cagar budaya Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/cagar-budaya/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 16:02:38 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 cagar budaya Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/cagar-budaya/ 32 32 135956295 Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala https://telusuri.id/jejak-sejarah-di-sekitar-kita-pertemuan-dengan-arca-tak-berkepala/ https://telusuri.id/jejak-sejarah-di-sekitar-kita-pertemuan-dengan-arca-tak-berkepala/#respond Fri, 02 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46826 Di Desa Banyudono, Boyolali, kisah Kerajaan Pengging menjadi epos yang sangat epik dan dibanggakan. Mitos Bandung Bondowoso—cerita rakyat tentang pembangunan seribu candi dalam semalam—yang diceritakan berasal dari Kerajaan Pengging acap diturunkan ke anak-anak di Banyudono....

The post Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Desa Banyudono, Boyolali, kisah Kerajaan Pengging menjadi epos yang sangat epik dan dibanggakan. Mitos Bandung Bondowoso—cerita rakyat tentang pembangunan seribu candi dalam semalam—yang diceritakan berasal dari Kerajaan Pengging acap diturunkan ke anak-anak di Banyudono.

Tak jarang saya mengunjungi jejak peninggalannya yang masih bisa dijumpai hingga sekarang. Kerajaan yang berdiri kurang lebih pada tahun 979 Masehi—masih menjadi perdebatan—ini meninggalkan pemandian, arca, masjid, hingga makam orang-orang penting, seperti R. Ng Yosodipuro

Umbul Sungsang adalah salah satunya. Tempat ini populer bagi masyarakat untuk kungkum atau ciblon. Sebelah barat Umbul Sungsang terdapat Masjid Cipto Mulyo. Usianya telah menginjak 120 tahun, tapi masih sangat terawat dengan arsitektur Jawa kunonya. Jalan lurus ke arah selatan sekitar 200 meter, kita dapat menemui Umbul Pengging, salah satu jejak peninggalan Pakubuwono X. Meski dibangun pada masa yang tidak berbarengan, bangunan ini menjadi saksi bisu peradaban Pengging. 

Di era sekarang, tempat-tempat tadi seakan mulai luntur nilainya. Mereka “kalah bersaing” dengan hal-hal modern yang lebih menarik perhatian masyarakat. Peninggalan bersejarah ini hanya dimaknai selayaknya fungsi pragmatisnya saja. Meninggalkan nilai, juga mengubah pemaknaannya terhadap tempat tersebut. 

Dalam beberapa kunjungan saya ke Umbul Sungsang, misalnya, tempat ini digunakan sebagai tempat meminum minuman keras, bahkan asusila. Tak jarang saya melihat coretan dinding yang tak berhubungan sama sekali dengan tempat ini. Merusak pemandangan dan nilai prestisiusnya.

Kerajaan Pengging, atau bahkan peradaban sebelumnya meninggalkan nilai tak terkira bagi masyarakat sekitar bahkan sejarah nasional. Secara pragmatis, tempat tersebut dapat dimonetisasi sebagai objek wisata. Namun, lebih jauh lagi, peninggalan pengetahuan akan identitas pendahulu kita menjadi nilai yang tak dapat diukur, bahkan dapat menjadi “ruang” mengembangkan arah kebudayaan. 

Jika ditelisik, banyak peninggalan Kerajaan Pengging yang masih berada di tempat yang tak terduga. Dulu sempat ada yang menemukan sebuah arca di makam saat menggali kubur, ada juga yang menemukannya saat hendak ke petirtaan. Keduanya diduga menjadi peninggalan Kerajaan Pengging. 

Pencarian menjadi kata paling dekat dengan kebenaran. Kebenaran mesti terus dicari. Salah satunya lewat kepingan-kepingan warisan sejarah. 

Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala
Tampak samping pabrik rokok yang sudah tak terpakai/Aldino Jalu Seto

Berawal dari Dongeng 

Ngomong-ngomong soal sejarah, beberapa waktu lalu saya memikirkan “mitos” sebuah arca di sebelah barat bekas pabrik rokok di Banyudono. Kabarnya, Kraton Pengging memiliki banyak arca yang tersebar di desa-desa sekitarnya, salah satunya bernama Ketaon. Saya ingat mitos dan sejarah sering kali dicampuradukkan, “Kenapa tidak saya cari saja kebenarannya?” pikir saya. 

Mulanya, cerita tentang arca itu sampai pada saya semasa kecil; kira-kira sekolah dasar (SD). Tak sedikit orang tua yang bercerita bahwa dulunya di sebelah barat pabrik rokok ini terdapat sebuah arca. Orang sekitar biasa menyebut reca (dibaca dalam bahasa Jawa: reco)

Masih menurut cerita masyarakat sekitar, reca ini terbuat dari batu yang dipahat. Bentuknya serupa manusia yang bersila. Ada yang mengatakan jika hanya sebagian orang yang beruntung yang dapat bertemu dengan reca. Jika pertemuan itu terjadi, maka apa yang diinginkan (mungkin) akan tercapai. Begitu kurang lebih ceritanya. 

Ingatan ini sangat akrab bagi saya dan masyarakat sekitar. Tak dijelaskan siapa pembuat reca tersebut, dan tahun berapa reca tersebut dikisahkan ada di sana. Juga, entah siapa yang pertama kali memulai cerita ini. 

Pertanyaan itu selalu timbul di benak saya yang belum pernah melihat bentuk dari reca itu sejak lahir, hingga usia saya sudah menginjak kepala dua. Bagi kami warga sekitar yang belum melihat langsung, kami hanya menganggap cerita itu sebagai dongeng belaka. 

Saya bersekolah tak jauh dari lokasi pabrik rokok yang tak beroperasi itu. Sekitar 200 meter ke arah timur, dari perempatan jalan penghubung Dukuh Gatak dengan Dukuh Ketaon. Waktu pelajaran Pendidikan Jasmani dan Olahraga, kami sekelas diminta jogging untuk mengelilingi areal persawahan, termasuk mengelilingi pabrik mati itu. Tak pernah sekalipun kami menemui reca di sana.

Tentu kami sudah tahu tentang cerita reca, tapi tak satu pun dari kami yang pernah menemuinya. Malah sering kali, karena saking tak pernah menemukannya, kami percaya dengan dongeng yang diciptakan masyarakat sekitar. 

Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala
Jalur menuju lokasi penemuan reca tak berkepala/Aldino Jalu Seto

Menjadi Realitas

Kini, setelah sekian lama saya percaya terhadap dongeng reca tersebut, besar keinginan saya untuk melihat benda itu secara langsung. Berangkat dari pertanyaan sederhana, “Apakah benda itu benar ada?”

Seolah pertanyaan tersebut ingin memberikan tantangan, bahwa “dongeng” tentang keberadaan reca yang telah lama dikonsumsi ini, dapat dipatahkan menjadi kebenaran setelah reca ditemukan. Pertanyaan tadi membawa rasa optimis akan menemukannya. 

Sebelum terjun ke lapangan, saya mencoba mencari data tentang areal pabrik tersebut. Sayang, informasi tentang jejak peninggalan Hindu-Buddha tak ketemu. Saya mencoba menyusuri sebuah jalan penghubung antara Desa Danyangan dengan Gatak yang terletak di area persawahan. Hasilnya nihil.

Beberapa bulan kemudian, kembali saya menyusuri areal tersebut. Di sepanjang jalan pabrik mati terdapat pertigaan jalan. Pada ekspedisi kedua ini saya mengambil jalan ke arah barat. Saya menggunakan sepeda motor, berjibaku dengan tanah yang basah bekas hujan. Kadang kala, ban motor saya yang tidak diatur untuk area lumpur tergelincir. 

Saya mencoba mencari jalan yang belum pernah saya lalui sebelumnya. Harapannya, saat melewatinya ada sesuatu yang dapat ditemukan. Sekitar 200 meter terdapat jembatan kecil yang menghubungkan antarparit. Terdapat sebuah bangunan yang menonjol di parit tersebut, masyarakat Jawa biasa menyebutnya buk (tembok rendah). Dari situ saya ambil jalan ke arah kanan masuk di kebun sengon sekitar 20 meter, kemudian belok kanan. 

Dari jauh samar terlihat seonggok batu yang berada di tengah jalan. Lambat laun, batu itu terlihat semakin besar ketika didekati. Ternyata ia tertanam di tanah. Setelah diperhatikan lebih lama, ternyata terdapat tangan menyerupai bentuk tangan manusia di batu tersebut. “Perjalanan berbuah manis,” kata saya dalam hati.

Batu itu tak berbentuk bulat, melainkan seperti badan manusia yang menancap di tanah. Bahkan jika dibandingkan, lebih besar dari badan saya—tinggi saya 166 cm dan berat badan hampir 60 kg. “Tak dapat diragukan lagi, itu dia,” saya melanjutkan penelusuran.

Ia duduk bersila, tangannya menengadah di pangkuannya. Sepertinya tak berbaju hingga dadanya terlihat seperti laki-laki telanjang. Sebagian kakinya masih ada di dalam tanah. Belum dapat diketahui seberapa besar reca ini. Yang pasti kondisinya miris. sebagian tangan kanannya sudah patah dan hilang, serta sudah tak punya kepala. 

Di bagian punggungnya sudah terdapat tanda. Kurang jelas bertuliskan apa, tapi sepertinya “60”. Karena saya bukan seorang sejarawan atau arkeolog, pertanyaan tentang reca ini—dari mana asalnya, siapa pembuatnya, dari agama apa, bagaimana sejarahnya—tak bisa saya jawab, malah hanya berputar di kepala saya.

Yang sangat disayangkan lagi, saya tak bisa langsung mengetahui bagaimana wajah dari reca ini karena kerusakannya. Minimnya informasi valid mengenai keberadaannya menjadi kendala buat saya menerangkannya. 

Beberapa bulan sebelumnya, saya sempat singgah di Rumah Arca Boyolali. Kata penjaga tempat wisata tersebut, memang banyak arca atau reca yang ditemukan di daerah Ketaon, Banyudono. Bahkan sebagian besar koleksi di tempat itu bisa dibilang ditemukan di wilayah tersebut. 

Namun, kadang terdapat sebuah kepercayaan untuk tidak memindahkan arca dari lokasi penemuannya karena masih dipercaya sebagai barang yang sakral oleh masyarakat. Atas dasar itu, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah memindahkannya. Sayang sekali sangat sedikit bahan bacaan yang bisa dibagikan kepada pengunjung tentang benda-benda bersejarah di sana. 

Sulitnya informasi mungkin membuat masyarakat tidak mengetahui seberapa berharga pusaka, reca, bangunan cagar budaya, atau peninggalan bersejarah lainnya. Sehingga perusakan seperti yang ada di Umbul Sungsang menjadi wajar bagi para oknum. 

Banyudono menjadi potensial untuk menggali epos-epos tentang kerajaan, agama, identitas masyarakat lokal—setidaknya bagi wilayah sekitarnya. Pencarian yang saya lakukan hanyalah hal kecil. Sangat disayangkan sekali pertemuan dengan reca yang sudah dicari dua puluhan tahun ini berujung pada pertemuan dalam kondisi mengenaskan. Seolah kehilangan kegagahan masa lalunya.

Tapi, mau tak mau, reca ini tetap menjadi benda penting. Penting dalam melengkapi kepingan-kepingan sejarah Banyudono yang belum terangkai secara utuh. Penting sebagai pengetahuan untuk mempertahankan identitas tempat ini. Bahkan, penting dalam merekonstruksi pemikiran tanah kelahiran banyak orang. 

Di sisi lain, secara pribadi, perasan puas telah menemukan reca ini menjawab kegelisahan saya selama puluhan tahun. Akhirnya dongeng itu tak hanya menjadi dongeng belaka, tetapi menjelma menjadi realitas dalam sebuah usaha membentuk narasi kebenaran sejarah yang utuh.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-sejarah-di-sekitar-kita-pertemuan-dengan-arca-tak-berkepala/feed/ 0 46826
Cerita Pabrik Es Saripetojo Cirebon https://telusuri.id/cerita-pabrik-es-saripetojo-cirebon/ https://telusuri.id/cerita-pabrik-es-saripetojo-cirebon/#respond Thu, 03 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46532 Es batu dari pabrik di pesisir pantai ini mendinginkan minuman noni dan tuan kompeni, ketika mereka tinggal di Cirebon—yang sejak dulu kesohor dengan udara panasnya. Menenggak minuman es, tentu menyegarkan dahaga orang-orang Belanda itu. Letak...

The post Cerita Pabrik Es Saripetojo Cirebon appeared first on TelusuRI.

]]>
Cerita Pabrik Es Saripetojo Cirebon
Bagian depan Pabrik Es Saripetojo yang merupakan bangunan cagar budaya/Mochamad Rona Anggie

Es batu dari pabrik di pesisir pantai ini mendinginkan minuman noni dan tuan kompeni, ketika mereka tinggal di Cirebon—yang sejak dulu kesohor dengan udara panasnya. Menenggak minuman es, tentu menyegarkan dahaga orang-orang Belanda itu.

Letak pabrik es tak jauh dari pelabuhan. Memudahkan kru kapal jika memerlukan es batu segar untuk mengawetkan hasil tangkapan, atau keperluan lain penunjang logistik selama berlayar. Tak terkecuali membuat minuman dingin setelah mandi keringat dibakar matahari dermaga.

Masyarakat mengenalnya Pabrik Es Kasepuhan. Padahal nama aslinya: Saripetojo. Dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1933, Saripetojo Cirebon merupakan anak perusahaan Saripetojo Bandung yang beroperasi sejak 19 November 1931 di Jalan Deendelsweeg No. 24. Keduanya cabang dari NV Verenigde YS Fabrieken, Surabaya.

“Saripetojo Cirebon ada sejak 1933, bersamaan dengan kelahiran Persib Bandung,” kata Irwan Hidayat, pekerja Bagian Umum pabrik es dekat Alun-alun Sangkala Buana itu kepada penulis beberapa waktu lalu. 

Sayang, ketika mengunjungi Saripetojo untuk ketiga kalinya pada Rabu (12/2/2025), Irwan sudah tak di sana. Beruntung, Hendrarto R. selaku pimpinan yang baru, berkenan saya temui. Kami ngobrol di samping ruang kantor sementara, dekat tiga cooling tower yang menumpahkan air serupa hujan.

“Air dari cooling tower itu untuk mendinginkan amonia, yang berperan semisal ‘freon’ bagi pabrik es,” ujar pria yang akrab disapa Hengki.

Bagunan kantor utama sedang direnovasi. Hengki menyebutnya bukan bagian dari cagar budaya, sehingga boleh direhab sesuai kebutuhan. Dia menjelaskan bagian yang termasuk cagar budaya mulai tembok depan pabrik sampai ke dalam. Termasuk rangka besi penopang atap masih asli zaman Belanda.

  • Cerita Pabrik Es Saripetojo Cirebon
  • Cerita Pabrik Es Saripetojo Cirebon
  • Cerita Pabrik Es Saripetojo Cirebon

Ditetapkan Jadi Cagar Budaya

Pemerintah Kota Cirebon menetapkan pabrik es Saripetojo sebagai cagar budaya melalui Peraturan Wali Kota Nomor 19 Tahun 2001 tentang Perlindungan dan Pelestarian Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya di Kota Cirebon. Sebagaimana tertera dalam plang resmi yang terpancang di sisi kiri area muka pabrik.

Kalau masih ingat, dulu soal status cagar budaya Saripetojo di Surakarta sempat menimbulkan polemik antara Wali Kota Joko Widodo dengan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo. Persoalan tahun 2011 silam: Bibit maunya bekas bangunan pabrik es Saripetojo dibuat mal, sementara Jokowi pilih cagar budaya. Seketika Saripetojo jadi buah bibir, melambungkan nama Jokowi. Akhirnya Saripetojo diputuskan sebagai cagar budaya, sementara kepala daerahnya melenggang ke Jakarta menjabat DKI 1, kemudian Presiden RI dua periode (2014–2024). 

Pemerintah kolonial Belanda membangun Saripetojo di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Ketika Jepang masuk Indonesia tahun 1942, mereka merebut manajemen Saripetojo lewat Dai Sehjo Kojo yang berpusat di Jakarta. Tahun 1946–1958, NV Verenigde YS Fabrieken merevitalisasi cabang-cabangnya dalam upaya peningkatan kapasitas produksi es.

Pada 1958, pemerintah RI mengambil alih Saripetojo. Kemudian, melalui Peraturan Perdana Menteri RI tanggal 14 Desember 1964, Saripetojo dikelola oleh Perusahaan Nasional (PN) Parwita Jasa. Tahun 1979–1999, lewat Peraturan Daerah Provinsi DT I Jabar No. 15/PD-DPRD-GR/64 serta perubahannya No. 8 Tahun 1979, disebutkan bentuk usaha Saripetojo sebagai Perusahaan Daerah Makanan Minuman Kerta Sari Jawa Barat (PD Kerta Sari Mamin Jawa Barat).

Tahun 1999 hingga Juni 2002, berdasarkan perda terbaru tahun 1999, PD Kerta Sari Mamin dilebur dengan perusahaan daerah lain menjadi PD Industri Provinsi DT I Jawa Barat. Lalu PD Industri Provinsi DT I Jawa Barat berubah badan hukum menjadi Perseroan Terbatas dengan nama PT Agronesia yang berdiri 17 Juni 2002 sampai sekarang, melalui SK Menteri Kehakiman RI. 

Hengki menerangkan, PT Agronesia memiliki empat divisi usaha, meliputi industri teknik karet, es, kemasan plastik, dan makanan-minuman. Pabrik Saripetojo dikelola divisi industri es. Terdapat empat lokasi di Jawa Barat: Bandung, Bogor, Sukabumi, dan Cirebon. “Tadinya di Karawang ada, tapi sudah dijual,” bebernya.

Dalam buku Jejak Pengabdian Birokrat, Kiprah Agus Mulyadi Memajukan Kota Cirebon disebutkan, ayah Sekda dan Pj. Wali Kota Cirebon itu sempat berdinas di Saripetojo Karawang, sebelum pensiun sebagai Kepala Saripetojo Cirebon tahun 1970-an.

“Ketika ayahnya tugas di Saripetojo Karawang, Agus lahir pada 17 November 1968. ‘Saya cuma numpang lahir di sana,’ katanya lantas tertawa. (hlm. 2).

Hengki sendiri lama bertugas di divisi industri teknik karet, sebelum pindah ke Saripetojo Sukabumi dan baru akhir 2022 memimpin Saripetojo Cirebon. “Sebelum di Jalan Kasepuhan, dulu Saripetojo Cirebon ada di Jalan Lawanggada,” sebut lelaki asli Magelang itu.

Cerita Pabrik Es Saripetojo Cirebon
Plang resmi cagar budaya dari Pemkot Cirebon/Mochamad Rona Anggie

Kompetitor Bermunculan, Persaingan Ketat

Saat ini Saripetojo memasuki usia ke-92 tahun. Tantangan bisnis menghampiri. Pabrik es serupa bermunculan di Cirebon dan Indramayu. Harga jual otomatis bersaing. Belum lagi, tim pemasaran masing-masing pabrik terjun langsung ke konsumen. “Sekarang ada sekitar 11 pabrik es di Cirebon. Persaingannya ketat,” kata Hengki.

Berdiri di atas lahan seluas 800 meter persegi, lanjut dia, tiap bulan Saripetojo mampu memproduksi ratusan ton es balok (block ice). Ini adalah produk unggulan primadona pelanggan. Per balok dijual kisaran Rp20.000 dengan berat bersih 50 kg. Konsumen utama es balok Saripetojo berasal dari Cirebon, Kuningan, dan Majalengka. Permintaan es juga datang dari daerah Kluwut, Brebes, Jawa Tengah. 

“Tapi sekarang pesanan es untuk nelayan di Kluwut cenderung menurun. Karena sudah banyak kapal besar yang memiliki ruang pendingin. Jadi, tak perlu banyak es lagi,” ucap Hengki.  

Menurutnya, ada alasan para pelanggan setia pada produk es balok Saripetojo. Dari testimoni mereka terungkap bila kualitas susut atau proses mencairnya cukup lama. Tampilan es balok juga bening, menunjukkan penggunaan sumber air bersih terpercaya. 

Saripetojo menawarkan pula tube ice; es bentuk kotak-kotak kecil, yang biasa diserok pelayan restoran untuk mendinginkan segelas minuman. Tube ice dijual per canvil (plastik besar setara 30 kg). Ada juga crusher ice, es hasil serutan yang sering kita dapati saat menikmati es campur. Model es ini banyak dipesan pengusaha tambak udang dari daerah Gebang dan Bungko (Cirebon Timur). Crusher ice adalah “nyawa” jaminan keawetan udang untuk pasar ekspor maupun lokal.

Di bagian depan Saripetojo ada dua mesin screw conveyor. Berguna untuk mencacah es balok menjadi potongan kecil. Pelanggan yang ingin mendapatkan serpihan es balok, mesti mengeluarkan biaya ekstra. “Yang membutuhkan potongan kecil biasanya pengusaha udang dan rajungan. Termasuk nelayan dari Gebang dan Bondet,” tambah Hengki.

Maraknya bisnis rumah potong unggas dan penjualan daging ayam eceran di banyak titik belakangan ini—tidak terpusat di pasar atau supermarket lagi—menambah permintaan es di Saripetojo. Tak terkecuali industri pengolahan ikan, yang menggantungkan kesegaran produk pada ketersediaan es batu. 

Selain untuk mengawetkan makanan, es balok Saripetojo berjasa pula mendukung proyek pembangunan PLTU Kanci di Cirebon Timur dan Bendungan Jatigede di Sumedang. “Es balok dari Saripetojo dimanfaatkan untuk pengerasan campuran bahan material,” terang Hengki. Bila memakai air biasa pengerasan dirasa lamban, akhirnya air hasil pencairan es balok Saripetojo jadi pilihan. Saripetojo sempat rutin mengirim tiga truk es ke PLTU Kanci dalam sehari. Tiap truk memuat 120 es balok. 

Cerita Pabrik Es Saripetojo Cirebon
Konsumen membawa es balok memakai becak motor. Saripetojo melayani pembelian eceran untuk pedagang kecil dan skala besar untuk industri pengolahan ikan. Tampak di belakang “belalai” mesin screw conveyor/Mochamad Rona Anggie

Pembekuan Es Balok 24 Jam

Hengki menjelaskan, proses pembuatan es balok berlangsung 24 jam. Produksi dilakukan setiap hari. Siang, tabung-tabung pencetak es diisi air bersumber dari Perumda Tirta Giri Nata Kota Cirebon. Malamnya, es dipanen. “Aktivitas pembelian ramai mulai jam sepuluh malam sampai subuh,” ujarnya.

Guna melayani pembeli siang hari, malam hari sebagian tabung ada yang diisi air lagi untuk mencetak es. Seperti yang penulis lihat, pagi itu pukul 10.00 ada es balok baru jadi yang bisa dibeli. Proses akhir “kelahiran” es melalui perendaman di kolam air. Bertujuan memudahkan pelepasan es yang membeku dari tabungnya. 

Dua petugas siaga. Setelah menunggu sekian menit, sebuah tombol dipencet untuk mengangkat tabung-tabung yang kemudian digulingkan ke lantai. Es balok meluncur keluar ruang pembuatan es, melewati lorong menuju area jual beli. Ada 19 balok es ditumpahkan deretan tabung pencetak yang disebut ray (bahasa Belanda). “Di sini per ray memuat 19 es balok. Pabrik lain ada yang hanya 13 balok,” terang Hengki.

Pengisian air ledeng untuk pembuatan es balok (kiri) dan es-es balok yang telah “lahir”/Mochamad Rona Anggie

Petugas yang membawa besi pengait (gancu), lantas “membacok” sisi samping es balok dan menariknya ke dekat konsumen. “Dari zaman Belanda pembuatan es, ya, seperti itu,” ucap Hengki yang menemani saya mendokumentasikan “persalinan” es. Saripetojo masih memakai tenaga manusia dalam proses pembuatan dan pelepasan es balok, karena memang belum memiliki mesin berteknologi mutakhir yang serba otomatis. “Kalau di pabrik es negara lain, robot yang mengoperasikan mesinnya,” imbuh lelaki 52 tahun itu.  

Setelah tabung pencetak menumpahkan es balok, tabung yang kosong diisi kembali dengan air ledeng dari kran-kran yang terpasang memanjang. Ada tuas untuk buka-tutup kran. Kemudian sebuah tombol ditekan, deretan tabung bergerak menjauh ke ujung bangunan. Selanjutnya proses kimiawi pembekuan air menjadi es balok dilakukan dalam rendaman air garam. 

Menurut Hengki, walau persaingan bisnis es balok sekarang sangat ketat, Saripetojo tak mau ikutan membanting harga. Pihaknya berkomitmen menjalankan bisnis secara sportif sesuai mekanisme pasar. “Kami menjaga kepercayaan pelanggan dengan mempertahankan kualitas dan membangun relasi yang baik,” pungkasnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita Pabrik Es Saripetojo Cirebon appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-pabrik-es-saripetojo-cirebon/feed/ 0 46532
Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2) https://telusuri.id/menapak-tilas-sejarah-pamekasan-melalui-kuburan-keramat-2/ https://telusuri.id/menapak-tilas-sejarah-pamekasan-melalui-kuburan-keramat-2/#respond Thu, 19 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42703 “Tokoh kali ini hampir mirip dengan legenda yang ada di rumahmu,” ucap Royyan.  “Ada hubunganya dengan Aryo Menak Senoyo?” selidikku.  “Ya, di Madura ada dua tokoh legenda yang menikahi peri. Jaka Tarub mencuri kain seorang...

The post Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
“Tokoh kali ini hampir mirip dengan legenda yang ada di rumahmu,” ucap Royyan. 

“Ada hubunganya dengan Aryo Menak Senoyo?” selidikku. 

“Ya, di Madura ada dua tokoh legenda yang menikahi peri. Jaka Tarub mencuri kain seorang putri kayangan dan disembunyikan di lumbung padi. Kisah semacam itu juga terjadi pada Aryo Menak,” jawabnya. 

“Kok bisa di Pamekasan ada makam Jaka Tarub. Bukannya kisah itu dari Jawa Barat?” tanyaku.

“Mungkin di akhir hidupnya Jaka Tarub menepi ke Madura,” candanya.

“Seru juga nyari-nyari makam sambil belajar,” sahutku. 

“Kita cari makan dulu, ya,” ucap Royyan terlihat lemas. “Siang-siang gini enaknya makan bakso, yang pedes-pedes, berkuah.”

Aku tergiur, mengiyakan. Setelah beberapa menit berjalan, di tepi terlihat sebuah warung rujak cingur yang membuat Royyan berubah pikiran.

“Makan rujak cingur aja, ya. Kayaknya enak, tuh,” ucapnya. Aku menepi. Kami memesan dua rujak cingur dan es teh. Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan. 

Tapi, lokasi yang kami tuju terlewati. Kami kebablasan sekitar 500 meter. Untung Royyan sigap menyuruhku berhenti.

“Balik. Aku sedikit lupa. Dulu ke sini juga karena diajak teman,” katanya. 

Aku putar balik dan memasuki gerbang bertuliskan “Wisata Religi Jaka Tarub”.

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2)
Gerbang Wisata Religi Jaka Tarub/Samroni

Makam Jaka Tarub

Setibanya di tempat, ternyata areanya cukup luas. Terdapat penginapan dan juga langgar yang sangat terawat. Tiga orang tua di langgar sedang memerhatikan kami.

“Ini juga cagar budaya, ya?” tanyaku sambil memarkirkan motor. 

“Ya. Ayo, masuk,” jawab Royyan. 

Kami masuk setelah membuka jaket karena banyak pohon bambu yang menaungi dan udaranya cukup sejuk. Jalan masuk kompleks makam dinaungi atap galvalum. Di situ, seorang wanita paruh baya sedang duduk. Ia menyapa dan menyilakan kami masuk.

“Paling itu juru kuncinya,” bisikku. Royyan terus berjalan, tak menanggapi.

Jalan menuju makam dibatasi pagar. Sejauh mata memandang, pohon-pohon bambu tumbuh subur. 

“Di sini ada larangan untuk tidak menebang atau mengambil bambu,” Royyan memberi tahu. 

“Kenapa?” tanyaku. 

“Nanti kamu tahu sendiri,” jawabnya. Kami masuk ke kompleks makam. Tempat itu tak memiliki makam sebanyak yang kami jumpai di kompleks makam Ronggosukowati dan Raja Pamelingan. Sepertinya, kompleks ini khusus makam Jaka Tarub beserta keturunannya. 

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2)
Peziarah mengaji di kompleks Makam Jaka Tarub/Samroni

Setelah kami masuk, ternyata ada orang lain selain kami. Ada dua pemuda sedang mengaji di samping makam Jaka Tarub. Karena masih suasana lebaran, barangkali mereka sedang ziarah. Selain nyekar ke makam kerabat, orang Madura juga berziarah ke makam-makam yang dikeramatkan. Penampilan kedua orang itu terlihat seperti santri. Kami menghampiri makam Jaka Tarub setelah dua pemuda itu selesai mengaji.

“Di cungkup itu, ada makam Dewi Nawang Wulan dan anaknya Nawang Sasi,” ucap Royyan. Dari bentuk makam, semua sudah terlihat modern. Batu nisannya sudah menggunakan keramik dan marmer palsu, seperti rumah-rumah orang Madura masa kini.

“Dari legenda yang kutahu, Ki Ageng Tarub tidak memperbolehkan warga memotong sapi karena hewan itu dianggap telah berjasa menyusui Ni Endang Nawang Sasi saat ditinggal ibunya, Nawang Wulan.” kisah Royyan. 

“Berarti hampir sama dengan cerita Aryo Menak yang ditinggal istrinya setelah menemukan selendangnya?” responsku. 

“Ya, begitulah,” jawab Royyan sekenanya. “Bambu di sini juga dilarang diambil karena menurut legenda, bambu-bambu itu berasal dari sujen ayah Aryo Tarub, Ki Ageng Tarub dan ibunya, Ni Endang Kembang Lampir. Bambu-bambu itu disakralkan.” 

Kesakralan tersebut membuat bambu-bambu itu ditulisi nama pengunjung yang berharap segera berjodoh, mengawetkan hubungan, atau membuat mereka berumur panjang.

Makam Jaka Tarub cukup besar, dikelilingi beberapa makam tak bernama. Di utaranya ada makam Syekh Maulana Maghribi. Namanya terdengar seperti orang Timur Tengah yang kuasumsikan penyebar Islam di Madura. Tempat ini dikelilingi pohon bambu dan kolam berair keruh yang meruapkan aroma kurang sedap. Ketika kami keluar dari kompleks makam, terlihat satu keluarga menggantikan kami. Di jalan keluar, kami dicegat juru kunci untuk mencicipi camilan. Untuk menerima berkah, katanya. 

“Kok kayak di gereja, ya,” ucap Royyan. Kami menolaknya dengan meminta maaf.  Royyan berbelok ke toilet. 

Aku berteduh di langgar untuk melihat-lihat sekitar sambil berbasa-basi dengan beberapa orang. Di kejauhan, aku melihat beberapa orang sedang berkumpul di depan papan silsilah. Seseorang terlihat sedang menjelaskan nasab Jaka Tarub. Aku ikut bergabung dan menyimak. Royyan yang sudah datang dari toilet ikut nimbrung.

Ternyata, Jaka Tarub adalah putra Syekh Maulana Maghribi dan Nawangsih. Sementara itu, Jaka Tarub menikah dengan Dewi Nawang Wulan, sang bidadari. Jika dilihat dari papan silsilah. 

“Wah, hebat ya, mereka keturunan putri kayangan. Jadi pengen juga,” celetuk Royyan. Aku menahan tawa. 

Kami memutuskan untuk menyudahi perjalanan ini dan beranjak ke petualangan selanjutnya. 

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2)
Vihara Avalokitesvara/Samroni

Vihara Avalokitesvara 

Kami melanjutkan perjalanan ke arah timur, menuju Vihara Avalokitesvara. Gang menuju Vihara dipenuhi rimbun pohon dan tambak udang yang memantulkan cahaya. Jalan ini cukup bersih dan beraspal. Vihara Avalokitesvara adalah candi Dewi Kwan Im atau Gwan Ying. Dari sumber yang kubaca, arca Dewi Kwan Im di vihara ini ditemukan oleh seorang petani pada 1800-an. Arca-arca di vihara tersebut merupakan patung Buddha aliran Mahayana Majapahit.

“Sebenarnya, dari beberapa buku yang kubaca, Candi Burung di Proppo adalah tempat pertama arca-arca di sini. Tapi, karena akses ke sana cukup sukar dan jauh dari dermaga, akhirnya arca-arca itu ditempatkan di kuil ini. Proppo gagal membangun candi sehingga lokasi semula itu dinamai candi burung yang artinya ‘kuil yang urung (dibangun)’,” ceritaku yang diamini Royyan.

“Dulu, Buddha di Pamekasan sangat kuat, menjadi agama resmi negara Jhâmbringèn yang sekarang menjadi Proppo. Itulah mengapa Pamekasan adalah wilayah di Madura yang paling lambat dimasuki Islam. Peninggalan-peninggalan ini sebagai bukti,” tambahnya. 

Kami memutuskan pergi setelah menghabiskan sebatang kretek. Senja mengakhiri perjalanan ini dan kami melepas penat di kedai tepi pantai di Jalan Raya Pamekasan–Sumenep. Di sana, banyak muda-mudi menunggu surya terbenam. Aku memesan es degan, Royyan memesan sempol seukuran jempol.

“Capek, ya. Nanti pasti bisa tidur nyenyak,” kata Royyan.  

“Lumayan lelah, tapi terbayarkan,” sahutku. “Senang bisa mengisi akhir pekan dengan hal-hal seperti ini. Ada banyak pengetahuan baru yang kuperoleh,” pungkasku.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menapak-tilas-sejarah-pamekasan-melalui-kuburan-keramat-2/feed/ 0 42703
Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1) https://telusuri.id/menapak-tilas-sejarah-pamekasan-melalui-kuburan-keramat-1/ https://telusuri.id/menapak-tilas-sejarah-pamekasan-melalui-kuburan-keramat-1/#respond Tue, 17 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42664 Hari yang cerah. Sinar matahari menyengat. Memasuki badan, menembus baju. Pagi itu kami menyusuri kota Pamekasan. Aku dan temanku, Royyan, sudah berangkat dari titik kami janjian. Di utara Jalan Monumen Arek Lancor, setelah melewati Masjid...

The post Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Hari yang cerah. Sinar matahari menyengat. Memasuki badan, menembus baju.

Pagi itu kami menyusuri kota Pamekasan. Aku dan temanku, Royyan, sudah berangkat dari titik kami janjian. Di utara Jalan Monumen Arek Lancor, setelah melewati Masjid As-Syuhada yang dibangun pada masa pemerintahan Ronggosukowati, kami melalui gedung Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) bekas karesidenan zaman Belanda yang masih kokoh berdiri; barangkali sudah direnovasi beberapa kali. 

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)
Royyan dengan latar tugu plakat makam/Samroni

Makam Ronggosukowati

Hari itu aku diajak Royyan untuk meniti silsilah Panembahan Ronggosukowati yang sudah tak banyak diketahui pemuda Pamekasan. Kala itu kami memiliki tujuan yang tak biasa, menyelinap di riuhnya pasar untuk mengunjungi makam Raja Pamekasan yang tersohor itu.

Di samping pasar Jalan Agus Salim, terlihat tempat peristirahatan Raja Pamekasan yang diakui sebagai pahlawan di Pamekasan. Kami berhenti di pinggir jalan yang bersebelahan dengan pasar. Kompleks pemakaman itu kurang terlihat dengan jelas karena tertutup mobil yang parkir sembarangan. Tak ada tempat parkir khusus meskipun tempat ini cagar budaya. Aku memarkirkan motor di samping tugu plakat makam. Di seberang jalan kulihat pasar masih ramai.

Setelah memasuki kompleks makam Ronggosukowati, ternyata tempat itu lebih tinggi daripada tanah di sekitarnya. Di sebelah barat terhampar sawah dan di selatan ada pemukiman warga Kolpajung. Denah pada makam Panembahan Ronggosukowati berjenjang ke belakang. Itu berarti halaman utama dan paling sakral adalah halaman paling belakang. Makam Ronggosukowati ada di ujung utara, beratapkan cungkup bersusun dan mustaka yang hampir sama dengan pucuk Masjid Demak. 

Halaman pertama memiliki posisi paling rendah dan terbagi menjadi barat dan timur yang dibatasi jalan. Di bagian barat ada cungkup makam RTA Tjakra Adiningrat I, Bupati Pamekasan periode 1745–1790. Bangunannya dipengaruhi gaya arsitektur kolonial. Kukira bangunan ini memang didirikan saat zaman kolonial; terlihat dari modelnya. 

Semakin ke dalam, tempat ini semakin tinggi. Ada tiga halaman sebelum kita masuk ke halaman pusat makam Ronggosukowati. Uniknya, ada gapura di setiap halaman. Di halaman terakhir, ada makam Panembahan Sukowati dan istrinya, Ratu Inten, persis di sebelah barat makam. Cungkup dan makam Ronggosukowati bercat putih dan warna emas yang membuatnya terlihat elegan dan berbeda dari makam lainya.

“Tak ada juru kunci makam, ya,” ucapku. 

“Tak masalah karena pengetahuanku tentang tempat ini sudah melebihi juru kunci makam,” jawab Royyan tersenyum.

Desain interior makam panembahan Ronggosukowati berukir gunungan dengan nisan yang ditatah. Gunungannya berpahat simbar dengan warna emas mencolok dan putih. Tempat makam yang tinggi juga menunjukkan sisi kekeramatan makam ini. Mungkin ini menunjukkan pengaruh Ronggosukowati terhadap Pamekasan.

  • Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)
  • Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)

Ronggosukowati adalah pemimpin yang berjasa bagi Pamekasan karena bisa menyatukan kerajaan Pamelingan dan Mandilaras. Tidak hanya itu, ia juga menjadi raja yang membangun Pamekasan dari keterpurukan. Tak ada pemimpin Pamekasan setelahnya yang bisa melampaui Ronggosukowati.

Tak ada pengunjung lain kala itu. Mungkin karena kami datang siang hari. Hal itu membuat kami leluasa, sebab kedatangan kami memang untuk melihat-lihat dan belajar sejarah Pamekasan. Sebenarnya, cungkup yang ada di sini juga sangat rendah, membuat kami harus membungkukkan badan. Barangkali, ini dilakukan supaya menambah kesakralan tempat makam Panembahan Ronggosukowati.

Cuaca panas yang kian menyengat membuat kami berteduh di bawah pohon yang rindang di belakang makam. Di sebelah barat, aku melihat sawah yang ditanami padi sedang menghijau.

“Sebat dulu. Perjalanan kita masih panjang,” ucap Royyan. Aku tak tahu dan suka dengan kejutan perjalanan selanjutnya yang akan ia tunjukkan kepadaku. Aku memerhatikanya mengisap sebatang rokok. Selesai sebat, kami memutuskan meneruskan perjalanan ke arah timur. Matahari sudah sejajar dengan pundak.

“Kita cari ATM dulu ya. Aku enggak pegang uang,” ucap Royyan. “Yang muda nyetir,” tambahnya. 

“Yang muda memang harus membuat gerakan, tapi, ya, enggak gini juga,” tawaku. 

Kami berangkat melewati Jalan Ronggosukowati, pelan, sambil memerhatikan sekitar untuk mencari ATM.

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)
Plang kompleks makam Raja Pamelingan/Samroni

Makam Raja Pamelingan

Di perjalanan, aku dikagetkan oleh Royyan yang grusa-grusu menepuk pundak sambil menyuruhku berhenti. Aku menepi. Ia turun untuk memastikan sesuatu.

“Ayo, mampir ke sana dulu. Mestinya ini juga jadi bagian dari perjalanan kita,” ucapnya sambil berjalan ke sebuah gang buntu. Aku mengikutinya. Setelah mencapai ujung gang, ada plang tertulis “Kompleks Makam Raja Pamelingan”.

Setibanya kami di kompleks makam, ada sebuah langgar dan beberapa orang dewasa yang sedang duduk fokus pada gawai tanpa menyadari kedatangan kami. Terlihat beberapa dari mereka sedang karaokean dan mengobrol.

Kami beranjak menuju makam. Dari kejauhan terlihat warna nisan dan cungkup yang menyilaukan mata, berwarna hijau terang yang makin terang karena matahari. Tak ada pohon-pohon yang menaungi. Makam Raja Pamelingan tak seluas makam Ronggosukowati. Yang berbeda dari makam lainnya adalah sebuah cungkup dan area makam yang lebih tinggi.

Aku mengikuti Royyan, lebih tepatnya membuntutinya sambil mendengarkan ia menceritakan sejarah makam-makam di tempat ini. “Pertemuan trah Pamekasan dan Sumenep baru terjadi kira-kira saat zaman Banuraga. Hulu trah Pamekasan jauh ke penguasa Singasari, sedangkan Sumenep berhulu ke Wiraraja,” jelasnya. Sebenarnya, ketika mendengarkan ia berbicara, aku merasa seperti didongengi kakek-kakek. Sayang, aku sudah tidak memiliki kakek.

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)
Makam Raja Pamelingan/Samroni

“Banuraga adalah Raja Negara Pamelingan di Lawangan Daya. Dikisahkan bahwa putranya, Ronggosukowati, memindahkan keraton ke Mandilaras dan mengubah negara menjadi Pamekasan,” ucap temanku itu saat ditanya perihal silsilah Ronggosukowati.

Di sana, kami hanya sebentar karena tak ada tempat berteduh. Panas membuat kami beranjak lebih cepat. Kami melanjutkan perjalanan ke arah timur. Di Jalan Bonorogo, aku menepi sebentar di Rumah Sakit Mohammad Noer. Di sana, Royyan mengambil duit ke ATM.

Kami melanjutkan perjalanan ke timur, menuju Talang Siring di perbatasan Pamekasan dan Sumenep.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menapak-tilas-sejarah-pamekasan-melalui-kuburan-keramat-1/feed/ 0 42664
“Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2) https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-2/ https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-2/#respond Fri, 16 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42517 Selesai beristirahat, kami berdua lanjut berjalan. Saya juga berkesempatan melihat beberapa makam di sekitar pesarean Ki Ageng Gribig. Bentuk nisannya jauh lebih sederhana daripada nisan-nisan yang kami saksikan sebelumnya. Menjelang akhir penelusuran, saya dan Titu...

The post “Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Selesai beristirahat, kami berdua lanjut berjalan. Saya juga berkesempatan melihat beberapa makam di sekitar pesarean Ki Ageng Gribig. Bentuk nisannya jauh lebih sederhana daripada nisan-nisan yang kami saksikan sebelumnya.

Menjelang akhir penelusuran, saya dan Titu akhirnya berjumpa dengan juru kunci tempat ini. Namanya Nurrasul. Ia sedang berada di sebuah gazebo yang difungsikan sebagai tempat cangkruk (kongko). Setelah Titu memberitahunya kalau kami tidak bisa masuk karena terkunci, ia kemudian mengantarkan kami ke makam Ki Ageng Gribig.

Seperti sebelumnya, kami juga hanya sebentar di dalam makam Ki Ageng Gribig. Kami lalu kembali menemui Nurrasul yang masih berada di gazebo.

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)
Nurrasul, juru kunci makam Ki Ageng Gribig/Dewi Sartika

Cerita dari Juru Kunci

Sungguh, saya dan Titu merasa beruntung bisa bertemu Nurrasul. Kami berdua mulai mengorek kisah tentang kawasan makam ini. Kepada kami, lelaki kelahiran 1961-an itu membuka cerita bahwa kompleks makam tersebut ada setelah bupati pertama Malang wafat.

“Kalau ditanya berapa luas pesarean ini, kurang lebih satu hektare, ya. Sementara penghuni makam di sini selain Ki Ageng Gribig dan bupati Malang, mereka harus kerabat dari keturunan bupati Malang,” ucap Nurrasul.

Mendengarnya penjelasan Nurrasul, akhirnya teka-teki keberadaan makam bupati Banyuwangi dan bupati Bondowoso di kompleks ini terjawab. Sekaligus menyudahi rasa penasaran saya.

Nurrasul menambahkan, di samping mereka yang masih keturunan keluarga bupati Malang, terdapat pula makam murid-murid Ki Ageng Gribig. Namun, untuk hal ini, ia tak mengetahui nama-nama murid tersebut mengingat umur makamnya sendiri sudah sangat tua. Ditambah tak ada keterangan nama pada nisan.

Lelaki yang mulai menjadi juru kunci lima tahun lalu itu menambahkan, biasanya makam-makam yang masih diziarahi para pengunjung atau keluarga memiliki ciri, yaitu makamnya dipagari. Sementara makam-makam tanpa pagar adalah kuburan tua yang tidak dikunjungi oleh keturunannya atau makam tak dikenal.

Saat saya bertanya tentang status cagar budaya makam ini, Nurrasul menjelaskan bahwa makam bupati Malang telah ditetapkan sebagai cagar budaya karena merupakan bangunan asli. Saya pun teringat dengan sebuah papan yang tertempel di dinding, isinya penetapan bangunan yang dilindungi tersebut. Ia juga memperkirakan, bangunan makam itu ada setelah Raden Adipati Ario Notodiningrat II dan Raden Tumenggung Notodiningrat I wafat.

  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)

Lebih lanjut, dari cerita yang beredar, dulunya bangunan makam tersebut akan dipakai sebagai masjid. Namun, karena suatu hal, rencana itu terlaksana. Sejauh ini, dua bangunan makam utama bupati Malang hampir tidak mengalami perubahan berarti sejak didirikan, mulai dari tembok hingga kayu. Dari keterangan Nurrasul, satu-satunya yang berubah hanyalah genteng bangunan yang pernah rusak kemudian diganti di masa kepemimpinan Bupati Abdul Hamid Mahmud (1985–1995).

“Yang jelas makam Ki Ageng Gribig ini sudah ada terlebih dahulu ketimbang dua makam bupati. Karena Ki Ageng Gribig ini sangat dihormati, maka bupati Malang pertama berpesan kepada penerusnya untuk dikubur berdekatan dengan Ki Ageng Gribig,” jelas pria yang tinggal tak jauh dari makam itu.

Nurrasul pun menyebut jumlah makam di kompleks ini di atas 100, dengan jumlah makam yang ada penandanya sebanyak 160 makam. Sementara itu, makam Ki Ageng Gribig ternyata bukanlah makam tertua. Ia mengatakan masih ada makam yang jauh lebih tua. Diperkirakan makam tersebut berasal dari abad ke-16 Masehi atau masa akhir Majapahit yang ditandai dengan gambar matahari pada nisan.

Tentang nisan sendiri, ada satu hal yang membuat saya penasaran sejak masuk ke makam Raden Adipati Ario Notodiningrat II. Mengapa nisan mantan penguasa Malang tersebut disarungi kain?

Saat bertanya ke Nurrasul, jawabannya sangat sederhana. Supaya nisan tidak kotor.

“Nisan-nisan yang ada di makam ini ada yang terbuat dari teraso, ada juga yang dari kayu. Kalau nisan bupati kedua Malang dari teraso, sementara nisan Ki Ageng Gribig dari marmer, tetapi sudah diganti,” ujarnya.

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)
Makam Ki Ageng Gribig/Dewi Sartika

Tempat “Ngalap” Berkah yang Minim Perhatian

Kendati cukup sepi, bukan berarti tempat ini jarang dikunjungi. Dari keterangan Nurrasul, makam Ki Ageng Gribig banyak didatangi pengunjung saat Jumat Legi. Bahkan ada yang datang dari luar kota, seperti Pasuruan, Surabaya, Mojokerto, Temanggung, Cirebon, dan Jakarta. Kebanyakan pengunjung melakukan kegiatan yasinan dan tahlil. Sementara di hari biasa, makam ini dikunjungi orang-orang berlatar akademis yang hendak melakukan penelitian.

Omong-omong soal pengunjung, Nurrasul membagikan pengalaman menarik selama menjadi juru kunci makam. “Paling ramai itu sewaktu Pemilu kemarin. Banyak caleg (calon legislatif) yang datang ke sini untuk ngalap (mencari) berkah. Terus akhir-akhir ini juga beberapa calon wali kota Malang juga berkunjung. Ada yang datang antara jam 12 dan jam 1 pagi. Cerita ini saya dapat dari warga sekitar,” katanya.

Beberapa nama sempat ia sebut. Nama-nama yang sangat familiar di telinga saya, mengingat baliho dan poster mereka sering saya jumpai di jalan.

Lalu saat saya menanyakan biaya perawatan makam, ia memberitahu bahwa dana yang dipakai berasal dari kotak infak atau swadaya masyarakat sekitar. Hasilnya untuk kegiatan operasional, termasuk membayar tukang sapu makam. Tak ada bantuan dari Pemerintah Kota Malang atau Kabupaten Malang. Nurrasul mengungkap bantuan terakhir yang ia terima berasal dari Kabupaten Malang sekitar tiga tahun lalu. 

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)
Beberapa makam di samping bangunan makam Ki Ageng Gribig/Dewi Sartika

Warga Lesanpuro tersebut sehari-hari berada di makam mulai pagi hingga sore. Ketika siang tiba, ia akan pulang untuk beristirahat sebelum kembali bertugas. Ia juga bercerita mengenai buyutnya yang sudah menjadi juru kunci sejak tahun 1800–an. Dari cerita yang ia dapatkan, bupati pertama Malang-lah yang menunjuk langsung keluarga Nurrasul sebagai kuncen.

“Karena turun-temurun jadi kuncen, keluarga saya dimakamkan di sini termasuk buyut saya. Kalau saya nanti masih belum tahu, dimakamkan di sini atau tidak,” ucapnya. Ia sendiri menggantikan sang ayah sejak tahun 2019.

Saya tergelitik mengajukan sebuah pertanyaan kepadanya, bagaimana seandainya anak Nurrasul tak berminat meneruskan pekerjaan sebagai kuncen?

Ada alasan saya bertanya tentang hal ini. Bagi saya, minat generasi muda saat ini terhadap hal-hal yang berhubungan dengan sejarah atau nilai-nilai lokalitas terus-menerus menurun. Atau bahkan tidak tertarik sama sekali. 

Mendengar pertanyaan saya, Nurrasul menghela napas panjang. “Ya, kalau anak saya enggak mau, nanti yang menggantikan saya adalah adik saya,” jawabnya. Sebuah senyuman yang sedikit dipaksakan menghiasi wajahnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-2/feed/ 0 42517
“Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1) https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-1/ https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-1/#respond Wed, 14 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42503 Ketika matahari mulai berada di sepenggalah, motor yang dikendarai Titu Sunggari Lampung—atau biasa disapa Titu, sahabat saya, berhenti di depan sebuah kompleks pemakaman yang berada di Madyopuro, Kedungkandang, sebelah timur Kota Malang. Saya pun turun...

The post “Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Ketika matahari mulai berada di sepenggalah, motor yang dikendarai Titu Sunggari Lampung—atau biasa disapa Titu, sahabat saya, berhenti di depan sebuah kompleks pemakaman yang berada di Madyopuro, Kedungkandang, sebelah timur Kota Malang. Saya pun turun dari boncengan. Kami beranjak memasuki gerbang pemakaman.

Sebenarnya, keinginan saya untuk berkunjung ke tempat ini cukup besar sejak dulu. Namun, karena beberapa hal, saya baru bisa mewujudkannya baru-baru ini. Sejujurnya, meski sudah lama tinggal di Malang, tetapi keberadaan pesarean (makam) Ki Ageng Gribig baru saya dengar beberapa waktu lalu. Bukan cuma saya saja yang tidak tahu, melainkan juga masyarakat Malang pun tak banyak yang menyadari. Setidaknya hal inilah yang diakui juru kunci makam Ki Ageng Gribig yang sempat saya temui.

Akses menuju makam di Jalan Ki Ageng Gribig Gang 3 tersebut sangat mudah. Meskipun berada di pinggiran kota, tetapi jarak dari pusat kota hanya sekitar 25 menit. Bagi pengunjung luar kota, makam Ki Ageng Gribig juga bisa dicapai melalui pintu keluar tol Malang (Madyopuro) yang hanya berjarak kurang lebih 1,5 kilometer.

  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)

Sosok Ki Ageng Gribig

Suasana pagi di makam Ki Ageng Gribig pada Minggu (19/4/2024) terpantau sepi. Suasana asri menjadi hal pertama yang saya tangkap. Kami berdua lalu menghampiri lelaki yang saat itu sedang menyapu. Kami berpikir dia adalah juru kunci (kuncen) makam. Ternyata kami salah. Kepada kami, ia mengaku hanya petugas kebersihan makam. Ia kemudian memberitahu kami nama penjaga makam.

Sebelum berlalu, saya beranjak memasukkan selembar uang ke dalam kotak infak yang ada di dekat gerbang makam.  Setelah itu, saya dan Titu lanjut jalan untuk melihat-lihat area kompleks makam.

Makam Ki Ageng Gribig sebenarnya menjadi salah satu destinasi wisata religi yang ada di Kota Malang, selain Kelenteng Eng An Kiong yang terletak di pusat kota. Sesuai namanya, di kompleks makam ini memang terdapat kuburan Ki Ageng Gribig, tokoh penyebar Islam di Malang.

Diduga, Ki Ageng Gribig merupakan keturunan seorang kesatria bernama Menak Koncar dan berasal dari Mataram. Ia diperkirakan hidup pada abad ke-17. Saat itu, Kesultanan Mataram sedang gencar-gencarnya melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah lain, termasuk daerah Malang dan sekitarnya

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
Lorong hening/Dewi Sartika

 Ki Ageng Gribig dikirim ke wilayah tersebut untuk menyebarkan agama Islam. Semula Ki Ageng Gribig ditugaskan di Pasuruan, lalu setelah itu pindah ke Malang—dulunya masuk wilayah Pasuruan. Adapun Kampung Gribig sendiri kemungkinan sudah eksis sejak zaman Majapahit di bawah pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi.

Menurut Devan Firmansyah, pemerhati sejarah sekaligus penulis sejumlah buku tentang sejarah Malang Raya, menyebut identitas Ki Ageng Gribig di Malang cukup beragam. Ki Ageng Gribig disebut paman Sunan Giri, cucu Sunan Giri, cucu Raja Blambangan, atau cucu Untung Surapati.

Dari empat kemungkinan tersebut, Devan meyakini Ki Ageng Gribig di Malang bisa jadi  merupakan cucu Raja Blambangan (Menak Koncar) atau cucu Untung Surapati. Namun, ia belum bersedia berkomentar lebih lanjut tentang hal ini. “Nanti tak jadikan buku dulu, Mbak, biar enak membacanya,” jawabnya melalui pesan Whatsapp kepada saya.

Ya, ia memang sedang menyusun buku tentang sejarah Ki Ageng Gribig untuk diterbitkan. Selain menjelaskan latar belakang Ki Ageng Gribig, Devan juga masih berusaha menghubungkan Ki Ageng Gribig Jatinom di Klaten dengan Ki Ageng Gribig di Malang. 

“Ini yang masih menjadi PR (pekerjaan rumah) saya. Kedua tokoh tersebut ada hubungan apa,” sambungnya.

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
Bagian dalam bangunan makam bupati kedua Malang/Dewi Sartika

Menelusuri Dua Bangunan Makam Utama

Karena baru pertama kali menginjakkan kaki di sini, saya dan Titu secara acak melihat-lihat berbagai makam yang ada di kompleks. Pandangan kami lalu tertuju pada sebuah bangunan yang mencolok mata dengan dominasi warna putih pada dinding dan sepasang daun pintu bercat hijau. Dilihat dari bentuk pintu dan dua jendela yang berukuran besar, sepertinya bangunan tersebut sudah berusia tua.

Sebuah foto Raden Adipati Ario Notodiningrat II terpajang di samping pintu. Ia adalah bupati kedua Malang yang memerintah mulai tahun 1839 hingga 1884. Saya pun akhirnya menyadari di dalam bangunan tersebut terdapat makam.

Berhubung pintunya tertutup, semula kami ragu-ragu untuk masuk. Saya bahkan mengintip dari jendela untuk melihat bagian dalam. Tak berselang lama, kami pun memutuskan masuk. Selain pusara sang bupati yang berhias gorden putih dengan kain kuning menutupi nisan, juga terdapat beberapa nisan kayu kerabat dekat sang bupati.

Kami tak lama berada di dalam. Selanjutnya kami kembali melihat sejumlah makam yang ada di bagian depan bangunan tersebut. Salah satunya adalah kuburan Raden Ario Soeroadikoesoemo yang wafat pada 28 Juni 1946. Sebagaimana tulisan yang terpasang di pagar makam, disebutkan bahwa ia merupakan seorang pensiunan patih di Malang.

  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)

Setelah mengamati dari dekat, kami langkahkan kaki menuju tempat lain. Tepat di belakang bangunan pertama, ada bangunan lain yang bentuknya serupa dengan sebelumnya. Kali ini, tempat yang hendak kami masuki adalah bangunan makam Raden Tumenggung Notodiningrat I alias Raden Pandji Wielasmorokusumo. Dialah bupati Malang pertama selama periode 1819–1839.

Dalam Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo, dijelaskan bahwa kawasan Malang dahulu kala masuk dalam kekuasaan Kasunanan Surakarta. Oleh karena itu, para bupati Malang yang memerintah masih terhitung keturunan Surakarta. Tidak mengherankan bila sejumlah bupati Malang pun mempunyai gelar khas bangsawan Jawa.

Untuk menuju makam Raden Tumenggung Notodiningrat, kami harus belok melewati jalan kecil yang berada di samping bangunan pertama. Sesuai yang tertera di papan penunjuk, jalan ini dinamakan Lorong Hening. Saya tak mengetahui alasan di balik penamaannya.

Sebelum memasuki bangunan tersebut, ada sejumlah makam yang terletak di sekitarnya, seperti pusara bupati Banyuwangi, KRT. Ario Notodiningrat yang wafat 6 November 1918, maupun makam Raden Toemenggoeng Ario Notodiningrat yang menjabat sebagai bupati Bondowoso.

Sama seperti kuburan Raden Adipati Ario Notodiningrat II, di bagian dalam bangunan juga terdapat sejumlah makam. Persisnya 25 makam kerabat terdekat bupati pertama Malang tersebut. Bentuk makam juga tak beda jauh dengan sebelumnya, dikelilingi gorden dan pada nisan ditutupi kain kuning.

  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)

Makam Utama yang Lebih Sederhana

Selanjutnya, kami menuju pesarean paling kesohor di kompleks makam ini, yaitu Ki Ageng Gribig. Ketika berjalan, mata saya tertuju pada bangunan terbuka berisi kuburan yang dikelilingi pagar putih. Papan nama terpasang di langit bangunan bertuliskan Pesarean Nyai Kanigoro (garwo Sayyid Sulaiman Mojoagung). Dalam bahasa Jawa, kata garwo kurang lebih bermakna istri.

Nyai Kanigoro sendiri merupakan putri dari Ki Ageng Gribig. Ia dipersunting Sayyid Sulaiman, salah satu tokoh penyebar Islam di Jawa Timur. Kuburan Nyai Kanigoro berada tepat di depan makam Ki Ageng Gribig.

Dibandingkan dengan dua bangunan awal yang kami masuki, bangunan makam Ki Ageng Gribig terlihat lebih sederhana. Menurut saya, bangunannya menyerupai langgar (musala) kecil dengan dua pintu. Ketika hendak masuk, saya dan Titu harus mengurungkan niat karena kedua pintunya terkunci. Berhubung tak bisa masuk, kami pun memutuskan untuk beristirahat sebentar sambil menikmati kompleks makam yang asri dan rimbun. Bagi saya, kondisinya lebih mirip kebun raya.


Referensi

Aminudin, M. (2023, 26 Maret). Menilik Makam Ki Ageng Gribig, Tokoh Penyebar Islam di Malang. Diakses pada 22 Mei 2024 dari https://www.detik.com/jatim/budaya/d-6638958/menilik-makam-ki-ageng-gribig-tokoh-penyebar-islam-di-malang.
Aminudin, M. (2023, 27 Maret). Asal-usul Ki Ageng Gribig Sosok Penyebar Islam di Malang. Diakses pada 22 Mei 2024 dari https://www.detik.com/jatim/budaya/d-6640618/asal-usul-ki-ageng-gribig-sosok-penyebar-islam-di-malang.
Anggraeni, P. (2018, 12 September). Masjid An-Nur Celaket; Dibangun Keturunan Sunan Gunung Jati, Saksi Penyebaran Islam di Malang. Diakses pada 24 Mei 2024 dari https://jatimtimes.com/baca/178841/20180912/081400/masjid-annur-celaket-dibangun-keturunan-sunan-gunung-jati-saksi-penyebaran-islam-di-malang.
Mahmudan. (2024, 1 April). Ternyata Begini Sejarah Ki Ageng Gribig, Babat Alas dan Jadi Penyebar Islam di Malang Timur. Diakses pada 22 Mei 2024 dari https://radarmalang.jawapos.com/sosok/814502434/ternyata-begini-sejarah-ki-ageng-gribig-babat-alas-dan-jadi-penyebar-islam-di-malang-timur?page=2.
Widodo, D. I. (2006). Malang Tempo Doeloe. Malang: Bayumedia Publishing.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-1/feed/ 0 42503
Menapaki Jejak Tan Malaka di Rumah Kelahirannya https://telusuri.id/menapaki-jejak-tan-malaka-di-rumah-kelahirannya/ https://telusuri.id/menapaki-jejak-tan-malaka-di-rumah-kelahirannya/#respond Fri, 19 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42363 Tan Malaka, seorang pelopor kemerdekaan Indonesia, lahir dari rahim Pandam Gadang, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat pada 2 Juni 1897. Siapa sangka, di akhir hayatnya Tan Malaka mati dieksekusi tanpa proses peradilan pada 21 Februari...

The post Menapaki Jejak Tan Malaka di Rumah Kelahirannya appeared first on TelusuRI.

]]>
Tan Malaka, seorang pelopor kemerdekaan Indonesia, lahir dari rahim Pandam Gadang, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat pada 2 Juni 1897. Siapa sangka, di akhir hayatnya Tan Malaka mati dieksekusi tanpa proses peradilan pada 21 Februari 1949 di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, karena perlawanannya terhadap pemerintah Republik Indonesia yang dianggap kompromis terhadap Belanda (Haryanto via Tirto.id, 2023).

Tempat masa kecil Tan Malaka itu bernama Nagari Suliki. Tepatnya Gunuang Omeh, sebuah negeri yang terletak di sisi selatan Kota Padang dan Payakumbuh. Nagari Suliki didukung dengan sumber daya dan keelokan alamnya. Hal itu dapat dilihat dari letak geografis Nagari Suliki yang dialiri sungai dan dikelilingi perbukitan.  

Di negerinya, Tan Malaka dikenal dengan nama lengkap Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Terlahir dari seorang ibu bernama Rangkayo Sinah Simabur, salah satu putri dari keluarga yang terpandang, dan ayah bernama H. M. Rasad Bagindo Malano yang memiliki latar sebagai buruh tani.

Tan Malaka kecil tumbuh dengan ketangkasan dan kecerdasan berbasis pendidikan surau yang ada di sebagian besar wilayah Minangkabau silam. Maka ia pun tangkas pula dalam hal mengaji dan silat, seperti penuturan Zulfikar Kamaruddin—keponakan Tan Malaka dari garis ayah—dalam wawancara Mata Najwa: Kisah Bapak Republik Tan Malaka di Metro TV (12/7/2017).

Menapaki Jejak Tan Malaka di Rumah Kelahirannya
Tampak depan rumah Tan Malaka/Raja Syeh Anugrah

Kontradiksi

Namun, kebesaran Tan Malaka ternyata berbanding terbalik dengan kondisi rumahnya. Saya mendapati kondisinya amat memilukan. Bagi orang-orang yang pertama kali berkunjung ke rumahnya, seperti saya, spontan akan mengatakan, “Betapa tidak terawatnya rumah ini.”

Bahkan sekadar plang jalan yang menunjukkan “Rumah Tan Malaka” saja tidak ada sama sekali. Informasi itu hanya tertulis di dinding rumah warga yang sukar untuk orang ketahui. Sementara di aplikasi Google Maps, terdapat dua titik “Rumah Kelahiran Tan Malaka” yang mengantarkan ke tempat asing.

Alhasil, sebelum ke tempat sebenarnya, saya dan Kak Wina—seorang kakak senior di salah satu lembaga relawan sekaligus orang lokal dari Limo Puluh Koto—kala itu nyasar sekitar 4–5 km. Atau bisa dikatakan titik yang hendak kami tuju sudah jauh terlewat.

Jalanan yang tidak begitu lebar, berliku, dipenuhi kebun-kebun masyarakat, dan rumah-rumah yang jarang membuat kami agak kesulitan. Hal itu membuat kami harus kembali berputar setelah titik tuju yang tadi cukup jauh terlewat. Barulah akhirnya kami tiba di rumah kelahiran Tan Malaka yang berlokasi tepat di Gunuang Omeh, Suliki.

Setiba di sana kami mendapati hamparan halaman membentang, bangunan dengan ciri khas rumah Gadang, tiga buah kuburan, tiang bendera yang tengah berkibar, dan patung Tan Malaka tegak dengan gagahnya. Letaknya tak jauh dari tepi jalan raya Suliki.

Namun, di Lokasi saya tidak mendapati satu orang pun yang berjaga maupun yang sekadar memberikan informasi mengenai sejarahnya. Meskipun begitu saya masih bisa masuk karena memang tidak dikunci. Di dalam rumah terdapat beberapa buku koleksi yang sama sekali tidak terawat, foto-foto Tan Malaka, dan sederet orang-orang yang menyandangkan gelar Tan Malaka.

Kala menyaksikan betapa tidak terawatnya rumah Tan Malaka, sejenak saya bergidik, “Apakah cahaya sejarah di negeri ini sudah tidak hidup lagi sebagaimana esensi kesohoran namanya di tanah air ini?”

Merawat Sejarah

Sejarah kerap dianggap sangat membosankan. Di dalam sejarah hanya berkisah cerita masa lalu. Padahal jika dipahami benar, mereka yang membaca sejarah adalah orang-orang yang memiliki pandangan besar ke masa depannya. Sebab ia telah mengetahui bagaimana orang-orang terdahulu berjuang untuk peradaban.

Berdasarkan hasil diskusi ringan saya dengan beberapa teman dari Lima Puluh Kota, sebelum saya benar-benar pergi ke rumah Tan Malaka, sebagian di antara mereka tidak mengetahui benar siapa Tan Malaka dan peran besarnya terhadap bangsa. Ditambah keberadaan Tan Malaka di Suliki yang seharusnya dapat menjadi mercusuar informasi sejarah, justru malah tidak dihiraukan begitu saja.

Padahal ketika saya dan Kak Wina ke rumah Tan Malaka, di tangga rumahnya berdiri sebuah bangunan kecil yang tidak permanen bertuliskan “BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya)”. Bahwa memang benar, rumah Tan Malaka telah masuk ke dalam situs cagar budaya. Akan tetapi, skala perawatannya tidak berlanjut.

Jika kita tarik kembali ke masa lalu. Masa kecil Tan Malaka di negeri Suliki dihabiskan di surau, yakni sebuah tempat di mana sistem pendidikan tradisional Minangkabau dijalankan. Aktivitasnya seputar mengaji, bersilat, dan mendalami agama Islam. Dari sana kemudian Tan Malaka melanjutkan sekolah guru di Kweekschool, Bukittinggi yang sekarang berganti menjadi SMAN 2 Bukittinggi.

Selepas ia lulus, Tan Malaka disarankan oleh G. H. Horensma, gurunya di Kweekschool, untuk melanjutkan studi ke Belanda. Karena kendala ekonomi yang dihadapi, masyarakat negeri Suliki itulah yang turut membantu meringankan biaya Tan Malaka untuk berangkat ke Belanda, termasuk Horensma yang meminjamkan uangnya.

Tan Malaka memang dianggap sebagai komunis oleh sebagian orang. Namun, bukankah ia sudah menuliskan di autobiografinya “Dari Penjara ke Penjara”: saya di depan manusia adalah komunis, jika di depan Tuhan saya adalah seorang muslim, sebab di antara manusia banyak setan-setan. Penuturan dari keponakan Tan Malaka bahkan menyebut ia adalah seorang penghafal Quran.

Jadi, artian komunis memang ada betulnya disebabkan bergabungnya Tan Malaka ke dalam Komunis Internasional di Uni Soviet kala itu. Tan Malaka kemudian menyandang posisi sebagai perwakilan Partai Komunis di Asia. Itu pun tidak lama, Tan Malaka kemudian beralih dari kiblat komunis di Rusia setelah ia memberikan pendapat agar adanya perhatian khusus terhadap Pan-Islamisme. Namun, hal itu tertolak dan membuat Tan Malaka berjalan di garis ideologinya sendiri.

Sekiranya ini sekelumit kisah dari kesohoran Tan Malaka. Masih banyak hal lainnya, seperti saat Tan Malaka menjadi guru di perkebunan tembakau di Deli, Sekolah Rakyat di Semarang, hingga mengonsep Republik dan mendorong agar Indonesia merdeka seratus persen tanpa kooperatif. Sebab ucapnya, “Bahwa tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang ada di rumahnya.”

Merawat sejarah tidak hanya merawat ingatan singkat manusia, tetapi juga merawat pengetahuan masyarakat dari generasi ke generasi. Tujuannya agar tetap mengenal siapa itu Tan Malaka yang berasal dari negerinya, Suliki.

Luruskan Niat ke Rumah Tan Malaka

Saya sangat menyarankan bagi siapa pun yang hendak pergi ke rumah Tan Malaka, hal paling utama adalah luruskan niat. Ini agaknya remeh-temeh, tetapi memang benar. Bagi seseorang yang berniat baik untuk ke rumahnya, maka akan ada saja kemudahan.

Dari Kota Payakumbuh berjarak sekitar 33 km dengan waktu tempuh satu jam. Kalau dari Padang lebih jauh lagi, jaraknya 150 km dengan durasi perjalanan hampir empat jam. Di rumah Tan Malaka sama sekali tidak ada sistem tiket. Ini bukan objek wisata sejarah, melainkan lawatan minat khusus bagi yang hendak menapaki jejak kesejarahannya.

Untuk selanjutnya, pahami medan perjalanan dan baca-baca biografi Tan Malaka, agar ketika berada di sana kita dapat memahami esensi sejarah yang melekat pada rumah Tan Malaka dan pusaranya. Hal ini untuk jaga-jaga pula jika setibanya di sana sama sekali tidak mendapati penjaga yang dapat memberikan informasi, setidaknya kisah masa kecil Tan Malaka.

Terlebih informasi yang sama sekali tak tertulis di dalam buku-buku ilmiah maupun garapan sejarawan. Seperti ketika orang tua Tan Malaka meninggal dunia, ia tidak dapat pulang ke negeri Pandam Gadang. Atau informasi dari Ayah Kak Wina yang asli dari Lima Puluh Kota, yang menyebutkan bahwa Tan Malaka memiliki kemampuan mengubah wajah. Dan dialah yang menjadi imam salat kala orang tuanya wafat.

Meski kondisi rumah Tan Malaka sangat memprihatinkan, saya rasa pada bagian halaman di rumahnya masih ada yang merawat. Begitu pun kuburannya. Hanya saja saya berandai-andai adanya tindakan tepat dari pihak yang tepat dan memberikan perhatian lebih pada peninggalan sejarah.

Peninggalan sejarah bukan bermakna mesti ditinggalkan, melainkan diperhatikan. Terlebih Badan Pelestarian Cagar Budaya sudah menancapkan namanya sendiri. Keberlanjutan pelestarian tentu menjadi hal yang sangat diharapkan. Kita berbicara sejarah dan ingatan yang mesti terus dirawat.


Referensi:

Haryanto, A.  (2023, 2 November). Biografi Tan Malaka dan Kisah Hidup Sang Pahlawan Nasional. Tirto.id. Diakses pada 27 Mei 2024 dari https://tirto.id/biografi-tan-malaka-dan-kisah-hidup-sang-pahlawan-nasional-ggw8.
Metro TV. Mata Najwa: Kisah Bapak Republik Tan Malaka (1). Youtube Video. 12 Juli 2017. Dari https://youtu.be/JwpUQxWJEVg?si=ryf3SRc6QzjKzo59.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menapaki Jejak Tan Malaka di Rumah Kelahirannya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menapaki-jejak-tan-malaka-di-rumah-kelahirannya/feed/ 0 42363
Menilik Kota Tua Kalianget https://telusuri.id/menilik-kota-tua-kalianget/ https://telusuri.id/menilik-kota-tua-kalianget/#respond Wed, 05 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42100 Setiap kali aku hendak bepergian ke luar pulau (Talango), otomatis aku melewati jalan raya Kalianget. Begitu pula tiap aku hendak pulang ke rumah, pastilah aku tak bisa melintasi jalan lain kecuali Kalianget. Walau demikian, baru...

The post Menilik Kota Tua Kalianget appeared first on TelusuRI.

]]>
Setiap kali aku hendak bepergian ke luar pulau (Talango), otomatis aku melewati jalan raya Kalianget. Begitu pula tiap aku hendak pulang ke rumah, pastilah aku tak bisa melintasi jalan lain kecuali Kalianget. Walau demikian, baru beberapa tahun belakangan aku tahu kalau ternyata Kalianget pernah menjadi kota modern di Madura. Sialnya, aku mendapatkan informasi itu justru dari seorang perempuan yang domisilinya sangat jauh dari Kalianget, yaitu istriku.

Kepada teman-temannya, dia kerap mendaku bahwa sejarah dan segala ihwal tentang Sumenep adalah “pelajaran” favoritnya. Sebab itulah dia tidak mau ketinggalan informasi apa pun mengenai Sumenep. Dia pun sat-set apabila ada destinasi wisata, kuliner, atau hal-hal baru lainnya di Sumenep. Sebagai lelaki yang malas jalan-jalan, aku sering terpaksa menjadi sopir yang mengantarnya ke tempat-tempat yang dia suka, sehingga lambat laun aku pun tertarik keluyuran ke berbagai tempat penting.

Kami suka pergi ke museum, situs sejarah, makam keramat, wisata alam, warung kuliner, maupun acara-acara kesenian. Suatu waktu istriku pernah mengajakku mengunjungi Kota Tua Kalianget. Aku menuruti. Tujuan utamanya untuk foto-foto, selain ingin memerhatikan lebih saksama bangunan-bangunan peninggalan Belanda di sana. Namun, karena tidak berniat menjadikannya sebagai tulisan, kami hanya melihat-lihat dan memotret objek seperlunya.

Hingga sore lalu (14/04/2024), dalam perjalanan menuju rumah untuk suatu keperluan, aku kebelet mampir ke Kota Tua Kalianget demi melihat-lihat lagi sejumlah bangunan lawasnya. Kali ini mesti lebih serius, tekadku. Sayang sekali, istriku tidak ikut lantaran harus mengurus nenek (mertua) yang dibelit demam. Tentu aku akan sedikit kerepotan menyusuri tempat ini, karena biasanya dialah pemandu perjalanan berbekal pengetahuan lokalitasnya.

Menilik Kota Tua Kalianget
Pintu utama Benteng Kalimo’ok/Daviatul Umam

Benteng Kalimo’ok

Apa boleh buat. Aku tidak punya banyak waktu untuk keluyuran sebab kungkungan pekerjaan. Kesempatan juga tidak selamanya terulang. Mau tak mau aku tetap menepi ke lokasi sebuah benteng lapuk di Desa Kalimo’ok. Kuparkir motor lalu menengok layar ponsel tepat pada pukul 16.11 WIB.

Pandanganku menyapu ke semua sisi depan benteng. Dindingnya mengelupas, lumut berbiak di sana-sini, rumput dan semak belukar tumbuh liar di sela-sela retakan beton. Ratusan tahun bersekutu, cuma efek itu yang ditimbulkan oleh ulah hujan dan matahari. Mereka belum mampu merobohkan benteng yang berdiri sejak tahun 1785 tersebut—sebagaimana tertulis di prasasti yang ditandatangani Bupati Sumenep, KH. Moh. Ramdlan Siraj, pada 31 Oktober 2001 silam.

Menurut keterangan papan informasi berwarna biru yang dibuat oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Jawa Timur, benteng itu memiliki dua pintu masuk. Di dalamnya terdapat sebuah bangunan yang konon merupakan persembunyian serdadu asing, lengkap dengan bastion penyimpanan meriam di setiap sudut benteng. Kini bekas persembunyian itu telah disulap menjadi tempat peternakan.

Sementara di depan pintu benteng pada sisi kanan, sebuah gapura masih tegak kokoh. Di dindingnya ada sisa-sisa potongan huruf dan angka yang tak dapat kueja. Adapun di balik gapura kusam itu terbujur kijing-kijing bertanda salib. Tak banyak. Hanya belasan pusara yang semuanya berhulu ke barat. Namun, setelah aku melangkah masuk ke balik gapura, ternyata ada satu kijing yang nyeleneh: tidak bertanda salib dan berhulu ke utara.

Selama berpijak di tanah pemakaman, entah kenapa aku merasakan aura yang “liyan”. Persis aura yang pernah kurasakan dulu saat ikut teman menyambangi toko buku Kristen di Jogja.

Menilik Kota Tua Kalianget
Area pemakaman Kristen di dekat Benteng Kalimo’ok/Daviatul Umam

Rumah Tua dan Jejak Kolonial Lainnya

Aku melanjutkan penjelajahan ke Desa Kalianget Timur. Di sepanjang jalan, mudah sekali ditemui rumah-rumah khas Eropa di tepian kiri. Bak manusia dewasa, rumah-rumah itu terlihat segar bugar meski ada beberapa yang sudah diperbaharui dengan tetap mempertahankan bentuk asli arsitekturnya. Tiada rumah tanpa pagar. Semua pagar dirantai dan digembok. Sebagian besar ditempeli papan nama “Rumah Dinas PT Garam (Persero)”.

Kebetulan ada satu rumah yang pagarnya tengah terbuka. Seorang lelaki berkepala empat sedang menyiram tanaman. Buru-buru aku menghampirinya begitu ia sudah selesai dengan pekerjaannya dan bersiap-siap untuk pergi. “Rumah-rumah tua di sini kenapa banyak yang ditempeli nama ‘Rumah Dinas PT Garam’, ya, Pak?” tanyaku dengan polos sehabis berbasa-basi.

“Iya. Itu milik PT Garam. Ditempati orang-orang PT Garam. Sebagian juga disewakan,” jelasnya tersenyum renyah.

“Berarti bapak nyewa di sini?”

“Tidak. Cuma nyiram tanaman.” Bapak itu bergegas pergi usai kuucapkan terima kasih padanya.

Beragam corak rumah tua di Kalianget Timur dengan motir pagar yang hampir senada (Daviatul Umam)

Aku pun kembali memacu kendaraan ke arah timur, sampai berjumpa bangunan paling gigantik di antara bangunan klasik yang lain. Kendati berukuran tinggi dan luas, gedung ini hanya memiliki satu ruangan. Temboknya terkikis zaman dan meninggalkan bercak-bercak kehitaman. Beberapa bagian juga ditumbuhi perdu. Sepasang daun pintunya besar menjulang. Di depan pintu bercat kuning gading inilah anak-anak muda suka berpose. Sekali waktu aku juga pernah menyaksikan pasangan calon mempelai mengabadikan momen pranikahnya di sana.

Di seberang gedung, sebuah pos pantau berdiri. Pintunya ternganga lebar. Kendaraan roda dua terparkir di terasnya. Dari balik kaca jendela berwarna gelap dapat kutangkap bayangan seseorang yang sedang duduk di atas kursi. Aku beranjak masuk teras lalu memanggil salam di muka pintu. Laki-laki kurus berkaus satpam bangkit dari kursinya sembari menyambut salamku.

Anu. Numpang tanya, Pak. Gedung ini dulunya ditempati apa, ya?” aku menunjuk bangunan perkasa itu dengan jari jempol kanan.

“Itu gudang mesin, Mas. Pembangkit tenaga listrik,” terang Pak Satpam.

“Kalau rumah-rumah tua di jalan ini milik siapa?” tanyaku untuk memastikan.

“Milik PT Garam.”

Lagi-lagi betapa polosnya diriku, “Dibeli PT Garam atau gimana?”

Nggak. Itu aset negara. PT. Garam kan bagian dari BUMN.”

“Oh. Ya, sudah. Terima kasih banyak, ya, Pak.”

Aku berlalu pergi dan berlanjut menyusuri cagar budaya lainnya. Sesudah melaju pelan sepanjang ratusan meter, aku berhenti sejenak di seberang kantor PT Garam, mengamati sebuah monumen lokomotif yang sengaja dipamerkan. Hanya saja barang antik tersebut tidak dilengkapi plang atau tulisan singkat terkait keberadaan serta kegunaannya di masa penjajahan. Pengunjung awam sepertiku dipaksa bertanya sendiri ke Mbah Google.

Kemudian aku meluncur ke arah utara, mengitari lingkungan perumahan purbakala di sekitar jalan Brawijaya–Sam Ratulangi, Kalianget Timur. Sinar matahari mulai meredup. Pohon-pohon hias nan rindang menambah remang cakrawala. Meniti jalan aspal yang agak rusak membuat motor sedikit mengguncang-guncang tubuhku. Bagai mahasiswa semester akhir yang melakukan penelitian, sambil menyetir aku tak hentinya menoleh ke kanan dan ke kiri.

  • Menilik Kota Tua Kalianget
  • Menilik Kota Tua Kalianget

Di daerah inilah rumah-rumah tua bercorak Eropa dengan aneka bentuk itu berpusat. Namun, aku lebih dulu tertarik menelisik pilar penyangga langit yang melampaui pohon tertinggi sekalipun. Sudah sejak lama aku penasaran terhadap kisah di balik beton raksasa ini. Difungsikan untuk apa ia oleh orang-orang Belanda dulu?

Tepat di sebelah baratnya, aku menemui seorang pemuda yang kelihatan sibuk menjamu para tamu. Aku bertanya secara singkat perihal fungsi dari pilar tersebut. “Itu PDAM, Mas,” jawab si pemuda sambil berdiri memegang senampan air gelas kemasan.

“Kalau di masa Belanda dulu?” kejarku.

“Saya gak tahu. Coba tanya sama yang lebih sepuh saja, Mas.” Tampaknya dia memang betul-betul sibuk dan aku telah mengganggunya.

“Baik, Mas. Terima kasih, ya.”

Sesuai sarannya, aku menyongsong ibu lansia yang berjalan kaki seraya menyunggi tabung gas elpiji tiga kilo. Masih menyorong pertanyaan yang sama dan ibu beruban itu pun menyuguhkan jawaban yang sama dengan si pemuda. Tak ada penjelasan komplet yang memuaskan rasa keingintahuanku.

Langit kian berjelaga. Azan Magrib berkumandang dari pelantang suara masjid. Kukira tak bakal memungkinkan untuk melanjutkan rekreasi. Akan terasa janggal jika aku memaksakan diri menjumpai orang-orang yang tak kukenal hanya untuk dimintai keterangan terkait sekelumit riwayat Kota Tua Kalianget. Setelah memotret salah satu rumah kuno dan gereja, aku segera pulang dengan berniat kembali datang keesokan harinya.

Menilik Kota Tua Kalianget
Tampak depan bangunan Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) di Kalianget Timur/Daviatul Umam

Sejarah Gereja dan Rumah-rumah Lawas

Esoknya, aku menepati janjiku sendiri. Langsung saja aku menuju suatu titik di mana penjelajahanku kemarin terpotong. Kubidik ulang gereja sederhana itu demi menghasilkan gambar yang lebih bagus. Kukatakan “sederhana” sebab rumah ibadah Protestan itu tak ubahnya kediaman penduduk desa. Di terasnya terdapat satu set sofa merah serta sebuah meja. Dindingnya bertempelkan kayu salib cokelat dengan dua pintu kayu bercat kuning nyalang. Beberapa jendelanya juga berbahan kayu, sama dengan rumah-rumah tua di sekitarnya.

Walau sederhana, ia tampak sangat terawat. Baluran catnya masih baru. Rerumputan di halamannya terpangkas rapi, selain bebas dari sampah. Cuma guguran daun mangga kering berserakan, tetapi itu wajar belaka. Di samping bangunan ada seekor anjing berbulu lebat. Ia melongo di balik pintu berkawat tatkala aku menapaki halaman gereja. Karena waswas, langkahku urung untuk mendekat ke beranda. Aku cepat-cepat keluar karena khawatir binatang itu menggonggong sehingga membuat warga menaruh rasa curiga terhadapku. Walau sebenarnya aku telah mendapatkan izin dari seorang kakek yang menjadi juru kuncinya.

Dari kakek pemotong rumput ini aku menerima sejumlah informasi berharga. Katanya, hingga kini gereja itu tetap berfungsi sebagaimana mestinya. Tiap Minggu umat Kristen berdatangan dari berbagai daerah untuk beribadah. Dia juga menjelaskan tahun berdirinya bangunan-bangunan bersejarah di desa itu.

“Rumah paling besar di sebelah ini dibangun tahun 1910. Dulu jadi kantor PT Garam. Kalau gedung pembangkit tenaga listrik di sana sekitar 1914. SD Taman Muda itu (dia menunjuk bangunan bercat kuning) lebih baru lagi, 1957,” tuturnya antusias.

Menilik Kota Tua Kalianget
Menara PDAM di Kalianget Timur/Daviatul Umam

“Kalau PDAM itu tahun berapa?” Aku masih sangat penasaran sama pilar penyangga langit.

“Itu bukan peninggalan Belanda. Warga sini sendiri yang bikin. Belum lama itu. 1984 kalau tidak keliru.”

Tak lupa, aku juga menanyakan biaya sewa rumah-rumah yang dikontrakkan oleh PT Garam. Kakek itu bilang, biayanya tergantung ukuran rumah. Beda-beda. Lumrahnya tiga atau empat juta lebih per tahun. Sebagian dari para penyewa adalah warga pribumi, sebagian lain pendatang dari Jawa. Mereka merintis bermacam usaha di sana. Jualan soto, bakso, telur ayam, dan mebel.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menilik Kota Tua Kalianget appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menilik-kota-tua-kalianget/feed/ 0 42100
Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan https://telusuri.id/mengungkap-pusaka-tersembunyi-di-parakan/ https://telusuri.id/mengungkap-pusaka-tersembunyi-di-parakan/#respond Thu, 22 Jun 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39033 Perjalanan saya kali ini berawal dari ajakan seorang rekan untuk sekedar berburu foto dan menjelajah di lereng Gunung Sindoro-Sumbing. Awalnya saya pikir menjelajah lereng gunungnya, tetapi ternyata bukan. Kami melakukan eksplorasi di Kecamatan Parakan, Kabupaten...

The post Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya kali ini berawal dari ajakan seorang rekan untuk sekedar berburu foto dan menjelajah di lereng Gunung Sindoro-Sumbing. Awalnya saya pikir menjelajah lereng gunungnya, tetapi ternyata bukan. Kami melakukan eksplorasi di Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung. 

Tujuan penjelajahan kami adalah kampung pecinan di Jalan Gambiran. Sebelum memulai perjalanan, kami sengaja menyempatkan berkunjung kelenteng Hok Tek Tong guna mengabadikan aktivitas dan detail ornamennya. Tentu kami melakukannya setelah mendapat izin dari pengurus kelenteng. 

Di tengah asyik memotret, tiba-tiba muncul bapak paruh baya berjenggot panjang dari salah satu ruang dewa. Beliau adalah The Han Thong, aktivis Masyarakat Tionghoa Parakan sekaligus pemandu lokal kami. Ia juga dengan senang hati mengantar siapa pun yang ingin melihat Parakan dari sudut pandang berbeda. Setelah bercengkerama, The Han Thong menunjukan beberapa peninggalan yang sekiranya menarik kami abadikan. 

“Kalau mau saya antar keliling seberang sana, di Jalan Gambiran!”

Tentu kami menyetujui. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Penjelajahan dimulai. 

Rumah Gambiran, Pusaka dari Parakan

The Han Tong lantas mengajak kami keluar kelenteng dan berjalan kaki menuju kampung pecinan di Jalan Gambiran. Dia mengaku sering mengantar tamu untuk sekadar jalan-jalan dan merasakan dinginnya udara Parakan. 

Menyusuri sepanjang jalan, hanya deretan tembok tinggi dengan satu aksen masuk yang menemani langkah. Biasanya kampung pecinan identik dengan hiruk pikuk perdagangan. Namun, di sini sangat sepi, seperti yang saya rasakan ketika menelusuri kampung pecinan di Pasuruan. 

Langkah kami menyusuri Jalan Gambiran hanyalah awal perjalanan. Tujuan kami sejatinya berada di gang sebelah, tepatnya Jalan Bambu Runcing. Sepanjang perjalanan lensa kamera tak henti mengabadikan setiap momen, termasuk membingkai lanskap Gunung Sindoro dari tempat kami berada. 

Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan
Pintu depan Rumah Gambiran bergaya Indis/Ibnu Rustamadji

Setelah kurang lebih satu jam berjalan kaki, tibalah kami di tujuan utama. “Selamat datang di Rumah Gambiran,” begitu kiranya sambutan The Han Tong sembari membukakan pintu untuk kami. 

Beranjak memasuki rumah utama dari halaman depan, marwah sebagai seorang pengusaha gambir begitu terasa. Beranda depan berhias sebuah kursi santai, tempat sang saudagar melepas lelah sambil mengisap tembakau.

Menginjakkan kaki ke dalam, kami langsung menjumpai partisi kayu menghadap pintu utama di antara ruang tengah dan ruang belakang. Penggunaan partisi kayu tersebut untuk memisahkan antara ruang publik dan ruang keluarga. Bagian dalam kamar tidur utama berisi perabot kuno Rumah Gambiran. 

Tanpa pikir panjang kami segera merekam semua momen yang ada dalam memori kamera. Sembari kami hunting foto, The Han Tong mulai bercerita tentang Rumah Gambiran. Rumah yang menjadi bagian perjalanan masyarakat Tionghoa Parakan kala itu. 

Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan
Suasana beranda depan dari halaman rumah Indis/Ibnu Rustamadji

Sejarah Rumah Gambiran

Menurut The Han Tong, disebut Rumah Gambiran, karena dahulu rumah ini merupakan hunian milik Siek Oen Soei, seorang pengusaha gambir di Parakan. Namun, ia hanya pewaris usaha gambir moyangnya yang bernama Siek Hwie Soe. Adapun pengusaha gambir pertama di Parakan pertama adalah Loe Tjiat Djie. Gambir yang diproduksi adalah untuk campuran pewarna kain batik.

Siek Hwie Soe tiba di Parakan tahun 1821. Untuk menyambung hidup ia bekerja sebagai buruh pengolahan gambir dan menumpang hidup dengan Loe Tjiat Djie.

Selama bekerja, ia dinilai cukup mumpuni untuk memimpin usaha. Loe Tjiat Djie lantas mengangkat Siek Hwie Soe sebagai menantu dan mewariskan usaha gambir kepadanya. Sekian lama tinggal di Parakan hingga pertengahan tahun 1840, ia memutuskan pulang ke tanah kelahirannya di Tiongkok.

Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan
Inskripsi nasehat di salah satu ruang keluarga rumah orientalis/Ibnu Rustamadji

Tidak lama, ia kembali ke Parakan beserta keluarga lain untuk mengurus usaha gambir. Usaha gambir menuai kesuksesan, sehingga mereka kemudian mendirikan usaha bersama bernama “Hoo Tong Kiem Kie” yang berpusat di Semarang. Empat puluh dua tahun kemudian, tepatnya 1882, Siek Hwie Soe wafat.  

Badan usaha lantas terbagi menjadi dua. Usaha pertama bernama “Hoo Tong Seng Kie” di Semarang, di bawah pengelolaan putranya, yakni Siek Tjin Lion. Usaha kedua bernama “Hoo Tong Kiem Kie” di Parakan, berjalan di bawah pengelolaan keponakannya, Siek Tiauw Kie. 

Siek Tiauw Kie memiliki beberapa istri dan anak. Satu anak di antaranya adalah Siek Oen Soei. Siek Tiauw Kie selanjutnya mewariskan bisnis gambir kepada Siek Oen Soei, yang di kemudian hari menuai kesuksesan besar ketika berhasil memperdagangkan gambir, beras, dan tembakau, sampai akhirnya wafat tahun 1948. 

Siek Oen Soei sebagai pewaris Rumah Gambiran wafat di Yogyakarta. Setelahnya bisnis dan rumah diberikan kepada sang putra, Siek Bien Bie. Tidak lama sejak saat itu mereka pindah ke Batavia (Jakarta) atas alasan keamanan, karena pergolakan agresi militer II oleh Belanda. Rumah keluarga itu pun kosong.

Perpaduan Lintas Budaya dalam Arsitektur Rumah Gambiran

Menapaki halaman belakang, tampak sebuah meja batu langka yang dulu berfungsi untuk bermain mahjong. Terapit oleh kamar tidur untuk tamu atau keluarga yang belum memiliki tempat tinggal sendiri. Ruang belakang tersebut bukti kepedulian Siek Oen Soei dengan keluarga dan handai tolan yang berkunjung. 

Masih berada dalam satu halaman, tepat lima langkah dari meja mahjong, kami terkagum-kagum dengan sebuah bangunan yang sangat kontras dengan Rumah Gambiran sisi utara. Bangunan itu merupakan rumah bergaya Indis dengan kolom menopang beranda depan dan belakang. Menghadap ke selatan dengan pemandangan Gunung Sumbing. 

Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan
Meja batu mahjong dengan latar belakang beranda belakang rumah Indis/Ibnu Rustamadji

The Han Thong memiliki dugaan, “Bangunan warna putih bergaya indis ini, lebih awal dibangun daripada Rumah Gambiran sisi Selatan.”

Ia juga menyangka bahwa Rumah Gambiran sisi utara dibangun setelah ia kembali dari Tiongkok, sebagai memorial negeri leluhurnya. Berfungsi pula untuk kediaman keluarga besar hingga ia wafat, kata The Han Thong menambahkan.

Kekaguman semakin memuncak, ketika kami dipersilahkan menginjakkan kaki ke dalam rumah. Mata dan lensa kamera tak hentinya menikmati detail ornamen, serta sudut rumah yang luar biasa utuh dan masih terjaga. Rasa kagum, senang, bangga bercampur bahagia, kami rasakan kala menjelajahi kedua Rumah Gambiran ini.

Rumah Gambiran sisi selatan lebih menonjolkan sebagai kediaman elit Eropa daripada pengusaha. Setiap ornamen yang ada dan konsep penataan bagian dalam rumah cenderung mencirikan gaya Eropa. Tentu siapa pun yang akan berkunjung ke Rumah Gambiran pasti terpesona dengan kemewahannya.

Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan
Beranda depan rumah bergaya oriental/Ibnu Rustamadji

Sungguh kesempatan yang sangat langka bagi kami untuk menjelajahi dan mengabadikan dua peninggalan budaya berbeda. Dalam satu tempat dan waktu. Perpaduan marwah sebagai seorang pengusaha gambir dan elit Eropa. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan lebih mengenai Rumah Gambiran selain mewah.

Gaya Indis berpadu dengan oriental adalah wujud akulturasi budaya asing dengan masyarakat setempat. Siek Oen Soei, meski berasal dari daratan Tiongkok, tetapi hubungannya dengan masyarakat Eropa, Tionghoa, maupun pribumi Parakan saat itu terikat baik.

Penelusuran di Parakan Masih Berlanjut

Setelah kepindahan keluarga Siek Bien Bie, Rumah Gambiran sempat kosong dan terbengkalai. Hingga akhirnya tampak seperti saat ini usai revitalisasi oleh Chris Dharmawan, seorang arsitek, filantropi sekaligus pemilik galeri seni Semarang Contemporary Art Gallery di kawasan Kota Lama Semarang.

Kontribusinya di Parakan adalah sebagai pemilik Museum Peranakan Tionghoa Parakan, sekaligus penulis buku Parakan Living Heritage. Buku ini pula yang menjadi panduan saya dan The Han Tong untuk mengulik pusaka tersembunyi di Parakan. Salah satunya Rumah Gambiran.

Pada tahun 2006 Rumah Gambiran dibeli oleh Ekayana Buddhist Centre sebagai Prasadha Mandala Dharma, atau rumah pelatihan dan retret jemaat Buddha. Rumah Gambiran pun mendapat julukan baru, yaitu Rumah Bhante (biksu), karena tempat ini diketuai oleh Bhante Aryamaitri.

Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan
The Han Tong di beranda belakang rumah bergaya Indis/Ibnu Rustamadji

Puas menikmati kemewahan Rumah Gambiran, perjalanan saya di Parakan masih berlanjut. Kali ini, selain The Han Tong, saya juga mengajak beberapa kawan lain dari Parakan. Tujuan kami tidak lain menjaga silaturahmi dan kekeluargaan, agar tidak hanya berperan sebagai pemandu lokal saya belaka.

Bagi saya, Parakan membuat candu siapa pun yang memandang. Untuk sebagian orang mungkin tidak menarik, tetapi saya menilai keindahan tidak hanya bisa dipandang dari satu sisi. Seperti halnya Parakan, yang memiliki keindahannya sendiri jika kita melihat dari sisi lainnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengungkap-pusaka-tersembunyi-di-parakan/feed/ 0 39033
Q&A: Penggalian Arkeologi Banten Lama bersama Prof. Dr. R. Cecep Eka Permana https://telusuri.id/penggalian-arkeologi-banten-lama/ https://telusuri.id/penggalian-arkeologi-banten-lama/#respond Mon, 08 Nov 2021 12:54:39 +0000 https://telusuri.id/?p=31299 Kawasan Banten Lama merupakan kawasan Kota Tua Banten yang telah ada semenjak abad ke-16, dengan berbagai tinggalan seperti Keraton Kaibon, Keraton Surosowan, Benteng Speelwijk, Masjid Agung Banten, Vihara Avalokitesvara, dan Danau Tasikardi. Banten Lama menjadi...

The post Q&A: Penggalian Arkeologi Banten Lama bersama Prof. Dr. R. Cecep Eka Permana appeared first on TelusuRI.

]]>
Kawasan Banten Lama merupakan kawasan Kota Tua Banten yang telah ada semenjak abad ke-16, dengan berbagai tinggalan seperti Keraton Kaibon, Keraton Surosowan, Benteng Speelwijk, Masjid Agung Banten, Vihara Avalokitesvara, dan Danau Tasikardi. Banten Lama menjadi ikon wisata sejarah yang terkenal hingga penjuru Nusantara. Daya tarik sejarah Banten yang masih bisa disaksikan lewat sisa-sisa bangunan kesultanan diharapkan menjadi pelajaran bagi masyarakat dewasa ini. 

Penggalian arkeologi adalah salah satu cara untuk menampakkan temuan yang terpendam di bawah tanah. Baru-baru ini di Banten Lama diadakan penggalian arkeologi kerjasama BPCB Banten dengan Universitas Indonesia sebagai upaya revitalisasi dan pelestarian kawasan Banten Lama agar sisa-sisa tinggalan masih bisa diselamatkan. 

TelusuRI mewawancarai Prof . Dr. R. Cecep Eka Permana—seorang arkeolog dan juga pengajar tetap arkeologi di Universitas Indonesia—yang dalam penggalian ini berperan sebagai pengawas. Sebagai pengajar, beliau sudah berkecimpung di dunia arkeologi semenjak 1990 dan ikut serta dalam puluhan penelitian yang beberapa di antaranya sudah dibukukan. 

Prof . Dr. R. Cecep Eka Permana
Prof . Dr. R. Cecep Eka Permana/Istimewa

Penggalian kali ini dilakukan di mana dan dengan tujuan apa Mas? 

Penggalian dilakukan antara Danau Tasikardi dan Keraton Surosowan. Fokusnya kepada saluran air dari Tasikardi ke Surosowan. Di sana ada peninggalan arkeologi berupa pengindelan, bangunan untuk penjernihan air. Jaraknya sekitar 2 km dari Tasikardi sampai Surosowan.

Sepanjang 2 km tersebut terdapat 3 bangunan penjernihan air yakni pengindelan abang yang berada dekat danau, pengindelan putih di tengah-tengah, dan pengindelan emas yang berada dekat dengan benteng. Tujuan pendiriannya adalah untuk mengalirkan air dari danau ke keraton, selain itu juga untuk penjernihan air.

Berarti hipotesisnya adalah Danau Tasikardi sebagai sumber air bagi keraton?

Iya, salah satunya adalah sebagai sumber air bersih untuk keraton. Dalam keraton sendiri sebenarnya ada sumur-sumur tapi kan terbatas [jumlah airnya]. Nah, sumber lain lainnya selain sumur, ya dari Tasikardi ini.

Tasikardi dan keraton berjarak sekitar 2 km. Sepanjang itu membentang sawah dan juga jalan. Apakah proses penggaliannya melewati jalan raya?

Oh tidak [melewati jalan raya]. Tanah yang dilewati pengindelan dan saluran-saluran ini tertutup batu bata. Di dalamnya ada saluran semacam paralon gitu yang berasal dari terakota dengan diameter 25 cm. Fungsinya sama seperti paralon sekarang namun terbuat dari tanah liat. 

  • BPCB Banten
  • BPCB Banten

Ada temuan menarik apalagi Mas yang terdapat di sana?

Selain bata-bata yang ditemukan untuk melindungi saluran air tersebut, ada ditemukan beberapa keramik dan tembikar. Ada pipa gouda kalau orang-orang kolonial bilangnya, kalau sekarang namanya cangklong. 

Ada berapa tenaga kerja untuk penggalian kali ini?

Kalau untuk mahasiswa dan alumni dibuat 3 kloter, 1 kloter berjumlah 5 orang. Penggalian kan dari tanggal 1-30 Oktober, jadi ada yang dari tanggal 1-10, 11-20, 20-30. Disamping itu ada tenaga lokal, dan tenaga dari BPCB.

  • BPCB Banten
  • BPCB Banten
  • BPCB Banten Lama

Tujuan pelibatan mahasiswa dalam penggalian ini apa sih Mas?

Selain mereka mendapatkan pengalaman juga menerapkan teori-teori yang sudah diberikan saat perkuliahan, tentunya sambil membantu kegiatan perekaman dan [melakukan] analisis temuan-temuan. BPCB kan terbatas tenaganya dan tidak semua arekolog. Dengan melibatkan mahasiswa ini semoga semua pihak mendapat manfaat, baik dari BPCB ataupun mahasiswa.

Apakah ada kesulitan yang muncul dari penggalian kali ini?

Sulit sih tidak ya, karena secara teknis di sana merupakan daerah sawah pasti berair, ya paling hujan basah biasa lah itu aja. Untuk urusan dengan warga, mereka sudah tahu bahwa itu bukan tanah mereka, jadi tidak terganggu antar sawah dengan saluran air tersebut. Paling ada kerusakan yang terjadi [pada tinggalan arkeologi] secara alami saja. 

BPCB Banten
Tim penggalian ekskavasi pengindelan/BPCB Banten

Bagaimana hasil penggaliannya? Apakah sudah mencapai tahap akhir?

Hari ini, 30 Oktober selesai. Untuk pelaporan masih dalam proses. Selanjutnya, kami akan mengkaji [hasil penggalian] dalam seminar kecil yang rencananya akan diselenggarakan pada tengah atau akhir November untuk mendiskusikan hasil [penggalian] serta rencana kedepannya.

“Tujuan penggalian ini yakni dalam rangka pelestarian dan melindungi cagar budaya karena daerah sawah bahkan sebagian besarnya sudah menjadi pemukiman. Kalau tidak dilakukan penggalian, maka [cagar budaya tersebut] akan hilang.”

Prof. Dr. R. Cecep Eka Permana

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Q&A: Penggalian Arkeologi Banten Lama bersama Prof. Dr. R. Cecep Eka Permana appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/penggalian-arkeologi-banten-lama/feed/ 0 31299