buku Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/buku/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 03 Feb 2023 07:39:07 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 buku Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/buku/ 32 32 135956295 Membaca Indonesia dalam Lara Tawa Nusantara https://telusuri.id/membaca-indonesia-dalam-lara-tawa-nusantara/ https://telusuri.id/membaca-indonesia-dalam-lara-tawa-nusantara/#respond Thu, 16 Feb 2023 04:00:49 +0000 https://telusuri.id/?p=37229 Nama Fatris MF, seorang penulis cerita perjalanan dari Sumatera sana, sudah cukup sering kudengar. Sampai pertemuan virtual dalam kelas Sekolah TelusuRI bersama Fatris, barulah terasa ketertarikan untuk membaca karya-karyanya. Banyak hal yang menarik tentang sosok...

The post Membaca Indonesia dalam Lara Tawa Nusantara appeared first on TelusuRI.

]]>
Nama Fatris MF, seorang penulis cerita perjalanan dari Sumatera sana, sudah cukup sering kudengar. Sampai pertemuan virtual dalam kelas Sekolah TelusuRI bersama Fatris, barulah terasa ketertarikan untuk membaca karya-karyanya. Banyak hal yang menarik tentang sosok Fatris, bagaimana sarkasmenya tentang kota besar Indonesia yang selalu ia sebut “Jakarta”. Dari kelas beberapa waktu lalu, saya tertarik dengan satu perkataan Fatris tentang objektivitas seorang penulis dalam tulisannya, sama seperti apa yang diamini Johnny Harris, seorang jurnalis yang pernah menulis untuk The New York Times. Dalam salah satu videonya yang berjudul ‘7 Things I’ve Learned About Journalism in 7 Years of Being Journalist’

“Tidak benar-benar ada tulisan yang objektif. Penulis perlu mengambil sudut pandangnya dalam menyusun sebuah tulisan. Yang bisa dilakukan adalah menyediakan informasi yang berimbang.” 

Lawa Tawa Nusantara

Saya membaca karya Fatris MF berjudul Lara Tawa Nusantara, sebab saya tahu, tulisan perjalanan setebal 337 halaman ini tidak seperti majalah pariwisata yang lebih banyak membahas keelokan alam Nusantara. 

Sambil menikmati teh lemon dingin dan roti bakar jadul di Centeng Mok—sebuah kafe bertema tempo dulu di Jalan Kijang Kota Makassar—saya menyelesaikan tulisan terakhir dari buku ini ‘Bambu, Perang, dan Kebahagiaan’. Lara Tawa Nusantara merupakan kumpulan catatan perjalanan Fatris ke berbagai daerah di Indonesia dalam beberapa tahun. Dalam buku ini, Fatris membawa pembacanya menyusuri berbagai daerah, mulai dari Kalimantan, Sulawesi, NTB, Sumatera, dan lainnya. 

Meskipun blurb buku ini tidak cukup menarik, tetapi percayalah, Lawa Tawa Nusantara menyajikan cerita perjalanan yang dalam, tidak melulu tentang eksotisme dan bentuk kekaguman akan alam Indonesia yang juga sama-sama dikagumi orang-orang kompeni di masa lalu.

Saya sangat terkesan dengan cerita pembuka dari Kalimantan, beragam daerah yang ia kunjungi dalam menceritakan tarian kematian dan perjalanannya ke Kampung Lopus, Lamandau, Kalimantan Tengah. Banyak deskripsi yang cukup detail serta selingan sejarah dan sumber masa lalu yang menulis tentang daerah maupun kebudayaan yang ada di sini. 

Dari Kampung Lopus di Lamandau, Fatris membawa pembacanya menelisik cerita menarik dari senjata tradisional Dayak yang sarat akan ilmu hitamnya, mandau. Satu tulisan penuh berjudul ‘Pertarungan Terakhir’ menceritakan sejarah salah satu sosok termasyhur di Camp Leakey, Kusasi. Sosok yang mentereng, terkuat di kawanannya, bahkan sosok yang telah terkenal sampai ke berbagai dunia, bahkan dikunjungi si cantik Julia Roberts dari Hollywood. 

Dua cerita menceritakan pedalaman Kalimantan, Fatris lalu mengajak para pembacanya menyusuri tanah Sulawesi dalam beberapa ceritanya. Ia menceritakan tentang kehebatan kapal phinisi dan para pelaut ulung dari tanah Bulukumba, cerita perihal upacara pemakaman menyenangkan di Tana Toraja, tanah Mandar, dan Mamasa yang jarang diceritakan. 

Di Mamasa, Fatris tidak hanya bercerita tentang bagaimana keindahan alamnya. Lebih dalam, tulisan Fatris menelaah cara hidup dan bagaimana masyarakat desa sangat menghargai alam mereka. 

“…Ajaran ini penganjur untuk adil, melayani sesama, hidup dalam keseimbangan. Menebang kayu tidak boleh sembarangan, mesti diritualkan dulu, supaya “roh” kayu merelakan dirinya untuk diambil.” 

Setiap tulisan dalam buku ini disertai delapan sampai belasan foto yang melengkapinya pada akhir cerita, serta deskripsi pada halaman terakhir. Setiap hal tentang buku ini sangat menyenangkan, termasuk foto-foto yang diambil dengan professional, seolah setiap objek dalam fotonya mampu bercerita tidak kalah dengan deretan tulisan-tulisannya.

Saya sangat menikmati tulisan tentang Hidup Mati Toraja sebanyak 12 halaman lebih. Secara pribadi, daerah ini telah menarik saya kembali ke sini beberapa kali. Berbeda dengan tulisan-tulisan pariwisata yang menonjolkan keindahan alam dan eksotisme rambu solo, upacara penguburan super mahal di daerah ini, tulisan Hidup Mati Toraja membawa pembacanya ke lorong-lorong terkecil pariwisata Toraja. Tidak ada menyusuri kuburan batu Londa, atau melihat sunset di Lolai, tulisan Fatris justru membawa pembacanya ke pasar hewan, daerah-daerah minim turis tempat warga lokal menghabiskan kesehariannya, juga menyingkap sedikit fenomena di balik upacara Kematian Rambu Solo, prosesi adat yang memakan ratusan hingga milyaran rupiah. 

Rangkaian kata dalam buku ini, tidak sampai setengahnya menceritakan keindahan alam. Lebih banyak, tulisan-tulisannya bercerita lebih jauh: tentang manusia-manusia, kebudayaan di sana, persoalan-persoalan pelik, dan hal-hal dekat yang jarang ditemui para pelancong mainstream. Sama seperti tulisan Fatris tentang Bali, sekeping tanah “surga” yang dipenuhi turis-turis berkulit pucat. Sama sekali tidak membahas keindahan dan pariwisatanya, Fatris justru menceritakan Bali dengan beragam keluhan: jauh berbeda dari Bali yang pernah didatanginya, kesejahteraan hanya dirasakan pihak-pihak tertentu, dan masyarakat lokal yang banyak menawarkan tanahnya untuk dijual. 

Kembali ke pernyataan awal, buku ini bukan sekedar catatan perjalanan. Fatris tidak hanya menceritakan tawa, melainkan lara yang ada di Nusantara. Tak hanya alam, tetapi juga keseharian budaya masyarakatnya. Sebuah buku yang sangat cocok untuk kamu yang mencari sudut pandang berbeda, dan mungkin saja setelah membaca lembar demi lembar buku ini, kamu bisa menciptakan sebuah perjalanan yang lebih dekat dengan keseharian masyarakat, atau bahkan membaca karya-karya Fatris MF lainnya seperti Hikayat Sumatra, Merobek Sumatra, Kabar dari Timur, dan Jurnal Banda.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Membaca Indonesia dalam Lara Tawa Nusantara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/membaca-indonesia-dalam-lara-tawa-nusantara/feed/ 0 37229
Lalab, Budaya Kuliner Sunda: Mengeksplorasi Kekayaan Vegetasi https://telusuri.id/lalab-budaya-kuliner-sunda-mengeksplorasi-kekayaan-vegetasi/ https://telusuri.id/lalab-budaya-kuliner-sunda-mengeksplorasi-kekayaan-vegetasi/#respond Wed, 15 Feb 2023 04:00:13 +0000 https://telusuri.id/?p=37231 Dalam khazanah kuliner Indonesia, budaya kuliner masyarakat Sunda telah lama identik dengan kebiasaan melalab. Jejak-jejak historis-arkeologis itu dapat dibaca di buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték Jilid 1 anggitan Dr. Riadi Darwis. Tradisi makan...

The post Lalab, Budaya Kuliner Sunda: Mengeksplorasi Kekayaan Vegetasi appeared first on TelusuRI.

]]>
Dalam khazanah kuliner Indonesia, budaya kuliner masyarakat Sunda telah lama identik dengan kebiasaan melalab. Jejak-jejak historis-arkeologis itu dapat dibaca di buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték Jilid 1 anggitan Dr. Riadi Darwis.

Tradisi makan lalab sebagaimana yang tertuang pada sejumlah prasasti dan naskah Sunda kuno, menurut Riadi Darwis, menegaskan bahwa budaya mengonsumsi lalab sudah cukup tua. Bisa jadi, umurnya sejak manusia hadir ke muka bumi.

Riadi Darwis lalu mengingatkan cerita dalam Alquran tentang kisah manusia pertama, Nabi Adam dan Siti Hawa, ketika tergoda ingin memetik dan memakan buah pohon khuldi karena terkena bujuk rayu iblis, hingga akhirnya mereka diturunkan dari surga ke bumi. 

Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték
Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték Jilid 2 diterbitkan oleh UPI Press, Bandung/Badiatul Muchlisin Asti

Lalab dan Citra Budaya Makan Sunda

Sejarawan kuliner Indonesia, Fadly Rahman, dalam artikel berjudul Sunda dan Budaya Lalaban: Melacak Masa Lalu Budaya Makan Sunda (Metahumaniora, nomor 3, Desember 2018) meneguhkan tradisi kuliner lalab pada masyarakat Sunda yang telah berlangsung sejak masa kuno berdasarkan telaah terhadap bukti tinggalan tertulis  dalam prasasti dan naskah.  

Menurut Fadly Rahman, tradisi lalab selaras dengan lingkungan alam Sunda berupa citra tanah suburnya yang mendukung pertumbuhan banyak jenis tanaman bermanfaat untuk bahan lalab. Tradisi itu kemudian membentuk keunikan budaya makan Sunda jika dibandingkan dengan budaya makan di wilayah lainnya di Indonesia.

Kedatangan orang-orang Eropa mempengaruhi kebiasaan makan orang Indonesia. Di antaranya dengan meningkatnya tingkat konsumsi daging. Hal itu seiring dengan pembudidayaan hewan ternak pada abad ke-19 di Jawa dan berbagai wilayah lainnya. 

Namun, kecenderungan itu tidak menampak di kawasan Jawa Barat. Populasi ternak di Jawa Barat ternyata tercatat rendah. Kondisi ini turut berpengaruh pada rendahnya konsumsi protein hewani di kalangan masyarakat Sunda. 

Hingga awal abad ke-20, menurut Fadly Rahman, kebiasaan makan orang Sunda ternyata tetap diidentikkan lekat dengan konsumsi nabati daripada hewani. Setidaknya dalam beberapa riset botani yang dilakukan sarjana kolonial, istilah groentengerechten (makanan sayuran) acap menyebut kata lălăb (sic.) sebagai makanan Soendaneezen (orang Sunda).

Sampai saat ini, lalab boleh dibilang merupakan budaya kuliner yang mencirikan orang Sunda. Sehingga ada yang berkelakar bahwa orang Sunda ‘suka daun muda’—yang dimaksud tentu adalah lalab yang sebagian besar merupakan dedaunan muda.

Kekayaan Vegetasi

Murdijati Gardjito, dkk dalam buku Kuliner Sunda, Nikmat Sedapnya Melegenda (2019) menyatakan, orang Sunda dapat memilah dan memilih daun yang akan dijadikan lalab. Mereka mendapatkan pengetahuan tentang tanaman secara turun-temurun dari orang tuanya. Sejak kecil mereka melihat orang tua dan masyarakat sekitar memakan jenis tumbuhan tertentu sebagai lalab. Kebiasaan ini mendorong masyarakat di sana memanfaatkan pekarangan dan halaman rumah mereka untuk menanam sayuran yang akan dijadikan lalab.

Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, jenis sayuran yang digunakan sebagai lalab antara lain: selada, kacang panjang, mentimun, tomat, daun pepaya, daun singkong, dan daun kemangi. Sedangkan bagi masyarakat Sunda, selain jenis yang sudah umum dikonsumsi tersebut, mereka juga mengonsumsi jenis tanaman lain seperti leunca, kenikir, buah nangka, serta honje atau bunga kecombrang.

Bahkan, beberapa jenis tanaman yang oleh sebagian orang dianggap sebagai hama yang tidak bermanfaat, oleh orang Sunda dapat dinikmati menjadi sajian yang lezat. Selain itu, berbagai jenis umbi-umbian seperti kunyit dan kencur, juga dapat dinikmati sebagai lalab.

  • Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték
  • Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték
  • Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték

Jenis lalaban dalam tradisi makan orang Sunda memang ada banyak jumlahnya. Mengutip penelitian Prof. Unus Suriawiria, sampai tahun 2000 ditemukan tidak kurang dari 200 jenis tanaman yang bisa dijadikan lalab. Namun riset terbaru Dr. Riadi Darwis yang dituangkan dalam buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték Jilid 2 cukup mencengangkan, karena ia telah berhasil mendata tidak kurang 718 jenis tanaman lalab yang masih hidup dan tumbuh subur di kawasan budaya Sunda.

Riset dilakukan oleh Riadi Darwis untuk membuktikan kelangsungan keberadaan lalaban pada masa-masa klasik yang telah dirisetnya. Untuk pembuktian itu, Riadi Darwis melakukan sejumlah observasi ke sejumlah daerah yang ada di kawasan budaya Sunda. Di antaranya yang paling banyak ditemukan varian lalab-nya serta diperjualbelikan di lingkungan masyarakat adalah di daerah Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi, Kota Sukabumi, Kabupaten Bogor, dan Kota Bogor.

Menurut Riadi Darwis, sangat bisa jadi seluruh kabupaten dan kota tersebut adalah representasi daerah pegunungan, penghasil pertanian dan perkebunan. Tidak mengherankan apabila jumlah varian tanaman lalab akan dengan sangat mudah ditemukan.

Dari 718 jenis tanaman lalab yang didata Riadi Darwis, ada beberapa yang masih menggunakan istilah Latin ataupun bahasa daerah lain karena belum diketahui persamaan bahasa asli daerahnya. Misalnya tanaman bernama Latin Albelmoschus Manihot (L.) Medic (forma anisodactylus, Bakh) yang dikonsumsi sebagai lalab pada bagian daunnya. Ada juga tanaman Acacia rugata (L.) Merr yang dikonsumsi sebagai lalab bagian batangnya. Lalu ada Alocasia culculata Schott di mana yang dikonsumsi sebagai lalab adalah bagian umbinya. Dan banyak lagi, bisa dibaca di buku ini.Kekayaan vegetasi tanaman lalab di kawasan Sunda yang telah didata secara baik oleh Riadi Darwis bisa menjadi referensi dan dokumentasi penting serta bahan kajian lebih lanjut bagi upaya pengembangan gastronomi Sunda di masa-masa mendatang. Buku ini adalah sumbangan penting bagi dunia gastronomi Sunda khususnya, juga bagi dunia gastronomi Indonesia pada umumnya.  


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lalab, Budaya Kuliner Sunda: Mengeksplorasi Kekayaan Vegetasi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lalab-budaya-kuliner-sunda-mengeksplorasi-kekayaan-vegetasi/feed/ 0 37231
Lalab, Budaya Kuliner Sunda: Melacak Jejak Historis https://telusuri.id/lalab-budaya-kuliner-sunda-melacak-jejak-historis/ https://telusuri.id/lalab-budaya-kuliner-sunda-melacak-jejak-historis/#respond Tue, 14 Feb 2023 04:00:13 +0000 https://telusuri.id/?p=37230 Lalab sudah menjadi bagian dari budaya kuliner masyarakat Indonesia. Menyantap nasi plus ayam goreng, misalnya, serasa kurang sedap bila tak dilengkapi dengan lalab dan sambal. Mentimun, selada, kubis, dan daun kemangi, merupakan contoh lalaban yang...

The post Lalab, Budaya Kuliner Sunda: Melacak Jejak Historis appeared first on TelusuRI.

]]>
Lalab sudah menjadi bagian dari budaya kuliner masyarakat Indonesia. Menyantap nasi plus ayam goreng, misalnya, serasa kurang sedap bila tak dilengkapi dengan lalab dan sambal. Mentimun, selada, kubis, dan daun kemangi, merupakan contoh lalaban yang umum dijumpai  sebagai pelengkap makan.

Meski melalab (mengonsumsi lalab) sudah menjadi budaya komunal masyarakat Indonesia, namun tatar Sunda merupakan daerah yang disebut-sebut sebagai wilayah dengan warga yang memiliki budaya lalab paling kental. Bahkan budaya lalab sangat identik dengan wilayah yang juga dikenal dengan nama Priangan atau Parahyangan itu. 

Sebuah buku bertajuk Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték anggitan Dr. Riadi Darwis, M.Pd.—seorang dosen di Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung—sangat menarik untuk disimak karena (salah satunya) mengangkat budaya kuliner lalab di kalangan masyarakat Sunda. Buku ini diterbitkan oleh penerbit UPI Press, Bandung, cetakan pertama Maret 2022.

Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték
Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték Jilid 1 karya Dr. Riadi Darwis diterbitkan oleh UPI Press, Bandung/Badiatul Muchlisin Asti

Sebelumnya, Riadi Darwis juga telah menerbitkan dua buku seri gastronomi tradisional Sunda, yaitu Khazanah Kuliner Keraton Kesultanan Cirebon (Selaksa Media, Agustus 2019) dan Khazanah Kuliner Kabuyutan Galuh Klasik (UPI Press, September 2020). Boleh dibilang, buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték ini adalah buku seri gastronomi tradisional Sunda ketiga karya Riadi Darwis. 

Riadi Darwis, penganggit buku ini, menyusun buku ini dengan sangat serius. Ia mengaku melakukan riset untuk buku ini selama 31 tahun, baik riset lapangan maupun riset pustaka. Hasilnya sebuah buku yang sangat tebal, sehingga oleh penerbit “terpaksa” dibagi menjadi dua jilid. Jilid pertama setebal (xlix +) 734 halaman dan jilid kedua setebal (lvi +) 336 halaman.

Di buku jilid pertama ini, Riadi Darwis mengajak pembaca berkelana melakukan pelacakan jejak historis–arkeologis lalab pada masa lalu, yakni melalui pembacaan terhadap sejumlah prasasti dan naskah Sunda kuno yang dibagi ke dalam dua bab (bab III dan IV). Dua bab sebelumnya (bab I dan II) berisi pendahuluan dan pengenalan lalab, rujak, sambal, dan tékték dalam budaya kuliner Sunda.

Sejatinya buku ini memang membedah empat kelompok varian kuliner khas Sunda meliputi lalab, rujak, sambal, dan tékték. Namun nampaknya dari keempat varian itu, lalab-lah yang lebih populer di blantika kuliner Indonesia dan identik dengan masyarakat Sunda—dibanding varian lainnya.     

Lalab sendiri, mengutip Kamoes SoendaIndonesia anggitan R. Satjadibrata (1950) didefinisikan sebagai, “Lalab, sajoeran (doen-daoenan at. boeah-boeahan) jang dimakan mentah sambil makan nasi; dilalab: dimakan mentah (sajoeran); ngalalab: hanya makan lalab sadja (bertapa); lalab-roembah: dikatakan kepada barang-barang yang tidak berharga.”

Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya anggitan Ajib Rosidi (2000) mendefinisikan lalab sebagai “Tanaman yang dimakan sebagai teman nasi, disebut juga coel sambel, karena makan lalab hampir harus disertai sambal. Tanaman lalab ada beberapa jenis. Ada yang dipelihara, ada pula yang tumbuh liar; ada yang dimakan pucuknya, ada pula yang dimakan buahnya atau umbinya; ada yang tumbuh sebagai pohon, ada pula yang merupakan tanaman perdu; ada yang dimakan mentah-mentah, ada pula yang harus dimasak lebih dulu, biasanya direbus atau dikukus.”

Soal penulisan kelompok varian kuliner di buku ini, Riadi Darwis memilih mempertahankan penamaan atau ejaan dalam konteks asli budaya Sunda. Lalap (pakai p sebagaimana dalam KBBI V), ditulis lalab (pakai b) sesuai tata penulisan dalam bahasa Sunda. Alasannya adalah ingin lebih mengakrabkan hubungan emosional pada masyarakat Sunda sekaligus menandakan penciri asli yang melekat pada budaya Sunda. 

12 Prasasti dan 18 Naskah Sunda Kuno

Ada 12 prasasti yang diriset oleh Riadi Darwis, meliputi Prasasti Panggumulan A dan B, Prasasti Gulung-gulung, Prasasti Taji, Prasasti Watukura I, Prasasti Mantyasih I, Prasasti Mantyasih II, Prasasti Rukam, Prasasti Lintakan, Prasasti Sangguran, Prasasti jeru-jeru, Prasasti Alasantan, dan Prasasti Paradah. Ke-12 prasasti itu, oleh Riadi Darwis, diriset lalu dipetakan sebaran kosakata yang terkait dengan kegastronomian yang menggambarkan budaya kuliner yang berkembang pada masa itu—sesuai zamannya. 

Berdasarkan pemetaan kosa kata pada 12 prasasti itu, ditemukan 34 kosa kata atau frasa yang menandakan tradisi masyarakat Nusantara yang sudah sejak lama mengenal pengonsumsian lalab—mentah maupun matang, rujak, dan tékték. 

Dan terkait sejumlah prasati yang diriset berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya Prasasti Taji ditemukan di daerah Ponorogo, Riadi Darwis menyebut ada kemungkinan silang budaya terjadi pada masa lalu, berdasarkan bukti adanya hubungan kekerabatan leluhur kerajaan besar di Jawa yang berasal dari wilayah kerajaan di Sunda. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila dalam naskah prasasti yang diriset, meskipun dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun memiliki sisi kesamaan pada kosakata-kosakata tertentu.

Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték
Ada 12 prasasti yang diriset oleh Riadi Darwis untuk mendapatkan jejak lalap di masa klasik/Badiatul Muchlisin Asti

Adapun 18 naskah Sunda Kuno yang diriset oleh Riadi Darwis berasal dari naskah transkripsi wawacan dan naskah pantun Sunda. Antara lain naskah Sanghyang Swawarcinta, Para Putera Rama dan Rawana, Pendakian Sri Ajnyana,  Kisah Bujanga Manik: Jejak Langkah Peziarah, Swaka Darma, Babad Panjalu, Babad Galuh Imbanagara, dan Pantun SriSadana dan Sulandjana.

Dari setiap naskah itu disigi dan diinventarisasi kosakata gastronomi, baik yang terkait dengan lalab, rujak, sambal, dan tékték, maupun kosakata dalam konteks dunia kuliner pada umumnya. Misalnya pada tilikan naskah Sanghyang Swawarcinta, Riadi Darwis memperoleh data, khususnya tanaman lalab, di antaranya ilalang, kelapa, rumput palias, dan rebung bambu.

Pada naskah itu juga, Riadi Darwis menemukan aneka kosakata terkait dengan konteks kuliner dalam kehidupan sosial maupun keagamaan kala itu. Kosakata itu dapat dikategorikan ke dalam bahan baku pangan, bahan baku papan, jenis sesajian untuk upacara keagamaan, teknik memasak, alat memasak, tempat, profesi, dan kata kerja lainnya. 

“Kaya Data”, Antara Kelebihan dan Kekurangan

Sebagai buku hasil riset, buku ini tampil dengan nuansa akademis yang lekat. Sangat kaya data. Daftar kosakata gastronomi  yang ditampilkan dari setiap prasasti atau teks naskah yang diriset, tidak hanya yang terkait dengan empat varian makanan yang menjadi tema sentral buku ini, melainkan juga kosa kata terkait dengan konteks kuliner secara umum.

Data yang sangat kaya di satu sisi memang merupakan kelebihan karena pembaca bisa mencecap lebih banyak “fakta-fakta kegastronomian” yang terjadi di masa lalu lewat buku ini. Namun, data yang “sangat kaya” itu sekaligus juga bisa menjadi kelemahan karena substansi dan pokok tema yang diangkat menjadi kurang bisa cepat diakses oleh pembaca. 

Apalagi kekayaan data yang ditampilkan tidak diimbangi dengan analisa yang cukup memadai atas setiap prasasti dan naskah Sunda kuno yang diriset. Sehingga pembaca seringkali harus melakukan semacam “dialektika dan interpretasi sendiri” atas data-data yang ditampilkan “apa adanya” oleh penulis.

  • Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték
  • Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték

Bila merujuk pada dua buku seri gastronomi tradisional Sunda karya Riadi Darwis sebelumnya, buku ini pun sepertinya bukanlah sejenis “buku sejarah kuliner”  yang disajikan secara populer dengan gaya bahasa yang juga populer—sehingga mudah dinikmati dan dipahami oleh pembaca umum. Alih-alih kekayaan data dan gaya penyajiannya lebih menunjukkan buku ini sebagai buku akademis dan referensial.    

Terlepas dari itu, buku ini sangat menarik untuk dibaca dan didalami oleh siapapun yang meminati kajian (sejarah) kuliner tradisional Nusantara, terutama kuliner tradisional Sunda. Meski untuk membacanya, diperlukan kesabaran dan ketekunan tersendiri—sebagaimana penganggit buku ini yang sabar dan tekun melakukan riset dan menuliskannya menjadi buku tebal ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lalab, Budaya Kuliner Sunda: Melacak Jejak Historis appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lalab-budaya-kuliner-sunda-melacak-jejak-historis/feed/ 0 37230
Berumah di Kebun Buku https://telusuri.id/berumah-di-kebun-buku/ https://telusuri.id/berumah-di-kebun-buku/#respond Thu, 22 Sep 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35376 Si Hitam melaju tenang. Barangkali hanya 30 km/jam. Motor roda dua yang saya miliki itu memang tak bisa melaju lebih dari 60 km/jam. Maklum, sudah tua. Jika melebihi batas maksimum kecepatannya, rodanya akan goyang, seperti...

The post Berumah di Kebun Buku appeared first on TelusuRI.

]]>
Si Hitam melaju tenang. Barangkali hanya 30 km/jam. Motor roda dua yang saya miliki itu memang tak bisa melaju lebih dari 60 km/jam. Maklum, sudah tua. Jika melebihi batas maksimum kecepatannya, rodanya akan goyang, seperti kaki yang gemetar ketika turun gunung. Meski begitu, sejak 2004 ia setia menemani saya mengaspal. Kata montir yang kerap menyervis di bengkel langganan, mesinnya masih bagus dan bersih. Suatu kebanggan, bukan? Namun tulisan ini bukan tentangnya, melainkan sebuah rumah yang hendak saya tuju pada sore kali ini.

Papan petunjuk Kebun Buku/Perempuan Banyu

Rumah itu berada di selatan Kota Yogyakarta. Tepatnya di Jalan Minggiran No. 61A. Rumah yang selalu menjadi tujuan jika saya hendak pergi entah ke mana; Kebun Buku.

Menyeberangi Jalan Mataram, melawati Pasar Beringharjo lalu menembus Malioboro, saya berhenti di simpang Nol Kilometer Yogyakarta. Melintasi Alun-alun Utara, saya berbelok sedikit ke timur untuk kemudian menuju Panembahan dan terus ke selatan hingga bertemu simpang Gading. Lepas lampu hijau menyala, motor masih saya lajukan ke selatan memasuki kawasan Mantrijeron, dan di suatu simpang tiga, saya berbelok ke barat. Belokan terakhir memasuki Kampung Minggiran. Matahari masih bungah pada jam lima sore yang sinarnya membuat silau. Saya pelankan laju dan mengulur jarak dengan kendaraan di depan. Takut kalau-kalau saya tidak melihat yang terlalu dekat. Namun keadaan itu tak bertahan lama, hingga akhirnya motor berhenti di suatu lahan di sisi utara jalan. Kebun Buku berada di seberangnya.

“Hai, Bestie,” teriak Ifah sembari melambaikan tangan ketika ia melihat saya hendak menyeberang jalan. Sambutan yang ramah dan akan selalu ramah.

Tampak Depan Kebun Buku
Tampak depan Kebun Buku/Perempuan Banyu

Memasuki gerbang hijau, Ariel tampak duduk menghadap laptop. Ifah dan Ariel adalah dua punggawa Kebun Buku. Ariel akan menjawab segala pertanyaan tentang buku dan Ifah yang menyeduhkan minuman untukmu sementara sore terus langsir menuju senja. Kali ini saya memesan cokelat panas dan memang demi minuman itu saya selalu datang. Juga untuk melanjutkan membaca buku Keberangkatan karya NH Dini koleksi Kebun Buku.

Di antara kepulan uap panas secangkir cokelat panas dan temaram lampu kuning, saya teringat memori pertama kali mengenal Kebun Buku.

Sore berdebu pada tarikh pertengahan 2020. Saya memasuki ruangan dengan pintu lipat abu-abu yang setengah tertutup. Kala itu saya bertemu janji dengan seorang teman lama. Ia mengirimkan peta lokasi di suatu pesan singkat sebelumnya yang kemudian mengarahkan saya ke tempat ini. Melihat tampak depan, saya merasa tak asing dengan rumah ini. Saya mencoba mengingat-ingat. Oh, ya. Tempat ini sempat dipakai oleh suatu kolektif seniman yang cukup senior di Yogyakarta; Ruang Mes 56.

Kursi Rotan
Kursi rotan/Perempuan Banyu

Memasuki ruangan yang penuh sarang laba-laba, seorang lelaki mempersilakan saya masuk yang kemudian dikenal dengan nama Jun. Saya duduk di suatu kursi sedan rotan yang menua. Meski begitu, tak berkurang kekuatan dan pula keindahannya. Sementara pasangan meja dan kursi lainnya, berdiam di beberapa titik.

“Ini tempat aku ngumpet,” ucap teman yang sudah dulu datang.

Saya menjawab dengan anggukan kepala yang lalu mengarahkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Lukisan-lukisan memenuhi dinding putih gading, sementara beberapa pottery terpajang di meja-meja. Lampu sorot tak menyala semua. Redup.

“Ini galeri, Mas? tanya saya ke Jun.

“Iya,” jawab Jun, “biasa buat pameran mahasiswa ISI.”

Awal ihwal tempat ini bernama Kebun Bibi. Pemiliknya seorang Belanda yang, barangkali mencintai Indonesia. Hans Knegtmans, biasa disapa Pak Hans. Tubuhnya ramping menjulang tinggi. Usianya telah menempuh separuh hidup. Namun jangan ragukan kaki jenjangnya itu berjalan serta tangannya bergemulai mencari yang entah apa.

Lepas pengalaman sebelumnya beberapa kali berkunjung ke Indonesia, khususnya Bali, pada Oktober 2014 Pak Hans datang ke Yogya. Barangkali, kecintaannya pada seni dan budaya menjadi musabab tatkala ia injakkan kaki di Kota Budaya untuk melihat geliatnya. Pada Januari 2015, Pak Hans mendirikan Kebun Bibi yang diperuntukkan sebagai galeri ruang pajang karya untuk para seniman.

“Lalu, buku-bukunya dari mana?” tanya saya ke Jun mengenai koleksi buku yang tersusun rapi di rak-rak.

“Pak Hans sendiri yang cari,” jawabnya.

Jun melanjutkan cerita. Januari 2020 Kebun Bibi berubah menjadi Kebun Buku. Barangkali, ya, barangkali, ia ingin memperluas “rumahnya” itu menjadi tak sekadar ruang pamer. Juga karena belum tersedianya ruang-ruang yang menyediakan buku-buku impor di Yogya.

Tiap enam bulan Pak Hans berpindah tinggal antara Belanda dengan Indonesia. Di kampung halamannya, Pak Hans mencari buku-buku layak baca lalu mengirimkannya ke Indonesia. Lagi-lagi saya mafhum musabab koleksi buku-buku yang kebanyakan berbahasa Belanda, beberapa Inggris, dan sedikit Jerman.

Suasana di Kebun Buku
Suasana di Kebun Buku/Perempuan Banyu

Saya membayangkan fragmen film. Lelaki sedang berjalan, menyusuri kota tua dengan deretan bangunan yang tak kalah renta di Eropa. Angin berhembus kencang pada suatu musim dingin. Lelaki itu memasuki kios loakan lalu tangannya mulai menyelinap di tumpukan, mencari yang, orang banyak menyebut sebagai jendela dunia. Dikumpulkan buku-buku itu di rumahnya, disusun dalam dus-dus, lalu dikirimkan ke Indonesia. Buku-buku itu melanglang buana seperti kakinya yang telah hinggap dari Barat Jauh menuju Timur Jauh. Supaya bisa dibaca oleh mata-mata yang sebelumnya hanya mampu mendengar kisahnya samar-samar, seperti cerita Leo Tolstoy, Henry James, dan Shakespeare.

“Tapi lagi tutup karena pandemi,” ucap Jun.

Ah, kini saya tahu musabab tentang laba-laba yang bersarang di sudut-sudut.

Secangkir cokelat panas buatan Ifah telah menjadi hangat. Saya menyesapnya perlahan, menimbulkan bunyi decak. Bunyi yang kembali mengantar saya pada memori perayaan ulang tahun Kebun Buku ketujuh pada Januari 2022 lalu. Sahabat berdatangan memenuhi ruangan dengan lantai tegel tua berwarna abu-abu. Ada orang lama dan sisanya teman baru. Beberapa di antaranya mempersembahkan nyanyian sementara makanan dan minuman mengalir tanpa henti. Pun tawa renyah menghangatkan suasana. Pesta ulang tahun sederhana itu menjadi titik balik rumah ini kembali bergeliat lepas dua tahun redup.

Kebun Buku adalah Yogya Kecil. Sejak 2014 menetap di Yogya, saya telah dipertemukan dengan banyak hal; teman-teman baru, pengalaman baru, juga rasa yang baru. Orang memang datang dan pergi, tapi tak sedikit juga memilih menetap karena rasa atau energi yang sama. Kebun Buku juga mengingatkan saya pada masa kuliah, medio 2000an. Orang-orang yang telah memilih menetap di sebuah ruang kolektif, kemudian menjadikan kedatangannya tanpa alasan, yang secara organik akan membentuk lingkar pertemanannya sendiri. Seperti pulang ke rumah untuk bertemu dan menghabiskan waktu, atau sekadar membaca seraya menikmati seduhan dalam cangkir.

Klub Buku Yogya salah satunya. Komunitas ini, tiap minggu kedua dan keempat secara regular mengadakan diskusi buku. Tak melulu harus membaca buku terlebih dahulu yang akan didiskusikan, tapi sah-sah saja jika ingin datang hanya untuk mendengarkan. Tidak akan ada penghakiman. Anggap saja seperti berbincang sederhana.

“Basis komunitasnya kuat banget,” ucap Erni, seorang yang saya kenal di Kebun Buku ketika kami bertemu di suatu lawatannya ke Yogya.

“Di Yogya enggak ada kompetisi, tapi kolaborasi,” Byan, teman lain yang saya kenal ketika pesta ulang tahun Kebun Buku lalu, menyambung.

“Yogya itu kecil,” kali ini saya menyahut, “orangnya, ya, itu-itu aja. Kalau komunitasnya enggak solid, kegiatan seni dan budayanya bakal bubar jalan.”

Deretan buku-buku
Deretan buku-buku/Perempuan Banyu

Sampai catatan ini saya buat, tak terhitung telah seberapa panjang deretan perbincangan yang terjadi di Kebun Buku. Terbersit harapan, semoga terus memanjang. Singgahlah jika ada kesempatan. Karena inilah Yogya sesungguhnya, jujur dan sederhana. Sudut-sudutnya adalah rumah, yang selalu memanggil untuk datang lagi dan lagi. Yang tak akan penghakiman jika kita berjalan sendiri dan yang tak harus ada alasan hanya untuk bertemu di beranda rumah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berumah di Kebun Buku appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berumah-di-kebun-buku/feed/ 0 35376
Menyusuri Aneka Kuliner Lezat di Sepanjang Jalur Mudik  https://telusuri.id/menyusuri-aneka-kuliner-lezat-di-sepanjang-jalur-mudik/ https://telusuri.id/menyusuri-aneka-kuliner-lezat-di-sepanjang-jalur-mudik/#respond Mon, 14 Mar 2022 09:01:09 +0000 https://telusuri.id/?p=33039 Tak bisa dipungkiri, daerah-daerah di Pulau Jawa telah melahirkan pelbagai kuliner yang lezat-lezat dari sisi cita rasa. Jalur pantai utara dan jalur selatan Jawa yang sejauh ini menjadi jalur mudik saat lebaran, memiliki sejumlah daya...

The post Menyusuri Aneka Kuliner Lezat di Sepanjang Jalur Mudik  appeared first on TelusuRI.

]]>
Tak bisa dipungkiri, daerah-daerah di Pulau Jawa telah melahirkan pelbagai kuliner yang lezat-lezat dari sisi cita rasa. Jalur pantai utara dan jalur selatan Jawa yang sejauh ini menjadi jalur mudik saat lebaran, memiliki sejumlah daya pikat kuliner, yang tak semua orang tahu titik-titik destinasinya.  

Melalui buku berjudul 100 Mak Nyus Jalur Mudik, Jalur Pantura dan Jalur Selatan Jawa (Penerbit PT Kopitiam Oey Indonesia, 2018), trio penulis kuliner (Bondan Winarno, Lidia Tanod, dan Harry Nazarudin) menyajikan panduan kuliner mudik lebaran dengan menginformasikan kuliner-kuliner tradisional mak nyus di sepanjang jalur pantai utara dan pantai selatan Jawa. 

Hampir di setiap kota yang dilintasi sepanjang perjalanan mudik, menyajikan pelbagai kuliner khas yang menggoda selera. Meski saat ini sudah banyak blog maupun situs yang mengulas berbagai destinasi kuliner mudik lebaran, namun buku ini tentu lebih istimewa. Setidaknya di dalamnya secara khusus membahas 100 kuliner khas daerah pilihan yang direkomendasikan oleh pesohor kuliner yang tak diragukan lagi kompetensinya sebagai seorang foodie yang sudah malang-melintang dan memiliki jam terbang tinggi soal mencicipi makanan. 

Bondan Winarno adalah ‘jaminan’ soal kuliner yang direkomendasikan, meski lezat atau mak nyus adalah soal personal yang masing-masing orang sangat bisa berbeda. Sebagai penulis yang doyan makan, Bondan Winarno masyhur dan dikenal publik setelah membawakan acara wisata kuliner di sebuah televisi swasta selama sembilan tahun.

100 Mak Nyus Jalur Mudik, Jalur Pantura dan Jalur Selatan Jawa
Buku ‘100 Mak Nyus Jalur Mudik, Jalur Pantura dan Jalur Selatan Jawa’ persembahan terakhir Bondan Winarno/Badiatul Muchlisin Asti

Pokok’e mak nyus adalah jargon yang dipopulerkannya, terbukti mampu mengangkat kepercayaan diri para pelaku kuliner tradisional Indonesia untuk bangkit dan berkembang di blantika perkulineran Indonesia yang kala itu mulai didominasi oleh pelbagai kuliner modern. Sejak saat itu, banyak kuliner tradisional khas daerah yang (kembali) moncer, dan kemudian dikenal sebagai destinasi wisata kuliner—yang umumnya memang sudah memiliki masa tempuh lama atau boleh dibilang legendaris. Anak-anak muda pun tak malu-malu lagi untuk kulineran di jujugan-jujugan kuliner tradisional tersebut.

Buku ini terbit saat Bodan Winarno telah tiada. Boleh dibilang, buku ini adalah persembahan terakhir Bondan Winarno untuk dunia kuliner Indonesia yang dicintainya—sebelumnya telah menelurkan buku-buku kuliner lainnya, yaitu 100 Mak Nyus Makanan Tradisional Indonesia (2013), 100 Mak Nyus Jakarta (2015), 100 Mak Nyus Bali (2016), dan 100 Mak Nyus Joglosemar (2017). 

Buku ini mulai dipersiapkan sejak bulan Januari 2017. Di tengah pengumpulan data, Bondan jatuh sakit, namun tetap bersemangat untuk melanjutkan seri berikutnya setelah buku 100 Mak Nyus Joglosemar selesai diluncurkan. Bulan September 2017 sebuah tindakan medis harus dilakukan kepada Bondan Winarno. 

Dalam kondisi terbaring di rumah sakit, Bondan tetap bersemangat untuk melanjutkan proyek bukunya itu. Tim pun bergembira menyambut semangat Bondan. Sayang, kegembiraan itu berumur singkat. Saat proyek hampir selesai, pada 29 November 2017, pakar kuliner yang pernah menggeluti dunia jurnalistik itu tutup usia.

Lidia Tanod dan Harry Nazarudin menyampaikan dalam kata pengantar buku 100 Mak Nyus Jalur Mudik, Jalur Pantura dan Jalur Selatan Jawa, tim yang nyaris menyerah, pada Januari 2018 mengusulkan kepada pihak sponsor dan penerbit untuk melanjutkan proyek ini. Pertimbangannya, toh Pak Bondan sudah menulis lengkap soal tujuan kulinernya, dan buku ini bisa merangkap tribute untuk jasa Pak Bondan di dunia kuliner tradisional Indonesia. Puji syukur, pihak sponsor dan penerbit mendukung, sehingga jadilah buku ini.

Buku ini menjadi panduan kuliner yang boleh dibilang ‘paling otoritatif’ bagi para pemudik terkait rekomendasi kuliner di sepanjang jalur mudik, yaitu jalur pantai utara dan pantai selatan Jawa. 

100 Mak Nyus Jalur Mudik, Jalur Pantura dan Jalur Selatan Jawa
Sayur ontong, salah satu menu khas Tuban yang direkomendasikan Bondan Winarno/Badiatul Muchlisin Asti

Rute pantai utara meliputi: Tangerang – Jakarta – Karawang – Cikampek – Purwakarta – Indramayu – Cirebon – Brebes – Tegal – Pemalang – Pekalongan – Semarang – Kudus – Pati – Juwana – Rembang – Lasem – Tuban – Lamongan – Gresik – Surabaya – Sidoarjo – Bangil – Pasuruan – Tongas – Probolinggo – Banyuwangi.

Adapun rute selatan meliputi: Serang – Bogor – Cianjur – Bandung – Tasikmalaya – Ciamis – Purwokerto – Kebumen – Purworejo – Yogyakarta – Solo – Sragen – Madiun – Kediri – Malang – Lumajang – Jember – Banyuwangi.

Di sepanjang jalur atau rute yang dilalui, hampir setiap daerah menyajikan makanan khas yang lezat dan menggugah selera, baik yang sudah dikenal maupun yang selama ini jarang diketahui. Misalnya di jalur pantura, selain makanan-makanan khas yang sudah masyhur seperti gabus pucung (Jakarta), sate maranggi (Purwakarta), empat gentong dan nasi jamblang (Cirebon), sate blengong (Brebes), sate kambing batibul (Tegal), nasi pindang (Kudus), sate komoh (Pasuruan), rawon (Surabaya), dan sebagainya; namun juga terdapat aneka makanan rekomendasi yang selama ini jarang dikenal publik, seperti: pedesan entog (Indramayu), sate ayam margasari (Tegal), kepiting gemes (Pekalongan), sayur ontong dan kari rajungan (Tuban), gulai kambing kacang hijau (Bangil), dan sebagainya.

Begitu juga di jalur selatan, selain makanan khas yang sudah masyhur seperti: sate bandeng dan rabeg (Serang), toge goreng (Bogor), soto bandung (Bandung), nasi tutug oncom (Tasikmalaya-Garut), tempe mendoan dan sroto sokaraja (Purwokerto), gudeg dan sate klatak (Yogyakarta),  tengkleng dan nasi liwet (Solo), pecel kawi (Malang), nasi tempong (Banyuwangi), dan sebagainya; namun juga terdapat aneka makanan rekomendasi yang jarang disebut di blantika kuliner Indonesia, seperti: nasi goreng piritan (Ciamis), sate siboen (Ponorogo), cwi mie gloria (Malang), rujak soto (Banyuwangi), dan sebagainya.  

Salah satu kuliner yang belum cukup populer adalah pedesan entog yang merupakan kuliner khas Indramanyu. Pedesan entog adalah sajian yang tercipta dari tradisi medes, yaitu pesta syukuran masyarakat Indramayu yang baru selesai panen padi. Medes diambil dari kata pedas, karena hampir semua hidangan yang disajikan pada pesta itu bercita rasa pedas. 

100 Mak Nyus Jalur Mudik, Jalur Pantura dan Jalur Selatan Jawa
Buku ‘100 Mak Nyus Jalur Mudik, Jalur Pantura dan Jalur Selatan Jawa’ juga tribute untuk mengenang jasa Bondan Winarno di dunia kuliner tradisional Indonesia/Badiatul Muchlisin Asti

Jenis daging yang diolah berasal dari hewan yang biasanya dipelihara di sawah, antara lain entog. Entog dibuat sebagai pedesan karena memiliki daging lebih tebal dan lebih empuk dibanding bebek. Selain juga entog memang enak dibuat untuk masakan berkuah dengan aneka rempah yang kuat. Saat ini, pedesan entog sudah diperhitungkan menjadi salah satu ikon kuliner Indramayu.

Kuliner yang belum populer lainnya adalah sayur ontong khas Tuban. Ontong adalah istilah untuk menyebut jantung pisang—bahan yang jarang digunakan karena mengandung getah yang rasanya tidak enak. Namun di Tuban, jantung pisang bisa diolah menjadi sajian yang sangat sedap.

Kita akan takjub saat pertama kali mencicipi sayur ontong ini. Cita rasanya sangat gurih, tak ada rasa getahnya sama sekali, tetapi tekstur jantung pisang dan aroma khasnya masih terasa khas di lidah. Sayur ontong sangat nikmat disantap dengan nasi putih hangat. Sebuah hidangan yang patut dicoba bila melewati Tuban.

Nasi goreng piritan adalah kuliner lainnya yang belum terlalu populer. Piritan adalah istilah untuk menyebut jeroan ikan. Jadi, jeroan ikan digoreng sampai kering kemudian digunakan untuk lauk nasi goreng. Ketika hidangan ini muncul, langsung terlihat bahwa ini bukan nasi goreng biasa. Warnanya kuning, tidak kecoklatan, karena tidak menggunakan kecap tetapi mentega.

Irisan cabai merah dan hijau nampak membuat hidangan menjadi cantik. Rasa nasi gorengnya sendiri sudah enak, dengan tarikan asin. Namun, piritannya menambahkan nilai aroma yang berbeda, sehingga membuat ketagihan untuk menyuap lagi.

Buku ini istimewa, buku yang tidak hanya dapat menjadi panduan mudik di jalur pantura dan pantai selatan Jawa, sebagai peta menyusuri aneka kuliner yang beragam cita rasa dan kelezatannya di berbagai kota yang dilalui, namun juga sangat kaya informasi dan menambah wawasan terkait kekayaan kuliner tradisional Indonesia, terutama di lingkup Pulau Jawa.

Terdapat 100 makanan tradisional khas masing-masing daerah, yang setiap entri makanan diulas profilnya, juga lokasi rumah makan yang direkomendasikan oleh mendiang Bondan Winarno. Dilengkapi pula resep pada masing-masing entri makanan, sehingga pembaca yang gemar memasak bisa bereksperimentasi membuatnya sendiri.Istimewanya lagi, setiap entri makanan juga dilengkapi QR Code di samping alamat rumah makan, sehingga pembaca bisa memindai kode tersebut lewat smartphone dan secara otomatis lokasi warung makan akan langsung tersambung ke Google Maps. Sangat menarik, ya!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Aneka Kuliner Lezat di Sepanjang Jalur Mudik  appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-aneka-kuliner-lezat-di-sepanjang-jalur-mudik/feed/ 0 33039
7 Rekomendasi Buku untuk Menyambut Tahun 2022 https://telusuri.id/7-rekomendasi-buku-untuk-menyambut-tahun-2022/ https://telusuri.id/7-rekomendasi-buku-untuk-menyambut-tahun-2022/#respond Fri, 31 Dec 2021 08:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31872 Tidak terasa tahun 2022 sudah di depan mata, perayaan tahun baru yang gegap gempita kemungkinan akan dibatasi, mengingat kasus COVID-19 masih terus bermutasi dan ditakutkan akan memunculkan klaster baru. Ada baiknya menghabiskan awal tahun dengan...

The post 7 Rekomendasi Buku untuk Menyambut Tahun 2022 appeared first on TelusuRI.

]]>
Tidak terasa tahun 2022 sudah di depan mata, perayaan tahun baru yang gegap gempita kemungkinan akan dibatasi, mengingat kasus COVID-19 masih terus bermutasi dan ditakutkan akan memunculkan klaster baru. Ada baiknya menghabiskan awal tahun dengan membaca buku. Buku apapun sebenarnya bagus untuk dibaca—karena buku adalah jendela dunia, untuk mengasah minat baca yang terus menurun dibanding dengan minat penggunaan gawai yang semakin tak terbendung.

Selagi menunggu cuaca cerah sebelum keluar rumah, beberapa buku rekomendasi dari TelusuRI yang akan membantu kalian menghabiskan awal tahun dengan penuh manfaat sekaligus menambah pengetahuan tentang berbagai macam hal dari sejarah, geografi, antropologi, dan lainnya. Ada buku yang ditulis oleh orang barat yang meneliti tentang Jawa, ada jurnalisme sastrawi menelisik mistis dan lokalitas, ada juga yang melihat suatu konflik dalam resolusi yang besar dan dampaknya terhadap Sumatra.

Selamat menikmati sajian rekomendasi buku dari TelusuRI dan selamat tahun baru 2022.

Head Hunters of Borneo
Head Hunters of Borneo/Istimewa

1. Head Hunters of Borneo

Buku ini adalah buah tangan dari Carl Bock yang merupakan seorang naturalis yang mengunjungi Kalimantan dan Sumatra pada 1879 yang kagum dan penasaran dengan bagaimana Kalimantan bagian selatan yang waktu itu masih merupakan rimba. Dia ditugaskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada waktu itu J. W. van Lansberge untuk menyelidiki bagian timur dari pulau Kalimantan.

Dia mendengar desas-desus mengenai manusia berekor yang konon hidup di belantara Kalimantan. Meskipun judulnya terdengar menyeramkan, buku ini menyajikan catatan perjalanan Bock mengitari dan mengamati flora, fauna, serta kondisi sosiologi masyarakat pedalaman Kalimantan dilengkapi ilustrasi yang menawan.

Parade Hantu Siang Bolong
Parade Hantu Siang Bolong/Istimewa

2. Parade Hantu Siang Bolong

Bagaimana jika budaya—jurnalistik—sastra bergabung dan membuat sebuah tulisan dengan isu lokalitas dan klenik? Kumpulan tulisan-tulisan dari Titah AW ini akan membuat pembaca berkelana melihat lokalitas budaya yang sebetulnya lekat dengan kehidupan sehari-hari maupun yang terdengar aneh.

Titah membeberkan bagaimana jurnalisme sastrawi dapat membeberkan fakta dengan alunan yang menarik, tidak membosankan, dan membuat kecanduan. Titah berhasil membuat tulisan yang tidak hanya menarik, tetapi mampu menjadikan budaya lokal khususnya Jawa semata-mata hanya headline dan mampu menarik bagaimana sebenarnya falsafah kehidupan berjalan.

Tempat Terbaik di Dunia
Tempat Terbaik di Dunia/Istimewa

3. Tempat Terbaik di Dunia

Roanne van Voorst memandang perkampungan kumuh dengan cara unik; selalu ada tempat untuk belajar meski di tempat yang dipandang sebelah mata. Roanne yang merupakan seorang antropolog yang meneliti salah satu kampung termiskin di Jakarta mengenai respon warga terhadap banjir menemukan bahwa para pemukim di kampung “terlarang” ini banyak mempunyai cara untuk mengakali masalah-masalah yang kerap muncul dan buku ini menyajikan sebuah perspektif baru dari sebuah kampung kumuh yang kerap dipandang sebelah mata.

Hikayat Sumatra
Hikayat Sumatra/Istimewa

4. Hikayat Sumatra

Satu lagi karya terbaru dari Fatris MF yang terbit pada tahun 2021 selain The Banda Journal  berjudul Hikayat Sumatra. Fatris menuliskan tentang apa yang dirasakan; hutan Sumatra yang semakin menipis berbanding terbalik dengan tanaman komoditas yang membuat kantong pejabat menjadi gendut. Fatris mengkritisi bagaimana pulau kelahirannya berubah cepat dalam kurun waktu 20 tahun. Harimau Sumatra, salah satu spesies harimau dengan ukuran terkecil di dunia semakin menyusut.

Arogansi pemangku kepentingan untuk mendapatkan uang yang banyak malah membuat Sumatra semakin susut—secara geografis maupun ruang lingkup masyarakat adat yang terbatasi. 

The History of Java
The History of Java/Istimewa

5. The History of Java

Nusantara semenjak dahulu adalah “peti harta” yang ingin selalu diungkap oleh pencarinya. Para penjelajah barat berlomba-lomba menuliskan buku tentang pulau-pulau yang ada di Nusantara, termasuk diantaranya adalah Thomas Stamford Raffles.

Buku ini adalah hasil pengamatan dan penelusuran Raffles selama menjabat Gubernur Hindia Belanda kurun waktu 1811-1816. Raffles memang berminat mempelajari Jawa lebih jauh dan dengan dibantu oleh kolega-koleganya, buku ini berhasil diterbitkan dan  menggambarkan Pulau Jawa secara utuh dan menjadi rujukan sampai saat ini. 

Membabar Peta Merupa Bumi
Membabar Peta Merupa Bumi/Istimewa

6. Membabar Peta Merupa Bumi

Buku yang baru terbit pada November 2021 ini merupakan kumpulan tulisan dari berbagai penulis yang menceritakan banyak hal; kondisi sosial, ekonomi, budaya, sejarah, arsitektur, dan lainnya yang bercampur dan membentuk kesatuan utuh dalam menceritakan sebuah masyarakat kepulauan tanpa ada batasan untuk mengeksplorasi bagaimana ragam masyarakat tumbuh dan berkembang.

Buku ini terinspirasi oleh novel Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa karya Y.B. Mangunwijaya, diinisiasi oleh Biennale Jogja XVI dan diterbitkan oleh Penerbit Hatopma.

The History of Sumatra
The History of Sumatra/Istimewa

7. The History of Sumatra

Buku yang mengupas Pulau Sumatra yang ditulis pada abad ke-18 ini menjadi salah satu ilham Raffles untuk menulis History of Java. Buku ini ditulis ketika masa kolonialisme berlangsung oleh William Marsden mencoba mengulas Pulau Sumatra dari semua sisi; geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, hingga meteorologi yang merupakan salah satu catatan paling lengkap dari pengamat asing untuk salah satu pulau di Nusantara.  Marsden juga menceritakan perbedaan-perbedaan dari setiap adat serta perilaku masyarakat daerah pedalaman dan juga pesisir Sumatra, juga fauna dan flora yang ada di sana.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post 7 Rekomendasi Buku untuk Menyambut Tahun 2022 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/7-rekomendasi-buku-untuk-menyambut-tahun-2022/feed/ 0 31872
Sulawesi Selatan dan Bissu dalam Buku ‘Calabai’ https://telusuri.id/sulawesi-selatan-dan-bissu-dalam-buku-calabai/ https://telusuri.id/sulawesi-selatan-dan-bissu-dalam-buku-calabai/#respond Wed, 15 Dec 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31644 Sampai saat ini, membaca buku terkait kebudayaan tanah sendiri masih menyisakan perasaan yang berbeda dari membaca cerita pada umumnya. Sebagai seorang yang menghabiskan seumur hidupnya di Sulawesi Selatan dengan segala budaya Suku Bugis, buku-buku mengenai...

The post Sulawesi Selatan dan Bissu dalam Buku ‘Calabai’ appeared first on TelusuRI.

]]>
Sampai saat ini, membaca buku terkait kebudayaan tanah sendiri masih menyisakan perasaan yang berbeda dari membaca cerita pada umumnya. Sebagai seorang yang menghabiskan seumur hidupnya di Sulawesi Selatan dengan segala budaya Suku Bugis, buku-buku mengenai rincian adat istiadat Sulawesi Selatan, bahasa dan dialog yang akrab  di telinga menjadi prioritas dan tempat tersendiri di hati saya.

Saya pertama kali membaca buku dengan latar tempat Sulawesi berjudul Lontara Rindu karangan S. Gegge Mappangewa, lalu buku Puya ke Puya karangan Faisal Oddang, hingga Natisha dan Gadis Pakarena karangan Khrisna Phabicara. Setiap buku fiksi karangan para penulis tanah Sulawesi selalu diselingi pengetahuan tentang agama to riolo, kebudayaan yang mulai tergerus, suasana kampung pedalaman, sampai keindahan alam dalam gambaran kata-kata. 

Saya senang menjelajahi tanah kelahiran ini, tidak hanya lewat langkah, melainkan juga melalui kata-kata pada kisah-kisah lokal. Salah satu yang saya nikmati adalah buku Calabai: Perempuan dalam Tubuh Lelaki karangan Pepi Al-Bayqunie. 

Calabai (Perempuan dalam Tubuh Lelaki)/Nawa Jamil

Buku ini bercerita tentang sosok Saidi, lelaki yang berasal dari Kampung Lappariaja di Kabupaten Bone, diangkat dari kisah nyata Puang Matoa Saidi. Saidi, anak bungsu lelaki yang paling ditunggu-tunggu ayahnya, justru tumbuh memalukan sebagai seorang calabai. Calabai, sebutan orang Bugis bagi laki-laki yang gemulai layaknya perempuan. Saidi terlahir sebagaimana adanya. Lelaki yang gemai-gemulai itu, membiarkan rambutnya panjang tergerai sebab akan jatuh sakit jika dipotong. 

Diangkat dari kisah nyata/Nawa Jamil

Pada bab awal, penulis membawa kita kepada perjuangan Saidi sewaktu kecil di tengah diskriminasi orang-orang kampung dan penolakan ayahnya terhadap keadaan Saidi yang tumbuh sebagai seorang calabai. Saidi, tidak pernah sengaja bertingkah-laku dengan perawakan calabai, melainkan ruhnya sejak kecil hanya menyukai kegiatan-kegiatan yang seringkali dilakukan perempuan. 

Dalam novel ini, penulis menggambarkan bagaimana batin Saidi tersiksa oleh ejekan teman sekolah, ustaz yang menceramahi dirinya setiap khutbah Jum’at, juga ayahnya yang berusaha menjadikan Saidi laki-laki dengan tindak kekerasan. 

Saidi sebagai lelaki Bugis memutuskan untuk merantau tanpa bekal apapun, hanya sebuah pertanda lewat mimpi yang misterius. Saidi yang kala itu berusia 17 tahun berjalan kaki dari kampungnya di Kabupaten Bone ke Mallawa di Kabupaten Maros. Puluhan kilometer pada akhirnya mengantarkan Saidi ke Segeri di Pangkep, negeri para bissu. Bissu, seorang dengan kedudukan tinggi dalam adat masyarakat Bugis. Merekalah calabai yang menerima penghargaan di tengah-tengah masyarakat karena dianggap sebagai penghubung antara dewata dengan bumi manusia. 

Buku ini membawa para pembaca dalam mengenali budaya Segeri dan Bugis, kaitannya dengan kisah-kisah lama, serta upacara-upacara adat yang masih ada sampai hari ini. pembaca dibawa ke keseharian di Bola Arajang, rumah tempat penyimpanan benda-benda pusaka. Aktivitas para bissu, mulai dari rapat dan mengadakan persiapan acara-acara adat seperti mappalili atau appalili, yakni pesta sebelum dimulainya musim tanam padi, berharap berkah dari sang dewata agar panen para petani sukses dan berkah. Tidak hanya mappalili, upacara-upacara yang sarat akan budaya seperti menre’ bola baru, atau upacara saat pertama kali masuk rumah yang hendak ditinggali, upacara menunaikan hajat, serta upacara-upacara lainnya. 


Sekepul kemenyan dari pengarang/Nawa Jamil

Penulis melalui keseharian Saidi mengajak para pembaca tidak hanya berkenalan dengan budaya-budaya serta adat Bugis yang sarat akan nilai-nilai magis, tetapi juga sikap masyarakat umum terhadap kehadiran para bissu. Digambarkan bagaimana masyarakat-masyarakat yang hidup di sekitar Segeri maupun daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan masih sangat memperhitungkan tanda-tanda alam maupun fenomena yang diartikan oleh para bissu. Namun penulis juga menceritakan perihal bagaimana masyarakat dengan identitas agama tertentu begitu mencekal aktivitas adat bissu yang dikaitkan dengan laknat Tuhan, karena tidak bersikap sesuai kodratnya. 

Tidak hanya terkait pro dan kontra bissu dan pelestarian adat Bugis, Saidi, Puang Malolo termuda (wakil pimpinan para bissu) dalam sejarah, tidak hanya berjuang mempertahankan adat Bugis ditengah pelarangan berbagai pihak-pihak tertentu, tetapi juga beliau dengan berani mulai mengenalkan tradisi Sulawesi Selatan ke luar pulau berkaki empat ini, sampai ke Pulau Jawa bahkan ke luar Indonesia. 

Satu hal yang menohok saya sepanjang tulisan dalam buku ini adalah tatkala Saidi bertemu dengan Kiai Kusen dan berdiskusi terkait hakikat seorang tubuh laki-laki dengan jiwa perempuan maupun sebaliknya. “Tidak melaknat naluri, melainkan perilaku”. Satu kalimat singkat itu, membawa penyadaran besar pada diri Saidi, dan sangat mungkin pada para pembaca lainnya. 

Secara garis besarnya, saya menikmati dan berterima kasih kepada penulisnya, Kak Pepi yang terpanggil untuk melanjutkan penulisan buku calabai ini setelah sempat terhenti selama hampir 10 tahun. Tentang sebuah pencarian jati diri seorang Saidi, buku ini membawa nilai-nilai adat Bugis, nilai-nilai sosial yang ada di dalam masyarakat, juga toleransi di tanah Sulawesi Selatan. tidak lupa pula, penggunaan dialog Bugis menjadikan buku ini begitu enak untuk dibaca, khususnya bagi orang-orang yang ingin mengenal kebudayaan Bugis di Sulawesi Selatan. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Sulawesi Selatan dan Bissu dalam Buku ‘Calabai’ appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sulawesi-selatan-dan-bissu-dalam-buku-calabai/feed/ 0 31644
Menyusuri Sulawesi lewat Buku “Cerita yang Datang dari Pulau Berkaki Empat” https://telusuri.id/cerita-yang-datang-dari-pulau-berkaki-empat/ https://telusuri.id/cerita-yang-datang-dari-pulau-berkaki-empat/#respond Wed, 06 Oct 2021 09:46:40 +0000 https://telusuri.id/?p=30796 Sulawesi, bagi saya sendiri masih menjadi misteri meski pulau ini hanya bersampingan dengan pulau saya. Entah kenapa menuju Sulawesi lebih sulit daripada menuju Jawa. Dahulu saya sering sekali mengasosiasikan bentuk Pulau Sulawesi dengan huruf K,...

The post Menyusuri Sulawesi lewat Buku “Cerita yang Datang dari Pulau Berkaki Empat” appeared first on TelusuRI.

]]>
Sulawesi, bagi saya sendiri masih menjadi misteri meski pulau ini hanya bersampingan dengan pulau saya. Entah kenapa menuju Sulawesi lebih sulit daripada menuju Jawa. Dahulu saya sering sekali mengasosiasikan bentuk Pulau Sulawesi dengan huruf K, imajinasi saya membayangkan pulau-pulau besar di Indonesia dalam berbagai bentuk. Mengobati rasa penasaran saya akan mengunjungi pulau ini, saya membaca sebuah buku yang menggambarkan perjalanan menjelajahi Sulawesi. Cerita yang Datang dari Pulau Berkaki Empat karya Ahmad Yunus merupakan sekelumit catatannya ketika mengunjungi Sulawesi dalam tiga kali kesempatan.

Prolog buku ini menceritakan bagaimana Ahmad Yunus berhasil menghidupkan imaji masa kecilnya mengenai Sulawesi yang dulu hanya bisa dia lihat melalui peta. Kunjungannya dalam beberapa ekspedisi seolah tidak menghilangkan rasa penasarannya akan pulau ini. Bulukumba, Buton, Banggai, Togean adalah nama-nama yang semakin akrab di telinganya selepas menjelajah Sulawesi. Penulis juga menceritakan mengenai Wallace yang sering dilihatnya di Museum Geologi Bandung sewaktu kecil. Wallace juga yang akhirnya menjadi salah satu pemicu dia untuk berani menjelajahi alam Indonesia.

Cerita yang Datang Dari Pulau Berkaki Empat
Cerita yang Datang Dari Pulau Berkaki Empat

Ahmad Yunus sempat menyambangi Palu pasca terjadi gempa besar di penghujung tahun 2018, dia menggambarkan kondisi Palu masih rapuh dengan pemberesan sisa-sisa puing gempa. Sulawesi yang masuk ke dalam ring of fire membuatnya rawan gempa sekaligus unik karena Sulawesi terbentuk oleh proses endogen.

Kisah dari Makassar membuka lembaran cerita di buku ini di Sulawesi Selatan. Penulis menyaksikan teater pertunjukkan I La Galigo. Pengalamannya bertemu seorang bissu yang merupakan pendeta laki yang berjiwa perempuan. Klasifikasinya merupakan gender tersendiri dalam masyarakat Bugis. Namun, sungguh tragis nasib para bissu yang dianggap menyalahi kodrat dan diburu hingga akhirnya mereka menjadi minoritas dalam masyarakatnya sendiri. Yunus juga menikmati berjalan-jalan di sekitar Benteng Rotterdam yang bersejarah dan melihat ruangan -salah satunya ruang pengasingan Pangeran Diponegoro- dan berbicara dengan Zaenal, seorang pelukis yang menggunakan tanah liat sebagai medianya. 

Dalam Genderang Semangat Daeng Serang menceritakan Daeng Serang, seorang seniman musik tabuh yang sudah berusia tua namun tetap enerjik. Daeng selalu bermimpi agar kesenian daerah bisa terus lestari dengan mengajarkannya kepada generasi muda. Daeng juga sudah berkeliling dunia untuk menampilkan keahliannya menabuh gendang. Secangkir Pagi di Pelabuhan Paotere menampilkan kisah Yunus menyambangi Pelabuhan Paotere, satu-satunya pelabuhan tradisional yang masih ada di Makassar. Aneka ragam kapal tradisional terlihat hilir mudik memasuki area pelabuhan. Yunus juga menceritakan bagaimana perdagangan hiu yang masih merajalela padahal hiu adalah salah satu hewan yang sudah dieksploitasi berlebihan.

Cerita yang Datang Dari Pulau Berkaki Empat
Cerita yang Datang Dari Pulau Berkaki Empat

Pada bab selanjutnya Yunus mulai berpindah ke provinsi lainnya, Sumatra Tenggara. Selama di sini Yunus mengunjungi Pulau Muna dalam cerita Pulau Muna: Layangan Rasa Ubi Hutan. Bersama Lahada, sang pengrajin layangan tradisional, Yunus diajak untuk membuat layang-layang dari bahan alami. Tradisi bermain layangan di Pulau Muna disebut Kaghati dan menurut Wolfgong Bick, merupakan permainan layang-layang tertua di dunia. Lanjut ke Pulau Buton, melihat bahasa Ciacia yang berakasra Hangul membuat Yunus takjub padahal keduanya terpisah sangat jauh.

Sulawesi Tengah, Yunus kembali dibuat takjub oleh Danau Poso, Madagaskar di Jantung Sulawesi. Berlanjut ke Gorontalo ada Danau Limboto yang semakin kering, menyusuri Taman Nasional Takabonerate, wisata bahari di Wakatobi, hingga ke Pulau Miangas. Perjalanan-perjalanan tersebut Yunus tuangkan ke dalam kisah demi kisah yang merajut keutuhan cerita Sulawesi.

Cerita-cerita pendek dalam buku ini merangkai satu kesatuan sebagai cerita “Sulawesi”. Kadang saya masih merasa tidak mengikuti perjalanannya secara utuh, terasa hanya sekedar siluet dari perjalanan panjang Ahmad Yunus. Saya sendiri merasa kurang puas dengan cerita yang ditampilkan, rasanya masih terasa di permukaan, mungkin ini karena keterbatasan halaman yang menjadikannya harus lebih singkat.  Mungkin ini juga yang membuat buku ini ada keterangan sketsa pengembaraan di Sulawesi.  Sebagai sketsa, setidaknya dari buku ini kita bisa melihat bagaimana Yunus begitu menikmati pengembaraannya ke berbagai penjuru Sulawesi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Sulawesi lewat Buku “Cerita yang Datang dari Pulau Berkaki Empat” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-yang-datang-dari-pulau-berkaki-empat/feed/ 0 30796
Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti: Kumpulan Tulisan Prof. Boechari Tentang Indonesia di Masa Kuno https://telusuri.id/melacak-sejarah-kuno-indonesia-lewat-prasasti/ https://telusuri.id/melacak-sejarah-kuno-indonesia-lewat-prasasti/#respond Thu, 09 Sep 2021 10:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30507 Sebagai salah satu ilmu yang berhubungan dengan tulisan kuno, epigrafi seringkali masih dianggap “belum terlalu penting” daripada ilmu-ilmu lainnya. Padahal, sumber primer sejarah berasal dari data-data epigrafi yang sudah melewati berbagai jaman. Banyak sumber data...

The post Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti: Kumpulan Tulisan Prof. Boechari Tentang Indonesia di Masa Kuno appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai salah satu ilmu yang berhubungan dengan tulisan kuno, epigrafi seringkali masih dianggap “belum terlalu penting” daripada ilmu-ilmu lainnya. Padahal, sumber primer sejarah berasal dari data-data epigrafi yang sudah melewati berbagai jaman. Banyak sumber data yang belum sampai ke kita karena belum ditemukan, rusak, aus, bahkan dirusak secara sengaja, dan diperjual belikan. Para epigraf di Indonesia sendiri sangat sedikit dan menjadi minoritas dalam penulisan sejarah Indonesia. Walaupun begitu, Indonesia pernah mempunyai seorang cendekiawan yang mendedikasikan hidupnya untuk penelitian epigrafi Indonesia.

Dari sekian banyak karya tulisnya, yang sempat saya baca sewaktu masih di dunia perkuliahan adalah kumpulan-kumpulan penelitian Boechari yang diberi judul Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Bagi penggemar aksara kuno, buku ini banyak memberikan pencerahan mengenai seluk beluk penelitian aksara kuno dari sudut pandang sejarah, arkeologi, filologi, dan epigrafi. Buku ini memperlihatkan semangat Prof. Boechari dalam menggali lebih dalam pengetahuan sejarah-budaya yang sebelumnya selalu didominasi peneliti asing.

Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti
Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti/M. Irsyad Saputra

Pada bagian pertama buku, ada sambutan dari Kresno Yulianto selaku Ketua Departemen Arkeologi FIB UI pada waktu itu yang mengungkapkan bagaimana keinginan kuat untuk mempublikasikan tulisan-tulisan Prof. Boechari sebagai sebuah buku. Persiapan ini tidak mudah, untungnya Ecole francaise d’Extreme-Orient (Lembaga Prancis untuk Kajian Asia) membantu penerbitan buku ini bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Sesuai peribahasa tak kenal maka tak sayang buku ini juga mencantumkan riwayat hidup singkat Prof. Boechari. Ia lahir di Rembang pada 24 Maret 1927 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara dengan bapaknya, Martodihardjo, yang merupakan seorang guru. Boechari kecil mengenyam pendidikan di HIS di Cepu kemudian melanjutkan pendidikan menengahnya di Yogyakarta di HIK (Hollandsch Inlandsche Kweekschool)dan SGB (Sekolah Guru B) dan SMA. Pada pendidikan tinggi dia masuk ke FSUI (Fakultas Sastra Universitas Indonesia) Jurusan Ilmu Purbakala dan Sejarah Kuna Indonesia (sekarang menjadi Jurusan Arkeologi). Pertemuannya dengan orang-orang hebat seperti Prof. Dr. R.M.Ng. Poerbatjaraka, Prof. Dr. J.G. de Casparis, Louis-Charles Damais, dan lain-lain inilah yang akhirnya membuat dirinya tumbuh seperti mereka dengan minat khusus pada Epigrafi. Karya ilmiah yang dihasilkan Prof. Boechari sangat banyak, baik yang sudah diterbitkan maupun belum sempat diterbitkan. 

Pada halaman ke-3, Boechari mengungkapkan pentingnya epigrafi sebagai ilmu yang langsung mempelajari sumber data sejarah yang paling faktual. Boechari juga mendefinisikan prasasti sebagai sumber-sumber sejarah dari masa lampau yang tertulis di atas batu dan logam. Dia juga memaparkan bahwa prasasti-prasasti kebanyakan berasal dari kepulauan Indonesia sejak abad ke-5. Menurut Boechari, Krom masih menjadi rujukan para peneliti kesejarahan Indonesia karena karya-karyanya yang fenomenal. Meskipun begitu banyak penelitian oleh Krom, nyatanya masih banyak pekerjaan untuk merekonstruksi jalan sejarah secara lengkap.

Boechari memaparkan bagaimana tugas berat ahli epigrafi untuk merekonstruksi sejarah; tidak hanya meneliti prasasti-prasasti yang belum dibaca tetapi juga meneliti kembali prasasti-prasasti yang baru saja diterbitkan. Pada akhirnya epigraf menurut hematnya, tetap akan menemui kesulitan seperti prasasti yang tidak dapat terbaca lagi maupun pengetahuan tentang bahasa kuno yang masih sedikit. 

Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti
Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti/M. Irsyad Saputra

Pada bab lainnya, Boechari menuliskan tentang sejarah politik kerajaan-kerajaan jaman dahulu semisal Rakryan Mahamantri i Hino Sri Samgramawijaya Dharmaprasadottungadewi yang terkenal pada prasasti-prasasti masa Airlangga. Boechari menyebutkan dua pendapat sebelumnya; Krom menyatakan Sri Samgramawijaya Dharmaprasadottungadewi adalah anak perempuan Airlangga, Rouffaer menganggap ia adalah tradisi tentang Kili Suci, dan C.C. Berg dan juga Casparis beranggapan dia adalah permaisuri Airlangga yang berasal dari Sriwijaya. Boechari kembali melakukan untuk melakukan penelusuran-penelusuran untuk memastikan pendapat mana yang paling benar. 

Membaca lembar demi lembar tulisan pada buku ini akan menghidupkan ingatan kita bagaimana kehidupan-kehidupan masa lampau dihidupkan kembali dengan teori-teori serta pernyataan dari Prof. Boechari. Kita dibawa mengunjungi Mataram Kuno yang datanya didapat dari prasasti-prasasti, melihat bagaimana gelagat bandit pada masa Jawa Kuno, atau bagaimana pelaksanaan hukum pada masa Jawa Kuno. 

Buku ini saya kira sangat layak menjadi koleksi, tidak hanya bagi kalangan akademisi yang membutuhkan sumber bacaan yang akurat dan mumpuni, tetapi juga bagi masyarakat awam yang ingin terjun langsung pada bacaan heavy archaeology. Prof. Boechari telah memberikan kita warisan yang sangat besar dalam dunia kepurbakalaan Indonesia. Kita tentu merasa beruntung mempunyai Prof. Boechari, tapi apakah kita siap mengikuti langkahnya dalam penyusunan sejarah Indonesia kedepannya?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti: Kumpulan Tulisan Prof. Boechari Tentang Indonesia di Masa Kuno appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melacak-sejarah-kuno-indonesia-lewat-prasasti/feed/ 0 30507
Mengenal H.O.K. Tanzil lewat “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin” https://telusuri.id/catatan-perjalanan-h-o-k-tanzil/ https://telusuri.id/catatan-perjalanan-h-o-k-tanzil/#comments Mon, 06 Jul 2020 02:30:29 +0000 http://telusuri.id/?p=3813 Prof. Dr. Haris Otto Kamil Tanzil¹ (H.O.K. Tanzil) sudah jalan-jalan jauh sebelum generasi milenial bermunculan di permukaan bumi. Setiap kali melancong, ada satu benda yang tak pernah luput dibawanya: catatan harian. Di dalam diary itu...

The post Mengenal H.O.K. Tanzil lewat “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin” appeared first on TelusuRI.

]]>
Prof. Dr. Haris Otto Kamil Tanzil¹ (H.O.K. Tanzil) sudah jalan-jalan jauh sebelum generasi milenial bermunculan di permukaan bumi. Setiap kali melancong, ada satu benda yang tak pernah luput dibawanya: catatan harian.

Di dalam diary itu ia mencatat detail-detail kejadian yang dialaminya, sampai sekecil-kecilnya. Barulah kemudian ia menuliskan ceritanya dan mengirimkan ke media. INTISARI adalah majalah yang setia memuat catatan perjalanan H.O.K. Tanzil, dari tahun 70-an sampai 90-an awal.

H.O.K. Tanzil
Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin/Fuji Adriza

Perjumpaan pertama saya dengan karya-karya H.O.K. Tanzil terjadi medio 2014 ketika sedang asyik menelusuri pusat kota Kediri. Kalau tidak salah, waktu itu saya hanya menemukan tiga edisi INTISARI yang memuat tulisan sang pengelana. Lumayan, daripada tidak ada sama sekali. Majalah INTISARI lawas dan buku H.O.K. Tanzil memang sudah terbilang langka. Kalau dihitung-hitung, sampai sekarang pun, secara total saya baru menemukan sekitar lima edisi INTISARI bekas yang memuat tulisan Om Hok.

Namun beberapa bulan yang lalu ketika pameran buku saya mendapat durian runtuh. Seperti biasa, setiap kali ada eksebisi, seksi buku bekaslah yang pertama kali saya sambangi. Tak terkecuali malam itu. Hanya butuh beberapa menit menelusuri punggung buku sampai mata saya tertumbuk pada sejilid buku saku tipis berwarna coklat tua dengan tulisan kuning. Judulnya “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin.” Pengarangnya: H.O.K. Tanzil!

Siapa H.O.K. Tanzil?

Secara tak terduga, buku saku kecil terbitan 1982 (Penerbit Alumni) itu memberikan banyak informasi kepada saya soal sosok H.O.K. Tanzil.

Om Hok ternyata lahir di Surabaya tahun 1923. Ia kuliah di Fakultas Kedokteran UI dan lulus tahun 1953. Tahun 1960 ia sudah meraih gelar Doktor Ilmu Kedokteran Mikrobiologi dan 14 tahun kemudian, 1974, ia diangkat jadi Guru Besar di FKUI. Namun, oleh sebab kesehatan, ia pensiun muda tahun 1975.

Artinya, ketika ia melakukan perjalanan yang akhirnya dirangkum dalam “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin” ini, usianya sudah lebih dari setengah abad! Lucunya lagi, perjalanan-perjalanan itu ia lakukan berdua dengan istrinya, yang katanya sakit-sakitan.

H.O.K. Tanzil
Om Hok dan Istri berfoto di depan Opera House Sydney/Fuji Adriza

Untuk manusia berumur lebih dari 50 tahun, perjalanan-perjalanan yang dilakukan H.O.K. Tanzil lumayan ekstrem. Tahun 1975 di Amerika Tengah, ia dan istrinya road-trip panjang selama berbulan-bulan dengan sebuah “camper” VW 1972 yang dibelinya di Rotterdam. Pada sebagian besar perjalanan, mereka tidur dan memasak di lahan terbuka yang aman untuk memarkir mobil.

Petualangan mereka ke Amerika Tengah itu sebenarnya adalah fase akhir dari perjalanan akbar selama 160 hari. Kamu pasti bakal kaget mengetahui bahwa jarak yang ditempuhnya adalah 45.000 km “melintasi 16 negara Eropa, Kanada, 30 negara bagian AS, Mexico dan Amerika Tengah” (hal. 51).

Di Australia, Om Hok dan istrinya membeli tiket terusan bis Ansett Pioneer untuk menjelajahi separuh Benua Australia. Selama tiga pekan, rute mereka adalah Sydney, Canberra, Melbourne, Adelaide, Alice Springs, Ayers Rock, Alice Springs, Tennant Creek, Mount Isa, Brisbane, Toowoomba, Brisbane, dan kembali ke Sydney.

Kemudian mereka juga sempat ke Pasifik, ke Pulau Tahiti, Polinesia Perancis, sebelum melanjutkan petualangan ke semua negara di Amerika Latin! Kalau saja Om Hok jaya di zaman digital seperti sekarang, ia barangkali sudah jadi selebgram yang punya pengikut jutaan orang.

Merekam zaman, H.O.K. Tanzil mencatat pengalamannya sampai hal-hal terkecil

Dalam sebuah wawancara dengan R. Ukirsari Manggalani dari National Geographic Indonesia, Om Hok berkata begini tentang buku catatan: “Ini modal saya untuk menulis. Buku harian membantu saya mengingat.”

Pada kenyataannya, tulisan-tulisan H.O.K. Tanzil memang amat detail. Ia mencatat segalanya dari mulai tanggal pembuatan visa, jam keberangkatan pesawat, nama kota yang pernah dilintasi, orang-orang yang dijumpai, sampai harga BBM, rumah, atau mobil VW di negara-negara yang sedang dikunjunginya.

Jika memang ia lupa mencatat karena alasan tertentu—misalnya ketiduran atau saat itu malam sehingga ia tak bisa melihat nama daerahnya di plang—ia akan dengan jujur menuliskan bahwa ia tidak sempat mencatat nama kota yang dilalui.

H.O.K. Tanzil
Bagian pertama cerita petualangan Pasifik, Australia, dan Amerika Latin/Fuji Adriza

Baginya, catatan harian sangat berharga dan betul-betul ia jaga. Tapi sekali waktu ia juga pernah lalai; buku hariannya pernah hilang dalam perjalanan melintasi Eropa naik kereta. Setiba di stasiun tujuan, ia melapor ke kepala stasiun. Untungnya catatan itu masih utuh di tempatnya ditinggalkan.

Namun, tanpa disadari, dengan mencatat rincian-rincian itu H.O.K. Tanzil juga mengabadikan zaman. Jika dibaca di kemudian hari, buku ini akan memberikan pembacanya gambaran lengkap masa ketika perjalanan itu dilakukan. Misalnya, di halaman 136 ia menulis: “La Paz, Ibukota tertinggi di seluruh dunia, berpenduduk kira-kira 800.000 letaknya 12.500 kaki di atas permukaan laut.” Contoh lain adalah harga bensin. Pada bulan Agustus 1975 ia mencatat bahwa, “Bensin dibeli seharga Peso Mexico M $ 1,50 (=Rp. 50) per liter (± Rp. 66 di USA dan Rp. 55 di Indonesia waktu itu” (hal. 4).

Menonton di bioskop, tak pernah alpa walaupun sedang di rantau

Meskipun sibuk bertualang di negeri orang, H.O.K. Tanzil selalu merindukan Indonesia. Kerinduan itu mengejawantah dalam pemilihan busana. “Sudah kebiasaan saya untuk selalu memakai baju batik di luar negeri,” tulisnya.

Selain itu, di setiap kota yang dilintasinya, ia juga selalu menyempatkan waktu untuk mengecek kantor pos besar. Siapa tahu dari Tanah Air ada kabar. Namun, sampai halaman terakhir “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin” tak ada satu pun surat yang ia terima. Kerinduannya terhadap Indonesia cuma diobati oleh pertemuan-pertemuannya dengan diaspora Indonesia.

H.O.K. Tanzil
INTISARI Oktober ’89/Fuji Adriza

Rindu itu juga berusaha ditawar oleh Om Hok dan istrinya dengan menyempatkan mampir di restoran-restoran Tionghoa terdekat (karena rasanya tak jauh beda dari makanan Indonesia). Kalau ada orang yang tekun, barangkali dari buku catatan perjalanan ini dapat disarikan sebuah daftar harga restoran-restoran Tionghoa di Pasifik, Australia, Amerika Latin antara 1975-1976!

Sepanjang perjalanan, hanya satu hal yang tak banyak ia komentari: bioskop. Sebagai penggemar film, setiap ada waktu, di manapun dan kapanpun ia selalu mengajak istrinya untuk nonton di bioskop-bioskop setempat.

Saat di Buenos Aires, mereka tak melewatkan kesempatan nonton film Oscar, “One Flew Over the Cucko’s Nest.” Sewaktu di Sao Paolo, yang ditonton adalah “Samurai,” “Russian Roulette,” dan “Hindenberg.” Di Rio de Janeiro, yang ditonton adalah “The Man Who Was to be King”² dan “Lucky Lady.” Di Curacao, Antillen Belanda, mereka berdua nonton film kung fu!


[1] 19/10/2017 H.O.K. Tanzil tutup usia di umur 94 tahun.

[2] Barangkali maksudnya “The Man Who Would Be King.”

The post Mengenal H.O.K. Tanzil lewat “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/catatan-perjalanan-h-o-k-tanzil/feed/ 1 3813