buleleng Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/buleleng/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:54:52 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 buleleng Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/buleleng/ 32 32 135956295 Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/ https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/#comments Wed, 05 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45529 Saya selalu terpikat dengan kisah-kisah menarik yang hidup di setiap sudut negeri ini. Berbekal latar belakang di bidang kesehatan masyarakat, saya punya mimpi sederhana, tetapi besar, untuk dapat memahami lebih dalam tentang pelayanan kesehatan dasar...

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya selalu terpikat dengan kisah-kisah menarik yang hidup di setiap sudut negeri ini. Berbekal latar belakang di bidang kesehatan masyarakat, saya punya mimpi sederhana, tetapi besar, untuk dapat memahami lebih dalam tentang pelayanan kesehatan dasar di tempat-tempat yang acap luput dari perhatian.

Kali ini, langkah kaki membawa saya melintasi pulau-pulau di bagian tengah hingga timur Indonesia. Mulai dari Bali, Maluku, sampai Sulawesi. Perjalanan ini adalah upaya saya pribadi menyelami kehidupan di daerah-daerah yang jauh dari ingar-bingar kota. Saya ingin menggali seberapa jauh pelayanan kesehatan dasar dapat menyentuh masyarakat di pulau-pulau terpencil dan terluar, sembari memahami dinamika budaya lokal dan tantangan lingkungan.

Setiap tempat yang saya kunjungi memiliki realitas berbeda. Namun, benang merahnya sama, yakni tantangan aksesibilitas. Pulau-pulau terluar dan terpencil sering kekurangan dokter dan tenaga medis, yang menyebabkan masyarakat harus menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan perawatan medis, terutama dokter spesialis. Minimnya pilihan transportasi medis darurat juga menjadi hambatan besar bagi masyarakat yang ingin berobat. 

Bagi saya, ini bukan sekadar catatan perjalanan, melainkan upaya kecil untuk membawa suara dari mereka yang jauh, tetapi sangat dekat di hati.

Warna-warni kapal nelayan di pesisir pantai utara Bali/Hera Ledy Melindo

Menyisir Pesisir Utara Pulau Bali

Pagi itu, saya berdiri di pantai dan bersiap dengan tas ransel yang terasa berat. Namun, rasa keingintahuan saya jauh lebih besar. Perjalanan pertama kali ini membawa saya ke dua daerah pesisir utara Buleleng. Saya ingin melihat bagaimana masyarakat di sana menjalani kehidupan mereka, khususnya berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan yang sering menjadi tantangan di daerah terpencil.

Setibanya di Desa Kayu Buntil Barat, angin laut menyambut saya dengan lembut. Di balik panorama pantai yang memukau, saya mulai melihat tantangan yang dihadapi masyarakat. Saat berbincang dengan Pak Made, seorang warga setempat, ia menunjukkan drainase yang langsung mengalir ke pantai.

“Malaria sering menyerang di sini, apalagi waktu musim hujan,” kata Pak Made menunjuk genangan air di sekitar rumahnya. Bekas gigitan nyamuk di lengannya menjadi saksi nyata perjuangan mereka melawan penyakit ini.

“Kalau sakit, biasanya bagaimana, Pak?” tanya saya penasaran.

“Banyak yang tidak punya BPJS atau Kartu Indonesia Sehat (KIS). Jadi, kalau sakit, ya, [baru] panggil bidan kalau sudah parah. Biayanya Rp50.000 sehari,” jawabnya.

Ia tampak pasrah, tetapi ada rasa bangga saat bercerita tentang puskesmas setempat yang aktif memberikan penyuluhan dan melakukan fogging jika ada laporan demam berdarah. Percakapan kami berakhir di tepi pantai, diiringi deburan ombak. Dari Pak Made, saya belajar tentang ketangguhan dan usaha mereka tetap bertahan meski dalam keterbatasan.

Momen diskusi seputar kesehatan dengan nelayan-nelayan Kayu Buntil Barat dan Celuk Buluh/Adipatra Kenaro Wicaksana & Hera Ledy Melindo

Hari berikutnya, saya melanjutkan perjalanan ke Desa Celuk Buluh. Suasana terasa berbeda. Drainase yang lebih baik, air bersih dari PDAM, dan jamban di setiap rumah menunjukkan kondisi kesehatan lingkungan yang lebih baik dibanding Kayu Buntil Barat. Masyarakat mendapatkan kebutuhan pangan sehari-hari di pasar yang hanya berjarak satu kilometer dari desa.

Di sini saya bertemu Pak Ketut, seorang nelayan yang tengah bersiap melaut. Ia bercerita tentang tradisi unik warga sebelum melaut.

“Sebelum berlayar, kami minum jamu dari kunyit, jahe, dan ayam kampung. Ini untuk stamina, biar kuat di laut,” katanya sambil tersenyum. Saya tertawa kecil, kagum dengan tradisi yang masih bertahan di tengah modernitas. Namun, kehidupan nelayan tidak selalu mulus. “Kalau musim paceklik, kami kerja serabutan, kadang jadi kuli bangunan,” tambahnya. 

Tidak hanya tentang kesehatan, masyarakat Celuk Buluh juga peduli terhadap lingkungan. Tempat pengelolaan sampah reduce, reuse, dan recycle (TPS3R) baru saja dibangun di desa tersebut. Meski belum sepenuhnya beroperasi, fasilitas ini menjadi simbol harapan bagi pengelolaan sampah yang lebih baik.

“Tempat ini bisa menampung hingga 20 ton sampah. Harapannya, desa kami jadi lebih bersih,” ujar seorang petugas yang saya temui.

  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)

Cerita Nelayan hingga Pangan Lokal di Pangkajene Kepulauan

Langkah berikutnya membawa saya ke pesisir barat Sulawesi Selatan. Saya bergerak dari kemegahan tradisi Hindu Pulau Dewata menuju kehidupan sederhana di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep).

Perjalanan membelah laut ini tak hanya tentang keindahan, tetapi juga kenyataan hidup yang keras. Kapal kayu sederhana menjadi satu-satunya alat transportasi menuju Desa Sailus, Kecamatan Liukang Tangaya. Ombak membelai halus perahu, tetapi di kejauhan, langit mendung seakan menjadi pengingat.

Di Desa Sailus, saya bertemu dengan Pak Ali, seorang nelayan yang sedang menyiapkan jaring. “Kami di sini makan apa yang ada, biasanya ikan layang atau makanan sederhana seperti sabal,” katanya sambil tersenyum. Sabal adalah pangan lokal tradisional khas Pangkep yang dibuat dari kelapa parut dan nasi.

Di Pulau Sailus, warga biasa mengolah sabal, pangan lokal khas Pangkep (kiri) dan memilah ikan-ikan hasil tangkapan nelayan untuk makanan sehari-hari/Adipatra Kenaro Wicaksana

Cerita Pak Ali membawa saya ke sisi lain dari kehidupan masyarakat setempat. “Kalau ingin makan daging, harus pesan dari Sumbawa,” lanjutnya, menekankan sulitnya akses pangan di wilayah ini. Jarak ke Sumbawa, Nusa Tenggara Barat memang jauh lebih dekat daripada pusat pemerintahan Pangkep.

Dalam sebuah kunjungan ke Puskesmas Sailus, saya berbincang dengan salah satu petugas kesehatan. Ia menjelaskan bahwa fasilitas di sana sangat terbatas. “Kami hanya punya dua genset untuk listrik, dan ambulans roda tiga yang sering rusak,” keluhnya. Ia juga menyebutkan bahwa pembangunan rumah sakit sedang berjalan, tetapi lokasinya jauh dari permukiman utama, menyulitkan akses bagi masyarakat apabila ingin berobat.

Percakapan dengan warga dan kader kesehatan memberikan gambaran lebih jelas tentang tantangan di Pulau Sailus. Kasus stunting, yang masih menjadi momok, tampak seperti rahasia yang sulit terungkap. “Puskesmas jarang sekali melakukan penyuluhan. Kalau posyandu, paling hanya empat bulan [dalam] setahun,” ungkap seorang kader kesehatan dari Desa Sailus yang terlihat lelah, tetapi masih semangat berbagi cerita.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Kondisi tempat pelayanan kesehatan Pulau Sailus/Adipatra Kenaro Wicaksana

Di pesisir pantai, sampah plastik mengotori permukaan pasir putih. Beberapa pemuda setempat, yang sedang duduk santai, berbicara tentang kebiasaan masyarakat yang masih membuang sampah ke laut. 

“Kadang kami tidak punya pilihan,” katanya, seolah meminta pengertian. Hal ini menjadi pengingat nyata bahwa perubahan perilaku membutuhkan lebih dari sekadar ajakan. Dibutuhkan fasilitas dan edukasi yang berkelanjutan.

Mereka melanjutkan cerita tentang harapan di masa depan. “Saya berharap ada program beasiswa dari desa. Beberapa teman ada yang bercita-cita kuliah jadi apoteker atau guru, karena di sini sangat kurang [orang dengan] profesi tersebut,” ujar seorang pemuda yang saya ajak berdialog. 

Meski tantangan besar masih ada, asa untuk perubahan tampak nyata dalam semangat mereka. Dari sabal yang sederhana hingga perjuangan mengatasi stunting, masyarakat di pulau kecil Sailus mengajarkan perjuangan mereka untuk bertahan dan berkembang di tengah keterbatasan. 

Dari pulau terpencil di Pangkep, saya melanjutkan langkah ke Pulau Sapeken. Pulau di ujung timur Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Pantai pasir putih di Sailus yang sayangnya banyak dijumpai sampah anorganik/Adipatra Kenaro Wicaksana

Melihat Sapeken dari Kacamata Kesehatan

Perjalanan di Pulau Sapeken sebelumnya telah saya ceritakan secara lengkap di TelusuRI dengan judul Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura. Singkatnya, Sapeken adalah gambaran nyata perjuangan masyarakat kepulauan dalam menjaga kesehatan di tengah keterbatasan.

Di puskesmas utama, saya mendapati permasalahan kesehatan yang mencuat berupa dominasi penyakit-penyakit kronis, seperti stroke, asam lambung, dan kolesterol. Disentri dan tifoid juga menjadi ancaman yang terus muncul. Meski angka stunting relatif rendah, sulitnya akses pangan bergizi, khususnya daging-dagingan, menjadi tantangan tersendiri.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Layanan kesehatan bergerak di atas kapal Gandha Nusantara 02 yang berlabuh di Sapeken/Adipatra Kenaro Wicaksana

Satu satunya harapan adalah pelayanan kesehatan bergerak yang hanya datang empat kali dalam setahun, terutama untuk operasi kecil dan kontrol penyakit. Namun, itu belum cukup. Minimnya fasilitas, kebiasaan membuang sampah ke laut, serta keterbatasan tenaga kesehatan menambah kompleksitas masalah di pulau ini.

Sapeken adalah potret sebuah perjuangan untuk bertahan hidup. Di pulau kecil ini, Sapeken menyimpan kisah-kisah besar penuh kesederhanaan.

(Bersambung)


Terima kasih kepada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University (PKSPL IPB) dan Bapak Dadang Herdiansyah, SKM., M.Epid., selaku Tenaga Ahli Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan kesempatan saya untuk menjelajahi potret kesehatan dasar di pulau-pulau kecil di Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/feed/ 1 45529
Menelusuri Kebun Kopi Plaga, Melacak Arabika Bali Mula-mula https://telusuri.id/kopi-plaga-leluhur-kopi-arabika-bali/ https://telusuri.id/kopi-plaga-leluhur-kopi-arabika-bali/#comments Tue, 03 Apr 2018 01:30:08 +0000 https://telusuri.id/?p=7771 Minggu lalu seorang kawan mengajak untuk berkunjung ke kebun kopi di daerah Plaga. Gimmick di ajakannya: “Perkebunan kopi ini lebih dulu ada sebelum [perkebunan kopi] di Kintamani.” Mendengar pernyataan itu tanpa pikir panjang saya sanggupi...

The post Menelusuri Kebun Kopi Plaga, Melacak Arabika Bali Mula-mula appeared first on TelusuRI.

]]>
Minggu lalu seorang kawan mengajak untuk berkunjung ke kebun kopi di daerah Plaga. Gimmick di ajakannya: “Perkebunan kopi ini lebih dulu ada sebelum [perkebunan kopi] di Kintamani.” Mendengar pernyataan itu tanpa pikir panjang saya sanggupi ajakannya.

kopi plaga

Bapak dan Ibu Sudana/Rio Praditia

Daerah Plaga menjadi terkenal karena namanya menjadi brand wine lokal. Namun, dalam perjalanan menuju tempat di perbatasan Kabupaten Badung dan Buleleng ini saya sama sekali tidak menemukan perkebunan anggur.

Jalan ke Plaga biasa jadi rute alternatif menuju Danau Batur atau Danau Bedugul karena posisinya yang berada di tengah-tengah. Perjalanan melewati destinasi populer Bali seperti Hutan Kera Sangeh dan Air Terjun Nungnung, juga Jembatan Tukad Bangung yang menghubungkan dua bukit dan konon tertinggi di Asia.

kopi plaga

Hutan di Plaga/Rio Praditia

Bertemu keluarga Sudana

Setibanya di perkebunan yang dituju, saya disambut hangat oleh Pak Nyoman Sudana dan istrinya, Ibu Wayan Sari. Di rumah mereka yang sederhana, saya langsung disuguhi kopi hasil dari kebunnya. Meski bukan ahli kopi, saya menemukan rasa yang cukup unik dari kopi tersebut: perpaduan antara aroma buah, gula merah, dan madu.

kopi plaga

Menelusuri perkebunan kopi/Rio Praditia

Tak berapa lama ia pamit untuk kembali bekerja di kebunnya. Saya yang memang berniat untuk membuat video dokumenter kopi Bali meminta untuk ikut. “Ini kesempatan langka,” pikir saya.

Jangan bayangkan kebun Pak Sudana seperti perkebunan kopi di Brazil atau Kenya yang rapih tertata laiknya perkebunan teh. Kebun kopi di sini nampak seperti padang ilalang di tengah hutan. Kami harus melewati jalan setapak di antara pohon-pohon tinggi. Burung-burung pun bisa hinggap di pepohonan untuk ramai berkicau.

kopi plaga

Memetik biji kopi/Rio Praditia

Cara memetik buah kopi

Pak Sudana mengajarkan saya memetik kopi. Untuk mendapatkan rasa kopi yang nikmat maka kita harus mengambil buah yang merah tua saja. Jangan ambil yang kuning apalagi hijau, rasanya belum enak.

Memetik kopi juga harus dengan perasaan, tidak boleh sembrono. Kita harus memetiknya satu-satu, supaya buah yang belum matang tidak ikut terambil.

kopi plaga

Ayu Sudana/Rio Praditia

Pohon kopi arabika di kebunnya ini sudah berumur puluhan tahun. Ketika warga di kampungnya silih berganti tebang dan tanam padi, jeruk, dan kopi, Pak Sudana tetap merawat pohon kopinya.

Kecintaannya akan kopi bermula dari kecil ketika bekerja sebagai penjaga sapi milik seorang berkebangsaan Belanda. Sering bertemu dan disuguhi kopi membuat Pak Sudana mengenal dan jatuh cinta pada kopi, hingga akhirnya ia menanam kopi di lahan ayahnya yang semula sawah. Keputusannya sempat dianggap aneh oleh keluarga yang lebih condong menanam padi dan buah, namun ia tidak peduli.

Nyoman Sudana dan biji kopi merah yang baru dipetik/Rio Praditia

Ekosistem seimbang

Keheranan saya (“Kenapa kebun kopi ini lebih seperti hutan daripada kebun?”) terjawab ketika Pak Sudana menjelaskan konsep perindang.

Bila pohon kopi mendapat sinar matahari langsung sepanjang hari maka buahnya akan sangat banyak dan panen setiap lima bulan. Dampak negatifnya, usia pohon jadi pendek, maksimal lima belas tahun sudah mati atau tidak lagi berbuah.

kopi plaga

Wayan Sari di kebun kopinya/Rio Praditia

Dengan konsep perindang ini—kebun kopi di antara bermacam pohon-pohon hutan—panen hanya bisa delapan bulan sekali. Positifnya, usia pohon bisa melebihi 50 tahun dan terus berbuah. Kopi yang dihasilkan juga lebih berkualitas dan memiliki rasa yang unik.

Ibu Wayan Sari menambahkan bahwa sebagai petani yang bergantung pada alam mereka harus punya bermacam-macam tanaman. “Mau makan nasi kami tanam padi, mau makan buah tinggal ambil, mau minum kopi, ya, kami panen bijinya,” ujarnya bahagia.

kopi plaga

Biji kopi kering atau “green bean”/Rio Praditia

Pemberdayaan petani

“Indonesia punya potensi menjadi penghasil kopi berkualitas terbesar di dunia namun kenapa kita hanya nomor empat dan petaninya tidak sejahtera?” Ayu, putri dari Pak Nyoman Sudana dan Ibu Wayan Sari mempertanyakan.

Melihat hal tersebut, Ayu Sudana yang sudah 12 tahun bekerja sebagai manajer pemasaran di Dubai kembali ke kampung halamannya untuk mengenalkan kopi Plaga kepada dunia.

kopi plaga

Biji kopi sedang disangrai menggunakan mesin modern/Rio Praditia

Sekian puluh tahun petani kita tidak sejahtera karena kopi kita harus melewati berlapis-lapis tengkulak untuk sampai ke brewery dan konsumen akhir. Sudah saatnya petani dan konsumen bergerak bersama untuk perdagangan yang lebih adil.

Sekian tahun Pak Nyoman Sudana membentuk Gabungan Kelompok Petani Kopi di Plaga dengan tujuan mengajarkan cara menanam kopi yang baik, organik, berkualitas, dan berkesinambungan. Kecintaannya akan kopi membuat ia selalu bersemangat di usia senja.

kopi plaga

Sebungkus Bali Beans Premium Coffee/Rio Praditia

Ayu Sudana mendatangkan mesin pemanggang kopi dari Belanda dengan dana sendiri. Tujuannya agar bisa menampung kopi dari petani Plaga dan langsung bisa mengemas dan memasarkannya ke brewery dan konsumen akhir. Petani bisa mendapatkan harga yang tinggi dan konsumen mendapat kopi berkualitas dari petani.

Sore itu saya kembali disuguhi kopi. Kali ini sedikit berbeda dari yang saya minum sebelumnya. Di rasa penutup kopi, aroma madu terasa kuat di lidah. Pak Sudana menyimpulkan: kopi enak bukan saja dihasilkan dari tanaman yang unggul tapi juga pengolahan yang tepat.

Saat matahari sudah mulai condong ke barat, saya pamit pulang ke Denpasar. Ayu Sudana memberikan saya oleh-oleh satu bungkus kopi yang saya minum tadi. “Supaya kamu selalu ingat kami di sini setiap minum kopi,” katanya sambil tertawa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Kebun Kopi Plaga, Melacak Arabika Bali Mula-mula appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kopi-plaga-leluhur-kopi-arabika-bali/feed/ 2 7771