bus Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bus/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 23 Aug 2019 17:18:48 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 bus Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/bus/ 32 32 135956295 Cara (yang Sesungguhnya) Menuju Lasem https://telusuri.id/naik-bus-menuju-lasem/ https://telusuri.id/naik-bus-menuju-lasem/#respond Sat, 17 Aug 2019 09:25:04 +0000 https://telusuri.id/?p=16662 Nama “Lasem” mungkin masih terdengar asing bagi sebagian orang. Maklum, selain berada di pojokan—di pesisir utara Pulau Jawa, di daerah paling timur Provinsi Jawa Tengah bagian utara—Lasem hanya sekadar daerah perlintasan pengguna jalan raya dari/ke...

The post Cara (yang Sesungguhnya) Menuju Lasem appeared first on TelusuRI.

]]>
Nama “Lasem” mungkin masih terdengar asing bagi sebagian orang. Maklum, selain berada di pojokan—di pesisir utara Pulau Jawa, di daerah paling timur Provinsi Jawa Tengah bagian utara—Lasem hanya sekadar daerah perlintasan pengguna jalan raya dari/ke Surabaya/Semarang.

Saat pertama mendengar nama Lasem pun banyak pertanyaan yang muncul dalam kepala saya: “Di mana tuh? Itu kota atau kabupaten? Masuk daerah Jawa mana, ya?”

Setelah mencari info sana-sini, saya jadi tahu sedikit tentang Lasem. Kurang lebihnya saya ringkas sebagai berikut: Lasem adalah sebuah kecamatan, bagian dari Kabupaten Rembang, yang acap kali dijuluki “Le Petit Chinois,” “The Little Beijing/China,” atau Tiongkok Kecil.

Tiongkok Kecil? Apa karena Lasem pernah diduduki Tiongkok? Atau karena banyak orang Tiongkok yang bermukim di sana?

lasem
Klenteng Tjoe An Kiong di Rembang, Jawa Tengah via TEMPO/Rully Kesuma

Jadi begini ceritanya. Sekitar abad 14-15 Masehi, cukup banyak orang dari Tiongkok—sebagian besar pedagang—yang berniaga di Lasem, lalu terus bermukim di sana. Kala itu, Lasem jadi salah satu lokasi pendaratan mula-mula orang Tionghoa di Tanah Jawa.

Fakta menarik itulah barangkali yang memicu saya untuk melancong ke Lasem. Persiapan pun saya lakukan sejak jauh hari, termasuk mencari informasi mengenai tempat wisata, kuliner khas, oleh-oleh, dan, yang paling penting, akses menuju ke sana.

Banyak jalan menuju Lasem

Lewat beberapa referensi—artikel atau cerita—dari orang-orang yang pernah berkunjung ke Lasem, saya jadi tahu bahwa setidaknya ada dua cara umum untuk ke Lasem dari Jakarta atau Bandung.

Pertama, dari Bandara Soekarno Hatta Cengkareng, Halim Perdanakusuma Jakarta, atau Husein Sastranegara Bandung, saya bisa terbang ke Bandara Ahmad Yani Semarang. Dari sana lanjut naik taksi atau ojek daring menuju Terminal Terboyo. Di Terminal Terboyo saya bisa naik bus ekonomi atau patas AC Semarang-Surabaya via pantura kemudian turun di sekitar Masjid Jami’ Lasem. Ada juga pilihan lain, yakni menyewa motor/mobil di Semarang.

Interior bus PO Shantika/Benno Verdian

Kedua, naik kereta api dari Jakarta (Stasiun Gambir atau Pasar Senen) atau Bandung (Stasiun Bandung/Stasiun Hall) ke Semarang (Stasiun Tawang atau Poncol). Langkah selanjutnya sama dengan opsi pertama di atas.

Namun, selain dua opsi umum itu, ternyata ada satu cara lagi yang barangkali jarang dicoba orang: naik bus langsung ke Lasem. (Sebagai seorang penikmat jalan-jalan naik bus, tentu saja sebisa mungkin saya bepergian dengan si roda banyak.) Setelah mondar-mandir di jagad maya, saya menemukan beberapa pilihan cara naik bus langsung ke Lasem.

Pertama, dari Jabodetabek, saya bisa naik bus tujuan Bojonegoro, Surabaya, Madura, atau Malang via pantura. Beberapa bus yang lewat Lasem antara lain Gunung Harta, Agra Mas, Haryanto dan Madu Kismo. Ada juga yang memang tujuan akhirnya Lasem, seperti Shantika dan Nusantara.

Kedua, dari Bandung dan sekitarnya, saya bisa menumpang bus tujuan Bojonegoro, Surabaya, atau Malang via pantura, misalnya Haryanto dan Gunung Mas. Pahala Kencana dan Hiba Putra ternyata bertujuan akhir di Lasem.

Cara (yang sesungguhnya) menuju Lasem

Keputusan saya adalah naik bus. Saya menjatuhkan pilihan pada Shantika seri 5C dengan rute Tangerang-Jakarta-Semarang-Kudus-Lasem. Tiket saya tebus dengan uang Rp270.000 (harga normal Rp220.000, ditambah “tuslah” Lebaran Haji Rp50.000, sudah termasuk air mineral botol dan makan malam).

Bukan tanpa alasan saya memilih PO yang bermarkas di daerah Jepara ini. Pertama, saya memang sudah pernah menumpang Shantika. Kedua, bus satu ini punya penampilan yang cukup menarik; sentuhan warna toskanya memikat mata. Untuk interior, Shantika menggunakan seat tebal, lengkap dengan selimut berupa bed cover. Seakan belum cukup, bus pun dilengkapi dengan suspensi udara sehingga perjalanan jadi makin nyaman. Guncangan saat melewati jalan rusak jadi tak terlalu terasa.

Semuanya dimulai dari Terminal Poris Plawad Tangerang tanggal 9 Agustus 2019 pukul 14:38. Sepanjang perjalanan, supir memacu bus dengan baik. Terkesan ngebut namun tetap dalam batasan aman, dan tidak sembrono. Kemacetan ruas tol dalam kota dan Jakarta-Cikampek memang menyebalkan, namun, selepas itu, tepatnya setelah memasuki ruas Tol Cipali dan Trans Jawa, lalu lintas cenderung ramai lancar tanpa hambatan berarti.

Keluar Tol Krapyak di daerah Semarang, bus melipir ke jalur pantura. Kecepatan berangsur-angsur berkurang karena hambatan bertambah, yakni truk besar dan jalanan yang berlubang. Akhirnya, bus tiba di Lasem tanggal 10 Agustus 2019 pukul 05:16. Perjalanan itu memang lama, sekitar 15 jam, namun sangat berkesan.

Seperti biasa, saya mencatat detail perjalanan.* Tanggal 9 Agustus 2019: Terminal Poris Plawad (14:38); Terminal Kalideres (15:16-16:26); Terminal Grogol (17:14-17:17); Cikarang (19:22); GT Palimanan (22:30); Masuk RM Kedung Roso Brebes untuk makan malam (23:31). Tanggal 10 Agustus 2019: Berangkat dari RM Kedung Roso (00:22); Kalibanteng Semarang (02:24); Berhenti di Terminal Jati Kudus, transit penumpang (03:18-03:45); Alun-alun Rembang (05:01); Masjid Jami’ Lasem (05:16).

Kesan** menumpang Shantika menuju Lasem

Dengan harga tiket yang sangat kompetitif, seat Shantika sangat nyaman untuk beristirahat sepanjang perjalanan. Yang membuat bus lebih nyaman, setelan suhu AC-nya pas dan duet supir tidak merokok sepanjang perjalanan.

Namun, sebagaimana umumnya perjalanan dengan transportasi darat—khususnya bus—durasi perjalanan cenderung tak menentu. Jika sedang sial dihadang banyak titik kemacetan, bisa saja penumpang kesiangan tiba di tujuan. Catatan lain adalah tidak tersedia makanan ringan pengganjal perut, misalnya roti, sehingga disarankan untuk beli jajanan sebelum naik bus. Ketiadaan areal merokok mungkin bisa jadi “hambatan” bagi para perokok.

Demikian cerita perjalanan saya dari Tangerang menuju Lasem. Semoga catatan ini dapat menjadi referensi bagi teman-teman yang akan bepergian ke Lasem, entah dengan cara yang sama atau bahkan dengan cara lain yang lebih seru.

Jadi, kapan ke Lasem?


* Catatan waktu dalam Waktu Indonesia Barat (WIB) dan secara real time berdasarkan perjalanan yang dilakukan penulis dan bukanlah patokan yang pasti. Waktu tempuh dapat berbeda tergantung kondisi lalu lintas dan kecepatan bus.

* Penilaian subjektif penulis selama melakukan perjalanan. Penilaian dan kesan dapat saja berbeda dari penilaian dan kesan orang lain.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cara (yang Sesungguhnya) Menuju Lasem appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/naik-bus-menuju-lasem/feed/ 0 16662
Rekaman Suasana Bus Primajasa Jurusan Dangdeur-Tasikmalaya https://telusuri.id/suasana-bus-primajasa-dangdeur-tasikmalaya/ https://telusuri.id/suasana-bus-primajasa-dangdeur-tasikmalaya/#respond Wed, 27 Mar 2019 15:24:08 +0000 https://telusuri.id/?p=12720 Sudah lima bulan aku bolak-balik Jatinangor-Tasikmalaya, menapaki episode hidup Unpad Jatinangor. Aktivitasku berkutat di dunia akademik—menulis jurnal, merancang penelitian, rapat dengan mahasiswa, melakukan pengukuran-pengukuran dalam penelitian, dan sesekali berbicara di depan kelas. Intinya, aku sedang...

The post Rekaman Suasana Bus Primajasa Jurusan Dangdeur-Tasikmalaya appeared first on TelusuRI.

]]>
Sudah lima bulan aku bolak-balik Jatinangor-Tasikmalaya, menapaki episode hidup Unpad Jatinangor. Aktivitasku berkutat di dunia akademik—menulis jurnal, merancang penelitian, rapat dengan mahasiswa, melakukan pengukuran-pengukuran dalam penelitian, dan sesekali berbicara di depan kelas. Intinya, aku sedang magang.

Bus Primajasa menjadi andalan. Seperti angkot, ia dapat dinaiki dan diberhentikan di mana saja. Fleksibel. Ia juga tidak menuntut komitmen untuk tetap bersama hingga tujuan akhir. Titik ternyaman bagiku untuk berhenti atau naik adalah di Dangdeur. Ia menjadi penghubung antara Jalan Raya Jatinangor dengan jalan utama trans Jawa Barat jalur selatan: Bandung-Garut-Tasikmalaya.

Sore itu aku menunggu bus seperti biasanya di Dangdeur, untuk pulang ke Tasikmalaya. Cukup ramai, ada sekitar sepuluh calon penumpang selain aku. Karena sore itu hujan, bersama para calon penumpang lain aku menunggu di emper sebuah toko, di samping kedai pangkas rambut yang (kebetulan) selalu kosong. Sudah biasa aku menunggu bus dengan mengemper begini. Aku nikmati lalu-lalang kesibukan manusia di daerah trans antarkota itu. Setelah sekitar sepuluh menit menunggu, bus Primajasa jurusan Tasikmalaya-Bekasi melintas pelan.

bus primajasa
Seorang penumpang bis malam via unsplash.com/青 晨

Aku berharap yang datang adalah bus Primajasa kelas bisnis AC karena lebih nyaman untuk dinaiki. Sayangnya tidak. Bus yang melintas adalah kelas ekonomi non-AC, dengan susunan jok 2-3 yang padat. Aku tidak punya pilihan karena hari sudah terlalu sore. Khawatirnya, jika lebih lama menunggu, aku akan sampai di Tasikmalaya tengah malam. Setelah yakin bahwa itu adalah busku, aku pun melangkah naik.

Ramai sekali di dalam. Jok hampir penuh. Namun aku tetap berusaha mencari jok yang kosong hingga aku mencapai seperempat bagian belakang bus. Untungnya aku menemukan bangku kosong di jok 3 (telah aku sebutkan bahwa bus ekonomi non-AC memiliki susunan jok 2-3) dan aku duduk seketika. Aku bersyukur dan menghela napas—ini adalah sebuah berkah. Bus mulai melaju perlahan.

Seketika itu, di jok depanku muncul kepulan asap putih sangat tebal. Aku cukup terkejut karena khawatir terjadi kerusakan pada mesin bus sehingga muncul asap. Namun, setelah aku menarik napas, aku menyadari bahwa itu adalah asap rokok. Oh iya, ini ‘kan bus ekonomi non-AC! Jujur, aku sempat lupa. Dalam pikiranku, yang membedakan bus ekonomi dengan bus AC hanyalah keberadaan AC dan suhu dalam bus. Namun, rupanya tingkah laku penumpangnya pun berbeda.

Kemudian pikiranku mengawang. Betapa sulitnya bagi orang-orang tersebut untuk menghargai orang lain yang tidak ingin menghisap asap rokok di dalam bus yang sumpek. Betapa sulitnya bagi mereka untuk berempati kepada wanita paruh baya yang menggendong anak, dan terpaksa menutupi hidungnya dan hidung anaknya karena enggan menghisap asap rokok. Aku tidak melarang orang untuk merokok. Aku bahkan tidak peduli. Tapi merokok di dalam bus yang sumpek karena ventilasi yang minim, kondisi jalan yang macet sehingga angin dari luar tidak mengalir, dan di depan seorang ibu yang menggendong bayi? Yang benar saja?!

Betapa sulitnya mengubah pola pikir manusia. Betapa sulitnya untuk menjadi dewasa. Betapa sulitnya membangun sensitivitas seseorang terhadap kondisi orang lain. Betapa sulitnya untuk menjadi tidak egois. (Kemudian, setelah aku mencoba menghitung sumber kepulan asap, ternyata terdapat sekitar 5-6 orang yang mengepulkan asap rokok secara simultan dalam satu rentang waktu. Ampun!)

bus primajasa
Ilustrasi interior bus via unsplash.com/Kenny Kuo

Beberapa menit kemudian, kondektur bus Primajasa itu mendatangiku untuk menagih ongkos. Kuberikan uang pas Rp16.000 sembari mengeluh padanya bahwa udara sumpek karena perokok. Dia hanya tersenyum dan berlalu, kemudian mendatangi penumpang lain untuk menagih ongkos. Aku pun menyerah untuk memikirkannya lagi. Bodo amat!

Setelah selesai berurusan dengan kondektur, aku mencari earphone kemudian memasangnya ke ponselku. Kusetel album Greatest Hits II Queen secara acak, lalu kudengar lagu “It’s a Hard Life” dan vokal Freddie yang sayup namun selalu terasa spesial bagiku. Lalu aku mengeluarkan sebutir tablet Antimo dan menelannya bersama air putih. Setelah sekitar sepuluh menit menoleh ke luar jendela, aku terlelap tidur.

Pemandangan di luar jendela yang kuingat terakhir sebelum tidur adalah kondisi jalanan yang gelap dan terendam air hujan setinggi pembatas jalan, lalu lintas yang macet, dan pengendara motor yang menaikkan motornya ke pembatas jalan demi menghindari rendaman air. Ketika kembali membuka mata, aku sudah tiba di Jalan R.E. Martadinata, Tasikmalaya. Kemudian aku beranjak pulang menutup malam.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Rekaman Suasana Bus Primajasa Jurusan Dangdeur-Tasikmalaya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/suasana-bus-primajasa-dangdeur-tasikmalaya/feed/ 0 12720