bulukumba Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bulukumba/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 10 Aug 2024 02:26:50 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 bulukumba Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bulukumba/ 32 32 135956295 Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar https://telusuri.id/perjalanan-mematahkan-mitos-ke-pulau-selayar/ https://telusuri.id/perjalanan-mematahkan-mitos-ke-pulau-selayar/#respond Sat, 10 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42488 Entah sejak kapan, tetapi yang pasti cerita-cerita perihal Luwu dan Selayar telah lama saya dengar. Mungkin sejak SMP dulu. Anekdot “orang Luwu tidak boleh ke Selayar” membuat Selayar menjadi kabupaten terakhir di Sulawesi Selatan yang...

The post Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar appeared first on TelusuRI.

]]>
Entah sejak kapan, tetapi yang pasti cerita-cerita perihal Luwu dan Selayar telah lama saya dengar. Mungkin sejak SMP dulu. Anekdot “orang Luwu tidak boleh ke Selayar” membuat Selayar menjadi kabupaten terakhir di Sulawesi Selatan yang belum pernah saya kunjungi.

Ada potongan sejarah yang mendasari sampai istilah tersebut tumbuh di antara masyarakat Luwu. Padahal secara geografis, Luwu berupa daratan seluas 3.000 km2 dan berada sangat jauh dari Selayar. Sekitar 333 km jika ditarik garis lurus. Namun, perjalanan yang menghubungkan keduanya bisa ditempuh sekitar 18–19 jam dengan bergonta-ganti moda transportasi: bus, mobil, motor, hingga kapal feri.

Setelah lebaran Idulfitri (11/4/2024), saya mencoba perjalanan panjang perdana ke Selayar. Saya cukup beruntung ditemani beberapa teman mengajar di pelosok Maros saat masih kuliah dulu. Ada Kak Bagus, Kak Wiwi, Kak Yasmin, Kak Jannah, Kak Nono, Kak Fajar, Kak Mifta, seorang teman asli selayar bernama Kak Yudi, dan seorang teman yang kebetulan sedang berada di Selayar saat kami ke sana. 

Perjalanan Darat Palopo–Makassar–Bulukumba

Di titik jemput bus di jalan poros lintas provinsi daerah Binturu, Kak Bagus telah menunggu di sana bersama satu tas besar dan sebuah daypack. Barang bawaannya banyak, karena dia akan langsung kembali ke tempat kerjanya di daerah Papua setelah dari Selayar. Setengah jam menunggu, bus kami akhirnya tiba dan berangkat sekitar pukul 20.30 WITA.

Palopo–Makassar menjadi perjalanan darat terpanjang dengan waktu tempuh  9 jam penuh. Kami tiba di Makassar keesokan harinya pada pukul 06.00 WITA. Setelah menaruh seluruh oleh-oleh dari kampung, saya langsung berangkat ke titik kumpul, yaitu rumah seorang teman di Jalan Paropo. Di sini, kami menunggu minibus yang disewa untuk mengantarkan kami ke Bulukumba sejauh 160-an kilometer atau lebih dari empat jam perjalanan.

Ada enam orang yang berangkat dari Makassar. Satu orang lainnya berangkat dengan motor dari Bone, satu orang berangkat dari Bantaeng, dan satu orang sudah menunggu di rumahnya di Bulukumba. Adapun seorang lagi sudah berada di Selayar selama seminggu. Ia menghabiskan libur panjang lebaran bersama keluarga. 

Sopir rental kami sudah datang, yang ternyata dia adalah teman sekelas Kak Wiwi di Bulukumba. Kami banyak berbincang dan menertawakan hal-hal acak selama perjalanan. Setibanya di rumah Kak Wiwi di kawasan Desa Alla, kami hanya beristirahat kurang dari 15 menit lalu melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Bira dengan diantar adik Kak Wiwi.

Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar
KMP Takabonerate yang melayani rute Bira-Selayar/Nawa Jamil

Nyaris Tertinggal Kapal

Pelabuhan Bira berjarak 30–40 menit dari Desa Alla. Kami berjalan dengan perasaan waswas takut tertinggal kapal terakhir ke Selayar yang berangkat pukul 14.00 tepat. Sementara kami sudah cukup dekat dengan pelabuhan, tetapi belum sampai juga. Beberapa teman terus menelepon, menanyakan plat nomor dan meminta kami untuk melaju lebih cepat.

Kami memasuki gerbang pelabuhan pukul 14.10. Terlihat di kejauhan kapal seperti siap lepas landas, tetapi belum. Ini membuat semua yang berada di mobil merasa lega. 

“Mobil antar penumpang, Pak!” seru kami begitu dicegat oleh salah seorang petugas di pos jaga. 

“Oh, iya. Cepat mi dek! Aduh!” Timpalnya dengan sedikit mengeluh atas keterlambatan kami. 

Mobil mengantar kami tepat di depan pintu rampa yang akan segera tertutup. Begitu turun dari mobil dan pamit sepenuh hati pada adik Kak Wiwi, kami langsung berlari menuju pintu. Di sana seorang teman yang sedari tadi kukuh menahan agar kapal bisa menunggu lima temannya, kini bisa bernapas lega. Beberapa orang menyoraki kami.

Setelah memastikan semuanya aman, kami masuk ke bagian atas kapal karena semua dek penumpang sudah penuh. Baru saja menaruh tas dan duduk sebentar, kapal langsung melaju. Menandakan kami orang terakhir yang ditunggu. Bukan sebuah kebanggaan, tetapi pengalaman mengejar kapal pertama saya ini cukup seru juga.

Cerita di Atas Kapal

Kru kapal memberi kami satu set makanan berat, terdiri dari nasi, potongan kecil ayam, dan sedikit sayur. Meskipun porsinya cukup sedikit, tapi Kak Jannah, teman kami dengan cekatan membawa bekal lauk-pauk melimpah yang tersisa dari momen lebaran keluarganya. Ia langsung mengubah nasi kotak biasa kami menjadi makanan mewah yang kaya protein dan lemak.

Sambil makan, saya berusaha membuka percakapan dengan Kak Yudi. Dulu kami hanya bertemu sekali di Pulau Lanjukang saat melakukan salah satu kegiatan relawan hasil kolaborasi antarkomunitas. Berawal dari banyak percakapan liar, lalu berakhir dengan satu ajakan, “Nanti kalau ke Selayar kabari saja, nah!”

Akhirnya hari saya berkunjung ke Selayar tiba. Cukup beruntung Kak Yudi, orang asli Selayar dan pemandu wisata, bisa menemani kami dalam perjalanan ini selama beberapa hari ke depan. Jadwal yang begitu mepet membuat saya tidak sempat berbincang banyak dengan Kak Yudi.

Kapal sudah berlayar setengah jalan. Usai memakan jatah nasi dan lauk yang dibawa Kak Jannah dari rumah, saya lalu mengambil tempat di samping Kak Yudi yang saat itu tengah tenggelam dalam isapan rokoknya.

“Maaf, ya, Kak. Tadi Kak Yudi lama menunggu di daerah Bantaeng,” terang saya memulai percakapan. 

“Oh, tidak apa-apa, kok, Kak,” balasnya. 

Selama mengarungi Laut Flores, kami bercerita banyak tentang Selayar dan perjalanan pertamaku ke kepulauan tersebut. Tentu, perihal mitos orang Luwu tidak boleh ke Selayar menjadi topik pertama yang kulontarkan kala itu.

”Kak Yudi, aku kan orang Luwu nih, Kak. Kakak pernah dengar tidak tentang mitos kalau orang Luwu enggak boleh ke Selayar?”

Kak Yudi terlihat sedikit terkejut. Alisnya sedikit naik mengetahui aku dari tanah Luwu. “Oh, ya? Kamu orang Luwu, toh?”

Dari perspektif orang Selayar, Luwu merupakan satu daerah yang berkaitan erat dengan Selayar. Ada banyak sejarah yang melatarbelakangi lahirnya mitos tersebut. Namun, sebagai orang asli Selayar, Kak Yudi pun tidak mengetahui perihal larangan itu.

“Kalau yang kutahu, sih, orang Selayar tidak pernah berjodoh (dalam hal ini menikah) dengan orang Luwu, tetapi mitos yang kamu bilang tadi saya kurang tahu.”

Ia lalu melanjutkan, “Tapi memang Pulau Selayar ini punya sejarah yang kental dengan kepercayaan orang Luwu, juga kisah dalam Kitab La Galigo.”

  • Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar
  • Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar

Hikayat We Tenri Dio 

Ada banyak sumber dan versi tentang Pulau Selayar, serta kedekatannya dengan Sawerigading. Pelayaran menjadi kata kunci atau benang merahnya. I Malaniki, raja pertama Selayar, dalam beberapa versi disebut We Tenri Dio, anak dari Sawerigading. Dikisahkan Sawerigading dan sang istri, We Cuddai beserta ketiga anaknya, La Galigo, We Tenri Dio, dan We Tenri Balobo melakukan perjalanan bersama dari Cina ke Luwu lalu singgah di Selayar.

Terdapat perbedaan pendapat dari sebab persinggahan mereka. Ada sumber yang mengatakan perahu mereka mengalami kecelakaan di laut hingga terdampar di Selayar. Versi lain menyebut perahu Sawerigading hendak mengganti layar di pulau ini. Ada pula yang bilang perahu tersebut memang dijadwalkan untuk berlabuh sementara di Selayar. 

Singkat cerita, atas restu dari kedua orang tuanya, We Tenri Dio memutuskan menetap di Kepulauan Selayar. Di Selayar, We Tenri Dio yang orang Luwu kemudian dikenal sebagai I Muri I La Judiu Nikana La Tenri Dio menjadi raja pertama di Putabangun, kerajaan tertua di Pulau Selayar. Ia menikah dan menetap hingga akhir hayatnya di Selayar. Makamnya berada di sebuah kuburan tua dengan nisan di utara, menandakan kuburan ini telah ada sebelum ajaran Islam masuk ke Selayar. Ia dimakamkan bersama tiga kuburan lainnya, salah satunya Lalaki Sigayya, sang suami.

Di pulau ini juga ditemui salah satu jejak kapal Sawerigading, Gong Nekara. Konon, gong ini merupakan salah satu bagian dari kapal Sawerigading yang berfungsi sebagai pertanda saat kapal hendak singgah di pelabuhan-pelabuhan. Gong ini dipercaya hanya ada sepasang di seluruh dunia, yaitu di Vietnam dan Pulau Selayar serta merupakan sepasang “suami-istri”.

Setelah menyelidiki sejarah Selayar dan Luwu, saya sampai pada satu kesimpulan. Tidak pernah ada larangan yang membatasi kedua masyarakat dari tanah berbeda itu saling mengunjungi satu sama lain.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-mematahkan-mitos-ke-pulau-selayar/feed/ 0 42488
Serunya Perayaan Hari Disabilitas Internasional di Bulukumba https://telusuri.id/serunya-perayaan-hari-disabilitas-internasional-di-bulukumba/ https://telusuri.id/serunya-perayaan-hari-disabilitas-internasional-di-bulukumba/#respond Mon, 18 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40569 Di antara perjalanan dan tempat-tempat yang menyenangkan, sepertinya momen perayaan Hari Disabilitas Internasional (HDI) di Bulukumba pada awal Desember menjadi yang terbaik sepanjang tahun 2023. Lanskap Bulukumba dengan tebing dan jalur lintas provinsi di pinggiran...

The post Serunya Perayaan Hari Disabilitas Internasional di Bulukumba appeared first on TelusuRI.

]]>
Di antara perjalanan dan tempat-tempat yang menyenangkan, sepertinya momen perayaan Hari Disabilitas Internasional (HDI) di Bulukumba pada awal Desember menjadi yang terbaik sepanjang tahun 2023. Lanskap Bulukumba dengan tebing dan jalur lintas provinsi di pinggiran laut memang cantik. Namun, yang paling berkesan adalah perjalanan dan rangkaian kegiatan Hari Disabilitas Internasional yang dilaksanakan di ballroom Hotel Agri. Satu rangkaian acara dengan malam sebelumnyaa di mes Pemerintah Kabupaten Bulukumba di area wisata Pantai Bira.

Rombongan dari Makassar berangkat sekitar pukul 10.00 WITA dengan tiga jenis kendaraan. Bus medium yang ditumpangi anak-anak dan orang tua dari Komunitas Orang Tua Anak Down Syndrome (KOADS), mobil berkapasitas 16 orang yang diisi beberapa panitia menaiki mobil berkapasitas maksimum 16 orang, dan satu minibus Avanza putih. Pagi itu, cuaca cerah dengan jejak-jejak hujan yang baru saja reda. Bau tanah yang menyenangkan tercium syahdu. Orang-orang yang tidak kukenal tampak sibuk membungkus hadiah permainan lomba. Aku membantu membungkus dengan kertas kopi sewarna, sedangkan beberapa orang lainnya tampak sibuk mengatur barang-barang bawaan mereka di bagasi bus. 

Emon, seorang teman tuli dan guru bahasa isyaratku di Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo) tampak melambaikan tangannya. Ia bersemangat begitu melihatku muncul dari bagian belakang rumah titik kumpul kami. 

“Kamu ikut juga?” tanyanya dengan bahasa isyarat. 

Aku mengangguk, “Nanti aku ikut di mobil kamu.” 

Perjalanan ke Bulukumba

Kami tidak banyak berbincang. Selain situasi sedang sibuk-sibuknya, saya juga cukup kikuk setelah dua bulan lebih tidak berkomunikasi dengan bahasa isyarat. 

Kami menaiki mobil Avanza berwarna putih, menempuh perjalanan sekitar 162 kilometer ke Bulukumba. Emon menawarkan untuk lewat rute Galesong, lalu berbelok ke Bontonompo Selatan. Akan tetapi, kami harus menjemput satu orang lagi tepat setelah melewati Jembaran Kembar Gowa. Jadi, rute kami harus melewati Kabupaten Gowa, kemudian menyusuri jalanan menuju Kabupaten Takalar. Perjalanan kami berlangsung menyenangkan.

Saya belajar sangat banyak kosakata baru dalam bahasa isyarat. Misalnya menyebut “Kota Makassar” dengan memperagakan passapu, ikat kepala merah khas Makassar. Mengisyaratkan huruf “J” untuk Kabupaten Janeponto, yang diikuti kedua tangan dikepal dan sejajar di depan dada. Oh iya, bahasa isyarat Kabupaten Bulukumba juga sangat identik dengan ciri khas daerah ini, yakni dengan memberikan gerakan ombak.

Pengalaman mendampingi Emon di kursi depan, seorang teman tuli yang pandai mengemudi, membuat saya banyak menggunakan bahasa isyarat saat harus mengarahkan arah. Juga memberitahukan hal-hal kecil selama perjalanan, seperti “kita singgah di apotek terdekat”, “menyetirnya pelan-pelan saja”, dan “ayo, singgah beli minuman dingin dulu.”

Perjalanan Makassar—Bulukumba berjalan lancar dan menyenangkan. Rombongan kami berhenti di Mesjid Besar Jeneponto untuk makan siang bersama dan melanjutkan perjalanan sekitar pukul 14.00 WITA. Karena menaiki mobil terkecil, memungkinkan kami untuk singgah ke area kota Bulukumba. Kami mengambil beberapa perlengkapan, seperti air galon untuk konsumsi selama di Bira, serta baju kaus sablonan yang dipesan khusus untuk acara HDI ini. 

Malam Hari Penuh Tawa

Rombongan kami menjadi yang terakhir tiba di Bira. Anak-anak dan para orang tua telah menikmati acara berenang sejak sebelum matahari tenggelam. Saat memarkirkan kendaraan kami, beberapa rombongan tampak basah kuyup karena baru tiba dari Pantai Bira dengan berjalan kaki. Mereka tampak senang sekaligus kelelahan. 

Setelah beristirahat dan makan malam, lepas Isya kami berkumpul di selasar lantai dua yang luas dan terbuka tanpa atap. Ada lampu tali LED yang menambah suasana cantik malam hari. Mes yang kami tempati merupakan akomodasi milik Pemerintah Kabupaten Bulukumba. Tampaknya masih sangat baru, bahkan beberapa bagian mes masih dalam proses pembangunan.

Selasar yang kami gunakan malam ini merupakan bagian atas mesdengan teralis pengaman dari besi hollow yang dicat hitam legam. Tingginya cukup ideal dan sulit dijangkau anak-anak. Selasar ini cukup lebar, sekitar 6×3 meter dan lantainya sudah berkeramik meski agak licin. Angin pantai bertiup kencang beberapa kali, membawa kabar bau-bauan laut yang tidak sempat kudatangi sore tadi.

Acara malam ini penuh dengan tawa. Saya berterima kasih kepada adik-adik dari KOADS yang memenuhi hati kami dengan banyak cinta dan tingkah lucu yang tulus. Down Syndrome merujuk pada kondisi kelainan kromosom 21 yang menyebabkan keterlambatan perkembangan dan intelektual. Bersama orang tua mereka kami banyak menari dan bermain aneka ragam permainan. Mulai dari lomba memindahkan pipet tercepat, sampai permainan berebut kursi yang diganti dengan rebutan kertas HVS sebagai tempat pijakan. 

Merayakan Perbedaan 

Pada permulaan hari jelang acara puncak, orang-orang di kamar kami bangun lebih cepat dari kamar-kamar lain. Setelah bergantian mandi di toilet seadanya, kami lalu berangkat menuju lokasi acara yang berjarak satu jam dari mes tersebut.

Perjalanan pagi ini berlangsung lancar. Jalan masih sangat sepi. Kami hanya berpapasan dengan anak-anak berseragam sekolah yang dapat dihitung jari. Suasana pagi dan langit kemerahan menjadi teman kami sepanjang perjalanan, sampai tibalah kami di Hotel Agri. Saat tiba, tempat parkir masih kosong. Hotel ini kelihatan sepi.

Setelah bertanya pada salah satu petugas yang kebetulan lewat, kami diarahkan menuju lokasi acara. Sebuah ruangan superbesar dengan pintu kaca. Begitu kami masuk, kursi-kursi dibalut sarung putih sudah tersusun rapi. Begitu halnya dengan empat meja di bagian belakang. Saya menemukan kawan saya sedang sibuk mengemasi dua camilan manis dan sebotol air mineral ke dalam kotak putih polos. 

Serunya Perayaan Hari Disabilitas Internasional di Bulukumba
Sambutan Ketua Panitia Syamsul Iman dalam acara puncak peringatan Hari Disabilitas Internasional di Bulukumba/Nurul Jamil

Sekitar pukul sembilan pagi lewat belasan menit, acara pun dimulai. Saya cukup beruntung berkesempatan menangkap momen-momen menggemaskan selama acara berlangsung. Terutama ketika anak-anak melakukan beragam pentas seni, seperti Angngaru’—tari tradisional—hingga menyanyi. Selama dua hari bersama anak-anak dari pagi di Makassar, sampai pulang sore hari ini, saya melihat bahwa perlu pendekatan baru dalam mewujudkan inklusivitas di masyarakat kita.

Disabilitas sangat akrab dengan label negatif hanya karena mereka berbeda. Dalam penyampaian singkat dari Kak Syarif, seorang disabilitas netra pada sesi paparan singkatnya, menyatakan orang dengan disabilitas seringkali mengalami stigma miring dalam kehidupan sehari-harinya. Prosesnya berlangsung dalam empat tahap: labelisasi, lalu stereotifikasi, kemudian segregasi atau pemisahan orang-orang dengan disabilitas dari lingkungan mereka, hingga tahap akhir, yakni diskriminasi.

Saya sampai pada satu penyadaran saat mendengar pemaparan Kak Syarif siang itu. Bukankah seluruh tahap pemberian stigma tersebut sangatlah sepihak? Hanya dari orang nondisabilitas kepada orang dengan disabilitas saja, bukan? Lalu kenapa hal ini bisa terjadi dan bertahan sangat lama? 

Sebagai seorang fisioterapis, sebuah profesi kesehatan dengan fokus utama rehabilitasi gerak dan fungsi gerak, saya cukup sering berjumpa dan menangani kasus-kasus anak dengan disabilitas, seperti cerebral palsy, spektrum autis maupun sindrom down dengan keterlambatan tumbuh kembang, atau kasus-kasus delay development pada anak lainnya. Latar belakang saya membuat perspektif pribadi tentang disabilitas dengan kacamata yang medis sekali. Padahal sebenarnya disabilitas hari ini sangat kolot jika pendekatannya hanya sebatas medis. Perlu pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik dalam mendukung keikutsertaan disabilitas yang bermakna dalam masyarakat kita. 

Sederhananya, melihat disabilitas hanya dari satu kacamata kuda medis saja, secara singkat akan langsung memberikan pandangan ketidakberdayaan hanya karena kondisi medis yang ada pada mereka. Padahal, berbeda tidak selalu berarti lebih buruk. Perlu ada usaha ekstra dari kita dalam mewujudkan inklusivitas yang bermakna. Karena berbeda, mereka memerlukan pendekatan yang berbeda pula. Namun, hal tersebut sama sekali tidak mengurangi hak mereka dalam menikmati segala fasilitas dan kesempatan-kesempatan dalam hidup. 

Serunya Perayaan Hari Disabilitas Internasional di Bulukumba
Kak Syarif, teman netra yang mengisi materi tentang labelisasi pada kawan-kawan disabilitas/Nurul Jami

Pertanyaan Baru

Kami lekas pulang kembali ke Makassar selepas acara. Kami tiba sekitar pukul 20.00 WITA, setelah sebelumnya mampir makan malam di Bakso Adi Bontonompo.

Perbincangan kami berlanjut sembari menikmati bakso keju dan urat yang komposisinya sangat pas. Di tengah perbincangan, Kak Syarif bercerita tentang aktivitas alam yang ia gemari, yaitu mendaki gunung.

Mendengar bagaimana Syarif pergi ke banyak tempat dan menikmati banyak hal, membangkitkan perasaan bahagia dalam hati saya, sehingga memunculkan pertanyaan baru, “Bagaimana menikmati alam dengan cara berbeda?” 

Menggali pertanyaan tersebut dalam kacamata teman disabilitas adalah semangat baru, yang lahir dari pertemuan singkat dua hari di Bulukumba dan tujuan petualangan selanjutnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Serunya Perayaan Hari Disabilitas Internasional di Bulukumba appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/serunya-perayaan-hari-disabilitas-internasional-di-bulukumba/feed/ 0 40569
Jangan Sampai Terpesona sama 5 Pantai di Bulukumba Ini https://telusuri.id/jangan-sampai-terpesona-sama-5-pantai-di-bulukumba-ini/ https://telusuri.id/jangan-sampai-terpesona-sama-5-pantai-di-bulukumba-ini/#respond Tue, 06 Feb 2018 02:30:06 +0000 https://telusuri.id/?p=6378 Selama ini Bulukumba hanya dikenal sebagai produsen kapal pinisi. Ternyata daya tarik Bulukumba nggak cuma itu, Sob. Kabupaten yang terletak di ujung selatan Provinsi Sulawesi Selatan ini juga punya pantai-pantai yang indah. Salah satunya, yang...

The post Jangan Sampai Terpesona sama 5 Pantai di Bulukumba Ini appeared first on TelusuRI.

]]>
Selama ini Bulukumba hanya dikenal sebagai produsen kapal pinisi. Ternyata daya tarik Bulukumba nggak cuma itu, Sob. Kabupaten yang terletak di ujung selatan Provinsi Sulawesi Selatan ini juga punya pantai-pantai yang indah. Salah satunya, yang udah lumayan menggaung namanya, adalah Tanjung Bira.

Nggak percaya? Nah, khusus buat kamu, ini TelusuRI sajikan 5 pantai di Bulukumba. Tapi awas, jangan sampai kamu terpesona. Terpesona itu berat. Biar aku saja—eh?

1. Pantai Mandala Ria

pantai di bulukumba

Keindahan Pantai Mandala Ria Bulukumba via SkyGrapher.id/Fauzi Hm

Barangkali kamu belum pernah dengar nama pantai di Bulukumba yang satu ini. Namanya memang baru saja naik daun. Letaknya di Desa Ara, Lembanna, Bonto Bahari, sekitar 10 km dari Kawasan Wisata Tanjung Bira.

Kalau soal rupanya, ya 11-12 sama Pantai Tanjung Bira: lebar, pasir putih, air jernih, ada padang lamun dan terumbu karang. Di salah satu sudut ada sebuah pulau karang kecil yang permukaannya ditumbuhi semak belukar. Uniknya, penamaan pantai ini ternyata ada hubungannya dengan Komando Mandala yang dibentuk pas Operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat dulu.

2. Pantai Panrang Luhu

pantai di bulukumba

Perahu-perahu tertambat di Pantai Panrang Luhu via SkyGrapher.id/Iwan Teknik

Letaknya juga nggak jauh dari Pantai Tanjung Bira. Pantai ini teduh banget, soalnya ditumbuhi oleh banyak pohon kelapa. Selain itu juga banyak gazebo tempat kamu bisa duduk-duduk sambil melihat perahu-perahu bergoyang-goyang lembut dilamun gelombang. Kalau mau menginap, banyak villa yang bisa kamu sewa di sana.

Asal nama salah satu pantai di Bulukumba ini juga unik. Ternyata “panrang” berarti kuburan dan “luhu” berarti Luwu, salah satu kelompok etnis di Sulawesi Selatan. Di sini ternyata ada sebuah kawasan pemakaman yang dianggap warga setempat sebagai tempat bersemayamnya orang-orang Luwu yang dulu tinggal di situ.

3. Pantai Tanjung Bira

pantai di bulukumba

Sunset di Tanjung Bira via SkyGrapher.id/andi faisal

Kalau sedang menceritakan pantai-pantai di Bulukumba, rasanya memang ada yang kurang kalau kita nggak menyebut nama Pantai Tanjung Bira. Pantai ini memang yang paling terkenal dan paling ramai dikunjungi di antara pantai-pantai lain di Bulukumba.

Tapi, meskipun ramai, Pantai Tanjung Bira tetap menawan. Deretaan warung, penginapan, dan villa di pinggir seolah bahu-membahu bikin pantai ini jadi lebih cantik. Di sana, kamu bisa cobain sensasi naik banana boat. “Ah, sama aja paling rasanya.” Beda, Sob. Ini Pantai Tanjung Bira!

4. Pantai Bara

pantai di bulukumba

Tengah hari di Pantai Bara via SkyGrapher.id/Rahadian Baso

Kamu mesti tahu ancer-ancer-nya kalau mau ke Pantai Bara. Soalnya lokasinya mblusuk banget, meskipun juga dekat sekali dengan Pantai Tanjung Bira. Buat ke sana kamu mesti lewat jalan kecil, melintasi rumah-rumah karaoke, kebun di kanan-kiri—nyempil banget pokoknya.

Tapi pas nyampe di sana, rahang kamu bakal copot dibikin menganga oleh keindahannya. Pasirnya putih banget—halus lagi! Airnya jernih minta ampun. Sunyi pula. Kalau bawa tenda, kamu bisa kemping di sini. Jangan lupa bawa marshmallow buat dibakar malam-malam.

5. Pantai Apparalang

pantai di bulukumba

Tebing di Pantai Apparalang via SkyGrapher.id/Fauzi Hm

Ini pantai yang lagi ngehits di Bulukumba. Pantai Apparalang jadi menawan karena air lautnya dipagari oleh tebing-tebing batugamping tinggi menjulang. Coba deh banyangin sendiri: tebing coklat-kelabu dikontraskan dengan air laut yang toska.

Tentu saja kamu bisa berenang di sini. Tapi, kalau nggak mau berenang, duduk-duduk saja sambil menikmati suasana juga udah enak banget kok rasanya. “Dari tadi ngoceh mulu. Jadi pantainya di mana?” Dih, penasaran dia. Letaknya nggak jauh dari Pantai Tanjung Bira, dekat SMKN 6 Perkapalan Bulukumba.

Awas, lho. Jangan sampai terpesona sama 5 pantai di Bulukumba itu!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jangan Sampai Terpesona sama 5 Pantai di Bulukumba Ini appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jangan-sampai-terpesona-sama-5-pantai-di-bulukumba-ini/feed/ 0 6378