadi lekat dengan penaklukan dan penjelajahan, dan lagi-lagi lelaki diasosiasikan sebagai aksi dan kekuatan, alih-alih perempuan yang hanya dilabeli dengan kepasifan.

Interval: Esai-Esai Kritis Tentang Perjalanan dan Pariwisata

Di banyak tulisannya, Pitor mengkritik tentang eksotisme yang begitu lekat dengan tempat-tempat kunjungan wisata. Bagaimana suatu tempat harus bertahan seperti asalnya tanpa bisa berjalan organik untuk mengalami perubahan seperti tempat lainnya. Eksotisme adalah label yang terus bertahan pasca kolonialisme yang cukup panjang di negara ini dan terus diumbar dalam upaya mendatangkan banyak devisa negara, tapi apakah sesuatu yang tampak “eksotis” tersebut tidak boleh berubah dan harus terus menerus tetap pada “kekunoan dan keunikannya”? 

“Yang lebih pelik dari itu adalah kebanggaan sebagai “yang eksotis”. Agak mengerikan kalau upaya promosi pariwisata Indonesia ke wisatawan mancanegara masih memakai istilah “eksotis”. Jualan sih, boleh. Tapi, ya, mbok nggak gitu juga. Tapi nyatanya itu kerap terjadi,” tulis Pitor dalam sebuah narasi yang berjudul “Eksotisme?”.

Satu hal yang saya suka dari pemaparan yang disampaikan Pitor adalah penelusuran yang  dibungkus dengan kata-kata yang ringan namun penuh pertanyaan dan menelisik. Kelimpahan turis dan tempat wisata adalah sebuah kesyukuran, namun apalah arti kelimpahan tanpa pemaknaan yang memadai mengenai pariwisata dan perjalanan? 

Pitor juga banyak mengutip hasil penelitian maupun pendapat para ahli dan kemudian disandingkan dengan pendapatnya tentang permasalahan pariwisata, yang kemudian berakhir dengan sebuah kesimpulan atau kembali menjadi sebuah pertanyaan untuk para pembaca.

Tulisan-tulisan ini adalah sedikit pencerahan akan makna dari pariwisata yang sudah kadung banyak diterima kepala banyak orang sebagai sarana bersenang-senang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Resensi: Interval, Esai-Esai Kritis Tentang Perjalanan dan Pariwisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/resensi-interval-esai-esai-kritis-tentang-perjalanan-dan-pariwisata/feed/ 0 36273
Menyusuri Sulawesi lewat Buku “Cerita yang Datang dari Pulau Berkaki Empat” https://telusuri.id/cerita-yang-datang-dari-pulau-berkaki-empat/ https://telusuri.id/cerita-yang-datang-dari-pulau-berkaki-empat/#respond Wed, 06 Oct 2021 09:46:40 +0000 https://telusuri.id/?p=30796 Sulawesi, bagi saya sendiri masih menjadi misteri meski pulau ini hanya bersampingan dengan pulau saya. Entah kenapa menuju Sulawesi lebih sulit daripada menuju Jawa. Dahulu saya sering sekali mengasosiasikan bentuk Pulau Sulawesi dengan huruf K,...

The post Menyusuri Sulawesi lewat Buku “Cerita yang Datang dari Pulau Berkaki Empat” appeared first on TelusuRI.

]]>
Sulawesi, bagi saya sendiri masih menjadi misteri meski pulau ini hanya bersampingan dengan pulau saya. Entah kenapa menuju Sulawesi lebih sulit daripada menuju Jawa. Dahulu saya sering sekali mengasosiasikan bentuk Pulau Sulawesi dengan huruf K, imajinasi saya membayangkan pulau-pulau besar di Indonesia dalam berbagai bentuk. Mengobati rasa penasaran saya akan mengunjungi pulau ini, saya membaca sebuah buku yang menggambarkan perjalanan menjelajahi Sulawesi. Cerita yang Datang dari Pulau Berkaki Empat karya Ahmad Yunus merupakan sekelumit catatannya ketika mengunjungi Sulawesi dalam tiga kali kesempatan.

Prolog buku ini menceritakan bagaimana Ahmad Yunus berhasil menghidupkan imaji masa kecilnya mengenai Sulawesi yang dulu hanya bisa dia lihat melalui peta. Kunjungannya dalam beberapa ekspedisi seolah tidak menghilangkan rasa penasarannya akan pulau ini. Bulukumba, Buton, Banggai, Togean adalah nama-nama yang semakin akrab di telinganya selepas menjelajah Sulawesi. Penulis juga menceritakan mengenai Wallace yang sering dilihatnya di Museum Geologi Bandung sewaktu kecil. Wallace juga yang akhirnya menjadi salah satu pemicu dia untuk berani menjelajahi alam Indonesia.

Cerita yang Datang Dari Pulau Berkaki Empat
Cerita yang Datang Dari Pulau Berkaki Empat

Ahmad Yunus sempat menyambangi Palu pasca terjadi gempa besar di penghujung tahun 2018, dia menggambarkan kondisi Palu masih rapuh dengan pemberesan sisa-sisa puing gempa. Sulawesi yang masuk ke dalam ring of fire membuatnya rawan gempa sekaligus unik karena Sulawesi terbentuk oleh proses endogen.

Kisah dari Makassar membuka lembaran cerita di buku ini di Sulawesi Selatan. Penulis menyaksikan teater pertunjukkan I La Galigo. Pengalamannya bertemu seorang bissu yang merupakan pendeta laki yang berjiwa perempuan. Klasifikasinya merupakan gender tersendiri dalam masyarakat Bugis. Namun, sungguh tragis nasib para bissu yang dianggap menyalahi kodrat dan diburu hingga akhirnya mereka menjadi minoritas dalam masyarakatnya sendiri. Yunus juga menikmati berjalan-jalan di sekitar Benteng Rotterdam yang bersejarah dan melihat ruangan -salah satunya ruang pengasingan Pangeran Diponegoro- dan berbicara dengan Zaenal, seorang pelukis yang menggunakan tanah liat sebagai medianya. 

Dalam Genderang Semangat Daeng Serang menceritakan Daeng Serang, seorang seniman musik tabuh yang sudah berusia tua namun tetap enerjik. Daeng selalu bermimpi agar kesenian daerah bisa terus lestari dengan mengajarkannya kepada generasi muda. Daeng juga sudah berkeliling dunia untuk menampilkan keahliannya menabuh gendang. Secangkir Pagi di Pelabuhan Paotere menampilkan kisah Yunus menyambangi Pelabuhan Paotere, satu-satunya pelabuhan tradisional yang masih ada di Makassar. Aneka ragam kapal tradisional terlihat hilir mudik memasuki area pelabuhan. Yunus juga menceritakan bagaimana perdagangan hiu yang masih merajalela padahal hiu adalah salah satu hewan yang sudah dieksploitasi berlebihan.

Cerita yang Datang Dari Pulau Berkaki Empat
Cerita yang Datang Dari Pulau Berkaki Empat

Pada bab selanjutnya Yunus mulai berpindah ke provinsi lainnya, Sumatra Tenggara. Selama di sini Yunus mengunjungi Pulau Muna dalam cerita Pulau Muna: Layangan Rasa Ubi Hutan. Bersama Lahada, sang pengrajin layangan tradisional, Yunus diajak untuk membuat layang-layang dari bahan alami. Tradisi bermain layangan di Pulau Muna disebut Kaghati dan menurut Wolfgong Bick, merupakan permainan layang-layang tertua di dunia. Lanjut ke Pulau Buton, melihat bahasa Ciacia yang berakasra Hangul membuat Yunus takjub padahal keduanya terpisah sangat jauh.

Sulawesi Tengah, Yunus kembali dibuat takjub oleh Danau Poso, Madagaskar di Jantung Sulawesi. Berlanjut ke Gorontalo ada Danau Limboto yang semakin kering, menyusuri Taman Nasional Takabonerate, wisata bahari di Wakatobi, hingga ke Pulau Miangas. Perjalanan-perjalanan tersebut Yunus tuangkan ke dalam kisah demi kisah yang merajut keutuhan cerita Sulawesi.

Cerita-cerita pendek dalam buku ini merangkai satu kesatuan sebagai cerita “Sulawesi”. Kadang saya masih merasa tidak mengikuti perjalanannya secara utuh, terasa hanya sekedar siluet dari perjalanan panjang Ahmad Yunus. Saya sendiri merasa kurang puas dengan cerita yang ditampilkan, rasanya masih terasa di permukaan, mungkin ini karena keterbatasan halaman yang menjadikannya harus lebih singkat.  Mungkin ini juga yang membuat buku ini ada keterangan sketsa pengembaraan di Sulawesi.  Sebagai sketsa, setidaknya dari buku ini kita bisa melihat bagaimana Yunus begitu menikmati pengembaraannya ke berbagai penjuru Sulawesi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Sulawesi lewat Buku “Cerita yang Datang dari Pulau Berkaki Empat” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-yang-datang-dari-pulau-berkaki-empat/feed/ 0 30796
Afghanistan dalam Dekapan Agustinus Wibowo https://telusuri.id/afghanistan-dalam-dekapan-agustinus-wibowo/ https://telusuri.id/afghanistan-dalam-dekapan-agustinus-wibowo/#respond Sun, 29 Aug 2021 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30266 Akhir-akhir ini Afghanistan kembali menjadi perbincangan internasional. Setelah Amerika Serikat resmi menarik pasukannya atas perintah presiden Amerika Serikat, Joe Biden. Tak lama setelah pengumuman tersebut, Taliban, sebagai faksi politik, bergegas merebut seluruh penjuru Afghanistan secara...

The post Afghanistan dalam Dekapan Agustinus Wibowo appeared first on TelusuRI.

]]>
Akhir-akhir ini Afghanistan kembali menjadi perbincangan internasional. Setelah Amerika Serikat resmi menarik pasukannya atas perintah presiden Amerika Serikat, Joe Biden. Tak lama setelah pengumuman tersebut, Taliban, sebagai faksi politik, bergegas merebut seluruh penjuru Afghanistan secara perlahan-lahan. Akhirnya, dalam waktu singkat pemerintahan Afghanistan telah jatuh ke tangan Taliban.

Sebagai seorang petualang yang sudah mengelilingi Afganistan dan tinggal di sana, Agustinus Wibowo, menceritakan kisah-kisah yang didapatnya dalam buku Selimut Debu, Titik Nol, Garis Batas, dan buku terbarunya: Jalan Panjang untuk Pulang. Afghanistan baginya seperti rumah kedua setelah Indonesia. Keramah tamahan, keindahan alamnya yang memang memukau meski harus diselingi konflik tiada habis.

Buku karya Agustinus Wibowo
Buku karya Agustinus Wibowo via thejakartapost.com

Di mata orang-orang awam, mendengar nama Afghanistan saja sudah membuat bergidik, membayangkan rudal-rudal beterbangan di atas kepala, suku-suku nomaden yang saling berperang, hingga debu dan padang pasir yang membentang. Mungkin bayangan seperti itu tidak sepenuhnya salah, representasi negatif tersebut membuat kita enggan menilik Afghanistan lebih jauh. Hal itu tak berlaku bagi Agustinus, semakin tertutup negeri itu, maka dia akan semakin penasaran untuk menyingkap tabir yang menutupnya.

Alamat Afghanistan yang ditutupi oleh keabu-abuan, segera ditempuh oleh Agustinus dengan perjalanan melintasi Beijing-Urumqi menggunakan kereta api. Dari Urumqi kemudian ke Pakistan. Orang Pashtun, yang merupakan penduduk mayoritas Afghanistan, ditemuinya saat berada di Rawalpindi, Pakistan. Menurut Agustinus, perawakan orang Afghan persis seperti yang dia lihat di televisi; berjenggot lebat dengan mata yang tajam memandang dan tampak keras. Mereka menawarkan Agustinus untuk datang ke negerinya, melihat langsung keindahan Afghanistan dari mata kepala sendiri.

Keinginan Agustinus yang menggebu-gebu untuk mengunjungi Afghanistan berbuah manis, setelah mendapatkan visa, Agustinus segera melenggang ke perbatasan Pakistan-Afghanistan yang terkenal sebagai daerah tak bertuan, liar, dan buas. Memasuki Afghanistan, pengalaman yang Agustinus rasakan tampak berbeda dengan Pakistan, negeri ini lebih mundur beberapa puluh tahun ke belakang, Agustinus dikerumuni layaknya makhluk asing yang baru turun ke bumi. Begitulah kondisi Afghanistan pada tahun 2003. Debu menjadi santapan sehari-hari dalam udaranya. Bahkan dalam tulisannya, Agustinus mengungkapkan bahwa debu tidak hanya bermakna “debu” dalam kosa kata Pashtun, tetapi juga tanah air. 

Afghanistan seperti halnya negara kita, negeri yang terdiri dari multietnis. Tidak gampang menyatukan berbagai suku dalam satu sebutan “Afghanistan”. Dalam tulisannya, Agustinus juga mengatakan bahwa garis-garis batas yang ada di Afghanistan maupun Indonesia sama-sama tercipta dari campur tangan bangsa asing. Garis batas yang dulu tercipta, hingga kini masih kita pakai sebagai garis batas negara, dan sebagai garis batas antara “aku, kamu, dan kita”. 

Afghanistan terdiri dari berbagai macam etnis semisal Pashtun, Tajik, Hazara, Uzbek, Turkmen, Kyrgyz, Chahar Aimak, Keramah-tamahan warga Afghanistan, dari cerita Agustinus di bukunya adalah salah satu yang terbaik di dunia. Bagi masyarakat Afghanistan, keramahan adalah jalan hidup; melayani tamu dan melindungi tamu, meski harus mengorbankan nyawa. 

Selang tiga tahun kemudian, Agustinus kembali mengunjungi Afghanistan, banyak hal yang berubah, termasuk reaksi kepada orang asing yang sudah mulai berubah menjadi banyak curiga, bahkan terjadi penculikan-penculikan di beberapa tempat. Kabul, yang dulunya merupakan kota aman menurut Agustinus, mulai terjadi banyak ledakan bom, Kemodernan gedung-gedung di Kabul ternyata tidak diimbangi dengan keamanan yang meningkat. Perang tentu saja terus berjalan tanpa peduli apakah Afghanistan sudah modern ataupun masih kuno.

Tahun 2021, wajah Afghanistan sudah berbeda dari 10 tahun yang lalu. Prediksi pemerintah Amerika Serikat memperkirakan Taliban akan menguasai Afghanistan dalam hitungan bulan ternyata meleset. Hal ini memicu eksodus besar-besaran warga Afghanistan ke luar negeri dengan berbagai cara. Mereka takut Taliban merenggut kebebasan yang mereka yang telah dibangun semenjak kedatangan Amerika Serikat. Banyak korban berjatuhan, baik karena sergapan dari Taliban, ataupun berguguran karena ingin keluar negeri.

Agustinus menganggap konflik yang terjadi di Afghanistan sangat kompleks untuk dilihat sebagai hitam putih. Jangan gampang memihak hanya dari berita-berita yang berseliweran di media. Konflik antar suku yang sudah berurat nadi semenjak kehidupan nomaden terus berlangsung hingga kini. Hendaknya kita mengambil sikap tidak memihak pada konflik mereka pada satu golongan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Afghanistan dalam Dekapan Agustinus Wibowo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/afghanistan-dalam-dekapan-agustinus-wibowo/feed/ 0 30266
Q&A: Proses Pembuatan Buku SELÉSA, Di Balik Sekat-Sekat Perjalanan https://telusuri.id/selesa-di-balik-sekat-sekat-perjalanan/ https://telusuri.id/selesa-di-balik-sekat-sekat-perjalanan/#respond Mon, 22 Mar 2021 10:04:33 +0000 https://telusuri.id/?p=27451 Namanya Rifqy Faiza Rahman. Seorang pejalan, gemar naik gunung, dan aktif sebagai travel blogger di papanpelangi.blog. Ia baru saja merampungkan buku SELÉSA: Di Balik Sekat-Sekat Perjalanan. Beberapa hari lalu, TelusuRI menyempatkan ngobrol dengan Rifqy, membahas...

The post Q&A: Proses Pembuatan Buku SELÉSA, Di Balik Sekat-Sekat Perjalanan appeared first on TelusuRI.

]]>
Namanya Rifqy Faiza Rahman. Seorang pejalan, gemar naik gunung, dan aktif sebagai travel blogger di papanpelangi.blog. Ia baru saja merampungkan buku SELÉSA: Di Balik Sekat-Sekat Perjalanan. Beberapa hari lalu, TelusuRI menyempatkan ngobrol dengan Rifqy, membahas tentang proses pembuatan buku SELÉSA.

Buku ini berkisah tentang apa, sih?

Buku ini merupakan kumpulan cerita-cerita perjalanan penulis saat bertualang ke beberapa daerah. Ruh buku SELÉSA: Di Balik Sekat-Sekat Perjalanan sama dengan blog saya, yang menceritakan sejumlah pengalaman dan adakalanya menemui hal-hal tak terduga.

Mulai dari menumpang tidur di rumah seorang nelayan yang baru dikenal, merasakan dihajar hujan dan tanjakan terjal di tengah hutan lebat, hingga hampir saja tidak bisa pulang ke rumah karena uang saku menipis. Atau menuangkan pandangan terhadap sisi lain dari perjalanan yang dilakukan. Di buku ini, saya berusaha menyibak batasan-batasan untuk mereguk makna—tersirat maupun tersurat—di setiap langkah. Sejauh mana dapat belajar menerima dari perjalanan.

Sebagian cerita di buku  SELÉSA: Di Balik Sekat-Sekat Perjalanan pernah saya tulis di blog. Namun, keterbatasan ruang maya membuat saya menuangkan lebih banyak detail dan kisah yang belum pernah saya ceritakan sebelumnya.

Saya sengaja menambahkan diakritik (é) pada kata “SELÉSA” untuk menunjukkan pelafalan [e] kata tersebut. Dalam kamus tesaurus tematis Bahasa Indonesia, Anda dapat melihat bahwa lema “selesa” berarti luas, lapang, atau lega. Apanya yang luas atau lapang? Jalan, hutan, laut, lapangan, atau apa?

Lalu ada apa di balik sekat-sekat perjalanan? Ibarat naik kereta api dan kita duduk bersebelahan dengan penumpang lain. Terkadang ada sekat—seringnya tak kasatmata—yang membatasi kita untuk membuka pembicaraan antarpenumpang. Biasanya kita merasa cukup untuk sekadar bertanya tujuan, pekerjaan, atau bahkan gosip terkini. Setiap orang tentu memiliki privasi dan berhak untuk diam. Namun keterbukaan bisa saja akan membuka jendela cerita-cerita yang menginspirasi dan membuat kita belajar banyak.

Saya berusaha menuangkan itu ke dalam buku ini. Di antara berangkat dan pulang, ada relung-relung yang terisi dialog, suka-duka pengalaman hidup, hingga perenungan. Perjalanan mendorong kita berinteraksi. Interaksi dengan alam, manusia, dan bahkan diri sendiri akan membuka atau mungkin semakin menutup rapat sekat-sekat itu.

Apa yang melatarbelakangi menulis buku ini?

Sederhana. Saya hobi jalan-jalan dan bepergian ke suatu tempat, lalu mendokumentasikannya lewat tulisan, foto, atau video. Blog menjadi wadah paling mudah untuk menuangkan pemikiran dan pengalaman ke dalam tulisan. Kemudian timbul angan untuk membukukannya. Memasukkan detail-detail cerita yang terlewat saat ditulis di blog yang kadang melompat-lompat ceritanya.

Tapi selain itu, saya memiliki pandangan dan perspektif terhadap perjalanan yang saya alami, yang saya rasa sepertinya akan lebih pas jika dituangkan ke dalam bentuk buku (fisik). Maka jadilah buku ini. Tentu ini setelah berproses sekian tahun akibat padatnya pekerjaan kantoran yang sempat saya alami dua tahun belakangan. Dorongan teman-teman dan keluarga, terutama istri saya, melecut saya untuk menuntaskan naskah dan menerbitkannya.

SELÉSA: Di Balik Sekat-Sekat Perjalanan
SELÉSA: Di Balik Sekat-Sekat Perjalanan

Genrenya naratif, ya? Kenapa memilih genre ini?

Ya, dan pilihan saya sangat subyektif. Saya menyukai gaya penulisan naratif, karena membebaskan saya berekspresi, bertutur, dan berusaha mengajak pembaca ikut menyelami apa yang saya rasakan saat melakukan perjalanan.

Tantangan paling besar yang dihadapi saat menulis buku ini apa dan bagaimana mengatasinya?

Khusus untuk buku ini, satu-satunya tantangan terbesar adalah rasa malas. Bayangkan saja naskah mengendap nyaris empat tahun tanpa tersentuh. Paling-paling cuma nambah satu-dua kalimat. Tapi sering dihapus lagi karena ragu, akibatnya tidak ada progres signifikan.

Saya mulai meletakkan “batu pertama” (kerangka/outline) sekitar awal 2017. Itu selang kira-kira tiga-empat bulan setelah pulang dari jalan-jalan ke Nusa Tenggara Timur selama dua minggu. Waktu itu saya pergi ke Kupang, Alor, Maumere, Wae Rebo, lalu balik ke Surabaya via Labuan Bajo. Saya jadi punya banyak bahan cerita, meskipun tidak semua saya tuangkan di buku ini. Khusus tentang Alor, kelak saya akan riset sosial-ekonomi-budaya dan pergi lagi ke sana untuk bikin buku khusus tentang pulau beribu kota di Kalabahi itu dari sudut pandang seorang pelancong (bocoran, he-he-he).

Proses penyusunan naskah kemudian relatif stagnan pada kurun waktu hingga 2019 awal, karena saya banyak melakukan pekerjaan-pekerjaan lepas seperti ikut proyek dosen saya dulu, menulis untuk media (terutama majalah penerbangan seperti Sriwijaya Air dan Xpress Air), diajak partner buka private trip dan jadi pemandu (sekaligus sopir) untuk wisatawan: ke Bromo, pantai selatan Malang, seputar Banyuwangi, dan mendaki gunung. Sementara 2019-2020 praktis berhenti total karena saya kerja kantoran di lingkungan pemerintahan provinsi di Surabaya. Nulis di blog sesekali saja. Karena waktu luang pun saya pilih untuk tidur atau berwisata santai, daripada menulis cerita.

Baru jelang akhir 2020 saya memantapkan diri untuk menyelesaikan naskahnya. Begitu tahu kontrak kerja tidak diperpanjang, saya langsung tancap gas menuntaskan cerita-cerita yang jejaknya baru ada berupa satu-dua kalimat.

Akhirnya kemalasan itu kalah dengan waktu. Salah satu cara manjur untuk mengatasi rasa malas adalah kembali membaca banyak buku bergenre serupa agar muncul motivasi menulis. Lalu membuka folder file-file foto lama untuk membangkitkan semangat dan “terbang” sejenak mengingat perjalanan di masa lalu. Kalau soal teknik menulis dan mengumpulkan data-data pendukung tulisan, itu bisa dilatih dan dicari.

Dalam perjalanan via Instagram @papanpelangi

Saat menulis, pernah merasa nggak puas dengan hasil tulisan?

Pernah. Dan ini biasa, entah karena salah ketik, kurang data, atau kurang utuh ceritanya. Bahkan kadangkala kita boleh kok merasa nggak puas setiap habis menulis. Supaya kedepannya terlecut bikin tulisan lebih baik lagi. Tapi setidaknya dengan sekian kali berlatih, kita akan merasakan pada tahap “ah, sepertinya tulisannya sudah oke.”

Jangan pernah capek dan bosan untuk selalu meninjau tulisan kita berulang kali. Cek KBBI, cek kamus tesaurus, dan konfirmasi ulang data-fakta cerita ke narasumber tulisan kita (jika ada).

Teman-teman pejalan banyak juga yang kerap menuliskan cerita perjalanan di telusuri.id maupun blog pribadinya. Ada tips menuliskan cerita perjalan untuk mereka?

Ah, saya jadi ingin berkontribusi tulisan untuk TelusuRI juga, nih, he-he-he.

Mengenai tips menulis cerita perjalanan, karena setiap penulis memiliki gaya menulis sendiri, pengalaman dan ceritanya masing-masing, saya hanya ingin membagikan perkataan sakti dari setiap mentor Koran/Majalah Tempo saat menyampaikan materi “Klinik Menulis Feature” yang diselenggarakan Tempo Institute (26-29 Oktober 2017). Kuncinya hanya dua, “Membaca, membaca, dan terus membaca! Menulis, menulis, dan terus menulis!”  

Soal struktur, teknik menulis, atau bagaimana menyusun bahan dan data, itu bisa dilatih berkesinambungan. 

Ada nggak sih sosok inspiratif yang mendorong untuk terus menulis, menyelesaikan buku ini, dan mungkin buku-buku selanjutnya?

Ada, banyak. Saya tidak bisa menyebut satu nama saja, karena masing-masing sosok yang saya kagumi karena kiprahnya ini, telah memberikan saya banyak dasar dan warna penulisan cerita perjalanan. Seperti Yudasmoro, Yunaidi Joepoet, Mahandis Yoanata Thamrin (National Geographic Indonesia), serta jurnalis National Geographic seperti Hilaree O’neill.

Salah satu tulisan Hilaree yang masih membekas di benak saya (jika saya tidak salah ingat) adalah Inikah Gunung Tertinggi di Myanmar?. Bersama fotografer Cory Richards dan Renan Ozturk, reportase tersebut menjadi salah satu role model saya dalam menulis tentang pendakian gunung, meskipun memang masih belum memuaskan. Saya harus terus berlatih. Kemudian, ada Agustinus Wibowo. Barangkali jika boleh saya sebut, dialah satu-satunya penulis yang telah membawa genre penulisan perjalanan di Indonesia ke level yang lebih tinggi. 

Selain itu, saya juga memandang teman-teman blogger yang saya kenal dan konsisten menulis cerita perjalanan, telah banyak menginspirasi saya untuk terus berkarya dan menulis buku-buku selanjutnya.

Apa harapan Rifqy dengan diluncurkannya buku ini terhadap perjalanan dan pariwisata Indonesia?

Indonesia itu sangat kaya. Kaya alamnya, tradisinya, orang-orangnya, kulinernya, dan banyak lagi aspek yang bisa diangkat sebagai topik menarik untuk diceritakan ke dalam bentuk media apa pun. Buku SELÉSA: Di Balik Sekat-Sekat Perjalanan adalah salah satu upaya saya untuk menggambarkan sebagian kecil keindonesiaan itu dalam perjalanan yang saya lakukan. Harapan saya tidak muluk-muluk. Semoga bisa bermanfaat dan turut berdampak positif (khususnya penulisan perjalanan) dalam mengabarkan kepariwisataan di Indonesia.

Terakhir nih, kalau mau beli bukunya, bisa pre order di mana saja?

Untuk saat ini, karena saya menerbitkan secara independen, prapesan (pre-order) buku bisa langsung meluncur ke tautan pemesanan di tinyurl.com/bukuselesa. Nanti saya sendiri yang langsung mengkonfirmasi dan menghubungi pembeli buku saya. Periode I prapesan berlangsung 11-25 Maret 2021. Saya juga mempertimbangkan adanya prapesan periode kedua jika memungkinkan. Atau bisa mengontak saya terlebih dahulu melalui e-mail hello.rifqy@gmail.com atau WhatsApp 0823-3075-1695.

The post Q&A: Proses Pembuatan Buku SELÉSA, Di Balik Sekat-Sekat Perjalanan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/selesa-di-balik-sekat-sekat-perjalanan/feed/ 0 27451
Bertemu Teman Perjalanan yang Dinanti-nanti lewat Buku “Kelana” https://telusuri.id/buku-kelana-famega-syafira/ https://telusuri.id/buku-kelana-famega-syafira/#respond Sat, 16 Jan 2021 07:37:17 +0000 https://telusuri.id/?p=26368 Pada akhir 2020, akhirnya saya seperti punya teman perempuan perjalanan yang dinanti-nanti. Saya menutup tahun yang bagai roller coaster dengan buku “Kelana: Perjalanan Darat dari Indonesia sampai ke Afrika” karya Famega Syavira Putri. Tiap kisahnya...

The post Bertemu Teman Perjalanan yang Dinanti-nanti lewat Buku “Kelana” appeared first on TelusuRI.

]]>
Pada akhir 2020, akhirnya saya seperti punya teman perempuan perjalanan yang dinanti-nanti. Saya menutup tahun yang bagai roller coaster dengan buku “Kelana: Perjalanan Darat dari Indonesia sampai ke Afrika” karya Famega Syavira Putri. Tiap kisahnya dalam menempuh separuh lingkar bumi ditulis begitu hangat dan memiliki kedekatan tersendiri bagi saya. Buku ini pun begitu spesial: catatan perjalanan, ditulis perempuan, dan tergolong baru karena terbit 2018.

Bila dalam buku-buku travel kebanyakan kita cenderung disuguhi kisah heroik pejalan perempuan yang melabeli dirinya backpacker murah, berfokus pada tips menekan biaya, atau seperti berkompetisi untuk menikmati tempat wisata terkenal, buku dari jurnalis BBC ini berbeda.

Ia mampu hadirkan kisah pejalan perempuan dengan berbagai kemelut dan sisipan sejarah. Latar belakang profesinya sebagai jurnalis, nampak nyata dalam karyanya yang penuh informasi berkat riset berpadu apik dengan pengalaman menarik yang dihadapinya dalam perjalanan. Dan seperti kata Leila S. Chudori, ia membawa subgenre penulisan perjalanan ke tahap yang lebih tinggi: ia memilih berdekatan dengan bumi dan air.

Perihal bumi dan air yang disinggung penulis Laut Bercerita, Famega memang menuturkan beberapa kisah perjalannya berkaitan dengan dua hal itu. Salah satunya soal ceritanya di Mongolia bersama keluarga nomaden. Keluarga yang ia tumpangi memiliki beberapa barang yang sumber listriknya dari panel surya di atap tenda.

Buku ini merupakan catatan perjalanan Famega ke Afrika sendirian via darat. Puluhan ribu kilometer ia tempuh bukan tanpa rasa takut. Ia membawa segala ketidakpastian, keraguan, dan kecamuk batin lain yang ada dalam petualangannya merayakan perbedaan dengan bermacam-macam orang yang ia temuinya di berbagai tempat. Berdiri 24 jam di kereta, makan langit-langit mulut kambing di Mongolia yang tidak boleh dimakan laki-laki karena akan membuat mereka jadi cerewet, menyusuri jalur Trans-Siberia, komunikasi melalui gambar, hitchhiking berbagai kendaraan, kehilangan barang, mendengarkan deklamasi puisi orang asing, dll.

Perempuan dengan ketar-ketir yang sama

Kelana: Perjalanan Darat dari Indonesia sampai ke Afrika

“Kelana: Perjalanan Darat dari Indonesia sampai ke Afrika” karya Famega Syavira Putri/Dewi Rachmanita

Menelaah tiap kalimat di buku Famega membuat saya berefleksi sekaligus mengenang berbagai perjalanan lama saya. Terlebih 2020 nyaris tidak pernah bepergian jauh. Saya memilih lebih banyak menghabiskan waktu di rumah walau kebosanan dan keinginan berwisata terus menyerang.

Bukan hanya soal rindu “escape” ke tempat berbeda, tapi rindu bertemu banyak orang baru dengan berbagai latar berbeda. Saya rindu melihat langsung banyak kebaikan dan belajar di perjalanan. Dan rindu ada rasa takut yang akhirnya saya jadikan teman dalam berkelana.

Salah satu bagian dari buku Kelana bercerita soal Famega yang ragu menumpang truk. Sang supir harus mengembalikan truk terlebih dahulu dengan jalur yang menjauhi jalan raya. Namun, siapa sangka setelah sempat berpikir buruk atau ragu, ternyata supir tersebut malah khawatir dengan kondisi Famega. Ia menyapa Famega lewat Facebook dan memastikan kondisi perempuan yang ia temuinya di jalan. Hal ini mengingatkan betul dengan banyak sekali orang yang sering bertanya kabar saya setelah kami berbeda arah. Hubungan dengan orang-orang itu pun selalu saya usahakan jaga baik bahkan sampai bertahun-tahun setelah perjumpaan pertama kali.

“Saya ketar-ketir. Begitulah susahnya jadi perempuan, apalagi yang sedang sendirian di negeri asing. Meski percaya dengan insting, saya harus selalu waspada dengan laki-laki. Semua orang harus saya waspadai sampai dia terbukti tidak punya niat jahat, yang tentu saja baru terbukti ketika tidak ada hal buruk yang terjadi hingga akhir perjumpaan.”

Kelana: Perjalanan Darat dari Indonesia sampai ke Afrika

“Kelana: Perjalanan Darat dari Indonesia sampai ke Afrika” karya Famega Syavira Putri/Dewi Rachmanita

Di bab berjudul “Lithuania: Bergandengan Tangan Ala Baltik” itu memantik memori  saya dengan pengalaman yang sama terkait waspada dengan orang di perjalanan. Saat itu saya masih kuliah dan sedang melakukan perjalanan ke Lombok untuk menyusul teman kuliah yang baru Rinjani untuk sama-sama bertualang bersama teman kuliah kami lainnya yang tinggal di Lombok.

Kapal dari Bali yang saya tumpangi bersandar di Lombok tengah malam. Kala itu saya pertama kali turun kapal sendirian tengah malam di Lombok. Buta arah. Belum lagi minim lampu menerangan. Saya hanya mengikuti kebanyakan orang melangkah. Sampai saya akhirnya menyadari ada seorang laki-laki di belakang saya. Ia bertanya arah tujuan saya. Saya hanya mengiyakan dan menjaga jarak sebagai bentuk kewaspadaan. Ia terus di belakang bahkan mengikuti saya. Dan ia pada akhirnya menemani saya menunggu teman datang di sebuah minimarket. Pada akhirnya saya tahu, dia bukan orang jahat, malah membantu saya untuk menghindari tindak kejahatan dari orang lain di malam yang gelap.

Saya sering ditanya, apa tidak takut bepergian sendiri? Kok berani? Apa tidak pernah bertemu orang jahat? Kenapa tidak bersama teman, terutama yang perempuan?

Sama seperti Famega, dalam perjalanan tentu kita butuh bantuan orang lain. Jangan sampai rasa takut bertemu orang jahat membuat kita menutup diri dari orang lain yang sebenarnya baik. Dan saya cukup percaya dengan kemampuan saya menjaga diri. Pun insting untuk menilai baik atau jahatnya orang yang tidak muncul begitu saja.

Terkait mengapa tidak bepergian bersama teman-teman lain, jawaban saya ialah pada halaman 40.

“Bukannya saya tidak punya teman, tapi sulit sekali mencocokan jadwal dengan mereka. Kalau terus menunggu teman, kapan perginya?” kata YC, turis asal Malaysia yang Famega temui di Vietnam.

Menutup buku Kelana berarti menutup sementara perjalanan saya dengan seorang teman perjalanan perempuan yang memiliki pandangan soal perjalanan, maupun tulisan perjalanan dalam koridor yang hampir satu mahzab. Begitupun terkait rasa ragu, semangat, dan nano-nano perasaan lainnya ketika bepergian jauh. Dan saya tidak sabar untuk kembali “berpetualang” dengan Famega ke tempat-tempat penuh kisah manusia menarik lainnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI. Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bertemu Teman Perjalanan yang Dinanti-nanti lewat Buku “Kelana” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/buku-kelana-famega-syafira/feed/ 0 26368
5 Buku Perjalanan yang Seru Dibaca waktu di Rumah Aja https://telusuri.id/5-buku-perjalanan-yang-seru-dibaca-waktu-di-rumah-aja/ https://telusuri.id/5-buku-perjalanan-yang-seru-dibaca-waktu-di-rumah-aja/#respond Mon, 23 Mar 2020 16:31:21 +0000 https://telusuri.id/?p=20407 Sebagai pejalan, tentulah kakimu gatal untuk melangkah. Tapi, apa daya, sekarang kondisinya memang benar-benar nggak memungkinkan. Demi alasan-alasan kemanusiaan, kamu harus #dirumahaja untuk sementara. Tapi nggak usah khawatir. Kamu masih tetap bisa jalan-jalan, kok. Yang...

The post 5 Buku Perjalanan yang Seru Dibaca waktu di Rumah Aja appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai pejalan, tentulah kakimu gatal untuk melangkah. Tapi, apa daya, sekarang kondisinya memang benar-benar nggak memungkinkan. Demi alasan-alasan kemanusiaan, kamu harus #dirumahaja untuk sementara.

Tapi nggak usah khawatir. Kamu masih tetap bisa jalan-jalan, kok. Yang perlu kamu lakukan hanyalah membuka sang jendela dunia—ya, buku—dan melancong sejauh-jauhnya dengan imajinasimu.

Sebagai referensi, TelusuRI sudah memilih lima buku (dan satu serial novelet) bertema perjalanan yang bisa kamu baca selama #dirumahaja. Selain menarik, buku-buku berikut juga masih beredar di berbagai toko buku atau marketplace. Jadi, kamu bisa dengan mudah membeli ebook-nya atau memesan buku fisik via daring.

Apa saja?

Pramoedya Ananta Toer, di rumahnya, kawasan Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat, 29 September 2005 via TEMPO/Ramdani

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Pramoedya Ananta Toer)

Ingat pelajaran sejarah soal jalan dari Anyer ke Panarukan yang disempurnakan pas zaman Daendels sekitar dekade pertama abad ke-19? Buku ini bercerita tentang itu. Lewat Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, kamu bakal merasa seperti jalan-jalan bareng Pramoedya Ananta Toer menelusuri daerah-daerah yang dilewati jalan militer yang pernah jadi salah satu infrastruktur paling maju di zamannya. Plus, kamu bakal tahu banyak fakta sejarah yang nggak lulus sensor buat tampil dalam buku-buku paket.

Sebagian besar daerah yang diceritakan dalam buku ini memang sudah pernah didatangi sama Pram. Cuma sebagian saja yang belum pernah dia samperin. Buku yang ditulis Pram tahun 1995 ini tipis-tipis saja, nggak setebal roman-roman Tetralogi Buru. Tapi, setelah baca buku ini, kemungkinan kamu bakal tertarik buat baca buku-buku Pram yang lain.


Heri Hendrayana Haris, penulis yang lebih dikenal dengan nama Gola Gong, Serang, Banten, Kamis, 20 Mei 2010 via TEMPO/Yosep Arkian

Balada si Roy (Gola Gong)

Sebelum kurva tren melancong melambung tinggi di Indonesia, Gola Gong (nama pena dari Heri Hendrayana Haris), pengarang Balada si Roy, sudah melanglang buana keliling Indonesia dan Asia. Cerita-ceritanya ia jadikan fiksi dan dimuat secara bersambung di Majalah Hai pada paruh akhir dekade 1980-an. Setelah rampung, cerita bersambung itu lalu dibundel menjadi sebuah serial yang terdiri dari sepuluh novelet.

Lewat Balada si Roy, kamu bakal bertualang ke tempat-tempat seperti hutan, sungai, laut di Jawa Barat, pulau-pulau terpencil di Maluku, negara-negara di Asia Tenggara, sampai ke tempat-tempat bersejarah dan sakral di India. Beberapa tahun lalu, penerbitnya merilis cetakan kesekian dari Balada si Roy. Sekarang, kamu bisa menemukan dua jilid dalam satu buku. Dan—sttt!!!—kabarnya novelet ini bakalan difilmkan, lho.


Dari kanan, produser Ody Mulya Hidayat, Arifin Putra, penulis Adhitya Mulya, dan Abimana Aryasatya, saat konferensi pers film berjudul “Sabtu Bersama Bapak” di Jakarta, Selasa, 7 Juni 2016 via TEMPO/Subekti

Traveler’s Tale, Belok Kanan: Barcelona (Adhitya Mulya, Alaya Setya, Iman Hidajat, Ninit Yunita)

Suka komedi? Kalau iya, berarti kamu bakal suka banget sama Traveler’s Tale, Belok Kanan: Barcelona. Novel yang dibikin keroyokan oleh Adhitya Mulya, Alaya Setya, Iman Hidajat, dan Ninit Yunita, ini bakal bikin kamu terpingkal-pingkal. Buku ini juga sudah diadaptasi menjadi film.

Ceritanya sebenarnya sederhana saja, yakni tentang perjalanan empat bersahabat untuk kembali bertemu setelah sekian lama terpisah. Tapi, plotnya aduhai, konflik-konfliknya bergulir dengan apik, dan percakapan-percakapannya absurd. Komedinya berkelas dan mungkin bakal dapat komentar “kompor gas” dari Om Indro. Nah, abis baca novel ini, kamu bakal tertarik buat baca novel-novel lain karya Adhitya Mulya dan Ninit Yunita.


Penyanyi dan penulis, Dewi Lestari Simangunsong, saat peluncuran novel ‘Supernova: Inteegensi Embun Pagi’ di Jakarta, 26 Februari 2016 via TEMPO/Frannoto

Supernova 2: Akar (Dee Lestari)

Para pejalan mungkin bakal sepakat kalau novel karya Dee Lestari keluaran tahun 2002 ini adalah yang terbaik di antara semua seri Supernova. Selain mengajak kita merenung soal identitas dan simbol, Akar juga akan bawa kita jalan-jalan ke beberapa kota di Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara.

Konon yang menginspirasi kemunculan Akar adalah kisah hidup Budi Dalton. “Budi Dalton? Siapa lagi, tuh?” Makanya baca dulu. Setelah selesai baca, kamu bisa cari-cari tahu, deh, soal Budi Dalton di jagad maya. Abis baca Akar, kamu juga kayaknya bakal tertarik untuk baca seluruh Supernova.


Penulis novel, Andrea Hirata, memainkan gitar sebelum penayangan gala Premier Film Laskar Pelangi Sekuel 2 Edensor di Epicentrum XXI, Jakarta, Kamis, 19 Desember 2013 via TEMPO/Nurdiansah

Edensor (Andrea Hirata)

Hari gini siapa, sih, yang nggak pernah dengar nama Andrea Hirata? Novelnya sudah banyak banget—dan bergizi. Genre novelnya juga istimewa: realisme magis. Buku-bukunya Andrea Hirata bisa kamu jadikan batu loncatan buat menyantap karangan-karangan lezat Gabriel Garcia Marquez atau Salman Rushdie.

Edensor yang terbit tahun 2007 ini adalah buku ketiga dalam tetralogi legendaris Andrea Hirata, yakni Laskar Pelangi. Dalam Edensor, kedua tokoh utamanya akan mengajakmu jalan-jalan overland keliling Eropa dari barat sampai ke Timur, juga berkelana bersama kafilah padang pasir di gurun Afrika. Abis baca Edensor, balik lagi ya ke Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Rampung Sang Pemimpi, kamu bisa mulai baca Maryamah Karpov.

Semoga lima buku bertema perjalanan di atas bisa jadi semacam “kunci” bagimu untuk baca buku-buku lain, Sob. Selamat #dirumahaja!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 5 Buku Perjalanan yang Seru Dibaca waktu di Rumah Aja appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/5-buku-perjalanan-yang-seru-dibaca-waktu-di-rumah-aja/feed/ 0 20407
5 Destinasi Wajib bagi Kamu yang Suka Baca Buku https://telusuri.id/5-destinasi-yang-bikin-betah-baca-buku/ https://telusuri.id/5-destinasi-yang-bikin-betah-baca-buku/#respond Fri, 03 Mar 2017 10:06:52 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=885 Pasti semua setuju kalau baca buku adalah sebuah kebutuhan. Malas baca buku alamat kamu bakal kekurangan bahan cerita. Kalau kamu suka jalan-jalan dan senang baca buku, TelusuRI punya beberapa tempat recommended yang bisa kamu kunjungi...

The post 5 Destinasi Wajib bagi Kamu yang Suka Baca Buku appeared first on TelusuRI.

]]>
Pasti semua setuju kalau baca buku adalah sebuah kebutuhan. Malas baca buku alamat kamu bakal kekurangan bahan cerita. Kalau kamu suka jalan-jalan dan senang baca buku, TelusuRI punya beberapa tempat recommended yang bisa kamu kunjungi kala liburan.

1. Kineruku, Bandung

Kineruku via satyawinnie.com

Terletak di Kota Kembang, Bandung, berkunjung ke Kineruku serasa liburan ke rumah nenek di pegunungan. Kineruku berada di bangunan oldies dengan halaman yang hijau.

Di Kineruku kamu tidak hanya baca buku tapi juga ada CD lagu dan film yang bisa kamu baca dan pinjam. Sesekali di sini ada pula konser musik mini dari band-band indie.

Nggak heran kalau mereka yang main ke Kineruku bisa betah seharian di sana. Soalnya selain buat nongkrong, tempat ini juga cocok untuk kerja, terutama bagi kamu yang berprofesi sebagai penulis atau desainer grafis.

Kombinasi dari suasana yang tenang, serta minuman dan makanan ringan yang disediakan di kafe, dijamin bakal membuat hasil kerjamu beberapa kali lipat lebih berkualitas.

2. Kata Kerja, Makassar

Kata Kerja via hype.idntimes.com

Kamu yang sudah nonton Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC2) pasti pernah mendengar nama Aan Mansyur yang puisinya ikut menghiasi film produksi Miles itu.

Puisinya yang mengena berhasil “melengserkan” sajak-sajak Chairil Anwar yang diusung di film pertama Ada Apa Dengan Cinta.

Ternyata selain menulis puisi Aan Mansyur juga adalah seorang aktivis literasi yang menggagas berdirinya sebuah perkumpulan bernama Kata Kerja.

Terletak tak jauh dari kampus Universitas Hasanuddin di Tamalanrea, Makassar, Kata Kerja punya perpustakaan yang terbuka untuk umum, kelas-kelas belajar Bahasa Inggris, menulis kreatif, baca buku kesukaanmu disini serta kelas-kelas kerajinan tangan dan teknik-teknik mendaur ulang.

3. Museum Kata, Belitung Timur

Baca buku di Museum Kata Andrea Hirata

Salah satu ruangan di Museum Kata Andrea Hirata via katakumutiara.tk

Museum Kata Andrea Hirata terletak di pelosok Pulau Belitung, yakni di Gantung, Kabupaten Belitung Timur. Berisi kutipan-kutipan kalimat yang digubah Andrea Hirata, museum ini menjadi hidup sebab terletak di tempat cerita Laskar Pelangi Andrea Hirata mengambil latar.

Ketika mengunjungi museum ini, seolah-olah kita akan ditemani oleh Ikal, Lintang, Mahar, Akiong, Kucai, dan anggota-anggota Laskar Pelangi yang lain.

Isi penuh bensinmu sebab perlu waktu lumayan lama dari Tanjung Pandan untuk menuju ke lokasi Museum Kata, melewati jalan kecil berliku yang akan menjadi teramat sepi di malam hari.

Namun setiba di Gantung kamu akan tertarik ke dalam semesta Laskar Pelangi, dengan danau-danau kaolin yang indah namun berbahaya, Sungai Lenggang yang tua dan misterius, dan replika Sekolah Muhammadiyah yang menjadi saksi sejarah pembuatan salah satu film legendaris Indonesia, yaitu Laskar Pelangi.

4. Rumah Dunia, Serang

destinasi wajib buat yang suka baca buku

Rumah Dunia via nurulnoe.com

Gola Gong, nama pena dari Heri Hendrayana Harris, mulai populer di akhir tahun ’80-an saat cerita bersambungnya yang berjudul Balada si Roy dimuat di Majalah Hai. Tulisan-tulisan Gola Gong di Hai pun kemudian dibukukan oleh salah satu penerbit mayor menjadi sepuluh jilid novelet Balada si Roy.

Menceritakan petualangan seorang anak muda asal Serang berkeliling Indonesia dan  ke luar negeri, Si Roy menjadi ikon petualang anak-anak muda tahun ’90-an. Cerita Balada si Roy populer bahkan sebelum istilah backpacker familiar di telinga anak muda Indonesia. Menariknya, sebagian besar dari cerita Roy diambil dari pengalaman nyata Gola Gong.

Setelah letih bertualang, Gola Gong menepi dan kembali ke kota asalnya, Serang, dan mendirikan sebuah sanggar bernama Rumah Dunia.

Di Sanggar Rumah Dunia, Gola Gong mengadakan berbagai kegiatan dan pelatihan sastra. Kamu yang bercita-cita jadi penulis perjalanan, atau travel blogger, cobalah sekali-sekali mampir ke Rumah Dunia. Siapa tahu kamu bisa dapat inspirasi.

5. Rumah Puisi Taufiq Ismail, Padang Panjang

destinasi wajib buat yang suka baca buku

Rumah Puisi Taufiq Ismail via winnyradc.wordpress.com

Masih ingat puisi “Karangan Bunga” yang penggalan awalnya berbunyi: “Tiga anak kecil dengan langkah malu-malu datang ke Salemba sore itu”?

Mungkin beberapa di antara kamu masih ingat bahwa pengarangnya adalah Taufiq Ismail. Nah, ternyata Taufiq Ismail yang mantan aktivis dan dosen itu tidak hanya bikin puisi. Ia juga mendirikan sebuah Rumah Puisi.

Di sebelah barat Jalan Raya Padang Panjang-Bukittinggi, tepatnya di Nagari Aia Angek, mata kamu akan melihat tulisan Rumah Puisi Taufiq Ismail. Ikutilah petunjuknya dan kamu akan tiba di sebuah bangunan berisi sekitar 7000 buku koleksi Taufiq Ismail.

Tapi jangan sampai keliru sebab Rumah Puisi Taufiq Ismail ini bersebelahan dengan Rumah Budaya Fadli Zon. Selain pikiran, pandanganmu juga akan dimanjakan oleh Rumah Puisi Taufiq Ismail. Dari sana kamu bisa memandang Gunung Singgalang dan Marapi—gunung-gunung yang menginspirasi lagu “Kampuang nan Jauah di Mato.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 5 Destinasi Wajib bagi Kamu yang Suka Baca Buku appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/5-destinasi-yang-bikin-betah-baca-buku/feed/ 0 885